HUKUM RINGKAS SEPUTAR QUNUT NAZILAH

Makna Qunut
Qunut dalam bahasa Arab mempunyai banyak arti. Diantaranya mempunyai arti : “Taat, Khusyu’, Sholat, Doa, Ibadah, Berdiri, Lama berdiri dalam sholat, dan Diam.”
Al-Ambari rohimahulloh berkata : “Qunut itu ada empat macam makna : Sholat, Lama Berdiri dalam sholat, Menegakkan Ketaatan (benar-benar melakukan amal ketaatan), dan Diam.” (lihat An-Nihayah fii Goribil Hadits wal Atsar, 4/96)
Adapun yang dimaksud disini adalah doa di dalam sholat, yang dilakukan setelah bangkit dari ruku’ pada roka’at  terakhir setiap sholat-sholat fardhu, atau pada roka’at terakhir dari sholat witir.
Yang dimaksud dengan Nazilah disini adalah peristiwa atau kejadian besar (luar biasa) yang dialami oleh kaum muslimin, apakah itu berupa bencana/musibah, serangan musuh atau peperangan, dan lain-lainnya.
Dalil-Dalil tentangnya
Banyak sekali dalil-dalil yang menunjukkan disyari’atkannya hal itu, diantaranya adalah hadits Anas bin Malik rodhiyallohu ‘anhu, dia berkata : “Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam mendoakan kejelakan terhadap orang-orang yang membunuh para sahabatnya di Bi’ruma’unnah selama 30 hari, beliau mendoakan kejelekan terhadap kabilah Ri’il, Dzakwan, Lihyan dan Ushoyyah, yang mereka telah durhaka kepada Alloh dan Rosul-Nya…..” (HR Muslim no. 677)
Dalam riwayat lainnya : “Bahwa Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam melakukan qunut selama satu bulan, setelah bangkit dari ruku’, beliau mendoakan kejelekan kepada suatu kabilah dari beberapa kabilah bangsa arab, kemudian setelah itu beliau meninggalkannya.” (HR Imam Al-Bukhori no. 4089 dan Muslim no. (677) (204) )
Dalam riwayat lainnya disebutkan, beliau berdoa : “Ya Alloh, laknatlah Lihyan, Ri’il, Dzakwan dan Ushoiyyah, yang mereka telah durhaka kepada Alloh dan Rosul-Nya.”Anas berkata : “Kemudian sampailah berita kepada kami bahwa beliau meninggalkan qunut nazilah tersebut ketika turun ayat :
لَيْسَ لَكَ مِنَ الأمْرِ شَيْءٌ أَوْ يَتُوبَ عَلَيْهِمْ أَوْ يُعَذِّبَهُمْ فَإِنَّهُمْ ظَالِمُونَ (١٢٨)
“Tak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu atau Allah menerima taubat mereka, atau mengazab mereka karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang zalim.” (QS Ali Imron : 128) (HR  Imam Muslim no. 274)
Dalam hadits Ibnu Abbas rodhiyallohu ‘anhuma, dia berkata : “Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam melakukan qunut nazilah terus menerus selama satu bulan, pada sholat dhuhur, ashar, maghrib, isya’ dan shubuh, di akhir sholat apabila beliau mengucapkan : “Sami’allohu liman hamidah”, dari roka’at yang terakhir, beliau mendoakan kebinasaan atas mereka, yakni atas kabilah Bani Sulaim, Ri’il, Dzakwan, dan Ushoiyyah, dan orang-orang yang di belakang beliau (yakni para makmum) mengaminkannya, (dan sebab beliau melakukan qunut ini adalah) beliau mengutus para sahabat kepada mereka (kabilah-kabilah yang tersebut di atas) untuk mendakwahi mereka kepada Islam, tetapi ternyata kemudian mereka membunuhnya.”(HR Imam Ahmad dalam Al-Musnad (1/301), Ibnu Khuzaimah dalam As-Shohih (no. 618) dan yang selainnya, sanadnya shohih, dishohihkan oleh Syaikh Al-Albani rohimahulloh dalam Irwa’ul Gholil (2/163) dan juga guru kami, Syaikh Muhammad bin Hizam hafidzhohulloh dalam Fathul Allam, 1/773)   
Dan masih banyak dalil-dalil lainnya. Berdasarkan dalil-dalil tersebut, maka jumhur ulama berpendapat disunnahkannya melakukan qunut nazuilah ketika terjadi musibah yang menimpa kaum muslimin, seperti ketika terjadi peperangan yakni diserangnya kaum muslimin oleh orang-orang kafir dan yang lainnya. Qunut nazilah itu bentuknya adalah mendoakan kebaikan atau kemenangan untuk kaum muslimin, dan mendoakan kehancuran atau kekalahan di pihak kaum kafirin atau musyrikin yang memerangi kaum muslimin.
(lihat : Syarh Al-Muhadzdzab (3/494) dan Al-Mughni (2/586-587) )
Pada sholat yang manakah qunut nazilah itu dilakukan ?
Dalam masalah ini ada beberapa pendapat para ulama sebagai berikut :
Pertama : Qunut Nazilah itu dilakukan secara khusus pada waktu sholat fajr / sholat shubuh saja, bukan pada waktu sholat-sholat lainnya. Ini pendapat Imam Ahmad dan Ishaq rohimahulloh. Dalilnya adalah hadits Anas bin Malik sebagaimana disebutkan dalam shohih Al-Bukhori dan Muslim dan yang lainnya, disebutkan dengan taqyid (kepastian) bahwa beliau melakukan itu pada saat Sholat Fajr (Sholat Shubuh). (HRImam Al-Bukhori no. 1001Muslim no. 675 dan 677 (298, 299) )
Kedua : Qunut Nazilah itu dilakukan hanya pada waktu sholat Shubuh dan Sholat Maghrib saja, karena kedua sholat ini adalah sholat yang bacaan Al-Qur’annya dibaca dengan jahr (keras/nyaring), pada kedua ujung siang. Ini adalah pendapatnya Abul Khoththob Al-Hambali rohimahulloh. Dalilnya adalah hadits Anas bin Malik rodhiyallohu ‘anhu dalam As-Shohihain : “Bahwa Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam melakukan qunut pada sholat maghrib dan fajr (shubuh).” (HR Imam Al-Bukhori no. 1004 dan Muslim no. 678)
