Hukum Hijab dan Menutup Wajah, oleh Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah

Risalah Hijab


oleh Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah:


بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيٍمِ

Pendahuluan

Segala puji hanya bagi Allah, kami memuji, meminta pertolongan-Nya, dan meminta perlindungan dari kehahatan jiwa-jiwa dan kejelekan kesalahan-kesalahan kami. Siapa yang Allah berikan petunjuk maka tiada yang mampu menyesatkannya, dan siapa yang Ia sesatkan maka tidak ada yang bisa memberinya petunjuk.

Kami bersaksi bahwa tiada Ilah yang hak selain Allah semata tiada sekutu baginya, dan sesungguhnya Muhammad adalah hamba dan utusannya shalawat dan salam yang banyak kepada beliau, sahabat dan siapa yang mengikuti mereka dengan baik.

Amma ba’du: Sungguh Allah telah  mengutus Muhammad ﷺ dengan petunjuk dan agama yang benar supaya mengeluarkan manusia dari kegelapan kepada cahaya dengan idzin Rabb mereka kepada Shirat-Nya yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji, Allahmengutus beliau untuk mewujudkan peribadatan kepada Allah, dan hal itu dengan sempurnanya  perendahan diri dan tunduk kepadnya-Nya tabaraka wa ta’ala dengan melaksaakan perintah-perintahnya dan menjauhi larangan-larangan-Nya serta mengedepankannya terhadap hawa nafsu dan syahwat. Allah mengutus beliau sebagai penyempurna akhlak yang mulia dengan cara menyeru kepadanya dengan segala cara dan sebagai peruntuh akhlak buruk dengan memberikan perngatan tetang buruknya dengan menempuh semua cara. Maka syariatnya ﷺ datang dengan sempurnadari semua sudutnya. Tidak butuh kepada seorang makhlukpun untuk menyempurnakannya atau megaturnya, sebab syariat itu dari sisi dzat yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui, maha Mengetahui apa yang baik bagi hamba-Nya dan maha Mengasihi mereka.

Sungguh diantara akhlak mulia yang Allah utus dengannya Muhammad ﷺ suatu akhlak yang mulia yaitu sifat malu, yang Nabi jadikan sebagai bentuk keimanan, dan cabang dari cabang-cabangnya, dan tidak seorang pun menginkari bahwa sifat malu yang diperintahkan secara syariat dan adat adalah wanita menjaga kehormatannya dan berperangai dengan akhlak yang apat menjauhkannya dari fitnah dan hal-hal yang mencurigakan[kehormatannya].

Dan diantara hal yang tidak diragukan bahwa menutup wajah wanita dan bagian menggoda dari tubuhnya merupakan penjagaan terbesar yang diupayakan dan berhias dengannya kerena terdapat bentuk perlindungan dan menjauhkannya dari fitnah.

Sungguh dahulu masyarakat di negri berkah ini, negri wahyu dan kerasulan,  malu dan sopan[menjaga kehormatan], dahulu mereka diatas jalan yang lurus pada perkara ini. Dahulu para wanita keluar dengan menggunakan hijab, jilbab dengan abaya atau semisalnya, jauh dari campur baur dengan pria asing [yang bukan mahram], dan kondisi ini masih berlaku pada kebanyakan wilayah kerajaan Saudia -dan segala puji hanya kepada Allah-.

Akan tetapi begitu terjadi apa yang terjadi berupa perbincangan seputar hijab dan pandangan orang yang tidak melaksanakannya dan berpendapat akan tidak masalah sufur [menampakkan wajah], maka muncul keraguan pada sebagian orang tetang [hukum] hijab dan menutup wajah, apakah hal itu wajib ataukah sunnah? ataukah hanya sesuatu yang sekedar mengikuti adat kebiasaan dan tidak ada kaitannya dengan hukum wajib atau sunnah?

Maka untuk menyingkirkn keraguan ini dan menampakkan hakikat perkara tersebut, aku ingin menulis apa yang dimudahkan berupa penjelasan hukum tersebut, dengan mengharap dari Allah ta’ala agar menerangkan dengan tulisan ini kebenaran, dan menjadikan kami diantara orang yang memberikan dan mendapatkan hidayah yang melihat kebenaran sebagai kebenaran dan mengikutinya, dan melihat kebatilan sebagai kebatilan dan menjauhinya, maka aku katakan dengan mengharap taufiq dari Allah:

Dalil- dalil Wajibnya Hijab

Ketahuilah wahai segenap muslim, bahwa berhijabnya seorang wanita dari pria yang bukan mahram dan menutup wajahnya adalah perkara wajib, wajibnya hal itu telah ditunjukkan oleh kitab Rabb mu, dan sunnah Nabi-mu Muhammad ﷺ , i’tibar yang benar dan kias[penyamaan/perbandingan] yang umum:

*Pertama: Dalil-dalil Al Quran:*

Diantara dalil-dalil Al Quran:

Dalil pertama:

Firman Allah ta’ala

وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا ۖ وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّ ۖ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَىٰ عَوْرَاتِ النِّسَاءِ ۖ وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ ۚ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Dan katakanlah kepada para perempuan yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali yang (biasa) terlihat. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau para perempuan (sesama Islam) mereka, atau hamba sahaya yang mereka miliki, atau para pelayan laki-laki (tua) yang tidak mempunyai keinginan (terhadap perempuan) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat perempuan. Dan janganlah mereka menghentakkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertobatlah kamu semua kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman, agar kamu beruntung.
[QS. An-Nur, Ayat 31]

Penjelasan argumentasi dari ayat ini tentang wajibnya hijab terhadap wanita dari pria asing dari beberapa sisi:

Pertama :

Allah memerintahkan kaum mukminat untuk menjaga kemaluan mereka, dan perintah menjaga kemaluan adalah perintah untuk menjalankannya dan menempuh cara untuk melaksanakannya. Dan orang yang berakal tidak ragu bahwa diantara cara untuk menjalankannya adalah menutup wajah, karena menampakkan wajah adalah sebab  untuk memandangnya dan memperhatikan kecantikannya dan bersenang-senang dengan hal itu. Kemudian akan sampai padanya dan tarjalin[hubungan], dan dalam hadits: 

العينان تزنيان وزناهما النظر

“kedua mata berzina, dan zina keduanya adalah dengan memandang”
sampai Nabi bersabda:

والفرج يصدق ذلك أو يكذبه

“dan kemaluannya yang membenarkan hal itu atau mendustakannya.”
Apabila menutup wajah merupakan cara untuk menjaga kemaluan maka tentu hal itu juga diperintahkan, sebab wasilah  memiliki hukum tujuannya.

