PENTINGNYA MEMPELAJARI AQIDAH YANG BENAR

 باسم الله
PENTINGNYA MEMPELAJARI AQIDAH YANG BENAR


Saudaraku kaum muslimin, berikut ini adalah pembahasan materi aqidah Islam secara sederhana yang dikemas dalam bentuk tanya jawab, agar lebih mudah untuk dipahami, khususnya oleh kebanyakan kaum muslimin yang baru semangat untuk mempelajari dasar-dasar pengetahuan tentang aqidah Islam yang benar. Insya Alloh pembahasan materi aqidah ini, akan kita bahas secara berkala dan berkesinambungan. Semoga Alloh Ta’ala senantiasa memudahkannya.

1. Tanya : “Apa yang dimaksud dengan aqidah itu ?”
Jawab :
Secara bahasa, aqidah diambil dari kata “aqd”, yang artinya ikatan. Sehingga kalau dikatakan : “Saya beri’tiqod begini”, maka maksudnya saya mengikatkan hati saya terhadap sesuatu tersebut. Jadi, aqidah itu adalah sesuatu yang berkaitan dengan keyakinan di hati seseorang. Dan aqidah itu termasuk amalan hati, yang berupa keyakinan dan pembenaran hati terhadap sesuatu.
Adapun aqidah dalam pengertian menurut syari’at, adalah keimanan terhadap pokok-pokok keyakinan agama Islam ini, yang berupa Rukun-Rukun Islam yang enam perkara itu. (lihat : Aqidatut Tauhid (hal. 8), karya Syaikh Sholih Al-Fauzan hafidzhohulloh)
2. Tanya : “Apa yang dimaksud dengan aqidah yang benar itu ?”
Jawab :
Aqidah yang benar itu adalah aqidah yang berisi ajakan/dakwah agar beribadah itu hanyalah kepada Alloh Ta’ala saja, dan memurnikan semua ibadah hanyalah untuk Alloh Subhanahu wa Ta’ala. Aqidah yang benar adalah juga aqidah yang murni dan bersih dari segala kotorannya, yaitu kesyirikan dan kekufuran. Aqidah seperti inilah inti dari dakwahnya seluruh Nabi dan Rosul (utusan) Alloh.
Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ فَمِنْهُمْ مَنْ هَدَى اللَّهُ وَمِنْهُمْ مَنْ حَقَّتْ عَلَيْهِ الضَّلالَةُ فَسِيرُوا فِي الأرْضِ فَانْظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِينَ (٣٦)
“Dan sungguh Kami telah mengutus pada tiap-tiap umat itu seorang Rosul (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut“. Maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu dimuka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul).” (QS An-Nahl : 36)
Alloh Ta’ala juga berfirman :
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لا إِلَهَ إِلا أَنَا فَاعْبُدُونِ (٢٥)
“Dan Kami tidak mengutus seorang Rasulpun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya: “Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku“. (QS Al-Anbiya’ : 25)
Alloh Ta’ala juga berfirman tentang dakwah para Rosul semuanya, yang mana mereka berkata kepada kaumnya :
يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ إِنِّي أَخَافُ عَلَيْكُمْ عَذَابَ يَوْمٍ عَظِيمٍ (٥٩)
“Wahai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tak ada sesembahan (yang benar) bagimu selain Dia.” Sesungguhnya (kalau kamu tidak menyembah Allah), aku takut kamu akan ditimpa azab hari yang besar (yakni kiamat).” (QS Al-A’rof : 59, 65, 73 dan 85)
Itulah dakwah dan ajakan segenap para Nabi dan Rosul kepada umat manusia, dan inilah aqidah yang benar. Disamping itu, aqidah yang benar merupakan pondasi agama seseorang, dan juga merupakan syarat sahnya (diterimanya) suatu amalan.
