Sholatlah Kalian Menghadap Sutroh

 Bimbingan Rosululloh –Shollallohu’alaihi wa Sallam-

Untuk Sholat Menghadap Sutroh


Ditulis oleh:

Abu Zakaria Irham bin Ahmad Al-Jawiy

-Semoga Alloh mengampuni dosa-dosa dan kesalahannya-


[Purworejo, Jum’at, 21 Dzulqo’dah 1434]


بسم الله الرحمن الرحيم


إن الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا


من يهد الله فلا مضل له, ومن يضلل فلا هادي له، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له،


وأشهد أن محمدا عبده ورسوله. أما بعد:


 


Yang dimaksud dengan sutroh adalah sesuatu yang diletakkan atau dijadikan oleh seorang yang sholat di hadapannya untuk mencegah orang lain lewat melalui depannya. Hal itu bisa berupa tembok, tiang, tongkat, atau benda-benda lainnya yang memenuhi syarat untuk dijadikan sutroh.


Hukum meletakkan sutroh adalah wajib berdasarkan sabda Nabi –Shollallohu ‘alaihi wa sallam-:


لَا تُصَلِّ إِلَّا إِلَى سُتْرَةٍ، وَلاَ تَدَعْ أَحَدًا يَمُرُّ بَيْنَ يَدَيْكَ…..


“Janganlah kalian sholat kecuali menghadap ke sutroh, dan janganlah kau biarkan seorangpun lewat di depanmu ketika sholat. [HR. ibnu Huzaimah dengan sanad yang jayyid/ bagus dari ibnu umar]


Hal ini dikarenakan apabila seorang sedang sholat kemudian ada sesuatu lewat di depannya maka sholatnya bisa terputus, sebagaimana dijelaskan oleh Rosululloh –Shollallohu ‘alaihi wa sallam- dalam sabda beliau:


إِذَا قَامَ أَحَدُكُمْ يُصَلِّي، فَإِنَّهُ يَسْتُرُهُ إِذَا كَانَ بَيْنَ يَدَيْهِ مِثْلُ آخِرَةِ الرَّحْلِ، فَإِذَا لَمْ يَكُنْ بَيْنَ يَدَيْهِ مِثْلُ آخِرَةِ الرَّحْلِ، فَإِنَّهُ يَقْطَعُ صَلَاتَهُ الْحِمَارُ، وَالْمَرْأَةُ، وَالْكَلْبُ الْأَسْوَدُ


“Jika salah seorang diantara kalian sholat, sesungguhnya menghalanginya (dari terputus) jika ada di depannya semacam akhir pelana (yang dijadikan sutroh), apabila tidak ada ada di depannya semacam akhir pelana maka akan memutus sholatnya (jika lewat di depannya): keledai, perempuan, dan anjing hitam.” (HR Muslim: 510, dari abu Dzar)


Hadits di atas dengan jelas menunjukkan bahwa sholat akan terputus (batal) jika salah satu dari tiga hal yang disebutkan dalam hadits tersebut lewat di depan orang yang sholat tidak menghadap sutroh. Hal ini menunjukkan bahwa mengambil sutroh hukumnya wajib.


Oleh karena itulah Rosululloh –Shollallohu ‘alaihi wa sallam- senantiasa menancapkan tombak di depannya ketika ingin melakukan sholat, sebagaimana diriwayatkan oleh ibnu Umar:


أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا خَرَجَ يَوْمَ الْعِيدِ، أَمَرَ بِالْحَرْبَةِ فَتُوضَعُ بَيْنَ يَدَيْهِ، فَيُصَلِّي إِلَيْهَا. وَالنَّاسُ وَرَاءَهُ.


