FIQIH JENAZAH (4) Mengusung & Mengikuti Jenazah

FIQIH JENAZAH (4) Mengusung & Mengikuti Jenazah



بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله وكفى والصلاة والسلام على عباده الذين اصطفى، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له وأشهد أن محمدا عبده ورسوله، أما بعد

Setelah jenazah selesai dimandikan dan dikafani dengan sempurna, maka wajib (fardhu kifayah) atas yang masih hidup untuk mengusung dan mengantar jenazah muslim tersebut menuju musholla jenazah untuk disholatkan. Hal ini termasuk haknya yang wajib dipenuhi oleh kaum muslimin, karena merupakan kelaziman dalam proses pemakamannya yang tidak hanya dipikul oleh kerabat si mayit semata. Terutama jika mereka memerlukan pertolongan untuk mengusung, menggali kuburan dan memakamkannya, maka hal ini lazim atas kaum muslimin untuk membantu kerabat mayit tersebut. Tidaklah disyariatkan untuk mengikuti jenazah itu, melainkan untuk saling ta'awun (tolong-menolong) dalam mengurusi jenazah muslim. 

(Ahkamul Jana'iz, hal. 66; Jami'ul adillah, hal. 246)

Diantara dalil yang menunjukkan hal itu adalah hadits Baro' bin 'Azib rodhiyallohu 'anhu, bahwasanya beliau berkata:

أمرنا النبي صلى الله عليه وسلم بسبع ونهانا عن سبع، أمرنا باتباع الجنائز ... الحديث

"Kami diperintahkan oleh Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam dengan tujuh kewajiban dan melarang kami dari tujuh larangan. Kami diperintahkan untuk mengikuti jenazah, … al hadits." 

(HR. Bukhori dan Muslim)

Juga ini merupakan hak muslim yang wajib dipenuhi oleh muslim yang lain, sebagaimana dalam hadits Abu Huroiroh rodhiyallohu 'anhu, bahwasanya Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda:

حق المسلم (وفي رواية: يجب المسلم على أخيه) خمس: رد السلام، وعيادة المريض، واتباع الجنائز، وإجابة الدعوة، وتشميت العاطس

"Hak seorang muslim -dalam riwayat: "Kewajiban atas seorang muslim terhadap saudaranya.."- ada lima: membalas salam, menjenguk yang sakit, mengantar jenazahnya, menghadiri undangannya dan menjawabnya jika bersin." 

(HR. Bukhori dan Muslim)

Pengusung jenazah

Hal ini merupakan amalan khusus laki-laki dan bukan perempuan menurut kesepakatan para ulama. Tidaklah mengusung jenazah tersebut, melainkan para laki-laki, meskipun mayitnya adalah perempuan. Hal itu karena para laki-laki lebih kuat daripada wanita yang bisa tersingkap aurotnya ketika membawanya. 

(Syarah Muslim, An Nawawi sebagaimana dalam Jami'ul Adillah, hal. 252)

Demikian juga dengan melihat kelemahan jiwa-jiwa perempuan ketika menyaksikan jenazah secara umum, maka terlebih lagi jika memikulnya, dikhawatirkan akan muncul perkara-perkara yang terlarang seperti ikhtilath (bercampur dengan laki-laki), berteriak-teriak atau meronta-ronta karena bersedih dan sebagainya berupa fitnah-fitnah. 

(Mulakhosh Ahkamil Jana'iz, hal. 43)

Tata cara mengusung jenazah

Tata cara mengusung jenazah menurut sunnah adalah dengan memikulnya di atas pundak-pundak manusia. Adapun jika si mayit masih anak-anak (balita), maka cukuplah dibopong oleh seseorang dengan dua belah tangannya di depan dada.

Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda:

أسرعوا بالجنازة فإن تك صالحة فخير تقدمونها، وإن تكن غير ذلك فشر تضعونه عن رقابكم

"Percepatlah dalam mengusung jenazah. Jika ia adalah seorang yang sholeh, maka itu adalah kebaikan yang kalian kedepankan. Jika ia seorang yang bukan sholeh, maka itu adalah kejelekan yang segera diletakkan dari pundak-pundak kalian." 

(HR. Bukhori, Muslim dan selainnya dari Abu Huroiroh rodhiyallohu 'anhu)

Sabda beliau juga:

إذا وضعت الجنازة، واحتملها الرجال على أعناقهم، فإن كانت صالحة قالت: قدموني قدموني، وإن كانت غير صالحة قالت: يا ويلها أين يذهبون بها؟! يسمع صوتها كل شئ إلا الانسان، ولو سمعه لصعق

"Ketika jenazah diletakkan dan dipikul di atas pundak-pundak para laki-laki pengusungnya, jika ia seorang yang sholeh, maka akan mengatakan: "Kedepankan aku, kedepankan aku!" Jika ia tidak sholeh, maka ia mengatakan: "Aduh celaka, kemana ia akan kalian bawa pergi?!" Suaranya akan didengar oleh semuanya, kecuali manusia. Jika manusia mendengarnya, niscaya ia akan jatuh pingsan." 

(HR. Bukhori, Nasa'i, Baihaqi dan Ahmad dari Abu Sa'id Al Khudri rodhiyallohu 'anhu)

Mempercepat langkah ketika mengusung jenazah

Disyariatkan untuk mempercepat langkah ketika mengiring jenazah tanpa berlari, karena dikhawatirkan jenazah akan terguncang-guncang dengan keras sehingga terlepas kain kafannya dan tersingkap sebagian dari tubuhnya atau terjatuh dari usungannya dan sebagainya.

Hikmah disyariatkan untuk mempercepat langkah tersebut adalah sebagaimana yang telah disebutkan oleh Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam dalam sabda beliau tersebut di atas:

أسرعوا بالجنازة فإن تك صالحة فخير تقدمونها، وإن تكن غير ذلك فشر تضعونه عن رقابكم

"Percepatlah dalam mengusung jenazah. Jika ia adalah seorang yang sholeh, maka itu adalah kebaikan yang kalian kedepankan. Jika ia seorang yang bukan sholeh, maka itu adalah kejelekan yang segera diletakkan dari pundak-pundak kalian." 

(HR. Bukhori, Muslim dan selainnya dari Abu Huroiroh rodhiyallohu 'anhu)

Sabda beliau juga:

إذا وضعت الجنازة، واحتملها الرجال على أعناقهم، فإن كانت صالحة قالت: قدموني قدموني، وإن كانت غير صالحة قالت: يا ويلها أين يذهبون بها؟! يسمع صوتها كل شئ إلا الانسان، ولو سمعه لصعق

"Ketika jenazah diletakkan dan dipikul di atas pundak-pundak para laki-laki pengusungnya, jika ia seorang yang sholeh, maka akan mengatakan: "Kedepankan aku, kedepankan aku!" Jika ia tidak sholeh, maka ia mengatakan: "Aduh celaka, kemana ia akan kalian bawa pergi?!" Suaranya akan didengar oleh semuanya, kecuali manusia. Jika manusia mendengarnya, niscaya ia akan jatuh pingsan." 