Sebagaimana dijelaskan dalam firman Alloh Ta’ala :
وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ (٦٥)
“Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu (wahai Nabi Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam) dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu : “Jika kamu mempersekutukan (Alloh), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.” (QS Az-Zumar : 65)
Alloh Ta’ala juga berfirman :
وَلَوْ أَشْرَكُوا لَحَبِطَ عَنْهُمْ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ (٨٨)
“Seandainya mereka mempersekutukan (Alloh), niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan.” (QS Al-An’am : 88)
Alloh ta’ala juga berfirman :
فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلا صَالِحًا وَلا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا (١١٠)
“Barangsiapa mengharapkan perjumpaan dengan Robb-nya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan dengan sesuatu apapun dalam beribadat kepada Robb-nya.” (QS Al-Kahfi : 110)
Ayat-ayat tersebut menunjukkan, aqidah yang benar (yang bersih dari kesyirikan), menentukan diterimanya suatu amalan. Sedangkan aqidah yang tidak benar/bathil (yakni yang dikotori oleh kesyirikan dan kekufuran), menjadikan amalan seseorang sia-sia dan tidak akan diterima oleh Alloh Ta’ala.
3. Tanya : “Apa sumber rujukan Aqidah yang benar itu ?”
Jawab :
Mengingat bahwa aqidah itu termasuk perkara Tauqifiyyah (yakni sesuatu yang tidak bisa ditetapkan kecuali dengan dalil-dalil syar’i), oleh karena itulah sumber-sumber rujukannya hanya terbatas kepada apa yang telah ditetapkan di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Jadi, apa yang ditetapkan oleh keduanya, maka kita wajib mengimaninya, meyakininya dan beramal dengannya. Sedangkan apa yang tidak ditetapkan oleh keduanya, maka kitapun tidak mengimaninya, dan hendaknya menafikannya (meniadakannya) dari Alloh Ta’ala.
Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
اتَّبِعُوا مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ وَلا تَتَّبِعُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ قَلِيلا مَا تَذَكَّرُونَ (٣)
“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Robb-mu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya).” (QS Al-A’rof : 3)
Alloh Ta’ala juga berfirman :
أَوَلَمْ يَكْفِهِمْ أَنَّا أَنْزَلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ يُتْلَى عَلَيْهِمْ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَرَحْمَةً وَذِكْرَى لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ (٥١)
“Apakah tidak cukup bagi mereka bahwasannya Kami telah menurunkan kepadamu Al-Kitab (yakni Al Quran) sedang dia dibacakan kepada mereka ?. Sesungguhnya di dalam (Al Quran) itu benar-benar terdapat rahmat yang besar dan pelajaran bagi orang-orang yang beriman.” (QS Al-Ankabut : 51)
Alloh Ta’ala juga menegaskan :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا (٥٩)
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia (hukumnya) kepada Allah (yakni kepada Al Quran) dan Rasul (yakni sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS An-Nisa’ : 59)
4. Tanya : “Bagaimana cara memahami dan mengamalkan Al-Qur’an dan As-Sunnah yang benar, agar bisa melahirkan pula aqidah yang benar ?”
Jawab :
Memahaminya dan mengamalkannya itu hendaknya sebagaimana apa yang dipahami dan diamalkan oleh para Salafus Sholih, yakni para pendahulu kita dalam beragama Islam ini, yang pada mereka terdapat kesholihan dan banyak keutamaannya.
Lalu, siapakah yang dimaksud dengan salafus Sholih itu ?
Lajnah Ad-Daimah (Lembaga Tetap untuk Urusan Fatwa Kerajaan Saudi Arabia) pernah ditanya tentang apa itu As-Salafiyyah, maka mereka menjelaskan sebagai berikut : “(Istilah) As-Salafiyyah, adalah nisbah (disandarkan) pada kata As-Salaf, mereka itu adalah para Sahabat Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam dan A’immatul Huda (para imam-iman kaum muslimin yang memberikan petunjuk dengan benar kepada umat manusia), mereka adalah yang termasuk orang-orang yang hidup pada masa generasi yang utama – semoga Alloh Ta’ala meridhoi mereka semuanya, yang mana Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam telah menyaksikan kebaikan/keutamaan mereka, sebagaimana dalam sabda beliau :
خير الناس قرني, ثم الذين يلونهم, ثم الذين يلونهم
“Sebaik-baik manusia adalah generasiku (yakni orang-orang yang hidup di jamanku), kemudian (generasi) setelah mereka, kemudian (generasi) setelah mereka….” (HR Imam Ahmad, Al-Bukhori dan Muslim)
(lihat : Fatawa Lajnah Ad-Daimah lil Buhuts Al-‘Ilmiyyah (2/165-166) no. 1361)
As-Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baaz rohimahulloh juga pernah menjelaskan : “Sesungguhnya As-Salaf itu adalah mereka yang hidup pada masa generasi yang utama….”