“Bahwasanya Rosululloh –Shollallohu ‘alaihi wa sallam- biasanya jika keluar untuk melaksanakan sholat ‘id memerintahkan untuk membawa semacam tombak sehingga ditancapkan di depan beliau dan beliau sholat menghadap kepadanya,dan manusia (sholat) di belakang beliau“. [HR. Al-Bukhory dan Muslim]


Telah berfatwa tentang wajibnya meletakkan sutroh bagi orang yang sholat: Ibnu ‘Awanah, Syaikh Al-Albany, dan Syaikh Muqbil –Rohimahumulloh- serta Syaikhuna Yahya Al-Hajury –Hafidhohulloh.


Adapun jumhur ulama (mayoritas ulama), mereka berpendapat bahwa hukum mengambil sutroh mustahab, tidak sampai derajat wajib; jika dilaksanakan maka mendapatkan pahala dan jika ditinggalkan tidak apa-apa. Mereka berdalil dengan beberapa hadits yang menunjukkan bahwa Nabi –Shollallahu ‘alaihi wa sallam- sholat tidak menghadap sutroh. Akan tetapi hadits-hadits yang mereka jadikan dasar semuanya dho’if. Memang ada satu hadits yang shohih, tetapi hadits tersebut tidak bisa menunjukkan maksud yang jelas dan tegas.


Hadits tersebut adalah hadits yang diriwayatkan oleh imam al Bukhory (493) yang berbunyi:


وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي بِالنَّاسِ بِمِنًى إِلَى غَيْرِ جِدَارٍ،


“Dan Rosululloh –Shollallahu ‘alaihi wa sallam- sholat mengimami manusia di mina tanpa meghadap ke tembok.”


Kami katakan bahwa hadits ini tidak jelas dan tegas untuk dijadikan dalil permasalahan karena pernyataan ibnu ‘Abbas bahwa Rosul –Shollallohu ‘alaihi wa sallam- tidak sholat menghadap tembok tidaklah menunjukkan bahwa beliau tidak menghadap pada sutroh yang lain selain tembok. Bahkan kemungkinan adanya sutroh selain tembok sangat besar, berdasarkan hadits-hadits yang lain. Dan merupakan kaidah ushul fiqih yang diakui bahwa jika ada dalam suatu dalil kemungkinan lain yang tidak bisa ditiadakan maka gugurlah pendalilan dengannya.


Jadi, pendapat jumhur yang menyatakan bahwa mengambil sutroh bagi orang yang sholat adalah sekedar mustahab pendapat yang lemah.


Wajibnya mengambil sesuatu sebagai sutroh ketika sholat ini berlaku di setiap tempat, baik itu di Makkah maupun yang lainnya, sebagaimana ditegaskan oleh imam Asy-Syafi’I, Ahmad, dan Al Bukhory. Sebab, tidak ada satu dalil pun yang shohih menjelaskan bahwa Makkah memiliki kekhususan dari sisi gugurnya kewajiban mengambil sutroh. Bahkan Rosululloh –Shollallahu ‘alaihi wa sallam- ketika haji Wada’ dan sholat di makkah, beliau tetap mengambil sebatang tombak sebagai sutroh beliau. [HR. Al-bukhory: 501 dari Abu juhaifah]


Seseorang yang sholat menghadap sutroh disunnahkan untuk mendekat kepada sutroh tersebut, sebagaimana disebutkan dalam hadits Sahl bin Abi Hatsmah bahwasanya Rosululloh bersabda:


إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ إِلَى سُتْرَةٍ فَلْيَدْنُ مِنْهَا، لَا يَقْطَعْ الشَّيْطَانُ عَلَيْهِ صَلَاتَهُ.


“Jika salah seorang kalian sholat menghadap ke sutroh maka hendaklah mendekat kepadanya, sehingga syaithon tidak bisa untuk memutus sholatnya”. [HR. Abu Dawud dengan sanad yang shohih, telah menshohihkannya Syaikh Al-Albany]


Berapa kadar kedekatan seorang yang sholat dengan sutrohnya?