Sisi kedua: 

firman Allah ta’ala:

  وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنّ

[Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya,]

Yang dimaksud dengan khimar adalah sesuatu yang wanita gunakan  menutupi wajahnya semacam tudung. Apabila wanita diperintahkan untuk mengulurkan tudung diatas kera bajunya maka ia diperintahkan untuk menutup wajahnya, apakah itu merupakan keharusan perkara itu atau dengan kias[perbandingan], sebab apabila menutup dada wajib, maka tentu menutup wajah lebih pantas, karena wajah adalah pusat kecantikan dan fitnah. 

Sebab orang-orang yang mencari kecantikan tidak mempertanyakan kecuali tentang wajahnya, apabila wajahnya cantik maka mereka tidak  menilai selain hal itu dengan penilaian yang penting. Oleh karena itu apabila dikatan Fulanah cantik mereka tidaklah faham dari ucapan ini kecuali kecantikan wajah. Maka dengan ini jelas bahwa wajah adalah letak kecantikan yang dicari dan yang disebut-sebut.

Apabila demikian halnya maka bagaimana bisa dipahami bahwa syariat yang bijak ini memerintahkan untuk menutupi dada dan leher kemudian membolehkan membuka wajah?!!

Sisi ketiga: 

Allah ta’ala melarang untuk menampakkan perhiasan secara mutlak, kecuali yang harus nampak darinya  yaitu apa yang harus kelihatan seperti pakaian luar, olehnya itu Allah berfirman: 

    إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا 

[kecuali yang mesti terlihat.] dan  tidak dikatakan apa yang mereka perlihatkan. 

Kemudian Allah melarang pada kali berikutnya agar tidak memperlihatkan perhiasan kecuali kepada siapa yang dikecualikan dari para pria.

Hal ini menunjukkan bahwa perhiasan kedua bukan perhiasan pertama. Perhiasan pertama adalah perhiasan dhzahir yang dilihat oleh semua orang dan tidak bisa ditutupi. Dan perhiasan kedua  adalah hiasan dalam yang ia berhias dengannya, seandainya saja hiasan kedua ini boleh dilihat oleh semua orang maka tentu tidak ada faidah yang diketahui dalam keumuman hiasan pertama dan pengecualian hiasan yang kedua.

Sisi kempat: 

Allah ta’ala memberikan keringanan akan bolehnya menampakkan hiasan dalam kepada ta’biin yang tidak punya hastar kepada wanita dari kalangan pria dan mereka adalah para pelayan yang tidak punya syahwat, dan kepada anak – anak yang belum bersyahwat dan belum mengerti tentang aurat [keindahan] wanita, hal ini menunjukkan 2 perkara:

1] Menampakkan hiasan dalam tidak halal kepada seorangpun yang bukan mahram kecuali kepada 2 golongan ini.

2] bahwa alasan hukum dilarangnya hal itu berputar diatas kekawatiran terjadinya fitnah terhadap wanita itu dan tergoda dengannya. 

Dan tidak diragukan bahwa wajah merupakan pusat keindahan dan letak pesonanya, sehingga menutup wajah wajib agar para pria yang memiliki syahwat tidak tergoda dengannya.

Sisi kelima: 

Firman Allah ta’ala:

وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ

[Dan janganlah mereka menghentakkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan.]

Yaitu hendaklah seorang wanita tidak menghentak-hentakkan kakinya sehingga diketahui apa yang tersembunyi dari gelang kaki dan semisalnya berupa perhiasan kaki yang digunakan oleh wanita.

Maka apabila wanita dilarang menghentakkan kakinya karena dikawatirkan terfitnahnya para pria dengan apa yang mereka dengar dari suara gelang kakinya dan semisalnya, maka bagaimana kiranya dengan menampakkan wajah?!!

Manakah yang lebih besar fitnahnya , pria mendengar suara hentakan  gelang kaki wanita yang ia tidak kenali dan tidak tahu akan kecantikannya ?!! Ia tidak tahu apakah ia adalah gadis ataukah nenek-nenek?!! Ia tidak tahu apakah ia wanita buruk rupa ataukah wanita yang cantik jelita?!

Manakah yang lebih besar fitnahnya, apakah perkara ini ataukah melihat wajahnya yang terbuka, cantik, penuh dengan keremajaan, belia, jelita, mempesona, bersolek dengan hiasan yang menggoda dan menarik perhatian?!!

Sungguh setiap orang yang punya nafsu pada wanita mesti tahu fitnah manakah yang lebih besar dan lebih pantas untuk ditutupi dan disembunyikan.

Dalil ke-2 :

Firman Allah ta’ala:

وَالْقَوَاعِدُ مِنَ النِّسَاءِ اللَّاتِي لَا يَرْجُونَ نِكَاحًا فَلَيْسَ عَلَيْهِنَّ جُنَاحٌ أَنْ يَضَعْنَ ثِيَابَهُنَّ غَيْرَ مُتَبَرِّجَاتٍ بِزِينَةٍ ۖ وَأَنْ يَسْتَعْفِفْنَ خَيْرٌ لَهُنَّ ۗ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

Dan para perempuan tua yang telah berhenti (dari haid dan mengandung) yang tidak ingin menikah (lagi), maka tidak ada dosa menanggalkan pakaian (luar) mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan[kecantikan]; tetapi memelihara kehormatan adalah lebih baik bagi mereka. Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.

[QS. An-Nur, Ayat 60]

Sisi pendalilan ayat yang mulia ini adalah Allah ta’ala mentiadakan dosa terhadap al Qawaid yaitu wanita tua[menopause] yang tidak punya keinginan nikah lantaran tidak adanya hasrat terhadap para pria karena ketuaan mereka. Allah menjatuhkan dosa dari wanita tua tersebut dalam melepas pakaian mereka, dengan syarat jangan sampai maksud dari hal itu untuk tabrruj bersolek memperlihatkan hiasannya. 

Dan dimaklumi secara naluri bahwa maksud melepas pakaian bukanlah telanjang. Hanya yang dimaksudkan dengan melepas pakaian adalah apa yang diatas pakaian luar dan semisalnya berupa pakaian yang menutupi secara umum seperti wajah, dan kedua telapak tangan. Maka pakaian yang dimaksud yang dibolehkan bagi para wanita tua untuk melepaskannya adalah pakaian yang telah lalu penyebutannya, yang menutupi seluruh badan, dan kekhususan hukum untuk wanita tua ini adalah dalil bahwa para wanita muda yang punya keinginan nikah, menyelisihi wanita tua dari sisi hukum.

Kalaulah hukum itu berlaku rata, dalam melepaskan pakaian dan memakai pakaian luar dan semisalnya maka tidak ada faidahnya pengkhususan hukum ini terhadap wanita tua.
dan firmannya :

غَيْرَ مُتَبَرِّجَاتٍ بِزِينَةٍ

dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan[kecantikan]

Ini merupakan dalil lain akan wajibnya hijab bagi para wanita muda yang punya hasrat menikah, sebab kebanyakannya wanita muda apabila membuka wajahnya yang ia inginkan adalah berhias, dan penampakan kecantikannya, agar dilihat oleh para pria, disanjung dan semisalnya. Dan yang tidak demikian maksudnya itu jarang, dan seseuatu yang jarang tidak dianggap.

Dalil ke-3 :

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ ۗ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا

Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin, “Hendaklah mereka menutupkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenali, sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.

[QS. Al-Ahzab, Ayat 59]

Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma berkata: 

“Allah memerintahkan para wanita kaum mukimin apabila keluar dari rumah-rumah mereka dalam suatu urusan agar menutupi wajah-wajah mereka dari atas kepala mereka dengan jilbab, dan menampakkan satu mata saja.”

Dan tafsiran sahabat adalah hujjah, bahkan sebagian ulama berpendapat bahwa tafsir sahabat memiliki hukum marfu’ [sampai] kepada Nabi ﷺ.

Ucapan beliau : “dan menampakkan satu mata saja” hal itu dibolehkan disebabkan hal darurat dan kebutuhan untuk melihat jalan, adapun apabila tidak dibutuhkan maka tidak ada yang mengharuskan untuk membuka mata.

Dan jilbab adalah kain yang diselendangkan diatas kerudung bagai abaya.

Ummu Salamah radhiyallahu anha berkata: 

“Tatkala ayat ini turun para wanita Anshar keluar, kepala mereka laksana ada burung gagaknya lantaran tenangnya mereka, dan menutupi mereka kain hitam yang mereka kenakan.”

Ubaidah As Salmani dan selainnya telah menyebutkan bahwa wanita kaum mukminin dahulu menjulurkan jilbab mereka dari atas kepala mereka hingga tidaklah nampak kecuali mata mereka,  untuk melihat jalan.

Dalil ke-4 :

Firman Allah ta’ala :

لَا جُنَاحَ عَلَيْهِنَّ فِي آبَائِهِنَّ وَلَا أَبْنَائِهِنَّ وَلَا إِخْوَانِهِنَّ وَلَا أَبْنَاءِ إِخْوَانِهِنَّ وَلَا أَبْنَاءِ أَخَوَاتِهِنَّ وَلَا نِسَائِهِنَّ وَلَا مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ ۗ وَاتَّقِينَ اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدًا

Tidak ada dosa atas istri-istri Nabi (untuk berjumpa tanpa tabir) dengan bapak-bapak mereka, anak laki-laki mereka, saudara laki-laki mereka, anak laki-laki dari saudara laki-laki mereka, anak laki-laki dari saudara perempuan mereka, perempuan-perempuan mereka (yang beriman) dan hamba sahaya yang mereka miliki, dan bertakwalah kamu (istri-istri Nabi) kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu.

[QS Al-Ahzab, Ayat 55]

Ibnu Katsir rahimahullah berkata: 

Tatkala Allah memerintahkan para wanita untuk berhijab dari pria yang bukan mahram, Allah menjelaskan bahwa para kerabat yang disebut  tidaklah wajib berhijab dari mereka, sebagaimana dikecualikan dalam surat An Nur pada firmannya :

وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ

[dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali kepada suami mereka,..]

Inilah 4 ayat dalil dari Al Quranul Karim menunjukkan akan wajibnya wanita berhijab dari pria yang bukan mahram, dan ayat pertama menunjukkan hal itu dari 5 sisi.

Kedua: 

Dalil dalil Sunnah.

Diantara dalil dari sunnah adalah :

Pertama: Sabda Nabi ﷺ

إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمْ امْرَأَةً فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِ أَنْ يَنْظُرَ إِلَيْهَا إِذَا كَانَ إِنَّمَا يَنْظُرُ إِلَيْهَا لِخِطْبَتِهِ وَإِنْ كَانَتْ لَا تَعْلَمُ

"jika seseorang dari kalian melamar seorang wanita, maka tidak mengapa baginya untuk melihat wanita tersebut, apabila dia melihatnya hanya untuk melamarnya saja, meskipun wanita tersebut tidak mengetahuinya.” 

HR. Ahmad 

Dan dalam Majma’ az zawaid dikatakan: para perowinya adalah perowi shahih.

Sisi pendalilan darinya, Nabi ﷺ mentiadakan dosa bagi pria yang melamar apabila ia melihat wanita yang ia lamar, dengan syarat ia melihatnya untuk melamarnya. 

Hal ini menunjukkan bahwa selain pria yang mau melamar berdosa melihat kepada wanita yang bukan mahram bagaimanapun itu. 

Demikian juga pria yang mau melamar apabila ia melihat wanita tersebut bukan untuk melamarnya, sebagai contoh ia melihatnya dengan maksud bersenang-senang dengan menikmatinya, dan semisalnya.

Apabila ditanya:” tidak disebutkan dalam hadits ini penjelasan apa yang boleh dilihat darinya. Bisa saja yang dimaksud adalah melihat dadanya dan lehernya”.

Jawabannya: bahwa siapa saja tahu bahwa maksud pria yang menginginkan kecantikan adalah kecantikan wajah, dan yang lain dari itu hanyalah sebagai tambahan tidak dimaksud kebanyakannya. Maka sang pelamar hanyalah memandang wajahnya sebab yang dimaksud adalah kecantikan wajah tanpa diragukan.

Dalil ke-2:

Nabi ﷺ tatkala memerintahkan  untuk mengeluarkan wanita menuju lapangan shalat Ied, para wanita berkata:  “Wahai Rasullah ﷺ sebagian kami ada yang tidak punya jilbab,” Maka Rasulullah ﷺ bersabda:

لِتُلْبِسْهَا أُخْتُهَا مِنْ جِلْبَابِهَا

“Hendaklah saudarinya yang punya meminjamkannya jilbab.”  diriwayatkan oleh al Bukhari, Muslim dan selainnya.

Hadits ini menunjukkan bahwa kebiasaan disisi wanita sahabat adalah  tidak  keluar kecuali menggunakan jilbab. Dan bahwa tatkala tidak ada jilbab ia tidak boleh keluar. Oleh karena itu mereka radhiyallahu anhunna menyebutkan alasan tersebut kepada Rasulullah ﷺ begitu beliau memerintahkan mereka untuk keluar kelapangan Ied, maka Nabi ﷺ menjelaskan kepada mereka cara menyelesaikan masalah tersebut yaitu saudarinya meminjamkan jilbabnya dan tidak mengizinkannya untuk keluar tanpa jilbab, padahal keluar kelapangan Ied disyatiatkan bagi pria dan wanita.

Apabila Rasulullah  ﷺ tidak membolehkan mereka meinggalkan jilbab untuk keluar pada perkara yang diperintahkan, maka bagaimana mungkin dibolehkan bagi mereka meninggalkan penggunaan jilbab untuk keluar pada perkara yang tidak diperintahkan dan dibutuhkan?!! Bahkan shoping keliling pasar, campur baur dengan pria dan melihat pemandangan yang tidak ada faidahnya.
Dan dalam perintah menggunakan jilbab pendalilan bahwa harus untuk menutup aurat. Wallahu a’lam.

Dalil ke-3:

Apa yang tertera dalam Shahihain dari ‘Aisyah radhiyallahu anha, beliau berkata: Dahulu Rasulullah ﷺ  shalat subuh, dan hadir bersama beliau para wanita mukminah yang membungkus kepapala mereka dengan kain, kemudian mereka pulang kerumah-rumah mereka dan tak seorangpun mengenali mereka karena keadaan masih gelap gulita .
Dan beliau berkata: Seandainya Rasulullah  ﷺ melihat dari para wanita apa yang kami lihat[sekarang ini] maka niscaya beliau akan melarang mereka dari mendatangi masjid, sebagaimana bani Israil melarang wanita-wanita mereka. Dan hal semisal ini juga telah diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud.
Pendalilan hadits ini dari 2 sisi:

Pertama: Berhijab dan menutup diri merupakan kebiasaan wanita shahabat yang merupakan generasi terbaik,  dan paling mulia disisi Alla Azza wa Jalla, yang paling tinggi akhlak dan adabnya, yang paling sempurna keimanan, dan paling benar amalannya, mereka adalah teladan yang Allah telah ridhoi dan siapa saja yang engikuti mereka dengan baik, sebagaimana Allah berfirman:

وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ۚ ذَٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

Dan orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Ansar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah. Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang agung.

[QS.At-Taubah, Ayat 100]

Apabila itu adalah metode yang ditempuh wanita para sahabat, maka apakah pantas bagi kita untuk berpaling dari metode tersebut dimana dengan mengikutinya dengan baik keridhoaan Allah terhadap yang menjalani dan mengikutinya.

Dan Allah telah berfirman:

وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرًا

Dan barangsiapa menentang Rasul (Muhammad) setelah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan dia dalam kesesatan yang telah dilakukannya itu dan akan Kami masukkan dia ke dalam neraka Jahanam, dan itu seburuk-buruk tempat kembali.

[QS. An-Nisa', Ayat 115 ]

Kedua: ‘Aisyah Ummul Mukminin dan Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu anhum [cukuplah bagimu dengan keduanya berupa ilmu, fikih, dan bashirah tentang agama Allah, serta nasihat untuk hamba-hamba Allah ] keduanya menyampaikan bahwa seandainya Rasulullah ﷺ melihat dari para wanita yang keduanya lihat, maka niscaya beliau ﷺ akan melarang mereka dari [mendatangi] masjid. Sedangkan ucapan ini dimasa generasi yang utama, [namun] keadaan telah berubah dari keadaan dimasa Nabi ﷺ kepada keadaan yang mengharuskan untuk melarang para wanita dari [mendatangi] masjid.

Maka bagaimana kiranya dengan zaman kita ini setelah sekitar 13 abad, dan perkara ini telah meluas, sikap malu semakin sedikit, dan melemahnya agama dihati kebanyakan manusia?!!

‘Aisyah da Ibnu Mas’ud radhiyallahu anhuma memahami apa yang ditunjukkan nash-nash syariat yang sempurna bahwa semua perkara yang padanya ada resikonya maka  hal itu  terlarang.

Dalil ke-4:

Nabi ﷺ bersabda:

مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلَاءَ لَمْ يَنْظُرْ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

"Barangsiapa menyeret kainnya dengan rasa sombong, maka Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat." Ummu Salamah bertanya, "Lalu apa yang harus dilakukan kaum wanita dengan dzail (lebihan kain bagian bawah) mereka?" beliau menjawab:

  يُرْخِينَه شِبْرًا

“Mereka boleh memanjangkan sejengkal.”

Ummu Salamah kembali menyelah, "Kalau begitu telapak kaki mereka akan terlihat!" beliau bersabda:

يُرْخِينَهُ ذِرَاعًا لَا يَزِدْنَ عَلَيْهِ

Mereka boleh memanjangkannya sehasta, dan jangan lebih." 

Dalam hadits ini pendalilan tentang wajibnya menutup telapak kaki wanita, dan hal ini merupakan perkara yang dimaklumi disisi para wanita sahabat radhiyallahu anhum. Dan telapak kaki lebih kecil fitnahnya daripada wajah dan kedua telapak tangan tanpa diragukan. Maka peringatan dengan yang terendah adalah peringatan terhadap yang lebih besar dan lebih pantas darinya dengan hukum tersebut.

Sedangkan hikmah syariat enggan untuk mewajibkan menutupi sesuatu yang lebih kecil fitnahnya dan membolehkan membuka sesuatu yang lebih besar fitnahnya, sebab ini merupakan suatu perkara yang bertentangan dan mustahil atas hikmat Allah dan syariat-Nya.

Dalil ke-5:

Sabda Nabi ﷺ

إِنْ كَانَ لِإِحْدَاكُنَّ مُكَاتَبٌ فَكَانَ عِنْدَهُ مَا يُؤَدِّي فَلْتَحْتَجِبْ مِنْهُ

Apabila salah seorang di antara kalian[wanita] memiliki budak mukatab dan budak tersebut memiliki sesuatu yang dapat ia bayarkan [menebus dirinya], maka hendaknya ia berhijab darinya."

Diriwayatkan oleh Imam yang lima selain An Nasai, dan dinyatakan shahih oleh At Tirmidzi.

Sisi pendalilan dari hadits ini, bahwa menampakkan wajah tuan[wanita] boleh kepada budaknya, selama masih dalam kepemilikannya.

Apabila telah keluar dari kepemilikannya maka wajib baginya untuk berhijab sebab budak itu telah menjadi ajnabi[asing], hal ini menunjukkan wajibnya wanita berhijab dari para pria ajnabi yang bukan mahram.

Dalil ke-6:

Dari ‘Aisyah radhiyallahu anha beliau berkata:

كَانَ الرُّكْبَانُ يَمُرُّونَ بِنَا وَنَحْنُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُحْرِمَاتٌ فَإِذَا حَاذَوْا بِنَا سَدَلَتْ إِحْدَانَا جِلْبَابَهَا مِنْ رَأْسِهَا عَلَى وَجْهِهَا فَإِذَا جَاوَزُونَا كَشَفْنَاهُ

Dahulu orang-orang yang berkendaraan melewati Kami sementara Kami sedang berihram bersama Rasulullah ﷺ kemudian apabila mereka dekat dengan Kami maka salah seorang diantara Kami menutupkan jilbabnya dari kepala ke wajahnya, kemudian apabila mereka telah melewati Kami maka Kami membukanya”. 