(HR. Bukhori, Nasa'i, Baihaqi dan Ahmad dari Abu Sa'id Al Khudri rodhiyallohu 'anhu)

Adapun mempercepat langkah tanpa berlari ketika mengantar jenazah, maka ditunjukkan oleh hadits Abu Bakroh rodhiyallohu 'anhu dalam kisah Abdurrohman bin Jausyan rohimahulloh:

شَهِدْتُ جَنَازَةَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ سَمُرَةَ وَخَرَجَ زِيَادٌ يَمْشِي بَيْنَ يَدَيْ السَّرِيرِ فَجَعَلَ رِجَالٌ مِنْ أَهْلِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ وَمَوَالِيهِمْ يَسْتَقْبِلُونَ السَّرِيرَ وَيَمْشُونَ عَلَى أَعْقَابِهِمْ وَيَقُولُونَ رُوَيْدًا رُوَيْدًا بَارَكَ اللَّهُ فِيكُمْ فَكَانُوا يَدِبُّونَ دَبِيبًا حَتَّى إِذَا كُنَّا بِبَعْضِ طَرِيقِ الْمِرْبَدِ لَحِقَنَا أَبُو بَكْرَةَ عَلَى بَغْلَةٍ فَلَمَّا رَأَى الَّذِي يَصْنَعُونَ حَمَلَ عَلَيْهِمْ بِبَغْلَتِهِ وَأَهْوَى إِلَيْهِمْ بِالسَّوْطِ وَقَالَ خَلُّوا فَوَالَّذِي أَكْرَمَ وَجْهَ أَبِي الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَقَدْ رَأَيْتُنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَإِنَّا لَنَكَادُ نَرْمُلُ بِهَا رَمَلًا فَانْبَسَطَ الْقَوْمُ

"Aku menyaksikan jenazah Abdurrohman bin Samuroh dan Ziyad keluar dan berjalan di depan usungan jenazah. Kemudian para laki-laki dari kerabat Abdurrohman dan para mawali (budak-budak) mereka mulai mengangkat usungan dan berjalan kaki dan mereka mengatakan: "Pelan-pelan, barokallohu fikum." Mereka berjalan sangat pelan bagaikan merangkak. Sampai ketika kami melewati jalan tempat penambatan onta dan hewan ternak, maka Abu Bakroh bergabung bersama kami sambil mengendarai baghl (hewan tunggangan hasil peranakan kuda dan keledai). Ketika Abu Bakroh melihat apa yang mereka lakukan, maka beliau mendekati mereka dengan tunggangannya dan mengisyaratkan kepada mereka dengan cemetinya sambil berseru: "Biarkanlah -demi Dzat yang memuliakan wajah Abul Qosim (Rosululloh) shollallohu 'alaihi wa sallam-, sungguh aku telah melihat para sahabat bersama Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam hampir-hampir berlari-lari kecil ketika mengusung jenazah." Maka mereka mulai bersemangat (setelah mendengar hal itu)." 

(HR. An Nasa'i, dishohihkan oleh Al Albani dalam Ahkamul Jana'iz, hal. 72 dan Syaikhuna Al Hajuriy menghasankannya dalam Jami'ul Adillah, hal. 255)

Ibnul Qoyyim rohimahulloh mengatakan dalam Zadul Ma'ad (1/498): "Adapun rangkakan orang-orang sekarang selangkah demi selangkah, maka itu adalah bid'ah yang dibenci dan menyelisihi sunnah serta mengandung penyerupaan terhadap ahli kitab Yahudi." 

(Ahkamul Jana'iz, hal. 73)

Dua langkah dalam mengikuti jenazah

Mengikuti jenazah mempunyai dua langkah dalam sunnah:

Pertama: Mengikutinya dari rumah keluarganya sampai disholatkan.

Kedua: Mengikutinya dari rumah keluarganya sampai selesai proses pemakaman.

Keduanya pernah dilakukan oleh Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam. Abu Sa'id Al Khudriy rodhiyallohu 'anhu meriwayatkan:

كُنَّا مُقَدَّمَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (يعني المدينة) إِذَا حُضِرَ مِنَّا الْمَيِّتُ آذَنَّا النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَحَضَرَهُ وَاسْتَغْفَرَ لَهُ حَتَّى إِذَا قُبِضَ انْصَرَفَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَمَنْ مَعَهُ حَتَّى يُدْفَنَ، وَرُبَّمَا طَالَ حَبْسُ ذَلِكَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَلَمَّا خَشِينَا مَشَقَّةَ ذَلِكَ عَلَيْهِ قَالَ بَعْضُ الْقَوْمِ لِبَعْضٍ: لَوْ كُنَّا لَا نُؤْذِنُ النَّبِيَّ بِأَحَدٍ حَتَّى يُقْبَضَ، فَإِذَا قُبِضَ آذَنَّاهُ، فَلَمْ يَكُنْ عَلَيْهِ فِي ذَلِكَ مَشَقَّةٌ وَلَا حَبْسٌ، فَفَعَلْنَا ذَلِكَ وَكُنَّا نُؤْذِنُهُ بِالْمَيِّتِ بَعْدَ أَنْ يَمُوتَ فَيَأْتِيهِ فَيُصَلِّي عَلَيْهِ، فَرُبَّمَا انْصَرَفَ، وَرُبَّمَا مَكَثَ حَتَّى يُدْفَنَ الْمَيِّتُ، فَكُنَّا عَلَى ذَلِكَ حِينًا، ثُمَّ قُلْنَا لَوْ لَمْ يَشْخَصِ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَحَمَلْنَا جَنَازَتَنَا إِلَيْهِ حَتَّى يُصَلِّيَ عَلَيْهِ عِنْدَ بَيْتِهِ لَكَانَ ذَلِكَ أَوْفَقَ بِهِ، فَفَعَلْنَا فَكَانَ ذَلِكَ الْأَمْرُ إِلَى الْيَوْمِ

"Kami dahulu -ketika awal-awal kedatangan Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam di Madinah-, jika ada seseorang dari kami menjelang kematiannya, maka kami memberitahukannya kepada beliau. Sehingga beliau mendatanginya dan memintakan ampunan Alloh untuknya. Sampai jika ia meninggal, maka beliau dan yang bersama beliau pun beranjak mengikutinya sampai dimakamkan. Terkadang memakan waktu yang lama atas Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam ketika itu. Ketika kami khawatir kalau beliau merasa keberatan, maka kami mengatakan kepada sebagian lainnya: "Sekiranya kita tidak memberitahukan Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam jika ada seseorang menjelang kematiannya sampai ia meninggal. Barulah setelah itu kita beritahukan kepada beliau, maka beliau tidak akan lama tertahan dan merasa keberatan." Maka kami melakukan yang demikian itu. Kami beritahukan kepada beliau ketika telah meninggal dan beliau datang untuk menyolatkannya, lalu beliau pergi. Terkadang beliau tetap menyertai sampai selesai pemakaman. Demikianlah keadaan kami ketika itu. Kemudian kami membicarakan, "Sekiranya beliau tidak usah datang menghadirinya. Kita bawa jenazah kita kepada beliau, lalu disholatkan di rumah beliau, maka tentunya itu lebih baik." Maka kami pun melakukan hal itu sampai hari ini." 

(HR. Ibnu Hibban, Al Hakim dan selainnya, dishohihkan oleh Al Albani dalam Ahkamul Jana'iz, hal. 67)

Mana yang lebih afdhol?

Tidak ragu lagi, bahwa langkah kedualah yang lebih utama daripada pertama. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam:

من شهد الجنازة (من بيتها)، (وفي رواية من ابتع جنازة مسلم إيمانا واحتسابا) حتى يصلى عليها فله قيراط، ومن شهد ها حتى تدفن، (وفي الرواية الاخرى: يفرغ منها) فله قيراطان (من الاجر)، قيل: (يارسول الله) وما القيراطان؟ قال: مثل الجبلين العظيمين -وفي الرواية الاخرى: كل قيراط مثل أحد

"Siapa yang menghadiri jenazah di rumahnya -dalam riwayat: 

"Siapa yang mengikuti jenazah muslim dengan keimanan dan mengharap pahala Alloh,"- sampai disholatkan, maka baginya pahala satu qiroth. Siapa yang menghadirinya sampai dimakamkan -dalam riwayat: "Sampai selesai pemakaman,"- maka baginya pahala dua qiroth." Ditanyakan kepada beliau: "Wahai Rosululloh, apa dua qiroth itu?" Beliau menjawab: "Seperti dua gunung besar." Dalam riwayat: "Setiap qiroth itu seperti gunung Uhud." (HR. Bukhori, Muslim, Abu Dawud, Nasa'i, Tirmidzi, Ahmad dan selain mereka dari Abu Huroiroh rodhiyallohu 'anhu. Juga telah datang dari Abdulloh bin Al Mughoffal riwayat Nasa'i tercantum dalam Al Jami'us Shohih, karya Imam Al Wadi'i: 2/250)

Dalam riwayat lain dari Abu Huroiroh rodhiyallohu 'anhu terdapat tambahan yang bermanfaat untuk disebutkan di sini:

وكان ابن عمر يصلي عليها، ثم ينصرف، فلما بلغه حديث أبي هريرة قال: أكثر علينا أبو هريرة، -وفي رواية: فتعاظمه-، فأرسل خبابا إلى عائشة يسألها عن قول أبي هريرة ثم يرجع إليه فيخبره ما قالت، وأخذ ابن عمر قبضة من حصى المسجد يقلبها في يده حتي رجع إليه الرسول، فقال: قالت عائشة: صدق أبو هريرة، فضرب ابن عمر بالحصى الذي كان في يده الارض ثم قال: لقد فرطنا في قراريط كثيرة، فبلغ ذلك أبا هريرة فقال: إنه لم يكن يشغلني عن رسول الله صلى الله عليه وسلم صفقة السوق، ولا غرس الودي، إنما كنت ألزم النبي صلى الله عليه وسلم لكلمة يعلمنيها، وللقمة يطعمنيها، فقال له ابن عمر: أنت يا أبا هريرة كنت ألزمنا لرسول الله صلى الله عليه وسلم وأعلمنا بحديثه

"Dahulu Ibnu Umar menyolatkan jenazah, kemudian pergi. Setelah sampai kepadanya hadits Abu Huroiroh tentang keutamaan mengikuti jenazah sampai selesai dikuburkan, maka ia berkata: "Abu Huroiroh telah berlebihan." Dalam riwayat: "Maka ia mengingkarinya." Lalu Ibnu Umar mengutus Khobbab kepada Aisyah untuk menanyakan ucapan Abu Huroiroh tersebut, kemudian kembali untuk mengabarkan apa yang ia katakan. Maka Ibnu Umar mengambil segenggam pasir masjid dan membolak-balikkannya di tangannya sampai datang utusannya. Setelah datang, maka ia berkata: "'Aisyah berkata: "Benar apa yang dikatakan Abu Huroiroh." Mendengar hal itu, maka Ibnu Umar melemparkan pasir yang ada ditangannya itu ke tanah seraya berkata: "Sungguh kita telah menyia-nyiakan banyak qiroth." Ketika Abu Huroiroh mendengar hal itu, maka ia berkata: "Itu karena aku tidak tersibukkan oleh jual beli di pasar dan juga cocok tanam bibit kurma dari mendengarkan hadits Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam. Aku hanyalah menetapi majelis Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam untuk mendengarkan kalimat yang beliau ajarkan dan sesuap makanan yang beliau berikan kepadaku." Maka Ibnu 'Umar berkata kepadanya: "Engkau -wahai Abu Huroiroh- adalah orang yang paling menetapi Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam dan yang paling mengetahui hadits beliau." 

(HR. Muslim dan riwayat tambahan dari Bukhori, Ahmad, Thoyalisi, Tirmidzi dengan sanad shohih sebagaimana dalam Ahkamul Jana'iz, hal. 69)

Hukum mengikuti jenazah bagi wanita

Imam An Nawawi rohimahulloh menukilkan kesepakatan ulama bahwasanya mengikuti jenazah tersebut hanyalah wajib atas laki-laki, bukan perempuan. 

(Syarah Shohih Muslim; Mulakhosh, hal. 46)

Demikian juga keutamaan mengikuti jenazah tersebut di atas hanyalah diperuntukkan bagi muslim laki-laki. Adapun bagi para wanita muslimah, maka terdapat larangan tanzih (hukumnya makruh) dari Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam untuk itu, sehingga amalan tersebut dimakruhkan bagi mereka, sedangkan keutamaan tersebut menunjukkan bahwa amalan tersebut mustahab (lawan dari makruh) dan keduanya tidaklah berkumpul menjadi satu. 

(Fathul Bari: 3/173; Mulakhosh, hal. 48)

Ummu 'Athiyyah rodhiyallohu 'anha mengatakan:

كنا ننهى -وفي رواية: نهانا رسول الله صلى الله عليه وسلم- عن اتباع الجنائز، ولم يعزم علينا

"Kami dilarang -dalam riwayat: "Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam melarang kami"- untuk mengikuti jenazah dan beliau tidak menekankannya atas kami (tidak seperti perkara harom)." 

(HR. Bukhori, Muslim, Al Isma'iliy dan selain mereka)

Posisi seseorang ketika mengikuti jenazah

Seseorang dibolehkan untuk mengikuti jenazah, baik dengan berjalan di depannya maupun belakangnya, di sebelah kanannya maupun sebelah kirinya, berdekatan dengan jenazah tersebut. Adapun yang berkendaraan, maka berada di belakangnya, sebagaimana sabda Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam:

الراكب يسير خلف الجنازة، والماشي حيث شاء منها، خلفها وأمامها، وعن يمينها، وعن يسارها، قريبا منها

"Seseorang yang berkendaraan berada di belakang jenazah. Sedangkan yang berjalan kaki, maka sekehendaknya, di belakang atau depannya, di sebelah kanan atau kirinya berdekatan dengan jenazah tersebut." 

(HR. Abu Dawud, Nasa'i, Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad, Baihaqi dan selain mereka, dari Mughiroh bin Syu'bah rodhiyallohu 'anhu, dishohihkan Al Albani dalam Ahkamul Jana'iz, hal. 73)

Berjalan di depan dan di belakang jenazah ketika mengikutinya telah dilakukan oleh Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam, sebagaimana ucapan Anas bin Malik rodhiyallohu 'anhu:

أن رسول الله صلى الله عليه وسلم وأبا بكر وعمر كانوا يمشون أمام الجنازة وخلفها

"Bahwasanya Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam, Abu Bakar dan Umar dahulu berjalan di depan jenazah dan di belakangnya ketika mengikutinya." 

(HR. Thohawi, dishohihkan oleh Al Albani dalam Ahkamul Jana'iz, hal. 74)

Akan tetapi yang lebih utama adalah berjalan di belakangnya, karena hal ini dipahami dari sabda Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam: "Mengikuti jenazah," sebagaimana dalam hadits hak-hak muslim di atas. 

(Ahkamul Jana'iz, hal. 74)

Berkendaraan ketika mengikuti jenazah

Diperbolehkan bagi yang mengikuti jenazah untuk berkendaraan, akan tetapi disyaratkan untuk berjalan di belakangnya, sebagaimana sabda Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam dalam hadits Mughiroh bin Syu'bah rodhiyallohu 'anhu di atas:

الراكب يسير خلف الجنازة .. الحديث

"Seseorang yang berkendaraan berada di belakang jenazah…"

Akan tetapi yang lebih utama (afdhol) adalah mengikuti jenazah dengan berjalan kaki, karena itulah yang nampak dari perbuatan Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam. Tidak pernah diriwayatkan bahwa beliau berkendaraan ketika mengikuti jenazah. Bahkan Tsauban rodhiyallohu 'anhu berkata:

إن رسول الله صلى الله عليه وسلم أتي بدابة وهو مع الجنازة فأبى أن يركبها، فلما انصرف أتي بدابة فركب، فقيل له؟ فقال: إن الملائكة كانت تمشي فلم أكن لأركب وهم يمشون، فلما ذهبوا ركبت

"Sesungguhnya Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam ketika mengikuti jenazah, didatangkan kepada beliau hewan tunggangan dan beliau menolak untuk menaikinya. Setelah selesai dan didatangkan kembali hewan tunggangannya, lalu beliau menaikinya. Ketika ditanyakan kepada beliau, maka jawab beliau: "Sesungguhnya para malaikat tadi berjalan kaki, maka tidaklah aku menaiki kendaraan sedangkan mereka berjalan kaki. Setelah mereka pergi, barulah aku naik kendaraan." 

(HR. Abu Dawud, Al Hakim, Baihaqi, dishohihkan oleh Al Albani dalam Ahkamul Jana'iz, hal. 75)

Adapun berkendaraan setelah selesai mengikuti jenazah, maka hal itu dibolehkan tanpa ada masalah, sebagaimana ditunjukkan oleh hadits Tsauban di atas.

Demikian juga pada hadits Jabir bin Samuroh rodhiyallohu 'anhu, bahwasanya Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam menyolati Ibnu Dahdah bersama kami. Dalam riwayat: "Beliau mengikuti jenazah Ibnu Dahdah dengan berjalan kaki." Kemudian setelah itu didatangkan seekor kuda tak berpelana dan diikat oleh seseorang. Lalu beliau menaikinya ketika beranjak pergi. Kuda itu mulai melompat dan berjalan perlahan dan kami mengikuti berjalan di belakang beliau -dalam riwayat: "...di sekitar beliau."- Seorang laki-laki dari kaum itu berkata: "Sesungguhnya Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda:

كم من عذق معلق أو مدلى في الجنة لابن الدحداح

"Betapa banyaknya tandan anggur yang tergantung dan berjuntai di jannah (surga) untuk Ibnu Dahdah." 

(HR. Muslim, Abu Dawud, Nasa'i, Tirmidzi, Ahmad, Baihaqi dan Thoyalisi)

Janganlah menyelisihi syariat!

Ketika mengikuti jenazah, dilarang untuk melakukan perkara-perkara yang menyelisihi syariat, baik berupa kemaksiatan, kebid'ahan maupun penyerupaan terhadap kaum kafir.

Selayang pandang tentang larangan menyerupai kaum kafir

Menyerupai dan mengekor terhadap kaum kafir merupakan perkara yang dilarang dalam syariat Islam, sedangkan menyelisihi mereka merupakan perkara yang disyariatkan dan diperintahkan, baik yang berkaitan dengan peribadatan-peribadatan, pakaian-pakaian maupun adat-istiadat khas mereka.

Alloh ta'ala berfirman:

ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَى شَرِيعَةٍ مِنَ الْأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَ الَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ

"Kemudian Kami jadikan engkau -wahai Rosul- di atas manhaj (metode) agama yang jelas, maka ikutilah syariat yang telah dijadikan bagimu itu dan janganlah engkau mengikuti hawa-hawa nafsu orang-orang yang jahil terhadap syariat Alloh serta tidak mengetahui al haq." 

(Tafsir Muyassar QS. Al Jatsiyah: 18)

Dalam ayat ini terdapat petunjuk yang agung tentang kesempurnaan agama ini serta kemuliaannya serta wajibnya untuk taat terhadap hukum-hukumnya dan tidak condong mengikuti hawa nafsu kaum kafir serta menyimpang.

Syaikhul Islam rohimahulloh berkata: "Masuk di dalam golongan orang-orang yang tidak mengetahui (jahil) terhadap syariat Alloh dan al haq -dalam ayat tersebut- adalah setiap orang yang menyelisihi syariat-Nya. Sedangkan yang dimaksud dengan hawa-hawa nafsu mereka adalah apa yang mereka cenderungi dan sukai serta apa yang diperbuat oleh kaum musyrikin dari jalan mereka yang nampak, yang termasuk ajaran agama mereka yang batil serta perkara-perkara yang mengikutinya. Perbuatan menyerupai hal-hal itu termasuk mengikuti hawa-hawa nafsu mereka. Oleh karena itu, kaum kafir merasa senang dengan penyerupaan kaum muslimin dalam beberapa perkara mereka serta mereka bergembira dan menginginkan sekiranya mereka bisa menggunakan biaya yang besar demi terwujudnya hal itu." 

(Al Iqtidho', hal. 8 sebagaimana dalam Jilbab, hal. 162)

Alloh ta'ala berfirman:

أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ آَمَنُوا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللَّهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ الْحَقِّ وَلَا يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمُ الْأَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ فَاسِقُونَ

"Bukankah telah tiba waktunya bagi orang-orang yang membenarkan Alloh dan Rosul-Nya serta mengikuti petunjuk-Nya untuk melunakkan hati-hati mereka ketika mengingat Alloh (berdzikir) dan mendengarkan Al Quran. Janganlah mereka keras hatinya seperti orang-orang yang diberi al kitab sebelum mereka (Yahudi dan Nasrani) yang telah berlalu atas mereka zaman yang panjang dan mereka mengubah-ubah firman Alloh, sehingga keraslah hati mereka dan kebanyakan dari mereka telah keluar dari ketaatan kepada Alloh." 

(Tafsir Muyassar QS. Al Hadid: 16)

Dalam ayat ini terdapat himbauan untuk melembutkan hati dan khusyu' kepada Alloh subhanahu wa ta'ala ketika mendengarkan apa yang telah diturunkan oleh-Nya berupa Al Kitab dan Al Hikmah (As Sunnah) serta peringatan dari sikap menyerupai kaum Yahudi dan Nasrani dalam kekerasan hati mereka dan keluarnya mereka dari ketaatan kepada Alloh ta'ala.

Syaikhul Islam rohimahulloh berkata: "(Dalam ayat ini terdapat) larangan mutlak untuk menyerupai mereka secara umum dan terdapat larangan khusus untuk menyerupai mereka dalam kekerasan hati. Kekerasan hati tersebut merupakan buah dari perbuatan-perbuatan kemaksiatan." 

(Al Iqtidho', hal. 43, sebagaimana dalam Jilbab, hal. 163)

Ibnu Katsir rohimahulloh berkata: "Oleh karena itu, Alloh melarang kaum mukminin untuk menyerupai mereka pada segala perkara mereka, baik yang pokok maupun yang cabang." 