Kadar kedekatan yang disunnahkan adalah sepanjang tiga dziro, jika diukur dari tempat berdiri. Hal ini sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhory (506) dari Bilal –Rodhiyallohu ‘anhu- bahwa Nabi -Shollallohu ‘alaihi wasallam- ketika masuk ke dalam Ka’bah dan sholat, menjadikan jarak antara diri beliau dengan tembok sepanjang tiga dziro’.


Dziro’ dihitung dari ujung jari tangan sampai siku.


Adapun jika diukur dari tempat sujud, maka jarak yang disunnahkan antara tempat sujud dan sutroh adalah selebar jalan untuk lewat kambing, sebagaimana ditegaskan dalam hadits yang diriwayatkan dari Sahl bin Sa’d –Rodhiyallohu ‘anhu- bahwa beliau berkata:


كَانَ بَيْنَ مُصَلَّى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَبَيْنَ الْجِدَارِ مَمَرُّ الشَّاة


“Antara tempat sholat Rosululloh -Shollallohu ‘alaihi wasallam- dan tembok adalah selebar jalan untuk lewat kambing.” [HR Al-Bukhory: 496, Muslim: 508]


Kadar tinggi dan lebarnya sutroh.


Imam Muslim meriwayatkan dari ‘Aisyah –Rodhiyallohu ‘anha- bahwa Rosululloh -Shollallohu ‘alaihi wasallam- pada peperangan Tabuk ditanya tentang sutroh orang yang sholat, maka beliau menjawab:


مِثْلُ مُؤْخِرَةِ الرَّحْل


“Semisal akhir dari pelana kendaraan (onta).” [HR. muslim: 500]


Imam Ibnu Qudamah -Rohimahulloh- mengatakan: “Yang jelas dari (hadits tersebut) bahwa (batasan semisal akhir pelana kendaraan) dalam rangka pendekatan saja, bukan dalam rangka penentuan batasan yang baku. Sebab, Rosululloh -Shollallohu ‘alaihi wasallam- memperkirakannya dengan akhir pelana, padahal akhir pelana itu berbeda-beda tinggi dan pendeknya. Terkadang setinggi satu dziro’, terkadang kurang. Oleh karena itu, apa saja yang (tingginya) mendekati satu dziro’ sah untuk dijadikan sutroh. Wallohu a’lam. [Al-Mughni: 3/82]


Syaikhuna Yahya Al-Hajury –Hafidzohulloh- menasehatkan agar sutroh itu tidak kurang dari dua pertiga dziro’, dan ini adalah batasan terpendek menurut beliau.


Adapun lebar sutroh, tidak ada dalil yang membatasinya. Selama benda tersebut bisa dilihat dengan jelas oleh orang yang lewat, sah untuk dijadikan sutroh. [al-Mughny: 3/83, fathul’allam: 1/612]


Apakah boleh menjadikan mushhaf atau kitab-kitab ilmiah sebagai sutroh?


Telah datang pada permasalahan ini sebuah atsar dari Ibrohim an-Nakho’iy Rohimahulloh bahwa beliau berkata:


كَانُوا يَكْرَهُونَ أَنْ يُصَلُّوا وَبَيْنَ أَيْدِيهِمْ شَيْءٌ حَتَّى الْمُصْحَفُ


“Dulu mereka membenci untuk sholat dan di depan mereka ada sesuatu, walaupun (sesuatu itu berupa) mushhaf.” [Diriwayatkan oleh abu Dawud dalam kitab Al-Mashohif dengan sanad shohih]


Akan tetapi atsar di atas tidaklah bisa dijadikan hujjah untuk mengatakan terlarangnya atau dibencinya perkara tersebut secara mutlak. Sebab Ibrohim An-Nakho’iy tidak bertemu dengan para Sahabat Rosululloh –Shollallohu ‘alaihi wa sallam-.


Oleh karena itu, permasalahan butuh perincian:


Apabila ketika kitab-kitab tersebut dijadikan sutroh menyebabkan terhinanya  dikarenakan orang-orang melangkahinya, atau jatuh, atau yang lainnya, maka yang demikian ini tidak boleh dilakukan.


Akan tetapi jika kitab-kitab tersebut aman, tidak jatuh, tidak pula dilangkahi, maka yang demikian ini boleh-boleh saja. Inilah perincian yang diberikan oleh Syaikhuna Muhammad Hizam –hafidzohulloh- sebagaimana kami dengar dalam pelajaran beliau.


Bagaimana dengan sandal?


Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin -Rohimahulloh- berkata: “Tidak diragukan bahwa sandal adalah benda yang mempunyai bentuk dan berukuran besar, tetapi saya memandang bahwa menjadikannya sebagai sutroh tidaklah pantas. Sebab, sandal itu secara adat adalah benda yang dianggap kotor, sehingga tidak pantas untuk berada di depanmu dalam keadaan kamu berdiri di hadapan Alloh ‘Azza wa Jalla. Oleh karena itu Nabi –Shollallohu ‘Alaihi wa sallam- melarang seorang yang sedang sholat untuk meludah ke arah depannya. Beliau menjelaskan sebab larangan tersebut dengan sabdanya:


فإن الله تعالى قبل وجهه


“Karena sesungguhnya Alloh di depannya.” [Majmu’ Fatawa wa Rasail: (13/ 325)]


Apabila seseorang tidak mendapatkan sutroh, apakah cukup dengan menjadikan garis atau ujung sajadah sebagai sutroh?


Dalam permasalahan ini telah datang sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Ibnu Majah dan yang lainnya, dari Abu Huroiroh bahwa Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa sallam- bersabda:


إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ، فَلْيَجْعَلْ تِلْقَاءَ وَجْهِهِ شَيْئًا، فَإِنْ لَمْ يَجِدْ شَيْئًا، فَلْيَنْصِبْ عَصًا، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ مَعَهُ عَصًا، فَلْيَخُطَّ خَطًّا، وَلَا يَضُرُّهُ مَا مَرَّ بَيْنَ يَدَيْهِ.


“Jika salah seorang dari kalian sholat, maka letakkanlah di depannya sesuatu. Apabila tidak mendapatkannya, maka tegakkanlah sebuah tongkat. Apabila tidak ada tongkat bersamanya, maka garislah sebuah garis, dan tidak memadhorotkannya (setelah itu) apa-apa yang lewat di depannya.”


Hadits ini, seandainya saja shohih, tentu merupakan nash dalam permasalahan yang tidak boleh kita selisihi. Akan tetapi hadits tersebut dhoif, karena riwayatnya berporos pada Ismail bin Umayyah yang telah goncang dalam meriwayatkan. Ditambah lagi dengan keadaan Syaikhnya yang majhul (tidak dikenal). Kalau saja selamat dari kegoncangan, maka keberadaan perowi yang majhul ini cukup untuk menjadikan hadits dho’if. Oleh karena itu, perkataan Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam kitabnya “Bulughul Marom” bahwa hadits tersebut hasan tidaklah bisa diterima.


Imam An-Nawawy berkata: “Para huffadz mengatakan: Hadits tersebut dho’if karena kegoncangan yang ada padanya. Diantara yang men-dho’ifkan adalah: Sufyan bin ‘uyainah –sebagaimana dihikayatkan oleh abu Dawud-. Juga telah memberikan isyarat tentang kedho’ifannya: Asy-Syafi’iy dan Al-Baihaqy. Bahkan yang lainnya dengan tegas menyatakan bahwa hadits tersebut dho’if.” [Al-Khulashoh: 1/520]


Setelah kita ketahui kedhoifan hadits ini, jelaslah bagi kita bahwa garis tidaklah sah untuk dijadikan sebagai sutroh karena tidak memenuhi kriteria yang Rosululloh -Shollallohu ‘alaihi wasallam- berikan dalam sabdanya:


مِثْلُ مُؤْخِرَةِ الرَّحْل


“Semisal akhir dari pelana tunggangan (onta).” [HR. muslim: 500].


