FIQIH JENAZAH (3) Mengafani Jenazah

FIQIH JENAZAH (3) Mengafani Jenazah



بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن واله وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له وأشهد أن محمدا عبده ورسوله، أما بعد

Alhamdulillah, pada bagian ketiga dari fiqih jenazah ini akan dibahas tentang hukum-hukum mengafani jenazah. Nah, setelah selesai memandikan jenazah, maka wajib untuk mengafaninya berdasarkan kesepakatan ulama (ijma'). 

(Al Majmu': 5/146, An Nawawi; Al Mughni: 2/335, Ibnu Qudamah; Syarhus Sunnah: 5/320; Al Baghowi sebagaimana dalam Jami'ul Adillah, hal. 208)

Dalil yang menunjukkan akan hal ini diantaranya adalah perintah Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam dalam hadits kisah seorang muhrim yang terjatuh dari ontanya:


بينما رجل واقف بعرفة، إذ وقع عن راحلته فوقصته، أو قال: فأقعصته، فقال النبي صلى الله عليه وسلم: اغسلوه بماء وسدر، وكفنوه.. الحديث

"Ketika seseorang tengah melakukan wukuf di Arofah, tiba-tiba dia terjatuh dari hewan tunggangannya dan patah lehernya sehingga meninggal. Maka Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam berkata: "Mandikanlah ia dengan air campur sidr (bidara), lalu kafanilah…!" 

(HR. Bukhori dan Muslim dari Ibnu Abbas rodhiyallohu 'anhuma)

Keutamaan mengafani jenazah

Mengafani jenazah merupakan suatu amalan yang besar keutamaannya bagi yang melakukannya dengan ikhlash dan mengharap wajah Alloh ta'ala. Keutamaan tersebut adalah apa yang disebutkan oleh Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam dalam sabda beliau:

ومن كفنه كساه الله يوم القيامة من سندس واستبرق الجنة

"Siapa yang mengafani jenazah, maka Alloh akan memberinya pakaian pada hari kiamat dengan pakaian dari sutra, baik yang tipis maupun tebal berasal dari jannah (surga)." 

(HR. Al Hakim, Baihaqi dari Abu Rofi' rodhiyallohu 'anhu, dishohihkan oleh Al Albani dalam Ahkamul Jana'iz, hal. 51)

Pengadaan kain kafan

Pengadaan kain kafan atau biayanya diambilkan dari harta pribadi si mayit, meskipun ia belum berpesan kepada siapapun sebelum kematiannya dan ini lebih dikedepankan daripada ahli waris menurut kesepakatan ahli ilmu. Jika si mayit tidak meninggalkan harta sama sekali, maka ditanggung oleh walinya yang mengurusi nafkahnya. Jika tidak ada, maka ditanggung oleh baitul mal (pemerintah) jika memungkinkan. Jika tidak bisa, maka ditanggung oleh seluruh kerabatnya dan kaum muslimin di daerah tersebut. 

(Al I'lam: 4/420; Ibnul Mulaqqin; Syarhus Sunnah: 5/320, Al Baghowi sebagaimana dalam Jami'ul Adillah, hal. 210; Syarh Shohih Muslim, no. 941, An Nawawi sebagaimana dalam Miskul Khitam: 2/193)

Hal ini berdasarkan hadits Khobbab bin Al-Arots rodhiyallohu 'anhu, beliau berkata:

هاجرنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم في سبيل الله، نبتغي وجه الله، فوجب أجرنا على الله، فمنا من مضى لم يأكل من أجره شيئا، منهم مصعب بن عمير، قتل يوم أحد، فلم يوجد له شئ، -وفي رواية: ولم يترك- إلا نمرة، فكنا إذا وضعناها على رأسه خرجت رجلاه، وإذا وضعناها على رجليه خرج رأسه، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ضعوها مما يلي رأسه -وفي رواية: غطوا بها رأسه-، واجعلوا على رجليه الاذخر، ومنا من أينعت له ثمرته فهو يهدبها، أي: يجتنيها

