Faidah kesembilan: agar orang yang mengetahui kerancuan si mubtadi’ itu jiwanya tidak tersibukkan oleh persahabatan dengan si mubtadi’ yang mana persahabatan tadi akan mengakibatkan luputnya kesempatan untuk menambah ilmu


Itu adalah karena orang yang bersibuk-sibuk dengan kebatilan; akan luputlah darinya kesempatan bersibuk-sibuk dengan kebenaran. Dan demikian pula sebaliknya.

Al Imam Ibnul Qayyim رحمه الله berkata: “Itu karena manusia tidak diam sama sekali; maka boleh jadi lidahnya itu berdzikir, dan boleh jadi lidahnya berbuat sia-sia. Dan dia tidak mungkin lari dari salah satunya. Maka dia adalah jiwa: jika engkau tidak menyibukkannya dengan kebenaran; dia akan menyibukkanmu dengan kebatilan. Dan jantung itu jika engkau tidak menempatkan ke dalamnya rasa cinta kepada Allah عز وجل; maka dia akan ditempati oleh kecintaan kepada para makhluk, dan dia tidak mungkin lari dari itu. Dan dia itu adalah lidah; jika engkau tidak menyibukkannya dengan berdzikir, dia akan menyibukkanmu dengan kesia-siaan dan dengan perkara yang merugikanmu, dan tidak mungkin lari dari itu. Maka pilihlah untuk dirimu sendiri salah satu dari kedua langkah tadi, dan letakkanlah dia pada salah satu dari kedua posisi tadi.” (“Al Wabilus Sayyib”/hal. 111).

Maka faidah tadi kembali kepada orang yang memboikot pelaku kebatilan.

(Bersambung In syaa Allah)
-----------------------------

( “Al Hajr Fisy Syari’atil Islamiyyah, Ahkamuhu Wa Manafi’uhul Jaliyyah” | Abu Fairuz Abdurrohman Al Jawiy )

Sabtu 27 Jumadil Akhir 1444 / 21-01-2023


╭─┅─═ঊঊঈ═─┅─╮ 
       SEBARKANLAH 
       ENGKAU AKAN 
       MENDAPATKAN 
           PAHALANYA 
╰─┅─═ঊঊঈ═─┅─╯ 

 🅹🅾🅸🅽 🅲🅷🅰🅽🅽🅴🅻 🆃🅴🅻🅴🅶🆁🅰🅼 
📡 https://t.me/fawaaidassunnah

Web : https://bit.ly/Fawaaidassunnah 

Faidah kedelapan (Disyariatkanya Hajr /Boikot Ahlu bathil adalah ) : agar orang yang mengetahui kerancuan si mubtadi’ tidak dihukum oleh Allah ta’ala berupa: luputnya hikmah dari dirinya jika dia tidak memboikotnya


Al Fudhail bin ‘Iyadh رحمه الله berkata: “Barangsiapa duduk bersama pelaku bid’ah dia tak akan diberi hikmah.”
Beliau juga berkata: “barangsiapa mencintai pelaku bid’ah, Allah akan menggugurkan amalannya, dan mengeluarkan cahaya Islam dari hatinya.”
Seluruh atsar beliau ini diriwayatkan oleh Al Imam Ibnu Baththah رحمه الله dalam “Al Ibanatul Kubra” no. 443 dengan sanad yang hasan insya Allah.

Yang demikian itu karena orang yang sengaja duduk-duduk dengan para mu’anidin (orang-orang yang membangkang terhadap kebenaran setelah dia mengetahuinya –pen), maka berarti dia telah bersahabat dengan orang yang tidak berhak untuk menjadi temah dekat, maka dia itu telah meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya, sehingga dia dihukum dengan dihalangi dari Hikmah.

Apa Hikmah itu?

Al Imam Ibnul Qayyim رحمه الله berkata: “Maka hikmah itu jika demikian adalah: melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan, dalam bentuk yang semestinya dikerjakan, pada waktu yang sesuai.” (“Madarijus Salikin”/2/hal. 479).

Maka faidah tadi kembali kepada orang yang memboikot pelaku kebatilan.

(Bersambung In syaa Allah)
-----------------------------

( “Al Hajr Fisy Syari’atil Islamiyyah, Ahkamuhu Wa Manafi’uhul Jaliyyah” | Abu Fairuz Abdurrohman Al Jawiy )

Sabtu 27 Jumadil Akhir 1444 / 21-01-2023

╭─┅─═ঊঊঈ═─┅─╮
       SEBARKANLAH
       ENGKAU AKAN
       MENDAPATKAN
           PAHALANYA
╰─┅─═ঊঊঈ═─┅─╯

🅹🅾🅸🅽 🅲🅷🅰🅽🅽🅴🅻 🆃🅴🅻🅴🅶🆁🅰🅼
📡 https://t.me/fawaaidassunnah

Web : https://bit.ly/Fawaaidassunnah

Faidah ketujuh: agar si pemboikot tidak tertimpa kutukan


Itu karena pembuat bid’ah akan terkena laknat, pelindungnya juga terkena laknat, maka orang yang duduk-duduk dengannya dikhawatirkan akan tertimpa bagian dari laknat juga.

Dari ‘Ali bin Abi Thalib رضي الله عنه: bahwasanya Rasulullah ﷺ bersabda:

«لَعَنَ اللهُ مَنْ ذَبَحَ لِغَيْرِ الله، وَلَعَنَ اللهُ مَنْ سَرَقَ مَنَارَ الأَرْضِ، وَلَعَنَ اللهُ مَنْ لَعَنَ وَالِدَهُ، وَلَعَنَ اللهُ مَنْ آوَى مُحْدِثًا».
“Semoga Allah melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allah, semoga Allah melaknat orang yang mencuri (riwayat yang lain: merubah) tanda-tanda di bumi, semoga Allah melaknat orang yang melaknat kedua orang tuanya, dan  semoga Allah melaknat orang yang menaungi pelaku ihdats.” (HR. Muslim (1978). Diriwayatkan Al Bukhariy (1870) juga dengan lebih panjang).

Al Imam Al Fudhail bin ‘Iyadh رحمه الله berkata: “Janganlah engkau duduk bersama pelaku bid’ah, karena aku takut akan turun kepadamu kutukan.”
(Diriwayatkan oleh Al Imam Ibnu Baththah رحمه الله dalam “Al Ibanatul Kubra” no. 443 dengan sanad yang hasan insya Allah).

Demikian pula kemurkaan Allah akan turun kepada pelaku kebatilan dan orang yang bercampur dengan mereka tanpa mengingkari mereka.

Abul Qasim Hibatullah Ibnul Husain Bin Manshur Ath Thabariy Al Faqih Asy Syafi’iy رحمه الله: “Dan apabila orang yang baik bercampur dengan pelaku kemungkaran tanpa mereka mengingkari mereka; jadilah mereka itu bagaikan orang yang ridha dengan kemungkaran mereka, dan lebih mengutamakan kemungkaran mereka, maka kami mengkhawatirkan turunnya kemurkaan Allah terhadap kumpulan mereka, sehingga kemurkaan tadi meliputi mereka semua. Kita berlindung kepada Allah dari kemurkaan-Nya.” (Dinukilkan oleh Al Imam Ibnul Qayyim dalam “Ahkam Ahlidz Dzimmah”/hal. 359).

Maka faidah tadi kembali kepada orang yang memboikot pelaku kebatilan.

(Bersambung In syaa Allah)
----------------

( “Al Hajr Fisy Syari’atil Islamiyyah, Ahkamuhu Wa Manafi’uhul Jaliyyah” | Abu Fairuz Abdurrohman Al Jawiy )

Jum'at 26 Jumadil Akhir 1444 / 20-01-2023


╭─┅─═ঊঊঈ═─┅─╮
       SEBARKANLAH
       ENGKAU AKAN
       MENDAPATKAN
           PAHALANYA
╰─┅─═ঊঊঈ═─┅─╯

🅹🅾🅸🅽 🅲🅷🅰🅽🅽🅴🅻 🆃🅴🅻🅴🅶🆁🅰🅼
📡 https://t.me/fawaaidassunnah

Web : https://bit.ly/Fawaaidassunnah

Faidah keenam: agar orang yang tahu kerancuan si penyeleweng tadi tidak terkena persangkaan buruk dari para Ahlussunnah, karena pergaulannya dengan orang tadi.


Faidah tadi kembali pada si pemboikot
.
Jika seseorang bergaul dengan penyeleweng; maka dia akan dinisbatkan kepada rombongan para penyeleweng tadi. Itu karena seringnya duduk-duduk dengan suatu kaum akan menyebabkan pelakunya dinisbatkan kepada mereka. Allah ta’ala berfirman:

﴿وَقَدْ نَزَّلَ عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ أَنْ إِذَا سَمِعْتُمْ آيَاتِ الله يُكْفَرُ بِهَا وَيُسْتَهْزَأُ بِهَا فَلَا تَقْعُدُوا مَعَهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ إِنَّكُمْ إِذًا مِثْلُهُمْ إِنَّ الله جَامِعُ الْمُنَافِقِينَ وَالْكَافِرِينَ فِي جَهَنَّمَ جَمِيعًا﴾ [النساء: 140].

“Dan sungguh telah Allah turunkan kepada kalian di dalam kitab ini bahwasanya jika kalian mendengar ayat-ayat Allah dikufuri dan diejek, maka janganlah kalian duduk bersama mereka sampai mereka memperbincangkan pembicaraan yang lain. Sesungguhnya kalian jika tetap duduk dengan mereka akan semisal dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan munafiqin dan kafirin ke dalam jahannam semuanya.”

Al Imam Al Qurthubiy رحمه الله berkata: “Maka dengan ini menunjukkan akan wajibnya menjauhi pelaku maksiat jika nampak dari mereka kemungkaran, karena orang yang tidak menjauhi mereka berarti dia ridha dengan perbuatan mereka. Dan ridho dengan kekufuran adalah kekufuran juga. Allah عز وجل berfirman: “Sesungguhnya kalian jika tetap duduk dengan mereka akan semisal dengan mereka.” Maka setiap orang yang duduk di majelis maksiat dan tidak mengingkari mereka, berarti dia sama-sama mereka dalam dosa. Maka dia harus mengingkari mereka jika mereka berbicara dengan maksiat dan mengerjakannya. Jika dia tak sanggup mengingkari mereka, dia harus bangkit meninggalkan mereka hingga tidak termasuk orang yang terkena ayat ini.
Dan telah diriwayatkan dari Umar bin Abdil ‘Aziz رضي الله عنه bahwasanya beliau pernah menangkap sekelompok orang yang sedang minum khamr. Maka dikatakan pada beliau tentang salah seorang yang hadir saat ditangkap: “Orang ini puasa”, maka beliau menimpakan padanya hukuman juga dan membaca ayat ini: “Sesungguhnya kalian jika tetap duduk dengan mereka akan semisal dengan mereka.” yaitu: sesungguhnya ridha dengan kemaksiatan merupakan kemaksiatan juga. Karena itulah pelaku dan orang yang meridhainya dihukum dengan hukuman kemaksiatan hingga mereka binasa semuanya.
Keserupaan ini bukanlah di seluruh sifat, tapi dalam bab pengharusan kemiripan untuk dihukumi secara zhahir dengan penggabungan, sebagaimana ucapan seseorang: “Maka setiap orang itu mencontoh orang yang disertainya.” (“Al Jami’ Li Ahkamil Qur’an”/5/hal. 418).

Al Allamah Ahmad bin Umar Al Qurthubiy رحمه الله: "Orang yang berdekatan dengan orang yang dicintai akan dicintai pula, dan Orang yang berdekatan dengan orang yang dibenci akan dibenci pula." (“Al Mufhim Lima Asykala Min Talkhishi Kitabi Muslim”/Al Qurthubiy/di bawah no. (2883)/cet. Daru Ibni Katsir).

Ini adalah kerugian berdekatan dengan ahli batil, karena dia dihukumi secara zhahir sama dengan mereka.

Muhammad Abdurrahman Al Mubarakfuriy رحمه الله berkata: “Dan sesuatu yang dekat dengan sesuatu yang lain, dia diberi hukum sama dengan hukum sesuatu tadi.” (“Tuhfatul Ahwadzi”/4/hal. 396).

Maka jika seseorang memboikot si penyeleweng, dia akan selamat dari kecurigaan bahwasanya dia termasuk dari kelompok penyeleweng.