(lihat : Ta’liq As-Syaikh Hamd bin Abdil Muhsin At-Tuwaijiry pada kitab Al-Aqidah Al-Hamuwiyyah (hal. 203), lihat pula Irsyadul Bariyyah (hal. 17), karya As-Syaikh Abu Abdis Salam Hasan bin Qosim Ar-Roimy hafidzhohulloh)
Jadi, yang dimaksud dengan para Salafus Sholih disini adalah tiga generasi pertama dalam Islam, yakni :
Para Sahabat Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam, yakni orang-orang yang hidup sejaman dengan Nabi, bertemu dengan beliau, beriman terhadap agama yang beliau bawa, serta mati dalam keadaan mukmin.
Para Tabi’in, yaitu orang-orang yang “mengikuti” para Sahabat Rosululloh, yakni orang-orang yang hidup sejaman dengan sahabat, belajar dan mengambil agama ini dari mereka, dan mati dalam keadaan mukmin.
Para Tabi’ut Tabi’in, yakni orang-orang yang “mengikuti” para Tabi’in, yakni orang-orang yang hidup sejaman dengan Tabi’in, belajar dan mengambil agama ini dari mereka, dan mati dalam keadaan mukmin.
Lalu, apa kebaikan dan keutamaan mereka ?

Tentang hal ini, banyak dijelaskan oleh Alloh Ta’ala dalam Al-Qur’an, diantaranya :
1. Mereka adalah As-Sabiqunal Awwalun (orang-orang yang pertama kali dan terdepan dalam keimanan dan keislaman), dan mereka adalah orang-orang yang diridhoi oleh Alloh Ta’ala, sebagaimana dijekaskan dalam firman alloh Ta’ala :
وَالسَّابِقُونَ الأوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالأنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الأنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ (١٠٠)
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah, dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya, mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.” (QS At-Taubah : 100)
2. Jalan hidup mereka (dalam memahami dan Al-Qur’an dan As-Sunnah), adalah jalan yang paling layak untuk ditempuh generasi setelahnya. Siapa saja yang berpaling dari jalan yang mereka tempuh, pasti akan tersesat. Sebagaimana dijelaskan dalam firman-Nya :
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا (١١٥)
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu, dan Kami masukkan ia ke dalam jahannam, dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS An-Nisa’ 115)
3. Beriman seperti keimanan mereka, adalah jalan untuk mendapatkan hidayah dari Alloh Ta’ala, sedangkan enggan untuk beriman dengan keimanan mereka, akan menimbulkan perpecahan dan berbagai kesesatan. Sebagaimana diterangkan dalam firman-Nya :
فَإِنْ آمَنُوا بِمِثْلِ مَا آمَنْتُمْ بِهِ فَقَدِ اهْتَدَوْا وَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا هُمْ فِي شِقَاقٍ فَسَيَكْفِيكَهُمُ اللَّهُ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ (١٣٧)
“Maka jika mereka beriman kepada apa yang kamu telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk. Dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (dengan kamu). Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS Al-Baqoroh : 137)
4. Mengingat keutamaan mereka yang sangat banyak itulah, Alloh Ta’ala memerintahkan kita untuk mendoakan kebaikan pada mereka, dan tidak boleh memiliki kebencian sedikitpun di hati kita terhadap mereka. Sebagaimana hal itu dijelaskan dalam firman-Nya :
وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلإخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالإيمَانِ وَلا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ (١٠)
“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: “Ya Rabb Kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami. Dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (QS Al-Hasyr : 10)
Dan masih banyak dalil-dalil lainnya yang menjelaskan keutamaan mereka. (lihat Irsyadul Bariyyah, hal. 36-39)
Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam juga banyak memuji mereka, sebagaimana dalam sabda beliau : “Sebaik-baik manusia adalah generasiku (yakni orang-orang yang hidup di jamanku), kemudian (generasi) setelah mereka, kemudian (generasi) setelah mereka….” (HR Imam Ahmad, Al-Bukhori dan Muslim)
Mengingat keutamaan yang banyak seperti tersebut di atas dan masih banyak yang lainnya, tentunya sangat layak bagi kita untuk meneladani jalan hidup mereka, terutama ilmu dan pemahaman mereka, dan juga cara mereka dalam mengamalkan agama ini. Termasuk dalam hal ini cara dalam memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah, serta cara mengamalkannya.