HR. Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah.

Dan ucapan beliau: “apabila mereka melewati kami”  yaitu orang-orang yang berkendara.

Kata : “Kami menutupkan jilbabnya dari kepala ke wajahnya” dalil tentang wajibnya menutup wajah, sebab yang disyariatkan saat ihram adalah membuka wajah, seandainya saja bukan karena keberadaan larangan kuat dari membuka wajah saat itu, maka wajib membiarkannya terbuka.

Penjelasannya bahwa membuka wajah saat ihram wajib bagi para wanita, disisi kebanyakan ulama, dan yang wajib ditentang pelaksanaannya kecuali dengan yang wajib[juga]. Seandainya bukan kerena wajibnya berhijab dan menutup wajah dari pandangan yang bukan mahram, maka tentu tidak boleh meninggalakn hal wajib berupa membuka wajah saat ihram. Dan telah sahih dalam shahihain dan lainnya bahwa seorang wanita yang ihram dilarang menggunakan cadar dan kaos tangan.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:  

dan hal ini diantara dalil yang menunjukkan bahwa cadar dan kaos tangan adalah hal yang maklum [digunakan] oleh para wanita yang tidak ihram, dan hal ini mengharuskan tertutupnya wajah dan tangan mereka.

Inilah 6 dalil dari sunnah menunjukkan wajibnya berhijab bagi wanita dan menutup wajahnya dari pria yang bukan mahramnya, ditambah lagi 4 dalil dari Al Quran, sehingga semuanya ada 10 dalil dari Al Quran dan Sunnah.

Ketiga: Dalil Kias[penyamaan]

Dalil ke 11

: Merupakan timbangan yang benar dan kias [penilaian kesamaan] umum dimana Syariat sempurna ini datang dengannya, adalah pengikraran maslahat dan wasail[pengantar kepada]nya serta memberikan dorongan melakukannya, dan menginkari mafsadat dan wasailnya serta menberikan teguran darinya.

Maka setiap perkara yang murni maslahatnya, atau lebih kuat daripada mafsadatnya maka itu diperintahkan, wajib atau sunnah.

Dan setiap perkara yang murni mafsadat atau lebih besar dari maslahatnya maka terlarang, haram atau makruh.

Apabila kita memperhatikan, menampakkan perhiasan dan membuka wajah wanita dihadapan  yang bukan mahram, maka kita akan dapatkan hal itu mengandung banyak mafsadat[kerusakan], kalau seandainya disana ada maslahatnya maka sedikit dan tenggelam dalam mafsadatnya.

Diantara mafsadatnya :

~ Fitnah, sebab wanita akan terftinah oleh dirinya sendiri dengan melakukan hal yang bisa mempercantik wajahnya, mencerahkan dan menampilkannya dengan rupa yang menggoda. Dan ini adalah pemicu kejahatan dan kerusakan terbesar.

~ Hilangnya rasa malu dari wanita tersebtu, dimana rasa malu merupakan keimanan dan wujud fitrah[kesucian] wanita. Sungguh dahulu wanita dijadikan sebagai contoh dalam rasa malu “lebih malu daripada perawan dalam kelambu[pelaminan]nya”. Hilangnya rasa malu pada wanita adalah kekurangan dalam keimanannya, dan keluar dari fitrah yang Allah ciptakan.

~ Tergodanya pria dengan wanita itu, terlebih lagi jika ia cantik, merayu, tersenyum, bercanda yang dilakukan kebanyakan wanita yang menampakkan kecantikan mereka, seperti yang dikatakan “[awalnya] pandangan, salam, berbincang, janjian lalu ketemuan”

~ Sementara Syaithan mengalir pada manusia pada aliran darahnya, betapa banyak perbincangan, tawa, dan senang yang menjadikan hati pria terpikat wanita dan hati wanita terpikat dengan pria. Dan terdajilah dari hal itu berupa keburukan yang tidak bisa dihindari, kita memohon kepada Allah keselamatan [dari hal itu].

~ Campur baur para wanita dengan para pria, sebab seorang wanita apabila melihat dirinya setara dengan pria dari sisi membuka wajah, dan keluyuran dengan bersolek, maka tidak ada rasa malu dari wanita itu tidak juga rasa takut dari berdesak-desakan dengan para pria. Dan tentu  hal ini fitnah besar dan kerusakan yang lebar. 

Sungguh Nabi ﷺ  keluar disuatu hari dari masjid, dan saat itu wanita dan pria telah bercampur baur dijalan, maka Nabi ﷺ bersabda kepada para wanita:

اسْتَأْخِرْنَ فَإِنَّهُ لَيْسَ لَكُنَّ أَنْ تَحْقُقْنَ الطَّرِيقَ عَلَيْكُنَّ بِحَافَّاتِ الطَّرِيقِ فَكَانَتْ الْمَرْأَةُ تَلْتَصِقُ بِالْجِدَارِ حَتَّى إِنَّ ثَوْبَهَا لَيَتَعَلَّقُ بِالْجِدَارِ مِنْ لُصُوقِهَا بِهِ

"Hendaklah kalian menyingkir[minggir] berjalan (terakhir), sebab kalian tidak berhak untuk memenuhi jalan. Hendaklah kalian berjalan di pinggiran jalan." Sehingga ada seorang wanita yang berjalan dengan menempel tembok, hingga bajunya tersangkut tembok karena ia mendempel tembok."

[disebutkan oleh Ibnu Katsir pada tafsir firman Allah ta’ala:

وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ

Dan katakanlah kepada para perempuan yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya..

[QS. An-Nur, Ayat 31 ]]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah telah menyebutkan nash wajibnya wanita berhijab dari pria yang bukan mahramnya, beliau menyatakan dalam Al Fatawa cetakan terakhir hal. 110 jilid 2 dari al Fiqih dan 22 dari Al Majmu’ :

dan pada kenyataannya Allah membagi perhiasan menjadi dua: perhiasan yang dhzahir [nampak], dan yang tidak nampak. Boleh bagi wanita menampakkan hiasan dhzahir kepada selain suami dan yang bukan mahramnya, dahulu sebelum turunnya ayat hijab para wanita keluar tanpa jilbab, 

Para pria melihat wajah dan kedua tangannya. Saat itu boleh untuk menampakkan wajah dan tangannya. Dan dahulu boleh melihat kepadanya, karena boleh menampakkannya. Kemudian tatkala Allah menurunkan ayat hijab dalam firman-Nya:

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ ۗ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا

Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin, “Hendaklah mereka menutupkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenali, sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.

[QS. Al-Ahzab, Ayat 59]

Maka para wanita berhijab dari para pria.

Lalu beliau berkata: Dan jilbab adalah baju kurung yang dinamakan oleh Ibnu Mas’ud dan yang lainnya Rida’, dan orang awam sebut Sarung. Yaitu sarung besar yang menutupi kepala dan seluruh tubuhnya.

