LAILATUL QODARI


بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

SILSILAH MAJLIS ROMADHON


LAILATUL QODARI

1       Asal muasal penamaan Lailatul Qodari ?

Ibnu Qudamah rohimahulloh mengatakan:

لَيْلَةُ الْقَدْرِ هِيَ لَيْلَةٌ شَرِيفَةٌ مُبَارَكَةٌ مُعَظَّمَةٌ مُفَضَّلَةٌ ثُمَّ قَال : وَقِيل : إِنَّمَا سُمِّيَتْ لَيْلَةَ الْقَدْرِ لأَِنَّهُ يُقَدَّرُ فِيهَا مَا يَكُونُ فِي تِلْكَ السَّنَةِ مِنْ خَيْرٍ وَمُصِيبَةٍ ، وَرِزْقٍ وَبَرَكَةٍ

“Lailatul qodari adalah malam mulia, penuh berkah, diagungkan dan dilebihkan dari yang lain.” Kemudian beliau melanjuntukan: “Ada yang mengatakan: dinamakan lailatul qodari karena pada malam itu ditetapkan apa yang akan terjadi pada tahun tersebut dari perkara baik maupun buruk, dari rizqi dan berkah"
[lihat📙“Al-Mughni” (3/178)]

As-Sindi rohimahulloh mengatakan:
بِفَتْحِ القَافِ وَإِسْكَانِ الدَّالِ سُمِّيَتْ بِذَلِكَ لِعِظَمِ قَدْرِهَا أَيُّ ذَاتِ القَدْرِ العَظِيْمِ لِنُزُولِ القُرْآنِ فِيْهَا ، وَوَصْفُهَا بِأَنَّهَا خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ أَوْ لِمَا يَحْصُلُ لِمُحْيِيْهَا بِالعِبَادَةِ مِنَ القَدْرِ الجَسِيْمِ أَوْ لِأَنَّ الأَشْيَاءَ تُقَدَّرُ فِيْهَا ، وَتَقْضِي لِقَولِهِ تَعَالَى : {فِيْهَا يُفْرَقُ كُلِّ أَمْرٍ حَكِيْمٍ} وَتَقْدِيْرُ اللهِ تَعَالَى سَابِقٌ فَهِيَ لَيْلَةُ إِظْهَارِ اللهِ تَعالَى ذَلكَ التَّقْدِيْر لِلْمَلاَئِكَةِ.
“Dengan menfathahkan qof dan mensukunkan dal, dinamakan dengan hal tersebut karena agungnya kadar malam tersebut yakni mempunyai kedudukan yang agung karena turunnya Al-Qur’an pada malam tersebut dan karena penyifatannya dengan malam yang lebih baik dari 1000 malam, atau (karena) apa yang terjadi dari menghidupkan malam tersebut dengan ibadah dari kadar yang banyak, atau karena sesuatu ditaqdirkan pada waktu itu, dan yang menguatkan hal itu adalah firman Alloh ta’ala:

 {فِيْهَا يُفْرَقُ كُلِّ أَمْرٍ حَكِيْمٍ}
“Pada malam itu dijelaskan segala perkara yang penuh hikmah."

Dan pentaqdiran Alloh telah mendahului, maka itu adalah malam yang Alloh menampakkan taqdir tersebut kepada para Malaikat”  [lihat📗“Hasyiyah As-Sindi” (1/263)]

2       Keutamaan lailatul Qodari.

✅ PERTAMA👇:
Amal sholih pada malam itu lebih baik daripada amal sholih selama 1000 bulan yang tidak ada padanya lailtul qodari.

Alloh ta’ala berfirman

لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْر

“Lailatul qodari lebih baik daripada 1000 bulan.”  [📌QS. Al-Qodari]

✅ KEDUA👇:
Malam yang penuh berkah.

Alloh ta’ala berfirman:

{فِيْهَا يُفْرَقُ كُلِّ أَمْرٍ حَكِيْمٍ}

“Pada malam itu dijelaskan segala perkara yang penuh hikmah.”

✅ KETIGA👇:
Turunnya Malaikat pada malam itu dengan membawa rohmat.

Alloh ta’ala berfirman:

تَنَزَّل الْمَلاَئِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُل أَمْرٍ

“Malaikat dan Ruh (Malaikat Jibril) turun pada (malam) itu dengan seidzin Robb mereka untuk mengatur segala urusan.”  [📌QS. Al-Qodari:4]

Al-Qurthubi rohimahulloh mengatakan:

أَيْ تَهْبِطُ مِنْ كُل سَمَاءٍ وَمِنْ سِدْرَةِ الْمُنْتَهَى فَيَنْزِلُونَ إِلَى الأَْرْضِ وَيُؤَمِّنُونَ عَلَى دُعَاءِ النَّاسِ إِلَى وَقْتِ طُلُوعِ الْفَجْرِ ، وَتَنْزِل الْمَلاَئِكَةُ وَالرُّوحُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ بِالرَّحْمَةِ بِأَمْرِ اللَّهِ تَعَالَى وَبِكُل أَمْرٍ قَدَّرَهُ اللَّهُ وَقَضَاهُ فِي تِلْكَ السَّنَةِ إِلَى قَابِلٍ

“Yakni turun dari setiap langit dan dari Sidariotul Muntaha menuju Bumi dan mengaminkan do’a manusia sampai waktu Fajr. Malaikat dan Ruh (Malaikat Jibril) pada lailatul qodari dengan membawa rohmat dan dengan membawa segala urusan yang telah Alloh taqdirkan dan tetapkan pada tahun tersebut sampai yang akan datang.”

✅ KEEMPAT👇:
Lailatul Qodari adalah malam keselamatan.

Alloh ta’ala berfirman:

سَلاَمٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ

“Malam itu penuh kesejahteraan sampai terbit fajr.”  [📌QS. Al-Qodari]

Mujahid rohimahulloh mengatakan:

هِيَ لَيْلَةٌ سَالِمَةٌ لاَ يَسْتَطِيعُ الشَّيْطَانُ أَنْ يَعْمَل فِيهَا سُوءًا وَلاَ أَذًى

“Itu adalah malam yang selamat, yang tidaklah mampu syaithon untuk melakukan padanya kejelekan dan tidak pula gangguan”  [lihat📕“Tafsir Al-Qurthubi” (20/133)]

3       Lailatul Qodari terjadi pada 10 terakhir bulan Romadhon.

Asy-Syaikh ‘Abdulloh Alu Bassam rohimahulloh mengatakan:

وَيُمْكِنُ تَصْنِيْفُ هَذِهِ الأَقْوَالِ إِلَى أَرْبَعِ فِئَاتٍ:
الأُوْلَى: مَرْفُوضَةٌ كَالقَولِ بِإِنْكَارِهَا فِي أَصْلِهَا أَوْ رَفْعِهَا.
الثَّانِيَةُ: ضَعِيْفَةٌ كَالقَوْلِ بِأَنَّهَا لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ.
الثَّالِثَةُ: مَرْجُوْحَةٌ كَالقَولِ بِأَنَّهَا فِي رَمَضَانَ فِي غَيْرِ العَشْرِ الأَخِيْرِ مِنْهُ.
الرَّابِعَةُ: هِيَ الرَّاجِحَةُ وَهِيَ كَوْنُهَا فِي العَشْرِ الأَخِيْرِ مِنْ شَهْرِ رَمَضَانَ وَأَرْجَاهَا أَوْتَارُهَا، وَأَرْجَحُ الأَوْتَارِ لَيْلَةُ سَبْعٍ وَعِشْرِيْنَ.

“Mungkin pembagian pendapat (dalam permasalahan ini) dibagi menjadi 4 kelompok:

🔀 PERTAMA👇:
Tertolak, seperti pendapat yang mengingkari lailatul qodari tentang asalnya dan diangkatnya (hal tersebut).

🔀 KEDUA👇:
Lemah, seperti pendapat yang mengatakan bahwa hal tersebut pada malam nisfu Sya’ban.

🔀 KETIGA👇:
Terbantahkan, seperti pendapat yang mengatakan lailatul qodari di bulan Romadhon, yang terjadi pada selain 10 hari terakhir dari Romadhon.

🔀 KEEMPAT👇:
Rojih (yang kuat pendapatnya), yang hal itu terjadi pada 10 hari terakhir dari bulan Romadhon, dan diharapkan terjadi pada (malam) ganjilnya, dan paling kuat adalah pada malam 27”
[lihat📓“Taudhihul Ahkam” (hadits no.589)]

4       Lailatul Qodari senantiasa ada sampai akhir zaman.

An-Nawawi rohimahulloh mengatakan:

وَأَجْمَعُ مَنْ يَعْتَدُّ بِهِ عَلَى وُجُودِهَا وَدَوَامِهَا إِلَى آخِرِ الدَّهْرِ لِلاَحَادِيْثِ الصَّحِيْحَةِ المَشْهُورَةِ.

“Dan telah bersepakat orang-orang yang teranggap tentang adanya lailatul qodari dan senantiasanya sampai akhir zaman, sebagaimana ditunjukkan hadits-hadits shohih yang masyhur”
[📘Syarh Shohih Muslim]

5       Kapan Lailatul Qodari?

Dan lailatul qodari terjadi pada 10 hari terakhir dari Romadhon, dan Nabi ` memerintahkan untuk mendapatkan pada hari-hari yang ganjil, dan yang paling kuat pada malam ke-27 Romadhon:

«الْتَمِسُوْهَا فِي الوِتْرِ مِنَ العَشْرِ الأَوَاخِرِ»

“Carilah (lailatul Qodari) pada (hari) yang ganjil dari 10 hari terakhir”
[📌HR. Al-Bukhori (no.2016) dari Abi Sa’id dan ‘Aisyah rodhiyaAllohu anha. Dan dikeluarkan Muslim (no.1167) dari Abi Sa’id.]

عَنِ ابْنِ عُمَرَ ب قَالَ:قَالَ رَسُولُ اللهِ : «تَحَرَّوْهَا لَيْلَةَ سَبْعٍ وَعِشْرِيْنَ»

Dari Ibnu ‘Umar rodhiyaAllohu anhuma berkata: bersabda Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam: “Carilah pada malam 27.” Yakni lailatul Qodari.
[📌HR. Ahmad (no.4808) dan hadits dishohihkan oleh Asy-Syaikh Muqbil rohimahulloh dalam Al-Jami’us Shohih (no.1510)]

عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ أَبِي سُفْيَانَ ا ، عَنِ النَّبِيّ ِ فِي لَيْلَةِ القَدْرِ، قَالَ: «لَيْلَةُ القَدْرِ لَيْلَةُ سَبْعٍ وَعِشْرِيْنَ»

Dari Mu’awiyah bin Abi Sufyan rodhiyaAllohu anhu dari Nabi shollallohu alaihi wa sallam tentang lailatul Qodari, Bersabda: “Lalilatul Qodari malam 27”
[📌HR. Abu Dawud (4/264) dan hadits dishohihkan oleh Asy-Syaikh Muqbil rohimahulloh dalam Al-Jami’us Shohih (no.1509) dan berkata Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam “Bulughul Marom”: diriwayatkan Abu Dawud dan yang benar mauquf.]

Ibnu ‘Abdil Bar rohimahulloh mengatakan:

وَيَدُلُّ هَذَا الحَدِيْثُ وَمَا كَانَ مِثْلُهُ عَلَى أَنَّ الأَغْلَبَ فِيْهَا لَيْلَةُ سَبْعٍ وَعِشرِيْنَ وَيُمْكِنُ أَنْ تَكُونَ لَيْلَةُ ثَلاَثٍ وَعِشْرِيْنَ.

“Hadits ini menunjukkan dan apa yang semisalnya bahwa kebanyakan terjadinya lailatul qodari adalah malam 27 dan mungkin bisa terjadi pada malam 23”   [lihat📔“Al-Istidzkar” (3/416)]

Dan apabila seseorang beribadah pada malam lailatul qodari, akan tetapi dia tidak tahu bahwasanya pada malam itu adalah lailatul qodari, maka dia tetap mendapatkan pahala.

Dan ini adalah pendapat Ibnu Jarir Ath-Thobari, Ibnul ‘Arobi. Dan ini yang dikuatkan oleh Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rohimahumulloh.

6       Lailatul Qodari kekhususan umat Islam.

Ibnu ‘Abdil Bar rohimahulloh mengatakan:

أَنَّ لَيْلَةَ القَدْرِ لَمْ يُعْطِهَا إِلاَّ مُحَمَّدٌ وَأُمَّتُهُ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ.

“Bahwasanya lailatul qodari tidaklah diberikan kecuali kepada Muhammad dan umatnya shollallohu alaihi wa sallam”  [lihat📙“Al-Istidzkar” (3/416)]

7       Lailatul Qodari berpindah-pindah pada setiap tahun.

Abu Qilabah rohimahulloh mengatakan:

لَيْلَةُ القَدْرِ تَنْتَقِلُ فِي العَشْرِ الأَوَاخِرِ فِي كُلِّ وِتْرٍ.

“Lailatul qodari berpindah-pindah pada 10 hari terakhir di setiap (malam) ganjil”
[lihat📓“At-Tamhid” (2/204)]

An-Nawawi rohimahulloh mengatakan:

وَقَالَ المُحَقِّقُونَ إِنَّهَا تَنْتَقِلُ فَتَكُونُ فِي سَنَةٍ لَيْلَةُ سَبْعِ وَعِشْرِيْنَ وَفِي سَنَةٍ لَيْلَةُ ثَلاَثٍ وَسَنَةٍ لَيْلَةُ احْدَى وَلَيْلَةُ أُخْرَى وَهَذا أَظْهَرُ وَفِيْهِ جَمَعَ بَيْنَ الأَحَادِيْثِ المُخْتَلِفَةِ فِيْهَا.

“Para muhaqqiqun mengatakan bahwa lailatul qodari berpindah-pindah, maka suatu tahun pada malam 27, dan pada suatu tahun pada malam 23, dan pada malam lainnya. Dan ini lebih nampak (mendekati kebenaran) dan padanya telah tergabung diantara hadits-hadits yang berbeda-beda padanya”
[lihat📗“Syarah Nawawi ‘ala Muslim” (6/43)]

Al-Qurthubi rohimahulloh mengatakan:

وَالحَاصِلُ مِنْ مَجْمُوعِ الأَحَادِيْثِ ، وَمِمَّا اسْتَقَرَّ عَلَيْهِ أَمْرِ رَسُولِ اللِه ـ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ـ فِي طَقَبِهَا : أَنَّهَا فِي العَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ ، وَأَنَّهَا مُنْتَقِلَةٌ فِيْهِ ، وَبِهَذَا يَجْتَمِعُ شَتَّاتِ الأَحَادِيْثِ المُخْتَلِفَةِ الوَارِدَةِ فِي تَعْيِيْنِهَا.

“Dan hasilnya dari kumpulan hadits-hadits tersebut, dan apa yang tetap dari perkara Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam- adalah lailatul qodari terjadi pada Romadhon, dan hal itu berpindah-pindah. Dan dengan ini akan tergabungkan macam-macam hadits yang datang berbeda-beda tentang penetapannya.
[lihat📕“Al-Mufhim” (10/26)]

8       Lailatul Qodari adalah malam paling mulia dalam setahun.

Al-Munawi rohimahulloh mengatakan:

هِيَ أَفْضَلُ لَيَالِي العَامِ مُطْلَقًا وَذَهَبَ بَعْضُهُمْ إِلَى تَفْضِيْلِ لَيْلَةِ الإِسْرَاءِ عَلَيْهَا وَاعْتَرَضَ وَتَوَسَّطَ البَعْضُ فَقَالَ : لَيْلَةُ الإِسْرَاءِ أَفْضَلُ فِي حَقِّ المُصْطَفَى صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَيْلَةُ القَدْرِ أَفْضَلُ لِأُمَّتِهِ وَصَوَّبَ ابْنُ تَيْمِيَّةَ تَفْضِيْلَ لَيْلَةِ القَدْرِ مُطْلَقًا.

“(Malam tersebut) adalah seafdhol-afdhol malam dalam setahun secara muthlaq. Sebagian memandang tentang pemuliaan malam Isro atas lailatul qodari. Dan ada yang menyanggah dan menengahi seraya berpendapat: malam Isro’ afdhol bagi Musthofa shollallohu alaihi wa sallam, dan lailatul qodari afdhol bagi umatnya, dan Ibnu Taimiyyah membenarkan pemuliaan lailatul qodari secara mutlak"
[lihat📘“Faidhul Qodir” (5/395)]

9       Hikmah tidak diketahui terjadinya lailatul qodari.

Ibnu Rojab rohimahulloh mengatakan:

إِبْهَامُ لَيْلَةِ القَدْرِ أَدْعَى إِلَى قِيامِ العَشْرِ كُلِّهِ ، أَوْ أَوْتَارِهِ فِي طَلَبِهَا ، فَيَكُونُ سَبَبًا لِشِدَّةِ الاِجْتِهَادِ وَكَثْرِتِهِ.

“Penyamaran (kapan terjadi) lailatul qodari lebih mendorong untuk menegakkan (sholat teraweh) pada 10 hari (terakhir) semuanya, atau pada witirnya untuk mendapatkannya, maka hal itu sebab untuk semakin bersemangat dan memperbanyaknya”  [lihat📙“Fathul Bari” oleh Ibnu Rojab (1/104)]

[ 🔟 ] Tanda-tanda Lailatul Qodari.

[PERTAMA]:
Turunnya hujan pada malam itu.

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ أُنَيْسٍ رضي الله عنه: أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «أُرِيْتُ لَيْلَةَ القَدَرِ ثُمَّ أُنْسِيْتُهَا، وَأَرَانِي صُبْحَهَا أَسْجُدُ فِي مَاءٍ وَ طِيْنٍ» قَالَ: فَمُطِرْنَا لَيْلَةَ ثَلاَثٍ وَعِشْرِيْنَ، فَصَلَّى بِنَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ ، فَانْصَرَفَ وَإِنَّ أَثَرَ المَاءِ وَالطِّيْنِ عَلَى جَبْهَتِهِ وَأَنْفِهِ

Dari ‘Abdillah bin Unais rodhiyaAllohu anhu: bahwasanya Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam bersabda:
“Aku melihat lailatul Qodari kemudian dilupakan, dan aku melihat subuhnya, aku sujud di atas air dan tanah.” Berkata (‘Abdulloh bin Unais rodhiyaAllohu anhu):
“Maka hujan pada malam 23, kemudian kami sholat bersama Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam, kemudian setelah selesai, air dan tanah masih membekas di dahi dan hidungnya”
[📌HR.Muslim (no.1168)]

[KEDUA]:
Sinar matahari pada pagi harinya tidak terlalu kuat;

عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ: «وَأَمَارَتُهَا أَنْ تَطْلُعَ الشَّمْسُ فِي صَبِيْحَةٍ، يَوْمِهَا بَيْضَاءَ، لاَ شُعَاعَ لَهَا»

Dari Ubay bin Ka’ab rodhiyaAllohu anhu: “Dan tanda-tandanya matahari terbit pada pagi harinya, putih, bersinar tidak terlalu kuat.”
[📌HR. Muslim (no.762) Abu Dawud (no.1378) At-Tirmidzi (no.793) lihat Shohih Sunan Abi Dawud (no.1247) oleh Asy-Syaikh Al-‘Allamah Al-Muhaddits Muhammad Nashiriddin Al-Albani rohimahulloh]

Al-Munawi rohimahulloh mengatakan:

وَقِيْلَ : مَعْنَى لاَ شُعَاعَ لَهَا أَنَّ المَلاَئِكَةَ لِكَثْرَةِ اخْتِلاَفِهَا فِي لَيْلَتِهَا وَنُزُولِهَا إِلَى الأَرْضِ وَصُعُودِهَا تَسْتُرُ بِأَجْنِحَتِهَا وَأَجْسَامِهَا اللَّطِيْفَةِ ضَوْءَ الشَّمْسِ.

“Ada yang mengatakan: bahwa makna tidak kuat cahaya matahari adalah para Malaikat dengan sangat banyak macamnya pada lailatul qodari serta turunnya mereka ke Bumi dan naiknya, sampai menutupi dengan sayap-sayap mereka yang lembut cahaya matahari"  [lihat📔“Faidhul Qodir” (5/396)]

Ibnu Mas’ud rodhiyaAllohu anhu mengatakan:

أَنَّ الشَّمْسَ تَطْلُعُ كُل يَوْمٍ بَيْنَ قَرْنَيْ شَيْطَانٍ إِلاَّ صَبِيحَةَ لَيْلَةِ الْقَدْرِ

“Bahwa matahari terbit setiap hari diantara dua tanduk syaithon kecuali pada pagi hari lailatul qodari"
[📌AR. Ibnu Abi Syaibah (3/75-76)]

[KETIGA]:
Malam harinya sedang, tidak panas dan tidak pula dingin;

Nabi shollallohu alaihi wa sallam bersabda:

إِنِّي كُنْتُ أُرِيْتُ لَيْلَةَ القَدْرِ ثُمَّ نُسِّيْتُهَا وَهِيَ فِي العَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ لَيْلَتِهَا وَهِيَ لَيْلَةٌ طَلْقَةٌ بَلْجَةٌ لَا حَارَةٌ وَلاَ بَارِدَةٌ.

“Aku sesungguhnya diperlihatkan lailatul qodari kemudian dilupakan, hal itu terjadi pada 10 hari terakhir dari malam-malamnya, malam yang cerah ketika awal muncul fajrnya, tidak gerah cuacanya dan tidak pula dingin.”

Syaikhuna Muhammad bin Hizam Al-Ba’dani hafidzohulloh mengatakan:

“Hadits Jabir rodhiyaAllohu anhuma riwayat Ibnu Khuzaimah (no.2190) dan Ibnu Hibban (no.3688) dan dalam sanadnya ada Al-Fudhoil bin Sulaiman dan dia seorang yang dho’if (lemah). Dan datang juga juga dari hadits ‘Ubadah bin Ash-Shomit rodhiyaAllohu anhu riwayat Ahmad (5/324) dan dalam sanadnya ada Baqiyyah bin Walid dan didalamnya juga ada keterputusan sanad, karena Ma’dan bin Kholid tidak mendengar dari ‘Ubada bin Ash-Shomit rodhiyaAllohu anhu. Dan datang juga hadits Ibnu ‘Abbas riwayat Ibnu Khuzaimah (no.2192) dan Al-Bazzar dalam “Kasyful Astar” (no.1034) dan dalam sanadnya ada Zam’ah bin Sholih dan dia seorang yang lemah. Dan hadits naik menjadi hasan dengan keseluruhan syawahid (pendukung).
[Lihat📗Ithaful Anam (hal.244)]

[KEEMPAT]:
Melihat dalam mimpi terjadi lailatul qodari.

Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rohimahulloh berkata:

أن الله يُري الإنسانَ الليلةَ في المنام، كما حصل ذلك لبعض الصحابة

“Alloh menampakkan kepada seorang tentang lailatul qodari dalam mimpi, sebagaimana yang terjadi terhadap sebagian shohabat"
[lihat📕“Asy-Syarhul Mumti’” (6/496)]


⚠TANBIH PERTAMA👇:
An-Nawawi rohimahulloh mengatakan:

اعْلَمْ أَنَّ لَيْلَةَ القَدْرِ يَرَاهَا مَنْ شَاءَ اللهُ تَعَالَى مِنْ بَنِي آدَم كُلُّ سَنَةٍ فِي رَمَضانَ كَمَا تَظاهَرَتْ عَلَيْهِ الاَحَادِيثُ وَأَخْبَارُ الصَّالِحِيْنَ بِهَا وَرُؤْيَتُهُمْ لَهَا أَكْثَرُ مِنْ أَنْ تُحْصَرَ.

“Ketahuilah bahwa lailatul qodari bisa dilihat siapa saja yang Alloh kehendaki dari Bani Adam pada setiap tahun pada (bulan) Romadhon sebagaimana telah nampak hadits-hadits dan khobar orang-orang sholih tentang hal tersebut dan penglihatan mereka adalah sangat banyak untuk dihitung"
[lihat📓“Al-Majmu’ Syarhul Muhadzab” (6/461)]

⚠TANBIH KEDUA👇:
Al-Munawi rohimahulloh mengatakan:

وَلَا يَلْزَمُ مَنْ تَخَلَّفَ العَلاَمَةَ عَدَمُهَا وَرُبَّ قَائِمٍ فِيْهَا لَمْ يَحْصُلْ مِنْهَا إِلَّا عَلَى العِبَادَةِ وَلَمْ يَرَ شَيْئًا مِنْ عَلاَمَاتهَا وَهُوَ أَفْضَلُ عِنْدَ اللهِ مِمَّنْ رَآهَا وَأَكْرَمُ.

“Dan tidaklah mengharuskan orang yang tidak mendapati tanda-tandanya ia tidak mendapatkannya (lailatul qodari).

Terkadang seorang yang berdiri beribadah pada malam itu ia tidak mendapati darinya kecuali ia senantiasa diatas ‘ibadah dalam keadaan ia tidak melihat sesuatu apapun dari tanda-tandanya, maka ia lebih afdhol dan mulia daripada yang melihat tanda-tanda (lailtul qodari)"
[Lihat📘“Faidhul Qodir”]

10     Mustahab untuk menyembunyikan lailatul qodari

Al-Mawardi rohimahulloh mengatakan:

وَيُسْتَحَبُّ لِمَنْ رَأَى لَيْلَةَ الْقَدْرِ أَنْ يَكْتُمَهَا ، وَيَدْعُوَ بِإِخْلَاصِ نِيَّةٍ وَصِحَّةِ يَقِينٍ بِمَا أَوْجَبَ مِنْ دِينٍ وَدُنْيَا ، وَيَكُونُ أَكْثَرُ دُعَائِهِ لِدِينِهِ ، وَآخِرَتِهِ

Disukai bagi orang yang melihat lailatul qodari untuk menyembunyikannya, dan (hendaknya) ia berdoa dengan mengikhlaskan niat dan kebenaran yakin dengan apa yang Alloh wajibkan dari (perkara) agama dan dunia. Dan hendaknya kebanyakan doanya adalah untuk (perkara) agama dan akhiratnya"
[lihat📔“Al-Hawi” (3/484)]

Ibnu Hajar rohimahulloh mengatakan:

وَاسْتَنْبَطَ السُّبُكِي الكَبِيْرُ فِي الحَلَبِيَّاتِ مِنْ هَذِهِ القِصَّةِ اسْتِحْبَابُ كِتْمَانِ لَيْلَةِ القَدْرِ لِمَنْ رَآهَا قَالَ: وَوَجْهُ الدِّلَالَةِ أَنَّ اللهَ قَدَّرَ لِنَبِيِّهِ أَنَّهُ لَمْ يُخْبِرْ بِهَا وَالخَيْرُ كُلُّهُ فِيْمَا قُدِّرَ لَهُ فَيُسْتَحَبُّ أَتْبَاعُهُ فِي ذَلِكَ وَذَكَرَ فِي شَرْحِ المِنْهَاجِ ذَلِكَ عَنِ الحَاوِى قَالَ وَالحِكْمَةُ فِيْهِ أَنَّهَا كَرَامَةٌ وَالكَرَامَةُ يَنْبَغِي كِتْمَانُهَا بِلاَ خِلاَفٍ بَيْنَ أَهْلِ الطَّرِيْقِ مِنْ جِهَّةِ رُؤْيَةِ النَّفْسِ فَلَا يَأْمَنُ السَّلْبِ وَمِنْ جِهَّةِ أَنْ لاَ يَأْمَنُ الرِّيَاء وَمِنْ جِهَّةِ الأَدَبِ فَلاَ يَتَشَاغَلُ عَنِ الشُّكْرِ لِله بِالنَّظَرِ إِلَيْهَا وَذَكَرَهَا لِلنَّاسِ وَمِنْ جِهَّةِ أَنَّهُ لاَ يَأْمَنُ الحَسَدَ فَيُوقِعُ غَيْرَهُ فِي المَحْذُورِ وَيُسْتَأْنَسُ لَهُ بِقَولِ يَعْقُوبُ عَلَيهِ السَّلاَمَ يَا بُنَيَّ لاَ تَقْصُصْ رُؤْيَاكَ عَلَى اخْوَتِكَ الآية.

“As-Subuki Al-Kabir beristinbat dalam “Al-Halabiyyat dari kisah tersebut tentang mustahabnya menyembunyikan lailatul qodari bagi siapa yang melihatnya, ia mengatakan:
sisi pendalilannya adalah Alloh telah mentaqdirkan kepada NabiNya bahwa beliau tidak mengabarkan lailatul qodari, dan kebaikan keseluruhannya adalah yang ditaqdirkan untuknya, maka (oleh karena itu) disukai untuk mengikutinya dalam hal tersebut. Dan dIsebutkan juga dalam “Syarhul Minhaj” hal ini dari (kitab) Al-Hawi:

“Dan hikmah dari hal tersebut adalah perkara tersebut termasuk dari karomah, dan karomah sepantasnya untuk disembunyikan tanpa ada perselisihan diantara Ahlut Thoriq.

Dan dari segi melihat diri seseorang, maka ia tidaklah merasa aman hal tersebut akan dicabut.
Dan dari segi dia tidaklah aman dari riya’.

Dan dari segi adab, hendaknya ia tidaklah menyibukkan diri yang dengannya ia lalai dari bersyukur kepada Alloh dengan melihat perkara tersebut yang kemudian ia menyebuntukan kejadian lailatul qodari kepada orang-orang.

Dari segi bahwa ia tidaklah merasa aman dari hasad yang akan muncul dari yang lainnya dari perkara yang terlarang, dan disandarkan pendapat ini dengan ucapan Ya’qub alaihis salam:

يَا بُنَيَّ لاَ تَقْصُصْ رُؤْيَاكَ عَلَى اخْوَتِكَ الآية

“Wahai anakku, janganlah engkau ceritakan mimpimu kepada saudara-saudaramu.”
[lihat📙“Fathul Bari” (4/268)]


💎faedah 📝ust. Fuad Hasan Abu Muhammad Ngawi hafidzhohulloh

PERMASALAN SEPUTAR I'TIKAF


بسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
SILSILAH MAJLIS ROMADHON


PERMASALAN SEPUTAR I'TIKAF
1    Pengertian I’tikaf.
Imam Al-Qurthubi rohimahulloh mengatakan:
وَالاِعْتِكَافُ فِي اللُّغَةِ : المُلَازَمَةُ يُقَالُ عَكَفَ عَلَى الشَّئْ ِإِذَا لاَزَمَهُ مُقْبِلًا عَلَيْهِ.
“ i’tikaf secara bahasa adalah: mulazamah, dikatakan (‘akafa) atas sesuatu apabila ia menetapi hal tersebut dengan fokus.”  [tafsir “Al-Qurthubi” (1/707)]
Secara syari’at, Asy-Syaikh Zayid Al-Wushobi mengatakan:
المَقَامُ في المَسْجِدِ مِنْ شَخْصٍ مَخْصُوصٍ عَلَى صِفَةٍ مَخْصُوصَةٍ.
“ Tinggal di masjid  yang di lakukan orang yang khusus dengan sifat yang khusus.”  [lihat “Miskul Khitam” (2/569)]

2    Nama lain dari I’tikaf
Jiwar adalah nama lain dari ‘itikaf, sebagaimana hadits
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصْغِي إِلَيَّ رَأْسَهُ وَهُوَ مُجَاوِرٌ فِي الْمَسْجِدِ فَأُرَجِّلُهُ وَأَنَا حَائِضٌ
Dari ‘Aisyah rodhiyaAllohu anha berkata: Nabi shollallohu alaihi wa  sallam meletakkan kepalanya kepadaku dalam keadaan beliau I’tikaf dalam masjid, maka akupun menyisirnya dalam keadaan aku haidh.” [HR. Al-Bukhori (no.2028)]

3    I’tikaf termasuk dari syari’at terdahulu
Alloh ta’ala berfirman:
وَعَهِدْنَا إِلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ أَنْ طَهِّرَا بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْعَاكِفِينَ
“ Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang i'tikaf, yang ruku' dan yang sujud.”  [QS.Al-Baqoroh:125]
فَاتَّخَذَتْ مِنْ دُونِهِمْ حِجَاباً
“Maka dia (Maryam) membuat tabir (penutup) dari mereka" [QS. Maryam]
كُلَّمَا دَخَلَ عَلَيْهَا زَكَرِيَّا الْمِحْرَابَ وَجَدَ عِنْدَهَا رِزْقاً
“Maka setiap kali Zakariya masuk menemuinya di Mihrob, dia mendapati makanan di sisinya.”
Syaikhul Islam rohimahulloh mengatakan:
وَلِأَنَّ مَرْيَمَ عَلَيْهَا السَّلاَمُ قَدْ أَخْبَرَ اللهُ سُبْحَانَهُ أَنَّهَا جَعَلَتْ مُحَرَّرَةً لَهُ، وَكَانَتْ مُقِيْمَةٌ فِي المَسْجِدِ الأَقْصَى فِي المِحْرَابِ، وَأَنَّهَا انْتَبَذَتْ مِنْ أَهْلِهَا مَكَانًا شَرْقِيًا فَاتَّخَذَتْ مِنْ دُونِهِمْ حِجَابًا، وَهَذَا اعْتِكَافُ فِي المَسْجِدِ وَاحْتِجَابِ فِيْهِ.
“ Karena Maryam alaihis salam telah Alloh kabarkan bahwa ia telah dijadikan seorang hamba yang mengabdi kepadaNya, dan ia dulunya tinggal menetap di masjid Aqsa di dalam Mihrob, dan ia mengasingkan diri dari  ke suatu tempat di sebelah timur, lalu ia memasang tabir yang melindunginya  dari mereka. Maka ini adalah I’tikaf di masjid serta membuat tabir padanya.”  [lihat “Syarhul Umdah” Syaikhul Islam (2/748)]

4    Rukun I’tikaf
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rohimahulloh berkata:
الاعْتِكَافُ رُكْنُهُ كَمَا أَسْلَفْتُ لُزُومَ المَسْجِدِ لِطَاعَةِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ تَعَبُّداً لَهُ، وَتَقَرُّبًا إِلَيهِ، وَتَفَرُّغًا لِعِبَادَتِهِ.
“ I’tikaf rukunnya adalah sebagaimana telah aku sebuntukan (yaitu) menetapi masjid untuk ketaatan kepada Alloh azza wa jalla dengan (tujuan) beribadah kepadanya, serta mendekatkan diri kepadanya dan memfokuskan untuk beribadah kepadaNya" [lihat“Majmu’ Fatawa wa Rosa’il Al-Utsaimin” (20/162)]

5    Syarat I’tikaf
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rohimahulloh berkata:
وَأَمَّا شُرُوطُهُ فَهِيَ شُرُوطُ بَقِيَّةِ العِبَادَاتِ فَمِنْهَا: الإِسْلَامُ، وَالعَقلُ، وَيَصِحُّ مِنْ غَيرِ البَالِغِ، وَيَصِحُّ مِنَ الذَّكَرِ، وَمِنَ الأُنثَى، وَيَصِحُّ بِلَا صَومٍ، وَيَصِحُّ فِي كُلِّ مَسْجِدٍ.

“ Adapun syaratnya adalah syarat-syarat ibadah, yang diantaranya: Islam, berakal, sah dari seorang yang belum baligh, sah dari laki-laki, sah dari perempuan, sah tanpa disertai puasa dan sah pada setiap masjid.”  [lihat “Majmu’ Fatawa wa Rosa’il Al-Utsaimin” (20/162)]
Sebagian menambahkan syarat niat, Ibnu Hubairoh rohimahulloh mengatakan:
وَاتَّفَقُوا عَلَى أَنَّهُ لاَ يَصِحُّ إِلاَّ بِالنِّيَّةِ.
“ Mereka bersepakat bahwa hal tersebut tidaklah sah kecuali dengan niat.”  [lihat“Al-Ifshoh” (1/255)]

6    Hukum I’tikaf
Disyari’atkan dan mustahab dengan dalil dari Al-Qur’an, As-Sunnah dan Ijma’. Dan tidak diwajibkan kecuali dengan nadzar dengan Ijma’.
Alloh ta’ala berkata:
وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ.
“Janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam mesjid.”  [QS.Al-Baqoroh:187]
عَنِ ابْنِ عُمَرَ: أَنَّ النَّبِيَّ كَانَ يَعْتَكِفُ فِي العَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رمَضَانَ
Dari Ibnu ‘Umar rodhiyaAllohu anhuma: “Bahwasanya Nabi shollallohu alaihi wa sallam beri’tikaf pada 10 hari terakhir dari Romadhon.”  [HR. Al-Bukhori (no.2025) Muslim (no.1171)]
Dan hadits juga datang dari ‘Aisyah rodhiyaAllohu anha riwayat Al-Bukhori (no.2026) Muslim (no.1172).
Dan hadits datang juga dari Ubay bin Ka’ab rodhiyaAllohu anhu riwayat Abu Dawud (7/135) Ibnu Majah (1/526) dan hadits dishohihkan oleh Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wad’I rohimahulloh dalam “Al-Jami’us Shohih” (no.1513)]
Ibnul Mundzir rohimahulloh mengatakan:
وَأَجْمَعُوا عَلَى أَنَّ الاِعْتِكَافَ سُنَّةٌ لاَ يَجِبُ عَلَى النَّاسِ فَرْضًا إِلاَّ أَنْ يُوجِبَهُ المَرْءُ عَلَى نَفْسِهِ نَذَراً فَيَجِبُ عَلَيْهِ.
“ Mereka bersepakat bahwa I’tikaf adalah Sunnah, (dan) tidaklah wajib bagi seseorang menjadi kewajiban kecuali kalau ia mewajibkan atas dirinya dengan nadzar, maka hal itu wajib baginya.” [lihat “Al-Ijma’” (hal.53)]


7    I’tikaf selain bulan Romadhon
Ibnu ‘Abdil Barr rohimahulloh mengatakan:
وَالاِعْتِكَافُ هُوَ فِي العَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ سُنَّةٌ، وَفِي غَيْرِ رَمَضَانَ جَائِزٌ.
“ I’tikaf pada 10 hari terakhir Romadhon adalah Sunnah, dan pada selain Romadhon adalah boleh.” [lihat “Al-Kafiy” oleh Ibnu ‘Abdil Barr (1/352)]

8    Keutamaan I’tikaf
Abu Dawud rohimahulloh mengatakan:
قُلْتُ لِأَحْمَدَ تَعْرِفُ فِي فَضْلِ الاِعْتِكَافِ شَيْئًا؟ قَالَ: لاَ، إِلَّا شَيْئًا ضَعِيْفًا.
“ Aku katakan kepada Ahmad: Apakah engkau mengetahui sesuatu tentang keutamaan I’tikaf? Beliau menjawab: Tidak, kecuali sesuatu yang dho’if.”  [lihat “Masa’il Abi Dawud” (hal.96)]
Diantara hadits tentang keutamaan I’tikaf adalah apa yang diriwayatkan secara marfu’ dari Abud Darda’ rodhiyaAllohu anhu:
مَن اعْتَكَفَ لَيْلَةً كَانَ لَهُ كَأَجْرِ عُمْرَة، وَمَنْ اعْتَكَفَ لَيْلَتَيْنِ كَانَ لَهُ كَأَجْرِ عُمْرَتَيْن..
“ Barang siapa yang beri’tikaf semalam maka baginya pahala ‘umroh, dan barang siapa beri’tikafdua malam maka baginya pahala dua ‘umroh..”  [Syaikhul Islam dalam “Syarhul ‘Umdah” (2/712)]

9    Perkara yang mustahab bagi seorang beri’tikaf
. Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rohimahulloh berkata:
مُسْتَحَبَّاتُهُ أَنْ يَشْتَغِلَ الإِنْسَانُ بِطَاعَةِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ مِنْ قِرَاءَةِ القُرْآنِ وَالذِّكْرِ وَالصَّلاَةِ وَغَيْرِ ذَلِكَ، وَأَنْ لاَ يُضَيِّعَ وَقْتَهُ فِيْمَا لاَ فَائِدَةَ فِيْهِ، كمَا يَفْعَلُ بَعْضُ المُعْتَكِفِينَ تَجِدْهُ يَبْقَى فِي المَسْجِدِ يَأْتِيهِ النَّاسُ فِي كُلِّ وَقْتٍ يَتَحَدَّثُونَ إِلَيهِ وَيَقْطَعُ اعْتِكَافَهُ بِلاَ فَائِدَةٍ، وَأَمَّا التَّحَدُّثُ أَحْيَاناً مَعَ بَعْضِ النَّاسِ أَوْ بَعْضِ الأَهْلِ فَلاَ بَأْسَ بِهِ، لِمَا ثَبَتَ فِي الصَّحِيْحَينِ مِنْ فِعْلِ رَسُولِ الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِيْنَ كَانَتْ صَفِيَّةُ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا تَأْتِي إِلَيْهِ فَتَتَحَدَّثُ إِليهِ سَاعَةً ثُمَّ تَنْقَلِبُ إِلَى بَيْتِهَا.
“ Mustahabnya adalah seorang menyibukkan diri dengan ketaatan kepada Alloh azza wa jalla dari membaca Al-Qur’an, dzikir, sholat dan selainnya. Dan tidak menyia-nyiakan waktunya pada perkara yang tidak ada faedah padanya sebagaimana apa yang dilakukan sebagian orang-orang yang ber’itikaf engkau dapati mereka tinggal dimasjid, didatangi orang-orang pada setiap waktu ngobrol kepadanya dan menghabiskan I’tikafnya tanpa ada fedah. Adapun berbincang terkadang-kadang dengan sebagian orang atau dengan keluarga tidaklah mengapa, sebagaimana apa yang datang pada shohihain dari perbuatan Rosululloh ketika Shofiyah mendatanginya kemudian berbincang dengannya beberapa waktu kemudian kembali ke rumahnya.” [lihat“Majmu’ Fatawa wa Rosa’il Al-Utsaimin” (20/162)]

10  Tujuan dari I’tikaf
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rohimahulloh berkata:
وَالمَقْصُودُ بِالاِعْتِكَافِ : انْقِطَاعُ الإِنْسَانِ عَنِ النَّاسِ لِيَتَفَرَّغْ لِطَاعَةِ اللهِ فِي مَسْجِدٍ مِنْ مَسَاجِدِهِ طَلَبًا لِفَضْلِهِ وَثَوَابِهِ وَإِدْرَاكِ لَيْلَةَ القَدْرِ ، وَلِذَلِكَ يَنْبَغِي لِلْمُعْتَكِفِ أَنْ يَشْتَغِلَ بِالذِّكْرِ وَالقِرَاءَةِ وَالصَّلاَةِ وَالعِبَادَةِ ، وَأَنْ يَتَجَنَّبَ مَا لَا يَعْنِيهِ مِنْ حَدِيْثِ الدُّنْيَا.
“ Dan maksud dari I’tikaf adalah seorang insan memutuskan diri dari manusia untuk menfokuskan untuk ketaatan kepada Alloh di masjid dari masjid-masjidNya dengan tujuan mencari keutamaan, pahala dan mendapatkan lailatul qodari, oleh karena itu seorang yang beriitikaf ia menyibukkan dengan dzikir, membaca Al-Qur’an, sholat dan Ibadah. Dan menjauhi apa yang tidak berguna dari perkara Dunia.”  [lihat “Majmu’ Fatawa wa Rosa’il Al-Utsaimin” (20/341)]

11  Apakah disyaratkan puasa ketika I’tikaf?
Tidak diharuskan puasa baginya kecuali apa yang diwajibkan oleh dirinya sendiri ketika nadzarnya. Dan ini adalah pendapat Asy-Syafi’i, Ishaq dan Ahmad.
عَنِ ابْنِ عُمَرَ: أَنَّ عُمَرَ قَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنِّي نَذَرْتُ فِي الجَاهِلِيَّةِ أَنْ أَعْتَكِفَ لَيْلَةً فِي المَسْجِدِ الحَرَامِ، قَالَ: «فَأَوْفِي بِنَذْرِكَ»
Dari Ibnu ‘Umar: Bahwasanya ‘Umar rodhiyaAllohu anhu berkata: Ya Rosululloh, aku bernadzar diwaktu Jahiliyyah untuk beri’tikaf semalam dimasjid Al-Harom, bersabda Nabi shollallohu alaihi wa sallam: “Tunaikanlah nadzarmu.”  [HR. Al-Bukhori (no.6625) Muslim (no.1656)]
Dan waktu malam bukanlah waktu puasa, kalau pun puasa adalah syarat, maka tidak sah I’tikafnya.




12  Disyaratkan I’tikaf di Masjid.
Al-Qurthubi rohimahulloh mengatakan:
أَجْمَعَ العُلَمَاءُ عَلَى أَنَّ الاِعْتِكَافَ لاَ يَكُونُ إِلاَّ فِي مَسْجِدٍ.
“ Para ‘Ulama sepakat bahwa I’tikaf tidaklah dilakukan kecuali di masjid.”  [lihat“Tafsir Al-Qurthubi” (1/707)]
Ibnu Rusyd rohimahulloh mengatakan:
وَقَدْ اتَّفَقَ العُلَمَاءُ عَلَى مَشْرُوطِيَّةِ المَسْجِدِ لِلاعْتِكَافِ، إِلاَّ مُحَمَّدُ بْنِ عُمَرَ بْنِ لُبَابَةَ فَأَجاَزَهُ فِي كُلِّ مَكَانٍ.
“ Para ‘Ulama telah sepakat tentang disyaratkannya masjid untuk I’tikaf kecuali Muhammad bin ‘Umar bin Lubabah, yang ia membolehkan pada setiap tempat.”  [lihat “Bidayatul Mujtahid” (1/312)]
Ibnu Qudamah rohimahulloh berkata:
وَلاَ يَصِحُّ الاِعْتِكَافُ فِي غَيْرِ مَسْجِدٍ إِذَا كَانَ المُعْتَكِفُ رَجُلًا لاَ نَعْلَمُ فِي هَذَا بَيْنَ أَهْلِ العِلْمِ خِلَافًا.
“ Tidaklah sah I’tikaf diselain masjid, apabila yang ber’itikaf adalah laki-laki. Dan kami tidak mengetahui perselisihan diantara Ahlul ‘Ilmi pada permasalahan ini.”  [lihat Al-Mughni (3/67)]

13  I’tikaf di Masjid yang ditegakkan padanya sholat Jama’ah
Syaikhuna Zayid Al-Wushobi wafaqohulloh mengatakan:
الصَّوَابُ: أَنَّهُ لاَ يَعْتِكِفُ إِلاَّ فِي مَسْجِدٍ تُقَامُ فِيْهِ صَلَواتٌ، لِأَنَّ الخُروجَ لِكُلِّ صَلاَةٍ إِلَى مَسْجِدٍ تُقَامُ فِيْهِ الجَمَاعَةُ مُنَافٍ لِلإِعْتِكَافِ.
Dan yang benar adalah hendaknya seorang tidaklah beri’tikaf kecuali di masjid yang di ditegakkan padanya sholat berjama’ah. Karena keluar pada setiap sholat ke masjid yang ditegakkan padanya sholat jama’ah mengurangi ibadah Itikaf tersebut.”  [lihat “Miskul Khitam” (2/575)]