Ketiga : Bahwa Qunut Nazilah itu dilakukan pada semua sholat yang lima waktu. Ini adalah pendapat para ulama Syafi’iyyah. Dalilnya adalah hadits Abu Huroiroh rodhiyallohu ‘anhu, bahwa beliau berkata : “Sungguh aku akan mendekatkan (yakni menunjukkan dan mencontohkan) kepada kalian sholatnya Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam, adalah beliau shollallohu ‘alaihi wa sallam qunut pada roka’at terakhir dari sholat dhuhur, sholat isya’ yang diakhirkan, sholat shubuh …….” (HRImam Al-Bukhori no. 797 dan Muslim no. 676)
Dalil lainnya adalah hadits Ibnu Abbas rodhiyallohu ‘anhuma sebagaimana yang telah disebutkan di atas. (HR Imam Ahmad dalam Al-Musnad (1/301), Ibnu Khuzaimah dalam As-Shohih (no. 618) dan yang selainnya, sanadnya shohih, dishohihkan oleh Syaikh Al-Albani rohimahulloh dalam Irwa’ul Gholil (2/163) dan juga guru kami, Syaikh Muhammad bin Hizam hafidzhohulloh dalam Fathul Allam, 1/773)   
Dari sekian pendapat di atas, yang insya Alloh rojih (kuat dan terpilih) adalah pendapat terakhir, yakni pendapat para ulama Syafi’iyyah, dan inilah yang dirojihkan oleh Al-Imam As-Syaukani rohimahulloh dalam Nailul Author.
Adapun pendapat pertama dan kedua, yang berdalil dengan hadits-hadits yang menyebutkan sebagian sholat tertentu, hal itu tidak menunjukkan bahwa beliau tidak melakukan doa qunut pada sholat-sholat yang lainnya. Hanya saja diambil faedah dari dalil-dalil tersebut, bahwa beliau shollallohu ‘alaihi wa sallam menjaga betul doa qunut pada waktu sholat tersebut lebih banyak dan lebih ditekankan daripada di waktu-waktu sholat yang lainnya. Wallohu a’lamu bis showab.
(lihat Syarh Al-Muhadzdzab (3/505-506), Al-Mughni (2/586-587) dan Syarhus Sunnah (2/243-245) )
Dimanakah letak Doa Qunut Nazilah yang kita lakukan dalam sholat ?
Hadits-hadits yang menjelaskan tentang Doa Qunut Nazilah, sebagian besarnya menjelaskan letaknya, yaitu ba’da ruku’ (yakni setelah bangkit dari ruku’, pada roka’at terakhir dari sholat yang kita lakukan)
Dalil yang menunjukkan hal itu diantaranya adalah hadits Ibnu Umar rodhiyallohu ‘anhuma dalam Shohih Al-Bukhori (no. 4560) : “Bahwa Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam melakukan qunut setelah ruku’.” Juga hadits Abu Huroiroh rodhiyallohu ‘anhu dalam Shohih Al-Bukhori (no. 797) dan Shohih Muslim (no. 676), kemudian juga hadits Khofaf bin Ima’ Al-Ghifari rodhiyallohu ‘anhu dalam Shohih Muslim (no. 679), juga kebanyakan dari hadits Anas bin Malik rodhiyallohu ‘anhu dalam As-Shohihain, semuanya menjelaskan bahwa Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam melakukan qunut ba’da (setelah) ruku’.
Kemudian datang pula riwayat-riwayat lainnya dari Anas bin Malik rodhiyallohu ‘anhu bahwa Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam melakukan qunut sebelum ruku’. Lalu mana yang benar dari riwayat-riwayat tersebut ?
Al-Imam Ibnu Rojab Al-Hambali rohimahulloh menjelaskan : “Para A’immah (imam-imam Ahlul Hadits, yakni para ulama) mengingkari riwayat dari Ashim yang meriwayatkan dari Anas bin Malik, yang menjelaskan tentang qunut sebelum ruku’. Imam Ahmad mengatakan : “Ashim menyelisihi mereka semuanya, yakni menyelisihi sahabat-sahabat Anas. Kemudian beliau juga berkata : “(Dalam riwayat) Hisyam, dari Qotadah, dari Anas, bahwa Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam melakukan qunut ba’da ruku’.” (Dalam riwayat) At-Taimi, dari Abu Majlaz, dari Anas (seperti itu juga). (Dalam riwayat) Ayyub, dari Mujahid dia berkata : “Aku bertanya kepada Anas….” (Dalam riwayat) Handholah As-Sadusi, dari Anas : Ada empat sisi.. Abu Bakar Al-Khotib berkata dalam kitab Al-Qunut : “Adapun hadits Ashim Al-Ahwal, dari Anas, maka sesungguhnya dia bersendirian dalam riwayatnya (tentang qunut sebelum ruku’), dia menyelisihi semua sahabat-sahabat Anas yang meriwayatkan tentang qunut ba’da ruku’, oleh karena itu hukumnya adalah riwayat-riwayat yang banyak itu mengalahkan riwayat yang hanya satu orang saja (sebab riwayat yang demikian itu dianggap syadz, yakni ganjil atau “nyeleh”, menyelisihi riwayat yang mayoritas, edt.). Sebagian ulama muta’akhirin membawa pengertian hadits Anas tentang qunut sebelum ruku’ itu pada pengertian/makna lain dari ruku’ itu, yakni maksudnya adalah “itholatul qiyaam”(lama berdiri sebelum ruku’, bukan bermakna melakukan doa qunut, edt.), sebagaimana dalam hadits : “Afdholus Sholati thulul qunut” (seutama-utama sholat adalah yang panjang/lama berdirinya…” (Fathul Bari, Syarh Shohih Al-Bukhori (6/276), karya Al-Hafidz Ibnu Rojab Al-Hambali rohimahulloh) Hal seperti inipun juga dijelaskan oleh Al-Imam Ibnul Qoyyim rohimahulloh dalam kitab beliau Zaadul Ma’aad.
Al-Imam Al-Baihaqy rohimahulloh berkata : “Riwayat-riwayat tentang qunut ba’da ruku’ itu lebih banyak dan lebih terjaga/terpelihara. Atas pendapat inilah para Kholifah Ar-Rosyidun rodhiyallohu ‘anhum ajma’in berjalan/berpendapat, sebagaimana riwayat-riwayat yang shohih dan masyhur dari mereka.” (As-Sunan Al-Kubro, 2/208)
Guru kami, Syaikh Muhammad bin Ali bin Hizam hafidzohulloh berkata pula : “Jumhur ulama telah berpendapat bahwa qunut itu adalah ba’da ruku’, dan inilah pendapat yang benar.” (Fathul ‘Allam, 1/775) Wallohu a’lamu bis showab.
(lihat Al-Mughni (2/581-582), Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab (3/506) )
Apakah disyari’atkan dengan mengangkat tangan ketika doa qunut ?