(Tafsir Ibnu Katsir pada ayat tersebut)

Dari beberapa ayat tersebut telah nampak bahwa meninggalkan jalan atau petunjuk kaum kafir dan menyerupai mereka dalam perbuatan-perbuatan, ucapan-ucapan dan hawa-hawa nafsu mereka merupakan salah satu tujuan pokok diturunkannya Al Quran Al Karim. Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam telah menjelaskan hal tersebut secara terperinci kepada umat beliau serta mewujudkannya pada banyak hal dari praktek-praktek syariat dalam kehidupan. Sampai-sampai hal ini diketahui oleh kaum Yahudi yang ketika itu berada di Madinah dan mereka merasakan bahwasanya beliau shollallohu 'alaihi wa sallam menginginkan untuk menyelisihi mereka di segala perkara khas mereka, sebagaimana telah diriwayatkan oleh Anas bin Malik rodhiyallohu 'anhu:

إن اليهود كانوا إذا حاضت المرأة فيهم لم يؤاكلوها ولم يجامعوها في البيوت، فسأل أصحاب النبي -صلى الله عليه وسلم- النبي -صلى الله عليه وسلم-، فأنزل الله تعالى: {وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ} إلى آخر الآية، فقال رسول الله -صلى الله عليه وسلم: (اصنعوا كل شيء إلا النكاح)، فبلغ ذلك اليهود فقالوا: ما يريد هذا الرجل أن يدع من أمرنا شيئًا إلا خالفنا فيه

"Sesungguhnya orang Yahudi itu jika istrinya sedang haid, tidak mau makan bersamanya dan tidak menempatkannya di rumah-rumah. Lalu para sahabat Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam bertanya kepada beliau tentang hal itu. Maka turunlah firman Alloh:

وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ

"Mereka bertanya kepadamu tentang haid -yaitu darah yang biasa mengalir dari rahim wanita pada waktu-waktu tertentu-. Katakanlah kepada mereka -wahai Nabi-: "Itu adalah kotoran yang membahayakan bagi siapa yang mendekatinya, maka jauhilah menyetubuhi wanita selama masa haidnya sampai berhentinya darah tersebut. Setelah darah haid berhenti dan mandi besar, maka pergaulilah mereka di tempat yang telah dihalalkan Alloh untuk kalian -yaitu qubul bukan dubur-. Sesungguhnya Alloh mencintai hamba-hamba-Nya yang banyak beristighfar dan bertaubat serta mencintai mereka yang mensucikan diri dengan menjauhi perbuatan-perbuatan keji dan kotor." 

(Tafsir Muyassar QS. Al Baqoroh: 222)

Maka Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda:

اصنعوا كل شيء إلا النكاح

"Lakukanlah apa saja padanya, kecuali nikah (jima')."

Ketika ucapan beliau tersebut sampai kepada orang-orang Yahudi, maka mereka mengatakan: "Orang ini tidaklah ingin membiarkan apapun dari urusan kita, melainkan ia menyelisihi kita di dalamnya." 

(HR. Muslim)

Hadits ini menunjukkan betapa banyaknya apa yang disyariatkan Alloh kepada Nabi-Nya berupa penyelisihan terhadap kaum Yahudi, bahkan penyelisihan terhadap segala perkara khas mereka, sebagaimana komentar mereka dalam hadits tersebut.

Kemudian, penyelisihan terhadap kaum kafir tersebut terkadang terdapat pada asal hukum perbuatannya dan terkadang pada sifat perbuatan tersebut. Seperti perbuatan menjauhi wanita haid, maka hal ini bukan menyelisihi mereka dalam asal hukumnya, akan tetapi hanya pada sifatnya, yaitu Alloh ta'ala mensyariatkan atau membolehkan untuk mendekati istri yang sedang haid selain pada tempat keluarnya darah haid. Hal ini dapat menimbulkan kebencian Yahudi yang sangat…" 

(Al Iqtidho', sebagaimana dalam Jilbab, hal. 166)

Adapun dalam as sunnah yang menunjukkan larangan penyerupaan (tasyabbuh) terhadap kaum kafir, diantaranya adalah pada hadits Abdulloh bin Umar rodhiyallohu 'anhuma, bahwasanya Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda:

بعثت بين يدي الساعة بالسيف حتى يعبدَ الله وحده لا شريك له، وجعل رزقي تحت ظل رمحي وجعل الذلة والصغار على من خالف أمري ومن تشبه بقوم فهو منهم

"Aku telah diutus menjelang hari kiamat dengan pedang, sampai Allohlah satu-satunya yang disembah dan tidak dipersekutukan dengan apapun. Dia telah menjadikan rezkiku berada di bawah bayangan tombakku serta menjadikan kehinaan itu atas siapa yang menyelisihi perintahku. Siapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia adalah bagian dari mereka." 

(HR. Ahmad, dihasankan oleh Al Albani dalam Jilbab, hal. 203)

Menyelisihi kaum kafir dan tidak menyerupai mereka merupakan salah satu dari tujuan syariat Islam yang tinggi. Wajib atas setiap muslim -baik laki-laki maupun perempuan- untuk memperhatikan hal tersebut pada segala urusannya, termasuk pada perkara penyelenggaraan jenazah ini.

Sebagian manusia menyangka bahwa penyelisihan ini hanyalah perkara peribadatan semata tanpa dipahami makna atau hikmah yang terkandung padanya. Hikmah dan maknanya sangatlah jelas. Telah ditetapkan oleh para ulama peneliti bahwasanya di sana terdapat keterikatan yang kuat antara sesuatu yang nampak dan yang bersifat batin (tidak nampak). Keduanya saling mempengaruhi satu sama lainnya. Jika salah satunya baik, maka baiklah yang lainnya dan sebaliknya jika jelek, maka jelek pulalah selainnya. Meskipun hal itu terkadang tidak dirasakan oleh seseorang pada dirinya sendiri, akan tetapi dapat terlihat pada selainnya. 

(Jilbab, hal. 207)

Hukum bersuara keras dan membawa api

Diantara perkara yang dilarang ketika mengantar jenazah adalah seperti menangis dengan suara keras, membawa dupa wangi atau bakar-bakar sesuatu dan sebagainya. Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda:

لا تتبع الجنازة بصوت ولا نار

"Janganlah kalian mengikuti jenazah dengan suara keras dan membawa api." 

(HR. Abu Dawud, Ahmad. Pada sanadnya terdapat kelemahan, akan tetapi dikuatkan dengan riwayat-riwayat lain dan atsar-atsar mauquf dari beberapa shohabat)

Riwayat-riwayat penguat hadits tersebut diriwayatkan dari Jabir dari Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam, bahwasanya beliau melarang mengikuti mayit dengan suara keras dan api. 

(HR. Abu Ya'la)

Juga dari Ibnu Umar, beliau berkata: "Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam melarang mengikuti jenazah dengan membunyikan sirine." 

(HR. Ibnu Majah, Ahmad dengan sanad hasan dari dua jalan; Ahkamul Jana'iz, hal. 70)

Juga dari Abu Musa rodhiyallohu 'anhu tentang wasiat larangan membawa obor ketika mengiring jenazahnya. 

(HR. Ahmad, Baihaqi dengan sanad hasan; Ahkamul jana'iz, hal. 17)

Demikian juga atsar 'Amr bin Ash rodhiyallohu 'anhu, beliau berkata dalam wasiatnya: "Jika aku mati, maka janganlah engkau menyertaiku dengan niyahah (ratapan) dan api." 

