SILSILAH ‘IEDUL FITHRI

SHOLAT ‘IEDUL FITHR

1    Awal pertama kali disyari’atkannya sholat ‘Ied Fithr

Al-Mawardi rohimahulloh mengatakan:

وَرُوِيَ أَنَّ أَوَّلَ عِيدٍ صَلَّاهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاةُ الْعِيدِ يَوْمَ الْفِطْرِ فِي السَّنَةِ الثَّانِيَةِ مِنَ الْهِجْرَةِ وَفِيهَا فُرِضَتْ زَكَاةُ الْفِطْرِ

“Dan diriwayatkan bahwa Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam sholat ‘Ied Fithr pada tahun ke-2 dari hijroh dan pada waktu itu diwajibkan zakat fithr. [lihat Al-Hawi (2/482)]

2     Disyari’atkannya sholat ‘Iedul Fithr

Alloh ta’ala berfirman:

قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّى (14) وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّى.

“Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri, Dan dia ingat nama Robbnya, lalu dia sholat.” [QS. Al-A’la:14-15]

As-Sa’di rohimahulloh menyatakan: “-tentang perkataan Alloh ta’ala -:
وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّى.

“Dan dia ingat nama Robbnya, lalu dia sholat.” Yakni sholat ‘Ied. [Tafsir As-Sa’di rohimahulloh, Al-A’la:15]

عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ :كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ  يُصَلُّوْنَ العِيْدَيْنِ قَبْلَ الخُطْبَةِ.

Dari Ibnu ‘Umar rodhiyaAllohu anhuma berkata: “Dahulu Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam, Abu Bakr dan ‘Umar, , mereka sholat ‘Iedain (‘Iedul Fithr dan ‘Iedul Adha) sebelum khutbah.” [HR. Al-Bukhori (no.963) Muslim (no.888)]

Ibnu Qudamah rohimahulloh mengatakan: “Kaum muslimin telah sepakat tentang sholat ‘Iedain (‘Iedul Fithr dan ‘Iedul Adha).” [lihat Al-Mughni (2/367)]

3    Hukum Sholat ‘Ied

Hukum sholat ‘Ied adalah wajib bagi setiap individu, ini adalah pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Ibnul Qoyyim, Asy-Syaukani dan Shiddiq Hasan Khon dan Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rohimahumulloh. Mereka berdalil dengan;
Alloh ta’ala berfirman:
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ

“Maka dirikanlah sholat karena Robbmu; dan berkorbanlah.” [QS. Al-Kautsar:2] dan yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah sholat ‘Ied.

عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ قَالَتْ: أَمَرَنَا أَنْ نَخْرُجَ الحُيَّضَ يَومَ العِيْدَيْنِ وَذَوَاتِ الخُدُورِ فَيَشْهَدْنَ جَمَاعَةَ المُسْلِمِيْنَ وَدَعْوَتَهُمْ وَيَعْتَزِلُ الحُيَّضُ عَنْ مُصَلاَّهُنَّ قَالَتِ امْرَأَةٌ: يَا رَسُولَ اللهِ إِحْدَانَا لَيْسَ لَهَا جِلْبَابٌ؟ قَالَ:«لِتُلْبِسْهَا صَاحِبَتُهَا مِنْ جِلْبَابِهَا«

Dari ‘Ummi ‘Athiyyah rodhiyaAllohu anha: dia berkata: Kami di perintahkan untuk mengeluarkan para wanita haidh pada dua hari raya ‘Ied dan wanita pingitan, serta menghadiri jama’ah kaum muslimin dan dakwah mereka. Serta menyendirikan para wanita haidh dari musholla mereka, berkata seorang perempuan: “Ya Rosululloh, salah satu dari kami tidak mempunyai jilbab”, beliau shollallohu alaihi wa sallam menjawab: “Hendaknya temannya meminjamkan jilbabnya.” [HR. Al-Bukhori (no.351) Muslim (no.890)]

Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rohimahulloh rohimahulloh berkata: “Dan yang aku lihat bahwasanya sholat ‘Ied adalah kewajiban bagi setiap orang. Dan tidak boleh bagi laki-laki untuk meninggalkannya, bahkan wajib bagi mereka untuk menghadirinya, karena Nabi shollallohu alaihi wa sallam memerintahkannya, bahkan memerintahkan wanita pingitan keluar untuk sholat, dan bahkan memerintahkan para wanita haidh keluar untuk sholat ‘Ied, akan tetapi mereka di pisahkan dari musholla tanah lapang. Dan ini menunjukkan tentang penekanannya, dan pendapat yang aku katakan inilah yang kuat, ini adalah yang  di pilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rohimahulloh. [lihat “Majmu’ Fatawa Ibnu ‘Utsaimin” (16/214)]

4     Mana lebih afdhol, antara ‘Iedul Fithr dan ‘Iedul Adha?

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rohimahulloh berkata:

وَعِيْدُ النَّحْرِ أَفْضَلُ مِنْ عِيْدِ الفِطْرِ وَلِهَذَا كَانَتِ العِبَادَةُ فِيْهِ النَّحْرَ مَعَ الصَّلاَةِ وَالعِبَادَةُ فِي ذَاكَ الصَّدَقَةِ مَعَ الصَّلاَةِ، وَالنَّحْرِ أَفْضَلُ مِنَ الصَّدَقَةِ لِأَنَّهُ يَجْتَمِعُ فِيْهِ العِبَادَتَانِ البَدَنِيَّةُ وَالمَالِيَّةُ».

“’Iedun Nahr (atau Adha) lebih utama dari ‘Iedul Fithr. Dikarenakan pada ibadah tersebut ada penyembelihan bersamaan dengan sholat, adapun ibadah tersebut (‘iedul fithri) terdapat padanya shodaqoh dan sholat. Dan Nahr (menyembelih) lebih utama dari pada shodaqoh karena tergabung padanya dua ‘ibadah; (‘ibadah) badaniyyah dan maaliyah (harta).” [lihat “Majmu’ Al-Fatawa” (24/222)]

5     Hukum sholat ‘Ied bagi Musafir!

 Asy-Syaikh ‘Ibnu ‘Utsaimin rohimahulloh ditanya:
“Apakah disyari’atkan sholat ‘Ied bagi musafir?

Beliau rohimahulloh menjawab:
“Tidak di syari’atkan sholat ‘Ied bagi musafir sebagaimana tidak disyari’atkan Jum’ah bagi seorang musafir. Akan tetapi apabila ada musafir di suatu negri yang di tegakkan di situ sholat ‘Ied, maka dia di perintahkan untuk sholat bersama kaum muslimin.” [lihat “Majmu’ Fatawa Ibnu ‘Utsaimin”]

6    Hukum keluar untuk sholat ‘Ied ke tanah lapang

عَنْ أَبِي سَعِيْدٍ الخُدْرِي قَالَ :كَانَ رَسُولُ اللهِ  يَخْرُجُ يَوْمَ الفِطْرِ وَالأَضْحَى إِلَى المُصَلَّى فَأَوَّلُ شَيءٍ يَبْدَأُ بِهِ الصَّلاَةُ.

Dari Abi Sa’id Al-Khudarii rodhiyaAllohu anhu berkata: Dahulu Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam pergi pada hari Fithr dan Adha ke tanah lapang, maka awal pertama kali yang dilakukan adalah sholat. [HR. Al-Bukhori (no.956) Muslim (no.889)]

Jumhur Ahlul ‘Ilmi berpendapat dengan mustahabnya keluar ke tanah lapang untuk sholat ‘Ied, sama saja apakah itu di Madinah atau Baitil Maqdis atau selainnya, dan dikecualikan adalah Masjidil Harom.

Apabila ada halangan (seperti; hujan) untuk pergi ke tanah lapang, maka boleh bagi mereka untuk sholat di masjid. An-Nawawi rohimahulloh mengatakan: “Apabila bagi mereka udzur untuk meninggalkan keluar ke tanah lapang untuk ‘Ied, maka tidak ada perselisihan bagi mereka untuk diperintahkan sholat di masjid. Dan termasuk dari udzur-udzur adalah hujan, lumpur, keadaan tidak aman, dingin atau lainnya.” [lihat “Al-Majmu’” (5/8)] 

7   Hukum keluarnya wanita ke tanah lapang untuk menghadiri ‘Ied

Disukai bagi wanita untuk keluar ke tanah lapang untuk menghadiri sholat ‘Ied, dan tidak ada perbedaan bagi yang muda atau yang sudah tua. dan ini adalah pendapat Alqomah, Ishaq, Al-Jurjani. Berdalil dengan hadits Ummu ‘Athiyyah rodhiyaAllohu anha yang telah lewat.