Jawabnya : Ya benar, disunnahkan untuk mengangkat tangan tatkala melakukan doa qunut. Ini adalah pendapat para ulama, diantaranya Imam Ahmad, Ishaq, Ashabur Ro’yi, dan pendapat yang shohih dari beberapa pendapat para ulama madzhab As-Syafi’iyyah.
Mereka berdalil dengan keumuman hadits-hadits yang menganjurkan mengangkat tangan ketika berdoa, seperti hadits Salman Al-Farisi rodhiyallohu ‘anhu, bahwa Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya Robb-mu Pemalu lagi Pemurah. Apabila hamba-Nya mengangkat tangan kepada-Nya, maka Dia malu kalau hamba-Nya tersebut mengembalikan tangannya dalam keadaan kosong (tidak dikabulkan doanya, edt.)” (HR Abu Dawud no. 1488, At-Tirmidzi no. 3556, Ibnu Majah no. 3865, dan Al-Hakim (1/497), dishohihkan oleh Syaikh Al-Albani rohimahulloh dalam Shohih Ibnu Majah no. 3131 dan Al-Misykah no. 2244, tetapi guru kami, Syaikh Muhammad bin Ali bin Hizam hafidzhohulloh mengatakan : “Yang rojih hadits ini Mauquf pada Salman, adapun secara Marfu’ hadits ini Dho’if.” (Bulughul Marom, dengan Tahqiq dan Takhrij oleh guru kami tersebut, penerbit Maktabah Ibnu Taimiyyah, Darul Hadits Dammaj, Sho’dah, Yaman) Wallohu a’lamu bis showab.
Mereka juga berdalil dengan hadits Anas bin Malik rodhiyallohu ‘anhu, dia berkata :“Aku melihat Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam setiap kali sholat pagi hari (yakni Sholat Shubuh) beliau mengangkat kedua tangannya mendoakan kebinasaan atas mereka, yakni orang-orang yang telah membunuh sahabat-sahabat beliau.” (HRImam Muslim)
Imam Ahmad bin hambal rohimahulloh juga menyebutkan riwayat hadits dengan sanad-sanadnya dari Anas bin Malik rodhiyallohu ‘anhu, dalam suatu hadits yang panjang, Anas rodhiyallohu ‘anhu berkata : “Aku tidak pernah melihat Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam mendapati suatu permasalahan yang membuat beliau berduka/bersedih karenanya (kecuali beliau bersedih) atas mereka (para sahabatnya yang terbunuh). Sungguh, aku melihat  Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam setiap kali sholat di pagi hari (yakni sholat shubuh) beliau mengangkat kedua tangannya, beliau mendoakan kebinasaan atas mereka (kaum yang telah membunuh para sahabatnya tersebut..).” (HR Imam Ahmad, no. 12.402, sanad-sanadnya shohih menurut syarat Imam Muslim)
Dan masih banyak dalil-dalil lainnya yang menunjukkan disunnahkan untuk mengangkat tangan ketika melakukan doa qunut, baik oleh Imam maupun makmum semuanya, wallohu a’lamu bis showab.
(lihat Syarh Al-Muhadzdzab (3/507)
Apakah Makmum disunnahkan untuk mengaminkan doa qunutnya Imam ?
Jawabnya : Ya, disunnahkan bagi makmum mengaminkan doa qunutnya imam. Dalilnya sebagaimana dalam hadits Ibnu Abbas rodhiyallohu ‘anhuma yang telah disebutkan di atas.
Ibnu Abbas rodhiyallohu ‘anhuma berkata : “Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam melakukan qunut nazilah terus menerus selama satu bulan, pada sholat dhuhur, ashar, maghrib, isya’ dan shubuh, di akhir sholat apabila beliau mengucapkan : “Sami’allohu liman hamidah”, dari roka’at yang terakhir, beliau mendoakan kebinasaan atas mereka, yakni atas kabilah Bani Sulaim, Ri’il, Dzakwan, dan Ushoiyyah, dan orang-orang yang di belakang beliau (yakni para makmum) mengaminkannya, (dan sebab beliau melakukan qunut ini adalah) beliau mengutus para sahabat kepada mereka (kabilah-kabilah yang tersebut di atas) untuk mendakwahi mereka kepada Islam, tetapi ternyata kemudian mereka membunuhnya.” (HR Imam Ahmad dalamAl-Musnad (1/301), Ibnu Khuzaimah dalam As-Shohih (no. 618) dan yang selainnya, sanadnya shohih, dishohihkan oleh Syaikh Al-Albani rohimahulloh dalamIrwa’ul Gholil (2/163) dan juga guru kami, Syaikh Muhammad bin Hizam hafidzhohulloh dalam Fathul Allam, 1/773)   
Para ulama berdalil dengan hadits tersebut di atas untuk menunjukkan disunnahkannya bagi makmum mengaminkan doa qunutnya imam. Bahkan Al-Imam Ibnu Khuzaimah rohimahulloh dalam Shohih-nya (1/313) membawakan bab dengan judul “BAB BAHWA QUNUT ITU UNTUK SEMUA SHOLAT (YANG LIMA WAKTU), DAN MAKMUM MENGAMINKAN IMAM KETIKA MELAKUKAN DOA QUNUT”. Setelah itu beliau membawakan dalil-dalil tentang masalah ini.
Al-Imam Ibnu Qudamah rohimahulloh mengatakan : “Apabila imam melakukan doa qunut, maka orang-orang yang dibelakangnya (yakni para makmum) hendaknya mengaminkannya. Dalam masalah ini tidak ada khilaf (perselisihan diantara para ulama).” (Al-Mughni, 2/584)
Apakah ada dalil yang menunjukkan lafadz doa tertentu untuk Qunut Nazilah ?
Sepanjang yang kami ketahui, tidak ada dalil khusus yang menunjukkan lafadz tertentu untuk doa dalam qunut nazilah. Para ulama memberikan keluasan dalam masalah ini. Oleh karena itu boleh berdoa apa saja sesuai dengan apa yang dibutuhkan dan sesuai keadaan orang yang tertimpa musibah.
Al-Qodhi Iyyadh rohimahulloh menukil ijma’ (kesepakatan) para ulama tentang tidak adanya doa khusus/tertentu dalam qunut nazilah ini. Al-Imam Ibnu Sholah rohimahulloh menganggap orang yang berpendapat adanya doa khusus dalam qunut nazilah ini adalah pendapat yang keliru dan menyelisihi pendapat jumhur ulama. Wallohu a’lamu bis showab.
(lihat Al-Majmu’ (3/477) karya Al-Imam An-Nawawi rohimahulloh dan Majmu’ Al-Fatawa (23/108) karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rohimahulloh)