"Kami berhijrah bersama Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam di jalan Alloh dengan mengharap wajah Alloh. Maka telah tetap ganjaran kami di sisi Alloh (baik duniawi berupa harta rampasan perang maupun ukhrowi). Sebagian dari kami ada yang telah meninggal tanpa menikmati ganjarannya di dunia sama sekali. Di antara mereka adalah Mush'ab bin Umair yang terbunuh pada perang Uhud. Tidak meninggalkan apapun, kecuali selembar kain baju. Jika kami tutupkan pada kepalanya, terbukalah kedua kakinya. Jika kami tutupkan pada kedua kakinya, maka terbukalah kepalanya. Maka Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam memerintahkan: "Tutupilah kepalanya dengan kain dan tutupilah kakinya dengan tumbuhan idzkhir." Di antara kami ada yang telah menikmati buahnya (berupa kenikmatan duniawi berupa kemenangan dan ghonimah), sedangkan dia tidak mendapatkannya (akan tetapi mendapatkan ganjaran yang penuh di akhirat)." 

(HR. Bukhori, Muslim dan selain mereka)

Sabda Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam:

من ترك دينا أو ضياعا فعلي وإلي

"Siapa yang meninggalkan hutang atau anak-anak, maka itu adalah tanggunganku (beliau sebagai pemimpin kaum muslimin)." 

(HR. Muslim dari Jabir rodhiyallohu 'anhu)

Alloh ta'ala berfirman:

وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ

"Kaum mukminin dan mukminat terhadap Alloh dan Rosul-Nya itu sebagian mereka sebagai penolong sebagian lainnya." (Tafsir Muyassar QS. At Taubah: 71)

Masalah: Diperbolehkan bagi seseorang sebelum meninggal untuk mempersiapkan kain kafannya untuk digunakan ketika ia meninggal dunia nanti. Hal ini ditunjukkan oleh hadits Sahl rodhiyallohu 'anhu:

"Bahwasanya salah seorang sahabat Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam melihat sarung bagus yang sedang beliau kenakan. Lalu ia mengatakan: "Alangkah bagusnya sarung ini! Berikanlah kepadaku." Para sahabat lainnya berkata kepadanya: "Bagaimana kau ini, Nabi sedang perlu untuk memakainya, lalu kau memintanya?! Padahal engkau tahu bahwa beliau tidak menolak orang yang meminta." Ia berkata: "Demi Alloh, sungguh tidaklah aku memintanya untuk kupakai, akan tetapi untuk kujadikan sebagai kain kafanku nanti." Sahl berkata: "Jadilah sarung itu sebagai kain kafannya." 

(HR. Bukhori, no. 1277)

Sifat kain kafan

Hendaknya disediakan kain kafan yang lebar untuk menutupi seluruh badannya. Hal ini sebagaimana ditunjukkan oleh hadits Jabir bin Abdillah rodhiyallohu 'anhu:

أن النبي صلى الله عليه وسلم خطب يوما فذ كر رجلا من أصحابه قبض فكفن غير طائل، وقبر ليلا، فزجر النبي صلى الله عليه وسلم أن يقبر الرجل بالليل حتى يصلى عليه إلا أن يضطر إنسان إلى ذلك، وقال النبي صلى الله عليه وسلم: إذا كفن أحدكم أخاه فليحسن كفنه إن استطاع

"Bahwasanya Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam suatu hari berkhutbah dan menyebutkan seseorang dari sahabat beliau yang telah meninggal, lalu dikafani dengan kain yang sempit dan dikuburkan pada malam hari. Maka Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam menegurnya untuk tidak menguburkannya malam-malam sampai disholatkan, kecuali jika dalam keadaan darurat. Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda: "Jika salah seorang dari kalian mengafani saudaranya, maka hendaknya membaguskan kafannya jika memungkinkan." 

(HR. Muslim, Ibnul Jarud, Abu Dawud, Ahmad dan selainnya)

Para ulama mengatakan bahwa yang dimaksud dengan membaguskan kain kafan adalah berkaitan dengan kebersihannya, ketebalan dan bisa menutupi seluruh badan dengan sempurna serta pertengahan dari segi kualitasnya. Bukanlah yang dimaksud di situ adalah berlebih-lebihan dalam harga dan kualitasnya. Sebagian ulama (An-Nawawi) mengatakan bahwa jenis kain kafan disyaratkan sesuai dengan apa yang biasa dikenakannya semasa hidupnya, tidak boleh lebih bagus dan tidak boleh lebih rendah kualitasnya. Akan tetapi syarat ini tidaklah benar, karena tidak ada dalil yang mendukungnya. (Ahkamul Janaiz, hal. 58-59)

Kain kafan terlalu sempit

Jika tidak diketemukan kain kafan yang bisa menutup seluruh badannya, maka ditutup bagian kepalanya dan seterusnya. Sedangkan bagian yang masih terbuka, seperti kaki, maka bisa ditutup dengan sesuatu yang lain seperti daun-daunan, tetumbuhan dan sebagainya. Hal ini sebagaimana dalam hadits Khobbab bin Arot pada kisah Mush'ab bin Umair tersebut di atas, juga hadits Harits bin Midhrob berikut ini:

دخلت على خباب وقد اكتوى في بطنه سبعا، فقال لولا أني سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: لا يتمنين أحدكم الموت لتمنيته، ولقد رأيتني مع رسول الله صلى الله عليه وسلم لا أملك درهما، وإن في جانب بيتي الان لاربعين ألف درهم! ثم أتى بكفنه، فبلما رآه بكى وقال: ولكن حمزة لم يوجد له كفن إلا بردة ملحاء، إذا جعلت على رأسه قلصت عن قدميه، وإذا جعلت على قدميه قلصت عن رأسه، وجعل على قدميه الاذخر.

"Aku menjenguk Khobbab ketika sakit yang telah dicos besi panas di bagian perutnya sebanyak tujuh tempat (pengobatan dengan besi panas). Lalu dia berkata: "Kalaulah aku tidak mendengar Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda: "Janganlah seseorang dari kalian berangan-angan untuk mati," niscaya aku ingin mati saja karena penyakitku ini." Sungguh aku telah bersama Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam dalam keadaan aku tidak punya harta. Sedangkan sekarang, sungguh di sisi rumahku terdapat empat puluh ribu dirham." Kemudian didatangkan kain kafannya yang bagus. Ketika melihatnya, maka ia menangis dan mengatakan: "Akan tetapi Hamzah tidak ditemukan untuknya kain kafan, kecuali kain burdah bergaris. Jika ditutupkan di kepalanya, maka kakinya tersingkap dan jika ditutupkan di kakinya, maka kepalanya tersingkap. Maka ditutupkanlah pada kepalanya, sedangkan kakinya ditutup dengan idzkhir (sejenis rerumputan yang harum baunya)." (HR. Ahmad, dishohihkan oleh Syaikh Al-Albani rohimahulloh dalam Ahkamul Janaiz, hal. 59)

Jika kain kafan yang ditemukan lebih kecil dari itu, maka diutamakan untuk menutupi aurotnya, sedangkan bagian badan lainnya bisa ditutup dengan idzkhir. Jika tidak ada kain sama sekali, maka seluruh badan ditutup dengan idzkhir dan semacamnya dan ini lebih dikedepankan daripada menggunakan baju wanita, karena terdapat larangan seorang laki-laki memakai pakaian wanita dan sebaliknya. 

(Jami'ul Adillah, hal. 242)

Keterbatasan kain kafan

Jika kain kafan sedikit jumlahnya, sedangkan jenazah lebih banyak, maka diperbolehkan satu kain kafan untuk beberapa jenazah. Dikedepankan jenazah yang paling banyak hafalan Qur'annya ke arah kiblat. Hal ini ditunjukkan oleh hadits Anas rodhiyallohu 'anhu tentang kisah perang Uhud, beliau berkata:

وكثرت القتلى، وقلت الثياب، قال: وكان يجمع الثلاثة والاثنين في قبر واحد، ويسأل أيهم أكثر قرآنا، فيقدم في اللحد، وكفن الرجلين والثلاثة في الثوب الواحد

"Ketika itu banyak yang terbunuh sedangkan kain kafan sedikit jumlahnya. Beliau shollallohu 'alaihi wa sallam mengumpulkan dua atau tiga jenazah dalam satu kuburan dan menanyakan siapa yang paling banyak hafalan Al Qurannya untuk dikedepankan di dalam liang lahad. Beliau juga mengafani dua dan tiga jenazah dengan satu kain kafan." 

(HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Sa'ad, Al Hakim, Al Baihaqi, Ahmad. Dihasankan oleh Al- Albaniy rohimahulloh)

Makna hadits tersebut adalah bahwasanya Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam membagi-bagi satu kain kafan untuk beberapa orang (jamaah), maka setiap orang dikafani dengan potongan atau sebagian kain karena keadaan darurat, meskipun kain tersebut tidak dapat membungkus seluruh badannya. Hal ini ditunjukkan oleh kelengkapan hadits, bahwa beliau menanyakan siapa yang terbanyak hafalan Qurannya untuk dikedepankan di liang lahad (setelah mereka dibungkus). Sekiranya mereka dibungkus bersama dalam selembar kain, maka tentunya beliau bertanya sebelumnya agar tidak melepas kain kafan lagi dan membungkusnya kembali. Tafsir hadits inilah yang benar. Adapun pendapat yang mengatakan bahwa itu sesuai dhohirnya, yaitu beberapa jenazah dibungkus menjadi satu dengan satu kain, maka ini adalah keliru dan tidak sesuai dengan konteks kisahnya. 

(Ahkamul Jana'iz, hal. 60)

Sunnah-sunnah berkaitan dengan kain kafan

Pertama: Disunnahkan untuk memilih kain kafan yang berwarna putih, sebagaimana sabda Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam:

البسوا من ثيابكم البياض، فانها خير ثيابكم، وكفنوا فيها

"Pakailah dari pakaianmu yang berwarna putih, karena sungguh ia adalah sebaik-baik pakaianmu dan kafanilah dengannya." 

(HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah, Baihaqi, Ahmad dari hadits Ibnu 'Abbas rodhiyallohu 'anhuma, dishohihkan oleh Al Albani rohimahulloh)

Kedua: Disunnahkan pula untuk menggunakan kain kafan sebanyak tiga lembar dan yang wajib adalah selembar kain yang menutup seluruh badan. 

(Jami'ul Adillah, hal. 209)

Hal ini sebagaimana dalam hadits 'Aisyah rodhiyallohu 'anha, beliau berkata:

إن رسول الله صلى الله عليه وسلم كفن في ثلاثة أثواب يمانية بيض سحولية، من كرسف، ليس فيهن قميص، ولا عمامة أدرج فيها إدراجا

"Sesungguhnya Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam dikafani dengan tiga buah (lembar) kain buatan daerah Sahuliyah (arah propinsi Ibb sekarang) Yaman berwarna putih bersih dari bahan katun, bukan berupa baju gamis dan bukan pula 'imamah. Akan tetapi dimasukkan ke dalamnya begitu saja." 

(HR. Bukhori, Muslim, Ashhabus Sunan, Ibnul Jarud, Baihaqi, Ahmad)

Ini adalah pendapat yang kuat (pendapat jumhur ulama), bahwa sunnahnya dibungkus dengan tiga lembar kain kafan saja tanpa memakai gamis (baju panjang) dan tidak pula 'imamah (penutup kepala). Imam Bukhori memberikan sebuah bab dalam Shohihnya pada hadits no. 1273: "Bab Kain Kafan Tanpa Gamis dan 'Imamah." Adapun hadits Ibnu 'Abbas rodhiyallohu 'anhuma riwayat Abu Dawud, bahwasanya Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam dikafani dengan tiga buah baju: baju gamis yang dipakai ketika meninggalnya, baju atas dan bawah, maka ini adalah hadits dho'if (lemah) tidak sah untuk dijadikan sebagai dalil yang memalingkan riwayat-riwayat yang shohih. 

(Jami'ul Adillah, hal. 197)

Sejumlah atsar shohih dari Aisyah rodhiyallohu 'anha menunjukkan pula pendapat jumhur ulama, bahwasanya telah dikatakan kepada Aisyah bahwasanya Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam dikafani dengan tiga baju (dua baju hullah dan satu baju burdah), maka beliau rodhiyallohu 'anha mengatakan:

قد أتى بالبرد, ولكنهم ردوه ولم يكفنوه فيه

"Telah diberikan sebuah baju burdah, akan tetapi mereka menolaknya dan tidak mengafani beliau dengan baju itu." 

(HR. Muslim)

Masalah: Diharomkan mengafani mayit laki-laki dengan kain sutra, sedangkan selainnya seperti katun, wol, linen, bulu dan sebagainya yang diperbolehkan untuk dipakai ketika hidupnya, maka ini diperbolehkan pula untuk digunakan sebagai kain kafannya. Adapun mayit perempuan, maka mengafaninya dengan kain sutra hukumnya makruh, karena hal itu termasuk berlebihan dan mirip dengan menyia-nyiakan harta. Berbeda halnya jika dipakai semasa hidupnya, maka hal itu termasuk perhiasan di mata suaminya. 

(Al Majmu': 5/153, An Nawawi sebagaimana dalam Jami'ul Adillah, hal. 209)

Ketiga: Disunnahkan pula pada salah satu kain kafan -jika tersedia- untuk menggunakan kain bergaris, berdasarkan sabda Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam:

إذا توفي أحدكم فوجد شيئا، فليكفن في ثوب حبرة

"Jika salah seorang di antara kalian meninggal dunia dan ia termasuk orang yang mampu, maka kafanilah ia dengan kain bergaris." 

(HR. Abu Dawud, dishohihkan oleh Al Albaniy rohimahulloh)

Hadits ini tidaklah bertentangan dengan hadits pertama tersebut di atas tentang kain berwarna putih, karena bisa didudukkan atau dikumpulkan antara satu dengan lainnya, sehingga kedua hadits tersebut bisa diamalkan secara bersamaan, yaitu bahwa kain kafan tersebut disunnahkan berwarna putih bergaris, jika hanya memakai satu kain. Jika menggunakan lebih dari satu lembar kain, maka salah satunya berwarna putih bergaris, sedangkan yang lainnya berwarna putih bersih (polos). 

(Ahkamul Janaiz, hal. 63-64)

Keempat: Disunnahkan untuk mengharumkan mayit dan kain kafannya (selain yang meninggal ketika ihrom), baik dengan menggunakan dupa pengharum atau bahan pengharum lainnya sebanyak tiga kali, berdasarkan hadits Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam:

إذا جمرتم الميت، فأجمروه ثلاثا

"Jika kalian mengharumkan mayit, maka lakukanlah sebanyak tiga kali." 

(HR. Ahmad, Ibnu Abi Syaibah, Ibnu Hibban, Al Hakim, Baihaqi dari hadits Jabir rodhiyallohu 'anhu, dishohihkan oleh Al Albaniy rohimahulloh)

Ibnul Mundzir rohimahulloh dalam Al Autsath (no. 879) mengatakan: "Seluruh ulama yang telah diketahui dan dihafal dari mereka menyatakan disunnahkannya untuk mengharumkan kain kafan mayit." 

(Al Mulakkhosh, hal. 39)

Yang dilarang pada kain kafan

Tidak diperbolehkan bermewah-mewahan dan berlebihan dalam kain kafan. Demikian juga tidak lebih dari tiga lembar kain, karena tidak sesuai dengan sunnah dan orang yang masih hidup lebih pantas untuk mengenakannya serta hal ini termasuk menyia-nyiakan harta. Kalaulah bukan karena syariat telah menunjukkan tiga lembar kain kafan, maka hal itu pun termasuk menyia-nyiakan harta, karena tidak bermanfaat bagi si mayit di kuburannya dan juga tidak kembali kemanfaatannya kepada yang masih hidup. Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda:

إن الله كره لكم ثلاثا قيل وقال، وإضاعة المال، وكثرة السؤال

"Sesungguhnya Alloh membenci tiga hal: katanya dan katanya (berita yang tak jelas kebenarannya), menyia-nyiakan harta dan banyak tanya yang tidak bermanfaat." 

(HR. Bukhori, Muslim, Ahmad dari hadits Al Mughiroh bin Syu'bah rodhiyallohu 'anhu)

Adapun hadits yang menunjukkan bahwa Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam dikafani dengan tujuh lembar kain, maka itu adalah tidak shohih dan termasuk hadits mungkar, sebagaimana yang telah diterangkan oleh Imam Az Zaila'iy dalam Nashbur Royah (2/261-262). 

(Ahkamul Jana'iz, hal. 64)

Tata cara mengafani mayit

Secara global, cara mengafani mayit adalah dengan memasukkan mayit tersebut ke dalam kain kafannya. Adapun langkah-langkahnya secara lebih rinci adalah sebagai berikut:

Pertama: Bentangkan kain kafan pertama, yaitu yang paling tebal dan lebar agar terlihat bagus di luarnya. Kemudian dibubuhi kapur barus. Lalu bentangkan kain kedua di atasnya dan dibubuhi kapur barus dan sebagainya. Kemudian dibentangkan kain ketiga di atasnya.

Kedua: Mayit diangkat dalam keadaan tertutup, lalu diletakkan di atas kain kafan yang telah dibentangkan tersebut dengan posisi telentang agar lebih mudah untuk dibungkus kain kafan.

Ketiga: Jasad si mayit diolesi minyak wangi pada bagian-bagian wajah dan anggota sujud serta lipatan-lipatan tubuhnya seperti ketiak, pusar dan sebagainya.

Keempat: Melipatkan ujung kain yang menempel pada jasad mayit (kain ketiga) yang berada di sisi sebelah kanan mayit menuju ke sisi sebelah kiri. Sisa kain disisipkan atau dimasukkan ke bawah tubuh mayit sebelah kiri. Hal ini agar tidak mudah terlepas nantinya ketika diturunkan miring ke kanan di liang lahad.

Kelima: Melipatkan kain yang di sebelah kiri jasad ke sebelah kanan sampai jasad terbungkus dengan kain.

Keenam: Demikian juga pada lembaran-lembaran kain kafan berikutnya sampai jasad mayit terbungkus dengan tiga lembar kain kafan dengan sempurna.

Ketujuh: Ujung-ujung kain di bagian kepala dan kaki dilebihkan untuk diikatkan tanpa merobek kain kafan, agar bungkusan mayit tidak terlepas ketika dibawa. 

(Al Mughni: 3/384; Ibnu Qudamah sebagaimana dalam Fathul 'Allam: 2/285; Miskul Khitam: 2/195)

Masalah: 

Tidak ada ketentuan jumlah tertentu untuk ikatan pada kain kafan. Yang terpenting adalah menjaga agar kafan tidak terlepas ketika jenazah dibawa dan diletakkan ke dalam liang lahadnya. Setelah jenazah diletakkan di liang lahadnya, maka ikatan-ikatan tersebut dilepas, karena sudah tidak diperlukan lagi. 

(Majmu' Fatawa Ibnu 'Utsaimin: 17/95; Al Mulakhhosh Al Fiqhi: 1/305; Fatawa Al Lajnah Daimah: 8/362 sebagaimana dalam Al Mulakkhosh, hal. 37)

Masalah: 

Diperbolehkan untuk meletakkan jasad mayit yang banyak mengalami luka-luka dan mengeluarkan darah di dalam kantong mayat plastik sebelum dikafani, agar darahnya tidak membasahi kain kafannya. 

(Fatawa Thoharoh wa Sholah: 2/278, Ibnu Bazz sebagaimana dalam Al Mulakhhosh, hal. 42)

Cara mengafani mayit perempuan

Penyelenggaraan kain kafan untuk mayit perempuan disunnahkan sama seperti mayit laki-laki, karena tidak ada dalil yang membedakan antara keduanya. Adapun hadits Laila binti Qonif Ats Tsaqofiyah bahwasanya ia mengafani anak perempuan beliau shollallohu 'alaihi wa sallam dengan lima lembar kain kafan, maka itu tidaklah shohih sanadnya. Dalam sanadnya terdapat perowi majhul (tidak dikenal) yang bernama Nuh bin Hakim Ats Tsaqofi, sebagaimana yang diterangkan oleh Al Hafidz Ibnu Hajar, Imam Az Zaila'iy dalam Nashbur Royah (2/258) dan ulama hadits lainnya. 


(Ahkamul Jana'iz, hal. 65; Jami'ul Adillah, hal. 216-218)

Mengafani muhrim

Adapun seorang yang muhrim (berpakaian ihrom), ketika meninggal di tengah-tengah ihromnya, maka dikafani dengan pakaian ihrom yang dikenakannya ketika meninggal. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam, sebagaimana dalam kisah seorang muhrim tersebut di atas yang jatuh dari ontanya lalu meninggal:

وكفنوه في ثوبيه اللذين أحرم فيهما

"Kafanilah ia dengan dua pakaian ihrom yang sedang dikenakannya." 

(HR. An Nasa'i dan Ath Thobroni dari hadits Ibnu 'Abbas rodhiyallohu 'anhuma, dishohihkan oleh Al Albaniy rohimahulloh)

Masalah: 
Seorang muhrim laki-laki, wajah dan kepalanya tidak ditutupi kain. Yang ditutupi adalah wajah muhrim perempuan (muhrimah), karena itu termasuk aurotnya. Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda berkaitan dengan muhrim laki-laki:

ولا تخمروا رأسه (ولا وجهه)، فإنه يبعث يوم القيامة ملبيا

"Janganlah kalian tutup kepalanya dan juga wajahnya. Sesungguhnya ia akan dibangkitkan nanti pada hari kiamat dalam keadaan bertalbiyah." (HR. Bukhori, Muslim, Baihaqi dan Abu Nu'aim dalam Al Mustakhroj dari Ibnu 'Abbas rodhiyallohu 'anhuma)

Mengafani syuhada' perang melawan kaum kafir

Tidak boleh melepas baju yang dikenakan oleh seorang yang mati syahid dalam medan jihad melawan kaum kafir ketika terbunuh, akan tetapi dikuburkan sekalian bersama jasadnya. Hal ini berdasarkan sabda Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam:

زملوهم في ثيابهم

"Selimutilah atau bungkuslah dengan baju-baju mereka." 

(HR. Ahmad dari Abdulloh bin Tsa'labah rodhiyallohu 'anhu. Hadits ini shohih sebagaimana dalam tahqiq Musnad Ahmad: 39/62)

Disunnahkan pula mengafaninya dengan selembar kain atau lebih di atas baju yang ia pakai, sebagaimana yang dilakukan oleh Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam terhadap Mush'ab bin 'Umair dan Hamzah bin Abdul Muttholib rodhiyallohu 'anhuma.

Adapun syuhada' lainnya selain jihad fii sabilillah melawan orang kafir, seperti yang meningal karena wabah penyakit, sakit perut, tenggelam dan tertimpa reruntuhan, maka dimandikan, dikafani dan disholati sebagaimana jenazah lainnya. 

(Jami'ul Adillah, hal. 234)

Bid'ah-bid'ah dalam mengafani mayit

Beberapa kebid'ahan yang ditemukan dalam mengafani mayit adalah sebagai berikut:

Pertama: Merias jenazah sebelum dikafani.

Kedua: Keyakinan sebagian orang bahwa mayit-mayit akan saling membanggakan diri-diri mereka dengan bagusnya kain kafan di kuburan mereka. Siapa yang kain kafannya kurang bagus, maka yang lainnya akan mencela dan mengejeknya karena itu. Terdapat beberapa riwayat tentang hal itu dalam hadits-hadits yang lemah diantaranya adalah hadits Jabir:

أحسنوا كفن موتاكم فإنهم يتباهون ويتزاورون بها في قبورهم

"Perbaguslah kain kafan mayit kalian. Sesungguhnya mereka akan saling membanggakan diri dan berkunjung dengannya di kuburan mereka."

Hadits ini diriwayatkan oleh Ad Dailamiy dan Imam Al Albaniy rohimahulloh menerangkan bahwa di dalam sanadnya terdapat para perawi yang tidak dikenal. Yang semisal dengan itu pula terdapat dua hadits yang disebutkan oleh Ibnul Jauzi dalam Al Maudhu'at (kumpulan hadits-hadits palsu). 

(Ahkamul Jana'iz, hal. 248)

Ketiga: Menuliskan doa-doa pada kain kafan.

Keempat: Menuliskan nama si mayit dan bahwasanya ia telah bersyahadat dengan dua kalimat syahadat serta menuliskan nama-nama ahli bait 'alaihimus salam dengan dibubuhi tanah kuburan Husain 'alaihis salam jika ada dan diletakkan dalam kain kafan. Bid'ah ini dilakukan oleh Al Imamiyah, sebagaimana disebutkan dalam Miftahul Karomah (1/455-456). 


Wallohu ta'ala a'lam bish showab.

Demikianlah pembahasan tata cara mengafani jenazah pada kali ini, insyaalloh akan diteruskan dengan pembahasan berikutnya yaitu hukum-hukum yang berkaitan dengan mengusung dan mengiring jenazah ke pemakaman.

Wabillahit taufiq, walhamdulillahi Robbil 'alamin.

Ditulis: Mushlih Abu Sholeh Al Madiuniy -'afallohu 'anhu- (19 Muharrom 1436)

Maroji':
- Ahkamul Jana'iz wa Bida'uha, karya Imam Al Albaniy rohimahulloh, cet. 4 Al Maktabul Islamiy, th. 1406.
- Jami'ul Adillah wat Tarjihat fii Ahkamil Amwat, oleh Syaikh Yahya Al Hajuri, cet. 1 Maktabah Shon'a Al Atsatiyah, th. 1427.
- Mulakkhosh Ahkamil Jana'iz, oleh Syaikh Abdulloh Al Iryani, cet. 1 Darul Atsar, th 1430.
- Fathul 'Allam fii Dirosati Ahadits Bulughil Marom, oleh Syaikh Muhammad bin Hizam Al Ba'dani, cet. 1 Dar Al 'Ashimah, th. 1434.
- Miskul Khitam Syarh 'Umdatil Ahkam, oleh Syaikh Zayid bin Hasan Al Wushobi, cet. 1 Maktabah Al Falah, th. 1434.






🅹🅾🅸🅽 🅲🅷🅰🅽🅽🅴🅻 🆃🅴🅻🅴🅶🆁🅰🅼

Tidak ada komentar:

Posting Komentar