(HR. Muslim, Ahmad)

Juga atsar Abu Huroiroh rodhiyallohu 'anhu menjelang kematiannya: "Janganlah kalian dirikan untukku tenda (untuk berkabung) dan janganlah kalian mengiringku dengan membawa obor -dalam riwayat: api-." 

(HR. Ahmad dengan sanad shohih; Ahkamul Jana'iz, hal. 70)

Ibnu Abdil Barr rohimahulloh berkata: "Aku tidak mengetahui atau menemui para ulama berselisih pendapat akan dibencinya perkara ini." 

(Al Istidzkar: 3/24)

Ibnu Qudamah rohimahulloh berkata: "Dibenci mengiringi jenazah dengan membawa api." 

(Al Mughni: 2/360, no. 1540)

Ibnul Mundzir rohimahulloh berkata: "Hal itu dibenci oleh semua ulama yang telah kami hafal pendapat-pendapat mereka." Lalu beliau berkata: "Jika jenazah dikuburkan malam hari dan memerlukan pencahayaan, maka hal itu tidak apa-apa. Membawa api yang berasap itu ketika mengiring jenazah tanpa keperluan (hajah), merupakan perbuatan kaum jahiliyah." 

('Aunul Ma'bud Syarh Sunan Abi Dawud, hadits no. 3169)

Syaikhuna Yahya Al Hajuriy hafidzohulloh mengatakan: 

"Hal yang mendukung ucapan Ibnul Mundzir tersebut, bahwasanya tidak apa-apa membawa penerangan (di malam hari) jika diperlukan ketika mengiring jenazah adalah apa yang telah dikeluarkan oleh Abu Dawud (no. 3162) pada Kitab Jenazah, bab Penguburan Pada Malam Hari dari hadits Jabir bin Abdillah rodhiyallohu 'anhu, beliau berkata: "Ketika itu orang-orang melihat api di kuburan, lalu mereka mendatanginya. Ternyata Rosululloh sholallohu 'alaihi wa sallam berada di liang kuburan dan beliau berkata:

ناولوني صاحبكم

"Berikan sini (jenazah) sahabat kalian!"

Ternyata dia adalah orang yang dulunya pernah mengangkat suaranya ketika berdzikir." 

(Sanadnya hasan; Jami'ul Adillah, hal. 261)

Demikian pula dilarang mengangkat suara dengan dzikir, istighfar, tahlil dan sebagainya di depan jenazah ketika mengikutinya, karena hal ini termasuk kebid'ahan.

Qois bin 'Ubad rohimahulloh berkata:

كان أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم يكرهون رفع الصوت عند الجنائز

"Dahulu para sahabat Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam membenci mengangkat suara ketika mengikuti jenazah." 

(HR. Baihaqi, diriwayatkan oleh para perowi yang terpercaya, sebagaimana dalam Ahkamul Jana'iz, hal. 71)

Hal itu termasuk perbuatan menyerupai Nashoro, karena mereka mengangkat suara dengan melantunkan injil-injil dan dzikir-dzikir mereka dengan suara sedih.

Imam An Nawawi rohimahulloh berkata dalam kitab Al Adzkar: 

"Ketahuilah bahwa yang benar dan dilakukan oleh salaf rodhiyallohu 'anhum adalah berdiam ketika mengikuti jenazah, tidak mengangkat suara dengan bacaan apapun, baik berupa dzikir maupun selainnya. Hikmahnya jelas, yaitu bahwasanya dengan demikian pikiran menjadi lebih tenang dan terfokus pada hal-hal yang berkaitan dengan jenazah dan itu sesuatu yang diperlukan ketika itu. Ini adalah yang haq, janganlah tertipu dengan banyaknya orang yang menyelisihinya.

Abu 'Ali Al Fudhoil bin 'Iyadz rohimahulloh mengatakan:

إلزم طرق الهدي ولا يضرك قلة السالكين، وإياك وطرق الضلالة ولا تغتر بكثرة الهالكين

"Tetapilah jalan-jalan hidayah, tidak merugikan kalian sedikitnya orang yang melaluinya. Hati-hatilah dari jalan-jalan kesesatan dan janganlah tertipu dengan banyaknya orang yang binasa."

Telah diriwayatkan kepada kami dalam Sunan Baihaqi apa yang sesuai dengan yang kukatakan (yaitu ucapan Qois bin 'Ubad di atas). Adapun apa yang dilakukan oleh orang-orang jahil di Damaskus dan selainnya berupa bacaan ketika mengikuti jenazah dengan suara panjang (dilantunkan) dengan mengeluarkan kalam dari tempatnya, maka itu adalah harom hukumnya menurut ijma' (kesepakatan) ulama."

Yang lebih buruk dari itu, jika diiringi dengan lantunan alat-alat musik di depan jenazah dengan nada-nada sedih, sebagaimana yang dilakukan di beberapa negeri Islam dalam rangka mengekor kaum kafir. Wallohul musta'an

(Ahkamul Jana'iz, hal. 71)

Hukum meletakkan jenazah di atas kendaraan

Adapun meletakkan jenazah di atas kendaraan -seperti kereta, mobil jenazah dan sebagainya- ketika mengantarkannya tanpa adanya udzur -seperti jarak kuburan yang terlalu jauh, adanya angin kencang, hujan deras, rasa rakut (tidak aman) dan sebagainya-, serta mengikutinya dalam kendaraan bersama dengan jenazahnya, maka yang seperti ini tidaklah sama sekali disyariatkan. 

(Miskul Khitam: 2/223)

Hal ini dikarenakan oleh beberapa hal:

Pertama: Hal itu termasuk perbuatan menyerupai adat kaum kafir dan kita tidak boleh untuk mengikutinya menurut syariat dan diperintahkan untuk menyelisihi mereka.

Kedua: Menaikkan jenazah di atas kendaraan tersebut merupakan kebid'ahan dalam ibadah, bersamaan dengan penyelisihannya terhadap sunnah amalan dalam mengusung jenazah.

Ketiga: Hal itu melalaikan atau melewatkan tujuan dan hikmah dari mengusung jenazah, yaitu dalam rangka mengingat akhirat, sebagaimana telah disabdakan oleh Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam dalam hadits tersebut di atas.

Merupakan sesuatu yang tidak samar lagi, bahwa dengan membawa jenazah di atas pundak-pundak dan disaksikan oleh orang-orang ketika berada di atas kepala-kepala mereka itu lebih mendorong kepada terwujudnya peringatan akan kematian daripada dengan meletakkannya di atas kendaraan. Tidaklah berlebihan jika dikatakan, bahwa sesungguhnya sesuatu yang mendorong kaum kafir untuk meletakkannya di atas kendaraan adalah rasa ketakutan mereka terhadap kematian dan hal-hal yang mengingatkan kepadanya, disebabkan kecintaan mereka terhadap dunia dan kufurnya mereka terhadap hari akhir. 

(Ahkamul Jana'iz, hal. 77)

Keempat: Hal itu merupakan penyebab yang kuat sedikitnya para pengiring jenazah dan lemahnya keinginan manusia untuk mendapatkan pahala yang besar, sebagaimana tersebut di atas, karena tidak semua orang mampu untuk menyewa kendaraan guna mengantar jenazah menuju pemakamannya.

Kelima: Bentuk pengantaran jenazah tersebut tidaklah sesuai dengan apa yang dikenal dalam syariat yang suci untuk menjauhkan diri dari upacara-upacara resmi, terutama berkaitan dengan perkara kematian seperti ini.

Hukum berdiri untuk jenazah

Berdiri untuk menyambut jenazah telah dihapus pensyariatannya. Sikap berdiri tersebut ada dua macam:

Pertama: Berdirinya seseorang yang pada mulanya duduk ketika lewatnya jenazah.

Kedua: Berdirinya pengiring jenazah ketika telah sampai di pemakaman dan tidak duduk sampai jenazah diletakkan di tanah.

Keduanya telah dihapuskan sunnahnya, berdasarkan hadits Ali rodhiyallohu 'anhu, bahwasanya beliau berkata:

قام رسول الله صلى الله عليه وسلم للجنازة فقمنا، ثم جلس فجلسنا

"Dahulunya Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam berdiri untuk jenazah, maka kami pun berdiri untuknya. Kemudian setelahnya beliau duduk (tidak berdiri untuk jenazah) dan kami pun ikut duduk." 

(HR. Muslim dan selainnya)

Dalam lafal lainnya beliau berkata:

كان يقوم في الجنائز، ثم جلس بعد

"Dahulu beliau shollallohu 'alaihi wa sallam berdiri untuk jenazah, kemudian setelah itu beliau duduk (tidak berdiri untuknya)." 

(HR. Abu Dawud dan selainnya)

Dalam riwayat lainnya, beliau berkata:

كان رسول الله صلى الله عليه وسلم أمرنا بالقيام في الجنازة، ثم جلس بعد ذلك، وأمرنا بالجلوس

"Dahulu Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk berdiri ketika ada jenazah. Kemudian beliau duduk setelah itu dan memerintahkan kami untuk duduk." 

(HR. Asy Syafi'i, Ahmad dan Ath Thohawi)

Dalam riwayat Ibnu Hibban dan Baihaqi, beliau berkata:

قام رسول الله صلى الله عليه وسلم مع الجنائز حتى توضع، وقام الناس معه، ثم قعد بعد ذلك، وأمر هم بالقعود

"Dahulu Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam berdiri bersamaan dengan jenazah sampai diletakkan dan manusia ikut berdiri bersama beliau. Kemudian beliau duduk setelah itu dan memerintahkan untuk duduk."

Dalam riwayat Isma'il bin Mas'ud bin Al Hakam Az Zuroqi dari ayahnya, bahwasanya dia berkata:

شهدت جنازة بالعراق، فرأيت رجالا قياما ينتظرون أن توضع، ورأيت علي بن أبي طالب رضي الله عنه يشير إليهم أن اجلسوا، فإن النبي صلى الله عليه وسلم قد أمرنا بالجلوس بعد القيام

"Ketika aku menyaksikan jenazah di Irak, aku melihat orang-orang berdiri menunggu jenazah itu diletakkan. Aku melihat Ali bin Abi Tholib rodhiyallohu 'anhu mengisyaratkan kepada mereka untuk duduk. Sesungguhnya Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam telah memerintahkan kita untuk duduk setelah sebelumnya berdiri." 

(HR. Ath Thohawi, dihasankan oleh Al Albani dalam Ahkamul Jana'iz, hal. 78)

Lafal hadits ini dan sebelumnya telah jelas menunjukkan bahwa berdiri untuk jenazah sampai diletakkan itu telah dihapus pensyariatannya dan sekarang menjadi sesuatu yang tidak disyariatkan untuk dilakukan kembali. 

(Ahkamul Jana'iz, hal. 78; Jami'ul Adillah, hal. 258; Mulakhosh, hal. 51-52)

Hukum mengirim atau memindahkan jenazah ke daerah atau negeri lain

Para ulama berbeda pendapat dalam masalah memindahkan atau mengangkut jenazah sebelum dikuburkan ke daerah atau negeri lain.

Pendapat pertama, bahwasanya hal itu makruh (pendapat 'Aisyah dengan sanad yang terdapat kelemahan di dalamnya, Al 'Auza'i, Ibnul Mundzir dan sebagian Syafi'iyah, juga pendapat Muhammad bin Hasan dari Hanafiyah jika jaraknya lebih dari satu atau dua mil) atau harom (pendapat An Nawawi dan sebagian Syafi'iyah). Mereka mengatakan bahwa syariat memerintahkan kita untuk mempercepat penguburan. Sedangkan memindahkan ke daerah lain dapat memperlambat proses tersebut dan manfaatnya tidak begitu besar, sehingga hukumnya makruh. Demikian juga memindahkannya ke daerah lain akan beresiko berubah atau rusaknya jasad mayit, sedangkan segera menguburkannya di tempat meninggalnya dapat terhindarkan dari hal itu dan juga memperkecil biayanya.

Pendapat kedua, bahwasanya hal itu boleh, akan tetapi harus terhindarkan dari kerusakan jasad mayit, mengandung kemaslahatan atau dengan tujuan yang dibenarkan (pendapat sebagian besar Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah). Sebagian Syafi'iyah membolehkan jika dipindah ke tempat yang lebih afdhol dan dekat, seperti dekat Mekkah, Madinah atau Baitul Maqdis. Menurut Malikiyah juga, dibolehkan jika untuk dikuburkan di dekat keluarga dan kerabatnya. Mereka mengatakan bahwa hukum asal memindahkan jenazah ke daerah lain itu tidak dilarang. Tidak ada dalil shohih yang melarang hal itu. 

(Fathul 'Allam: 2/334-335; Miskul Khitam: 2/224; Ahkamul Maqobir, hal. 246-250)

Kesimpulan dari masalah ini, bahwasanya hukum memindahkan jenazah untuk dikuburkan ke daerah lain tersebut sesuai dengan keadaan dan tempatnya. Hukumnya harom, jika hal itu menyebabkan rusak atau berubahnya jasad mayit, meskipun dia telah berwasiat untuk itu. Hukumnya wajib, jika pada kondisi darurat, seperti meninggal di daerah musuh dan kemungkinan untuk dirusak jasadnya oleh mereka. Hukumnya boleh, jika di sana terdapat tujuan yang dibenarkan dan adanya maslahat untuk itu serta tidak terjatuh pada hal terlarang dan tidak memberatkan yang hidup atau walinya. Sebaliknya, jika tidak ada hajah atau tujuan yang dibenarkan dan tidak adanya maslahat serta jika hal itu memberatkan bagi siapa yang mengurusinya, maka hendaknya dikuburkan dimana ia meninggal, tidak dibawa ke daerah lain, dikarenakan yang demikian itu akan menunda waktu proses penguburan jenazah yang hal ini bertentangan dengan perintah syariat untuk menyegerakan penguburan jenazah sebagaimana yang telah diterangkan di atas. Wallohu a'lam. 

(Miskul Khitam: 2/224; Ahkamul Maqobir, hal. 251)

Memindahkan jenazah muslim yang meninggal di negeri kafir untuk dikuburkan di negeri Islam diperbolehkan oleh para ulama. 

(Fatwa Lajnah Da'imah, pimpinan Syaikh Ibnu Bazz rohimahulloh: 8/451; Fathul 'Allam: 2/335)

Beberapa kebid'ahan ketika mengantar jenazah

Diantara kebid'ahan yang dijumpai ketika mengantarkan jenazah adalah sebagai berikut:

1- Mengantarkan jenazah ke tempat-tempat yang jauh sekali untuk dikuburkan di dekat kuburan orang sholeh seperti ahli bait dan sebagainya.

2- Membawa bendera-bendera atau payung di atas jenazah.

3- Meletakkan 'imamah dan sebagainya di atas kayu keranda dengan tujuan untuk menunjukkan kepribadian si mayit.

4- Membawa rangkaian bunga dan foto mayit di depan jenazahnya.

5- Menyembelih domba di bawah pintu rumah mayit ketika keluar menuju pemakaman dan keyakinan sebagian mereka bahwa jika tidak dilakukan, maka akan mati tiga orang dari ahli bait (keluarganya) menyusul si mayit.

6- Membawa roti (makanan) dan domba (kambing) di depan iringan jenazah dan menyembelihnya setelah pemakaman untuk disebarkan bersama rotinya.

7- Keyakinan sebagian orang bahwa jenazah yang sholeh itu akan terasa ringan dipikul dan cepat jalannya.

8- Mengkhususkan untuk bershodaqoh bersamaan dengan mengantar jenazah, diantaranya dengan membagi-bagikan minuman dan sebagainya di perjalanan.

9- Ketika memulai mengangkat jenazah, selalu mengangkatnya mulai dari sebelah kanannya dahulu.

10- Memikul jenazah dengan memulai melangkah sebanyak sepuluh langkah oleh setiap orang yang memikulnya pada sisinya yang empat. Mereka berdalil dengan hadits yang tidak shohih, bahkan lemah sekali atau palsu:

من حمل جنازة أربعين خطوة كفرت عنه أربعين كبيرة

"Siapa yang memikul jenazah sebanyak empat puluh langkah, maka akan diampuni dosanya sebanyak empat puluh dosa besar."

Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Bakar An Najad (Hasyiyah Syarhul Maniyyah: 1/833). Dalam sanadnya terdapat perowi bernama Ali bin Abi Saroh -dho'if- dan hadits ini termasuk riwayat yang diingkari darinya, sebagaimana kata Imam Adz Dzahabi. Syaikh Al Albani rohimahulloh memasukkan hadits ini ke dalam kumpulan hadits-hadits palsu yang terdapat dalam Al Jami'ush Shoghir. Bersamaan dengan itu, hadits ini tidaklah menunjukkan atas perbuatan kebid'ahan yang mereka adakan tersebut. 

(Ahkamul Jana'iz, hal. 249)

11- Memperlambat berjalan ketika mengantarkan jenazah.

12- Berkerumun dan berdesak-desakan di sekitar keranda. Akan tetapi hendaknya jika ada kesempatan untuk memikul, maka silahkan ia memikul dan jika tidak, maka tidak berdesakan dan menyakiti lainnya.

13- Tidak mau mendekati jenazah.

14- Berbuat gaduh dan tidak tenang ketika mengantar jenazah.

15- Mengeraskan dzikir, bacaan Al Quran atau syair-syair burdah dan sebagainya.

16- Berdzikir di belakang jenazah dengan lafdzul jalalah, burdah, dala'il ataupun asma'ul husna.

17- Mengucapkan di belakang jenazah: "Allohu akbar, Allohu akbar, asyhadu annalloha yuhyii wa yumiit, wa huwa hayyun laa yamuut, subhaana man ta'azzaza bil qudroh wal baqoo' wa qohril 'ibaad bil maut wal fanaa'." (Alloh maha besar, Alloh maha besar, akau bersaksi bahwa Alloh yang menghidupkan dan mematikan dan Dia maha hidup tidak mati, maha suci Dzat yang maha kuat dengan kekuasaan dan kekekalan serta mengalahkan para hamba dengan kematian dan kehancuran).

18- Berseru di belakang jenazah dengan mengucapkan: "Istaghfiruu lahuu, yaghfirullohu lakum," (Mintakan ampunan untuknya, maka Alloh akan mengampuni dosamu!) dan sebagainya.

19- Berseru dengan lafal, "Al Fatihah!" ketika melewati kuburan seorang yang sholeh dan juga ketika di perempatan, pertigaan atau persimpangan jalan.

20- Ucapan seseorang yang menyaksikan jenazah, "Alhamdulillahilladzii lam yaj'alnii minas sawaadil mukhtarom." (Segala puji bagi Alloh yang tidak menjadikanku termasuk orang yang binasa).

21- Keyakinan sebagian mereka bahwa jenazah yang sholeh akan berhenti di sisi kuburan seorang wali ketika melewatinya, meskipun tidak dikehendaki oleh para pengusungnya.

22- Ucapan ketika melihat jenazah, "Hadza maa wa'adanallohu wa rosuluhu, wa shodaqollohu wa rosuluhu, Allohumma zidnaa imaanan wa taslimaa." (Inilah yang telah Alloh dan Rosul-Nya janjikan dan benarlah Alloh dan Rosul-Nya, ya Alloh, tambahkanlah kepada kami keimanan dan penerimaan).

23- Mengikuti jenazah dengan membawa pembakaran dupa.

24- Thowaf (berjalan mengelilingkan) jenazah di sekeliling kuburan.

25- Mengelilingkan jenazah di ka'bah (thowaf) sebanyak tujuh kali.

26- Pengumuman akan adanya jenazah di pintu-pintu masjid.

27- Meratapi dan menyebut-nyebut kebaikan jenazah ketika mendatanginya di masjid sebelum menyolatinya atau setelahnya dan juga sebelum diangkat atau setelah pemakamannya di kuburan.

28- Selalu membawa jenazah di atas kendaraan dan mengiringnya dengan kendaraan-kendaraan.

29- Membawa sebagian jenazah di atas gerobak meriam. (Ahkamul Jana'iz, hal 248-251)

Demikianlah pembahasan hukum-hukum syariat Islam dalam mengusung dan mengantarkan jenazah. Insyaalloh akan diteruskan dengan pembahasan selanjutnya, yaitu tata cara sholat jenazah sesuai sunnah. Semoga dapat bermanfaat dan menjadi amalan sholeh bagi kita semuanya.

Wabillahit taufiq wal hidayah, wal hamdulillahi Robbil 'alamin.

Ditulis: Mushlih Abu Sholeh Al Madiuniy -waffaqohulloh- (21 Robi'ul Awwal 1436)

Maroji':
- Ahkamul Jana'iz wa Bida'uha, karya Imam Al Albani rohimahulloh, cet. 4 Maktabul Islami, 1406.
- Jami'ul Adillah wat Tarjihat fii Ahkamil Amwat, oleh Syaikh Yahya bin Ali Al Hajuri, cet. 1 Maktabah Shon'a Al Atsariyah, 1427.
- Mulakhosh Ahkamil Jana'iz, oleh Syaikh Abdulloh bin Ahmad Al Iryani, cet. 1 Darul Atsar, 1430.
- Jilbab Al Mar'ah Al Muslimah, karya Imam Al Albani rohimahulloh, cet. 3 Darus Salam, 1423.
- Fathul 'Allam fii Dirosati Ahadits Bulughil Marom, oleh Syaikh Muhammad bin Hizam Al Ba'dani, cet. 1 Dar Al 'Ashimah, 1434.
- Miskul Khitam Syarh 'Umdatil Ahkam, oleh Syaikh Zayid bin Hasan Al Wushobi, cet. 1 Maktabah Al Falah, 1434.
- Ahkamul Maqobir fi Asy Syari'ah Al Islamiyah, oleh Dr. Abdulloh bin Umar As Suhaibaniy, cet. 3 Dar Ibnul Jauzi, 1433.



🅹🅾🅸🅽 🅲🅷🅰🅽🅽🅴🅻 🆃🅴🅻🅴🅶🆁🅰🅼

Tidak ada komentar:

Posting Komentar