Abu Abdirrohman Yoyok WN
sumber : darul ilmi

KESALAHAN PARA JAMA’AH HAJI DAN UMROH


بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

*KESALAHAN PARA JAMA’AH HAJI DAN UMROH*


Berikut adalah ringkasan dari sebagian khutbah jum’ah dari Asy-Syaikh Abû ‘Ammâr Yâsir Ad-Duba’i (murid dari Imâm Muqbil bin Hâdî Al-Wâdi’i rohimahullôh) yang berkaitan dengan kesalahan para jam’ah haji dan ‘umroh dalam ibadah mereka:

1.  *Wanita pergi haji atau ‘umroh tanpa mahrom, walaupun dia punya rombongan bersama wanita lainnya*

عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «لاَ تُسَافِرِ المَرْأَةُ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ إِلَّا مَعَ ذِي مَحْرَمٍ»

Dari Ibnu ‘Umar rodhiyaAllôhu ‘anhuma menagtakan: bahwasanya Nabi shollallôhu alaihi wa sallam bersabda: _*“Tidak boleh bagi wanita untuk safar selama 3 hari kecuali disertai dengan mahrom.”*_ [HR. Al-Bukhori (no.1086) Muslim (no.827)]

2.  *Keyakinan diharuskannya para wanita memakai pakaian putih ketika melaksanakan manasik haji atau ‘umroh*

Asy-Syaikh Abû ‘Ammâr Yâsir Ad-Duba’i berkata:

«وَمِنْ أَخْطَاءِ الحُجَّاجِ وَالمُعْتَمِرِيْنَ: اعتِقَادُ بَعْضِ النِّسَاءِ لَا بُدَّ لَهَا أَنْ تَلْبَسَ الثِّيَابَ البَيْضَاء، وَالنَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ رَغَّبَ فِي ذَلِكَ لِبَاسَ البَيْضَاء، قَالَ: *«البِسُوا البَيَاضَ مِنْ ثِيَابِكُم فَإِنَّهَا مِنْ خَيرِ ثِيَابِكُمْ وَكَفِّنُوا فِيْهَا مَوتَاكُمْ»*. لَكِنْ المَرْأَة لَو لَبِسَتْ البَيَاضَ وَصَبَّ عَلَيهَا المَاءَ لَشُفَّ عَنْ جَسَدِهَا كَان ذَلِكَ فِتْنَة لِلرِّجَالِ، فَإِنَّها تَلْبَس خِمَارَ أَسْوَد...

*“Termasuk dari kesalahan para jama’ah haji dan umroh adalah keyakinan sebagian wanita yang mengharuskan memakai pakaian putih-putih.* Dan Nabi shollallôh alaihi wa sallam menganjurkan untuk memakai pakaian putih, beliau bersabda: _*”Pakaialah pakaian putih karena itu adalah sebaik-baik (warna) pakaian kalian dan jadikanlah kafan mayit kalian.”_ akan tetapi kalau wanita memakai pakaian putih kemudian terkena siraman air, maka nanti akan kelihatan dari (bentuk) jasadnya yang itu menjadi fitnah bagi para lelaki, akan tetapi ia hendaknya memakai kerudung hitam.”

3.   *Roml (lari-lari ringan) pada tujuh kali putaran thowaf.*

عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا، قَالَ: «رَمَلَ رَسُولُ الله صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ مِنَ الحِجْرِ إِلَى الحِجْرِ ثَلاَثًا، وَمَشَى أَرْبَعًا».

Dari Ibnu ‘Umar rodhiyaAllôhu ‘anhuma mengatakan: _“Rosulullôh shollallôhu aliahi wa sallam melakukan roml dari hajr-ke hajar sebanyak 3 kali, dan berjalan sebanyak 4 kali.”_ [HR. Muslim (no.1262)]

4.   *Mencium Rukun Yamani.*

Asy-Syaikh Abû ‘Ammâr Yâsir Ad-Duba’i berkata:

فَقُلْتُ لِنَافِعٍ: أَكَانَ عَبْدُ اللَّهِ يَمْشِي إِذَا بَلَغَ الرُّكْنَ اليَمَانِيَ؟ قَالَ: «لاَ، إِلَّا أَنْ يُزَاحَمَ عَلَى الرُّكْنِ، فَإِنَّهُ كَانَ لاَ يَدَعُهُ حَتَّى يَسْتَلِمَهُ»

Aku (‘Ubaidullôh bin ‘Umar) katakan kepada Nafi’: Apakah ‘Abdullôh (Ibnu ‘Umar) apabila sampai ke Rukun Yamani berjalan (saja)? _“Tidak, kecuali kalau banyak orang di Rukun (Yamani), karena beliau tidaklah meninggalkannya sampai memegannya.”_ [HR. Al-Bukhôri (1644)]

5.  *Memberikan isyarat pada Rukun Yamani ketika tidak bisa memegangnya.*

Asy-Syaikh Abû ‘Ammâr Yâsir Ad-Duba’i berkata:

«أَمَّا الرُّكْنُ اليَمَانِي فَمَا لَكَ إِلَّا اللَّمْسَ فَقَطْ، تَسْتَلِمُهُ بِيَدِكَ ولَا تُقَبِّلُهُ وَلا تُشِرْ إِلَيْهِ إِذَا عَجَزْتَ عَنِ القُرْبِ مِنْهَا».

*“Adapun Rukun Yamani tidak ada bagimu kecuali memegang saja, engkau memegang dengan tanganmu. Tidak perlu mencium tidak pula mengisyaratkan padanya apabila tidak bisa mendekat.”*
6.  *Ketika thowaf masuk ke Hijr (pagar melingkar di samping Ka’bah)*

Asy-Syaikh Abû ‘Ammâr Yâsir Ad-Duba’i berkata:

«وَمِنْ أَخْطَاءِ الحُجَّاجِ وَالمُعْتَمِرِيْنَ في أَثْنَاءِ الطَّوَّافِ بَعْضُهُمْ يَدْخُلُ فِي الحِجْرِ، بَعْضُ العَوَّامِ يُسَمِّيْهِ حِجْرَ إِسْمَاعِيْلَ، وَهَذِهِ التَّسْمِيَةُ غَيْرُ صَحِيْحَةٍ!. إِنَّمَا اسْمُهُ حِجْرُ وَهُوَ السُوْرُ الَّذِي بِجَانِبِ الكَعْبَة، هَذَا السُّورُ مِنَ الكَعْبَةِ، لَو دَخَلْتَ فِي السُّورِ فَأَنْتَ لَم تُكْمِلِ الطَّوَّافَ تَمَامًا، فَالشَّوطُ لاَ بُدَّ أَن يَكونَ بَعْدَ السُّورِ لاَ قَبْلَ السُّورِ».

*“Termasuk dari kesalahan para jama’ah haji dan umroh ketika thowaf; sebagian dari mereka masuk ke Hijr*, sebagian orang awwam menamakan dengan Hijr Isma’il, ini adalah penamaan yang tidak benar. Akan tetapi namanya adalah Hijr, yang itu adalah pagar yang di samping Ka’bah, *maka seandainya engkau masuk ke pagar, maka engkau belumlah menyempurnakan thowaf secara sempurna, karena putaran (thowaf) harus setelah pagar, bukan sebelum pagar.”*

7.  *Ith-thibâ’ (menampakkan lengan kanan dan menutup lengan kiri) selama menjalankan ‘umroh.*

Asy-Syaikh Abû ‘Ammâr Yâsir Ad-Duba’i berkata:

«وَمِنْ أَخْطَاءِ الحُجَّاجِ وَالمُعْتَمِرِيْنَ بَعضُهُمْ يَضْطَبِعُ وَيَكْشِفُ كَتِفَهُ الأَيْمَن وَيُغَطِّي كَتِفَهُ الأَيْسَر فِي عُمْرَةٍ كَامِلَةٍ، هَذَا غَيْرُ صَحْيِح! إِنَّمَا الإِضْطِبَاعُ يَكُونُ عِنْدَ الطَّوَّافِ خَاصَّةٌ».

“Termasuk dari kesalahan jama’ah haji dan umroh; sebagaian dari mereka berith-thiba’ menampakkan lengan kanan dan menutup lengan kiri pada (manasik) umroh semuanya, ini tidaklah benar, akan tetapi it-thiba’ itu hanya dikerjakan ketika thowaf saja.”

8.  *Berusaha keras untuk sholat di belakang maqom Ibrohim.*

Asy-Syaikh Abû ‘Ammâr Yâsir Ad-Duba’i berkata:

«وَمِنْ أَخْطَاءِ الحُجَّاجِ وَالمُعْتَمِرِيْنَ أيضًا أَنَّ بَعْضَهُمْ يُشَدِّدُ عَلَى الصَّلاَةِ مَقَامُ إِبْرَاهِيْم، وَالصَّلاَةُ مَقَامُ إِبْرَاهِيْم فَعَلَهُ النَّبِيِّ كَمَا فِي حَدِيْثِ حابِرٍ فِي صَحِيْحِ مُسْلِمٍ، لَكِنْ بِإِجْمَاعِ العُلَمَاءِأَنَّهُ إِذَا ازْدَحَمَ الصَّحْن –يعني صحنُ الحَرَمِ- فَإِنَّهُ يَجُوزُ أَن يُصَلِّي فِي أَيِّ مَكَانٍ وَ فِي أَيِّ مَوْضِعٍ مِنَ الحَرَمِ كَمَا ذَكَرَهُ ذَلِكَ ابْنُ رُشْدٍ».

*“Termasuk dari kesalahan para jama’ah haji dan umroh adalah sebagian dari mereka berusaha keras untuk sholat di belakang maqom Ibrohim*, dan sholat di maqom Ibrohim telah dilakukan oleh Nabi sholllallôhu alaihi wa sallam sebagaimana hadits Jabir dalam shohih Muslim. Akan tetapi dengan Ijma’ ‘Ulama bahwasanya apabila ramai orang di Shohn –lingkaran Ka’bah-, maka nboleh baginya untuk sholat di tempat manapun dari Harom, sebagaimana disebutkan hal tersebut oleh Ibnu Rusyd.”

9  *Terus menerus lari kencang di antara Shofa Marwah*

Asy-Syaikh Abû ‘Ammâr Yâsir Ad-Duba’i berkata:

أَمَّا مَا يَتَعَلَّقُ بِالسَّعْيِ بَعْضُهُمْ رُبَّمَا يَسْعَى وَيَجْرِي مِنَ الصَّفَا إلى المَروَةِ، وَمِنَ المَرْوَةِ إلى الصَّفَا، وَهَذَا غَيْرُ صَحِيْحٍ! إِنَّمَا الجَرِيُّ فِي وَادِي الأَبْطَحِ...»

“Adapun yang berkaitan dengan sa’yi; sebagian terkadang sa’yi serta lari dari Shofa ke Marwah, dan dari Marwah ke Shofa, ini tidaklah benar! *Karena lari itu hanya ketika di Wâdi Abthoh...”*

10.  *Mencukur sedikit saja ketika tahallul*

Asy-Syaikh Abû ‘Ammâr Yâsir Ad-Duba’i berkata:

«وَمِنْ أَخْطَاءِ الحُجَّاجِ وَالمُعْتَمِرِيْنَ أيضًا أَنَّ بَعْضَهُمْ أَرَادَ قَصَّ الشَّعْرِ أَنَّهُ يَقُصُّ قَصًّا خَفِيْفًا لاَ يَظْهَرُ أَنَّهُ قَدْ قَصَّ مِنْ شَعْر، وَهَذَا غَيْرُ صَحِيْحٍ! كَمَا يَقُولُ العُلَمَاءُ لَا بُدَّ أَنْ يَظْهَرَ لِلأَخَرِيْنَ أَنّهُ قَدْ أَخَذَ منْ شَعْرِهِ...»

“Termasuk dari kesalahan jama’ah haji dan umroh adalah sebagian dari mereka apabila ingin mencukur rambut; mereka memangkas dengan sedikit yang tidaklah nampak bahwasanya dia telah mencukur rambutnya, ini tidaklah benar! Sebagaimana dikatakan oleh para ‘Ulama adalah harus menampakkan kepada lainnya bahwasanya ia telah mengambil dari rambutnya.”
11.  *Menjamak sholat wajib pada hari tarwiyah.*

«وَمِنْ أَخْطَاءِ الحُجَّاجِ وَالمُعْتَمِرِيْنَ أَنَّهُ فِي يَوْمِ التَّرْوِيَةِ، يَوْمُ الثَّامِنِ فَيَجْمَعُونَ الصَّلَوَاتِ، يَجْمَعُونَ الظُّهْرَ مع العَصْرَ، وَالمَغْرِبَ مَعَ العِشَاءِ، وَهَذَا لَيْسَ مِنْ هَدْيِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، كَمَا جَاءَ مِنْ حَدِيْثٍ جَابِر أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى كُلُّ صَلاَةٍ فِي وَقْتِهَا».

*“Termasuk dari kesalahan para jama’ah haji dan umroh adalah ketika pada Tarwiyah, hari ke-8. Mereka menjamak dzuhur dengan ashar, maghrib dengan Isya.* Maka ini bukanlah termasuk dari petunjukknya Nabi sholallôhu alaihi wa sallam, sebagaimana hadits Jâbir bahwasanya Nabi sholllallôhu alaihi wa sallam sholat pada setiap waktunya.”

12.  *Langsung pergi dari Mina ke Arofah.*

Asy-Syaikh Abû ‘Ammâr Yâsir Ad-Duba’i berkata:

«وَمِنْ أَخْطَاءِ الحُجَّاجِ وَالمُعْتَمِرِيْنَ أَنَّ بَعْضَهُمْ يَذْهَبُ رَأْسًا مِنْ مِنَى إِلَى عَرَفَةَ، مَعَ أَنَّ السُّنَّةَ أَن يَذْهَبَ أَوَّلًا إِلَى نَمِرَة ثُمَّ إِلَى عُرَنَة ثُمَّ إِلَى عَرَفَة كَمَا فَعَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَإِنْ كَانَ ذَلِكَ مُسْتَحَبًّا ، وَهَذَا هَدْيُ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.

“Termasuk dari kesalahan para jama’ah haji dan umroh adalah sebagian pergi langsung dari Mina ke ‘Arofah, karena yang sesuai sunnah adalah ia pergi terlebih dahulu ke Namiroh, kemudian ke ‘Uronah kemudian ke ‘Arofah sebagaimana apa yang dilakukan oleh Nabi shollallôhu ‘alaihi wa salla , walaupun itu adalah perkara yang mustahab, maka itulah petunjuknya Nabi shollallôhu ‘alaihi wa sallam.”

13.  *Duduk di muqoddimah (depan) masjid Namiroh.*

Asy-Syaikh Abû ‘Ammâr Yâsir Ad-Duba’i berkata:

«وَمِنْ أَخْطَاءِ الحُجَّاجِ وَالمُعْتَمِرِيْنَ وَنَخْشَى عَلَيهِمْ مِنْ بُطْلاَنِ حَجِّهِم أَنَّهُ يَمْكُثُ بَعْضُهُمْ فِي مُقَدِّمَةِ الصُّفُوفِ فِي مَسْجِدِ النَمِرة بِعَرَفَة، وَهَذَا لَيْسَ فِي مَوضِع عَرَفَة أَصْلًا، وَإِنَّمَا بِالقُربِ مِنْ عَرَفَة، فَيَمْكُثُ إِلَى المَغْرِبِ ثُمَّ يَخْرُجُ مَعَ رِفْقتِهِ إِلَى مُزْدَلِفَةَ، وَهَذَا غَيْرُ صَحِيْحٍ! لِأَنَّ النَّبِيَّ قَالَ : «الحَجُّ عَرَفَة». وَمُقَدِّمَةُ المَسْجِدِ لَيْسَ مِنْ عَرَفَة».

*“Termasuk dari kesalahan jama’ah haji dan umroh dan kami khawatirkan akan membatalkan ibadah haji mereka adalah sebagian dari mereka berdiam di muqoddimah shof di masjid Namiroh di Arofah, ini sebenarnya bukanlah di ‘Arofah*, akan tetapi tempat itu di dekat dari ‘Arofah, yang ia berdiam di Maghrib kemudian keluar bersama para jama’ahnya ke Muzdalifah, maka ini tidaklah benar! Karena Nabi sholallôhu ‘alaihi wa sallam bersabda: _*”Haji adalah ‘Arofah”*_. Depan (muqoddimah) masjid bukanlah termasuk ‘Arofah ”
14.  *Beranjak pergi dari ‘Arofah menuju Muzdalifah sebelum tenggelamnya matahari.*

Asy-Syaikh Abû ‘Ammâr Yâsir Ad-Duba’i berkata:

«وَمِنْ أَخْطَاءِ الحُجَّاجِ وَالمُعْتَمِرِيْنَ بعضهم يفيض أي يخرج من عرفة إلى مزدلفة إلى غروب الشمس وهذا لا يحوز لأنه يجب عليه أن يبقى إلى غروب الشمس لفعل النبي ولقول النبي: «خذوا عني مناسككم» وبه قال اهل العلم.

*“Termasuk dari kesalahan jama’ah haji dan umroh adalah sebagian mereka keluar dari ‘Arofah menuju Muzdalifah sebelum tenggelamnya matahari* , yang ini tidak boleh, karena ia diwajibkan untuk tinggal sampai tenggelamnya matahari sebagaimana perbuatan dan sabda Nabi shollallôhu ‘alaihi wa sallam: _*“Ambillah dariku manasik kalian.”*_ dengan pendapat ini Ahlul ‘Ilmi .

15.  *Mencuci batu untuk lempar jumroh ketika di ‘Arofah.*

Asy-Syaikh Abû ‘Ammâr Yâsir Ad-Duba’i berkata:

«وَمِنْ أَخْطَاءِ الحُجَّاجِ وَالمُعْتَمِرِيْنَ فِي مَسْأَلَةِ الرَّمْيِ بَعضُهُمْ يُغَسِّلُ الأَحْجَارَ وَبَعضُهُمْ رُبَّمَا يَأْتِي بِأَحْجَارٍ كَبِيْرَةٍ مَعَ أَنَّ النَّبِيَّ أَمَرَ الفَضْلَ بْنِ عَبَّاسٍ أَنْ يَحضُرَ لَهُ أَحْجَار صَغِيْرَة ثُمَّ رَآه النَّبِيُّ النَّاسَ، فَقَالَ: «يَأَيُّهَا النَّاسُ لاَ تَغْلُوا فِي دِيْنِكُمْ» عرفت حبة الذر؟ هِيَ أَكْبَرُ مِنْهَا بِقَلِيْلٍ. هَذِهِ هِيَ الَّتِي تَرْمِيْهَا رَمْيَ الجَمَارَاتِ.لماذا الناس يُكَبِّرُونَ الأَحْجَارَ؟ لِأَنَّ بَعْضَهُمْ يَعْتَقِدُ أَنَّ الشَّيْطَانَ فِي ذَلِكَ المَوْضِع، وَهَذاَ غَيرُ صَحِيْحٍ لَم يَثْبُتْ ذَلِكَ فِي كِتَاب الله وَلاَ فِي سُنَّةِ رَسُولِ اللهِ ، وَإِنَّمَا جَاءَت بِالإِسْرَائِيلِيَّات أَنَّ الشَّيْطَانَ اعتَرَضَ إِبْرَاهِيْمَ عَلَيهِ السَّلاَمَ فَرَمْىُ هَذِهِ الأَحْجَارَ، وَهَذَا غَيْرُ صَحِيْحٍ».

*“Termasuk dari kesalahan jama’ah haji dan umroh dalam masalah melempar jumroh adalah sebagian mereka mencuci batu-batu*, sebagian dari mereka juga mendatangkan batu dengan ukuran besar, padahal Nabi memerintahkan kepada Al-Fadhl bin ‘Abbâs untuk mendatangkan batu kecil, seraya memlihatkan kepada manusia: _“Wahai segenap manusia, janganlah kalian berbuat ghuluw dalam agama kalian.”_ Tahukah engkau biji gandum? Maka batu (untuk melempar jumroh) adalah lebih besar sedikit dari itu. Kenapa orang-orang ingin bawa batu besar? Karena sebagian meyakini bahwasanya Syaithon ada pada tempat tersebut, maka yang seperti ini tidaklah benar! Tidaklah terdapat dalam Kitabulloh tidak pula dalam sunnah Rosulullôh shollallôhu alaihi wa sallam, akan tetapi hal tersebut datangnya ada pada hadits Isro’iliyyat yang menyebutkan bahwa Syaithon terdapat pada tempat tersebut kemudian Nabi Ibrohim melemparinya dengan batu-batu tersebut, maka ini tidaklah benar!.”

Akhukum: Abu Muhamamd Fuad Hasan bin Mukiyi.
12 Dzulqo’dah 1437 Hijriyyah.

Channel Telegram:
elegram.me/MasjidImamAlWadii

Perintah untuk meluruskan shaf

بسم الله الرحمن الرحيم
Salah satu sunnah (petunjuk) Nabi yang telah banyak ditinggalkan oleh kaum muslimin adalah meluruskan, merapatkan, dan menyempurnakan shaf di dalam shalat. Kita melihat ada di antara mereka yang shafnya renggang dan ada pula yang tidak sejajar. Ada pula yang shaf depannya belum penuh, lalu makmum sudah membuat shaf yang baru di belakangnya.
Pada kesempatan ini, kami akan menyampaikan beberapa dalil yang menerangkan tentang perintah untuk meluruskan dan merapatkan shaf dari hadits-hadits yang shahih. Wallahul musta’an.
A. Perintah untuk meluruskan shaf.

1.Dari An Nu’man bin Basyir radhiallahu ‘anhu, Rasulullah
صلى الله عليه عليه وسلمbersabda:

لَتُسَوُّنَّ صُفُوفَكُمْ أَوْ لَيُخَالِفَنَّ اللَّهُ بَيْنَ وُجُوهِكُمْ
“Sungguh luruskanlah shaf kalian, atau (jika tidak) Allah akan benar-benar menimbulkan perselisihan di antara wajah-wajah kalian.” [HR Al Bukhari (177) dan Muslim (436)]
Hadits ini mengandung perintah yang sangat tegas bagi kita untuk meluruskan shaf , dan ancaman yang sangat keras bagi yang tidak melakukannya.
Imam An Nawawi rahimahullah berkata:
“Yang tampak (bagi kami) -wallahu a’lam- maknanya adalah: Allah akan menimbulkan permusuhan, kebencian, dan perselisihan hati di antara kalian.”
2.Dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, Rasulullahصلى الله عليه عليه وسلمbersabda:

سووا صفوفكم فإن تسوية الصف من تمام الصلاة
“Luruskanlah shaf-shaf kalian, karena sesungguhnya kelurusan shaf adalah bagian dari kesempurnaan shalat.”[HR Muslim (433)]
Hadits ini menerangkan kepada kita bahwa di antara hal yang membuat shalat kita menjadi sempurna adalah shaf yang lurus.  Artinya, jika shaf shalat tidak lurus maka shalat berjamaah kita menjadi kurang nilainya.

B. Perintah untuk merapatkan shaf.

3.Dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, dia berkata:

أُقِيمَتْ الصَّلَاةُ، فَأَقْبَلَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِوَجْهِهِ، فَقَالَ: أَقِيمُوا صُفُوفَكُمْ وَتَرَاصُّوا، فَإِنِّي أَرَاكُمْ مِنْ وَرَاءِ ظَهْرِي
“Shalat telah ditegakkan (iqamah), lalu Rasulullah صلى الله عليه وسلم menghadap kepada kami, lalu berkata: “Luruskan shaf-shaf kalian dan saling merapatlah kalian. Sesungguhnya aku dapat melihat kalian dari belakang punggungku.”
[HR Al Bukhari (719)]
Di dalam hadits ini terdapat perintah tambahan, yaitu perintah untuk saling merapatkan shaf. Cara merapatkan shaf adalah adalah dengan menempelkan telapak kaki kita dengan telapak kaki orang yang ada di sebelah kanan dan kiri kita, sebagaimana yang akan dijelaskan pada hadits Anas bin Malik dan An Nu’man bin Basyir setelah ini.
Hadits ini juga mengandung petunjuk bagi imam, bahwasanya imam itu ketika meluruskan shaf harus berbalik badan menghadap ke arah makmum agar mengetahui kondisi shaf. Imam tidak cukup meluruskan shaf dengan posisi badan dan kepala tetap menghadap ke depan. Ini adalah suatu kesalahan yang sering dilakukan oleh para imam shalat.


C. Perintah untuk meluruskan dan merapatkan shaf.

4.Dari Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma, Rasulullah
صلى الله عليه عليه وسلمbersabda:

أقيموا الصفوف وحاذوا بين المناكب وسدوا الخلل ولينوا بأيدي إخوانكم ولا تذروا فرجات للشيطان، ومن وصل صفا وصله الله ومن قطع صفا قطعه الله
“Luruskanlah shaf-shaf, sejajarkanlah pundak dengan pundak, isilah bagian yang masih renggang, bersikap lembutlah terhadap lengan teman-teman kalian (ketika mengatur shaf), dan jangan biarkan ada celah untuk (dimasuki oleh) syaithan. Barangsiapa yang menyambung shaf maka Allah akan menyambungnya (dengan rahmat-Nya), dan barangsiapa yang memutus shaf maka Allah akan memutuskannya (dari rahmat-Nya).”
[HR Abu Daud (666). Hadits shahih.]
Hadits ini berisi beberapa faidah, di antaranya:

a.Perintah untuk meluruskan shaf, yaitu dengan cara menyejajarkan kaki dan pundak.
b.Perintah untuk mengisi bagian shaf yang masih kosong.
c.Perintah untuk bersikap lemah dan lembut ketika mengatur barisan shaf, dan tidak asal menarik makmum ke depan atau mendorong mereka ke belakang.
d.Perintah untuk merapatkan shaf dengan serapat-rapatnya agar tidak ada celah antara dua orang yang bersebelahan untuk dimasuki oleh syaithan.
e.Menyambung shaf adalah salah satu sebab untuk mendapatkan rahmat Allah. Sebaliknya, memutuskan shaf adalah salah satu sebab terputusnya seseorang dari rahmat Allah.

D. Cara meluruskan dan merapatkan shaf yang benar.

5.Dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, dia berkata:

وَكَانَ أَحَدُنَا يُلْزِقُ مَنْكِبَهُ بِمَنْكِبِ صَاحِبِهِ وَقَدَمَهُ بِقَدَمِهِ
“Dahulu (pada masa Nabi) salah seorang dari kami menempelkan pundaknya dengan pundak teman (di sebelah)nya dan tapak kakinya dengan tapak kaki teman (di sebelah)nya.”
[HR Al Bukhari (725)]
6.Dari An Nu’man bin Basyir radhiallahu ‘anhu, dia berkata:

فرأيت الرجل يلزق منكبه بمنكب صاحبه وركبته بركبة صاحبه وكعبه بكعبه
“Saya melihat seseorang menempelkan pundaknya dengan pundak teman (di sebelah)nya, lututnya dengan lutut teman (di sebelah)nya, dan mata kakinya dengan mata kaki teman (di sebelah)nya.”[HR Abu Daud (662)]
Kedua hadits di atas, yaitu hadits Anas dan hadits An Nu’man rhadhiallahu ‘anhuma, menerangkan kepada kita tentang cara merapatkan dan meluruskan shaf dengan benar.

E. Perintah untuk menyempurnakan shaf yang terdepan terlebih dahulu.

7.Dari Jabir bin Samurah radhiallahu ‘anhu, Rasulullah
صلى الله عليه عليه وسلمbersabda:

ألا تصفون كما تصف الملائكة عند ربها؟ فقلنا: يا رسول الله، وكيف تصف الملائكة عند ربها؟ قال: يتمون الصفوف الأول ويتراصون في الصف
“Tidakkah kalian bershaf sebagaimana para malaikat bershaf di sisi Rabb mereka?” Kami bertanya: “Wahai Rasulullah, bagaimanakah cara para malaikat bershaf di sisi Rabb mereka?” Nabi menjawab: “Mereka menyempurnakan shaf-shaf yang terdepan dan saling merapat di dalam shaf.”[HR Muslim (430)]
8.Dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, Rasulullahصلى الله عليه عليه وسلمbersabda:

أتموا الصفوف فإني أراكم خلف ظهري
“Sempurnakanlah shaf-shaf, karena sesungguhnya aku dapat melihat kalian dari belakang punggungku.”[HR Muslim (434)]
Kedua hadits di atas (hadits Jabir dan hadits Anas) mengandung perintah kepada kita untuk menyempurnakan shaf yang lebih depan terlebih dahulu, barulah mengisi shaf yang berikutnya, dengan tetap merapatkan barisan shaf.
Demikianlah cara para malaikat berbaris di sisi Allah ta’ala. Hadits Jabir juga mengandung perintah agar kita meneladani dan mengambil contoh kebaikan dari hamba-hamba Allah yang shalih.

F. Cara menyempurnakan shaf yang benar. 9.Dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, Rasulullahصلى الله عليه عليه وسلمbersabda:

أتموا الصف المقدم ثم الذي يليه، فما كان من نقص فليكن في الصف المؤخر
“Sempurnakankanlah shaf yang lebih depan, kemudian barulah yang setelahnya. Jika ada kekurangan (makmum), maka hendaklah pada shaf yang terakhir.”[HR Abu Daud (671). Hadits shahih.]
Hadits ini menerangkan bahwa shaf-shaf yang terdepan haruslah dipenuhkan dengan sempurna. Bila jumlah makmum yang belum mengatur barisan tinggal sedikit, maka hendaknya mereka membentuk barisan shaf di bagian paling belakang.
G. Larangan untuk membuat shaf sejajar dengan tiang mesjid.

10.Dari Abdul Hamid bin Mahmud, dia berkata:

صليت مع أنس بن مالك يوم الجمعة، فدفعنا إلى السواري، فتقدمنا وتأخرنا، فقال أنس: كنا نتقي هذا على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم
“Saya shalat bersama Anas bin Malik pada hari Jum’at. Kami beranjak ke tiang-tiang mesjid. Ada di antara kami yang maju dan ada pula yang mundur. Lalu Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu berkata: “Dahulu kami selalu menghindari ini pada masa Rasulullahصلى الله عليه وسلم.”
[HR Abu Daud (673) dan At Tirmidzi (229). Hadits shahih.]
Di dalam hadits di atas, terdapat larangan untuk membuat shaf yang berada sejajar dengan tiang-tiang mesjid. Alasannya adalah karena hal ini dapat membuat shaf menjadi terputus sehingga mengurangi kesempurnaan shalat. Larangan ini bersifat makruh. Demikian pendapat sebagian ulama seperti Ahmad dan Ishaq bin Rahawaih.
Demikianlah beberapa hadits shahih yang menerangkan dan mengajarkan kepada kita tentang perintah dan cara untuk meluruskan, merapatkan, dan menyempurnakan shaf yang baik dan benar demi tercapainya kesempurnaan shalat berjamaah yang kita lakukan. Masih ada dalil-dalil yang lain dalam masalah ini, namun kami cukupkan sampai di sini. وبالله التوفيق

oleh ustad M Zaki Hidayat

TANDA ILMU YANG BERMANFAAT


:white_check_mark: *TANDA ILMU YANG BERMANFAAT*
:scroll: Imâm Ibnu Rojab rohimahullôh mengatakan:
‏ « *مِن عَلاَمَاتِ العِلمِ النَّافِعِ أنَّهُ يَدُلُّ صَاحِبهُ عَلَى الهَربِ مِنَ الدُّنيَا* وَأَعظَمُها الرِّيَاسَة وَالشُّهْرَة وَالمَدْحُ»
*"Termasuk dari tanda-tanda ilmu bermanfaat adalah menuntun pemiliknya untuk lari dari dunia* dan yang paling besar darinya adalah kepemimpinan, ketenaran dan sanjungan."

:books: Lihat "Fadhlu 'ilmis Salaf" (hal.108).

ILMU AKAN BERTAMBAH DENGAN MENYEBARKANNYA


:white_check_mark: *ILMU AKAN BERTAMBAH DENGAN MENYEBARKANNYA*
:scroll: Asy-Syaikh Zaid bin Muhammad Al-Madkholî hafidzohullôh mengatakan:

:bulb: ثُمَّ اعْلَمْ بِدُونِ شَكٍّ وَلاَ تَرُدُّدٍ *أَنَّ العِلمَ يَزْدَادُ وَيَنْمُوا لَدَى صَاحِبِه إِذَا هُوَ نَشَرهُ فِي النَّاس*ِ .

:bulb: Ketahuilah tanpa ada keraguan dan kebimbangan bahwasanya *ilmu itu akan bertambah dan berkembang bagi pemiliknya apabila dia menyebarkan luaskannya kepada manusia."*

:books: Lihat "Nashîhah Ghôliyah wa Kanzuts Tsamîn" (hal.14).

:globe_with_meridians: Channel Telegram:
ⓣelegram.me/MasjidImamAlWadii