Kemudian dikatakan: Apabila para wanita dulunya diperintahkan menggunakan jilbab agar tidak dikenali, yaitu dengan menutupi wajah atau menggunakan cadar, maka wajah dan tangan adalah perhiasan yang tidak boleh ditampakkan kepada pria yang bukan mahram, dan apa yang tersisa selain itu boleh dilihat oleh yang bukan mahram yaitu melihat pakaian luar, Ibnu Mas’ud menyebutkan akhir dari kedua perkara, dan Ibnu Abbas menyebutkan yang pertama dari keduanya.

Sampai beliau mengatakan: “dan kebalikan dari itu, wajah, kedua telapak tangan dan kaki tidak boleh diperlihatkan kepada yang bukan mahram berdasarkan pendapat yang benar dari 2 pendapat, yaitu tidak boleh menampakkan apapun selain pakaian, berbeda dengan keadaan sebelum terhapusnya hukum itu.dan dihalaman 117, 118 dari juz tersebut : Adapun wajah. telapak tangan dan kakinya, maka hanyalah dilarang untuk menampakkannya kepada yang bukan mahram, tidak dilarang  menampakkannya kepada para wanita dan juga maramnya.

Dan dihalaman 152 : Dan dasar perkara ini, ketahuilah bahwa Syariat punya 2 maksud: pertama “membedakan antara pria dan wanita” kedua “berhijabnya para wanita”

Ini ucapan syaikhul Islam, adapun ucapan selainya dari kalangan fuqaha ashab Imam Ahmad, maka aku akan sebutkan madzhab tersebut  disisi mutaakhirin:

Dalam Al Muntaha : 

“haram bagi orang yang tidak ada testisnya dan yang putus  penisnya memandang wanita yang bukan mahram”

Ditempat lain, dari kitab Al Iqna’ “tidak boleh memandang dengan sengaja kepada wanita merdeka yang bukan mahram, haram melihat rambutnya.”

Dan dalam Matan ad Dalil: 

memandang wanita ada 8 macam: “pertama : Pria baligh melihat wanita merdeka bukan mahramnya walaupun ia seorang yang putus penisnya, tanpa hajat. Tidak boleh baginya melihat sesuatupun darinya walaupun rambutnya yang disambung.”

Adapun pendapat Syafi’iyyah mereka menyatakan: Apabila ia melihat dengan syahwat atau dikawatirkan ia tergoda maka pasti keharamannya tanpa diperselisihkan, adapun memandang tanpa syahwat dan tidak dikawatirkan fitnah maka 2 pendapat,

kedua pendapat tersebut disebut dalam syarah al Iqna’  dan penulis berkata: dan yang benar hal itu haram. sebagaimana dalam al Minhaj sesuai hukum asalnya, dan Imam[penulis] tersebut menyebutkan argument dengan kesepakatan kaum muslimin atas terlarangnya para wanita keluar dengan menampakkan wajah, karena memandangnya merupakan kemungkinan besar untuk terfitnah dan membangkitkan syahwat.

Dan Allah telah berfirman:

قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَزْكَىٰ لَهُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ

Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu, lebih suci bagi mereka. Sungguh, Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.

[QS. An-Nur, Ayat 30 ]

Dan yang layak dengan keindahan syariat adalah menutup celah dan berpaling dari perincian keadaan.” selesai.

Dalam Nailul Authar dan syarah al Muntaqa [penyebutan kesepakatan kaum muslimin atas larangan wanita keluar menampakkan wajah mereka terlebih lagi saat banyaknya orang fasik]

Ke-4: Dalil-dalil orang yang membolehkan menampakkan wajah bagi wanita

Aku tidaklah tahu dalil dari Al Kitab dan As Sunnah bagi orang yang membolehkan melihat wajah dan kedua telapak tangan bagi wanita asing selain dalil-dalil berikut:

Pertama: FirmanAllah ta’ala:

وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا

dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali yang (mesti) terlihat.

[QS. An-Nur, Ayat 31]

Ibnu Abbas  radhiyallahu anhuma berkata: 
yaitu wajah, telapak tangan dan cincinnya.

Al a’masy berkata: 

dari Said bin Jubair dari beliau radhiyallahu anhu. Dan tafsir sahabat hujjah sebagaimana telah lalu penyebutannya.

Kedua: Apa yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam sunannya dari ‘Aisyah radhiyallahu anha berkata: bahwa Asma binti Abu Bakar masuk menjumpai Rasulullah ﷺ ,dan dengan berpakaian tipis, maka beliau perpaling darinya dan bersabda:

إِنَّ الْمَرْأَةَ إِذَا بَلَغَتْ الْمَحِيضَ لَمْ تَصْلُحْ أَنْ يُرَى مِنْهَا إِلَّا هَذَا وَهَذَا وَأَشَارَ إِلَى وَجْهِهِ وَكَفَّيْهِ

“sesungguhnya seorang wanita jika telah baligh tidak boleh terlihat darinya kecuali ini dan ini -beliau menunjuk wajah dan kedua telapak tangannya-.”

Ketiga:

Apa yang diriwayatkan oleh Al Bukhari dan selainnya dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma, bahwa saudaranya al Fadhl dulu dibonceng Nabi ﷺ pada haji Wada’,lalu datang seorang wanita dari Khots’am maka Al Fadhl melihatnya dan wanita itu balik melihatnya. Maka Nabi ﷺ memalingkan wajah al Fadhl kearah lain….  

Ini merupakan dalil bahwa wanita tersebut membuka wajahnya.

Keempat:

Apa yang diriwayatkan oleh Al Bukhari dan lainnya dari Jabir bin Abdullha radhiyallahu anhuma tentang shalatnya Nabi ﷺ mengimami shalat Ied, kemudian beliau memberikan nasihat kepada mereka dan peringatan, lalu beliau pergi mendatangi para wanita memberikan nasihat dan peringatan kepada mereka dan berkata:

يا معشر النساء تَصَدَّقْنَ فَإِنَّ أَكْثَرَكُنَّ حَطَبُ جَهَنَّمَ فَقَامَتْ امْرَأَةٌ مِنْ سِطَةِ النِّسَاءِ سَفْعَاءُ الْخَدَّيْنِ

"Wahai para wanita bersedekahlah kalian, karena kebanyakan kalian akan menjadi bahan bakar neraka jahannam." Maka berdirilah seorang wanita yang duduk ditengah  mereka dengan muka pucat….
Seandainya wajah wanita itu tidak terbuka maka niccaya tidak akan diketahui bahwa wanita itu pucat.
Ini yang aku ketahui berupa dalil-dalil yang mungkin dijadikan dalil akan bolehnya wanita membuka wajahnya kepada pria asing.

Kelima: Jawaban terhadap dalil-dalil tersebut.

Akan tetapi dalil-dalil ini tidaklah bertentangan dengan apa yang telah lalu  penyebutannya dari dalil-dalil wajibnya menutup wajah, ditinjau dari dua sisi:

Pertama:

Bahwa dalil yang menunjukan wajibnya menutup wajah merupakan nakil[pemindah hukum] dari hukum asal[yaitu bolehnya membuka wajah], dan dalil –dalil tentang bolehnya membukanya adalah dalil yang masih pada hukum asalnya. Sedangkan nakil [yang memindah/merubah] hukum dari asalnya lebih didahulukan, sebagaimana hal ini makruf disisi ahli ushul.

Demikian itu karena  pada dasarnya sesuatu itu tetap pada hukum dasarnya. Apabila didapatkan dalil nakil [pemindah] dari hukum dasar, ini menunjukkan adanya hukum baru pada perkara tersebut dan merubah hukumnya.

Oleh karena itu kami katakan: orang yang menyebutkan dalil nakil punya ilmu lebih, yaitu adanya perubahan hukum  asal, dan yang menetapkan adanya sesuatu lebih dikedepankan dari yang menafikannya.

Dan ini jawaban global yang kuat, bahkan jika dalil-dalil tersebut setara ditinjau dari keshahihan dan pandaliannya.

Kedua:

Apa bila kita meneliti dalil-dalil yang membolehkan membuka wajah maka kita akan dapatkan bahwa dalil itu tidak setara dengan dalil –dalil yang melarangnya, dan hal itu akan jelas dengan jawaban untuk masing-masing dari dalil-dalil itu sebagai berikut:

*Tafsir Ibnu Abbas* dari tiga sisi:

Pertama: 

ada kemungkinan bahwa maksud ucapan beliau adalah awal perkara itu, sebelum turunnya ayat hijab, sebagaimana yang disebutkan oleh Syaikhul Islam rahimahullah. Dan kami telah nukilkan barusan.

Kedua: 

ada kemungkinan bahwa yang dimaksud beliau adalah hiasan yang dilarang untuk ditampakkan, sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam tafsir beliau, dan kedua kemungkinan ini diperkuat oleh tafsir beliau radhiyallahu ahuma dalam firman Allah:

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ ۗ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا

Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin, “Hendaklah mereka menutupkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenali, sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang

[QS. Al-Ahzab, Ayat 59]

sebagaimana telah lalu dalam dalil ke-3 dari dalil –dalil Al Quran.

Ketiga: Ababila kita tidak menerima bahwa yang dimaksud beliau salah satu dari dua kemungkinan itu, maka tafsir beliau tidak bisa menjadi hujjah yang harus diterima kecuali apabila tidak ada sahabat lain yang menyelisinya. Apabila ada sahabat lain yang menyelisi  tafsiran itu maka yang diambil adalah yang dikuatkan oleh dalil-dalil lain. Dan Ibnu Abbas telah diselisihi oleh Ibnu Mas’ud radhiyallahu anhu dimana beliau mentafsirkan firman Allah 

[إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا] “

dan janganlah menampakkan perhiasannya , kecuali yang mesti terlihat”
beliau tafsirkan dengan kain selendang dan baju dan apa saja yang mesti kelihatan. 

Maka wajib mencari yang lebih kuat dan mengamalkan apa yang kuat dalam tafsir keduanya.

KE-2:

Hadits ‘Aisyah hadits dho’if[ lemah] dari dua sisi:

Pertama: adanya Inqitha’[terputus] antara ‘Aisyah dan Khalid bin Duraik yang meriwayatkan hadit ini dari beliau, sebagaimana Abu Dawud sendiri dengan alasan itu menyatakan hadits tersebut cacat, dikala beliau berkata: Khalid bin Duraik tidak mendengar dari ‘Aisyah, demikian pula dinyatakan oleh Abu Hatim Ar Razi.

Kedua: Dalam sanadnya ada Sa’id bin Basyir An Nashri, berdomisili di Dumaskus, Ibnu Mahdi meninggalkannya, dilemahkan oleh Ahmad, Ibnu Ma’in, Ibnul Madini dan An Nasaai. Maka berdasarkan hal ini, hadits tersebut dho’if tidak bisa melawan apa yang telah berlalu dari hadits-hadits sahih yang menunjukkan wajibnya berhijab.

Dan juga Asma binti Abu Bakar radhiyallahuanhum saat berhijrah berusia 27 tahun, Ia sudah dewasa, maka jauh kemungkinannya untuk masuk berjumpa dengan Nabi ﷺ sedangkan ia berpakaian tipis, akan nampak darinya selain wajah dan kedua telapak tangannya, wallahu a’lam.

Kemudian anggaplah hadits itu sahih, kemungkinan hal itu terjadi sebelum turunnya ayat hijab, sebab nash-nash hijab adalah nakil[memindahkan] hukum asal sebagaimana telah berlalu.

KE-3:

Hadits Ibnu Abbas radhiyalahu anhuma,

Tidak ada pendalilan padanya akan bolehnya melihat wanita yang bukan mahram. Sebab Nabi ﷺ  tidak membiarkan Al Fadhl atas hal itu, meliankan beliau palingkan wajahnya kearah lain.

Oleh karena itu An Nawawi rahimahullah menyebutkan dalam “syarah shahih Muslim” bahwa diantara faidah hadits ini adalah haramnya melihat wanita asing.

Al hafidhz Ibnu Hajar dalam “Fathul Bari” berkata: 

diantara faidah hadits ini: larangan melihat wanita-wanita asing[bukan mahram] dan [perintah] menundukkan pandangan. Iadh berkata “sebagian ber-anggapan bahwa hal itu tidaklah wajib kecuali apabila dikawatirkan fitnah” beliau berkata; didisi saya, [berdasarkan] perbuatan Nabi ﷺ  begitu menutup wajah Al Fadhl sebagaimana dalam suatu riwayat. Apabila ada yang bertanya: lalu mengapa Nabi  ﷺ tidak memerintahkan wanita itu untuk menutup wajahnya?

Jawabannya: Yang nampak wanita itu sementara ihram, dan yang disyariatkan pada nya adalah untuk tidak menutup wajah apabila tidak ada orang asing yang melihatnya, atau boleh jadi Nabi ﷺ  menyuruhnya setelah itu. Karena tidak adanya penyebutan perintah beliau akan hal itu  bukan berarti tidak diperintahkan. Sebab tidak adanya penyebutan bukan berarti itu tidak ada hal itu.

Muslim dan Abu Dawud meriwayatkan dari Jarir bin Abdullah Al Bajali radhiyallahu anhu berkata: Aku bertanya kepada Rasulullah ﷺ tentang pandangan yang tidak disengaja, maka beliau menjawab: “palingkanlah pandanganmu” atau beliau berkata: maka beliau memerintahkanku untuk memalingkan pandanganku.

Ke-4:

Hadits Jabir radhiyallahu anhuma,
Hadits itu tidak disebutkan kapan hal itu terjadi, boleh jadi wanita itu adalah diantara wanita tua [menopause] yang tidak lagi punya hasrat nikah, iapun membuka wajahnya, dan hal itu tidak menghalangi akan wajibnya hijab bagi selain wanita itu. Atau hal itu terjadi sebelum turunnya ayat hijab, sebab ayat hijab yang disurat Al Ahzab turun pada tahun ke-5 atau ke-6 setelah hijrah, sementara shalat Ied disyariatkan pada tahun ke2 hijriyah.

Ketahuilah bahwa kami berpanjang lebar dalam pembahasan ini lantaran butuhnya manusia untuk mengetahui hukum dalam masalah kemasyarakatan besar ini, yang diambil oleh banyak dari orang-orang yang ingin sufur[menampakkan wajah]. 

Dan mereka tidak memberikan yang sepantasnya dari pembahasan dan penilaian, padahal yang wajib bagi setiap pengarang untuk berupaya persikap adil dan insaf dan tidaklah berbicara sebelum ia mempelajarinya. Dan hendaklah ia menilai dalil-dalil yang bertentangan dengan penilaian seorang hakim diantara 2 orang yang berlselisih, memutuskan dengan adil, dan menghukumi secara ilmiyah, tidaklah ia kuatkan salah satu pihak tanpa penguat, akan tetapi ia menilai semua dalil dari semua sisinya.

Dan janganlah ia membawa opini akan salah satu pendapat dengan berlebih-lebihan melampaui batas dalam mengkuatkan argumennya dan menghilangkan serta mangabaikan dalil lawannya.

Oleh karena itu para Ulama berkata: “sepatutnya seseorang mencari dalil sebelum mengambil keyakinan” agar keyakinannya ikut dalil bukan diikuti oleh dalil. Sebab siapa yang mengambil keyakinan sebelum mencari dalil, maka keyakinannya akan membawanya untuk menolak nash-nash yang menyelisihi keyakinannya atau ia palingkan jika tidak memungkinkan baginya untuk ia tolak.

Sungguh kami  dan selain kami juga telah melihat mudharat mencarikan dalil suatu keyakinan, dimana orang itu terbawa untuk menshahihkan hadits –hadits lemah, atau membawa nash-nash yang shahih pada yang tidak mendukung pendalilannya sebagai menguat pendapat dan hujjahnya.
Sungguh aku telah melihat makalah seorang penulis, membahas tentang tidak wajibnya hijab, dan berhujjah dengan hadits ‘Aisyah yang diriwayatkan oleh Abu Dawud pada kisah masuknya Asma binti Abu Bakar menjumpai Nabi ﷺ dan sabda beliau kepadanya:

إِنَّ الْمَرْأَةَ إِذَا بَلَغَتْ الْمَحِيضَ لَمْ تَصْلُحْ أَنْ يُرَى مِنْهَا إِلَّا هَذَا وَهَذَا وَأَشَارَ إِلَى وَجْهِهِ وَكَفَّيْهِ

sesungguhnya seorang wanita jika telah baligh tidak boleh terlihat darinya kecuali ini dan ini -beliau menunjuk wajah dan kedua telapak tangannya-.

penulis tersebut menyebutkan bahwa ini adalah hadits yang shahih muttafaqun alaihi, dan bahwa ulama  sepakat akan kesahihannya. Padahal hal itu tidaklah demikian, dan juga “sepakat akan kesahihannya” sementara Abu Dawud sendiri telah melemahkannya dengan “Irsal”, dan salah satu perowinya telah dilemahkan oleh Imam Ahmad dan selainnya dari para ulama hadits. Namun ta’assub[panatik] dan kebodohan menggiring orangnya kepada bala dan kebinasaan.

~ Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata:

وتعر من ثوبين من يلبسهمـــا          يلقــــــــــــــى الردى بمذلــة وهوان
ثوب من الجهل المركب فوقــه            ثــــوب التــعصـب بـــئست الثوبـان
وتحل بالانصــاف أفخر حـلـــة           زينت بها الأعطـــــاف والكــــــتفان

~Telanjanglah dari 2 pakaian siapa yang memakainya, akan mendapatkan kerendahan dengan hina dan malu

~Yaitu pakaian berupa kebodohan yang ditunggangi diatasnya, pakaian panatik seburuk-buruk pakaian

~Dan berhiaslah dengan sikap insaf[adil] perhiasan yang paling dibanggakan, dengannya jiwa dan badan terhiasi.

Hendaklah para penulis dan penyusun kitab berhati-hati dari kekurangan dalam mencari dalil, dan mensucikannya, dan tergesa-gesa menyimpulkan pendapat tanpa ilmu sehingga ia termasuk dari yang Allah firmankan:

فَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَىٰ عَلَى اللَّهِ كَذِبًا لِيُضِلَّ النَّاسَ بِغَيْرِ عِلْمٍ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

Siapakah yang lebih zhalim daripada orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah untuk menyesatkan orang-orang tanpa pengetahuan?” Sesungguhnya Allah tidak akan memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim.

[QS. Al-An'am, Ayat 144]

Atau ia gabungkan antara kurang dalam mencari dalil dan pendustaan apa yang ditunjukkan dalil, maka ia menjadi buruk diatas keburukan dan masuk dalam firman Allah :

فَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ كَذَبَ عَلَى اللَّهِ وَكَذَّبَ بِالصِّدْقِ إِذْ جَاءَهُ ۚ أَلَيْسَ فِي جَهَنَّمَ مَثْوًى لِلْكَافِرِينَ

Maka siapakah yang lebih zhalim daripada orang yang membuat-buat kebohongan terhadap Allah dan mendustakan kebenaran yang datang kepadanya? Bukankah di neraka Jahanam tempat tinggal bagi orang-orang kafir?

[QS. Az-Zumar, Ayat 32]

Kita memohon kepada Allah ta’ala untuk memperlihatkan kami kebenaran sebagai kebnaran dan meberikan taufiq mengikutinya. Dan memperlihatkan kita yang batil itu batil dan memberikan taufiq untuk menjauhinya, dan memberikan hidayahnya kepada siratolmustaqim, sesugguhnya ia Maha pemberi dan maha Mulia, shalawat salam dan berkah tercurah kepada Nabi-nya dan kepada keluarga dan sahabatnya serta seluruh yang mengikutinya.

Diterjemah oleh:
Abu Ubaid Fadhl bin Muhammad Arsyad Thalib
Senin 30 Dzul Hijjah 1439/10 September 2018
Baubau Kota Semerbak

Tidak ada komentar:

Posting Komentar