Al-Imam Al-Auza’i rohimahulloh pernah mengatakan : “Wajib atas kalian untuk mengikuti jejak para ulama Salaf, meskipun (kebanyakan) manusia menjauhimu. Dan berhati-hatilah dari pendapat-pendapat akal manusia, meskipun mereka menghias-hiasi (memperindah) perkataannya terhadapmu.” (Syarh Aqidah At-Thohawiyyah, hal. 24)
Karena itu pula, Al-Imam Ibnu Katsir rohimahulloh, ketika menjelaskan dan menafsirkan firman Alloh Ta’ala dalam QS Al-Ahqof : 11, diantaranya beliau mengatakan : “Adapun Ahlus Sunnah wal Jama’ah, mereka mengatakan : “Setiap ucapan dan perbuatan (yang terkait dalam masalah ibadah, edt.) yang tidak tsabit dari para Sahabat rodhiyallohu ‘anhum, maka itu adalah bid’ah. Karena sesungguhnya, seandainya pada sesuatu itu (dalam masalah ibadah) ada kebaikan, tentu mereka akan mendahului kita (dalam mengamalkannya). Karena sesungguhnya mereka tidaklah meninggalkan satu pun perangai dari berbagai perangai kebaikan, kecuali mereka adalah orang-orang yang paling bersegera/paling cepat dalam melakukannya.” (Tafsir Al-Qur’anul Adzim, 4/200 )
Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqolani rohimahulloh menyatakan : “Maka kebahagiaanlah bagi orang yang berpegang teguh dengan apa yang ditempuh para ulama Salaf, dan menjauhi apa-apa yang diada-adakan/dibuat-buat oleh kholaf (orang-orang belakangan).” (Fathul Bari, 13/253)
As-Syaikh Al-‘Allamah Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rohimahulloh juga pernah menyatakan : “Jalan yang benar untuk menuju Islam adalah jalannya para Salaf, (yaitu) orang-orang yang beribadah kepada Alloh di atas bashiroh (ilmu dan hujjah yang kokoh), yang tidak ada di dalamnya jidal-nya (berdebatnya) orang-orang Mu’tazilah dan tidak ada ghuluw-nya (sikap berlebih-lebihan/melampaui batas) orang-orang Syi’ah dan Shufiyyah. Tetapi jalan mereka itu (hanyalah) Al-Qur’an dan As-Sunnah.” Lalu beliau membawakan dalil :
اتَّبِعُوا مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ وَلا تَتَّبِعُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ قَلِيلا مَا تَذَكَّرُونَ (٣)
“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Robb-mu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selainnya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya).” (QS Al-A’rof : 3) (lihat : Tuhfatul Mujib, hal. 217)
Demikianlah. Kesimpulannya, cara yang benar dalam memahami dan mengamalkan Al-Qur’an dan As-Sunnah, adalah dengan mengikuti cara para Salafus Sholih dalam memahami dan mengamalkan Al-Qur’an dan As-Sunnah tersebut.
Selama ini telah terbukti, jalan hidup yang mereka tempuh adalah jalan yang terbaik, baik dalam masalah aqidah, ibadah, akhlak, mu’amalah dan sebagainya. Maka meneladani jalan hidup mereka, adalah jalan keselamatan dari berbagai penyimpangan dan kesesatan.
Maka benar pula apa yang pernah disampaikan oleh seorang Sahabat Rosululloh yang mulia, yaitu Ibnu Mas’ud rodhiyallohu ‘anhu, beliau menyatakan : “Barangsiapa ingin mengambil sunnah/contoh/teladan, maka ambillah sunnah-nya orang yang telah mati (maksudnya adalah para sahabat Nabi, edt.). Karena sesungguhnya orang yang masih hidup itu tidaklah aman dari fitnah (ujian/cobaan, yang dengannya bisa saja seseorang menjadi menyimpang, edt.). Mereka itulah para Sahabat Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam (yang patut diteledani). Mereka adalah yang paling utamanya (afdhol-nya) umat ini, paling baik hatinya, paling dalam ilmunya, dan paling sedikit pembebanan dirinya (yakni tidak suka membebani diri/memberat-beratkan diri dengan sesuatu yang tidak ada asalnya dalam agama ini, edt.)…..” (Syarh Al-Aqidah Ath-Thohawiyyah, hal. 432) Wallohu a’lam bis showab.
(Penyusun : Abu Abdirrohman Yoyok WN Sby)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar