Hukum Tinggal Serumah Dengan Ibu Asuh Istri


Disusun oleh : Abu Fairuz Abdurrohman bin Soekojo ‘afallohu ‘anhu di Yaman

بسم الله الرحمن الرحيم

Pengantar Penulis

الحمد لله وأشهد أن لا إله إلا الله وأن محمدا عبده ورسوله صلى الله عليه وآله وسلم، أما بعد:

Sesungguhnya telah datang pertanyaan dari seorang ikhwah: ada seorang wanita punya ibu asuh. Sang ibu ini bukanlah yang melahirkan dia dan tidak pula menyusui dia. Hanya saja sang ibu ini merawatnya sejak kecil. Si wanita tadi telah menikah. Sekarang si ibu tua tadi sendirian tanpa ada yang hidup di sisinya, sehingga dia merasa kesepian. Maka beliau meminta anak asuhnya tadi untuk tinggal bersamanya (di rumah si ibu tua). Maka bagaimana sikap sang suami tadi, karena tiada hubungan kekerabatan antara dirinya dengan ibu tua tadi?

Dengan mohon pertolongan pada Alloh saya menjawab:

Si ibu tua tadi bukanlah mahrom bagi saudara kita (si pemuda) tadi. Maka ibu tua tadi ibarat orang asing baginya, tidak boleh khulwah (bersepi-sepi) dengannya, dan tidak boleh (ikhtilath) bercampur-baur tanpa hijab (pembatas) dengannya.

Dari Ummu Salamah rodhiyallohu ‘anha yang berkata:

أن النبي صلى الله عليه وسلم كان إذا سلم يمكث في مكانه يسيرا.

“Bahwasanya Nabi Shollallohu ‘alaihi waalihi wasallam jika telah salam dari sholat beliau, beliau tetap tinggal sebentar di tempat sholat beliau.”

Ibnu Syihab (rowi hadits) berkata: “Kami berpandangan, dan Alloh sajalah Yang paling tahu, beliau berbuat itu agar para wanita (yang ikut sholat jama’ah) pergi dulu.” (HR. Al Bukhoriy (840).

Al Imam Ibnu Qudamah rohimahulloh berkata:

“Maka jika si imam disertai oleh para pria dan wanita, maka disunnahkan untuk para wanita segera pulang lebih dulu, sementara sang imam dan para pria tetap di tempat mereka, sekadar masa pulangnya para wanita. Ini berdasarkan ucapan Ummu Salamah rodhiyallohu ‘anha yang berkata: “Bahwasanya Nabi Shollallohu ‘alaihi waalihi wasallam jika para wanita telah salam dari sholat wajib, mereka bangkit, sementara Rosululloh shollallohu ‘alaihi waalihi wasallam dan para pria yang sholat bersama beliau Nabi tetap tinggal sebentar sesuai dengan yang dikehendaki Alloh. Jika Rosululloh shollallohu ‘alaihi waalihi wasallam bangkit, para priapun bangkit juga. Ibnu Syihab (rowi hadits) berkata: “Kami berpandangan, dan Alloh sajalah Yang paling tahu, beliau berbuat itu agar para wanita (yang ikut sholat jama’ah) pergi dulu.” Diriwayatkan oleh Al Bukhoriy.

Dan dikarenakan jika meninggalkan sunnah tadi akan menyebabkan para pria bercampur dengan para wanita.” (selesai dari “Al Kafi Fi Fiqhil Imam Ahmad”/1/hal. 261).

Al Imam Ibnul Qoyyim rohimahulloh berkata: “Sesungguhnya pemerintah wajib melarang percampuran Antara pria dan wanita di pasar-pasar, di tempat pelancongan, di tempat-tempat berkumpulnya para lelaki. Malik rohimahulloh warodhiya ‘anhu berkata: “Aku berpandangan bahwasanya pemerintah memeriksa para pengrajin yang para wanita duduk-duduk di dekat mereka. Dan aku berpandangan agar pemerintah tidak membiarkan para wanita muda duduk-duduk di dekat para pengrajin. Adapun wanita hamba sahaya dan pembantu rendahan yang tidak akan dituduh dikarenakan duduk-duduk di dekat parapengrajin, dan tidak pula orang yang wanita budak tadi duduk di dekatnya tidak akan terkena tuduhan, maka aku berpandangan bahwasanya yang demikian itu tidak mengapa.” Selesai.

Pemerintah bertanggung jawab atas itu semua. Dan fitnah percampuran tadi amatlah besar. Nabi shollallohu ‘alaihi waalihi wasallam bersabda:

«ما تركت بعدي فتنة أضر على الرجال من النساء».

“Tidaklah aku tinggalkan sepeninggalku fitnah yang lebih berbahaya terhadap para pria daripada para wanita.”

(selesai dari “Ath Thuruqul Hukmiyyah”/Ibnul Qoyyim/hal. 237-238).

Dari Uqbah bin Amir rodhiyallohu ‘anh:

أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: «إياكم والدخول على النساء» فقال رجل من الأنصار: يا رسول الله، أفرأيت الحمو؟ قال: «الحمو الموت». (أخرجه البخاري (5232) ومسلم (2172)).

“Bahwasanya Rosululloh shollallohu ‘alaihi waalihi wasallam bersabda: “Hindarilah oleh kalian masuk ke tempat para wanita.” Maka seorang dari Anshor berkata: Wahai Rosululloh, bagaimana pendapat Anda tentang Al Hamu (kerabat suami)? Maka beliau menjawab: “Al Hamu adalah kematian.” (HR. Al Bukhoriy (5232) dan Muslim (2172)).

Ini adalah dalil yang jelas tentang tidak tidak bolehnya percampuran antara pria dan wanita. Maka hal itu harom terhadap orang-orang yang asing (bukan mahrom), dan lebih besar lagi keharomannya terhadap kerabat yang bukan mahrom, karena bahayanya lebih tersembunyi dan orang-orang meremehkan masalah ini.

