FIQIH JENAZAH (2) Memandikan Jenazah
بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله، وعلى آله وصحبه ومن والاه، أما بعد
Alhamdulillah, telah dibahas pada bagian pertama risalah ini tentang apa yang dilakukan oleh keluarga si mayit atau yang hadir ketika itu, baik pada saat menjelang kematian atau setelahnya disertai dengan hal-hal yang tidak diperkenankan untuk dilakukan, baik berupa kebid'ahan atau kemaksiatan yang sering dilakukan.
Pada bagian kedua ini, akan dibahas amalan selanjutnya yang wajib dilakukan dalam pengurusan jenazah yaitu tata cara memandikan jenazah. Semoga Alloh ta'ala memberikan petunjuk dan hidayah-Nya kepada kita semua.
Hukum memandikan jenazah
Ketika si mayit telah meninggal, maka wajib kifayah atas sebagian kaum muslimin untuk segera memandikannya (pendapat jumhur ulama). Adapun dalil tentang kewajiban memandikan jenazah terdapat dalam hadits-hadits yang banyak diantaranya:
Hadits Ibnu Abbas rodhiyallohu 'anhuma:
بينما رجل واقف بعرفة، إذ وقع عن راحلته فوقصته، أو قال: فأقعصته، فقال النبي صلى الله عليه وسلم: اغسلوه بماء وسدر...الحديث
"Ketika seseorang tengah melakukan wukuf di Arofah, tiba-tiba dia terjatuh dari hewan tunggangannya dan patah lehernya sehingga meninggal. Maka Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam berkata: "Mandikanlah ia dengan air campur sidr (bidara)…"
(HR. Bukhori)
Hadits Ummu 'Athiyah rodhiyallohu 'anha:
دخل علينا النبي صلى الله عليه وسلم، ونحن نغسل ابنته (زينب)، فقال: اغسلنها ثلاثا، أو خمسا أو أكثر من ذلك، إن رأيتن ذلك...الحديث
"Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam memasuki tempat kami, sedangkan kami tengah memandikan jenazah anak beliau (yaitu Zainab). Maka beliau bersabda: "Mandikanlah dia dengan tiga atau lima atau lebih jika hal itu diperlukan…"
(HR. Bukhori dan Muslim)
Cara memandikan jenazah
Secara umum, cara memandikan jenazah adalah seperti mandi junub berdasarkan kesepakatan ulama (ijma').
(Al Ijma', Ibnul Mundzir tahqiq Al Barudiy, no. 79; Al Mulakkhosh, hal. 20-21)
Hadits Ummu 'Athiyah rodhiyallohu 'anha yang diriwayatkan oleh Bukhori, Muslim dan selainnya termasuk hadits-hadits yang berisi pedoman tata cara memandikan jenazah secara terperinci. Beliau rodhiyallohu 'anha berkata:
دخل علينا النبي صلى الله عليه وسلم، ونحن نغسل ابنته (زينب)، فقال: اغسلنها ثلاثا، أو خمسا، أو أكثر من ذلك، إن رأيتن ذلك، قالت: قلت: وترا؟ قال: نعم، واجعلن في الاخرة كافورا أو شيئا من كافور، فإذا فرغتن فآذني، فلما فرغنا آذناه، فألقى إلينا حقوه، فقال: أشعرنها إياه -تعني إزاره-، قالت: ومشطناها ثلاثة قرون، -وفي رواية: نقضنه ثم غسلنه- فضفرنا شعرها ثلاثة أثلاث: قرنيها وناصيتها وألقيناها، قالت: وقال لنا: ابدأن بميامنها ومواضع الوضوء منها
"Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam memasuki tempat kami dan kami sedang memandikan jenazah anak beliau (yaitu Zainab). Maka beliau bersabda: "Mandikanlah dia tiga atau lima atau lebih jika hal itu diperlukan. Aku (Ummu 'Athiyah) bertanya: "Apakah jumlahnya ganjil?" Beliau menjawab: "Ya. Jadikanlah basuhan terakhir dicampur dengan kapur barus. Jika kalian telah selesai, maka panggil aku." Setelah kami selesai, kami panggil beliau. Maka Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam melemparkan sarung beliau kepada kami seraya berkata: "Pakaikan sarung itu padanya." Ummu 'Athiyah berkata: "Kami sisir rambutnya menjadi tiga bagian." Dalam riwayat lain: "Kami urai rambutnya, lalu kami cuci. Kemudian kami bagi menjadi tiga bagian, samping kanan-kiri dan satu bagian atasnya. Lalu kami letakkan ke belakang." Setelah itu beliau bersabda kepada kami: "Mulailah memandikannya dari bagian kanannya dahulu dan anggota wudhunya."
(HR. Bukhori, Muslim, Abu Dawud, Nasa'i, Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad)
Berdasarkan hadits-hadits tersebut dan semisalnya, maka tata cara memandikan jenazah dapat disimpulkan sebagai berikut:
Langkah pertama: Persiapan air untuk memandikan jenazah dengan dicampur dengan daun sidr (bidara) atau penggantinya seperti sabun atau pembersih lainnya. Air yang dipakai untuk memandikan jenazah adalah air dengan suhu normal, tidak panas (pendapat jumhur ulama). Hal ini karena air yang panas akan melembekkan tubuh si mayit. Air hangat atau panas hanya digunakan jika diperlukan untuk menghilangkan kotoran yang sulit dibersihkan dengan air dingin. Demikian juga ketika Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam meminta shohabat untuk memandikan jenazah anak beliau, tidaklah memerintahkan untuk menggunakan air hangat atau panas. Hal ini menunjukkan bahwa mereka menggunakan air dengan suhu normal. Adapun jika cuaca atau suhu air terlalu dingin, maka dibolehkan untuk dihangatkan sampai mencapai suhu normal, sehingga tidak kedinginan.
(Jami'ul Adillah, hal. 181 dan Fathul 'Allam: 2/280)
Masalah: Jika tidak didapatkan air untuk memandikan jenazah, atau tidak memungkinkan untuk memandikan atau mengguyurnya dengan air, karena khawatir hancur atau rusak jasadnya, seperti luka bakar dan sebagainya, maka disyariatkan untuk tayammum menurut salah satu pendapat ulama, karena tayammum tersebut sebagai pengganti bersuci dengan air.
Sebagian ulama yang lain berpendapat untuk tidak dilakukan tayammum jika tidak mungkin dimandikan, karena tidak ada dalil yang menunjukkan akan hal itu. Akan tetapi langsung dikafani. Tayammum hanyalah disyariatkan untuk bersuci bagi yang masih hidup, bukan untuk yang sudah mati. Demikian juga, syariat memandikan mayit tersebut bukan dalam rangka membersihkan atau mensucikan dari hadats, akan tetapi untuk kebersihan jasadnya. Oleh karena itu, Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam memerintahkan orang-orang yang memandikan jenazah untuk mencuci atau membasuhnya sebanyak tiga, lima atau tujuh kali. Sedangkan bersuci dari hadats itu tidak disyariatkan lebih dari tiga kali basuhan. Maka jika maksud memandikan tersebut adalah kebersihan jasad, maka tidak akan tercapai dengan dilakukannya tayammum. Sehingga pendapat yang lebih kuat adalah tidak dilakukannya tayammum (pendapat Ahmad dalam satu riwayat, Ats Tsauri, Malik, Asy Syaukani, Ibnu Utsaimin), wallohu a'lam.
(As Sailul Jarror, hal. 211, Imam Asy Syaukani; Asy Syarhul Mumti': 5/297, Ibnu Utsaimin; Fathul 'Allam: 2/283; Miskul Khitam: 2/209; Al Mulakkhosh, hal.28-29)
Langkah kedua: Orang yang memandikannya memulai dengan membalut tangannya dengan suatu kain atau memakai kaos tangan untuk membersihkan kotoran si mayit dalam keadaan tertutup aurotnya dengan suatu kain penutup setelah baju si mayit yang dikenakan ketika kematiannya dilepaskan semuanya. Para ulama telah sepakat akan wajibnya hal ini. Simaklah hadits Aisyah rodhiyallohu 'anha berikut ini:
لما أرادوا غسل النبي صلى الله عليه وسلم قالوا: والله ما ندري أنجرد رسول الله صلى الله عليه وسلم من ثيابه كما نجرد موتانا أم نغسله وعليه ثيابه؟ فلما اختلفوا ألقى الله عليهم النوم حتى ما منهم رجل إلا وذقنه في صدره ثم كلمهم مكلم من ناحية البيت لا يدرون من هو: أن اغسلوا النبي صلى الله عليه وسلم وعليه ثيابه فقاموا إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم فغسلوه وعليه قميصه يصبون الماء فوق القميص ويدلكونه بالقميص دون أيديهم.
"Ketika mereka para sahabat ingin memandikan Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam, mereka mengatakan: "Demi Alloh… Kita tidak tahu, apakah kita akan melepas pakaian Rosululloh sebagaimana kita melepas pakaian mayit-mayit kita atau kita mandikan beliau dengan pakaiannya?" Ketika mereka berselisih, maka Alloh melemparkan rasa kantuk atas mereka, sehingga tidaklah ada seorangpun dari mereka melainkan janggutnya telah menempel di dadanya karena tertidur. Kemudian seolah-olah ada seseorang dari arah sisi rumah -tidak diketahui siapa dia- mengatakan kepada mereka: "Mandikanlah Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam dengan pakaiannya!" Maka mereka bangun dan bangkit menuju Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam dan memandikan beliau dengan gamisnya tanpa melepaskannya. Mereka menyiramkan air ke atas gamis tersebut, lalu mengurut atau mengusap badan beliau dengan gamis tersebut dengan tangan-tangan mereka."
(HR. Abu Dawud, Ibnu Jarud dalam Al-Muntaqo, Al-Hakim, Al-Baihaqi, Ath-Thoyalisi dan Ahmad, dishohihkan oleh Imam Al-Albani dalam Ahkamul Janaiz, hal. 49)
Hadits tersebut menunjukkan bahwa apa yang dilakukan pada jenazah Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam dengan tidak dilepaskannya gamis beliau adalah merupakan kekhususan bagi beliau, tidak berlaku untuk selain beliau.
(Fathul 'Allam: 2/278)
Adapun tujuan dari menutup badan si mayit dan membasuh dengan menggunakan kain atau kaos tangan adalah agar aurotnya tidak terlihat dan tidak tersentuh langsung oleh tangan orang yang memandikannya.
Batasan aurot laki-laki dan perempuan
Aurot seseorang adalah bagian tubuh yang harus ditutupi agar tidak terlihat oleh pandangan mata, baik ketika masih hidup ataupun setelah meninggalnya.
Aurot laki-laki adalah antara pusar dan lutut, yaitu mencakup kemaluan (qubul dan dubur) serta kedua paha, menurut pendapat yang kuat (pendapat jumhur ulama).
Ibnu Abdil Barr rohimahulloh dalam Al-Istidzkar (3/8) mengatakan: "Para ulama bersepakat bahwa melihat kemaluan seseorang baik yang masih hidup, maupun yang sudah meninggal itu harom, tidak boleh. Demikian juga tidak boleh menyentuh langsung aurot seseorang dengan tangan selain orang yang dihalalkan untuk menyentuhnya seperti suami istri dan sebagainya…"
(Jami'ul Adillah, hal. 165)
Adapun kedua paha termasuk aurot, maka berdasarkan hadits:
القخد عورة
"Paha itu aurot."
(HR. Ahmad dan selainnya dari sahabat Ibnu Abbas, Muhammad bin Jahsy dan Jarhad rodhiyallohu 'anhum, dihasankan oleh Imam Al-Albani dalam Al-Irwa', no. 269 dan Syaikhuna Yahya dalam Jami'ul Adillah, hal. 169)
Sedangkan aurot wanita muslimah di hadapan wanita muslimah lainnya adalah seluruh badannya kecuali bagian-bagian tubuh yang diletakkan padanya perhiasan wanita, seperti kepala, telinga, leher dan dada bagian atas (tempat kalung), lengan bawah (tempat gelang tangan) sampai sedikit di atas siku, telapak kaki dan betis bawah (tempat gelang kaki).
(Talkhis Ahkamil Janaiz, hal. 30)
Adapun selain itu, maka merupakan aurot wanita yang harus ditutup di hadapan para wanita dan para mahromnya, sebagaimana dalam firman Alloh ta'ala:
ولا يبدين زينتهن إلا لبعولتهن أو آبائهن أو آباء بعولتهن أو أبنائهن أو أبناء بعولتهن أو إخوانهن أو بني إخوانهن أو بني أخواتهن أو نسائهن أو ما ملكت أيمانهن أو التابعين غير أولي الإربة من الرجال أو الطفل الذين لم يظهروا على عورات النساء
"Janganlah para wanita itu menampakkan perhiasannya yang tersembunyi (aurotnya) kecuali kepada suami mereka, karena suami itu boleh melihatnya dan tidak dibolehkan bagi selainnya. Diantara aurotnya yang lain, seperti wajah, leher, kedua tangan dan siku, maka boleh dilihat oleh ayahnya atau ayah suaminya atau anak laki-lakinya atau anak suaminya atau saudara laki-lakinya atau anak saudara laki-lakinya atau anak saudara perempuannya atau budak perempuannya yang muslimah, bukan yang kafir atau budak-budak laki-lakinya atau para pengikut dari laki-laki yang sudah tidak ada syahwat atau keinginan terhadap wanita, seperti laki-laki lemah akalnya (idiot) yang hanya menginginkan makan dan minum saja atau anak-anak kecil yang belum mengetahui perihal aurot wanita dan belum memiliki syahwat."
(Tafsir Muyassar QS. An-Nuur: 31)
Masalah: Jika si mayit belum dikhitan, maka pendapat yang rojih (kuat) adalah tidak boleh dikhitan, karena akan memotong kulit si mayit dan akan membuka aurotnya tanpa hajah untuk itu.
(Fathul 'Allam: 2/282)
Masalah: Apakah perlu dipotong kumis, bulu dan kukunya? Pendapat yang kuat adalah disunnahkan untuk memotong kumis, bulu ketiak dan kukunya jika diperlukan, karena ini merupakan sunnah fithroh dan membuat penampilan lebih bagus.
Adapun bulu kemaluan mayit, maka yang rojih adalah tidak dicukur, karena harus membuka aurotnya dan menyentuhnya pada perkara yang tidak darurat. Demikian juga bahwa hal tersebut tertutup tidaklah nampak dari luar, sehingga tidak perlu dihilangkan. Adapun atsar Sa'ad bin Abi Waqqosh rodhiyallohu 'anhu yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dan Abdurrozzaq dalam Mushonnaf keduanya, bahwasanya beliau pernah mencukur bulu kemaluan mayit, maka ini adalah atsar yang dho'if tidak shohih. Atsar tersebut diriwayatkan dari jalan perowi hadits bernama Abu Qilabah yang meriwayatkan dari Sa'ad bin Abi Waqqosh. Ini adalah sanad yang terputus, karena Abu Qilabah tidak pernah bertemu dengan Sa'ad.
(Fathul 'Allam: 2/282-283)
Langkah ketiga: Sedikit merundukkan badan si mayit tidak sampai pada posisi duduk, karena posisi mendekati duduk termasuk menyakitkan si mayit. Kemudian mengurut bagian perutnya dengan lembut untuk mengeluarkan kotorannya agar tidak keluar setelah itu. Hal ini dilakukan jika diperlukan untuk itu. Jika tidak, maka tidak apa-apa untuk ditinggalkan. Tidak ada dalil syar'i yang menunjukkan disunnahkannya hal tersebut.
(Jami'ul Adillah, hal. 183)
Langkah keempat: Setelah membersihkan kotoran, maka mulai mewudhukan si mayit seperti wudhunya ketika ingin mengerjakan sholat. Mulai dengan mencuci kedua telapak tangannya, mengusap gigi dan lubang hidungnya dengan lembut untuk membersihkannya dengan tidak memasukkan air ke dalam mulut dan hidung, karena berkumur dan istinsyaq (yaitu membersihkan bagian dalam hidung dengan memasukkan air ke dalam kedua lubang hidung dan mengeluarkannnya kembali) tidak bisa dilakukan untuk si mayit, akan tetapi cukup dengan mengusap lubang hidung dengan kain basah. Kemudian membasuh wajah, kedua tangan, mengusap kepala dan telinga, lalu membasuh kedua kaki sebagaimana yang dilakukan ketika berwudhu.
Langkah kelima: Setelah diwudhukan, maka dimulai mencuci bagian kepala dengan menguraikan terlebih dahulu jalinan-jalinan rambut mayit perempuan yang ada dan mencucinya dengan baik serta menyisirnya. Kemudian menjalinnya kembali menjadi tiga jalinan lalu diletakkan di bagian belakang. Kemudian mencuci atau membasuh badannya dimulai dari bagian kanan tubuhnya, baik depan maupun belakang dengan memiringkan si mayit ke kiri dan sebaliknya memiringkan badannya ke kanan ketika mencuci bagian kiri badannya.
Langkah keenam: Disunnahkan untuk memandikannya sebanyak tiga kali atau lebih jika diperlukan. Adapun memandikannya sekali saja, maka hukumnya boleh dan sah dengan syarat telah mencakupi keseluruhan badannya, sebagaimana dalam hadits Ibnu Abbas rodhiyallohu 'anhu tersebut di atas. Hadits tersebut diucapkan pada haji wada' di akhir-akhir kehidupan Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam dan beliau tidak memerintahkan untuk memandikannya sebanyak tiga kali, sehingga hadits yang di dalamnya terdapat jumlah tiga kali ke atas menunjukkan bahwa hal itu tidak wajib, akan tetapi lebih utama.
(Fathul 'Allam: 2/277)
Langkah ketujuh: Jumlah memandikannya atau membasuhnya adalah ganjil, yaitu tiga, lima dan tujuh kali. Adapun lebih dari tujuh, maka hanyalah terdapat pada satu atau dua riwayat yang telah dihukumi oleh para ulama sebagai riwayat yang keliru, karena bertentangan dengan banyak riwayat lainnya dalam Shohih Bukhori, Muslim dan selainnya yang menunjukkan bahwa yang terbanyak adalah tujuh kali basuhan. Juga tidak ada ulama yang berpendapat lebih dari tujuh. Sebagian ulama mengatakan bahwa lebih dari tujuh tersebut termasuk berlebihan (isrof) dalam menggunakan air dan sebagian mereka mengatakan bahwa hal itu dapat melembekkan tubuh si mayit karena terlalu banyak mencucinya. Maka hukumnya adalah makruh, kecuali jika masih diperlukan. Hal ini berdasarkan hadits Ummu 'Athiyah di atas.
(Jami'ul Adillah, hal. 149-150 dan Fathul 'Allam: 2/279)
Langkah kedelapan: Mencampur air dengan kapur barus atau minyak wangi pada basuhan terakhir, kecuali bagi seorang yang sedang muhrim (berihrom). Tidak boleh memberikan wewangingan dalam memandikan seorang yang sedang muhrim tersebut. Hal ini sebagaimana dalam hadits Ibnu Abbas rodhiyallohu 'anhuma:
ولا تحنطوه -وفي رواية: ولا تطيبوه- ، ولا تخمروا رأسه ولا وجهه ، فإنه يبعث يوم القيامة ملبيا
"Jangan diberi wewangingan. Jangan pula ditutupi kepala dan wajahnya. Sesungguhnya ia akan dibangkitkan nanti dalam keadaan bertalbiyah."
(HR. Bukhori tanpa tambahan riwayat dan Muslim dalam Shohih keduanya, Abu Nu'aim dalam Al-Mustakhroj, Al-Baihaqi dalam Sunannya)
Langkah kesembilan: Jika masih keluar kotorannya setelah selesai dimandikan sebanyak tujuh kali, maka tidak diwajibkan untuk mengulangi memandikannya, tetapi cukup dengan membersihkan tempat keluarnya kotoran tersebut dan mengulangi wudhunya. Hal ini karena kotoran (najis) yang keluar itu tidak membatalkan mandinya, sebagaimana seseorang yang telah mandi junub lalu berhadats kecil, maka hanya mengulangi wudhunya saja dan tidak mengulangi mandinya. Adapun jika belum mencapai tujuh kali, maka bisa dimandikan kembali hingga mencapai tujuh kali basuhan.
(Fathul 'Allam: 2/280 dan Jami'ul Adillah, hal. 184)
Langkah kesepuluh: Setelah selesai membasuh seluruh badan si mayit, dibolehkan untuk mengeringkannya dengan kain atau handuk hingga kering sebelum dikafani agar tidak membasahi kain kafannya.
Hukum-hukum orang yang memandikan mayit
Beberapa permasalahan yang berkaitan dengan orang-orang yang memandikan jenazah adalah sebagai berikut:
Masalah: Hadits Ummu 'Athiyah di atas juga menunjukkan bahwa mayit laki-laki dimandikan oleh laki-laki dan mayit perempuan dimandikan oleh para perempuan, kecuali apa yang telah dikecualikan oleh syariat yaitu pasangan suami-istri, maka dibolehkan salah satunya untuk memandikan pasangannya berdasarkan hadits Aisyah rodhiyallohu 'anha, beliau berkata:
رجع إلي رسول الله صلى الله عليه وسلم من جنازة بالبقيع وأنا أجد صداعا في رأسي وأقول: وارأساه فقال: بل أنا وارأساه ما ضرك لو مت قبلي فغسلتك وكفنتك ثم صليت عليك ودفنتك
"Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam kembali dari menguburkan jenazah di Baqi', sedangkan aku menderita sakit kepala. Aku mengatakan: "Aduh, kepalaku!" Maka Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam mengatakan: "Bahkan aku yang sakit kepala, tidak ada yang merugikanmu jika engkau mati lebih dahulu sebelumku, lalu engkau kumandikan, kukafani, kemudian kusholati dan kukuburkan."
(HR. Ahmad, Ad-Darimi, Ibnu Majah, Ad-Daruquthni, Al-Baihaqi dan Ibnu Hisyam dalam Ash-Shiroh, dihasankan oleh Imam Al-Albani dalam Ahkamul Janaiz, hal. 50)
Masalah: Yang paling berhak untuk memandikan jenazah adalah siapa yang diwasiati untuk itu. Jika tidak ada, maka dikedepankan yang paling dekat kekerabatannya dengan si mayit disertai dengan bimbingan seorang yang berilmu tentang sunnah memandikan jenazah. Dahulu yang memandikan Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam adalah dari kerabat beliau. Ali bin Abi Tholib rodhiyallohu 'anhu, anak paman serta menantu beliau berkata:
غسلت رسول الله صلى الله عليه وسلم فجعلت أنظر ما يكون من الميت فلم أر شيئا وكان طيبا حيا وميتا صلى الله عليه وسلم
"Aku memandikan Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam. Maka aku melihat apa yang terjadi pada jenazah beliau. Tidaklah aku menemukan sesuatu yang buruk. Jasad beliau tetap bagus, baik semasa hidupnya maupun setelah kematiannya."
(HR. Ibnu Majah, Al-Hakim dan Al-Baihaqi, dishohihkan oleh Imam Al-Albaniy dalam Ahkamul Janaiz, hal. 50)
Jika si mayit laki-laki dan belum beristri, maka yang dikedepankan untuk memandikannya adalah ayahnya, kemudian kakeknya, kemudian anak laki-lakinya, kemudian cucu laki-lakinya, kemudian saudara laki-lakinya, kemudian keponakan laki-lakinya, kemudian pamannya, kemudian anak laki-laki pamannya. Jika si mayit perempuan dan belum bersuami, maka yang memandikannya adalah para wanita dari kerabat rahimnya, kemudian kerabat yang bukan rahimnya, kemudian para wanita lain selain kerabatnya. Adapun pihak kerabat, maka yang dikedepankan adalah ibu dan neneknya ke atas, kemudian anak perempuan dan cucunya ke bawah, kemudian bibinya, kemudian keponakan perempuannya.
Masalah: Seorang wanita boleh memandikan jenazah laki-laki dari mahromnya menurut pendapat jumhur ulama. Hal itu pada urutan terakhir, jika tidak ada yang memandikannya dari kalangan kerabat laki-laki, suami dan para laki-laki lainnya. Hukumnya sama seperti para laki-laki lainnya yang tidak ada hubungan rahim.
(Fathul 'Allam: 2/303)
Masalah: Adapun jenazah yang sudah bersuami atau beristri, maka si istri boleh memandikan jenazah suaminya menurut kesepakatan ulama dan sebaliknya juga, si suami boleh memandikan jenazah istrinya menurut pendapat yang kuat. Hal tersebut berdasarkan hadits Aisyah rodhiyallohu 'anha tersebut di atas, beliau berkata:
ما ضرك لو مت قبلي فغسلتك وكفنتك ثم صليت عليك ودفنتك
"Tidak ada yang merugikanmu, jika engkau mati lebih dahulu sebelumku, lalu engkau kumandikan, kukafani, kemudian kusholati dan kukuburkan."
(hadits shohih riwayat Ahmad dan selainnya)
Juga hadits Aisyah rodhiyallohu 'anha riwayat Ahmad dan selainnya dengan sanad yang hasan:
لو استقبلت من أمرى ما استدبرت ما غسله إلا نساؤه
"Seandainya aku mengetahui sebelumnya, maka tidaklah yang memandikan Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam melainkan para istri beliau."
(Al-Irwa': 702 dan Fathul 'Allam: 2/298)
Masalah: Seorang laki-laki tidak diperbolehkan untuk memandikan jenazah wanita selain istrinya. Ini adalah pendapat kebanyakan para ulama, baik wanita itu mahrom baginya maupun bukan.
Adapun jika seorang laki-laki meninggal di antara para wanita yang bukan mahromnya dan tidak ada laki-laki lainnya dan sebaliknya, maka pendapat yang kuat adalah dimandikan dengan pakaiannya ketika meninggal. Hal ini seperti apa yang dilakukan sahabat terhadap Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam, tanpa membuka pakaiannya agar tidak terlihat aurotnya. Maka untuk selain beliau shollallohu 'alaihi wa sallam, dilakukan ketika darurat atau ada hajah yang mendesak.
(Fathul 'Allam: 2/300)
Masalah: Seorang wanita boleh memandikan jenazah anak kecil laki-laki. Hal ini merupakan kesepakatan para ulama, sebagaimana dinukilkan oleh Ibnul Mundzir, An-Nawawi dan Ibnu Qudamah rohimahumulloh. Adapun perselisihan yang ada adalah penentuan sampai umur berapa jenazah anak tersebut, sehingga hal itu masih diperbolehkan. Pendapat yang kuat adalah bahwa hal itu diperbolehkan sebelum si anak tersebut terlihat menarik bagi lawan jenisnya, sebagaimana ini adalah madzhab Syafi'iyyah. Untuk seorang laki-laki, diperbolehkan juga memandikan jenazah anak kecil perempuan menurut pendapat jumhur ulama. Batasannya seperti apa yang tersebut di atas. Jika telah mencapai umur yang terlihat menarik bagi lawan jenisnya, maka tidak boleh memandikannya kecuali para wanita.
(Fathul 'Allam: 2/301)
Masalah: Seorang laki-laki yang junub dan wanita yang sedang haidh diperbolehkan untuk memandikan jenazah. Tidak ada dalil yang melarangnya. Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda:
إن المؤمن لا ينجس
"Sesungguhnya mukmin itu tidak najis."
(HR. Bukhori dan Muslim dari hadits Abu Huroiroh rodhiyallohu 'anhu)
Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam juga berkata kepada Aisyah rodhiyallohu 'anha:
إن حيضتك ليست في يدك
"Sesungguhnya haidhmu itu bukan pada tanganmu."
(HR. Bukhori dan Muslim dari hadits Aisyah rodhiyallohu 'anha)
Dua hadits tersebut bisa dijadikan sebagai dalil tentang bolehnya seorang yang sedang berhadats besar seperti junub atau haidh untuk memandikan jenazah.
Masalah: Tidak disunnahkan bagi yang memandikan jenazah untuk mandi setelah selesai memandikan menurut pendapat yang kuat. Tidak ada hadits shohih dalam bab ini yang menunjukkan hal tersebut, sebagaimana dinyatakan oleh para Imam Ahli Hadits seperti Ibnul Mundzir dalam Al-Isyrof, Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni dan Ar-Rofi'iy sebagaimana dalam At-Talkhish karya Ibnu Hajar rohimahumulloh.
Adapun hadits Abu Huroiroh rodhiyallohu 'anhu, bahwasanya Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda:
من غسل ميتا فليغتسل ومن حمله فليتوضأ
"Siapa yang telah memandikan mayit, maka hendaknya ia mandi dan siapa yang telah mengangkatnya, hendaknya ia berwudhu."
(HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Hibban, Ath-Thoyalisi dan Ahmad)
Maka ini adalah hadits dho'if, yang rojih adalah mauquf (dari ucapan Abu Huroiroh) sebagaimana yang dikuatkan oleh para Imam Ahli Hadits seperti Imam Bukhori, Abu Hatim, Al-Baihaqi dan selain mereka. Para Imam Ahli hadits yang juga mendho'ifkan hadits tersebut adalah Ahmad bin Hambal, Ali bin Al-Madini, Adz-Dzuhli, Ibnul Mundzir dan selain mereka.
(Jami'ul Adillah, hal. 164 dan Fathul 'Allam: 1/244-245)
Permasalahan jenazah yang dimandikan
Beberapa permasalahan yang berkaitan dengan jenazah yang dimandikan adalah sebagai berikut:
Masalah: Jenazah yang meninggal dalam keadaan junub atau haidh, maka dimandikan sebagaimana jenazah-jenazah lainnya tanpa ada tambahan apapun. Ini adalah pendapat keseluruhan ulama, bahwa tidak dibedakan antara mayit yang meninggal dalam keadaan junub atau haidh dengan mayit-mayit lainnya dalam cara memandikannya.
(Al-Ausath: 5/341 oleh Ibnul Mundzir sebagaimana ternukil dalam Jami'ul Adillah, hal. 182)
Masalah: Wajib memandikan atau mencuci seluruh bagian jenazah yang ada atau berhasil diketemukan meskipun kecil ukurannya, karena memandikannya hukumnya wajib pada seluruh jasadnya, termasuk pula pada bagian-bagiannya yang ada. Jika ada bagian tubuh yang diketemukan setelah itu, maka dimandikan atau dicuci juga dan demikianlah seterusnya.
(Fatwa Lajnah Da'imah: 8/434; Al Mulakkhosh, hal. 34)
Masalah: Adapun jenazah yang telah dikuburkan sebelum dimandikan, maka dikeluarkan kembali untuk dimandikan selama belum berubah atau rusak. Ini adalah pendapat kebanyakan para ulama. Dalam hadits Jabir bin Abdillah rodhiyallohu 'anhu disebutkan:
أتى رسول الله صلى الله عليه وسلم عبد الله بن أبي بعد ما أدخل حفرته، فأمر به، فأخرج، فوضعه على ركبتيه ونفث عليه من ريقه، وألبسه قميصه
"Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam mendatangi mayit Abdulloh bin Ubaiy setelah dimasukkan ke dalam liang kuburannya. Lalu beliau memerintahkan jasadnya untuk dikeluarkan dan diletakkan di pangkuannya. Lalu beliau meludah kecil padanya dan memakaikan gamis beliau kepadanya."
(HR. Bukhori dan Muslim)
Dalam hadits Jabir bin Abdillah rodhiyallohu 'anhu pula riwayat Bukhori, bahwa beliau mengeluarkan jenazah ayahnya yang terbunuh di medan jihad dan masih dikuburkan bersama seorang yang lainnya setelah enam belas bulan kemudian. Lalu dikuburkannya secara tersendiri.
Berdasarkan dua hadits di atas, maka tidak apa-apa mengeluarkan kembali mayit yang telah dikubur untuk dikafani atau dipindahkan ke tempat lainnya yang lebih baik. Demikian juga boleh mengeluarkan kembali jenazah yang telah dikubur dan belum dimandikan untuk dimandikan.
(Jami'ul Adillah, hal. 186)
Masalah: Tidak disyariatkan untuk memandikan dan melepas pakaian yang melekat pada jenazah seseorang yang mati syahid di medan peperangan. Para ulama sepakat bahwa yang dilepas hanyalah senjata dan peluru yang disandang serta tamengnya (baju atau topi anti peluru) saja, sedangkan yang lain tidak dilepas. Hal ini ditunjukkan oleh hadits Jabir rodhiyallohu 'anhu, bahwasanya Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda:
ادفنوهم في دمائهم يعني يوم أحد ولم يغسلهم. وفي رواية فقال: أنا شهيد على هؤلاء لفوهم في دمائهم فإنه ليس جريح يجرح في الله إلا جاء وجرحه يوم القيامة يدمى لونه لون الدم وريحه ريح المسك وفي رواية: لا تغسلوهم فإن كل جرح يفوح مسكا يوم القيامة ولم يصل عليهم
"Kuburkanlah mereka -yaitu para syuhada' perang Uhud- dengan darah-darah mereka." Beliau tidaklah memandikan mereka. Dalam riwayat: "Aku bersaksi atas kesyahidan mereka. Tutupilah mereka beserta darah-darah mereka. Sesungguhnya bukanlah yang terluka di jalan Alloh itu, melainkan akan datang bersama lukanya yang mengucurkan darah pada hari kiamat. Warnanya warna darah dan baunya adalah aroma misik." Dalam riwayat lainnya: "Janganlah kalian memandikan mereka. Sesungguhnya setiap luka itu akan mengeluarkan aroma misik pada hari kiamat." Beliau tidak pula melakukan sholat jenazah terhadap mereka."
(HR. Bukhori, Abu Dawud, An-Nasa'i, At-Tirmidzi, Ibnu Majah dan selain mereka, dishohihkan oleh Al-Albaniy dalam Ahkamul Janaiz, hal. 54 dan Fathul 'Allam: 2/288-289)
Masalah: Jenazah orang kafir tidak dimandikan oleh kaum muslimin menurut pendapat yang kuat (pendapat Ahmad dan Malik).
Ketika perang Badar, terbunuhlah puluhan orang-orang kafir Quraisy. Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam memerintahkan untuk langsung menguburkan mereka di salah satu sumur dari sumur-sumur Badar dan tidak memandikan mereka, sebagaimana dalam riwayat Bukhori dan Muslim dari hadits Abu Tholhah rodhiyallohu 'anhu.
(Fathul 'Allam: 2/302)
Tidak ada dalil yang shohih tentang seorang muslim memandikan mayit kafir, akan tetapi langsung dikuburkan jasadnya jika tidak ada yang mengurusinya berdasarkan dalil yang ada, supaya tidak mengganggu kaum muslimin dengan bau busuknya.
(Jami'ul Adillah, hal. 162)
Demikian juga, tidak sah jika jenazah seorang muslim dimandikan oleh orang kafir menurut pendapat yang kuat (pendapat Ahmad dan Hanabilah). Hal ini karena memandikan jenazah merupakan amalan ibadah yang membutuhkan niat di dalamnya dan seorang kafir bukanlah ahlinya, sehingga tidak berhak untuk itu. Maka, meskipun jenazah muslim telah dimandikan oleh seorang kafir, masih harus dimandikan lagi oleh kaum muslimin. Wallohu ta'ala a'lam.
(Fathul 'Allam: 2/302)
Hal-hal yang perlu diperhatikan oleh orang yang memandikan jenazah
Bagi yang memandikan jenazah hendaknya memenuhi dua persyaratan agar mendapatkan pahala yang besar dan keutamaan di sisi Alloh ta'ala:
Pertama: Hendaknya dengan amalan itu dia mengharapkan wajah Alloh, tidak menginginkan sesuatu dari perkara dunia. Telah tetap dalam syariat bahwa Alloh ta'ala tidaklah menerima suatu amalan ibadah, kecuali dengan keikhlasan hanya kepada Alloh semata. Alloh ta'ala berfirman:
قل إنما أنا بشر مثلكم يوحى إلي أنما إلهكم إله واحد فمن كان يرجو لقاء ربه فليعمل عملا صالحا ولا يشرك بعبادة ربه أحدا
"Katakanlah -wahai Rosul- kepada orang-orang musyrikin itu: "Aku hanyalah manusia biasa seperti kalian yang telah diwahyukan kepadaku dari Robbku bahwasanya sesembahan kalian yang haq itu hanyalah satu (Alloh ta'ala). Maka siapa yang takut terhadap adzab Robbnya dan mengharapkan pahala dari-Nya pada hari pertemuan dengan-Nya (hari kiamat), maka hendaknya melakukan amalan sholeh untuk Robbnya sesuai dengan syariat-Nya dan tidaklah menyekutukan-Nya dalam ibadah dengan siapapun selain-Nya (ikhlas)."
(Tafsir Muyassar QS. Al-Kahfi: 110)
Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda:
إنما الأعمال بالنيات وإنما لكل امرئ ما نوى فمن كانت هجرته إلى الله ورسوله فهجرته إلى الله ورسوله ومن كانت هجرته إلى دنيا يصيبها أو امرأة ينكحها فهجرته إلى ما هاجر إليه
"Hanyalah suatu amalan itu sesuai dengan niatnya. Setiap orang hanyalah akan mendapatkan apa yang ia niatkan. Siapa yang hijrohnya (ibadahnya) untuk Alloh dan Rosul-Nya (ikhlas), maka hijrohnya (ibadahnya) kepada Alloh dan Rosul-Nya (yaitu mendapatkan ganjaran dari Alloh) dan siapa yang hijrohnya untuk mendapatkan dunia atau wanita yang ingin ia nikahi, maka hijrohnya akan mendapatkan apa yang sesuai dengan tujuan yang diniatkannya."
(HR. Bukhori dan Muslim dari hadits Umar rodhiyallohu 'anhu)
Kedua: Menutupi dan tidak menyebarkan atau membicarakan aib dan hal-hal tidak disukai yang terdapat pada si mayit. Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda:
من غسل مسلما فكتم عليه غفر له الله أربعين مرة
"Siapa yang memandikan jenazah muslim dan menutupi aib yang ada padanya, maka Alloh akan mengampuninya sebanyak empat puluh kali."
(HR. Al-Hakim, Al-Baihaqiy dari hadits Abu Rofi' rodhiyallohu 'anhu, dishohihkan oleh Imam Al-Albaniy dalam Ahkamul Janaiz, hal. 51)
Demikian juga berdasarkan keumuman hadits Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam:
وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا، سَتَرَهُ اللهُ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ
"Siapa yang menutupi aib seorang muslim, maka Alloh akan menutupi aibnya baik di dunia maupun di akherat."
(HR. Muslim dari Abu Huroiroh rodhiyallohu 'anhu)
Adapun jika si mayit tersebut semasa hidupnya adalah seorang yang tercela dalam agama dan sunnah, masyhur atau dikenal sebagai mubtadi' (ahli bid'ah), maka diperbolehkan bahkan disunnahkan untuk membicarakan dan menampakkan kejelekannya dalam rangka memperingatkan umat dari kebid'ahannya. Ini adalah perkara yang pasti dan tidak ditinggalkan, karena jika manusia mengetahui akan akhir hayatnya yang jelek, maka mereka akan lari menghindar dari jalan dan manhajnya. Sebaliknya, hendaknya tidak ditampakkan apa yang ada pada dirinya berupa jasa-jasa dan kebaikan-kebaikan, agar tidak ada orang yang tertipu dan terpengaruh dengannya sehingga mengikuti jalan kebid'ahannya. Dengan demikian, tertutuplah jalan-jalan yang mengantarkan seseorang kepada fitnah kebid'ahan dan kesesatan.
(Al Majmu': 5/139, Imam Nawawi; Al Mughni: 2/456, Ibnu Qudamah; Al Inshof: 2/506, Al Mardawiy; Asy Syarhul Mumti': 5/376-377; Al Mulakkhosh, hal. 27-28)
Bid'ah-bid'ah terlarang dalam hal memandikan jenazah
Beberapa kebid'ahan yang sering dilakukan dalam acara memandikan jenazah:
Pertama: Meletakkan roti atau makanan dan secangkir air di tempat si mayit dimandikan selama tiga malam setelah kematiannya.
Kedua: Menyalakan lentera atau lampu minyak di tempat si mayit dimandikan selama tiga malam mulai dari terbenamnya matahari sampai waktu terbitnya. Sebagian mereka membiarkannya sampai tujuh harinya atau lebih di tempat itu.
Ketiga: Mengucapkan dzikir-dzikir tertentu dan mengeraskannya ketika mencuci atau membasuh setiap anggota tubuh si mayit.
Keempat: Membiarkan rambut mayit terurai di antara kedua susunya.
(Ahkamul Janaiz, hal. 247)
Semoga Alloh ta'ala memberikan petunjuk dan taufiq-Nya kepada kaum muslimin seluruhnya, sehingga dapat menjalankan agama mereka dengan baik, sesuai dengan sunnah Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam dan menjauhkan diri-diri mereka dari kesesatan berupa kebid'ahan-kebid'ahan dalam agama yang diada-adakan.
Demikianlah pembahasan bagian kedua dari hukum-hukum penyelenggaraan jenazah ini. Insyaalloh, akan diteruskan pada pembahasan bagian ketiga yaitu tata cara mengkafani jenazah.
Wallohu ta'ala a'lam bish showab, walhamdulillahi Robbil 'alamin.
Ditulis: Mushlih Abu Sholeh Al-Madiuniy -waffaqohulloh- (rev. 16 Muharrom 1436)
Pustaka:
- At-Tafsir Al-Muyassar, karya kumpulan ulama tafsir Saudi Arabia dengan pengantar Syaikh Sholeh bin Abdul 'Aziz Alus-Syaikh waffaqohulloh, cet. ke-2 Ad-Darul 'Alamiyyah 1430H.
- Ahkamul Janaiz wa Bida'uha, karya Imam Al-Albaniy rohimahulloh, cet. ke-4 Al-Maktabul Islamiy 1406H.
- Talkhis Ahkamil Janaiz, karya Imam Al-Albaniy rohimahulloh, cet. ke-3 Maktabah Al-Ma'arif.
- Jami'ul Adillah wat Tarjihat fii Ahkamil Amwat, oleh Syaikh Yahya bin Ali Al-Hajuriy, cet. pertama Maktabah Shon'a Al-Atsariyah, tahun 1427H.
- Fathul 'Allam fii Dirosati Ahaditsi Bulughil Marom (jilid 2 Kitab Janaiz), oleh Syaikh Muhammad bin Hizam Al-Ba'daniy, cet. pertama Maktabah Ibnu Taimiyah 1432H.
- Mulakkhosh Ahkamil Jana'iz, oleh Syaikh Abdulloh Al Iryani, cet. 1 Darul Atsar Shon'a, th. 1430.
- As Sailul Jarror Al Mutadaffiq 'Ala Hada'iqil Azhar, karya Imam Asy Syaukani, cet. 1 Dar Ibnu Hazm.
- Asy Syarhul Mumti' 'Ala Zadil Mustaqni', karya Syaikh Ibnu 'Utsaimin, cet. 1 Dar Ibnul Jauzi, th. 1428.
╭─┅─═ঊঊঈ═─┅─╮
SEBARKANLAH
ENGKAU AKAN
MENDAPATKAN
PAHALANYA
╰─┅─═ঊঊঈ═─┅─╯
🅹🅾🅸🅽 🅲🅷🅰🅽🅽🅴🅻 🆃🅴🅻🅴🅶🆁🅰🅼