(B
ersambung In syaa Allah)
---
-------------

( “Al Hajr Fisy Syari’atil Islamiyyah, Ahkamuhu Wa Manafi’uhul Jaliyyah” | Abu Fairuz Abdurrohman Al Jawiy )

Jum'
at 26 Jumadil Akhir 1444 / 20-01-2023


╭─┅─═ঊঊঈ═─┅─╮
       SEBARKANLAH
       ENGKAU AKAN
       MENDAPATKAN
           PAHALANYA
╰─┅─═ঊঊঈ═─┅─╯

🅹🅾🅸🅽 🅲🅷🅰🅽🅽🅴🅻 🆃🅴🅻🅴🅶🆁🅰🅼
📡 https://t.me/fawaaidassunnah

Web : https://bit.ly/Fawaaidassunnah



Faidah kelima (dari syariat Hajr /Boikot): ini adalah faidah yang kembali kepada si pemboikot yang mengetahui syubuhat (kerancuan- kerancuan) si penyeleweng tadi, yaitu: agar dirinya tidak tertulari oleh syubuhat tadi yang akan menyebabkan rusaknya agamanya setelah sebelumnya dia itu adalah orang shalih.




Dan atsar-atsar tentang itu telah dikenal.

Al Imam Ibnu Abdil Barr رحمه الله berkata: “Para ulama telah bersepakat bahwasanya seorang Muslim tidak boleh memboikot saudaranya lebih dari tiga hari, kecuali jika pembicaraan dan perhubungan dengannya itu dikhawatirkan akan merusak agamanya atau menyebabkan bahaya terhadap dirinya dari sisi agamanya atau dunianya. Maka telah diperbolehkan baginya untuk menjauhinya. Terkadang pemboikotan yang bagus itu lebih baik daripada percampuran yang mengganggu.” (“At Tamhid”/6/hal. 127).

Dari Asma bin Kharijah رحمه الله yang bercerita: Ada dua orang dari kalangan ahli ahwa yang masuk menemui Muhammad bin Sirin seraya berkata: "Wahai Abu Bakr, bolehkah kami menyampaikan hadits padamu?" beliau mejawab: "Tidak boleh." Lalu keduanya berkata: "Maka kami akan membacakan padamu satu ayat dari Kitabullah عز وجل". Maka beliau menjawab: "Tidak boleh. Kalian yang pergi dari sisiku, atau aku yang akan pergi." (Diriwayatkan Al Ajurriy رحمه الله dalam "Asy Syari’ah" no. (113)/ cet. Darul Kitabil ‘Arabiy dan dishahihkan Syaikhuna Abu Amr Al Hajuriy حفظه الله).

Dari Mufadhdhal bin Muhalhil رحمه الله yang berkata: "Andaikata pelaku kebid’ahan jika engkau duduk di sisinya, dia menyampaikan kebid ‘ahannya, pastilah engkau akan menghindar darinya dan lari darinya. Akan tetapi dia akan menyampaikan hadits-hadits sunnah di permulaan majelisnya, lalu memasukkan kepadamu kebid’ahannya. Maka boleh jadi kebid’ahan itu akan bercokol di hatimu. Maka bilakah kebid’ahan itu akan keluar dari hatimu ?" ("Al Ibanatul Kubra"/karya Al Imam Ibnu Baththah رحمه الله/no. (399)/cet. Al Faruqul Haditsiyyah/sanad hasan).

Imam Al Barbahariy رحمه الله berkata: “Permisalan ahli bid’ah itu seperti kalajengking, mereka memendam kepalanya dalam tanah sambil mengeluarkan ekornya. Jika sudah memungkinkan, maka mereka akan menyengat. Demikian pula ahlul bida’, mereka bersembunyi di antara manusia. Jika sudah memungkinkan, maka mereka akan melancarkan apa yang mereka inginkan.” (“Thabaqatul Hanabilah”/ 2/hal. 44/biografi Al Imam Hasan bin Ali Al Barbahariy/Darul Ma’rifah).

Dari Imran bin Hushain رضي الله عنهما yang berkata: Rasulullah صلى الله وعليه وسلم bersabda:

«مَنْ سَمِعَ بِالدَّجَّالِ فَلْيَنْأَ عَنْهُ، فَوَاللهِ إِنَّ الرَّجُلَ لَيَأْتِيْهِ وَهُوَ يَحْسِبُ أَنَّهُ مُؤْمِنٌ فَيَتْبَعُهُ مِمَّا يَبْعَثُ بِهِ مِنَ الشُّبُهَاتِ أَوْ لِمَا يَبْعَثُ بِهِ مِنَ الشُّبُهَاتِ».

“Barangsiapa mendengar datangnya dajjal maka hendaknya dia menjauh darinya. Karena demi Allah, sesungguhnya ada orang yang mendatangi dajjal dalam keadaan dia mengira dirinya itu mukmin, lalu dia mengikuti dajjal itu dikarenakan syubhat-syubhat yang dibangkitkan oleh dajjal.” (HR. Al Imam Ahmad (19875) dan Abu Dawud (4311) dan dishahihkan oleh Al Imam Al Wadi’iy رحمه الله dalam “Ash Shahihul Musnad” (1019)).

Setelah menyebutkan hadits ini Al Imam Ibnu Baththah رحمه الله berkata: “Ini adalah sabda Rasul ﷺ dan beliau adalah orang yang benar dan dibenarkan. Maka demi Allah wahai kaum Muslimin, jangan sampai baik sangka salah seorang dari kalian terhadap dirinya sendiri dan terhadap keshahihan madzhabnya yang diketahuinya membawa dirinya untuk melakukan taruhan dengan agamanya, dengan duduk-duduk dengan para pengekor hawa nafsu, lalu berkata: “Aku akan masuk kepadanya untuk melakukan diskusi dengannya, atau akan kukeluarkan darinya madzhabnya.” Karena sesungguhnya ahli hawa itu lebih besar fitnahnya daripada dajjal. Ucapan mereka lebih lengket daripada kurap, dan lebih membakar hati daripada gejolak api. Sungguh aku telah melihat sekelompok orang yang dulunya melaknati ahli hawa, mencaci mereka. Lalu mereka duduk-duduk dengan mereka untuk mengingkari mereka dan membantah mereka.

Terus-menerus berlangsung ramah-tamah di antara mereka, makar tersembunyi, dan halusnya kekufuran tersamarkan hingga akhirnya orang-orang tadi masuk ke madzhab ahli hawa tadi.” (“Al Ibanatul Kubra”/di bawah no. 480).

Dan dari Mu’awiyah bin Abi Sufyan رضي الله عنهما yang berkata: Sesungguhnya Rasulullah  ﷺ bersabda:

«إِنَّ أَهْلَ الْكِتَابَيْنِ افْتَرَقُوْا فِي دِيْنِهِمْ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ مِلَّةً، وَإِنَّ هَذِهِ الْأُمَّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِيْنَ مِلَّةً -يَعْنِي الْأَهْوَاءَ-، كُلُّهَا فِي النَّارِ إِلَّا وَاحِدَةً وَهِيَ اْلجَمَاعَةُ. وَأَنَّهُ سَيَخْرُجُ فِي أُمَّتِي أَقْوَامٌ تَجَارَى بِهِمٌ تِلْكَ الْأَهْوَاءُ كَمَا يَتَجَارَى الْكَلَبُ بِصَاحِبِهِ لَا يَبْقَى مِنْهُ عِرْقٌ وَلَا مِفْصَلٌ إِلَّا دَخَلَهُ».

“Sesungguhnya Ahlul Kitabain –Taurat dan Injil- telah tercerai-berai dalam agama mereka menjadi tujuh puluh dua agama. Dan sesungguhnya umat ini akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga agama –yaitu hawa nafsu-. Semuanya di dalam Neraka kecuali satu, yaitu Al Jama’ah. Dan bahwasanya akan keluarlah di dalam umatku kaum-kaum yang dijalari oleh hawa-hawa nafsu tadi, sebagaimana penyakit anjing gila menjalari korbannya. Tidaklah tersisa darinya satu uratpun dan satu persendianpun kecuali dia akan memasukinya.” (HR. Ahmad ((16937)/Ar Risalah/sanadnya hasan).

Al Allamah Asy Syathibiy رحمه الله berkata: “Dan penjelasan tentang hal itu adalah: bahwasanya penyakit rabies (anjing gila –pen) memiliki keserupaan dengan penyakit menular, karena asal rabies adalah berlaku pada anjing, kemudian jika anjing tadi menggigit seseorang jadilah dia itu semisal dengannya, dan biasanya dia tidak mampu untuk memisahkan diri darinya kecuali dengan kematian. Maka demikian pula seorang ahli bid’ah jika dirinya mendatangkan pemikirannya dan kerumitannya kepada orang lain; sedikit sekali orang yang selamat dari bahayanya. Bahkan boleh jadi dia akan terjerumus bersamanya ke dalam madzhabnya dan menjadi termasuk dari pengikutnya, dan boleh jadi pula akan menetap di dalam jantungnya keraguan, yang mana dia berhasrat untuk melepaskan diri darinya namun tidak mampu.

Itu berbeda dengan maksiat-maksiat yang lainnya, karena sesungguhnya biasanya pelakunya tidak membahayakan pemikiran orang lain, dan tidak menjerumuskannya ke dalamnya, kecuali setelah persahabatan yang panjang, keakraban dengannya dan terbiasa menghadiri maksiatnya.


Dan telah datang di dalam atsar-atsar yang menunjukkan kepada makna ini, karena sesungguhnya para Salafush Shalih melarang untuk duduk-duduk dengan para mubtadi’ah dan berbicara dengan mereka, dan melarang untuk berbicara dengan orang yang berbicara dengan mubtadi’ah, dan para Salaf bersikap sangat keras terhadap yang demikian tadi.”
(Selesai dari “Al I’tisham”/hal. 490).

Dan dengan penjelasan yang bersifat Salafiy ini menjadi jelaslah akan pendeknya pandangan orang yang membatasi hikmah pemboikotan terhadap mubtadi’ah itu hanya bagaikan obat kepada orang sakit, kemudian jika obat itu tidak manjur maka obatnya wajib dirubah, sehingga tidak boleh si mubtadi’ tadi diboikot.

Apakah mereka tidak melihat bahwasanya orang yang terkena penyakit menular itu tidak boleh didekati oleh orang-orang yang sehat, sama saja obat karantina tadi manjur ataukah tidak bagi si sakit?!

Dari Abu Hurairah رضي الله yang memberikan hadits bahwasanya Rasulullah ﷺ bersabda:

«لَا عَدْوَى». وقال: «لَا يُوْرَدُ اْلمُمْرِضُ عَلَى اْلمُصِحَّ».

"Tiada penularan dengan sendirinya". Dan bersabda: "Tidak boleh yang sakit didatangkan kepada yang sehat." (HR. Al Bukhariy (5771) dan Muslim (2221)).

Syaikhul Islam رحمه الله ditanya tentang orang yang sedang terkena bencana (sakit) tinggal di suatu rumah di antara kaum yang sehat, maka sebagian dari mereka berkata: "Tidak memungkinkan bagi kami berdampingan denganmu, dan tidak selayaknya engkau berdampingan dengan orang sehat." Maka apakah boleh dia dikeluarkan?
Maka beliau menjawab: "Iya, mereka boleh melarangnya untuk tinggal di antara orang-orang sehat, karena Nabi ﷺ bersabda:

«لَا يُوْرَدُ اْلمُمْرِضُ عَلَى اْلمُصِحَّ».

"Tidak boleh yang sakit didatangkan kepada yang sehat."

Maka beliau melarang pemilik onta-onta yang sakit untuk mendatangkannya kepada pemilik onta-onta yang sehat, bersamaan dengan sabda beliau:

«لَا عَدْوَى وَلَا طِيَرَةَ».

"Tiada penularan dengan sendirinya, tidak boleh ada ramalan nasib sial."

Demikian pula diriwayatkan bahwasanya beliau ketika orang yang terkena penyakit lepra tiba untuk membai'at beliau, beliau mengirimkan utusan kepadanya dengan bai'at, dan tidak mengidzinkannya masuk ke Madinah."
(Selesai dari "Majmu'ul Fatawa"/24/hal. 284-285).

Al Imam Ibnul Qayyim رحمه الله berkata: "Pasal tentang jalan Nabi ﷺ untuk menjaga diri dari penyakit-penyakit yang menular secara tabiat, dan dalam bimbingan beliau kepada orang-orang sehat untuk menjauhi orang-orang sakit menular. Telah tetap dalam "Shahih Muslim" dari hadits Jabir bin Abdillah bahwasanya dulu di antara delegasi Tsaqif ada seseorang yang terkena sakit lepra, maka Nabi ﷺ mengirimkan utusan padanya untuk menyampaikan sabdanya: "Kembalilah, kami telah membai'at engkau." ("Zadul Ma'ad"/4/hal. Dan dari Ummu Salamah ﷺ yang berkata:

دَخَلَ عَلَيَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعِنْدِي مُخَنَّثٌ فَسَمِعْتُهُ يَقُولُ لِعَبْدِ اللهِ بْنِ أَبِي أُمَيَّةَ: يَا عَبْدَ اللهِ، أَرَأَيْتَ إِنْ فَتَحَ اللهُ عَلَيْكُمْ الطَّائِفَ غَدًا؟ فَعَلَيْكَ بِابْنَةِ غَيْلَانَ، فَإِنَّهَا تُقْبِلُ بِأَرْبَعٍ وَتُدْبِرُ بِثَمَانٍ. وَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَا يَدْخُلَنَّ هَؤُلَاءِ عَلَيْكُنَّ ».

"Nabi ﷺ masuk menemuiku dan di sisiku ada seorang banci (bencong, pondan –pen). Lalu aku mendengar si banci itu berkata pada Abdullah bin Abi Umayyah (saudara Ummu Salamah): "Wahai Abdullah, bagaimana pendapatmu jika Allah membukakan kota Thaif untuk kalian besok? Engkau harus mengambil Bintu Ghailan, karena anak perempuan itu menghadap dengan empat sisi dan membelakangi dengan delapan sisi (menggambarkan kecantikan badannya)." Dan Nabi ﷺ bersabda: "Jangan sekali-kali si banci ini masuk menemui kalian (wahai para wanita)." (HR. Al Bukhariy (4324) dan Muslim (2180)).

Al Hafizh Ibnu Hajar رحمه الله berkata: "Dan di dalam hadits-hadits ini ada dalil tentang disyariatkannya mengeluarkan setiap orang yang bisa menimbulkan gangguan pada manusia dari tempatnya sampai dia rujuk dari perbuatan itu atau bertobat." ("Fathul Bari"/10/hal. 334).

Kemudian sesungguhnya jika ada salah satu dari anggota badan itu sakit, dan obat-obatan tidak lagi manjur; dokter yang pakar tidak akan mengatakan: “Kita biarkan saja bagian ini bersama anggota badan yang lainnya”, kemudian penyakit tadi menjalari seluruh anggota badan satu persatu sampai binasalah jasad tadi. Bahkan dokter pakar yang berakal tatkala sudah berputus asa dari kesembuhan anggota badan tadi, dia akan berkata:
“Bagian tadi wajib untuk dipotong demi keselamatan bagian badan yang lainnya.”

Itu adalah perkara yang telah dikenal di dalam kedokteran, pertanian dan yang lainnya, di dalam urusan agama dan dunia.

Al Imam Ibnul Qayyim رحمه الله berkata: "Maka lihatlah orang yang memanami suatu kebun dari kebun-kebun yang ada, yang dia itu ahli bercocok tanam, menanami kebun, merawatnya dengan pengairan dan perbaikan, hingga pepohonannya itu berbuah, lalu petani ini memisahkan urat-uratnya, memotongi dahan-dahannya, karena dia tahu bahwasanya jika dibiarkan sesuai keadaannya itu maka buahnya tidak bagus. Dia memberinya makan (sistem menyambung atau menempel) dari pohon yang buahnya bagus, sampai jika pohon yang ini telah menempel dengan pohon yang itu, dan menyatu, serta memberikan buahnya, si petani mendatanginya dengan alat potongnya, dia memotongi dahan-dahannya yang lemah yang bisa menghilangkan kekuatan pohon itu, dan menimpakan padanya sakitnya dipotong dan sakitnya kena besi demi kemaslahatan dan kesempurnaan pohon itu, agar menjadi baiklah buahnya untuk dihadirkan kepada para raja.

Kemudian si petani tidak membiarkan pohon tadi mengikuti tabiatnya untuk makan dan minum sepanjang waktu, bahkan di suatu waktu dia membikinnya haus, dan di waktu yang lain dia memberinya minum, dan tidak membiarkan air senantiasa menggenanginya sekalipun yang demikian itu membikin daunnya lebih hijau dan lebih mempercepat tumbuhnya. Kemudian dia menuju ke pada hiasan tersebut yang dengannya pohon tadi berhias, yaitu dedaunannya, dia membuang banyak sekali dari hiasannya tadi karena hiasannya itu menghalangi kesempurnaan kematangan buah dan kesetimbangannya sebagaimana di pohon anggur dan semisalnya. Dia memotong bagian-bagiannya dengan besi dan membuang banyak hiasannya. Dan yang demikian itu adalah benar-benar kemaslahatan untuk pohon itu. Seandainya pohon itu punya indra pembeda dan alat pengetahuan seperti hewan, pastilah dia akan menduga bahwasanya perlakuan tadi merusak dirinya dan membahayakan dirinya, padahal itu benar-benar kemaslahatan untuk dirinya.

Demikian pula seorang bapak yang berbelas kasihan pada anaknya, yang tahu akan kemaslahatan anaknya, jika dia melihat kemaslahatannya itu ada pada pengeluaran darah yang rusak dari badannya, sang bapak akan melukai kulitnya dan memotong uratnya serta menimpakan padanya rasa yang sangat sakit. Dan jika dia melihat kesembuhan sang anak ada pada pemotongan salah satu anggota badannya, dia akan memisahkan anggota badan tersebut darinya. Yang demikian itu adalah kasih sayang untuknya dan belas kasihan untuknya. Dan jika dia melihat bahwasanya kemaslahatan anaknya itu ada pada penahanan pemberian, dia tidak memberi anaknya dan tidak memperluas pemberian untuknya karena dia mengetahui bahwasanya hal itu adalah sebab terbesar bagi kerusakannya dan kebinasaannya."
(Selesai penukilan dari "Al Fawaid"/hal. 92).

Demikian pula si mubtadi’, dia itu di dalam masyarakat Muslimin bagaikan satu jasad.
An Nu'man bin Basyir رضي الله عنهما bahwasanya Rasulullah ﷺ bersabda:

«مَثَلُ اْلمُؤْمِنِيْنَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ اْلجَسَدِ: إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ اْلجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَاْلحُمَّى «.

“Permisalan kaum Mukminin dalam sikap saling cinta, saling mengasihi dan saling menolong di antara mereka adalah ibarat satu tubuh. Jika salah satu anggota badan mengeluh sakit, seluruh jasadpun akan ikut tidak bisa tidur dan menjadi demam.” (HR. Al Bukhariy (6011) dan Muslim (2586)).

Tatkala anggota badan tadi mengalami penyakit dan mengeluh; seluruh anggota badan yang lain saling memanggil untuk melakukan perkara-perkara yang layak untuk mendatangkan pengobatannya dan kesembuhannya. Kemudian apabila penyakitnya sukar diobati dan tidak didapatkan obat untuknya, serta dikhawatirkan menjangkiti anggota badan yang lainnya, serta tidak didapatkan jalan selain memotongnya (karantina, pemutusan hubungan –pen), mestinya dia itu dipotong demi mengasihani kesehatan bagian badan yang lainnya.
Dan tidak ada seorangpun dari orang-orang yang berakal yang berkata: “Kita menyayangi bagian yang kasihan tadi, dan kita membiarkannya tetap bersama anggota-anggota badan yang sehat, sampai kita semua binasa.”

Maka keselamatan keumuman kaum Muslimin itu layak untuk didahulukan dan lebih utama untuk dipentingkan daripada keberadaan si mubtadi’, si penentang kebenaran yang bersikeras ada di atas kebatilan.
(Bersambung In syaa Allah)
----------------

( “Al Hajr Fisy Syari’atil Islamiyyah, Ahkamuhu Wa Manafi’uhul Jaliyyah” | Abu Fairuz Abdurrohman Al Jawiy )

Jum'at 27 Jumadil Akhir 1444 / 20-01-2023


╭─┅─═ঊঊঈ═─┅─╮ 
       SEBARKANLAH 
       ENGKAU AKAN 
       MENDAPATKAN 
           PAHALANYA 
╰─┅─═ঊঊঈ═─┅─╯ 

 🅹🅾🅸🅽 🅲🅷🅰🅽🅽🅴🅻 🆃🅴🅻🅴🅶🆁🅰🅼 
📡 https://t.me/fawaaidassunnah

Web : https://bit.ly/Fawaaidassunnah 

AQIQAH BERLAKU BAGI SETIAP ANAK YANG DILAHIRKAN, BAIK LAHIR DENGAN STATUS SYAR'I (PERNIKAHAN) MAUPUN YANG TIDAK SYAR'I (ZINA, BAIK ZINA SEBELUM MENIKAH ATAU ZINA SETELAH MENIKAH, ITU SAMA SAJA)

Assalamua'laikum warahmatullaah wabarakatuh, ijin bertanya ustadz apakah bayi yg dilahirkan diluar nikah itu masih harus diaqiqohi ?mohon pencerahannya jazakumulohu khoir,...


JAWABAN :

بسم الله الرحمن الرحيم

وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وبعد:

*Aqiqah disyariatkan atas kelahiran anak secara umum, tanpa dibedakan*

▪️Nabi ﷺ berkata:

مَعَ الْغُلَامِ عَقِيقَةٌ فَأَهْرِيقُوا عَنْهُ دَمًا وَأَمِيطُوا عَنْهُ الْأَذَى

Pada kelahiran anak ada aqiqah, maka alirkan(potongkan)lah darah (hewan) dan buanglah keburukan darinya. HR. Al Bukhari

▪️Dan berkata ﷺ : 

كُلُّ غُلَامٍ رَهِينَةٌ بِعَقِيقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ وَيُحْلَقُ وَيُسَمَّى

Setiap anak tergadaikan dengan aqiqahnya, disembelihkan untuknya pada hari ketujuhnya, dicukur rambutnya dan diberi nama. HR. Abu Dawud

▪️Dan beliau ﷺ ditanya tentang aqiqah, maka beliau menjawab:

عَنْ الْغُلَامِ شَاتَانِ وَعَنْ الْأُنْثَى وَاحِدَةٌ وَلَا يَضُرُّكُمْ ذُكْرَانًا كُنَّ أَمْ إِنَاثًا

Dua ekor kambing untuk anak laki-laki dan satu ekor untuk anak perempuan. Dan tidak ada masalah bagi kalian apakah kambing tersebut jantan atau betina. HR. At Tirmidzi

• anak zina masuk dalam keumuman hadits-hadits diatas, 

• anak zina dinisbatkan kepada ibu yang melahirkannya, bukan kepada pria yang berzina dengan wanita yang melahirkan anak itu

• *sehingga aqiqah dilakukan oleh sang ibu _ jika ia mampu _ bukan pria pezina itu*

• sebagaimana nafkah dan tempat tinggal bukan tanggungjawab si pezina, dia tidak ada hubungan syar'i dengan anak zina itu

••• Dan kewajiban atas keduanya yakni pria dan wanita yang berzina adalah segera bertaubat dan tidak mengulangi dosanya itu. 

🔹 Kesimpulannya, aqiqah berlaku bagi setiap anak yang dilahirkan, baik lahir dengan status syar'i (pernikahan) maupun yang tidak syar'i (zina, baik zina sebelum menikah atau zina setelah menikah, itu sama saja) 

Barakallah fiikum


_*⁉️ Apakah boleh bagi sang Ibu melakukan aqiqah untuk anak zina nya? Dan apakah si anak berhak mendapatkan nafkah?!*_ 

✏️ *Syaikh Ibnu Baz rahimahumullah:* 

نعم لها أن تعق، يستحب لها أن تعق عن ولدها، وعليها أن تنفق عليه، إذا قدرت، فإذا ما قدرت يسلم للحاضنات في الدولة، 

وإذا قدرت تربيه وتحسن إليه، وتعق عنه، ويلزمها أن تربيه وأن تتوب إلى الله مما فعلت، وهو منسوب إليها.
والذي زنا بها عليه التوبة، 

ليس عليه شيء من النفقة، وليس هو ولدًا له، ولد زنا، عليه التوبة إلى الله، والولد لها هي ينسب إليها، وعليها نفقته.
 
Ya, boleh baginya melakukan aqiqah, dianjurkan baginya aqiqah untuk anaknya, dan menafkahi anaknya itu apabila ia mampu, dan kiranya dia tidak mampu maka ia serahkan kepada lembaga pemeliharaan negara. 

•• Apabila si ibu mampu untuk membesarkannya dan baik melakukannya, ia lakukan aqiqah untuknya dan ia harus mengasuhnya dan bertaubat kepada Allah dari perbuatannya. 

~ Anak itu dinisbatkan kepada (ibu) nya. 

~ Dan pria yang berzina dengannya wajib bertaubat dan tidak ada atasnya sedikitpun nafkah, anak itu bukanlah anaknya, itu anak zina.

Wajib atasnya bertaubat kepada Allah. 

Dan anak itu anak si wanita, anak itu dinisbatkan kepadanya. Dan wanita itu yang menafkahinya. 

📚 مجموع فتاوى ومقالات الشيخ ابن باز (28/124).


_*Sebagaimana boleh memberi nama anak itu sebelum di aqiqahi, maka boleh juga mencukur rambutnya sebelum aqiqah, sebab 3 hal yang dianjurkan dalam hadits diatas adalah sunnah yang terpisah/tersendiri dianjurkan dilakukan dihari ke 7*_


السلام عليكم ورحمة الله وبر كاته 
Afwan Ustadz..jika blm mnyembelih kambing u/aqiqohan-nya..bolehkah mncukur rambutnya d hari ke-7


JAWABAN :

بسم الله الرحمن الرحيم

وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وبعد:

Yaa, disunnahkan mencukur, memberi nama dan menyembelih aqiqah dihari ke tujuh. 

Berdasarkan hadits diatas. 

Apabila pada hari itu belum memungkinkan bagi orang tua nya aqiqah, maka boleh baginya untuk melakukan sunnah yang dianjurkan selain menyembelih untuknya. 

Sebagaimana boleh memberi nama anak itu sebelum di aqiqahi, maka boleh juga mencukur rambutnya sebelum aqiqah, sebab 3 hal yang dianjurkan dalam hadits diatas adalah sunnah yang terpisah/tersendiri dianjurkan dilakukan dihari ke 7.

• Namun jika belum memungkinkan maka apa yang bisa dilakukan, dilakukan dari sunnah-sunnah tersebut. 

Barakallah fiikum


✍️ *Faedah dari Al Ustadz Abu Ubaiyd Fadhliy Al Bughisi حفظه الله تعالى di Majmu'ah روضة الطالبين منكوتانا*



#faedah #aqiqah



╭─┅─═ঊঊঈ═─┅─╮ 
       SEBARKANLAH 
       ENGKAU AKAN 
       MENDAPATKAN 
           PAHALANYA 
╰─┅─═ঊঊঈ═─┅─╯ 

 🅹🅾🅸🅽 🅲🅷🅰🅽🅽🅴🅻 🆃🅴🅻🅴🅶🆁🅰🅼 
📡 https://t.me/fawaaidassunnah

Web : https://bit.ly/Fawaaidassunnah

TIDAK BOLEH MENGAMBIL BARANG TEMUAN DI HARAM MAKKI DAN HARAM MADANI KECUALI BAGI ORANG YANG INGIN MENGUMUMKAN NYA, BERDASARKAN HADITS SHAHIH TENTANG ITU

Assalammualaikum ya ustadz hafizakAllah 

HayyakAllah
Mohon pencerahan nya ustadz, ketika check out dari hotel di makkah zaujah ana ada menjumpai sebotol minyak wangi kuantiti kecil dalam timbunan bag, di kiranya para jamaah yg punya setelah di tanyakan tiada siapa yg punya hinggalah di bawa ke madinah, setahu ana kita tidak boleh mengambil barangan temuan di tanah haram, jadi apa perlu ana lakukan Syaikh, hantar semula ke makkah atau tinggalkan saja di madinah?

Mohon faedahnya ustadz hafizhakALLAHu 

JazakAllahu khair wa BarakAllahu fiiq ya ustadz hafizakAllah


*JAWABAN :*

بسم الله الرحمن الرحيم

وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وبعد:

Tidak boleh mengambil barang temuan di haram makki dan haram madani kecuali bagi orang yang ingin mengumumkan nya, berdasarkan hadits shahih tentang itu. 

Nabi ﷺ berkata:

وَلَا تُلْتَقَطُ سَاقِطَتُهَا إِلَّا لِمُنْشِدٍ

barang temuannya tidak boleh diambil kecuali untuk diumumkan / dicari pemiliknya. 

HR. Al Bukhari dan Muslim

Yang wajib bagi orang yang menemukan barang temuan adalah

• mengumumkan nya, 
• atau ia biarkan / tidak mengambilnya

•• Dan sekiranya ia serahkan kepada badan/pihak/lembaga yang ditugaskan oleh pemerintah dalam urusan itu maka gugur tanggungjawab/kewajibannya untuk mengumumkan nya. 

Barakallahu fiikum


✍️ *Faedah dari Al Ustadz Abu Ubaiyd Fadhliy Al Bughisi حفظه الله تعالى di Majmu'ah روضة الطالبين منكوتانا*


╭─┅─═ঊঊঈ═─┅─╮
       SEBARKANLAH
       ENGKAU AKAN
       MENDAPATKAN
           PAHALANYA
╰─┅─═ঊঊঈ═─┅─╯

🅹🅾🅸🅽 🅲🅷🅰🅽🅽🅴🅻 🆃🅴🅻🅴🅶🆁🅰🅼
📡 https://t.me/fawaaidassunnah

Web : https://bit.ly/Fawaaidassunnah



#faedah #barang #temuan

PARA ULAMA TELAH MENYEBUTKAN SYARAT-SYARAT SESEORANG WAJIB MENUNAIKAN IBADAH HAJI DAN APABILA SYARAT TERSEBUT TIDAK TERPENUHI MAKA BELUM ADA KEWAJIBAN HAJI BAGI NYA

Afwan Ustadz ada titipan pertanyaan dr ikhwah dsni

Afwan akhi, mama ana mendaftar haji awalnya sama kakek ana.. Tp qadarAllah kakek ana sdh meninggal, jd kalo misal tahun depan ma2 ana kena giliran otomatis berangkat nya sendirian dan kalo disuruh mahramnya harus mendampingi ana atau keluarga yg lain blom ada biayanya dan blom ada mendaftar jua, apa hukumnya akhi? Ma2 ana tdk boleh berangkat kah berarti walaupun sdh dpt giliran misal?

*JAWABAN :*

بسم الله الرحمن الرحيم


الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وبعد:

Allah ﷻ berkata :

وَلِلَّهِ عَلَى ٱلنَّاسِ حِجُّ ٱلۡبَیۡتِ مَنِ ٱسۡتَطَاعَ إِلَیۡهِ سَبِیلࣰاۚ وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ ٱللَّهَ غَنِیٌّ عَنِ ٱلۡعَـٰلَمِینَ

Dan (di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, yaitu bagi orang-orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana.Barang siapa mengingkari (kewajiban) haji, maka ketahuilah bahwa Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari seluruh alam [Surat Ali 'Imran: 97]

Ayat ini adalah diantara dalil yang menunjukkan tentang wajibnya haji.

Para ulama telah menyebutkan syarat-syarat seseorang wajib menunaikan ibadah yang agung ini, dan apabila syarat tersebut tidak terpenuhi maka belum ada kewajiban haji bagi nya.

Syarat-syarat itu sebagai berikut:

1️⃣ Islam, Allah berkata :

وَمَا مَنَعَهُمۡ أَن تُقۡبَلَ مِنۡهُمۡ نَفَقَـٰتُهُمۡ إِلَّاۤ أَنَّهُمۡ كَفَرُوا۟ بِٱللَّهِ وَبِرَسُولِهِۦ

Dan yang menghalang-halangi infak mereka untuk diterima adalah karena mereka kafir (ingkar) kepada Allah dan Rasul-Nya [Surat At-Taubah: 54]

2️⃣ & 3️⃣ Baligh dan berakal, Nabi ﷺ berkata:

رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثَةٍ عَنْ الْمَجْنُونِ الْمَغْلُوبِ عَلَى عَقْلِهِ حَتَّى يَفِيقَ وَعَنْ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنْ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ

Pena pencatat amal itu diangkat dari tiga golongan; orang gila hingga ia waras, orang tidur hingga ia terbangun dan anak kecil hingga bermimpi basah(baligh). HR. Abu Dawud dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu.

• seorang yang belum baligh (Anak-anak) tidak wajib berhaji, akan tetapi apabila ia berhaji maka hajinya sah dan ia mendapat pahala,

~ Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma beliau berkata:

رَفَعَتْ امْرَأَةٌ صَبِيًّا لَهَا فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلِهَذَا حَجٌّ قَالَ نَعَمْ وَلَكِ أَجْرٌ

Ada seorang wanita yang  mengangkat anak kecilnya lalu bertanya,

"Wahai Rasulullah, apakah anak kecil ini juga bisa menunaikan haji.

" Beliau menjawab: "Ya, dan kamu juga mendapatkan pahala."

4️⃣. Merdeka, seorang budak tidaklah wajib berhaji sebab ia tersibukkan dengan kewajibannya terhadap tuan nya.

5️⃣. Mampu

Dan mampu yang dimaksud disini adalah kemampuan dari sisi fisik dan harta,

berdasarkan ayat pertama diatas.

▪️ Adapun mampu secara fisik yaitu sehat jasmani, dan mampu memikul beban safar ke Baitullah.

▪️Adapun kemampuan harta,  maka ia memiliki harta yang dengannya ia sampai Baitullah  pulang pergi, dan harta untuk memenuhi kebutuhan siapa yang wajib ia nafkahi selama perjalanannya. (Seperti Nafkah untuk anak isterinya yang ditinggalkan nya)

📝 *Orang yang mampu harta namun tidak mampu fisik.*

• apabila ia menderita penyakit yang diharapkan kesembuhannya, maka kewajiban haji berlaku saat dia sudah sembuh dari sakitnya itu.

•• namun apabila ia menderita penyakit permanen atau lanjut usia, sementara dia memiliki harta untuk berhaji, maka hendaklah ia mengeluarkan hartanya untuk seseorang melakukan haji untuknya walaupun dengan upah _sebaiknya diberi kepada seseorang yang telah berhaji_.

~ Berdasarkan hadits Ibnu Abbas radhiallahu anhuma, beliau menceritakan tentang seorang wanita yang bertanya kepada Rasulullah ﷺ dan berkata:

يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ فَرِيضَةَ اللَّهِ عَلَى عِبَادِهِ فِي الْحَجِّ أَدْرَكَتْ أَبِي شَيْخًا كَبِيرًا لَا يَثْبُتُ عَلَى الرَّاحِلَةِ أَفَأَحُجُّ عَنْهُ


Wahai Rasulullah, sesungguhnya kewajiban dari Allah untuk berhaji bagi hamba-hambaNya datang saat bapakku sudah tua renta dan dia tidak akan kuat menempuh perjalanannya. Apakah aku boleh menghajikan atas namanya?".

Beliau menjawab: "Ya". HR. Al Bukhari

▪️ Adapun seorang wanita, maka selain syarat mampu fisik dan harta, juga dipersyaratkan baginya disertai oleh mahram nya atau suami nya, apabila tidak ada maka belum ada kewajiban atasnya,

• berdasarkan hadits Abdullah bin Abbas radhiallahu anhuma beliau berkata, Rasulullah ﷺ berkata:

لَا يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ وَلَا تُسَافِرَنَّ امْرَأَةٌ إِلَّا وَمَعَهَا مَحْرَمٌ فَقَامَ رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ اكْتُتِبْتُ فِي غَزْوَةِ كَذَا وَكَذَا وَخَرَجَتْ امْرَأَتِي حَاجَّةً قَالَ اذْهَبْ فَحُجَّ مَعَ امْرَأَتِكَ

Janganlah sekali-kali seorang laki-laki berkholwat (berduaan) dengan seorang wanita dan janganlah sekali-kali seorang wanita bepergian kecuali bersama mahramnya".

Lalu ada seorang laki-laki yang bangkit seraya berkata:

"Wahai Rasulullah, aku telah mendaftarkan diriku untuk mengikuti suatu peperangan sedangkan isteriku pergi menunaikan haji".

Maka Beliau bersabda:

"Tunaikanlah haji bersama isterimu". HR. Al Bukhari dan Muslim.

🔸 Berdasarkan hal ini, maka ibu saudara belum boleh berangkat dan belum wajib berhaji sekalipun sudah dapat giliran, kecuali bersama dengan walinya/mahramnya.

⚠️ Sebagian wanita bergampang-gampangan dalam hal ini, dan ia safar tuk haji atau umrah tanpa disertai oleh mahramnya atau bersama yang bukan mahramnya atau bersama sekelompok wanita,  dan semua ini haram.

*Dan dikhawatirkan haji atau umrahnya tidak mabrur.*

*Sebab haji mabrur itu adalah haji yang tidak tercampur dengan dosa.*

*Sementara wanita itu berdosa dalam safarnya itu hingga dia pulang*. Allahul Musta'an

✏️ Tapi berdasarkan data dan informasi yang sampai ke saya _barakallah fiikum_ seseorang  yang telah mendaftar haji kemudian meninggal dunia atau sakit permanen maka bisa digantikan oleh ahli warisnya.

Maka coba di proses, jika benar seperti itu dan masih mendapatkan pelayanan, semoga saudara bisa berhaji bersama dengan ibu nya.

Barakallah fiikum



✍️ *Faedah dari Al Ustadz Abu Ubaiyd Fadhliy Al Bughisi حفظه الله تعالى di Majmu'ah روضة الطالبين منكوتانا*





╭─┅─═ঊঊঈ═─┅─╮ 
       SEBARKANLAH 
       ENGKAU AKAN 
       MENDAPATKAN 
           PAHALANYA 
╰─┅─═ঊঊঈ═─┅─╯ 

 🅹🅾🅸🅽 🅲🅷🅰🅽🅽🅴🅻 🆃🅴🅻🅴🅶🆁🅰🅼 
📡 https://t.me/fawaaidassunnah

Web : https://bit.ly/Fawaaidassunnah 


#faedah #haji #mahrom

Hukum Terlambatnya Makmum Dari Mengikuti Imam Dalam Sholat

Disusun Oleh Al Faqir Ilallohi ta’ala:
Abu Fairuz Abdurrohman bin Soekojo ‘afallohu ‘anhu di Yaman

بسم الله الرحمن الرحيم

Pengantar Penulis

:الحمد لله وأشهد أن لا إله إلا الله وأن محمدا عبده ورسوله صلى الله عليه وآله وسلم، أما بعد

Sesungguhnya ada pertanyaan yang isinya adalah:
Apa hukum terlambatnya makmum dari mengikuti imam dalam satu rukun atau lebih dalam sholat mereka?

Maka dengan memohon pertolongan pada Alloh saya menjawab:

Sesungguhnya para ulama memiliki beberapa pendapat dalam masalah ini. Dan saya akan menyebutkan yang nampak paling kuat. Barangsiapa memilih pendapat yang lain karena lebih kuat baginya, dipersilakan.

Sesungguhnya dalam masalah ini ada perincian. Jika si makmum tertinggal dari imamnya dalam satu rukun atau lebih di dalamnya sholatnya karena suatu udzur, maka hendaknya dia segera menyempurnakan rukun-rukun yang tertinggal tadi, sampai dia berhasil menyusul sang imam.

Manshur Al Bahutiy Al Hanbaliy rohimahulloh berkata: “Dan jika makmum tertinggal satu rukun dari imamnya tanpa udzur, maka hukumnya sebagaimana telah tersebut di muka dia tertinggal satu ruku’ tanpa udzur, batallah sholatnya. Tapi jika tidak demikian, yaitu dia tertinggal satu rukun karena udzur berupa mengantuk atau lupa atau berdesak-desakannya jamaah (sehingga dia susah untuk ruku’ dan sebagainya sehingga tertinggal), jika dia mengerjakan rukun yang tertinggal tadi dan dia menyusul sang imam, rekaatnya tadi sudah sah. Dan itu memang harus dia kerjakan, jika memungkinkan baginya untuk mengejar sang imam tanpa melakukan perkara yang terlarang (tanpa meninggalkan satu rukunpun).” 

(“Syarh Muntahal Irodat”/1/hal. 266).

Al Khothib Muhammad bin Ahmad Asy Syarbiniy Asy Syafi’iy rohimahulloh berkata: “Adapun jika dia tertinggal kurang dari satu rukun, seperti: sang imam ruku’ duluan sebelum makmum, lalu sang makmum menyusulnya sebelum imam mengangkat kepalanya dari ruku’, atau sang makmum tertinggal satu rukun karena suatu udzur, maka tidaklah sholatnya itu batal. Ini pasti.” 

(“Mughnil Muhtaj Ila Ma’rifati Ma’ani Alfazhil Minhaj”/1/hal. 506).

Tapi jika si makmum tertinggal dari sang imam karena udzur, dan dia mampu untuk menunaikan rukun-rukun yang luput, tapi dia tidak melakukannya dan bahkan dia bersegera untuk mengikuti sang imam dengan masuk ke rukun yang sang imam ada di dalamnya, maka sholatnya sah, tapi rekaat cacat dari sang makmum tadi batal karena dia belum menunaikan rukun-rukun yang tertinggal tadi. Maka dia harus bangkit untuk membayar rekaat yang tidak teranggap tadi.

Manshur Al Bahutiy Al Hanbaliy rohimahulloh berkata: “Dan jika tidak demikian, yaitu dia tidak menunaikan rukun yang tertinggal tadi tapi dia langsung menyusul sang imam, karena tidak memungkinkan baginya untuk itu, maka rekaatnya yang dia tertinggal dalam rukun itu tadi, tidak teranggap, maka dia harus membayar rekaat tersebut dengan mendatangkan gantinya (menambah satu rekaat).” 

(“Syarh Muntahal Irodat”/1/hal. 266).

Dan jika si makmum tertinggal dari imamnya dengan sengaja dalam satu rukun, lalu dia menyusul sang imam sebelum sang imam berpindah ke rukun yang berikutnya, sholat si makmum sah, tapi makruh atau dosa karena dia menyelisihi perintah Nabi shollallohu ‘alaihi waalihi wasallam untuk mengikuti imam tanpa penundaan.

Dari Anas bin Malik rodhiyallohu ‘anhu : dari Rosululloh shollallohu ‘alaihi waalihi wasallam yang bersabda:

«إنما جعل الإمام ليؤتم به، فإذا كبر فكبروا، وإذا ركع فاركعوا، وإذا سجد فاسجدوا، وإن صلى قائما فصلوا قياما». (أخرجه البخاري (378) ومسلم (411))

“Hanyalah imam itu dijadikan untuk diikuti. Maka jika dia bertakbir, maka bertakbirlah kalian, dan jika dia ruku’ maka ruku’lah kalian, dan jika dia sujud maka sujudlah kalian, dan jika dia sholat berdiri, maka sholatlah dengan berdiri.” 

(HR. Al Bukhoriy (378) dan Muslim (411)).

Dan huruf Fa (ف) menunjukkan menyusulnya amalan yang berikutnya dengan tanpa penundaan, sebagaimana ucapan Al Imam Ibnu Malik rohimahulloh: “Huruf Fa itu menunjukkan urutan perbuatan secara bersambung.”

Al Hasan bin Qosim Al Mishriy rohimahulloh berkata: “Yaitu: tanpa penundaan. Maka Fa itu untuk menunjukkan menyusulnya amalan yang berikutnya. Dan ini adalah pendapat mayoritas ulama.” 

(“Taudhihul Maqoshid Wal Masalik Bi Syarh Alfiyyah Ibni Malik”/2/hal. 998).

Al Imam Ibnu Baz rohimahulloh berkata: Maka yang wajib bagi makmum adalah mengikut imam secara beruntun. Jika suatu imam telah berhenti (berhenti takbir, misalkan), maka makmum bersegera mengikutinya, berdasarkan sabda Nabi shollallohu ‘alaihi waalihi wasallam:

«إنما جعل الإمام ليؤتم به، فلا تختلفوا عليه، فإذا كبر فكبروا، ولا تكبروا حتى يكبر، وإذا ركع فاركعوا، ولا تركعوا حتى يركع، وإذا قال: سمع الله لمن حمده. فقولوا: ربنا ولك الحمد. وإذا سجد فاسجدوا، ولا تسجدوا حتى يسجد»

“Hanyalah imam itu dijadikan untuk diikuti. Maka janganlah kalian berselisih terhadapnya. Maka jika dia bertakbir, maka bertakbirlah kalian, dan jika dia ruku’ maka ruku’lah kalian, dan janganlah kalian ruku’ sampai dia ruku’. Dan jika dia berkata: “Sami’allohu liman hamidah” maka ucapkanlah: “Robbana walakal hamd.” Dan jika dia sujud maka sujudlah kalian, dan janganlah kalian sujud sampai dia sujud.”

Maka sabda beliau: “Maka jika dia bertakbir, maka bertakbirlah kalian, dan jika dia ruku’ maka ruku’lah kalian” dan seterusnya, maknanya adalah mengikuti imam secara beruntun, karena huruf Fa pada ucapan beliau (فكبروا) “Maka bertakbirlah” menurut para ulama maknanya adalah mengikuti imam secara beruntun, tanpa ditunda-tunda. Akan tetapi janganlah dia ruku’ sampai suara takbir imam itu berhenti. Demikian pula dia jangan mengangkat kepala sampai suara tasmi’ imam itu berhenti. Demikian pula dia jangan sujud sampai imam berhenti bertakbir, setelah suara takbir imam itu berhenti. Lalu barulah dia mengikuti sang imam. Demikian caranya.”

-sampai pada ucapan beliau:-

“Yang penting adalah si makmum bersungguh-sungguh mengikuti imam tanpa menunda-nunda. Jika dia menunda sedikit, maka itu tidak membahayakannya selama dia masih mengikutinya, ruku’ bersamanya, sujud bersamanya, itu tidak membahayakannya. Demikian pula jika dia menunda sebentar ketika salam, hal itu tidak membahayakannya. Hanya saja yang disunnahkan adalah: dia bersegera, jika imam ruku’ maka makmum ruku’ dan jika imam takbir, makmum takbir. Secara bersambung, tanpa bersamaan dengan imam, dan tanpa mendahuluinya, tapi melakukan itu setelah amalan sang imam secara beruntun.”

(selesai dari “Fatawa Nur ‘Alad Darb”/Ibnu Baz/12/hal. 360-361).

Dan jika si makmum tertinggal dari imamnya secara sengaja sebanyak satu rukun atau lebih, sholatnya batal menurut pendapat yang benar, karena orang ini sengaja membikin cacat dalam jama’ah sholat. Manshur Al Bahutiy Al Hanbaliy rohimahulloh berkata: “Dan jika makmum tertinggal dari sang imam tanpa udzur sebanyak dua rukun, batallah sholatnya karena dia meninggalkan keharusan mengikuti imam tanpa udzur, mirip dengan memutuskan sholat. Jika dia tertinggal dua rukun karena suatu udzur seperti mengantuk atau lupa atau berdesak-desakannya jamaah (sehingga dia susah untuk ruku’ dan sebagainya sehingga tertinggal), sholatnya tidak batal kaena udzur tadi. Tapi dia harus mengerjakan rukun yang tertinggal tadi dan menyusul imamnya jika aman dari ketertinggalan dari rukun yang berikutnya lagi. Jika makmum yang udzur tadi tidak mengerjakan rukun yang tertinggal tersebut padahal dia aman dari ketertinggalan dari rekaat yang berikutnya lagi andaikata dia mengerjakan rukun yang tertinggal, maka batallah sholatnya. Jika tidak demikian, yaitu dia (langsung mengikuti imam karena) khawatir jika dia mengerjakan rukun yang tertinggal akibatnya dia akan ketinggalan rekaat yang berikutnya lagi, maka rekaat yang di situ dia tertinggal dari mengerjakan rukun-rukun tadi menjadi batal, dan rekaat yang berikutnya menjadi penggantinya, dia membangun sholatnya dengan urutan semacam tadi, lalu jika imam mengucapkan salam, sang makmum tadi bangkit untuk menyempurnakan rekaat yang kurang tadi.” 

(“Syarh Muntahal Irodat”/1/hal. 266).

Dan jika si makmum tertinggal dari imamnya secara sengaja sebanyak satu rukun atau lebih, sholatnya batal menurut pendapat yang benar, karena orang ini sengaja membikin cacat dalam jama’ah sholat.
Manshur Al Bahutiy Al Hanbaliy rohimahulloh berkata: “Dan jika makmum tertinggal dari sang imam tanpa udzur sebanyak dua rukun, batallah sholatnya karena dia meninggalkan keharusan mengikuti imam tanpa udzur, mirip dengan memutuskan sholat. Jika dia tertinggal dua rukun karena suatu udzur seperti mengantuk atau lupa atau berdesak-desakannya jamaah (sehingga dia susah untuk ruku’ dan sebagainya sehingga tertinggal), sholatnya tidak batal kaena udzur tadi. Tapi dia harus mengerjakan rukun yang tertinggal tadi dan menyusul imamnya jika aman dari ketertinggalan dari rukun yang berikutnya lagi. Jika makmum yang udzur tadi tidak mengerjakan rukun yang tertinggal tersebut padahal dia aman dari ketertinggalan dari rekaat yang berikutnya lagi andaikata dia mengerjakan rukun yang tertinggal, maka batallah sholatnya. Jika tidak demikian, yaitu dia (langsung mengikuti imam karena) khawatir jika dia mengerjakan rukun yang tertinggal akibatnya dia akan ketinggalan rekaat yang berikutnya lagi, maka rekaat yang di situ dia tertinggal dari mengerjakan rukun-rukun tadi menjadi batal, dan rekaat yang berikutnya menjadi penggantinya, dia membangun sholatnya dengan urutan semacam tadi, lalu jika imam mengucapkan salam, sang makmum tadi bangkit untuk menyempurnakan rekaat yang kurang tadi.” 

(“Syarh Muntahal Irodat”/1/hal. 266).

Al Khothib Muhammad bin Ahmad Asy Syarbiniy Asy Syafi’iy rohimahulloh berkata: “…Atau dia tertinggal dalam dua rukun yang sifatnya adalah amalan anggota badan, misalnya sang imam telah selesai dalam dua rukun, tapi si makmum ini masih belum masuk ke dalam dua rukun itu. Misalnya adalah: sang imam memulai masuk ke sujud, sementara si makmum masih berdiri membaca Al fatihah. Jika si makmum tidak punya udzur, misalkan: dia tertinggal membaca surat atau tasbih ruku’ dan sujud, batallah sholatnya karena banyaknya penyelisihan dia terhadap imam (tanpa udzur), sama saja apakah dua rukun tadi panjang ataukah pendek.” 

(“Mughnil Muhtaj Ila Ma’rifati Ma’ani Alfazhil Minhaj”/1/hal. 506).

Al Imam Ibnu Utsaimin rohimahulloh berkata: “Adapun ketertinggalan dari imam itu terbagi menjadi dua macam:

Yang pertama: Dia berhasil mendapati sang imam di dalam rukun yang dia tertinggal oleh sang imam. Maka sholatnya itu sah. Misalnya: dia tertinggal dari sang imam di dalam sujud, tapi dia bisa bersujud juga sebelum sang imam mengangkat kepalanya. Maka sholatnya sah. Tapi ketertinggalannya tadi menyelisihi sunnah, karena yang disunnahkan adalah: bersegera mengikuti imam.

Yang kedua: dia tidak bisa menyusul imam dalam rukun tadi, di mana sang imam meninggalkan rukun tadi sebelum sang makmum sampai ke rukun itu. Jika hal itu terjadi karena udzur, hendaknya sang makmum segera menjalankan rukun yang tertinggal tadi. Kecuali jika sampai sang imamnya mencapai tempat tertinggalnya si makmum, maka dia hendaknya dia tetap bersama sang imam (jangan membayar dulu ketertinggalannya), dan jadilah dia punya “rekaat tempelan” (dia baru punya satu rekaat, sementara imamnya punya dua rekaat).

Contohnya adalah: 

makmum tidak mendengar takbir imamnya untuk ruku’. Makanakala si imam berkata” “Sami’allohu liman hamidah” ketika itulah sang makmum mendengarnya dan mengejar sang imam. Tapi imamnya belum mencapai tempat tertinggalnya si makmum (belum masuk ke rekaat yang berikutnya lagi).

Contoh yang lain: 

makmum tidak mendengar takbir imamnya untuk ruku’ di rekaat pertama, sehingga si makmum masih terus berdiri hingga imamnya bangkit lagi ke rekaat kedua. Maka ketika itu dia bersama imamnya masih bersama imamnya, tapi rekaat kedua imamnya adalah rekaat pertama si makmum. Dan jadilah rekaat makmum gabungan dari dua rekaat imamnya: rekaat pertama dan kedua, karena imamnya telah mencapai tempat tertinggalnya si makmum.

Dan jika ketertinggalan dia dari imamnya itu bukan karena udzur, maka hal itu seperti kasus terdahulu dengan perincian yang telah lewat. Dan tidaklah tersamarkan bahwasanya yang benar adalah bahwasanya sholatnya itu batal jika dia tertinggal satu rukun atau lebih tanpa udzur. Sama saja apakah rukunnya tadi adalah ruku’ ataukah yang lainnya. Wallohu a’lam.

(selesai dari “Majmu’ fatawa Wa Rosail Al ‘Utsaimin”/15/hal. 114-115).

Dan bagaimana jika keterlambatan si makmum dari imamnya itu dikarenakan dia menyempurnakan Al Fatihah?

Al Imam Ibnu Baz rohimahulloh ditanya: sebagian orang memperpanjang bacaan Al Fatihah, akibatnya saat imam ruku’ si makmum masih terus berdiri membaca Al Fatihah. Dan ketika si imam bangkit dari ruku’, mulailah si makmum ruku’. Dan telah luput darinya ruku’ bersama imam. Apa hukum sholat mereka?

Maka beliau rohimahulloh menjawab: “Itu tidak boleh. Wajib bagi makmum jika imamnya ruku’ untuk dirinya ruku’ juga, berdasarkan sabda Nabi shollallohu’alaihi wasallam:

وإذا ركع فاركعوا، وإذا سجد فاسجدوا». (أخرجه البخاري (378) ومسلم (411)

“Hanyalah imam itu dijadikan untuk diikuti. Maka jika dia bertakbir, maka bertakbirlah kalian, dan jika dia ruku’ maka ruku’lah kalian, dan jika dia sujud maka sujudlah kalian.” (HR. Al Bukhoriy (378) dan Muslim (411)).

Maka jika imamnya ruku’, telah gugurlah dari sang makmum sisa kewajiban untuk membaca Al Fatihah, sebagaimana jika dirinya datang dalam keadaan sang imam ruku’ maka dia harus ruku’ bersama imam, dan gugurlah darinya kewajiban Al Fatihah. Ini berdasarkan hadits Abi Bakroh dalam Shohihul Bukhoriy rohimahulloh, bahwasanya Abu Bakroh rodhiyallohu ‘anh datang dalam keadaan imam ruku’ –Nabi ‘alaihish sholatu wassalam ruku’-, maka diapun ruku’ sebelum sampai ke shof, lalu dia masuk ke dalam shof. Manakala Nabi shollallohu’alaihi wasallam mengucapkan salam, beliau bersabda padanya:

«زادك الله حرصا، ولا تعد»

“Semoga Alloh menambahimu semangat. Dan janganlah engkau ulangi hal itu.”
Dan beliau tidak memerintahkan dia untuk membayar sholat. Maka yang demikian itu menunjukkan sahnya sholat dia, karena dia mendapatkan udzur, karena manakala telah luput darinya kesempatan berdiri, gugurlah darinya kewajiban Al Fatihah.
Dan demikianlah makmum jika sang imam telah ruku sebelum si makmum menyempurnakan Al Fatihah, hendaknya si makmum ruku’ bersama imamnya dan telah gugur darinya kewajiban sisa bacaan Al Fatihah. Dan dia harus memperhatikan yang demikian itu saat dia berdiri agar dia bisa membaca Al Fatihah (dengan sempurna) sebelum ruku’nya sang imam. Hendaknya dia memulai bacaan Al Fatihah di awal rekaat sehingga dia bisa membacanya sebelum imamnya ruku’, dan janganlah dia meremehkan masalah ini.”

(selesai dari “Fatawa Nur ‘Alad Darb Ibni Baz”/12/hal. 363-365).

Al Imam Ibnu Utsaimin rohimahulloh ditanya: apa hukum orang yang meninggalkan Al Fatihah di sebagian rekaat karena lupa? Dan Apa hukumnya jika dia mendapati imam sedang ruku’? dan jika orang yang sholat itu meninggalkan Fatihah dengan sengaja, apa hukumnya? Dan apa hukum orang yang sholat empat rekaat bersama jama’ah sejak awal sholat, manakala sang imam salam orang ini berdiri dan mengadakan rekaat kelima, manakala sang imam menanyakan hal itu kepadanya dia menjawab: “Karena saya di rekaat ketiga belum sempat membaca Al Fatihah, maka saya mendatangkan rekaat kelima sebagai ganti darinya”? Maka beliau menjawab: Jawaban untuk masalah yang pertama: jika si makmum meninggalkan Al Fatihah karena lupa di sebagian rekaat sholat, jika kita berkata bahwasanya bacaan tadi sunnah saja untuk makmum sebagaimana madzhab Hanabilah, maka dia tidak perlu mengulang rekaat yang di situ dia meninggalkan Al Fatihah. Tapi jika kita mengatakan bahwasanya bacaan Al Fatihah adalah rukun, dan itulah yang benar, dia wajib mengulang kembali rekaatnya sebagaimana jika dia sendirinya atau sebagai imam. Adapun jika dia mendapati sang imam sedang ruku’, maka kewajiban membaca Al Fatihah itu gugur darinya ketika itu, karena tempat bacaan Al Fatihah adalah saat berdiri, sementara kewajiban berdiri telah gugur darinya saat itu dalam rangkan menjalankan kewajiban untuk mengikuti imam. Maka gugur pula kewajiban bacaan Al Fatihah dengan luputnya tempat bacaan tadi.

(kita masuk ke jawaban Syaikh Ibnu Baz) Beliau rohimahulloh menjawab: jika si makmum mengantuk dan masih terus dalam posisi duduknya sampai sang imam ruku’, dia harus bangkit dan ruku’ bersama imam. Jika imam mendahuluinya, dia harus ruku’ sampai bisa menyusul sang imam, sujud bersamanya. Ruku’ lalu bangkit dari ruku, lalu menyusul sang imam. Sholatnya tetap sah jika kantuknya itu sedikit dan tidak menghilangkan fungsi indera perasanya. Dia masih punya sebagian kesadaran, masih agak terjaga, hanya saja dia tidak sadar untuk bertakbir. Dia tidak tenggelam dalam tidur. Adapun jika dia tenggelam dalam tidurnya, maka sholatnya batal. Yaitu: dia wajib mengulang sholatnya dari awalnya, karena tidur itu membatalkan wudhu jika sampai meneggelamkan kesadarannya. Adapun jika mengantuk saja, yaitu tidur ringan, tidak sampai menenggelamkannya, maka dia harus segera mengejar sang imam, dan telah gugur darinya kewajiban Al Fatihah, karena dia dalam kondisi tadi tidak sengaja meninggalkan Al Fatihah, hanya saja dia diserang oleh tidur.” 

(selesai dari “Fatawa Nur ‘Alad Darb”/Ibnu Baz/12/hal. 365-366).

Bagaimana jika si makmum tertinggal dari imam disebabkan oleh amalan mustahab, semisal: duduk istirahat? Ketahuilah bahwasanya mengikuti gerakan imam itu wajib, sementara duduk istirahat itu mustahab. Maka jika imam bangkit dan tidak duduk istirahat –sang imam meninggalkan salah satu amalan mustahab- maka makmum sebaiknya duduk istirahat sebentar jika memungkinkan untuk mengamalkan sunnah tadi. Tapi jika dia khawatir duduknya tadi menyebabkan dirinya banyak tertinggal dari sang imam, dia harus segera berdiri dan mengejar imamnya, karena yang demikian itu lebih utama daripada duduk istirahat. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rohimahulloh berkata tentang masalah ini: “Pendapat yang terkuat adalah: bahwasanya mengikuti imam itu lebih utama daripada tertinggal karena mengerjakan amalan mustahab.” 

(“Majmu’ul Fatawa”/22/hal. 452).

والله تعالى أعلم بالصواب، والحمد لله رب العالمين

Shon’a 16 Jumadal Ula 1436 H

╭─┅─═ঊঊঈ═─┅─╮ 

       SEBARKANLAH 
       ENGKAU AKAN 
       MENDAPATKAN 
           PAHALANYA 
╰─┅─═ঊঊঈ═─┅─╯ 

 🅹🅾🅸🅽 🅲🅷🅰🅽🅽🅴🅻 🆃🅴🅻🅴🅶🆁🅰🅼 

Hadits Keutamaan Memberikan Minum

Ditulis dan diterjemahkan Oleh:

Abu Fairuz Abdurrohman bin Soekojo Al Jawiy Al Indonesiy –semoga Alloh memaafkannya-

بسم الله الرحمن الرحيم

Pembukaan

الحمد لله وأشهد أن لا إله إلا الله وأن محمدا عبده ورسوله صلى الله عليه وعلى آله وسلم أما بعد:

Berikut ini ada pertanyaan:

“Bagaimana derajat hadits Sa’d bin Ubadah di Sunan An Nasaiy yang berisi tentang keutamaan shodaqoh dengan memberikan air minum pada orang lain?

Maka dengan mohon pertolongan pada Alloh saya menjawab:

Hadits ini diriwayatkan oleh An Nasaiy dalam Sunan beliau nomor (3664) yang berkata: Akhbarona Muhammad bin Abdillah ibnil Mubarok: haddatsana Waki’: ‘an Hisyam: ‘an Qotadah: ‘an Sa’id ibnil Musayyab: ‘an Sa’d bin Ubadah rodhiyallohu ‘anhu yang berkata: Aku katakan:

يا رسول الله، إن أمي ماتت أفأتصدق عنها؟ قال: «نعم» ، قلت: فأي الصدقة أفضل؟ قال: «سقي الماء»

“Wahai Rosululloh, sesungguhnya ibu saya telah meninggal. Apakah saya boleh bershodaqoh atas nama beliau?” Nabi menjawab: “Iya.” Saya bertanya: “Maka shodaqoh manakah yang paling utama?” Beliau menjawab: “Memberikan minum.”

Hadits ini juga beliau riwayatkan pada nomor (3665) yang berkata: Akhbarona Abu ‘Ammar Al Husain bin Huroits: ‘an Waki’ dan seterusnya.

Juga diriwayatkan oleh Ibnu Majah di Sunan beliau nomor (3684) seraya berkata: haddatsana Ali bin Muhammad: haddatsana Waki’ Waki’ dan seterusnya.

Juga diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam Shohih beliau nomor (3348) dari jalur Waki’ juga.

Hisyam adalah Ad Dustuwa’iy, orang yang paling terpercaya dalam meriwayatkan hadits Qotadah.

Hisyam ini didukung oleh Syu’bah –termasuk orang yang paling terpercaya dalam meriwayatkan hadits Qotadah juga-, diriwayatkan oleh An Nasaiy nomor (3666) yang berkata: Akhbaroni Ibrohim ibnul Hasan: ‘An Hajjaj: Sami’tu Syu’bah yuhadditsu ‘an Qotadah, dan seterusnya.

Maka sanadnya shohih sampai ke Sa’id ibnul Musayyab –pemimpin para tabi’in-. akan tetapi Sa’id tidak mendengar dari Sa’d bin Ubadah.11:26

Al Hafizh Al ‘Alaiy rohimahulloh berkata:

“Dan di dalam Sunan Abi dawud dan An Nasaiy ada riwayat Sa’id ibnul Musayyab dari Sa’d bin Ubadah rodhiyallohu ‘anh, padahal beliau tidak berjumpa dengan Sa’d.” 

(“Jami’ut Tahshil”/hal. 184).

Akan tetapi marosil Sa’id ibnil Musayyab itu adalah hujjah yang shohih.

Al Hafizh Al ‘Alaiy rohimahulloh berkata: “Hanbal bin Ishaq berkata: Aku mendengar Abu Abdillah –yaitu: Ahmad bin Hanbal- berkata: “Marosil Ibnil Musayyab itu shohih. Engkau tidak akan melihat yang lebih shohih dari marosil beliau.” Yahya bin Ma’in berkata: Marosil yang paling shohih adalah marosil Sa’id ibnil Musayyab.” Dan ini semua mendukung keinginan Asy syafi’iy rohimahulloh dengan ucapan beliau yang memperkecualikan marosil Ibnul Musayyab dan menerimanya secara mutlak tanpa didukung oleh sanad yang lain, berdasarkan penjelasan yang telah lewat.

Al Qoffal Al Marwaziy menukilkan dari Asy Syafi’iy bahwasanya beliau berkata dalam kitab beliau “Ar Rohn Ash Shoghir”: “Irsal Ibnul Musayyab menurut kami adalah hujjah.” Dan demikian itu juga mendukung pendapat yang kami pilih.” 

(Selesai dari “Jami’ut Tahshil”/hal. 47).

Beliau rohimahulloh juga berkata: “Al Muzaniy berkata dalam “Mukhtashor” beliau: Irsal Sa’id ibnul Musayyab menurut kami adalah hasan.” 

(Selesai dari “Jami’ut Tahshil”/hal. 46).

Jika riwayat Sa’id ibnul Musayyab ke Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam itu shohihah, maka riwayat beliau dari Shohabat itu lebih utama untuk dishohihkan karena Sa’id itu amat jujur dan meneliti.

Al Imam Ibnul Qoyyim rohimahulloh berkata: “Al Imam Ahmad berkata: “Jika Sa’id ibnul Musayyab tidak diterima riwayatnya dari Umar, maka siapakah yang akan kita terima?” Dan para pemimpin Islam dan mayoritas mereka berhujjah dengan ucapan Sa’id ibnul Musayyab: “Rosululloh shollallohu ‘alaihi waalihi wasallam bersabda” maka bagaimana dengan riwayat beliau dari Umar rodhiyallohu ‘anh? Dulu Abdulloh bin Umar biasa mengirimkan utusan kepada Sa’id ibnul Musayyab dan menanyai beliau tentang keputusan-keputusan Umar, lalu Ibnu Umar berfatwa dengan riwayat tadi. Dan tiada seorangpun dari ulama terpandang dalam Islam yang sezaman dengan Sa’id ibnul Musayyab dan yang setelah beliau yang mencerca riwayat beliau dari Umar. Dan kritikan orang yang selain mereka tidak perlu diperhatikan.” 

(“Zadul Ma’ad”/5/hal. 166-167).11:30

Kemudian Sa’id ibnul Musayyab rohimahulloh telah didukung oleh Al Hasan Al Bashriy.

Al Imam Ahmad dalam Musnad beliau nomor (22459) berkata: Haddatsana Hajjaj: sami’tu Syu’bah yuhadditsu ‘an Qotadah: sami’tu Al Hasan yuhadditsu ‘an Sa’d bin Ubadah, dan seterusnya.

Al Hakim An Naisaburiy rohimahulloh telah menyatukan antara riwayat Sa’id ibnul Musayyab dan Al Hasan dalam satu sanad di “Al Mustadrok” (1511): tsana Muhammad bin ‘Ar’aroh, tsana Syu’bah: ‘an Qotadah: ‘an Sa’id ibnul Musayyab wal Hasan: ‘an Sa’d bin Ubadah rodhiyallohu ‘anh, dan seterusnya.

Dan dari jalur beliau Al Baihaqiy meriwayatkan dalam “As Sunanul Kubro” (7804) seperti itu juga.

Muhammad bin ‘Ar’aroh adalah ibnul Barnad As Samiy Al Qurosyiy, tsiqoh shoduq. 

(“Al Jarh Wat Ta’dil”/Ibnu Abi Hatim/8/hal. 51).

Al Hasan Al Bashriy mudallis, tapi ‘an’anah beliau bisa untuk pendukung, terutama karena beliau telah menyebutkan kisah yang memperkuat riwayat beliau.

Diriwayatkan oleh Sa’id bin Manshur dalam Sunan beliau nomor (419) dengan sanad yang shohih kepada Al Hasan yang berkata:

قال سعد بن عبادة: يا رسول الله، إني كنت ابن أم سعد، وإنها ماتت، فهل ينفعها أن أتصدق عنها؟ قال: «نعم» . قال: فأي الصدقة أفضل؟ قال: «اسق الماء» قال: فجعل صهريجين بالمدينة. قال الحسن: فربما سعيت بينهما وأنا غلام

“Sa’d bin Ubadah berkata: Wahai Rosululloh, sesungguhnya saya adalah anak Ummu Sa’d, dan beliau sekarang sudah meninggal. Maka apakah bermanfaat bagi beliau jika saya bershodaqoh atas nama beliau?” Nabi menjawab: “Iya.” Sa’d bertanya: “Maka shodaqoh apa yang paling utama?” Beliau menjawab: “Berikanlah minuman.” Al Hasan berkata: “Maka Sa’d membikin Shihrijain (dua telaga) di Madinah. Maka terkadang aku berlari-lari kecil di antara dua telaga tadi ketika aku masih anak-anak.”

Al Jauhariy rohimahulloh berkata: “Shihrij kata tunggal dari Shoharij, dan dia itu bagaikan telaga yang berkumpul di dalamnya air.” 

(“Ash Shihah”/1/hal. 326).

Maka hadits tersebut hasan li ghoirih.11:31

Hadits ini datang juga dari jalur lain yang amat lemah sekali, diriwayatkan oleh Ath Thobroniy rohimahulloh dalam “Al Mu’jamul Kabir” (5385) yang berkata: haddatsana Muhammad bin Utsman bin Abi Syaibah: tsana Dhiror bin Shord Abu Nu’aim Ath Thohhan: tsana Abdul ‘Aziz bin Muhammad: ‘an ‘Umaroh bin Ghuzayyah: ‘an Humaid bin Abish Shin’ah: ‘an Sa’d bin Ubadah:

أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال له: «يا سعد، ألا أدلك على صدقة يسيرة مؤنتها، عظيم أجرها؟» قال: بلى، قال: «تسقي الماء» ، فسقى سعد الماء.

“Bahwasanya Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam bertanya kepadanya: “Wahai Sa’d, maukah engkau aku tunjukkan pada shodaqoh yang bebannya mudah tapi pahalanya agung?” Sa’d menjawab: “Tentu.” Beliau bersabda: “Engkau memberikan minum.” Maka Sa’d memberikan minum.”

Akan tetapi di dalam sanadnya ada Dhiror bin Shord Abu Nu’aim Ath Thohhan. Yahya bin Ma’in berkata: “Di Khufah ada dua pendusta: Abu Nu’aim An Nakho’iy dan Abu Nu’aim Dhiror bin Shord.” Al Bukhoriy dan An Nasaiy berkata: “Dia matrukul hadits.” An Nasaiy pada kali yang lain berkata: “Dia tidak bisa dipercaya sama sekali.” Husain bin Muhammad Al Qubabiy berkata: “Para ahli hadits meninggalkan dia.” 

(“Tahdzibut Tahdzib”/4/hal. 456).

Dan datang juga hadits ini dalam Sunan Abi Dawud nomor (1681) tapi di dalamnya ada rowi mubham (yang tidak disebutkan namanya).

Dua jalur terakhir tadi tak bisa untuk pendukung.

Maka hukum hadits Sa’d adalah hasan lighoirih. Dan yang memperkuatnya juga adalah terkenalnya pengairan Sa’d bin Abi Waqqosh di Madinah yang dinamakan oleh Al Hasan Al Bashriy sebagai Shihrij. Dan dia adalah telaga yang ada di kebun “Al Mikhrof”.11:32

Dan yang memperkuatnya lagi adalah hadits Ibnu Abbas rodhiyallohu ‘anhuma:

أن سعد بن عبادة رضي الله عنه توفيت أمه وهو غائب عنها، فقال: يا رسول الله إن أمي توفيت
وأنا غائب عنها، أينفعها شيء إن تصدقت به عنها؟ قال: «نعم» ، قال: فإني أشهدك أن حائطيالمخراف صدقة عليها. (أخرجه البخاري (2756)).

“Bahwasanya Sa’d bin Uba dah rodhiyallohu ‘anh ibunya meninggal dalam keadaan dia tidak hadir di sisinya. Maka dia bertanya: “Wahai Rosululloh, sesungguhnya ibu saya meninggal dalam keadaan saya tidak hadir di sisinya. Maka apakah bermanfaat bagi beliau jika saya bershodaqoh atas nama beliau?” Nabi menjawab: “Iya.” Dia berkata: “Maka sungguh saya menjadikan Anda sebagai saksi bahwasanya kebun saya “Al Mikhrof” menjadi shodaqoh atas nama beliau.” 

(HR. Al Bukhoriy (2756)).

Al Munawiy rohimahulloh berkata: “Posisi yang menyebabkan pemberian minum tadi menjadi shodaqoh yang lebih utama daripada yang lainnya adalah jika keperluan orang-orang kepada air tadi amat besar, sebagaimana hal itu dominan di wilayah Hijaz karena sedikitnya air di situ. Dan semisal dengan itu pula jalan yang dilalui oleh jamaah haji. Dan yang semacam itu. Soalnya jika tidak demikian, semacam roti itu lebih utama daripada air, lebih-lebih lagi di masa kenaikan harga dan kelaparan.” 

(“Faidhul Qodir”/2/hal. 37).

╭─┅─═ঊঊঈ═─┅─╮ 

       SEBARKANLAH 
       ENGKAU AKAN 
       MENDAPATKAN 
           PAHALANYA 
╰─┅─═ঊঊঈ═─┅─╯ 

 🅹🅾🅸🅽 🅲🅷🅰🅽🅽🅴🅻 🆃🅴🅻🅴🅶🆁🅰🅼 

Kewajiban Adanya Mahrom Bagi wanita dalam Haji

Ditulis oleh Al Faqir Ilalloh:
Abu Fairuz Abdurrohman bin Soekojo Al Jawiy
Al Indonesiy –semoga Alloh memaafkannya-




بسم الله الرحمن الرحيم




Pembukaan


الحمد لله وأشهد أن لا إله إلا الله وأن محمدا عبده ورسوله صلى الله عليه وعلى آله وسلم أما بعد:

Telah datang surat dari seorang ikhwah yang mulia berisi pertanyaan kepada saya sebagai berikut: Apa hukum wanita berhaji tanpa mahrom yang ma’ruf semacam adik, anak, ayah dan sebagainya, hanya saja dia pergi bersama seorang lelaki yang ditunjuk sebagai mahrom sementara oleh pemerintah? Jika terlarang maka apa dalilnya?

Maka dengan memohon pertolongan pada Alloh, saya menjawab:

Sesungguhnya Alloh ta’ala telah mengatur agama ini secara sempurna demi kemaslahatan para hamba-Nya, dan menetapkan siapakah mahrom para wanita demi keselamatan jiwa dan terjaganya kehormatan mereka sendiri.

Dan Alloh melalui lisan Rosul-Nya shollallohu ‘alaihi wasallam melarang wanita safar tanpa mahrom.

Dari Abu Huroiroh rodhiyallohu ‘anhu: dari Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam yang bersabda:

«لا يحل لإمرأة تؤمن بالله واليوم الآخر تسافر مسيرة يوم وليلة إلا مع ذي محرم».

“Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman pada Alloh dan Hari Akhir untuk safar (pergi jauh) sejarak perjalanan sehari semalam kecuali bersama mahromnya.” 

(HR. Al Bukhoriy (1088) dan Muslim (1339)).

Al Imam Abul Walid Al Bajiy rohimahulloh berkata: “Sabda beliau shollallohu ‘alaihi wasallam: “Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman pada Alloh dan Hari Akhir” itu mengandung makna yang keras. Nabi menginginkan bahwasanya penyelisihan terhadap hukum ini bukanlah termasuk amalan orang yang beriman pada Alloh dan takut pada hukuman-Nya di Akhirat. Dan Sabda beliau shollallohu ‘alaihi wasallam: “untuk safar (pergi jauh) sejarak perjalanan sehari semalam kecuali bersama mahromnya.” Beliau menginginkan –wallohu a’lam- karena wanita itu fitnah. Dan kesendiriannya itu adalah sebab terjadinya perkara yang terlarang, karena setan itu akan mendapatkan jalan dengan kesendiriannya tadi untuk menyesatkan orang dengan perempuan tadi dan mengajak orang mendekati perempuan tadi.

Dan sabda shollallohu ‘alaihi wasallam: “kecuali bersama mahromnya.” Mengandung dua makna: 

yang pertama: tidak boleh wanita itu safar dengan jarak tadi bersama satu orang, kecuali jika orang itu punya tali kemahroman dengannya, karena mahrom itu dianggap terpercaya.

Makna yang kedua: tidak boleh wanita itu menyendiri dalam safar semacam ini tanpa ditemani orang yang punya tali kemahroman dengannya, karena mahromnya tadi akan menjaganya, dan berupaya melindunginya karena telah dicetak dalam tabiat kebanyakan manusia kecemburuan terhadap mahrom mereka dan upaya untuk menjaga mahrom-mahrom mereka.”

(selesai dari “Al Muntaqo Syarhil Muwaththo”/4/hal. 434).

Maka adanya mahrom bagi wanita itu kewajiban dari Alloh melalui lisan Rosul-Nya shollallohu alaihi wasallam jika mereka safar.

Al Imam An Nawawiy rohimahulloh berkata: “Kesimpulannya adalah: bahwasanya setiap perjalannya yang bernama SAFAR, wanita dilarang untuk menjalankannya tanpa suami atau mahrom. Sama saja apa itu tiga hari atau dua hari atau sehari atau satu BARID atau yang lainnya, berdasarkan riwayat Ibnu Abbas yang mutlak, dan itu adalah akhir riwayat Muslim yang lalu:

لا تسافر امرأة إلا مع ذي

“Tidak boleh wanita safar kecuali bersama mahrom.”

Dan ini mencakup seluruh perjalanan yang dinamakan sebagai SAFAR. Wallohu a’lam.”

(“Al Minhaj”/9/hal. 103-104).

Maka haji juga demikian, harus dengan mahrom, karena dia masuk dalam keumuman safar.
Dan yang memperkuat itu juga adalah hadits Ibnu Abbas rodhiyallohu ‘anhuma:

أنه: سمع النبي صلى الله عليه وسلم يقول: «لا يخلون رجل بامرأة، ولا تسافرن امرأة إلا ومعها محرم»، فقام رجل فقال: يا رسول الله، اكتتبت في غزوة كذا وكذا، وخرجت امرأتي حاجة، قال: «اذهب فحج مع امرأتك».

“Bahwasanya beliau mendengar Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam bersabda: “Jangan sekali-kali seorang lelaki menyendiri dengan seorang wanita. Dan jangan sekali-kali wanita safar kecuali dia disertai dengan mahrom.” Maka seseorang bangkit seraya berkata: “Wahai Rosululloh, saya telah ditetapkan untuk ikut perang demikian dan demikian. Sementara istri saya keluar untuk berjadi.” Maka beliau bersabda: “Pergilah lalu berhajilah bersama istrimu.” 

(HR. Al Bukhoriy (3006) dan Muslim (1341)).

Shohabiy ini telah ditetapkan untuk ikut dalam perang tersebut, sehingga jadilah hal itu wajib ‘ainiy terhadapnya. Sekalipun demikian Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam membatalkan kewajiban jihad dia agar dia menyertai haji sang istri. Maka ini menunjukkan amat kuatnya kewajiban adanya mahrom yang menyertai wanita di dalam haji.

Dan ini adalah fatwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam “Syarh Umdatul Ahkam” (2/hal. 174-177).

Ini juga fatwa Al Qodhiy Badrud Din Al ‘Ainiy rohimahulloh dalam “Umdatul Qori” (10/hal. 221-222).

Ini juga Fatwa Al Imam Ibnu Utsaimin rohimahulloh dalam “Majmu’ Fatawa Wa Rosail” (24/hal. 258).

Ini juga Fatwa Al Imam Muhammad bin Isma’il Al Amir Ash Shon’aniy rohimahulloh dalam “Subulus Salam” (1/hal. 608).

Dan mahrom wanita itu telah Alloh tetapkan sebagaimana yang tersirat dalam firman Alloh ta’ala:

(حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالَاتُكُمْ وَبَنَاتُ الْأَخِ وَبَنَاتُ الْأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلَابِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا } [النساء: 23]

“Diharomkan terhadap kalian (menikahi) ibu-ibu kalian, anak-anak perempuan kalian, dan para saudari kalian, dan para bibi kalian yang dari ayah kalian, dan para bibi kalian yang dari ibu kalian, anak-anak perempuan saudara-saudara lelaki kalian, anak-anak perempuan saudara-saudara perempuan kalian, dan ibu-ibu kalian yang menyusui kalian, dan saudari-saudari sesusuan kalian, ibu dari istri-istri kalian, dan anak-anak perempuan yang ada di rumah-rumah kalian dari istri-istri kalian yang kalian telah menggaulinya (menggauli istri kalian). Jika kalian belum menggauli istri kalian tadi maka tidak mengapa kalian menikahi anak-anak perempuan mereka. Dan harom pula bagi kalian (menikahi) istri-istri anak-anak kandung kalian, dan harom bagi kalian mengumpulkan dua saudari (dalam satu ikatan perkawinan), kecuali perkara yang telah lewat. Sesungguhnya Alloh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” 

(QS. An Nisa: 23).

Maka mahrom seorang wanita di antaranya adalah: anak kandungnya, ayah kandungnya, saudara lelakinya, keponakannya dari pihak saudaranya, dan keponakannya dari pihak saudarinya, paman dari pihak ayah, paman dari pihak ibu, saudara sesusuan, suami dari anaknya, suami dari ibunya jika suami tadi telah menggauli ibunya. Yang termasuk dari mahrom adalah ayah suami.

Termasuk mahrom juga adalah: ayah sesusuan dan paman sesusuan.
Itu semua adalah mahrom abadi, selamanya tak boleh dinikahi.

Adapun mahrom sementara adalah: saudara suami (yaitu ipar). Tak boleh istri menikah dengan ipar selama sang suami masih hidup. Sekalipun ipar adalah mahrom juga, tapi harom untuk istri berduaan dengan ipar karena fitnahnya amat besar. Demikian pula suami bibi.

Dan mahrom yang dimaksudkan dalam safar adalah mahrom abadi, bukan mahrom sementara waktu yang secara umum di suatu saat bisa timbul syahwat untuk menikahi wanita itu.

Dari Uqbah bin Amir rodhiyallohu ‘anh:

أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: «إياكم والدخول على النساء» فقال رجل من الأنصار: يا رسول الله، أفرأيت الحمو؟ قال: «الحمو الموت». (أخرجه البخاري (5232) ومسلم (2172)).

“bahwasanya Rosululloh shollallohu ‘alaihi waalihi wasallam bersabda: “Hindarilah oleh kalian masuk ke tempat para wanita.” Maka seorang dari Anshor berkata: Wahai Rosululloh, bagaimana pendapat Anda tentang Al Hamu (kerabat suami)? Maka beliau menjawab: “Al Hamu adalah kematian.” 

(HR. Al Bukhoriy (5232) dan Muslim (2172)).

Dari Usamah bin Zaid rodhiyallohu ‘anhuma: dari Nabi shollallohu ‘alaihi waalihi wasallam bersabda:

«ما تركت بعدي فتنة أضر على الرجال من النساء».

“Tidaklah aku tinggalkan sepeninggalku fitnah yang lebih berbahaya terhadap para pria daripada para wanita.” 

(HR. Al Bukhoriy (5096) dan Muslim (2740)).

Seorang penyair berkata:

لا يأمنن على النساء أخ أخا ... ما في الرجال على النساء أمين
إن الأمين وإن تحفظ جهده ... لا بد أن بنظرة سيخون

“Janganlah sekali-sekali seorang saudara mempercayakan para wanita pada saudaranya. Tidak orang dari kalangan lelaki yang bisa dipercaya terhadap para wanita. Sesungguhnya orang yang terpercaya itu sekalipun dirinya berusaha menjaga diri sekuat tenaga, dia pasti akan berkhianat dengan mencuri pandang.”

(sebagaimana dalam kitab “Al Furu’ Wa Tashhihul Furu’”/Al Mardawiy/8/hal. 382).

Tentu saja para Nabi dan shiddiqun bisa dipercaya, akan tetapi sang penyair berbicara atas nama keumuman manusia yang memang fithrohnya adalah condong pada wanita. Dan hukum itu dibangun di atas kondisi yang dominan.

Al Imam ibnul Qoyyim rohimahulloh berkata: “Dan hukum-hukum itu hanyalah berlaku pada kondisi yang dominan yang banyak. Sementara perkara yang jarang terjadi itu dihukumi bagaikan tidak ada.” 

(“Zadul Ma’ad”/5/hal. 378/cet. Ar Risalah).

Maka mahrom wanita dalam safar adalah mahrom yang abadi, bukan mahrom sementara.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rohimahulloh berkata tentang penjelasan hadits mahrom dalam safar: “Dia itu adalah suaminya dan orang yang harom selamanya untuk menikah dengan wanita tadi, dengan sebab nasab atau dengan sebab mubah yang lain (susuan atau perbesanan).” 

(“Syarhu ‘Umdatil Fiqh”/Ibnu Taimiyyah/2/hal. 180).

Al Imam Ibnu Utsaimin rohimahulloh berkata: “Harom bagi wanita untuk safar tanpa mahrom di dalam pesawat, atau mobil, atau onta, atau keledai, atau kaki, semua itu harom. Dan mahrom itu adalah orang yang harom untuk menikahi wanita tadi dengan pengharoman abadi, dengan sebab nasab atau perbesanan atau persusuan.” 

(“Syarh Riyadhish Sholihin”/4/hal. 629).

Jika mahrom sementara yang ditetapkan dalam syariat saja tidak boleh untuk menjadi mahrom dalam safar, maka bagaimana dengan pria asing, bukan mahrom bagi wanita itu secara syar’iy? Tentu saja lebih pantas untuk dia tidak sah menjadi mahrom dalam safar bagi wanita tadi.

Ini adalah jawaban yang amat singkat. Selebihnya bisa dilihat dalam “At Tuhfatul Maliziyyah Bi Buhutsil Masailisy Syar’iyyah”

Selesai.

والله تعالى أعلم بالصواب، والحمد لله رب العالمين.

Malaysia, 23 Sya’ban 1436 H.

╭─┅─═ঊঊঈ═─┅─╮ 

       SEBARKANLAH 
       ENGKAU AKAN 
       MENDAPATKAN 
           PAHALANYA 
╰─┅─═ঊঊঈ═─┅─╯ 

 🅹🅾🅸🅽 🅲🅷🅰🅽🅽🅴🅻 🆃🅴🅻🅴🅶🆁🅰🅼