Al ‘Allamah An Nawawiy rohimahulloh berkata: “Para ahli Bahasa bersepakat bahwasanya Al Hamu adalah kerabat sang suami, seperti: ayah sang suami, pamannya, saudaranya yang laki-laki, anak saudara lelaki, anak paman suami, dan yang semisal dengan mereka. Sementara Al Khotan adalah kerabat sang istri. Ash Shihr berlaku pada kedua belah pihak. Adapun sabda beliau shollallohu ‘alaihi waalihi wasallam: “Al Hamu adalah kematian” maka maknanya adalah bahwasanya kekhawatiran darinya dan kejelekan dan fitnah yang dikhawatirkan datang darinya itu lebih banyak karena si kerabat tadi punya kesempatan besar untuk sampai ke si wanita dan bersepi-sepi dengannya tanpa diingkari oleh keluarganya. Ini berbeda dengan orang asing. Dan yang dimaksud dengan Al Hamu di sini adalah kerabat suami, yang bukan ayah-ayahnya ataupun anak-anaknya. Adapun ayah-ayah dan anak-anak dari suami adalah mahrom bagi sang istri, boleh bagi mereka untuk bersepi-sepi dengan si istri. Dan mereka tidak disifati dengan kematian. Hanyalah yang dimaksudkan adalah saudara suami, anak saudara suami, paman suami dari pihak ibu, anak paman suami dari pihak ibu, dan semisal mereka yang bukan mahrom. Dan orang-orang terbiasa untuk bermudah-mudah dalam masalah ini, mereka bersepi-sepi dengan istri saudara mereka. Dan inilah kematian. Dan dia lebih pantas untuk dilarang daripada orang asing, dengan alasan yang telah kami sebutkan. Dan penjelasan yang aku sebutkan itulah yang benar dari makna hadits ini.” (“Syarh Shohih Muslim”/14/hal. 154).07:47

Dari Usamah bin Zaid rodhiyallohu ‘anhuma: dari Nabi shollallohu ‘alaihi waalihi wasallam bersabda:

«ما تركت بعدي فتنة أضر على الرجال من النساء».

“Tidaklah aku tinggalkan sepeninggalku fitnah yang lebih berbahaya terhadap para pria daripada para wanita.” (HR. Al Bukhoriy (5096) dan Muslim (2740)).

Seorang penyair berkata

لا يأمنن على النساء أخ أخا … ما في الرجال على النساء أمين إن الأمين وإن تحفظ جهده … لا بد أن بنظرة سيخون

“Janganlah sekali-sekali seorang saudara mempercayakan para wanita pada saudaranya. Tidak orang dari kalangan lelaki yang bisa dipercaya terhadap para wanita. Sesungguhnya orang yang terpercaya itu sekalipun dirinya berusaha menjaga diri sekuat tenaga, dia pasti akan berkhianat dengan mencuri pandang.”

(sebagaimana dalam kitab “Al Furu’ Wa Tashhihul Furu’”/Al Mardawiy/8/hal. 382).

Tentu saja para Nabi dan shiddiqun bisa dipercaya, akan tetapi sang penyair berbicara atas nama keumuman manusia yang memang fithrohnya adalah condong pada wanita. Dan hukum itu dibangun di atas kondisi yang dominan.

Al Imam ibnul Qoyyim rohimahulloh berkata: “Dan hukum-hukum itu hanyalah berlaku pada kondisi yang dominan yang banyak. Sementara perkara yang jarang terjadi itu dihukumi bagaikan tidak ada.” (“Zadul Ma’ad”/5/hal. 378/cet. Ar Risalah).

Sesungguhnya kehadiran para wanita dalam tempat-tempat pertemuan adalah boleh dengan syarat tidak bercampur-baur dengan para pria.

Di dalam “Shohihain” dari Ummu ‘Athiyyah rodhiyallohu ‘anha yang berkata:

أن رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم أمرنا أن نخرج الحيّض يوم العيدين وذوات الخدور فيشهدن الخير ودعوة المسلمين، ويعتزل الحيض عن مصلاهن. قالت امرأة: يا رسول الله إحدانا ليس لها جلباب. قال: «لتلبسها صاحبتها من جلبابها».

“Bahwasanya Rosululloh shollallohu ‘alaihi waalihi wasallam memerintahkan kami untuk mengeluarkan para wanita haidh dan para gadis pingitan pada dua hari ‘Id, lalu mereka menghadiri kebaikan dan doa kaum Muslimin, sementara para wanita haidh menjauh dari tempat sholat mereka. Maka seorang wanita berkata: “Wahai Rosululloh, salah seorang dari kami tidak punya jilbab.” Beliau menjawab: “Hendaknya temannya meminjaminya sebagian dari jilbabnya.” (HR. Al Bukhoriy (351) dan Muslim (890)).

Al Hafizh Ibnu Hajar rohimahulloh berkata: “Dan yang lebih utama adalah hal itu dikhususkan dengan orang yang aman dari terfitnah dengan wanita ataupun para wanita aman dari fitnah dia, dan kehadiran para wanita tadi tidak mengakibatkan perkara yang terlarang, dan tidak pula berdesak-desakan dengan para lelaki di jalanan ataupun juga di tempat-tempat perkumpulan.” (“Fathul Bari”/Ibnu Hajar/2/hal. 471).

Dari Salim bin Abdillah bin Umar yang berkata:

سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: «لا تمنعوا نساءكم المساجد إذا استأذنكم إليها» قال: فقال بلال بن عبد الله: والله لنمنعهن، قال: فأقبل عليه عبد الله: فسبه سبا سيئا ما سمعته سبه مثله قط وقال: أخبرك عن رسول الله صلى الله عليه وسلم وتقول: والله لنمنعهن.

Abdulloh bin Umar rodhiyallohu ‘anhuma yang berkata: “Aku mendengar Rosululloh shollallohu ‘alaihi waalihi wasallam bersabda: “Janganlah kalian melarang para istri kalian datang ke masjid-masjid jika mereka minta idzin pada kalian untuk pergi ke situ.” Maka Bilal bin Abdillah berkata: “Demi Alloh kami akan benar-benar melarang mereka.