Telah menyatakan ketidaksahan garis sebagai sutroh: Imam Malik, Asy-Syafi’I, Abu Hanifah, Al-Laits, Ibnu ‘Uyainah, dan yang lainnya.


Fatwa inilah yang dipilih oleh Syaikhuna Yahya Al-Hajury dan Syaikhuna Muhammad bin Hizam –Hafidzohumalloh-. [Fathul ‘Allam: 1/624]


Sutroh imam adalah sutroh bagi orang yang bermakmum kepadanya.


Maksudnya, ketika sholat berjamaah cukup imam yang sholat menghadap sutroh. Adapun para makmum tidak disyareatkan kepada mereka untuk mengambil sutroh sendiri-sendiri. Hal ini dikarenakan Rosululloh –Shollallohu ‘Alaihi wa sallam- ketika mengimami para sahabat tidak memerintahkan kepada mereka agar masing-masing makmum sholat menghadap sutroh.


Juga telah diriwayatkan oleh imam Al-Bukhory dan Muslim bahwa ketika para sahabat sholat di belakang Rosululloh –Shollallohu ‘Alaihi wa sallam- di Mina, datanglah Ibnu abbas mengendarai keledai dan lewat di depan shof para shohabat. Dalam kondisi demikian, tidak ada satupun dari sahabat yang menegurnya. Hal ini menunjukkan bahwa lewatnya seseorang di depan shof para makmum tidak memutuskan sholat, sebab sutroh para makmum telah dicukupkan dengan sutroh imam.


Oleh karena itu, ketika ada sesuatu yang memutuskan sholat lewat diantara imam dan sutrohnya, batallah sholat imam, demikian pula sholat para makmum. [al-mughny: 3/81]


Bagaimana dengan makmum yang masbuq?


Selama makmum sholat bersama imam, maka hukumnya seperti yang telah dijelaskan di atas. Akan tetapi ketika imam menyelesaikan sholatnya dan si makmum yang masbuq tadi berdiri menyempurnakan rokaat yang tertinggal, diwajibkan baginya untuk mencari sutroh. Sebab saat itu dia adalah seorang yang sholat sendiri (munfarid) sehingga terkena kewajiban untuk sholat menghadap sutroh.


Pada keadaan seperti ini, dia bisa menjadikan orang yang di depannya sebagai sutroh, atau mendekat ke dinding, atau perkara-perkara lainnya yang bisa dia lakukan. Namun disyaratkan bahwa hal-hal tersebut tidak mengeluarkannya dari bentuk sholat. Dalam artian; gerakan yang dilakukan tidak terlalu banyak sehingga orang yang melihatnya tidak menyangka bahwa dia bukan orang yang sholat ketika melakukan gerakan-gerakan tersebut.


Apabila syarat ini tidak bisa terpenuhi maka orang tersebut tetap saja di tempatnya dengan berusaha semampunya untuk mencegah orang lewat di depannya. Alloh Ta’ala telah berfirman:


فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ


“Bertaqwalah kepada Alloh sebatas kemampuan kalian.” [At-Taghobun: 16]


Untuk mengatasi hal yang seperti ini, diperbolehkan bagi seorang makmum masbuq untuk menyiapkan sutrohnya sebelum masuk sholat sehingga ketika imam telah salam dia bisa dengan tenang melanjutkan sholatnya. Demikian fatwa Syaikhuna Yahya Al-Hajury –hafidzohulloh- sebagaimana kami dengar dalam pelajaran-pelajaran beliau.


Apa yang dilakukan oleh seorang yang sedang sholat ketika ada sesuatu hendak lewat di depannya (antara dia dan sutroh)?


Rosululloh –Shollallohu ‘Alaihi wa sallam- telah bersabda:


إِذَا كَانَ أَحَدُكُمْ يُصَلِّي فَلَا يَدَعْ أَحَدًا يَمُرُّ بَيْنَ يَدَيْهِ وَلْيَدْرَأْهُ مَا اسْتَطَاعَ، فَإِنْ أَبَى فَلْيُقَاتِلْهُ، فَإِنَّمَا هُوَ شَيْطَانٌ


“Jika salah seorang dari kalian sholat, jangan biarkan seorangpun lewat di depannya, hendaknya dia menahan (orang yang mau lewat tersebut) semampu mungkin,  jika dia enggan (tetap ingin lewat) maka perangilah, karena sesungguhnya (sedang bersamanya) syaithon.” [HR. Bukhory dan Muslim, dari Abu Sa’id]


Hadits di atas dengan jelas menunjukkan wajibnya seorang yang sholat untuk menahan orang yang hendak lewat di depannya. Tentunya, usaha untuk menahan tersebut dilakukan secara bertahap; jika cukup dengan kelembutan, maka tidak perlu dilakukan kekerasan.


Usaha untuk menahan sesuatu lewat di depan orang yang sholat mencakup juga anak kecil bahkan binatang. Hal ini ditunjukkan oleh hadits yang diriwayatkan oleh al-Hakim dari Ibnu ‘Abbas dengan sanad yang shohih bahwasanya seekor kambing hendak lewat di depan Rosululloh –Shollallohu ‘Alaihi wa sallam- (dan beliau saat itu sedang sholat) maka beliau cepat-cepat bergerak ke depan sampai-sampai perut beliau menempel ke tembok, sehingga kambing itupun lewat di belakang beliau.


Para ulama berdalil dengan hadits di atas bahwa binatangpun ditahan ketika hendak lewat. Apabila tidak memungkinkan, maka lakukanlah sebagaimana yang Rosululloh –Shollallohu ‘Alaihi wa sallam- lakukan, yaitu dengan maju ke depan sehingga binatang tersebut lewat di belakangnya.


Dosa orang yang lewat di depan orang lain yang sedang sholat.


Dipahami dari pembahasan di atas bahwa lewat di depan orang yang sholat adalah perbuatan yang sangat terlarang. Bahkan telah datang dalil khusus yang menunjukkan besarnya dosa lewat depan orang yang sedang sholat.


Imam al-Bukhory dan Muslim meriwayatkan dari Abu Juhaim ibnil Harits bahwa Rosululloh –Shollallohu ‘Alaihi wa sallam- bersabda:


لَوْ يَعْلَمُ المَارُّ بَيْنَ يَدَيِ المُصَلِّي مَاذَا عَلَيْهِ، لَكَانَ أَنْ يَقِفَ أَرْبَعِينَ خَيْرًا لَهُ مِنْ أَنْ يَمُرَّ بَيْنَ يَدَيْهِ


“Seandainya saja orang yang lewat di depan orang yang sholat tahu dosa yang ditanggungnya, maka dia berhenti (menunggu) selama empat puluh lebih baik daripada lewat di depannya.”


Abu Nadhr setelah meriwayatkan hadits ini berkata: “Aku tidak tahu apakah beliau berkata: Empat puluh hari, atau empat puluh bulan, atau empat puluh tahun.”


Imam Ibnu Hazm berkata: “Para ulama telah sepakat akan haramnya lewat diantara orang yang sholat dan sutrohnya, dan sepakat bahwa orang yang melakukannya telah berdosa.” [Marotiibul Ijma’: 35]


Akibat lewatnya seseorang atau binatang di depan orang yang sholat.


Lewatnya hal-hal ini di depan orang yang sholat berdampak pada sholat orang yang dilewati tersebut. Tidaklah Rosululloh –Shollallohu ‘Alaihi wa sallam- memerintahkan orang yang sholat untuk menahan sebisa mungkin orang yang mau lewat di depannya, demikian pula melarang seseorang untuk lewat di depan orang yang sholat kecuali karena adanya dampak yang besar padanya.


Dampak tersebut bisa berupa berkurangnya kesempurnaan sholat yang dilakukan, atau bahkan bisa sampai batal secara keseluruhan.


Telah berlalu di awal pembahasan penyebutan hadits yang diriwayatkan dari Abu Dzar, bahwa Rosululloh –Shollallohu ‘Alaihi wa sallam- telah bersabda:


فَإِذَا لَمْ يَكُنْ بَيْنَ يَدَيْهِ مِثْلُ آخِرَةِ الرَّحْلِ، فَإِنَّهُ يَقْطَعُ صَلَاتَهُ الْحِمَارُ، وَالْمَرْأَةُ، وَالْكَلْبُ الْأَسْوَدُ


“Apabila tidak ada ada di depannya semacam akhir pelana (sebagai sutroh) maka akan memutus sholatnya (jika lewat di depannya): keledai, Al mar-ah (perempuan yang sudah baligh), dan anjing hitam.” (HR Muslim: 510, dari abu Dzar)


Hadits ini dengan jelas menyatakan bahwa sholat akan terputus (batal) apabila salah satu dari ketiga hal tersebut lewat di depan orang yang sholat tidak menghadap sutroh, atau orang tersebut telah menghadap ke sutrah tapi hal-hal tadi lewat di antara dirinya dan sutroh.


Telah berfatwa tentang batalnya sholat jika terjadi perkara yang demikian ini: Anas bin Malik, Ibnu Umar, dan diikuti oleh: ‘Atho’, Al-Hasan Al-Bashry, Ahmad, dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah serta Ibnul Qoyyim dan ulama-ulama lainnya. [Al-Ausath: 5/100-, Fathul ‘Allam: 1/618]


Perlu ditekankan di sini, bahwa anak-anak perempuan yang belum baligh tidaklah membatalkan sholat jika lewat, walaupun hal tersebut tetap berdampak bagi kesempurnaan sholat orang yang dilewati. Sebab kata-kata Al Mar-ah tidaklah dipakai dalam bahasa arab kecuali bagi perempuan yang telah baligh.


Apakah jika perempuan baligh lewat di depan perempuan lain yang sedang sholat juga membatalkan sholatnya?


Sebagian ulama menyatakan bahwa sholat tetap sah. Mereka berdalil dengan qiyas; sebagaimana laki-laki ketika lewat di depan laki-laki yang sedang sholat tidak membatalkan sholatnya, demikian pula seorang perempuan ketika lewat depan perempuan lain yang sedang sholat.


Akan tetapi, qiyas ini tidaklah bisa diterima karena berbenturan dengan konteks hadits. Rosululloh –Shollallohu ‘Alaihi wa sallam- telah mengatakan bahwa seorang perempuan baligh jika lewat depan orang sholat maka sholatnya terputus. Hal ini mencakup baik yang sholat itu laki-laki atau perempuan.


Kalau qiyas dalam permasalahan ini dibenarkan maka seharusnya juga dikatakan bahwa seorang laki-laki jika lewat di depan perempuan yang sedang sholat maka batallah sholatnya. Dan kami belum mendapati seorang ulamapun yang berpendapat seperti ini.


Dengan demikian, kita ketahui bahwa yang benar dalam permasalahan ini adalah pendapat yang menyatakan batalnya sholat ketika perempuan baligh lewat di depan perempuan lain yang sedang sholat. Telah berfatwa dengannya: Asy Syaikh Ibnu Baz dan Al-’Utsaimin –Rohimahumalloh- serta Syikhuna Muhammad Hizam –Hafidzohulloh-. [Fatawa Ibnu Baz: 11/ 90, Fatawa ‘Utsaimin: 13/318]


Inilah pembahasan yang bisa kami uraikan seputar permasalahan sutroh, semoga bisa memberikan manfaat bagi kita semua, teriring doa semoga Alloh memberikan hidayah-Nya kepada saudara-saudara kita kaum muslimin untuk kembali kepada agamanya dan tunduk kepada syareat yang telah ditetapkan oleh Alloh Pencipta semesta.


 


سبحانك اللهم وبحمدك لا إله إلا أنت أستغفرك وأتوب إليك

Tidak ada komentar:

Posting Komentar