Al-Hafidz Ibnu Hajar rohimahulloh mengatakan: “Pada hadits ini mustahabnya keluarnya wanita untuk menghadiri ‘Iedain. Sama saja apakah mereka masih muda atau tidak memiliki sesuatu yang menarik.” [lihat Fathul Bari’ (2/470)]

Dan apabila wanita itu keluar, hendaknya tidak memakai wewangian.

عَنْ زَيْنَبَ امْرَأَةِ عَبْدِ اللهِ قَالَتْ قَالَ لَنَا رَسُولُ اللهِ \ : «إِذَا شَهِدَتْ إِحْدَاكُنَّ الْمَسْجِدَ فَلاَ تَمَسَّ طِيبًا»

Dari Zainab istri ‘Abdulloh rodhiyaAllohu anhuma berkata: Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam berkata kepada kami: “Apabila salah satu dari kalian mendatangi masjid, maka janganlah memakai wewangian.” [HR. Muslim (no.443)]

8   Hukum mandi untuk sholat ‘Ied

عَنْ نَافِعٍ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ كَانَ يَغْتَسِلُ يَوْمَ الْفِطْرِ قَبْلَ أَنْ يَغْدُوَ إِلَى الْمُصَلَّى

Dari Nafi: Bahwasanya ‘Abdulloh bin ‘Umar mandi pada hari fithr sebelum pergi ke tanah lapang. [Atsar dikeluarkan Malik dalam “Al-Muwaththo’” (1/177) dengan sanad shohih.]

An-Nawawi rohimahulloh mengatakan:

فَقَالَ الشَّافِعِيُّ وَالاَصْحَابُ يُسْتَحَبُّ الغَسْلُ لِلعِيْدَيْنِ وَهَذَا لاَ خِلَافَ فِيْهِ والمُعْتَمَدُ فِيْه أَثَرٌ ابْنُ عَمَرَ وَالقِيَاسُ عَلَى الجُمُعَةِ»

“Berkata Asy-Syafi’I dan pengikutnya: disukai mandi untuk ‘Iedain, dan ini tidak ada perselisihan, dan sandarannya adalah atsar Ibnu ‘Umar rodhiyaAllohu anhuma, dan Qiyas dengan Jum’ah.” [lihat “Al-Majmu’” (5/11)]

Ibnu Rusyd rohimahulloh mengatakan:
أَجْمَعَ الْعُلَمَاءُ عَلَى اسْتِحْسَانِ الْغُسْلِ لِصَلَاةِ الْعِيدَيْنِ

“Para ‘Ulama telah bersepakat tentang dipandang baiknya mandi untuk sholat ‘Iedain.” [lihat “Bidayatul Mujtahid” (1/505)]

9    Mandi untuk sholat ‘Ied tidaklah wajib

Ibnu Rojab rohimahulloh mengatakan:

«وَالغُسْلُ لِلعِيْدِ غَيْرُ وَاجِبٍ . وَقَدْ حَكَى ابْنُ عَبْدِ البَرِّ الإِجْمَاع عَلَيهِ ، وَلِأَصْحَابِنَا وَجْهٌ ضَعِيْفٌ بِوُجُوبِهِ»

“Dan mandi untuk ‘Ied tidaklah wajib, dan Ibnu ‘Abdil Barr menukilkan ijma’ tentang hal itu, dan madzhab kami ada pendapat lemah tentang wajibnya (mandi untuk ‘Ied).”  [lihat “Fathul Bari” (8/418)]

10    Kapan mandi untuk ‘Ied?

Asy-Syafi’I rohimahulloh mengatakan:

«وَأُحِبُّ الْغُسْلَ بَعْدَ الْفَجْرِ لِلْغُدُوِّ إِلَى الْمُصَلَّى»

“Aku menyukai mandi untuk ‘Ied setelah Fajr untuk pergi ke tanah lapang.” [lihat “Mukhtashor Al-Hawi Al-Muzanni ma’a Al-Hawi” (2/483)]

Ibnu Qudamah rohimahulloh mengatakan:

«وَوَقْتُ الغُسْلِ بَعْدَ طُلُوعِ الفَجْرِ فِي ظَاهِرِ كَلاَمِ الخِرَقِي»

“Dan waktu mandi setelah munculnya fajar sebagaimana dalam perkataan Al-Khiroqi.” [lihat “Al-Mughni” (2/371)]

An-Nawawi rohimahulloh mengatakan:

«يُسَنُّ الغُسْلُ لِلعِيْدَيْنِ وَيَجُوزُ بَعْدَ الفَجْرِ قَطْعًا»

“Disukai mandi untuk ‘Iedain, dan boleh setelah fajar…” [lihat “Roudhotuth Tholibin” (1/583)]

11     Hukum memakai wewangian pada hari ‘Ied!

Ibnu Qudamah rohimahulloh mengatakan:

«وَيُسْتَحَبُّ أَنْ يُتَنَظَّفَ وَيَلْبَسَ أَحْسَنَ مَا يَجِدُ وَيَتَطَيَّب وَيَتَسَوَّك كَماَ ذَكَرْنَا فِي الجُمُعَةِ».

“Dan di sukai untuk bersih dan memakai pakaian paling bagus yang dia punyai, memakai wewangian dan bersiwak sebagaimana yang kami sebuntukan di (bab) Jum’ah.” [lihat “Al-Mughni” (2/370)]

An-Nawawi rohimahulloh mengatakan:
«وَاتَّفَقَتْ نُصُوص الشَّافِعِي وَالاَصْحَاب عَلَى استِحبابِ غَسْل ِالعِيدِ لِمَنْ يَحْضُر الصَّلاَة وَلِمَنْ لَا يَحْضُرُهَا لِمَا ذَكَرَهُ المُصَنِّفُ وَكَذَا اتَّفَقُوا عَلَى استحبَابِ التَّطَيُّبِ وَالتَّنَظُّفِ بِاِزَالَةِ الشُّعُورِ وَتَقْلِيمِ الاَظْفَار وَازَالَةِ الرَّائِحَةِ الكَرِيهَة مِنْ بَدَنِه وثوبِه قِياسًا عَلى الجُمُعَةِ».

“Telah sepakat nash Asy-Syafi’I dan pengikutnya tentang di sukainya mandi ‘Ied bagi yang menghadiri sholat dan bagi yang tidak menghadiri sholat sebagaimana yang di sebuntukan pengarang. Dan begitu juga sepakat tentang di sukainya memakai wewangian dan membersihkan (diri) dengan memtong rambut, memotong kuku, dan menghilangkan bau tak sedap dari badannya dan pakaiannya, (sebagaimana) di qiyaskan seperti (sholat) Jum’ah.” [lihat “Al-Majmu” (5/12)]

Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rohimahulloh mengatakan:
«يُسَنُّ أَنْ يَخْرُجَ عَلَى أَحْسَنِ هَيْئَةٍ، وَهَذَا يَشْمَلُ الإِمَامِ وَالمَأْمُومِ، فِي لِبَاسِهِ وَفِي هَيْئَتِهِ كَأَنْ يَحِفَّ الشَّارِبِ، وَيُقَلِّمُ الأَظْفَارِ، وَيَتَنَظَّفُ، وَيَلْبَسُ أَحْسَنَ ثِيَابِهِ»

“Di sunnahkan untuk keluar dengan sebagus-bagus keadaan, dan ini mencakup Imam atau Makmum dalam pakaian dan keadaannya, seperti menipiskan kumis, memotong kuku, bersih-bersih dan memakai pakaian sebagus-bagus pakaian.” [lihat “Asy-Syarhul Mumti’” (5/128)]

12    Hukum keluar untuk sholat ‘Ied dengan berjalan!

Tidak ada hadits shohih yang jelas tentang permasalahan berjalan kaki untuk menghadiri sholat ‘Ied. Dan yang berpendapat tentang disukainya berjalan ketika menghadiri sholat ‘Ied adalah ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz, An-Nakho’I, Ats-Tsauri, Asy-Syafi’I dan lain-lainnya. [lihat Al-Mughni (2/374) Al-Jami’ li Ahkamil ‘Iedain (hal.107)]

Ibnul Mundzir rohimahulloh mengatakan:
«المَشْيُ إِلَى العِيْدِ أَحْسَنُ ، وَأَقْرَبُ إِلَى التَّوَاضُعِ ، وَلاَ شَيءَ عَلَى مَنْ رَكِبَ».

“Berjalan kaki untuk menghadiri ‘Ied lebih baik dan lebih dekat kepada sifat tawadhu’. Dan tidak ada apa-apa bagi yang mengendarai kendaraan.” [lihat Al-Ausath (4/264)]

13    Sholat ‘Ied apabila bertepatan dengan hari jum’at

Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rohimahulloh mengatakan:

«إِذَا صَادَفَ يَومَ الجُمُعَةِ يَوْمَ العِيْدِ فَإِنَّهُ لاَبُدَّ أَنْ تُقامَ صَلاَةُ العِيْدِ، وَتُقَامُ صَلاَةَ الجُمُعَةِ، كَمَا كَانَ النَّبِيُّ عَلَيهِ الصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ يَفْعَلُ، ثُمَّ إِنَّ مَنْ حَضَرَ صَلاَةَ العِيْدِ فَإِنَّهُ يُعْفَى عَنْهُ حُضُورَ صَلاَةِ الجُمُعَةِ، وَلَكِنْ لَابُدَّ أَن يُصَلِّي الظُّهْرَ، لِأَنَّ الظُّهْرَ فَرْضُ الوَقْتِ، وَلاَ يُمْكِنُ تَرْكُهَا».

“Apabila bertabrakan hari jum’at dengan hari ‘ied, maka harus untuk ditegakkan sholat ‘Ied dan sholat jum’at, sebagaimana Nabi alaihis sholatu wa salam melakukannya. Kemudian barang siapa yang menghadiri sholat ‘Ied,  maka seorang diperkenankan baginya untuk tidak menghadiri sholat jum’at, akan tetapi ia harus sholat dzuhur, karena dzuhur adalah kewajiban, yang tidak mungkin untuk ditinggalkan.”

14    Apakah disyaratkan untuk sholat ‘Ied jumlah tertentu dari orang yang menghadiri?

Asy-Syaikh Zayid Al-Wushobi hafizhohulloh mengatakan: -setelah menyebuntukan perselisihan para ‘Ulama pada hal ini- “Dan yang kuat dari pendapat-pendapat tersebut adalah pendapat pertama( ), bahwasanya sholat Jum’ah begitu juga sholat ‘Ied sah dengan Jama’ah dua orang, yaitu Imam, Ma’mum, Khothib dan Mustami’. Dan pendapat ini berdalil dengan hadits Malik bin Al-Huwairits rodhiyaAllohu anhu dalam “Shohihain” dan menyebuntukan hadits dan dalamnya:

 » إِذَا أَنْتُمَا خَرَجْتُمَا فَأَذِّنَا ثُمَّ أُقِيْمَا ثُمَّ لِيَؤُمَّكُمَا أَكْبَرُكُمَا «

“Apabila kalian berdua keluar, maka beradzanlah kemudian dirikan (sholat), dan Imami yang besar dari kalian berdua.” HR. Al-Bukhori (630) Muslim (674) dan hadits Ibnu ‘Abbas rodhiyaAllohu anhuma dalam “Shohihain”: bahwasanya dia pada suatu malam sholat bersama Nabi ` maka dia berdiri di sisinya.

Dan inilah yang kami kuatkan dan dipilih juga oleh Asy-Syaukani, Al-Albani dan Al-Wadi’I –semoga Alloh merohmati mereka semua- sebagaimana telah lalu. (Selesai) [lihat “Al-Jami’ li Ahkamil ‘Iedain” (hal.44)]

15    Bersegera untuk menghadiri Sholat ‘Ied!

Ibnu Qudamah rohimahulloh mengatakan:
يستحب التبكير إلى العيد بعد صلاة الصبح

“Disukai untuk bersegera pergi untuk ‘Ied setelah sholat shubuh.” [lihat “Al-Mughni” (2/373)]

An-Nawawi rohimahulloh mengatakan:

قال الشافعي والاصحاب يستحب أن يبكر الي صلاة العيد ويكون التبكير بعد الفجر

“Berkata Asy-Syafi’i dan pengikutnya: disukai untuk bersegera pergi menuju sholat ‘Ied dan itu terjadi setelah fajar.” [lihat “Al-Majmu’” (5/15)]

16    Disukai untuk menyelisihi jalan ketika keluar untuk sholat ‘Ied

عَنْ جَابِرٍ قَالَ: كَانَ النَّبِيُّ  إِذَا كَانَ يَوْمُ عِيْدٍ خَالَفَ الطَّرِيْقَ

Dari Jabir bin ‘Abdillah rodhiyaAllohu anhuma berkata: “Nabi shollallohu alaihi wa sallam apabila pada hari ‘Ied menyelisihi jalan.” [HR. Al-Bukhori (no.986)]

Ibnu Rojab rohimahulloh mengatakan:

«وقدِ استَحَبَّ كثيٌر منْ أهلِ العِلْمِ للإمام وغيره إذا ذهبوا في طريق إلى العيد أن يرجعوا في غيره ، وهو قول مالك والثوري والشافعي وأحمد .وألحق الجمعة بالعيد في ذَلكَ .ولَو رَجعَ منَ الطريقِ الَّذي خَرجَ منهُ لَم يُكرَه»

“Kebanyakan Ahlul ‘Ilmi menyukai untuk Imam dan lainnya apabila pergi di jalan ke ‘Ied untuk mereka kembali dari jalan lainnya. Dan ini adalah pendapat Malik, Ats-Tsauri, Asy-Syafi’I, Ahmad dan diikuntukan Jum’ah dengan ‘Ied pada hal ini. Dan walau pun kembali dari jalan yang dia keluar, tidak dibenci (makruh).” [Fathul Bari’ (9/72)]

17    Hikmah menyelisihi jalan pada sholat ‘Ied

Diantaranya adalah
1.            Mengikuti petunjuk Nabi shollallohu alaihi wa sallam.
2.            Untuk menampakkan syi’ar-syi’ar Islam di jalan-jalan.
3.            Jalan-jalan itu akan menjadi saksi di hari kiamat.
4.            Untuk membuat benci kaum munafiqin dengan diperlihatkan kemuliaan Islam.
5.            Untuk bershodaqoh kepada faqir miskin di jalan-jalan lainnya.( )

Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rohimahulloh berkata:
والحكمة من هذا متابعة النبي صلى الله عليه وسلم، وهذه الحكمة أعلى حكمة يقتنع بها المؤمن، أن يقال: هذا أمر الله ورسوله،

“Dan hikmah dari hal tersebut adalah mengikuti Nabi shollallohu alaihi wa sallam, dan hikmah ini adalah setinggi-tingginya hikmah yang membuat seorang mu’min cukup dengannya.” [lihat “Asy-Syarhul Mumti’” (5/131)]

18   Haromnya puasa dihari ‘Iedul Fithr

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ: أَنَّ رَسُولَ اللهِ نَهَى عَنْ صِيَامَيْنِ: «يَوْمِ الأَضْحَى وَيَوْمِ الفِطْرِ»

Dari Abi Huroiroh rodhiyaAllohu anhu; bahwasanya Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam melarang dari puasa pada 2 hari: hari Adha dan hari fithr.” [HR. Al-Bukhori (no.1993) Muslim (no.1138) Malik (no.668) Ahmad (no.10639) Ibnu Hibban (no.3598) Al-Baghowi (no.1794)]

Hadits juga datang dari Abi Sa’id Al-Khudarii rodhiyaAllohu anhu riwayat Al-Bukhori (no.1991) Muslim (1138).

Hadits ‘Abdillah bin ‘Umar rodhiyaAllohu anhuma riwayat Al-Bukhori (no.1994) Muslim (no.1139) dan Hadits ‘Aisyah rodhiyaAllohu anha riwayat Muslim (no.1140)

Al-Hafidz Ibnu Hajar rohimahulloh mengatakan: “Dalam hadits ini menunjukkan tentang haromnya puasa pada dua hari ‘Ied (‘Iedul Fithr dan ‘Iedul Adha).” [lihat Fathul Bari’ (4/239)]

Ibnu Qudamah rohimahulloh mengatak: “Telah bersepakat Ahlul ‘Ilmi tentang puasa pada dua hari raya terlarang, diharomkan pada Tathowwu’, Nadzar, Qodho’ (mengganti) dan Kafaroh.” [lihat Al-Mughni (3/136)]

19   Hukum makan ringan pada hari Fithr sebelum pergi ke tanang lapang

عَنْ أَنَسٍ قَالَ :كَانَ رَسُولُ اللهِ  لاَ يَغْدُو يَوْمَ الفِطْرِ حَتَّى يَأْكُلَ تَمَرَاتٍ.

Dari Anas bin Malik rodhiyaAllohu anhu berkata: Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam tidak pergi pada hari Fithr sampai memakan beberapa kurma. [HR. Al-Bukhori (no.953)]

Ibnu Qudamah rohimahulloh mengatakan:
«السُّنَّةُ أَنْ يَأْكُلَ فِي الفِطْرِ قَبْلَ الصَّلاَةِ وَلاَ يَأْكُلَ فِي الأَضْحَى حَتَّى يُصَلِّي وَهَذَا قَولُ أَكثرِ أَهْلِ العِلْمِ مِنْهُم عَلِيٌّ وَابْنُ عَبَّاسٍ وَمَالِكٌ وَالشَّافِعِيُّ وَغَيرُهم لاَ نَعْلَمُ فِيه خِلَافًا».

“Yang sunnah adalah makan pada (hari) Fithr sebelum sholat, dan tidak makan pada (hari) Adha sampai sholat. Dan ini pendapat kebanyakan Ahlul ‘Ilmi, yang di antaranya ‘Ali, Ibnu ‘Abbas, Malik, Asy-Syafi’I dan lain-lainnya. Dan kami tidak mengetahui perselisihan dalam hal ini.” [lihat “Al-Mughni” (2/371)]

Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rohimahulloh mengatakan: “Yang sunnah pada hari ‘Iedul Fithr adalah memakan beberapa kurma dengan bilangan witir sebelum pergi ke tanang lapang.” [lihat “Majmu Fatawa Ibnu ‘Utsaimin” (16/234)]

20    Hikmah makan ringan sebelum pergi ke tanah lapang

Para ‘Ulama menyebuntukan beberapa sebab:

1.   Datang sebuah riwayat dari Ummu Darda’ rodhiyaAllohu anha: “Selisihilah Ahlul Kitab, karena 
      mereka tidak berbuka pada hari raya mereka sampai mereka kembali.”
2.  Menampakkan perbedaan bahwasanya hari itu bukan Romadhon, karena pada bulan Romadhon di      larang makan setelah terbitnya fajar.
3.  Agar orang tidak mengira bahwasanya hari ‘Ied masih di haruskan puasa sampai selesainya sholat      ‘Ied.
[Lihat “Al-Jami li Ahkamil ‘Iedain” (hal.63) oleh Asy-Syaikh Zayid Al-Wushobi]


📝ust. Fuad Hasan ngawi

TAKBIR ‘IEDUL FITHR

TAKBIR ‘IEDUL FITHR

1       Hukum takbir ‘Iedul Fithr.

(وَلِتُكْمِلُوا العِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللهَ عَلَى مَاهَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ)

“Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Alloh atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” [QS. Al-Baqoroh:185]

Dan takbir pada hari ‘Iedul Fithr adalah mustahab, dan ini adalah pendapat Jumhur Ahlul ‘Ilmi. [lihat “Al-Mughni” (2/368)]

2       Kapan memulai takbir ketika ‘Iedul Fithr?

An-Nawawi rohimahulloh mengatakan:

وَأَوَّلُ وَقْتِ تَكْبِيْرِ الفِطْرِ إِذَا غَابَتِ الشَّمْسِ مِنْ لَيْلَةِ الفِطْرِ لِقَولِهِ عَزَّوَجَلَّ (وَلِتُكْمِلُوا العِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللهَ عَلَى مَاهَدَاكُمْ) وَاِكْمَالُ العِدَّةِ بِغُروبِ الشَّمْسِ مِنْ لَيلَة الفِطْرِ

“Awal waktu takbir fithr apabila tenggelam matahari pada malam (‘Ied) fithr, sebagaimana firman Alloh:

(وَلِتُكْمِلُوا العِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللهَ عَلَى مَاهَدَاكُمْ)

“Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Alloh atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” [QS. Al-Baqoroh:185]

Maka menyempurnakan bilangan adalah dengan tenggelamnya matahari dari malam (‘ied) fithri.” [lihat “Al-Majmu’” (5/30)]

3   Disunnahkan menampakkan takbir ketika malam ‘Iedul Fithr.

Az-Zuhri rohimahulloh mengatakan:

» أظهروا التكبير يوم الفطر ؛ فإنه يوم تكبير«

“Tampakkanlah takbir pada hari (‘Ied) fithr, karena itu adalah hari takbir.” [lihat “Ahkamul ‘Iedain” oleh Al-Firyabi (no.38)]

Ibnu Qudamah rohimahulloh mengatakan:

«يُسْتَحَبُّ لِلنَّاسِ إِظْهَارُ التَّكْبِيْرِ فِي لَيْلَتَي العِيْدَينِ فِي مَسَاجِدِهِمْ وَمَنَازِلِهمْ وَطُرُقِهِمْ مُسَافِرِينَ كَانُوا أَوْ مُقِيْمِيْنَ لِظَاهِرِ الآيةِ الَمذْكُورَةِ»

“Disukai bagi orang-orang menampakkan takbir pada malam dua ‘Ied (‘iedul fithri dan ‘iedul Adha) di masjid, rumah dan jalan-jalan mereka, dalam keadaan musafir maupun muqim sebagaimana dzohir ayat (QS. Al-Baqoroh:185) yang telah disebuntukan.” [Al-Mughni (2/225)]

4     Disunnahkan bertakbir ketika hendak menuju Musholla ‘Ied

عَنِ ابْنِ عُمَرَ: « أَنَّهُ كَانَ يُكَبِّرُ إِذَا غَدَا إِلَى المُصَلَّى يَومَ العِيْدِ«

Dari ‘Ibnu ‘Umar; bahwasanya beliau bertakbir apabila pergi ke Musholla pada hari ‘Ied.” [lihat “Ahkamul ‘Iedain” oleh Al-Firyabi (no.35)]

Ibnu Qudamah rohimahulloh mengatakan:
«وَيُسْتَحَبُّ أَنْ يُكَبِّرَ فِي طَرِيْقِ العِيْدِ وَيَجْهَرُ بِالتَّكْبِيْرِ»

“Disukai untuk bertakbir ketika dalam perjalanan (menuju musholla) ‘Ied serta mengeraskan dengan takbir.” [lihat “Al-Mughni” (2/225)]

5    Kapan akhir waktu takbir ‘Iedul Fithr?

Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rohimahulloh mengatakan:

«فَإِذَا غَابَتِ الشَّمْسُ آخِرُ يَومٍ مِنْ رَمَضَانَ سَنَّ التَّكْبِيرُ المُطْلَقُ مِنَ الغُرُوبِ إِلَى أَنْ تُفْرَغَ الخُطْبَةَ، لَكِنْ إِذَا جَاءَت الصَّلاَةُ فَسَيُصَلِّي الإِنْسَانُ وَيَسْتَمِعُ الخَطْبَةَ بَعدَ ذَلِكَ.وَلِهَذَا قَالَ بَعْضُ العُلَمَاء: مِنَ الغُرُوبِ إِلَى أَنْ يُكَبِّرَ الإِمَامُ لِلصَّلاَةِ».

“Apabila matahari telah terbenam dari hari terakhir Romadhon, di sunnahkan untuk bertakbir secara mutlak dari terbenamnya matahari sampai selesai khutbah, akan tetapi apabila telah datang waktu sholat, manusia menunaikan sholat dan mendengarkan khutbah, oleh karena itu sebagian ‘Ulama berkata: dari terbenamnya matahri sampai imam bertakbir untuk sholat.” [lihat “Syarhul Mumti’” (5/157)]

TANBIH:
takbir mutlak maksudnya adalah setiap saat. Al-Qodhi ‘Iyadh rohimahulloh mengatakan: “Mutlak adalah pada setiap keadaan, di pasar-pasar dan pada setiap saat.” [lihat Al-“Mughni” (2/369)]

6     Lafadz takbir ‘Ied!

Takbir dari ‘Abdulloh bin Mas’ud rodhiyaAllohu anhu dengan sanad shohih:

«اللهُ أَكْبَر، اللهُ أَكْبَر، لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَ اللهُ أَكْبَر اللهُ أَكْبَر وَللهِ الحَمْد»

[HR. Ath-Thobroni dalam “Al-Kabir” (no.9538) Ibnu Abi Syaibah (no.5653) Ibnu Muldzir (4/304) dishohihkan oleh Asy-Syaikh Zayid dalam “Ahkamul ‘Iedain” (no.277)]

Takbir Ibnu ‘Abbas rodhiyaAllohu anhuma dengan sanad shohih:

«اللهُ أَكْبَر كبيرًا، اللهُ أَكْبَر كبيرًا وأَجل، اللهُ أَكْبَر وَللهِ الحَمْد»

[HR. Ibnu Abi Syaibah (1/489) Ibnu Mundzir (4/301) dishohihkan oleh Asy-Syaikh Zayid dalam “Ahkamul ‘Iedain” (no.277)]

Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rohimahulloh mengatakan:

«وَالمَسْأَلَةُ لَيْسَ فِيْهَا نَصٌّ يَفْصِلُ بَينَ المُتَنَازِعَيْنَ مِنْ أَهْلِ العِلْمِ، وَإِذَا كَانَ كَذِلَكَ فاَلأَمْرُ فِيْهِ سَعَةٌ، إِنْ شِئْتَ فَكَبِّرْ شَفْعًا، وَإِنْ شِئْتَ فَكَبِّرْ وِتْرًا، وَإِنْ شِئْتَ وِتْرًا فِي الأُولَى وَشَفْعًا فِي الثَّانِيَةِ».

“Dan pada permasalahan ini tidak ada nash yang menerangkan di antara yang berselisih dari Ahlul ‘Ilmi. Dan kalau perkaranya seperti ini, maka permasalahan dalam hal ini ada keleluasaan, terserah engkau mau bertakbir dengan genap, atau engkau ingin bertakbir dengan witir, atau engkau ingin witir di awal dan dengan bilangan genap di kedua.” [lihat “Asy-Syarhul Mumti’” (5/171)]

7      Hukum takbir ‘Ied bagi wanita!

 Ibnu Rojab rohimahulloh mengatakan:
«وَلاَ خِلَافَ فِي أَنَّ النِّسَاءَ يُكَبِّرْنَ مَعَ الرِّجَالِ تَبَعًا ، إِذَا صَلَّيْنَ مَعَهُمْ جَمَاعَةً ، وَلَكِنْ المَرْأَةُ تَخْفِضُ صَوْتَهَا بِالتَّكْبِيْرِ» .

“Tidaklah ada khilaf bahwa wanita bertakbir bersama lelaki dengan keadaan mengikuti saja, apabila mereka (wanita) sholat bersama para lelaki dengan berjama’ah, akan tetapi seorang wanita hendaknya melirihkan suaranya ketika bertakbir.” (lihat “Fathul Bari” oleh Ibnu Rojab (9/27)]

8     Hukum takbir ‘Ied berbarengan!

Asy-Syaikh bin Baz rohimahulloh mengatakan:

وَالتَّكْبِيُر الجَمَاعِي مُحْدَثٌ فَهُوَ بِدْعَةٌ. وَعَمَلُ النَّاسِ إِذَا خَالَفَ الشَّرْعَ المُطَهَّرَ وَجَبَ مَنْعُهُ وَإِنْكَارُهُ ؛ لِأَنَّ العِبَادَاتِ تَوْقِيْفِيَّةٌ لاَ يُشْرَعُ فِيْهَا إِلَّا مَا دَلَّ عَلَيهِ الكِتَابُ وَالسُّنَّةُ ، أَمَّا أَقْوَالُ النَّاسِ وَآرَاؤُهُمْ فَلاَ حُجَّةَ فِيهَا إِذَا خَالَفَتْ الأَدِلَّةُ الشَّرْعِيَّةُ... الى قوله:
وَإِنَّمَا هُوَ مِنَ التَكْبِيْرِ المَشْرُوعِ ؛ .. كُلٌّ يُكَبِّرُ عَلَى حَالِهِ»

“Takbir bersama-sama muhdats dan itu adalah bid’ah. Dan perbuatan manusia apabila menyelisihi syari’at yang suci ini wajib untuk di cegah dan di ingkari. Karena ibadah-ibadah ini tauqifiyyah, tidak di syari’atkan kecuali apa yang di tunjukkan oleh Al-Kitab dan As-Sunnah, adapun perkataan manusia dan pendapatnya bukanlah hujjah apabila menyelisihi dalil-dalil syar’i…-sampai perkataan beliau t-: dan yang di syari’atkan adalah seorang muslim bertakbir dengan sifat yang di syari’atkan secara pasti dengan dalil-dalil syar’iyyah yang itu adalah takbir dengan sendiri-sendiri…” [lihat “Kitab Ath-Thoharoh wa Ash-Sholat” (2/219)]

9     Hukum takbir ‘Ied dengan pengeras suara pada setiap selesai Adzan?

Di tanya Syaikhuna Yahya Al-Hajuri hafidzohulloh:
Apa hukum takbir di pengeras suara pada hari-hari ‘Ied pada setiap selesai adzan?

Jawab Asy-Syaikh hafidzohulloh:

«بِهَذِهِ الصِّفَةِ مُحْدَثٌ، يُسْتَحَبُّ لِلعِيدِ سَوَاءٌ فِي السُّوقِ أَو فِي البَيْتِ أَوْ فِي الطَّرِيْقِ أَوْ عَلَى السَّيَّارَةِ أَوْ عَلَى الفِرَاشِ أَوْ مَا إِلَى ذَلِكَ، يُكَبِّرُ، وَأَمَّا تَحَرِّي اتِّفَاقُ الأَصْوَاتِ مَا عَلَيهِ دَلِيْلٌ، وَأَمَّا تَحَرِّي أَنْ يَقُومَ شَخْصٌ يُكَبِّرُ عَلَى المِيكْرُفُونَ فَهَذَا أَيْضًا خَطَأٌ؛ هُوَ لَيْسَ أَذَانًا يُطْلَبُ إِسْمَاعُ النَّاسِ إِيَّاهُ».

“Dengan sifat seperti ini muhdats, disukai (mustahab) ketika ‘Ied; sama saja apakah di pasar, di rumah, di jalan, di kendaraan, di kasur atau dimanapun untuk bertakbir. Adapun terus menerus untuk berbarengan suara, (maka) tidak terdapat padanya dalil. Adapun  terus menerusnya seseorang untuk bertakbir di mikrofun, ini juga salah, karena hal itu (takbir) bukanlah adzan yang di tuntut diperdengarkan manusia tentang hal itu.” [lihat “Kanzuts Tsamin” (2/476)]


ust. Fuad Hasan Abu Muhammad ngawi

ZAKAT FITHROH


بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

SILSILAH ‘IEDUL FITHRI


ZAKAT FITHROH

1       Asal penamaan zakat fithroh.

Ibnu Qudamah rohimahulloh mengatakan:
«وَأُضِيْفَتْ هَذِهِ الزَّكَاةُ إِلَى الفِطْرِ لِأَنَّهَا تَجِبُ بِالفِطْرِ مِنْ رَمَضَانَ»

“Disandarkan (kalimat) zakat kepada fithr karena (hal tersebut) wajib dengan sebab fithr (berbuka) setelah Romadhon.” [lihat “Mughni” (2/646)]

Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rohimahulloh mengatakan:
«المَقْصُودُ بِزَكَاةِ الفِطْرِ : صَاعٌ مِنْ طَعَامٍ ، يُخْرِجُهُ الإِنْسَانُ عِندَ انْتِهَاءِ رَمَضَانَ».

“Yang dimaksud dengan zakat fithroh adalah satu sho’ makanan yang dikeluarkan seorang insan ketika selesai dari Romadhon.” [lihat “Fiqhul ‘Ibadaat” (hal.238)]

2       Awal mula diwajibkan zakat fithroh.

Asy-Syaikh ‘Abdulloh Alu Bassam rohimahulloh berkata:
«فُرِضَتْ فِي السَّنَةِ الَّتِي فُرِضَ فِيْهَا صِيَامُ رَمَضَانَ، وَهِيَ السَّنَةُ الثَّانِيَةُ لِلْهِجْرَةِ»

“Diwajibkan pada tahun yang padanya diwajibkan puasa Romadhon, yang itu adalah tahun kedua dari hijroh.” [lihat “Nailul Maarib” (2/389)]




3       Wajibnya zakat fithroh. Alloh ta’ala berfirman:
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّى (14) وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّى.

“Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman), Dan dia ingat nama Robbnya, lalu Dia (menegakkan) sholat.” [QS. Al-A’la:14-15]

عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرِّ وَالذَّكَرِ وَالْأُنْثَى وَالصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ مِنْ الْمُسْلِمِينَ وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلَاةِ .

Dari 'Abdullah bin 'Umar radliallahu 'anhuma berkata: “Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithri satu sho' dari kurma atau sho' dari gandum bagi setiap hamba sahaya (budak) maupun yang merdeka, laki-laki maupun perempuan, kecil maupun besar dari kaum Muslimin. Dan Beliau memerintahkan agar menunaikannya sebelum orang-orang berangkat untuk shalat ('Ied) ". [HR. Al-Bukhori (no.1511) Muslim (no.984)]

Al-Baihaqi rohimahulloh mengatakan:
«وَقَدْ أَجْمَعَ العُلَمَاءُ عَلَى وُجُوبِ صَدَقَة الفِطْرِ».

“Para ‘Ulama telah sepakat atas wajibnya shodaqoh fithroh.” [dinukil dari “Al-Majmu’ Syarhul Muhaddzab” (6/104)]

4       Hikmah dari zakat fitrah

 ﻋَﻦْ ﺍﺑْﻦِ ﻋَﺒَّﺎﺱٍ ﻗَﺎﻟَ ﻔَﺮَﺽَ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﺯَﻛَﺎﺓَ ﺍﻟْﻔِﻂْﺮِ ﻃُﻬْﺮَﺓً ﻟِﻠﺼَّﺎﺋِﻢِ ﻣِﻦْ ﺍﻟﻠَّﻐْﻮِ ﻭَﺍﻟﺮَّﻓَﺚِ ﻭَﻃُﻌْﻤَﺔً ﻟِﻠْﻤَﺴَﺎﻛِﻴﻦِ ﻣَﻦْ ﺃَﺩَّﺍﻫَﺎ ﻗَﺒْﻞَ ﺍﻟﺼَّﻼَﺓِ ﻓَﻬِﻲَ ﺯَﻛَﺎﺓٌ ﻣَﻘْﺒُﻮﻟَﺔٌ ﻭَﻣَﻦْ ﺃَﺩَّﺍﻫَﺎ ﺑَﻌْﺪَ ﺍﻟﺼَّﻼَﺓِ ﻓَﻬِﻲَ ﺻَﺪَﻗَﺔٌ ﻣِﻦْ ﺍﻟﺼَّﺪَﻗَﺎﺕِ

Dari Ibnu Abbas, ia berkata; “Rosululloh shollAllohu 'alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitrah untuk mensucikan orang yang berpuasa dari bersenda gurau dan kata-kata keji, dan juga untuk memberi makan miskin. Barangsiapa yang menunaikannya sebelum shalat maka zakatnya diterima dan barangsiapa yang menunaikannya setelah shalat maka itu hanya sedekah diantara berbagai sedekah.” [HR. Abu Dawud (no.1069) dengan sanad hasan]

Asy-Syaikh Al-Bassam rohimahulloh:
«فَهِيَ تَرْفَعُ خَلَلُ الصِّيَامِ، وَهَكَذَا كُلُّ عِبَادَةٍ تَتَعَلَّقُ بِعِبَادَةٍ أُخْرَى، فَإِنَّهَا تَكُونُ مُكَمِّلَةٌ لَهَا، وَمُتَمِّمَةٌ لِمَا نَقَصَ مِنْهَا»

"Zakat fitrah (itu) melengkapi kekurangan amalan puasa, begitu juga setiap ibadah yang berkaitan dengan ibadah lainnya, akan melengkapi serta menambahi apa yang kurang dari ibadah tersebut." [lihat "Nailul Maarib" (2/389)]

5       Orang-orang yang diwajibkan baginya untuk mengeluarkan zakat fithroh.

Ibnu Qudamah rohimahulloh mengatakan:
«زَكَاةُ الفِطْرِ تَجِبُ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ مَعَ الصَّغِيْرِ وَالكَبِيْرِ وَالذُّكُورِيَّةِ وَالاُنُوثِيَّةِ فِي قَولِ أَهْلِ العِلْمِ عَامَّةٌ وَتَجِبُ عَلَى اليَتِيْمِ وَيَخْرُجُ عَنْهُ وَلِيُّهُ مِنْ مَالِهِ لَا نَعْلَمُ أَحَدًا خَالَف فِي هَذَا إِلَّا مُحَمَّدُ بْنِ الحَسَن».

“Zakat fithroh wajib bagi setiap muslim dalam keadaan ia kecil atau besar, lelaki atau perempuan sebagaimana dalam pendapat kebanyakan Ahlul ‘ilmi. Dan wajib juga bagi anak Yatim, zakatnya dikeluarkan walinya dari hartanya, (maka ini) kami tidaklah mengetahui padanya perselisihan kecuali Muhammad bin Hasan.” [lihat “Al-Mughni”]

6       Sebab diwajibkannya zakat fithroh.

«وَسَبَبُهَا إِظْهَارُ شُكْرِ نِعْمَةِ اللهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَلَى العَبْدِ بِالفِطْرِ مِنْ رَمَضَانَ وَإِكْمَالِهِ ، وَلِهَذَا سُمِّيَتْ صَدَقَةُ الفِطْرِ أَوْ زَكَاةُ الفِطْرِ لِأَنَّهَا تُنْسَبُ إِلَيهِ وَهَذَا سَبَبُهَا الشَّرْعِي ، أَمَّا سَبَبُهَا الوَضْعِي ، فَهُوَ أَنَّهُ إِذَا غَابَتِ الشَّمْسُ مِنْ لَيْلَةِ العِيْدِ وَجَبَتْ ، فَلَو وُلِدَ لِلإِنْسَانِ وَلَدٌ بَعْدَ مَغِيْبِ الشَّمْسِ لَيْلَةَ العِيْدِ لَمْ تَلْزَمُهُ فِطْرَتُهُ ، وَإِنَّمَا تُسْتَحَبُّ ، وَلَو مَاتَ الإِنْسَانُ قَبْلَ غُرُوبِ الشَّمْسِ لَيْلَةَ العِيْدِ لَمْ تَجِبْ فِطْرَتُهُ أَيضًا ؛ لِأَنَّهُ مَاتَ قَبْلَ وُجُودِ سَبَبِ الوُجُوبِ»

“Sebab zakat fithroh adalah menampakkan rasa syukur nikmat Alloh atas hambanya dengan fithr (berbuka) dari romadhon serta menyempurnakannya, oleh karena itu dinamakan dengan shodaqoh fithr atau zakat fithr, karena dinisbatkan kepada hal tersebut dan ini adalah sebab syar’inya.

Adapun sebab wadh’I (berkaitan dengan waktu), adalah apabila terbenam matahari pada malam ‘ied maka telah diwajibkan (baginya zakat fithroh). Maka kalau seandainya ada seorang yang baru saja mempunyai anak sebelum terbenamnya matahari pada malam ‘Ied maka dia tidaklah diwajibkan baginya (zakat) fithroh, akan tetapi hanya mustahab. Dan kalau seandainya ada seseorang meninggal dunia sebelum terbenamnya matahari malam ‘Ied, maka tidaklah wajib baginya untuk (menunaikan) zakat fithrohnya, karena ia meninggal sebelum terjadi sebab pengwajiban.” [lihat “Fiqhul ‘Ibadaat” (hal.211)]

7       Kadar wajib dalam zakat fithroh.

Abul Faroj Ad-Darimi al-Bandaniijii mengatakan:
أَنَّ الْوَاجِبَ إِخْرَاجُ صَاعٍ مُعَايَرٍ بِالصَّاعِ الَّذِي كَانَ يُخْرَجُ بِهِ زَمَنَ رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَذَلِكَ الصَّاعُ مَوْجُودٌ ، وَمَنْ لَمْ يَجِدْهُ وَجَبَ عَلَيْهِ الاِسْتِظْهَارُ بِأَنْ يُخْرِجَ مَا يَتَيَقَّنُ أَنَّهُ لاَ يُنْقِصُهُ عَنْهُ

“Yang wajib adalah mengeluarkan satu sho’ (pada zakat) yang ditentukan dengan sho yang dengannya dikeluarkan pada zaman Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam, dan itu adalah sho’ yang terdapat sekarang ini. Dan barang siapa yang tidak mendapati sho’ (seperti itu), maka wajib baginya untuk menampakkan apa-apa yang dikeluarkan (zakatnya) dari apa yang ia yakin padanya serta tidak mengurangi dari (kadar wajib).” [lihat “Al-Qowanin Al-Fiqhiyyah” (hal.76) dll] 
Syaikhul Islam rohimahulloh mengatakan:
«وَالصَّاعُ أَرْبَعَةُ امْدَادٍ بِمَدِّ النَّبِيِّ».

“Sho’ adalah 4 mud dengan mudnya Nabi.” [lihat “Majmu’ Fatawa” (25/23)]

Ad-Dawudi rohimahulloh mengatakan:
«مِعْيَارُهُ لاَ يَخْتَلِفُ أَرْبَعُ حَفَنَاتٍ بِكَفَّيِ الرَّجُل الَّذِي لَيْسَ بِعَظِيمِ الْكَفَّيْنِ وَلاَ صَغِيرِهَا . وَقِيل : هُوَ إِنَاءٌ يُشْرَبُ فِيهِ»

“Ukurannya tidaklah jauh berbeda dari 4 cakupan dengan dua telapak tangan seorang yang tidaklah besar kedua telapak tangannya dan tidak pula kecil. Ada yang mengatakan: itu adalah bejana yang dibuat minum.” [lihat “Qomus Al-Muhith” dll]


⚠TANBIH PERTAMA👇:
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rohimahulloh mengatakan:
فَالمُهِمُّ أَنَّنَا إِذَا قَدَّرْنَا زَكَاةَ الفِطْرِ بِالكِيْلُو فَلَيْسَ مَعْنَى ذَلِكَ أَنَّ التَّقْدِيْرَ عَامٌ فِي كُلِّ شَيءٍ، لِأَنَّ العِبْرَةَ بِالكَيْلِ الحَجْمِ دُوْنَ الوَزْنِ»

“Almuhim bahwa kami apabila menentukan zakat fithroh dengan kilo, maka bukanlah maknanya hal tersebut itu adalah penentuan pada segala sesuatu, karena tolak ukurnya adalah timbangan jumlah bukan berat timbangan.” [lihat “Majmu’ Fatawa wa Rosa’il Ibnu Utsaimin” (18/189)]

⚠TANBIH KEDUA👇:
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rohimahulloh mengatakan:
«لاَ يُمْكِنُ أَنْ يُقَدِّرَ النَّاسُ الفِطْرَةَ بِوَزْنٍ مُعَيَّنٍ فِي كُلِّ الطَّعَامِ، وَلَوْ فَعَلْنَا ذَلِكَ لَكُنَّا مُخْطِئِيْنَ».

“Tidak mungkin kita tentukan (zakat) fithroh orang-orang dengan ukuran berat tertentu pada setiap makanan, kalau kita lakukan hal tersebut maka sungguh kita telah salah.” [lihat “Majmu’ Fatawa wa Rosa’il Ibnu Utsaimin” (18/189)]

8       Boleh bagi kepala keluarga untuk membayarkan zakat keluarganya.

Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rohimahulloh mengatakan:
«إِذَا أَرَادَ قَيِّمُ العَائِلَةِ أَنْ يَخْرُجَ الزَّكَاةَ عَنْ عَائِلَتِهِ فَلَا حَرَجَ فِي ذَلِكَ. فَإِذَا كاَنَ هَذَا الرَّجُلُ لَهُ أَبٌ يُنْفِقُ عَلَيهِ، يَرْغَبُ فِي الزَّكَاةِ عَنْهُ أَي عَنْ ابْنِه فَلَا حَرجَ فِي ذَلِكَ وَلاَ بَأْسَ بِهِ».

“Apabila orang yang mengurusi keluarga hendak mengeluarkan zakat keluarganya, maka tidaklah mengapa hal tersebut. Dan apabila seorang tersebut mempunyai bapak yang memberikan infaq kepadanya, serta berkeinginan untuk mengeluarkan zakat untuknya -yakni kepada anaknya- maka tidaklah ada dosa padanya dan tidaklah mengapa hal tersebut.” [lihat “Majmu’ Fatawa wa Rosa’il Ibnu Utsaimin” (18/261)]

9       Tidak ada zakat fithroh bagi orang kafir.

عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرِّ وَالذَّكَرِ وَالْأُنْثَى وَالصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ مِنْ الْمُسْلِمِينَ وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلَاةِ .

Dari 'Abdullah bin 'Umar radliallahu 'anhuma berkata: “Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithri satu sho' dari kurma atau sho' dari gandum bagi setiap hamba sahaya (budak) maupun yang merdeka, laki-laki maupun perempuan, kecil maupun besar dari kaum Muslimin. Dan Beliau memerintahkan agar menunaikannya sebelum orang-orang berangkat untuk shalat ('Ied) ". [HR. Al-Bukhori (no.1511) Muslim (no.984)]

Al-Hafidz rohimahulloh mengatakan:
«وَاسْتَدَلَّ بِهَذِهِ الزِّيَادَةِ عَلَى اشْتِرَاطِ الإِسْلاَمِ فِي وُجُوبِ زَكَاةِ الفِطْرِ وَمُقْتَضَاهُ أَنَّهَا لاَ تَجِبُ عَلَى الكَافِرِ عَنْ نَفْسِهِ وَهُوَ أَمْرٌ مُتَّفَقٌ عَلَيهِ».

“Telah berdalil dengan lafadz tambahan (minal muslimin) tersebut tentang disyaratkannya Islam tentang wajibnya zakat atas orang kafir bagi dirinya dan itu adalah perkara yang telah disepakati.”  [lihat “Fathul Bari” (3/370)]

10     Tidak ada zakat bagi janin.

Ibnul Mundzir rohimahulloh mengatakan:
«وَأَجْمَعُوا عَلَى أَنْ لاَ زَكَاةَ عَلَى الجَنِيْنِ فِي بَطْنِ أُمِّهِ، وَانْفَرَدَ ابْنُ حَنْبَل: فَكَانَ يُحِبُّهُ وَلاَ يُوجِبُهُ».

“Mereka bersepakat tentang tidak adanya zakat bagi janin yang (masih) di dalam perut ibunya, telah menyendiri Ibnu Hanbal: Ia menyukainya dan tidaklah mewajibkannya.” [lihat “Al-Ijma’” (hal.6)]

11     Tidak ada zakat bagi orang yang tidak punya apa-apa sama sekali.

Ibnul Mundzir rohimahulloh mengatakan:
«وَأَجْمَعُ كُلُّ مَنْ نَحْفَظُ عَنْهُ مِنْ أَهْلِ العِلْمِ عَلَى أَنْ لاَ شَيءَ لَهُ فَلَا فِطْرَةَ عَلَيهِ».

“Telah bersepakat orang-orang yang kita ketahui dari Ahlu ‘ilmi bahwa tidak ada zakat bagi orang yang tidak mempunyai apa-apa sama sekali.” [lihat “Al-Isyroof” (3/74)]

Syaikh Zayid Al-Wushobi waffaqohulloh mengatakan:
«زَكَاةُ الفِطْرِ تَجِبُ عَلَى مَنْ مَلَكَ فَاضِلًا عَنْ قُوتِهِ، وَقُوتِ مَنْ تَلْزَمُهُ نَفَقَتُهُ يَوْمَ العِيْدِ وَلَيْلَتِهِ، وَهُوَ قَولُ جُمْهُوْر أَهْلِ العِلْمِ».

“Zakat fithroh wajib bagi siapa saja yang memiliki kelebihan dari makan pokoknya, dan dari makanan pokok orang-orang yang menjadi tanggungan nafkahnya pada hari ‘ied dan malamnya, dan ini adalah pendapat Jumhur Ahlul ‘Ilmi.” [lihat “Miskul Khitam” (2/387)] 

12     Wajib menyerahkan zakat fithroh ketika munculnya fajr pada hari ‘Ied.

Dari Ibnu ‘Umar rodhiyaAllohu anhuma mengatakan:
وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلَاةِ

“Dan Beliau memerintahkan agar menunaikannya sebelum orang-orang berangkat untuk shalat ('Ied).” [HR. Al-Bukhori (no.1511) Muslim (no.984)]

13     Dibolehkan mendahulukan dalam mengeluarkan zakat fithroh dua atau sehari sebelum ‘Ied.

وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يُعْطِيهَا الَّذِينَ يَقْبَلُونَهَا وَكَانُوا يُعْطُونَ قَبْلَ الْفِطْرِ بِيَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ .
“Dahulu ‘Ibnu ‘Umar rodhiyaAllohu anhuma memberikan kepada siapa saja yang menerimanya dan mereka menyerahkan sebelum (Ied) fithri sehari atau dua hari sebelumnya.” [HR. Al-Bukhori (no.1511)]

Ibnu Qudamah rohimahulloh mengatakan:
«وَهَذَا اِشَارَةٌ إِلَى جَمِيْعِهِمْ فَيَكُونُ إِجْمَاعًا وَلِأَنَّ تَعْجِيلَهَا بِهَذَا القَدْرِ لاَ يَخِلُّ بِالمَقْصُودِ مِنْهَا فَاِنَّ الظَّاهِرَ أَنَّهَا تَبْقَى أَوْ بَعْضَهَا إِلَى يَومِ العِيْدِ فَيَسْتَغْنِى بِهَا عَنِ الطَّوَافِ وَالطَّلَبِ فِيهِ».

“Ini adalah isyarat untuk keseluruhan mereka, maka ini menjadi ijma’ karena mendahulukannya dengan kadar (waktu) seperti itu tidaklah mengurangi maksud tujuan darinya. Karena dzohirnya tetap ada atau sebagiannya pada hari ‘Ied, yang dengannya dicukupkan dari dari berkeliling dan mencari pada perkara tersebut.” [lihat “Al-Mughni” (3/68)]

14     Tidak boleh mengakhirkan mengeluarkan zakat fithroh setelah sholat ‘Ied.

ﻋَﻦْ ﺍﺑْﻦِ ﻋَﺒَّﺎﺱٍ ﻗَﺎﻟَ :ﻣَﻦْ ﺃَﺩَّﺍﻫَﺎ ﻗَﺒْﻞَ ﺍﻟﺼَّﻼَﺓِ ﻓَﻬِﻲَ ﺯَﻛَﺎﺓٌ ﻣَﻘْﺒُﻮﻟَﺔٌ ﻭَﻣَﻦْ ﺃَﺩَّﺍﻫَﺎ ﺑَﻌْﺪَ ﺍﻟﺼَّﻼَﺓِ ﻓَﻬِﻲَ ﺻَﺪَﻗَﺔٌ ﻣِﻦْ ﺍﻟﺼَّﺪَﻗَﺎﺕِ

Dari Ibnu Abbas, ia berkata; “Barangsiapa yang menunaikannya sebelum sholat maka zakatnya diterima dan barangsiapa yang menunaikannya setelah sholat maka itu hanya sedekah diantara berbagai sedekah.” [HR. Abu Dawud (no.1069) dengan sanad hasan].

15     Hal-hal yang diperbolehkan untuk mengeluarkan zakat fithroh.

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيَّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: كُنَّا نُخْرِجُ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ طَعَامٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ أَقِطٍ أَوْ صَاعًا مِنْ زَبِيب

Dari Abu Sa’id Al-Khudarii rodhiyaAllohu anhu mengatakan: kami dahulu mengeluarkan zakat fithroh satu sho’ dari makanan, atau satu sho’ dari sya’iir (gandum) atau satu sho’ dari kurma atau satu sho’ dari Aqith (susu kering) atau satu sho’ dari kismis. [HR. Al-Bukhori (no.1506) Muslim (no.980)]

Syaikhul Islam rohimahulloh mengatakan:
«يُجْزِئُهُ فِي الفِطْرَةِ مِنْ قُوتِ بَلَدِهِ مِثْل الأَرُز وَغَيْرِهِ وَلَو قَدَرَ عَلَى الأَصْنَافِ المَذْكُورَةِ فِي الحَدِيْثِ وَهُوَ رِوَايَةٌ عَنْ أَحْمَدَ وَقَولِ أَكْثَرِ العُلَمَاءِ».

“Dibolehkan baginya ketika berzakat fithroh dari makanan pokok negerinya seperti nasi dan selainnya walaupun ia mampu untuk berzakat dengan macam-macam yang (telah) disebuntukan dalam hadits, dan ini adalah salah satu riwayat dari Ahmad dan kebanyakan para ‘Ulama.” [lihat “Al-Ikhtiyaroot” (hal.455)]

16     Zakat fithroh diperuntukkan untuk orang miskin.

Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rohimahulloh ditanya tentang: “Kepada siapakah zakat fithroh ini diserahkan?”

jawaban beliau:
لَيْسَ لَهَا إِلاَّ مَصْرَفٌ وَاحِدٌ فَقَطْ وَهُمُ الفُقَرَاءُ ، كَمَا فِي حَدِيْثِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا ، قَالَ : فَرَضَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الفِطْرِ ، طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَفَثِ وَطُعْمَةً لِلمَسَاكِينَ.

“Tidaklah diberikan kecuali kepada satu penyaluran saja; yaitu para fuqoro’, sebagaimana hadits Ibnu ‘Abbas rodhiyaAllohu anhuma beliau mengatakan: Rosululloh telah mewajibkan zakat fithroh, untuk membersihkan orang yang berpuasa dari perkataan sia-sia dan perbuatan keji dan memberi makan kepada orang-orang miskin.” [lihat “Fiqhul ‘Ibadaat” (hal.213)]

17     Hukum menyalurkan zakat fithroh di tempat lain.

Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rohimahulloh mengatakan:
«نَقْلُ صَدَقَةِ الفِطْرِ إِلَى بِلاَدٍ غَيرِ بِلاَدِ الرَّجُلِ الَّذِي أَخْرَجَهَا إِنْ كَانَ لِحَاجَةٍ بِأَنْ لَمْ يَكُنْ عِنْدَهُ أَحَدٌ مِنَ الفُقَرَاءِ ، فَلاَ بَأْسَ بِهِ ، وَإِنْ كَانَ لِغَيرِ حَاجَةٍ بِأَنْ وُجِدَ فِي البَلَدِ مَنْ يَتَقَبَّلُهَا فَإِنَّهُ لاَ يَجُوزُ».

“Memindahkan shodaqoh fithr ke negeri selain negeri seorang tersebut yang mengeluarkannya, apabila ada kebutuhan yang disitu tidak ada seorang pun dari fuqoro’ maka tidaklah mengapa. Dan apabila tanpa ada kebutuhan yang kondisi disitu terdapati padanya orang yang menerimanya, maka yang seperti itu tidak boleh.” [lihat “Fiqhul ‘Ibadaat” (hal.239)]

18     Zakatnya karyawan adalah tanggungannya sendiri.

Asy-Syaikh Ibnu Baz rohimahulloh mengatakan:
يَجِبُ عَلَى المُسْلِمِ إِخْرَاجُهَا عَنْ نَفْسِهِ وَأَهْلِ بَيْتِهِ : مِنْ أَوْلاَدِهِ ، وَزَوْجَاتِ ، وَمَمَالِيْكِهِ ، إِذَا فُضِلَت عَن قُوتِهِ وَقُوتِهِمْ يَوْمِهِ وَلَيلَتِهِ .أَمَّا الخَادِمُ المُسْتَأْجِرُ فَزَكَاتُهُ عَلَى نَفْسِهِ إِلَّا أَنْ يَتَبَرَّعَ بِهَا المُسْتَأْجِرُ أَوْ تَشْتَرِطُ عَلَيهِ أَمَّا الخَادِمُ المَمْلُوكُ فَزَكَاتُهُ عَلَى سَيِّدِهِ»

“Wajib bagi seorang muslim untuk mengeluarkannya untuk dirinya dan keluarganya; dari anak-anak, istri-istri, budak-budaknya, apabila (ia) mempunyai kelebihan bahan pokok untuknya dan bahan pokok mereka pada sehari semalamnya. Adapun karyawan, maka zakatnya adalah menjadi tangggungannya sendiri kecuali kalau ada seorang yang menyumbang untuk zakat fithroh dari orang yang memerkerjakannya atau ia menyaratkan kepadanya. Adapun seorang budak pembantu, maka zakatnya adalah tanggungan tuannya.” [lihat “Tuhfatul Ikhwan” (hal.197)]

22     Tidak boleh menyerahkan zakat fithroh dengan uang, pakaian dll.

Allamah Ibnu Baz rahimahullah mengatakan:
«وَلاَ يَجُوزُ إِخْرَاجُ القِيْمَةِ عِنْدَ جُمْهُورِ أَهْلِ العِلْمِ وَهُوَ أَصَحُّ دَلِيْلًا، بَل الوَاجِبُ إِخْرَاجُهَا مِنَ الطَّعَامِ كَمَا فَعَلَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَبِذَلِكَ قَالَ جُمْهُورُ الأُمَّةِ».
“Tidak boleh mengeluarkan zakat dengan (uang) senilai makanan tersebut, menurut pendapat Jumhur Ahli Ilmi,  dan ini lebih benar dari sisi dalil. Bahkan wajib (baginya) untuk mengeluarkan dengan bentuk makanan,  sebagaimana dilakukan oleh Nabi shallahu alaihi wa sallam maka oleh karena itu, ini adalah pendapat jumhur ummat ini.  [lihat "Majmu Fatawa Ibnu Baz" (14/202)]



Faedaj dari ust.fuad hasan ngawi