” Maka Abdulloh menoleh kepadanya seraya mencacinya dengan cacian yang belum pernah aku mendengar beliau mencacinya semisal itu sama sekali. Dan beliau berkata: “Aku mengabarimu dari Rosululloh shollallohu ‘alaihi waalihi wasallam, tapi engkau berkata: “Demi Alloh kami akan benar-benar melarang mereka.” (HR. Al Bukhoriy (899) dan Muslim (442), dan ini adalah lafazh Muslim).

Dan dari ‘Aisyah rodhiyallohu ‘anha yang berkata:

كن نساء المؤمنات يشهدن مع رسول الله صلىالله عليه وسلم صلاة الفجر متلفعات بمروطهن، ثم ينقلبن إلى بيوتهن حين يقضين الصلاة، لا يعرفهن أحد من الغلس».

“Dulu para wanita Mukminat menghadiri sholat fajar bersama Rosululloh shollallohu ‘alaihi waalihi wasallam, dalam keadaan mereka menutupi diri dengan kain-kain lebar mereka, kemudian mereka pulang kembali ke rumah-rumah mereka ketika menyelesaikan sholat. Tiada seorangpun yang mengenal mereka karena masih gelap.” (HR. Al Bukhoriy (578) dan Muslim (645)).

Al ‘Allamah Ibnu Baththol rohimahulloh berkata: “Ini adalah sunnah yang menjadi patokan, yaitu: para wanita pulang ke rumah dalam kondisi masih gelap, sebelum pulangnya para lelaki, dalam rangka menyembunyikan diri-diri mereka, dan agar para lelaki yang berjumpa dengan mereka tidak mengenali siapa mereka. Dan ini menunjukkan bahwasanya para wanita itu tidak tinggal di masjid setelah selesai sholat. Dan ini semua masuk dalam bab memotong sarana terjadinya fitnah, dan larangan melampaui batasan-batasan Alloh, dan diharuskan agar para lelaki dan wanita itu saling menjauh karena dikhawatirkan terjadi fitnah dan masuknya kesulitan, serta menghindari berlangsungnya dosa di dalam percampuran dengan mereka.” (“Syarh Shohih Al Bukhoriy”/Ibnu Baththol/2/hal. 473).

Saya katakan dengan memohon pertolongan pada Alloh: dulu tempat sholat para wanita itu ada di belakang tempat sholat para lelaki tanpa ada pembatas. Adapun sekarang: Antara tempat sholat para wanita dan tempat sholat para lelaki ada dinding, dan mereka ada di kamar yang lain, tidak terjadi percampuan, maka tidak mengapa para wanita itu tinggal sebentar di tempat sholat mereka untuk dars, membaca Al Qur’an dan keperluan-keperluan yang lain, sebelum mereka pulang bersama mahrom mereka. Dan rumah para Muslimat yang hadir di jamah Nabi shollallohu ‘alaihi waalihi wasallam itu dekat dengan masjid, sebagaimana itu telah dikenal di kalangan Ahlussunnah yang berpegang kokoh dengan petunjuk Nabi shollallohu ‘alaihi waalihi wasallam dan sunnah Salaf.

Saat keluar dari rumah, wanita tidak boleh memakai minyak wangi, ataupun melakukan perkara yang mengundang fitnah, seperti memamerkan perhiasan, berbuat ikhtilath dan sebagainya.

Dari Abu Musa Al Asy’ariy rodhiyallohu ‘anh yang berkata: Rosululloh shollallohu ‘alaihi waalihi wasallam bersabda:

أيما امرأة استعطرت، فمرت بقوم ليجدوا ريحها فهي زانية

“Wanita manapun memakai pengharum, lalu dia melewati sekelompok lelaki agar mereka mendapati aroma harumnya, maka wanita tadi adalah pezina.” (HR. Al Imam Ahmad (19711) dan An Nasaiy (5126)/shohih).

Maka dengan hadits ini dan semisalnya, tahulah kita bahwasanya keumuman hadits yang membolehkan wanita keluar rumah tadi dikhususkan dengan syarat dirinya tidak melakukan perkara-perkara yang bisa menyebabkan timbulnya fitnah, seperti: memakai pengharum, menampakkan perhiasan, ikhtilath, dan semisal itu.

Ibnu Daqiq Al ‘Id rohimahulloh berkata tentang pengkhususan bolehnya wanita keluar rumah, dengan tanpa memakai pengharum: “Maka digabungkan dengan pengharum adalah apa saja yang masuk dalam makna tadi, karena sesungguhnya pengharum itu dilarang mereka pakai (saat di luar rumah) dikarenakan di dalamnya ada penggerak syahwat lelaki. Dan terkadang di dalam pengharum itu ada penggerak syahwat wanita juga. Maka perkara yang menyebabkan terjadinya hal tadi harus digabungkan dalam larangan tadi juga.

Dan telah shohih bahwasanya Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam bersabda:

«أيما امرأة أصابت بخورا فلا تشهد معنا العشاء الآخرة»

“Wanita manapun yang terkena bukhur (dupa wangi), dia tidak boleh menghadiri sholat Isya terakhir bersama kami.”

Dan digabungkan dengan itu juga: pakaian yang bagus, memakai perhiasan yang nampak bekasnya di bajunya. Dan sebagian dari ulama membawa ucapan ‘Aisyah rodhiyallohu ‘anha:

لو أن رسول الله – صلى الله عليه وسلم – رأى ما أحدث النساء بعده: لمنعهن المساجد، كما منعت نساء بني إسرائيل

“Andaikata Rosululloh shollallohu ‘alaihi waalihi wasallam melihat perkara baru yang dibikin oleh para wanita sepeninggal beliau, niscaya beliau akan melarang mereka mendatangi masjid-masjid, sebagaimana para wanita Bani Isroil dilarang.”

