Tampilkan postingan dengan label Tanya Jawab. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tanya Jawab. Tampilkan semua postingan

TIDAK BOLEH MENGAMBIL BARANG TEMUAN DI HARAM MAKKI DAN HARAM MADANI KECUALI BAGI ORANG YANG INGIN MENGUMUMKAN NYA, BERDASARKAN HADITS SHAHIH TENTANG ITU

Assalammualaikum ya ustadz hafizakAllah 

HayyakAllah
Mohon pencerahan nya ustadz, ketika check out dari hotel di makkah zaujah ana ada menjumpai sebotol minyak wangi kuantiti kecil dalam timbunan bag, di kiranya para jamaah yg punya setelah di tanyakan tiada siapa yg punya hinggalah di bawa ke madinah, setahu ana kita tidak boleh mengambil barangan temuan di tanah haram, jadi apa perlu ana lakukan Syaikh, hantar semula ke makkah atau tinggalkan saja di madinah?

Mohon faedahnya ustadz hafizhakALLAHu 

JazakAllahu khair wa BarakAllahu fiiq ya ustadz hafizakAllah


*JAWABAN :*

بسم الله الرحمن الرحيم

وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وبعد:

Tidak boleh mengambil barang temuan di haram makki dan haram madani kecuali bagi orang yang ingin mengumumkan nya, berdasarkan hadits shahih tentang itu. 

Nabi ﷺ berkata:

وَلَا تُلْتَقَطُ سَاقِطَتُهَا إِلَّا لِمُنْشِدٍ

barang temuannya tidak boleh diambil kecuali untuk diumumkan / dicari pemiliknya. 

HR. Al Bukhari dan Muslim

Yang wajib bagi orang yang menemukan barang temuan adalah

• mengumumkan nya, 
• atau ia biarkan / tidak mengambilnya

•• Dan sekiranya ia serahkan kepada badan/pihak/lembaga yang ditugaskan oleh pemerintah dalam urusan itu maka gugur tanggungjawab/kewajibannya untuk mengumumkan nya. 

Barakallahu fiikum


✍️ *Faedah dari Al Ustadz Abu Ubaiyd Fadhliy Al Bughisi حفظه الله تعالى di Majmu'ah روضة الطالبين منكوتانا*


╭─┅─═ঊঊঈ═─┅─╮
       SEBARKANLAH
       ENGKAU AKAN
       MENDAPATKAN
           PAHALANYA
╰─┅─═ঊঊঈ═─┅─╯

🅹🅾🅸🅽 🅲🅷🅰🅽🅽🅴🅻 🆃🅴🅻🅴🅶🆁🅰🅼
📡 https://t.me/fawaaidassunnah

Web : https://bit.ly/Fawaaidassunnah



#faedah #barang #temuan

Anak Perempuan Istri Yang bukan dari Benih Kita Adalah Mahram Bagi Kita

Ditulis dan diterjemahkan Oleh:
Abu Fairuz Abdurrohman bin Soekojo Al JawiyAl Indonesiy –semoga Alloh memaafkannya-

بسم الله الرحمن الرحيم
Pembukaan

 :الحمد لله وأشهد أن لا إله إلا الله وأن محمدا عبده ورسوله صلى الله عليه وعلى آله وسلم أما بعد

Telah datang surat dari seorang ikhwah yang berisi pertanyaan kepada saya sebagai berikut: seseorang menikah dengan seorang wanita selama beberapa tahun, dan tidak dikaruniai anak. Lalu mereka bercerai. Kemudian wanita ini menikah lagi dengan pria lain, lalu mereka dikaruniai anak gadis. Maka apakah gadis ini mahrom bagi pria pertama?

Jawaban dengan mohon pertolongan pada Alloh: ketentuan dasar di kalangan ulama :

الدخول على الأمهات تحرم البنات البتة

Masuknya seorang pria ke seorang wanita (sudah menggaulinya) itu menyebabkan anak perempuan dari wanita itu mahrom untuk pria itu selamanya.

Dalilnya adalah firman Alloh ta’ala:

{ حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ –إلى قوله:- وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ} [النساء: 23]

“Diharomkan terhadap kalian ibu-ibu kalian, anak-anak perempuan kalian, -sampai firman Alloh:- dan anak-anak perempuan yang ada di rumah-rumah kalian dari istri-istri kalian yang kalian telah menggaulinya (menggauli istri kalian)…” (QS. An Nisa: 23).

Ini dalil yang jelas bahwasanya anak perempuan istri kita yang bukan hasil dari benih kita adalah mahrom bagi kita.
Tapi ayat tersebut menyebutkan “dan anak-anak perempuan yang ada di rumah-rumah kalian” maka bagaimana jika anak perempuan tadi tidak diasuh di rumah kita? Jawabnya adalah: sama saja, karena ayat tadi bukan mendatangkan pembatasan, hanya saja menjelaskan kondisi kebanyakan yang terjadi di adat kebiasaan mereka.

Al Imam Muhammad Asy Syinqithiy rohimahulloh berkata: Dan telah tetap di dalam prinsip fiqh: bahwasanya suatu nash jika berjalan di atas kondisi kebanyakan orang, maka nash tadi tidak punya makna kebalikan, karena bisa jadi yang diinginkan dari nash tadi adalah kondisi kebanyakan tadi, bukan bermaksud mengeluarkan makna kebalikan tadi dari hukum yang tertulis. Oleh karena itulah maka mayoritas ulama tidak menganggap berlakunya makna kebalikan dalam firman Alloh ta’ala:

{ وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ } [النساء: 23]

“Dan anak-anak perempuan yang ada di rumah-rumah kalian” (QS. An Nisa: 23).

Karena ayat tadi berjalan di atas keumuman adat masyarakat. (selesai dari “Adhwaul Bayan”/3/hal. 98).

Al Imam Abdurrohman Al Sa’diy rohimahulloh berkata: “Robibah adalah anak wanita dari sang istri sekalipun dia turun (yaitu: anaknya, cucunya, anak dari cucunya, dan seterusnya). Maka robibah itu tidak jadi mahrom sampai si pria tadi menggauli istrinya (ibu si Robibah), sebagaimana Alloh berfirman di sini:

{وَرَبَائِبُكُمُ اللاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ} الآية

“Diharomkan terhadap kalian … dan anak-anak perempuan yang ada di rumah-rumah kalian dari istri-istri kalian yang kalian telah menggaulinya (menggauli istri kalian)…”

Mayoritas ulama berkata: “Sesungguhnya firman-Nya: “yang ada di rumah-rumah kalian” adalah ikatan yang mengikuti kebiasaan umum, tidak punya kebalikan makna, karena sesungguhnya robibah itu harom dinikahi suami ibu sekalipun si robibah tadi tidak tumbuh di rumah pria tadi.
Akan tetapi pengait tadi punya dua faidah:

Yang pertama: di dalamnya ada peringatan akan hikmah diharomkannya robibah untuk dia nikahi, karena robibah tadi adalah bagaikan anak perempuan si pria tadi. Maka sikap membolehkan untuk menikahinya adalah amat buruk.

Yang kedua: di dalamnya ada penunjukan tentang bolehnya khulwah (bersepi-sepi) dengan robibah, karena dia itu bagaikan wanita yang tumbuh di rumah si pria tadi dari kalangan anak-anak perempuannya sendiri dan semisal mereka. Wallohu a’lam.” (selesai dari “Taisirul Karimir Rohman”/hal. 173).

Dan saya telah menanyakan masalah ini pada Fadhilatu Syaikhina Aba Abdirrohman Abdurroqib Al Kaukabaniy hafizhohulloh, maka beliau menulis jawaban sebagai berikut: “Ketentuan yang telah disepakati adalah bahwasanya menggauli sang ibu itu menyebabkan sang anak wanita diharomkan untuk dinikahi oleh sang suami ibu. Maka kemahroman itu telah tetap. Dan bisa jadi penamaan anak wanita tadi sebagai Robibah sebagai perluasan dalam ungkapan, karena pria tadi telah menikahi ibu si anak wanita tadi sebelum anak tadi diciptakan.” Selesai.

والله أعلم بالصواب. والحمد لله رب العالمين

Shon’a 8 Jumadats Tsaniyah14360 

sumber: https://thaifahalmanshurah.wordpress.com/

╭─┅─═ঊঊঈ═─┅─╮ 

       SEBARKANLAH 
       ENGKAU AKAN 
       MENDAPATKAN 
           PAHALANYA 
╰─┅─═ঊঊঈ═─┅─╯ 

 🅹🅾🅸🅽 🅲🅷🅰🅽🅽🅴🅻 🆃🅴🅻🅴🅶🆁🅰🅼 


Mahkota Keagungan Bagi Penghapal Kalamurrohman

Ditulis dan Diterjemahkan Oleh: Abu Fairuz Abdurrahman bin Soekojo Al Jawiy Al Indonesiy عفا الله عنه

بسم الله الرحمن الرحيم

:الحمد لله وأشهد أن لا إله إلا الله وأه محمدا عبده ورسوله، اللهم صل وسلم على محمد وعلى آله أجمعين، وأما بعد

      Telah datang pertanyaan dari seorang saudara yang mulia hafizhohulloh: Bagaimana tingkatan hadits bahwasanya orang tua dari anak penghapal Al Qur’an akan dipakaikan mahkota di surga dan keluarganya sebanyak tujuh turunan akan dijauhkan dari api neraka? Bagaimana dengan orang tua yang anak-anaknya penghapal Al Qur’an akan tetapi dia ahlul bid’ah atau bahkan sampai pelaku kesyirikan?

Maka dengan memohon pertolongan pada Alloh, saya jawab sebagai berikut: Hadits tersebut datang dari Buroidah ibnul Hushoib rodhiyallohu ‘anh: Diriwayatkan oleh Al Imam Ahmad ibnu Hanbal dalam Musnad beliau (22950) dan Ibnu Abi Syaibah dalam Mushonnaf beliau (30045) dan Ad Darimiy dalam Sunan beliau (3434) dan yang lainnya yang berkata: haddatsana Abu Nu’aim: haddatsana Busyair ibnul Muhajir: haddatsani Abdulloh bin Buroidah, ‘an abihi yang berkata:

كنت جالسا عند النبي صلى الله عليه وسلم فسمعته يقول: «تعلموا سورة البقرة؛ فإن أخذها بركة وتركها حسرة، ولا يستطيعها البطلة». قال: ثم سكت ساعة، ثم قال: «تعلموا سورة البقرة، وآل عمران؛ فإنهما الزهراوان يظلان صاحبهما يوم القيامة كأنهما غمامتان أو غيايتان أو فرقان من طير صواف، وإن القرآن يلقى صاحبه يوم القيامة حين ينشق عنه قبره كالرجل الشاحب. فيقول له: هل تعرفني؟ فيقول: ما أعرفك فيقول: أنا صاحبك القرآن الذي أظمأتك في الهواجر وأسهرت ليلك، وإن كل تاجر من وراء تجارته، وإنك اليوم من وراء كل تجارة فيعطى الملك بيمينه، والخلد بشماله، ويوضع على رأسه تاج الوقار، ويكسى والداه حلتين لا يقوم لهما أهل الدنيا فيقولان: بم كسينا هذا ؟ فيقال: بأخذ ولدكما القرآن. ثم يقال له: اقرأ واصعد في درج الجنة وغرفها، فهو في صعود ما دام يقرأ، هذا كان، أو ترتيلاً».

“Saya pernah duduk di sisi Nabi shollallohu ‘alaihi waalihi wasallam, lalu saya mendengar beliau bersabda: “Pelajarilah surat Al Baqoroh, karena mengambilnya adalah barokah, meninggalkannya adalah menjadi penyesalan, dan hal itu tidak bisa dilakukan oleh batholah (para penyihir).” Lalu beliau diam sesaat. Kemudian beliau bersabda: “Pelajarilah surat Al Baqoroh dan Ali Imron, karena keduanya adalah bagaikan dua bunga yang menaungi penghapalnya di hari Kiamat, seakan-akan keduanya adalah dua awan atau dua kelompok burung yang tengah berbaris. Dan sesungguhnya Al Qur’an itu akan menjumpai penghapalnya para hari Kiamat ketika kuburannya terbelah untuknya, bagaikan orang tadi pucat ketakutan. Maka Al Qur’an berkata padanya: “Apakah engkau tahu siapa aku?” Dia berkata: Aku tidak mengenalmu.” Maka dia berkata: “Aku adalah sahabatmu, Al Qur’an, yang membikin engkau dahaga di siang hari, dan membikin engkau tidak tidur di malam hari. Dan sesungguhnya setiap pedagang ada di belakang dagangannya. Dan sesungguhnya engkau pada hari ini ada di belakang seluruh jenis dagangan.” Maka dia diberi kekuasaan di tangan kanannya, diberi kekekalan di tangan kirinya, dan diletakkan di atas kepalanya makota keagungan/kewibawaan. Dan kedua orang tuanya diberi dua pasang pakaian yang tidak sanggup dipikul oleh seluruh penduduk dunia. Maka keduanya bertanya: “Dengan sebab apa kami diberi pakaian dengan ini?” Dijawab: “Dengan sebab anakmu mengambil (menghapal) Al Qur’an.” Lalu dikatakan padanya (sang anak): “Bacalah, dan naiklah ke tingkatan-tingkatan Jannah dan kamar-kamarnya.” Maka dia terus-menerus naik selama dia membaca Al Qur’an dengan cepat ataupun dengan pelan-pelan.” 

Para perowi hadits ini tsiqot dan terkenal, kecuali Busyair bin Muhajir. Dia adalah Al Ghonawiy Al Kufiy.

Al Atsrom menukilkan dari Al Imam Ahmad tentang orang itu: “Dia itu munkarul hadits. Aku telah menilai hadits-haditsnya, ternyata dia mendatangkan keanehan.”

Ibnu Ma’in berkata: “Dia tsiqoh.”

Abu Hatim Ar Roziy berkata: “Dia boleh ditulis haditsnya, tapi tidak boleh menjadi hujjah.”

Al Bukhoriy berkata: “Di sebagian haditsnya, dia menyelisihi (yaitu: menyelisihi para tsiqot).”

An Nasaiy berkata: “Laisa bihi ba’s (tidak apa-apa dengannya/tidak lemah sekali, bisa dihasankan).”

Ibnu Adi berkata: “Dia meriwayatkan beberapa hadits yang tiada pendukungnya. Dan dia boleh ditulis haditsnya, sekalipun ada beberapa kelemahan.”

(rujuk “Tahdzibut Tahdzib”/1/hal. 467-469).

Dia boleh untuk syawahid (pendukung), kecuali hadits-hadits yang ditetapkan oleh para ulama bahwasanya hal itu bagian dari kemunkarannya.

Dan hadits tadi punya pendukung dari hadits Abu Huroiroh rodhiyallohu ‘anh:

Diriwayatkan oleh Al Imam Ath Thobroniy dalam “Al Ausath” (5764), Abu Bakr Ad Dainuriy dalam “Al Mujalasah” (2189) dari jalur Syarik: ‘an Abdillah bin Isa: ‘an Yahya bin Abi Katsir: ‘an Abi Salamah: ‘an Abi Huroiroh rodhiyallohu ‘anh:

أن رسول الله صلى الله عليه وسلم ذكر القرآن وصاحبه يوم القيامة؛ فقال: «يعطى الملك بيمينه والخلد بشماله، ويوضع على رأسه تاج الوقار».

“Bahwasanya Rosululloh shollallohu ‘alaihi waalihi wasallam pernah menyebutkan Al Qur’an dan para penghapalnya pada hari Kiamat, lalu beliau bersabda: “Dia akan diberi kekuasaan dengan tangan kanannya, dan kekekalan dengan tangan kirinya, dan diletakkan di atas kepalanya makota kewibawaan.”

Syarik ini adalah bin Abdillah An Nakho’iy, hapalannya jelek, bisa untuk pendukung.

Dan hadits tadi juga punya pendukung dari hadits Abdulloh bin Amr ibnil ‘Ash rodhiyallohu ‘anhuma:

Al Imam Ibnu Abi Syaibah rohimahulloh dalam Mushonnaf beliau no. (30044) berkata: haddatsana Abdulloh bin Numair: haddatsana Muhammad bin Ishaq: ‘an Amr bin Syu’aib: ‘an Abihi: ‘an Jaddihi yang berkata: Rosululloh shollallohu ‘alaihi waalihi wasallam:

«يمثل القرآن يوم القيامة رجلا، فيؤتى بالرجل قد حمله فخالف أمره، فيتمثل خصما له فيقول: يا رب حملته إياي فشر حامل تعدى حدودي، وضيع فرائضي، وركب معصيتي، وترك طاعتي، فما يزال يقذف عليه بالحجج حتى يقال: فشأنك به فيأخذ بيده، فما يرسله حتى يكبه على منخره في النار، ويؤتى برجل صالح قد كان حمله، وحفظ أمره، فيتمثل خصما له دونه فيقول: يا رب حملته إياي فخير حامل، حفظ حدودي، وعمل بفرائضي، واجتنب معصيتي، واتبع طاعتي، فما يزال يقذف له بالحجج حتى يقال: شأنك به، فيأخذ بيده فما يرسله حتى يلبسه حلة الإستبرق، ويعقد عليه تاج الملك، ويسقيه كأس الخمر».

“Nanti pada hari Kiamat Al Qur’an (yaitu amalan bacaan Al Qur’an) akan dibentuk menjadi seseorang. Maka didatangkan seseorang yang memikulnya tapi dia menyelisihi perintah Al Qur’an, maka jadilah Al Qur’an itu musuh baginya, seraya berkata: “Wahai Robbku, Engkau menjadikan dia dia memikulku, tapi dia adalah pemikul yang paling buruk, dia melampaui batasan-batasanku, menyia-nyiakan kewajiban-kewajibanku, melanggar larangan-laranganku, meninggalkan ketaatan padaku.” Terus-menerus Al Qur’an melemparkan tuduhan padanya dengan hujjah-hujjah sampai dikatakan padanya: “Lakukan terhadapnya apapun yang engkau ingin lakukan.” Maka Al Qur’an tidak melepaskannya sampai dia melemparkannya hingga tertelungkup di atas hidungnya di dalam Neraka.

Dan didatangkanlah seorang yang sholih, dulu dia memikul Al Qur’an, menjaga perintahnya. Maka ditampilkanlah Al Qur’an sebagai pembelanya seraya berkata: “Wahai Robbku, Engkau menjadikannya memikul diriku, maka dia adalah sebaik-baik pemikul, dia menjaga batasan-batasanku, mengamalkan kewajiban-kewajibanku, menjauhi kedurhakaan terhadapku, mengikuti ketaatanku.” Maka terus-menerus Al Qur’an melemparkan persaksian untuknya dengan hujjah-hujjah sampai dikatakan padanya: “terserah kamu berbuat apa padanya.” Maka Al Qur’an tidak melepaskannya sampai memakaikan untuknya pasangan pakaian dari sutra tebal, dan memasangkan untuknya makota kekuasaan, dan meminuminya satu gelas khomr.”

Di dalam sanadnya ada Muhammad bin Ishaq, dia mudallis, dan tidak terang-terangan menyebutkan mendengar riwayatnya itu.

Maka hadits dengan sanad itu lemah. Tapi dia menjadi pendukung untuk hadits sebelumnya.

Datang juga hadits tadi dari riwayat Ka’b bin Malik rodhiyallohu’anhu, diriwayatkan oleh Al Imam Ibnu Abi Syaibah rohimahulloh dalam Mushonnaf beliau no. (30046), tapi dalam sanadnya ada Musa bin Ubaidah Ar Robadziy. dia itu adalah Abu Abdil ‘Aziz Al Madaniy, lemah sekali, munkarul hadits.

maka sanad hadits ini tidak bisa sebagai pendukung.

Dan datang juga dalam bab ini atsar dari Abu Huroiroh rodhiyallohu ‘anh:

Diriwayatkan oleh Al Imam Ibnu Abi Syaibah dalam Musnonnaf beliau (30047) yang berkata: haddatsana Husain bin ‘Ali: ‘an Zaidah: ‘an ‘Ashim: ‘an Abi Sholih: ‘an Abi Huroiroh yang berkata:

نعم الشفيع القرآن لصاحبه يوم القيامة، قال: يقول: يا رب قد كنت أمنعه شهوته في الدنيا فأكرمه، قال: فيلبس حلة الكرامة، قال: فيقول: أي رب زده، قال: فيحلى حلة الكرامة، فيقول: أي رب زده، قال: فيكسى تاج الكرامة، قال: فيقول: يا رب زده، قال: فيرضى منه فليس بعد رضى الله عنه شيء.

“Sebaik-baik pemberi syafaat adalah Al Qur’an, untuk penghapalnya pada hari Kiamat. Al Qur’an berkata: “Wahai Robbku, dulu saya menghalangi syahwatnya di dunia, maka muliakanlah dia.” Maka dia diberi pasangan pakaian kemuliaan. Lalu Al Qur’an berkata lagi: “Wahai Robbku, tambahilah dia lagi.” Maka dia diberi lagi pasangan pakaian kemuliaan. Lalu Al Qur’an berkata lagi: “Wahai Robbku, tambahilah dia lagi.” Maka dipasangkan padanya makota kemuliaan. Lalu Al Qur’an berkata lagi: “Wahai Robbku, tambahilah dia lagi.” Maka Alloh meridhoinya. Dan tidak ada sesuatu apapun setelah Alloh meridhoi dia.”

Husain bin ‘Ali adalah Al Ju’fiy, tsiqoh, terkenal.

Zaidah adalah ibnu Qudamah, imam tsiqoh sunniy.

‘Ashim adalah ibnu Abin Nujud Bahdalah, imam dalam qiroat, shoduq dalam riwayat.

Abu Sholih adalah Dzakwan As Samman, tsiqoh terkenal.

Maka atsar ini hasan sampai ke Abu Huroiroh.

Dan tidak mungkin Abu Huroiroh berijtihad dalam berita gaib semacam ini. Dan dia juga bukan orang yang mengambil dari isroiliyyat.

Maka hukum riwayat ini adalah sampai ke Rosululloh shollallohu ‘alaihi waalihi wasallam.

Dan atsar ini juga diriwayatkan oleh Al Imam Ad Darimiy dalam Sunan beliau (3354) seraya berkata: haddatsana Abdulloh bin Ja’far Ar Roqqiy: ‘an Ubaidillah bin Amr: ‘an Zaid bin Abi Unaisah: ‘an ‘Ashim bih.

Dan diriwayatkan juga secara marfu’ oleh At Tirmidziy dalam Sunan beliau (2915) dari jalur Abdush Shomad bin Abdil Warits: akhbarona Syu’bah: ‘an ‘Ashim: ‘an Abi Sholih: ‘an Abi Huroiroh: ‘an Nabi shollallohu ‘alaihi waalihi wasallam.

Kemudian At Tirmidziy berkata setelah itu: haddatsana Muhammad bin Basysyar: haddatsana Muhammad bin Ja’far: haddatsana Syu’bah: ‘an ‘Ashim bin Bahdalah: ‘an Abi Sholih: ‘an Abi Huroiroh semisal itu tapi tidak menaikkannya ke Nabi shollallohu ‘alaihi waalihi wasallam.

Dan tiada keraguan bahwasanya riwayat Muhammad bin Ja’far –dan beliau itu orang yang terkuat riwayatnya terhadap Syu’bah- lebih kuat daripada riwayat Abdush Shomad bin Abdil Warits terhadap Syu’bah.

Dan datang juga dalam bab ini atsar dari Ibnu Umar rodhiyallohu ‘anhuma:

Diriwayatkan oleh Al Imam Ad Darimiy dalam Sunan beliau (3355) yang berkata: haddatsana Musa bin Kholid: haddatsana Ibrohim bin Muhammad Al Fazariy: ‘an Sufyan: ‘an ‘Ashim: ‘an Mujahid: ‘an Ibni Umar yang berkata

يجيء القرآن يشفع لصاحبه، يقول: يا رب لكل عامل عمالة من عمله، وإني كنت أمنعه اللذة والنوم، فأكرم. فيقال: ابسط يمينك، فيملأ من رضوان الله، ثم يقال: ابسط شمالك، فيملأ من رضوان الله، ويكسى كسوة الكرامة، ويحلى حلية الكرامة، ويلبس تاج الكرامة.

“Nanti akan datang Al Qur’an memberikan syafaat untuk penghapalnya. Dia berkata: “Wahai Robbku, setiap orang yang beramal memiliki hasil dari amalannya. Dan sunguh saya dulu menghalanginya dari kelezatan dan tidur. Maka muliakanlah dirinya.” Maka dikatakan padanya: “Bentangkan tangan kananmu.” Lalu dia dipenuhi dengan keridhoan dari Alloh. Lalu dikatakan: “Bentangkan tangan kirimu.” Lalu dia dipenuhi dengan keridhoan dari Alloh. Dan dipakaikan padanya pakaikan kemuliaan, dipasangkan padanya perhiasaan kemuliaan, dan dipakaikan padanya makota kemuliaan.”

Musa bin Kholid itu adalah Abul Walid Al halabiy, tsiqoh. (rujuk “Tahdzibut Tahdzib”/10/hal. 341).

Ibrohim bin Muhammad Al Fazariy adalah Al Imam Ats Tsiqoh Abu Ishaq.

‘Ashim adalah ibnu Abin Nujud Bahdalah, hasanul hadits sebagaimana telah lewat.

Mujahid adalah ibnu Jabr Al Makkiy, imam tsiqoh mufassir terkenal. Telah pasti bahwasanya beliau mendengar hadits dari Ibnu Umar.

Al Bardijiy rohimahulloh berkata: “Riwayat Mujahid yang shohih dari para Shohabat rodhiyallohu ‘anhum adalah: dari Ibnu Abbas, Ibnu Umar, … dst.” (“Jami’ut Tahshil”/karya Al Hafzif Al Alaiy/hal. 273).

Maka atsar ini hasan sampai ke Ibnu Umar rodhiyallohu ‘anhuma.

Dan tidak mungkin Ibnu Umar berijtihad dalam berita gaib semacam ini. Dan dia juga bukan orang yang mengambil dari isroiliyyat.

Maka hukum riwayat ini adalah sampai ke Rosululloh shollallohu ‘alaihi waalihi wasallam.

Kesimpulan umum: hadits dalam bab ini minimal shohih lighoirih.

Telah pasti bahwasanya Al Qur’an itu memberikan syafaat untuk pembacanya.

Tapi tidak disebutkan dalam hadits di atas bahwasanya keluarganya sebanyak tujuh turunan akan dijauhkan dari api neraka, dengan sebab bacaan dia untuk Al Qur’an tadi.

Hanya saja datang dalam hadits Ka’b bin Malik:

«… فيشفع في أقاربه»

“… Maka dia memberikan syafaat untuk kerabat-kerabatnya.”

Akan tetapi di dalam sanadnya ada Musa bin Ubaidah Ar Robadziy, dan dia itu adalah Abu Abdil ‘Aziz Al Madaniy, lemah sekali, munkarul hadits. (rujuk “Tahdzibut Tahdzib”/10/hal. 357).

Dan tiada keraguan bahwasanya orang yang masuk Jannah dari kalangan mukminin itu secara umum bisa memberikan syafaat pada yang lain dengan seidzin Alloh ta’ala, dengan syarat-syarat yang telah dikenal.

Dan secara umum, hadits ini

menunjukkan besarnya keutamaan para Ahlul Qur’an.

Dan tiada keraguan bahwasanya tidak semua pembaca Al Qur’an ataupun penghapal Al Qur’an itu bisa mencapai keutamaan tadi. Yang berhak mendapatkannya hanyalah orang yang beriman kepadanya, mengikutinya dan mengamalkan tuntutannya.

Alloh ta’ala berfirman:

﴿وننزل من القرآن ما هو شفاء ورحمة للمؤمنين ولا يزيد الظالمين إلا خساراً﴾ [الإسراء: 82].

“Dan Kami turunkan Al Qur’an yang dia itu adalah obat dan rohmat bagi kaum Mukminin. Dan tidaklah Al Qur’an menambahi orang-orang yang zholim kecuali kerugian.” (QS. Al Isro: 82).

Al Imam Ibnu Rojab rohimahulloh berkata: “Sebagian Salaf berkata: “Tidaklah seseorang duduk dengan Al Qur’an lalu dia bangkit darinya dalam keadaan selamat. Bahkan bisa jadi dia beruntung, atau dia itu merugi.” Lalu beliau membacakan ayat tadi.” (“Jami’ul ‘Ulum Wal Hikam”/2/hal. 26).

Dari Abu Malik Al ‘Asy’ariy rodhiyallohu ‘anhu yang berkata:

«… والقرآن حجة لك أو عليك، كل الناس يغدو فبايع نفسه فمعتقها أو موبقها».

Rosululloh shollallohu ‘alaihi waalihi wasallam bersabda: “… Dan Al Qur’an itu argumentasi untuk mendukungmu atau untuk memusuhi dirimu. Setiap orang masuk di waktu pagi, lalu dia menjual dirinya, maka di antara mereka ada yang membebaskan dirinya atau adapula yang membinasakan dirinya.” (HR. Muslim (223) dengan sanad terputus, dan An Nasaiy (2437) dengan sanad bersambung dan shohih).

Al Imam Ibnu Abdil Barr rohimahulloh berkata tentang keutamaan Al Qur’an: “Dan sebaik-baik ilmu adalah yang dasarnya itu dimantapkan, cabangnya itu terus diingat, membimbing dirinya kepada Alloh ta’ala, dan menunjukkan pada apa yang Alloh ridhoi.” (“At Tamhid”/14/hal. 134).

Umar ibnul Khoththob rodhiyallohu ‘anh berkata:

أما إن نبيكم صلى الله عليه وسلم قد قال: «إن الله يرفع بهذا الكتاب أقواما ويضع به آخرين».

“Ketahuilah sesungguhnya Nabi kalian صلى الله عليه وسلم telah bersabda: “Sesungguhnya Alloh mengangkat dengan kitab ini beberapa kaum, dan merendahkan dengannya kaum yang lain.” (HR. Muslim (817)).

Al Imam Ibnul Qoyyim رحمه الله berkata: “Maksudnya adalah: tilawah yang haqiqi adalah tilawatul ma’na dan mengikutinya dengan membenarkan beritanya, melaksanakan perintahnya, dan berhenti dari larangannya, dan mengikutinya, ke manapun dia membimbingmu, engkau mengikutinya. Maka tilawatul Qur’an itu mencakup tilawatul lafzh dan tilawatul ma’na. dan tilawatul ma’na itu lebih mulia daripada sekedar tilawatul lafzh. Dan pelaku tilawatul ma’na itulah ahli Al Qur’an yang mendapatkan pujian di dunia dan akhirat, karena sungguh mereka itu adalah ahli tilawah dan ahli mutaba’ah yang sejati.” (“Miftah Daris Sa’adah”/1/hal. 57/cet. Al Maktabatul ‘Ashriyyah).

Al Imam Abuth Thoyyib رحمه الله berkata: “Ahli Al Qur’an”: yaitu orang yang senantiasa membaca Al Qur’an dan mengamalkannya, bukan orang yang hanya membaca tapi tidak mengamalkannya.”

Beliau rohimahulloh juga berkata: “Sebagian ulama berkata: sesungguhnya orang yang mengamalkan Al Qur’an seakan-akan dia itu terus-menerus membaca Al Qur’an sekalipun dia tidak membacanya. Dan orang yang tidak mengamalkan Al Qur’an seakan-akan dia itu tidak membaca Al Qur’an sekalipun dia terus-terusan membacanya. Alloh ta’ala berfirman:

(كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آَيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ( [ص/29]

“Kitab yang Kami turunkan kepadamu, yang diberkahi, agar mereka memikirkan ayat-ayatnya dan agar orang-orang yang punya mata hati menjadi sadar.”

Maka sekedar bacaan dan hapalan itu tidak teranggap dengan nilai yang menyebabkan tingginya tingkatan-tingkatan baginya di Jannah yang tinggi.” (lihat semua di “Aunul Ma’bud”/di bawah no. (1461)/cet. Darul Kutubil ‘ilmiyyah).

Maka ahli bida’ semacam khowarij itu meskipun bacaan Qur’an mereka banyak, hal itu tidak bermanfaat bagi mereka.

Dari Abu Sa’id Al Khudriy rodhiyallohu ‘anh yang berkata:

قال النبي صلى الله عليه وسلم في شأن الخوارج: «إن من ضئضئ هذا، أو: في عقب هذا قوما يقرءون القرآن لا يجاوز حناجرهم، يمرقون من الدين مروق السهم من الرمية، يقتلون أهل الإسلام ويدعون أهل الأوثان، لئن أنا أدركتهم لأقتلنهم قتل عاد».

Nabi shollallohu ‘alaihi waalihi wasallam bersabda –tentang khowarij-: “Sesungguhnya dari keturunan orang ini ada suatu kaum yang membaca Al Qur’an tapi tidak melampaui tenggorokan mereka. Mereka keluar dari agama ini seperti keluarnya panah dari buruannya. Mereka membunuh ahli Islam dan membiarkan penyembah berhala. Sungguh jika aku mendapati mereka pastilah aku akan membunuh mereka bagaikan dibunuhnya kaum ‘Ad.” (HR. Al Bukhoriy (3344) dan Muslim (1064)).

Al Imam Muhammad bin Isma’il Al Amir Ash Shon’aniy rohimahulloh berkata tentang nilai kalimat Tauhid: “Dan kalimat tadi tidak bermanfaat bagi khowarij meskipun digabung dengan ibadah yang para Shohabat meremehkan ibadah mereka sendiri jika dibandingkan dengan ibadah khowarij. Bahkan Nabi shollallohu ‘alaihi waalihi wasallam memerintahkan untuk membunuh mereka dan bersabda: “Sungguh jika aku mendapati mereka pastilah aku akan membunuh mereka bagaikan dibunuhnya kaum ‘Ad.” Dan yang demikian itu dikarenakan mereka menyelisihi sebagian syariat. Dan mereka adalah mayat orang yang terbunuh yang paling buruk di bawah kolong langit, sebagaimana telah pasti beritanya di dalam hadits-hadits. Maka pastilah bahwasanya semata-mata kalimat Tauhid itu bukanlah penghalang dari adanya kesyirikan orang yang mengucapkannya karena dia melakukan kesyirikan tadi, karena dia telah menyelisihi kalimat Tauhid dengan peribadatannya kepada selain Alloh.” (“Tathhirul I’tiqod”/hal. 89-91/cet. Dar Ibni Hazm).

Kemudian, kalaupun si mubtadi’ tadi kebaikan-kebaikannya tidak gugur, kebid’ahannya itu termasuk dosa terbesar, dan nanti di hari Kiamat Alloh akan menimbang Antara kebaikannya dan kejelekannya.

والله تعالى أعلم بالصواب، والحمد لله رب العالمين

sumber: https://thaifahalmanshurah.wordpress.com/

╭─┅─═ঊঊঈ═─┅─╮ 

       SEBARKANLAH 
       ENGKAU AKAN 
       MENDAPATKAN 
           PAHALANYA 
╰─┅─═ঊঊঈ═─┅─╯ 

 🅹🅾🅸🅽 🅲🅷🅰🅽🅽🅴🅻 🆃🅴🅻🅴🅶🆁🅰🅼 


Surat Mungil Tentang Hukum Memukul Anak Kecil

Pertanyaan: Apa hukum mendidik anak kecil yang berusia Antara dua tahun hingga mendekati tujuh tahun dengan cara banyak memukulinya atau memukulinya dengan keras?

Ditulis oleh :

Abu Fairuz Abdurrahman bin Soekojo Al-Qudsy Al-Jawy hafidzahullaoh

Jawaban dengan memohon pertolongan pada Alloh semata:
Ini perlu penjabaran yang cukup. Dan saya dengan taufiq dari Alloh semata membahas masalah itu dalam tulisan khusus. Akan tetapi dalam kesempatan yang amat terbatas ini akan saya jawab sebagai berikut:
Sesungguhnya pemukulan memang salah satu metode yang penting dalam pendidikan, akan tetapi dia bukan diletakkan di awal, tapi dia ada di bagian akhir.
Alloh ta’ala berfirman:

﴿ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ﴾ [النحل: 125]

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah, dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” 

Al Imam Ibnul Qoyyim رحمه الله berkata: “Alloh Yang Mahasuci menjadikan tingkatan-tingkatan dakwah sesuai dengan tingkatan makhluk. Maka orang yang menerima dan menyambut kebenaran, yang cerdas, yang tidak membangkang terhadap kebenaran, mempedulikannya, dia itu diseru dengan cara hikmah (menyebutkan dalil-dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah). Orang yang menerima tapi pada dirinya ada semacam kelalaian dan keterlambatan, dia diseru dengan pelajaran yang baik, yaitu perintah dan larangan yang diiringi dengan roghbah (janji pahala dan keutamaan) dan rohbah (ancaman hukuman dan kerugian). Orang yang membangkang dan menentang, diajak berdebat dengan cara yang lebih baik. Inilah yang benar tentang makna ayat ini.” (“Miftah Daris Sa’adah”/1/hal. 153). 
Dan terkadang sebagian orang tidak tersadar kecuali dengan semacam sikap keras, maka metode ini tidak boleh diingkari karena jelasnya dalil-dalil tentang itu, dan langkah tadi tidak menunjukkan kecilnya rohmat pelaksananya sebagaimana yang diduga oleh Al Wushobiy. Dari Anas رضي الله عنه :

أن النبي صلى الله عليه وسلم رأى رجلا يسوق بدنة فقال: «اركبها» قال: إنها بدنة. قال: «اركبها» قال: إنها بدنة. قال: «اركبها ويلك». (أخرجه البخاري (6159) ومسلم (1322)).

“Bahwasanya Nabi صلى الله عليه وسلم melihat seseorang menggiring badanah (binatang untuk disembelih dalam haji). Maka beliau bersabda: “Naikilah dia.” Maka dia berkata: “Dia itu badanah.” beliau bersabda: “Naikilah dia.” Maka dia berkata: “Dia itu badanah.” beliau bersabda: “Naikilah dia, celaka kamu.” (HR. Al Bukhoriy (6159) dan Muslim (1322)).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah رحمه الله berkata: “… dan hanyalah perkara ini termasuk dalam kemaslahatan-kemaslahatan kaum mukminin yang dengannya Alloh memperbaiki sebagian dari mereka dengan sebagian yang lain, karena sesungguhnya mukmin yang satu bagi mukmin yang lain adalah bagaikan dua tangan, yang satu mencuci yang lain. Dan terkadang kotoran tidak lepas kecuali dengan semacam kekasaran, akan tetapi yang demikian itu akan menghasilkan kebersihan dan kelembutan yang dengannya kekasaran tadi dipuji.” (“Majmu’ul Fatawa”/28/hal. 53-54).
Alloh ta’ala berfirman:

{وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا } [النساء: 34]

“Dan para wanita yang kalian khawatirkan kedurhakaan mereka, maka nasihatilah mereka, dan tinggalkanlah mereka di tempat-tempat tidur, dan pukullah mereka. Maka jika mereka menaati kalian, maka janganlah kalian mencari jalan untuk menyakiti mereka. Sesungguhnya Alloh Mahatinggi dan Mahabesar.”

Kemudian sesungguhnya manusia itu terdiri dari jiwa dan raga. Maka usahakan untuk tidak memukul anak sebelum akal mereka cukup untuk memahami arti pukulan, dan sebelum badan mereka cukup kuat untuk memikul beban pukulan tadi.
Dan secara kebanyakan –bukan pembatasan yang baku-, anak sebelum usia sepuluh tahun belum begitu memahami makna pukulan, maka Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam menyebutkan pendidikan dengan cara pukulan itu pada usia anak sepuluh tahun.
Nabi shollallohu ‘alaihi waalihi wasallam bersabda:

«مروا أبناءكم بالصلاة لسبع واضربوهم عليها لعشر وفرقوا بينهم في المضاجع»،

“Perintahkanlah anak-anak kalian untuk sholat ketika mereka berusia tujuh tahun, dan pukullah mereka dalam rangka itu ketika mereka berusia sepuluh tahun dan pisahkanlah di antara mereka pada tempat-tempat tidur mereka.” [Itu adalah riwayat Al Imam Ahmad (6689) dan Abu Dawud (495) dari Abdulloh bin Amr ibnil ‘Ash رضي الله عنهما dengan sanad hasan].

Maka usahakan jangan memukul anak sebelum mereka berusia sepuluh tahun. Akan tetapi jika memang amat susah diatur setelah dinasihati dengan lembut dan telah diberi hardikan dan ancaman, ternyata anak itu membandel, dan dilihat bahwasanya anak tadi akalnya telah mulai memahami arti pukulan, dengan badan yang bisa memikul pukulan yang ringan, boleh orang tua atau pendidik untuk memberikan pukulan yang ringan dan tidak berbekas di badannya dan tidak mendatangkan efek yang membahayakan, sekalipun anak tadi belum berusia sepuluh tahun.

Hadits tadi adalah gambaran umum dan bukan pembatasan yang baku untuk setiap anak.
Al Imam Ibnu ‘Utsaimin rohimahulloh berkata: “Mumayyiz adalah anak yang mencapai usia tujuh tahun sampai usia baligh. Dia dinamakan sebagai Mumayyiz karena dia bisa membedakan, sehingga bisa memahami ucapan dan bisa menjawab pertanyaan. Sebagian ulama berkata: “Sesungguhnya (gelar) Mumayyiz itu tidak terikat dengan usia, dia cuma terikat dengan sifat.”
Yang mengatakan bahwasanya Mumayyiz itu terikat dengan usia, mereka berdalilkan dengan sabda Nabi shollallohu ‘alaihi waalihi wasallam:

«مروا أبناءكم بالصلاة لسبع واضربوهم عليها لعشر»،

“Perintahkanlah anak-anak kalian untuk sholat ketika mereka berusia tujuh tahun, dan pukullah mereka dalam rangka itu ketika mereka berusia sepuluh tahun.”

Nabi menjadikan tujuh tahun sebagai awal usia diperintahnya seorang anak kecil. Dan ini menunjukkan bahwasanya sebelum usia tadi, tidak sah kita mengarahkan perintah pada anak kecil. Bisa dikatakan: karena anak usia tadi tidak memahami perintah, dan bisa juga dikatakan: karena anak usia tadi tidak bisa memikul perintah.
Maka jika kita berpendapat dengan alasan pertama, jadilah usia tujuh tahun itu sebagai batasan Tamyiz. Tapi jika kita berpendapat dengan yang kedua, maka usia tujuh tahun itu bukanlah batasan Tamyiz.
Yang mengatakan bahwasanya Mumayyiz itu terikat dengan sifat, mereka mengatakan: “Karena kalimat “Mumayyiz” itu isim fa’il dari “Tamyiz”. Jika dia itu suatu pecahan dari kalimat tadi, jika makna tamyiz (kemampuan membedakan) itu ada pada seorang anak kecil, sifat Mumayyiz tadi telah tetap ada padanya. Maka mumayyiz adalah anak yang memahami pembicaraan dan bisa menjawab pertanyaan. Akan tetapi usia tujuh tahun itu adalah batasan yang umum. Dan yang dimaksudkan dengan memahami makna adalah: jika engkau meminta dia mendatangkan sesuatu, -seperti air misalkan- dia pergi dan mendatangkan air itu untukmu.”
(selesai dari “Asy Syarhul Mumti’”/2/hal. 71-72).

Akan tetapi kita harus waspada dan hati-hati karena masalah memukul ini masalah yang berbahaya, karena bermudah-mudah untuk memukul anak-anak sebelum mereka memiliki kekuatan pemahaman dan kemampuan badan untuk memikul pukulan, itu berbahaya sekarang atau di masa yang akan datang.
Al Imam Asy syinqithiy rohimahulloh berkata: “Dan ini menunjukkan apa yang kami sebutkan bahwasanya orang-orang yang bijaksana dan berakal telah bersepakat: bahwasanya memulai pendidikan dengan metode pemukulan itu akan membikin perasaan menjadi bodoh, dan membunuh makna-makna kejiwaan yang tinggi yang mestinya jiwa tadi membawa kepada keutamaan dan menjauhi perkara-perkara yang rendah. Maka ayah harus memperdalam kepercayaan dan menggerakkan pengetahuan pada diri anak-anak yang lelaki dan yang perempuan, sampai jika mereka mencapai baligh mereka sanggup dengan diri mereka sendiri untuk mengetahui banyak perkara secara mentap, perkara yang baik mereka terima, perkara yang buruk mereka tinggalkan. Dan ini lebih selama dan lebih bijaksana. Dan itulah yang wajib dipegang oleh seorang ayah.
Dibangun di atas perkara tersebut, mereka bersepakat bahwasanya seharusnya sang ayah memulai pada awalnya dengan pengarahan. Dan pengarahan pada perkara-perkara penyempurna itu tidak mengharuskan adanya hukuman (jika dilanggar), maka ayah jangan membawa sang anak pada perkara penyempurna secara paksaan, karena Alloh tidaklah mewajibkan perkara yang demikian itu pada para mukallafin (orang-orang yang telah terbebani), lebih-lebih pada orang-orang yang tidak terbebani.
Dan dari sini sang ayah memberikan pengarahan pertama kali, lalu diberikan pengarahan pada perkara yang bukan penyempurna, yaitu perkara-perkara yang wajib, sang ayah memerintahkan mereka untuk menjalankan yang wajib-wajib, melarang mereka dari yang harom-harom. Pengarahan itu mencakup perintah untuk taat pada Alloh dan larangan dari mendurhakai Alloh.
Jika ternyata pengarahan tadi tidak ditaati, sang ayah berpindah ke tahapan peringatan, mengingatkan anak dan berkata: “Kalau engkau tidak menjalankan perintah, aku akan menghukummu”, “Kalau engkau tidak menjalankan perintah, aku akan berbuat sesuatu padamu”. Dan ini paling utama. Sang ayah membikin batas waktu dalam peringatan yang mengandung ancaman hukuman tadi, dan membiasakan sang anak untuk mengetahui bahwasanya peringatan tadi berlangsung sekali atau dua kali, lalu pada kali yang ketiga jika sang ayah memberikan peringatan, sang ayah menjalankan ancamannya tadi dan tidak menundanya, karena jika sang ayah mengancam untuk memukul atau menghukum sementara sang anak melakukan penyelisihan, jika sang ayah memaafkannya, jiwa sang anak akan terbiasa untuk tidak peduli dengan peringatan dan terbiasa untuk menyepelekannya, sehingga jadilah dia menjadi jiwa yang meremehkan peringatan. Akan tetapi jika sang ayah membiasakannya dengan peringatan pada kali pertama, lalu peringatan pada kali yang kedua, jika dia melihat adanya kemaslahatan untuk bersabar sampai kali yang ketiga dia boleh bersabar. Jika tidak, boleh dia menimpakan hukuman pada fase ketiga.

Perkara yang ketiga: jika sang ayah ingin menimpakan hukuman, hendaknya dia menghukum anak tadi dalam bentuk yang masih membawa akhlaq yang mulia agar anak menjalankan perkara-perkara yang terpuji dan meninggalkan perkara-perkara yang tercela tanpa pemaksaan dan tanpa berlebihan dalam menghukum, karena sikap berlebihan dalam menghukum itu akan berpengaruh pada kejiwaan sang anak. Anak-anak kecil yang lelaki ataupun perempuan itu seperti yang telah kami sebutkan. Maka hukuman itu harus bisa dipahami oleh akal. Karena itulah maka Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam melarang memukul wajah, menampar muka, dan juga beliau melarang pukulan yang melukai ketika mendidik wanita.

Dan ini adalah dasar yang disyariatkan: anak itu dihukum dengan tahapan semacam tadi, dan terkadang perkaranya berakhir pada suatu hukuman, dan itu adalah tahapan yang terakhir. Maka kami ingin mengingatkan masalah ini, karena sebagian orang dengan semata-mata mendengar bahwasanya sang ayah boleh memukul anaknya, maka dia langsung saja memukul anaknya. Harus ada perincian. Oleh karena itulah maka Alloh ta’ala berfirman:

{فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ} [النساء:34] ،

“Maka nasihatilah mereka, dan tinggalkanlah mereka di tempat-tempat tidur, dan pukullah mereka.”

Alloh menyebutkan tiga tingkatan: nasihat dan peringatan dengan nama Alloh ‘Azza wajalla, lalu hajer (boikot atau peninggalan) di atas pembaringan. Dan hajer di atas pembaringan itu setara dengan menghentikan kebaikan pada anak-anak. Yaitu: jika ayah terbiasa membawa anak untuk rekreasi di akhir pecan, dan terbiasa membawa anak pergi ke tempat yang disukainya, lalu pada hari ini anak tidak mengerjakan kewajiban atau justru melakukan perkara yang diharomkan, ayahpun tidak mau lagi membawanya berrekreasi. Dan hal ini harus dijalankan dengan metode yang amat berhati-hati, yaitu dengan cara yang tidak menjadikan anak berputus asa dari kebaikanmu dan menjadi tumpul perasaan.

Bahkan engkau harus menjadi orang yang bijaksana. Dan ketahuilah dengan ilmu yakin, bahwasanya sebanyak apapun akal dan bashiroh (pengetahuan) yang diberikan padamu, engkau tak akan bisa mendidik, dan engkau tak akan bisa mengajar selama engkau tidak diberi taufiq oleh Robbmu.
Maka seluruh perkara ini ada di tangan Alloh ‘Azza wajalla, sebagaimana firman Alloh ta’ala:

{وَمَا تَوْفِيقِي إِلَّا بِالله} [هود:88]

“Dan tiada taufiq padaku kecuali dengan pertolongan Alloh.”

Maka barangsiapa merasa amat perlu pada Robbnya, Robbnya akan memberinya kecukupan dan meluruskannya.”
(selesai dari “Syarh Zadil Mustaqni’”/Asy Syinqithiy/2/hal. 360).
Sampai di sini dulu, penjabaran yang lebih panjang ada dalam risalah tersendiri.

والله تعالى أعلم، والحمد لله رب العالمين

sumber: https://thaifahalmanshurah.wordpress.com/

╭─┅─═ঊঊঈ═─┅─╮ 

       SEBARKANLAH 
       ENGKAU AKAN 
       MENDAPATKAN 
           PAHALANYA 
╰─┅─═ঊঊঈ═─┅─╯ 

 🅹🅾🅸🅽 🅲🅷🅰🅽🅽🅴🅻 🆃🅴🅻🅴🅶🆁🅰🅼 




Berhutang Atau Berniaga Lebih Baik Daripada Meminta-minta

Berhutang Atau Berniaga Lebih Baik Daripada Meminta-minta Ditulis oleh: Abu Fairuz Abdurrohman Al Qudsy Al Jawy Al Indonesy -semoga Alloh me...