Para ulama membawa fatwa tadi pada masalah ini: yaitu para wanita membikin perkara baru berupa bagusnya pakaian, wewangian dan perhiasan.”

-sampai pada ucapan beliau:-

“Dan termasuk yang disebutkan oleh para ulama juga dalam pengkhususan hadits Ibnu Umar ini: para wanita tidak boleh berdesak-desakan dengan para pria.”

(selesai dari “Ihkamul Ahkam Syarh ‘Umdatil Ahkam”/1/hal. 197).

Dari Abu Huroiroh rodhiyallohu ‘anh yang berkata: Rosululloh shollallohu ‘alaihi waalihi wasallam bersabda:

«خير صفوف الرجال أولها، وشرها آخرها، وخير صفوف النساء آخرها، وشرها أولها»

“Sebaik-baik shof para lelaki adalah yang terdepan. Dan yang paling buruk adalah yang paling akhirnya. Dan sebaik-baik shof para wanita adalah yang paling akhirnya. Dan yang paling buruknya adalah yang terdepan.” (HR. Muslim (440)).

Al Imam An Nawawiy rohimahulloh berkata: “Adapun shof para lelaki adalah sesuai dengan keumuman hadits ini, bahwasanya yang terbaiknya adalah yang paling depannya, selamanya. Dan yang paling buruk adalah yang paling akhirnya, selamanya. Adapun shof para wanita, yang diinginkan dengan hadits ini adalah shof wanita yang mereka itu sholat bersama para lelaki. Adapun jika para wanita tadi sholat sendirian, tidak bersama para lelaki, maka mereka itu seperti para pria, shof mereka yang terbaik adalah terdepan. Dan yang paling buruk adalah yang paling akhirnya.

Dan yang dimaksudkan dengan sejelek-jelek shof untuk pria dan wanita adalah: paling sedikit pahalanya, keutamaannya, dan paling jauhnya dari tuntutan syari’at. Dan yang terbaiknya adalah yang sebaliknya. Dan hanyalah shof terakhir wanita yang hadir bersama para pria itu diutamakan karena mereka itu jauh dari percampuran dengan para pria, jauh dari melihat mereka, dan jauh dari tertambatnya hati dengan mereka ketika melihat gerakan-gerakan mereka, mendengarkan ucapan mereka dan sebagainya. Dan shof awal wanita dicela karena kebalikan dari yang tadi. Wallohu a’lam.”

(“Syarh Shohih Muslim”/4/hal. 159-160).

Al ‘Allamah As Sindiy rohimahulloh berkata: “Sabda Nabi: “Sebaik-baik shof para wanita” yaitu yang terbanyak pahalanya. “dan yang terjelek” yaitu yang paling sedikit pahalanya… -sampai pada ucapan beliau:- dan yang demikian itu dikarenakan bahwasanya kedekatan para pria dengan para wanita itu dikhawatirkan akan mempengaruhi benak masing-masing dari kedua belah pihak. Kemudian perincian yang tersebut di dalam hadits tadi adalah mutlak untuk pria. Dan juga untuk shof para wanita ketika terjadi percampuran dengan pria. Demikianlah dikatakan oleh sebagian ulama. Dan mungkin juga kita membawa perincian tadi secara mutlak, karena wanita itu memang diperintahkan untuk menyembunyikan diri.” (“Hasyiyatus Sindiy ‘Ala Sunan Ibni Majah”/1/hal. 314).

Dan dari Anas bin Malik rodhiyallohu ‘anh:

أن جدته مليكة دعت رسول الله صلى الله عليه وسلم لطعام صنعته له، فأكل منه، ثم قال: «قوموا فلأصل لكم» قال أنس: فقمت إلى حصير لنا، قد اسود من طول ما لبس، فنضحته بماء، فقام رسول الله صلى الله عليه وسلم، وصففت
واليتيم وراءه، والعجوز من ورائنا، فصلى لنا رسول الله صلى الله عليه وسلم ركعتين، ثم انصرف.

“Bahwasanya neneknya mengundang Rosululloh shollallohu ‘alaihi waalihi wasallam untuk menyantap makanan yang dibikinnya untuk beliau. Maka Nabi menyantap sebagian dari makanan tadi, lalu beliau bersabda: “Bangkitlah kalian semua untuk aku bersholat untuk kalian.” Maka aku (Anas) bangkit menuju tikar kami. Tikar itu telah menghitam karena lama dipakai. Lalu aku memercikinya dengan air. Lalu Rosululloh shollallohu ‘alaihi waalihi wasallam berdiri. Dan aku berbaris bersama anak yatim di belakang beliau, sementara nenek tua di sebelah belakang kami. Lalu Rosululloh shollallohu ‘alaihi waalihi wasallam sholat dua rekaat mengimami kami. Kemudian beliau pulang.” (HR. Al Bukhoriy (380) dan Muslim (658)).

Al ‘Allamah Ibnu Baththol rohimahulloh berkata: “Demikianlah sunnah dalam sholat wanita, yaitu mereka berdiri di belakang para pria. Dan yang demikian itu –dan Alloh Yang paling tahu- karena dikhawatirkannya munculnya fitnah dengan sebab mereka, tersibukkannya jiwa-jiwa dengan fithroh kecondongan pada urusan wanita, tidak bisa khusyu’ dan khonsentrasi dalam sholat dan tak bisa memurnikan pikiran untuk Alloh di dalam sholat dengan sebab itu, karena wanita itu dihiasi di dalam hati manusia, dan paling depan dalam seluruh syahwat. Dan hadits ini termasuk dasar dalam memutuskan penyebab fitnah.” (“Syarh Shohih Al Bukhoriy”/Ibnu Baththol/2/hal. 473).

Dalil-dalil dan ucapan ulama ini semua merupakan penjelasan yang terang akan pentingnya menjauhkan pria dan percampuran dengan wanita karena amat besarnya hubungan fitnah antar dua jenis.

Al Imam Ibnu Baz rohimahulloh berkata:

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وبعد :

Aku telah melihat apa yang ditulis oleh sebagian penulis di Koran Al Jaziroh nomor (3757) tanggal (15/4/1403 H) yang mengemukakan ide yang di dalamnya ada pencampuran lelaki dan perempuan dalam pendidikan tingkat dasar. Dan manakala idenya tadi mendatangkan akibat-akibat yang amat berbahaya, aku berpandangan untuk memberikan peringatan. Maka aku katakan:

Sesungguhnya ikhtilath merupakan sarana keburukan yang banyak dan kerusakan yang besar, tidak boleh hal itu dilakukan. Nabi shollallohu ‘alaihi waalihi wasallam bersabda:

«مروا أبناءكم بالصلاة لسبع واضربوهم عليها لعشر وفرقوا بينهم في المضاجع»،

“Perintahkanlah anak-anak kalian untuk sholat ketika mereka berusia tujuh tahun, dan pukullah mereka dalam rangka itu ketika mereka berusia sepuluh tahun dan pisahkanlah di antara mereka pada tempat-tempat tidur mereka.” [Itu adalah riwayat Al Imam Ahmad (6689) dan Abu Dawud (495) dari Ibnu Abbas رضي الله عنهما dengan sanad hasan].

Hanyalah beliau shollallohu ‘alaihi waalihi wasallam memerintahkan dipisahkannya di antara mereka pada tempat-tempat tidur mereka dikarenakan kedekatan salah seorang dari mereka dengan yang lainnya pada usia sepuluh tahun dan setelahnya itu adalah sarana terjadinya kekejian disebabkan oleh percampuran Antara anak lelaki dan anak perempuan. Dan tiada keraguan bahwasanya pengumpulan mereka di tingkat pendidikan dasar setiap hari adalah sarana pada kekejian tadi sebagaimana dia adalah sarana percampuran di tingkatan-tingkatan setelah itu.

Dalam segala kondisi, maka percampuran antara anak lelaki dan perempuan di tingkat-tingkat dasar adalah kemungkaran, tidak boleh dilakukan, karena hal itu bisa berakibat berbagai macam keburukan. Dan syariat yang sempurna telah datang dengan membawa kewajiban menutup sarana-sarana yang menjerumuskan kepada kesyirikan dan kemaksiatan. Dan dalil-dalil yang banyak dari ayat dan hadits telah menunjukkan hal itu. Andaikata bukan karena menyebabkan panjangnya tulisan ini, niscaya aku sebutkan dalil-dalil yang banyak darinya.

Al ‘Allamah Ibnul Qoyyim rohimahulloh telah menyebutkan itu di dalam kitab beliau “I’lamul Muwaqqi’in”, di antaranya mencapai sembilan puluh sembilan dalil (akan wajibnya menutup sarana keburukan).

Dan nasihatku pada sang penulis dan yang lainnya untuk tidak mengeluarkan ide yang membuka pintu-pintu keburukan terhadap umat Islam yang telah ditutup. Kami mohon pada Alloh petunjuk dan taufiq untuk kita semua.”

Dan cukup bagi orang yang berakal kejadian-kejadian kerusakan besar yang berlangsung di negri-negri yang membolehkan percampur-bauran, disebabkan oleh percampuran tadi.

Adapun yang terkait dengan keperluan untuk sang pelamar mengetahui wanita yang dilamar, maka Nabi shollallohu ‘alaihi waalihi wasallam telah mendatangkan dalam masalah itu syariat yang memuaskan, dengan sabda Nabi shollallohu ‘alaihi waalihi wasallam:

إذا خطب أحدكم امرأة فإن استطاع أن ينظر منها إلى ما يدعوه إلى نكاحها فليفعل

“Jika salah seorang dari kalian melamar seorang wanita, maka jika dia bisa melihat dari wanita tadi perkara yang mendorongnya untuk menikahinya maka hendaknya dia mengerjakannya.”

Maka Nabi mensyariatkan untuknya melihat wanita tadi tanpa bersepi-sepi dengannya, sebelum akad nikad, jika mudah baginya untuk melihat wanita tadi. Jika hal itu tidak mudah, dia bisa mengutus wanita yang dia percaya untuk melihat kepada wanita yang hendak dilamar tadi, lalu utusan tadi mengabarinya akan badannya dan akhlaqnya.

Kaum muslimin telah berjalan di atas langkah ini pada masa-masa yang telah lewat. Dan hal itu tidak membahayakan mereka, bahkan dengan proses melihat wanita yang dilamar atau diceritakan padanya sifat-sifat wanita yang dilamar itu tadi mereka mendapatkan kecukupan dari apa yang diperlukan.

Kalaupun terjadi perkara yang sebaliknya, maka itu jarang sekali, dan hukum itu tidak dibangun di atasnya. Dan hanya pada Alloh kita mohon pada Alloh agar memberikan taufiq pada seluruh muslimin untuk mendapatkan perkara yang membawa kemaslahatan dan kebahagiaan untuk mereka di dunia dan akhirat, dan agar Alloh menjaga agam mereka untuk mereka, dan menutup pintu-pintu keburukan untuk mereka, serta memelihara mereka dari tipu daya para musuh. Sesungguhnya Alloh Maha Dermawan.

وصلى الله وسلم على نبينا محمد وآله وصحبه .

(selesai dari “Majmu’ Fatawa Wa Maqolat Ibni Baz”/5/hal. 229-231).

Maka kesimpulannya adalah: bahwasanya wanita tua tadi bukanlah mahrom bagi saudara kita tersebut. Maka tidak boleh baginya untuk bercampur baur dengannya ataupun menyepi berduaan dengannya.

Akan tetapi ibu tua yang tersebut di dalam soal tadi sendirian dan tidak punya orang yang merawatnya. Dalam keadaan beliau itu memerlukan bantuan, dan bisa jadikeperluannya akan perawatan, pertolongan dan bantuan itu amat besar dan mendesak. Dan bisa jadi mencapai batas darurat sehingga faktor ini wajib dipertimbangkan.

Al Imam Ibnu Qudamah rohimahulloh berkata dalam masalah mendatangkan manfaat dan menolak bahaya: “… jenis yang ketiga: yang terjadi pada tingkatan darurat (keperluan yang amat mendesak dan berbahaya jika tidak dipenuhi), dan dia itu yang Sang Pembuat syariat diketahui amat memperhatikannya, dan dia itu ada lima macam, Dia menjaga untuk mereka:

Agama mereka

Jiwa mereka

Akal mereka

Nasab mereka

Dan harta mereka.

Syariat menetapkan dibunuhnya orang kafir yang menyesatkan, dan hukuman mubtad’ yang mengajak pada bid’ah-bid’ah, demi menjaga agama umat.

Dan syariat menetapkan qishosh, karena dengan itu terjagalah jiwa-jiwa.

Dan syariat mewajibkan hukuman minum khomr, karena dengan itu terjagalah akal-akal.

Dan syariat mewajibkan hukuman zina, karena dengan itu terjagalah keturunan dan nasab.

Dan syariat mewajibkan hukuman pencuri dalam rangka menjaga harta-harta.

Penyia-nyiaan lima dasar ini dan berhenti dari menjaga lima perkara dasar ini adalah mustahil (mustahil syariat tidak memperhatikan itu).

(selesai dari “Roudhotun Nazhir”/hal. 539/cet. Darul ‘Ashimah).

Maka bukanlah suatu kemaslahatan yang dominan jika kita membiarkan ibu tua tadi telantar tanpa ada yang menggurusinya. Dan agama ini dibangun di atas prinsip mendatangkan kemaslahatan dan menolak bahaya.

Syaikhul Islam rohimahulloh berkata: “Rosul shollallohu ‘alaihi waalihi wasallam diutus untuk menghasilkan kemaslahatan dan penyempurnaannya, dan menghilangkan kerusakan dan meminimalkannya.” (“Majmu’ul Fatawa”/1/hal. 138).

Al Imam Ibnul Qoyyim rohimahulloh: “Dan hendaknya orang berakal itu tahu bahwasanya akal dan syariat itu mewajibkan dihasilkannya kemaslahatan dan penyempurnaannya, dan dihilangkannya mafsadah (kerusakan) dan meminimalkannya. Maka apabila ada suatu perkara menghadap orang berakal, dia melihat di dalamnya ada maslahat dan mafsadah, maka dia wajib memperhatikan dua perkara: perkara ilmiyyah dan perkara amaliyyah.

Perkara ilmiyyah adalah: mengetahui mana yang paling kuat dari dua ujung maslahat dan mafsadah. Jika jelas baginya mana yang terkuat, dia wajib mengutamakan perkara yang paling bermaslahah untuknya.” (“Al Jawabul Kafi”/hal. 212).

Dan termasuk maslahat yang terkuat adalah: menjaga wanita yang telantar dan menyelamatkan wanita yang dalam kondisi darurat.

Dari ‘Aisyah rodhiyallohu ‘anha dalam kisah tuduhan dusta:

… وكانت النساء إذ ذاك خفافا، لم يهبلن ولم يغشهن اللحم، إنما يأكلن العلقة من الطعام، فلم يستنكر القوم ثقل الهودج حين رحلوه ورفعوه، وكنت جارية حديثة السن، فبعثوا الجمل وساروا، ووجدت عقدي بعدما استمر الجيش، فجئت منازلهم وليس بها داع ولا مجيب، فتيممت منزلي الذي كنت فيه، وظننت أن القوم سيفقدوني فيرجعون إلي، فبينا أنا جالسة في منزلي غلبتني عيني فنمت، وكان صفوان بن المعطل السلمي ثم الذكواني قد عرس من وراء الجيش فادّلج، فأصبح عند منزلي فرأى سواد إنسان نائم، فأتاني فعرفني حين رآني، وقد كان يراني قبل أن يضرب الحجاب علي، فاستيقظت باسترجاعه حين عرفني، فخمرت وجهي بجلبابي، ووالله ما يكلمني كلمة ولا سمعت منه كلمة غير استرجاعه، حتى أناخ راحلته، فوطئ على يدها فركبتها، فانطلق يقود بي الراحلة، حتى أتينا الجيش. الحديث.

“… dan dulu para wanita saat itu kurus-kurus, tidak gemuk dan tidak pula banyak daging. Mereka hanyalah makan sekedarnya saja. Maka para pemikul tandu tidak merasa heran akan bobot tanduku ketika mereka membawanya dan mengangkatnya. Dan saat itu aku adalah wanita muda usia. Lalu mereka membangkitkan onta dan melanjutkan perjalanan. Lalu aku mendapati kalungku setelah pasukan melanjutkan perjalanan. Lalu aku mendatangi tempat persinggahan mereka dan ternyata tidak ada di situ penyeru ataupun penjawab seorangpun. Maka aku menuju tempat singgahku yang tadi aku ada di situ, dan aku mengira pasukan tadi akan merasa kehilangan diriku sehingga mereka akan kembali ke tempatku. Ketika aku duduk di tempat singgahku, aku diliputi rasa kantuk, sehingga aku tidur. Dan Shofwan ibnul Mu’aththol As Sulamiy Adz Dzakwaniy telah tidur di di belakang pasukan, lalu beliau berjalan di akhir malam. Lalu beliau masuk waktu pagi di tempat persinggahanku, maka beliau melihat sosok manusia yang tengah tidur. Lalu beliau mendatangiku, maka beliau mengenaliku ketika beliau melihatku. Memang beliau telah pernah melihatku sebelum dipasangnya hijab kepadaku Lalu aku terbangun dengan suara istirja’ (ucapan INNA LILLAHI WAINNA ILAIHI ROJI’UN) beliau ketika beliau mengenali diriku, lalu aku menutup wajahku dengan jilbabku. Dan demi Alloh beliau tidak mengajakku berbicara, dan tidak pula aku mendengar dari beliau satu katapun selain istirja’ beliau tadi. Lalu beliau merundukkan tunggangan beliau, lalu beliau menginjak kaki depan tunggangan beliau sehingga aku bisa menunggangi kendaraan beliau. Kemudian beliau beranjak menuntun kendaraan yang aku ada di atasnya, sampai kami mendatangi pasukan.” Al hadits. (HR. Al Bukhoriy (4141) dan Muslim (2770)).

Lihatlah fiqih Shohabat, Shofwan ibnul Mu’aththoh rodhiyallohu ‘anhu, ini: bahwasanya beliau mengetahui bahwasanya bersepi-sepi dengan wanita yang bukan mahrom adalah harom, akan tetapi kondisi darurat menuntut upaya untuk menyelamatkan wanita yang tertinggal di jalan ini. Maka beliau harus menjaganya dan menyampaikannya pada keluarganya, sekalipun dalam upaya tadi harus mengalami sedikit ikhtilath, karena terpaksa, bukan karena pilihan sendiri.

Al ‘Allamah Abdurrohman bin Muhammad Zadah rohimahulloh berkata: “Karena sesungguhnya kondisi darurat itu menyebabkan bolehnya perkara yang terlarang.” (“Majma’ul Anhur Fi Syarhi Multaqol Abhur”/1/hal. 248).

Sekalipun demikian, Shofwan rodhiyallohu ‘anhu tidak memperbanyak ucapan dengan ‘Aisyah rodhiyallohu ‘anha. Inimenunjukkan bahwasanya kondisi darurat itu dinilai sesuai dengan kadarnya.

Al ‘Allamah Abdul ‘Aziz bin Abdis Salam rohimahulloh berkata: “… Karena sesungguhnya perkara yang telah pasti karena adanya suasana darurat itu harus dinilai seduai dengan kadarnya.” (“Qowa’idil Ahkam Fi Masholihil Anam”/1/hal. 107).

Dan Al ‘Allamah An Nawawiy rohimahulloh berkata dalam faidah hadits ‘Aisyah rodhiyallohu ‘anha tadi:

Faidah kelima belas: disyariatkannya menolong orang yang tengah kesulitan, membantu orang yang tertinggal di jalan, menyelamatkan orang yang hilang, dan memuliakan orang-orang yang bermartabat tinggi, sebagaimana seluruhnya dilakukan oleh Shofwan rodhiyallohu ‘anhu dalam kejadian tadi.

Faidah keenam belas: disyariatkan bagusnya adab bersama wanita yang bukan mahrom, terutama dalam suasana sepi dengan mereka karena kondisi darurat, di hutan ataupun yang lainnya, sebagaimana yang dilakukan oleh Shofwan rodhiyallohu ‘anhu, yang mana beliau merundukkan onta beliau tanpa berbicara dan tanpa bertanya. Dan seharusnya orang yang dalam situasi tadi berjalan di bagian depan wanita tadi, bukan di sampingnya dan bukan pula di belakangnya.

Faidah ketujuh belas: disunnahkan mengutamakan orang lain dalam masalah tunggangan dan semisalnya, sebagaimana yang dilakukan oleh Shofwan rodhiyallohu ‘anhu.

Faidah kedelapan belas: disunnahkan istirja’ ketika ada musibah-musibah, sama saja musabah tadi pada urusan agama ataukah dunia, dan sama saja musibah tadi menimpa dirinya ataukah orang yang dimuliakannya.

Faidah kesembilan belas:disyariatkannya wanita menutup wajahnya ketika ada pandangan pria yang bukan mahromnya, sama saja dia itu pria sholih ataukah yang lainnya.”

(Selesai penukilan dari “Syarh Shohih Muslim”/17/hal. 116-117).

Dan tidak pantas memperbanyak bicara dengan wanita yang bukan mahrom –sekalipun suaranya yang tidak diperindah itu bukanlah aurot-, kecuali jika memang diperlukan untuk berbicara.

Al Imam Al Hafizh Abdurrohim bin Husain Al ‘Iroqiy rohimahulloh berkata tentang faidah hadits tersebut: “Faidah kedua puluh: ucapan ‘Aisyah: “Dan demi Alloh beliau tidak mengajakku berbicara satu katapun” ‘Aisyah menyebutkannya dengan fi’il mudhori’ sebagai isyarat terus berlanjutnya diamnya Shofwan rodhiyallohu ‘anh, dan beliau senantiasa diam. Itu beliau sebutkan karena bisa jadi jika ‘Aisyah memakai fi’il madhi ada yang memahami bahwasanya tidak bicaranya Shofwan tadi hanyalah terjadi saat itu. Berbeda jika memakai fi’il mudhori’. Dan ucapan beliau “Dan tidak pula aku mendengar dari beliau satu katapun” itu bukanlah pengulangan berita, karena bisa jadi Shofwan tidak mengajak beliau berbicara tapi hanya berbicara dengan diri sendiri, atau mengeraskan bacaan atau dzikir untuk memperdengarkan itu pada ‘Aisyah. Maka itu tadi semua tidak terjadi, bahkan Shofwan senantiasa diam dalam kondisi tadi sebagai bentuk adab, penjagaan, dan karena kondisi yang dialaminya tadi membikin dirinya khawatir.” (“Thorhut Tatsrib Fi Syarhit Taqrib”/8/hal. 53).

Dan termasuk dalil yang menggabungkan antara pertolongan untuk wanita yang dalam kondiri darurat dengan meminimalkan kerusakan khulwah adalah: bahwasanya Shofwan rodhiyallohu ‘anh merundukkan kendaraan beliau dan menginjak kaki depannya untuk memudahkan ‘Aisyah rodhiyallohu ‘anha menaiki kendaraan tadi tanpa Shofwan membantunya.

Al Hafizh Ibnu Hajar rohimahulloh berkata: “Maka dia menginjak kaki depan tunggangannya.” Yaitu: agar lebih mudah bagi ‘Aisyah menaiki tunggangan tadi dan Shofwan tidak perlu menyentuh ‘Aisyah ketika proses naik tadi.” (“Fathul Bari”/8/hal. 463).

Dalil yang kedua tentang masalah ini:

Hadits Anas bin Malik rodhiyallohu ‘anhu:

أنه أقبل هو وأبو طلحة مع النبي صلى الله عليه وسلم، ومع النبي صلى الله عليه وسلم صفية مردفها على راحلته، فلما كانوا ببعض
الطريق عثرت الناقة، فصرع النبي صلى الله عليه وسلم والمرأة، وإن أبا طلحة – قال: أحسب قال: – اقتحم عن بعيره، فأتى رسول الله صل الله عليه وسلم، فقال: يا نبي الله جعلني
الله فداءك هل أصابك من شيء؟ قال: «لا، ولكن عليك بالمرأة» ، فألقى أبو طلحة ثوبه على وجهه، فقصد قصدها، فألقى ثوبه عليها، فقام المرأة، فشد لهما على راحلتهما فركبا، فساروا. الحديث.

“Bahwasanya dirinya dan Abu Tholhah berangkat pulang ke Madinah bersama Nabi shollallohu ‘alaihi waalihi wasallam. Dan Nabi shollallohu ‘alaihi waalihi wasallam disertai Shofiyyah yang beliau boncengkan di atas kendaraan beliau. Manakala ada di sebagian jalan, onta beliau tergelincir, maka Nabi shollallohu ‘alaihi waalihi wasallam dan istri beliau terjatuh. Dan Abu Tholhah langsung turun dari onta beliau lalu mendatangi Rosululloh shollallohu ‘alaihi waalihi wasallam seraya berkata: “Wahai Nabiyalloh, semoga Alloh menjadikan saya sebagai tebusan Anda. Apakah Anda tertimpa sesuatu?” Beliau menjawab: “Tidak, tapi engkau harus menolong istriku.” Maka Abu Tholhah menutupkan bajunya ke wajahnya, lalu dia mendatangi wanita tadi, lalu Abu Tholhah menaruh bajunya ke tubuh wanita tadi, lalu wanita tadi berdiri, lalu Abu Tholhah mengokohkan keduanya di atas tunggangan keduanya, lalu keduanya menungganginya. Kemudian mereka semua berjalan lagi.” Al hadits. (HR. Al Bukhoriy (3086)).

Maka di dalam hadits ini: gabungan antara menolong wanita dari bahaya, dengan tetap menutup pintu fitnah dari wanita tadi.

Tiada keraguan bahwasanya hal itu tadi boleh karena darurat, karena sikap membiarkan wanita dalam kasus semacam tadi bisa jadi menyebabkan kebinasaan atau dengan dengan kebinasaan atau bahaya.

Al ‘Allamah Az Zarkasiy rohimahulloh berkata: “Maka darurat adalah sampainya seseorang pada suatu batasan yang jika dia tidak melakukan perkara yang terlarang dia akan binasa atau mendekati kebinasaan, seperti orang yang terpaksa makan atau memakai pakaian yang harom yang andaikata dia membiarkan dirinya kelaparan atau telanjang justru bisa mati, atau ada satu anggota tubuh yang binasa. Dan kondisi semacam tadi menyebabkan bolehnya melakukan perkara yang diharomkan.” (“Al Mantsur Fil Qowa’idil Fiqhiyyah”/2/hal. 319).

Dan perkara darurat itu dinilai sesuai dengan kadarnya, berbeda dengan sikap para hizbiyyin mumayyi’in.

Al Imam Ibnul Humam rohimahulloh berkata: “Dan perkara yang telah pasti adanya dengan sebab darurat, dia itu harus diukur sesuai dengan kadar perkara darurat tadi.” (“Fathul Qodir”/karya Al Kamal Ibnul Humam/8/hal. 35).

Maka saudara kita si penanya itu harus tinggal di rumah yang dekat dengan rumah ibu tua ini, agar istrinya bisa berbakti pada ibu asuhnya tadi dan sering memeriksa kondisinya, dan agar ibu tua tadi merasa tentram dengan kehadiran putri asuhnya tadi.

Tapi jika saudara kita tadi tidak mendapatkan rumah yang dekat dengan rumah ibu tua tadi, maka hendaknya sang ibu tadi menyiapkan satu kamar terpisah di dalam rumahnya, untuk sang putri asuh dan suaminya, ini demi menggabungkan dua maslahat: menjauhi fitnah sebisa mungkin, sambil menjaga sang ibu tua tadi dari jarak yang dekat.

Alloh ta’ala berfirman:

﴿وَمَنْ يَتَّقِ الله يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا * وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى الله فَهُوَ حَسْبُهُ إن الله بالغ أمره قد جعل الله لكل شيء قدراً﴾ [الطلاق: 2، 3].

“Barangsiapa bertakwa kepada Alloh niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Alloh niscaya Alloh akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Alloh akan menyampaikan urusan-Nya. Sungguh Alloh telah menjadikan untuk segala sesuatu itu kadarnya.”

Dan Alloh ta’ala Yang Mahatahu akan jawaban yang benar.

Dan saya telah menanyakan perkara tadi pada Fadhilatu Syaikhina Abu Abdirrohman Abdurroqib Al Kaukabaniy hafizhohulloh, maka beliau menulis jawaban sebagai berikut: “Apakah ibu tua tadi bisa menyediakan satu kamar khusus untuk suami dan istri tadi? Yang mana sang suami bisa setiap hari masuk menemui istrinya tanpa mengalami kesempitan? Jika bisa demikian, maka boleh dia tinggal di rumah ibu tua tadi.” Selesai.

والحمد لله رب العالمين.

Shon’a 22 Jumadal Ula 1436 H

Tidak ada komentar:

Posting Komentar