14  Bolehnya keluar untuk buang hajat ketika I’tikaf
Ibnul Mundzir rohimahulloh mengatakan:
وَأَجْمَعُوا عَلَى أَنَّ لِلْمُعْتَكِفِ أَنْ يَخْرُجَ عَنْ مُعْتَكِفِهِ لِلغَائِطِ وَالبَولِ.
“ Para Ahlul Ilmi bersepakat bahwa boleh bagi seorang yang beri’tikaf untuk keluar dari tempat I’tikafnya untuk buang air besar dan kencing.” [lihat “Al-Ijma” (hal.54)]
Ibnu Hubairoh mengatakan:
وَأَجْمَعُوا عَلى أَنْ يجُوزَ لِلإِنْسَانِ الخُرُوجُ إِلَى مَا لاَبُدَّ مِنْهُ كَحَاجَةِ الإِنْسَانِ ...
“ Dan mereka juga bersepakat bahwa boleh bagi seorang insan keluar untuk perkara yang harus dia lakukan seperti (menunaikan) hajat seorang insan.”  [lihat “Al-Ifshoh” (1/259)]
Adapun keluarnya orang yang beri’tikaf selain dari dua hal yang telah tersebut diatas, telah berkata Ibnu Qudamah rohimahulloh: “Apabila kebutuhan makan dan minum yang tidak ada yang mengantarkannya, maka boleh baginya untuk keluar dari masjid apabila dibutuhkan hal tersebut..” [LihatAl-Mughni (3/68)]
Adapun kalau dia keluar dari masjid tanpa ada keperluan, maka yang demikian membatalkan i’tikafnya walaupun sebentar. Dan ini adalah pendapat Malik, Asy-Syafi’i, Ahmad dan Abu Hanifah. Dan pendapat yang dikuatkan oleh Asy-Syaikh Muhammad Hizam.  [Lihat Al-Mughni (3/69-70) Ithaful Anam (hal.236)]

Dan kalaupun seseorang jual beli di masjid dalam keadaan dia beri’tikaf, maka dia berdosa akan tidak ada dalil tentang batal i’tikafnya.  [Lihat Ithaful Anam (hal.234)]

15  Perkara yang pembatal ibadah i’tikaf

PERTAMA:  Jima’
Ibnul Mundzir rohimahulloh mengatakan:
وَأَجْمَعُوا عَلَى أَنَّ مَنْ جَامَعَ امْرَأَتَهُ وَهُوَ مُعْتَكِفٌ عَامِدًا لِذَلِكَ فِي فَرْجِهَا أَنَّهُ يُفْسِدُ اعْتِكَافَهُ.
“ Ahlul ilmi juga bersepakat bahwa barang siapa menjima’I istrinya dalam keadaan ia I’tikaf dengan sengaja untuk itu di kemaluannya, (maka) hal itu merusak I’tikafnya.”  [lihat“Al-Ijma’” (hal.54)]
Ibnu Hazm rohimahulloh mengatakan:
وَاتَّفَقُوا أَنَّ الوَطْءَ يُفْسِدُ الاِعْتِكَافِ.
“Ahlul Ilmi bersepakat bahwa bersetubuh merusak I’tikaf.”  [lihat “Marotibul Ijma’” (hal 41)]

KEDUA: Mabuk.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى.
“ Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mendekati sholat dalam keadaan kalian mabuk.” [QS.An-Nisa’:43]
Ini adalah pendapat Jumhur Ahlul ‘Ilmi.
 Asy-Syafi’I rohimahulloh mengatakan:
وَإِذَا أَسْكَرَ المُعْتَكِفُ لَيلًا أَوْ نَهَارًا، أَفْسَدَ اعْتِكَافُهُ.
“Apabila (seorang) mabuk pada waktu malam maupun siang, maka telah rusak (ibadah) I’tikafnya.”  [lihat “Al-Umm” (2/266)]

KETIGA:  Bersentuhan yang disertai dengan syahwat.
Ibnul Abdil Barr rohimahulloh mengatakan:
أَجْمَعَ العُلَمَاءُ أَنَّ المُعْتَكِفَ لاَ يُبَاشِرُ وَلاَ يُقَبِّلُ.
“Para ‘Ulama telah bersepakat bahwa seorang yang beri’tikaf tidaklah bersentuhan dan tidak pula mencium.”  [lihat “At-Tamhid” (8/331)]

KEEMPAT:  Pulang ke rumah tanpa ada kebutuhan.
Ibnul Abdil Barr rohimahulloh mengatakan:
وَأَجْمَعُوا أَنَّ المُعْتَكِفَ لاَ يَدْخُلُ بَيْتًا وَلاَ يَسْتَظِلُّ بِسَقْفٍ إِلاَّ ( فِي ) المَسْجِدِ الَّذِي يَعْتَكِفُ فِيْهِ أَو يَدْخُلُ لِحَاجَةِ الإِنْسَانِ.
“ Dan mereka juga bersepakat bahwa seorang yang beri’tikaf tidaklah masuk rumah dan tidak pula berteduh di atap kecuali di masjid yang ia beri’tikaf padanya atau untuk ia masuk (kerumah) untuk menunaikan hajat manusia.”  [lihat “At-Tamhid” (8/331)]

16  Hal-hal yang diperbolehkan bagi orang beri’tikaf

✅ PERTAMA👇: Bersentuhan dengan istri tanpa disertai syahwat.

Ibnu Qudamah rohimahulloh mengatakan:

فَأَمَّا المُبَاشَرَةُ دُوْنَ الفَرْجِ فَإِنْ كَانَتْ لِغَيْرِ شَهْوَةٍ فَلَا بَأْسَ بِهَا مِثْلُ أَنْ تَغْسِلَ رَأسَهُ أَوْ تُفَلِّيْهِ أَوْ تَنَاوُلُهُ شَيْئًا [ لِأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَ سَلَّمَ كَانَ يُدْنِي رَأْسَهُ إِلَى عَائِشَةَ وَهُوَ مُعْتَكِفٌ فَتُرَجِّلُهُ].

“Adapun mubasyaroh (bersentuhan) selain di kemaluan, apaila tanpa disertai syahwat maka tidaklah mengapa, semisal ia membasuh kepalanya, menggulung atau memberikan sesuatu. Karena Nabi shollallohu alaihi wa sallam dahulu mendekatkan kepalanya kepada Aisyah dalam keadaan beliau beri’tikaf kemudian disisir rambutnya.”
[lihat📕“Al-Mughni” (3/199)]

✅ KEDUA👇:
Naik ke atap masjid.

Ibnu Qudamah rohimahulloh mengatakan:

وَيُجُوزُ لِلْمُعْتَكِفِ صُعُودُ سَطْحَ المَسْجِدِ لِأَنَّهُ مِنْ جُمْلَتِهِ وَلِهَذَا يُمْنَعُ الجنُب مِنَ البَثِّ فِيْهِ وَهَذَا قَوْلُ أَبِي حَنِيْفَةَ وَماَلِكٍ وَالشَّافِعِي وَلاَ نَعْلَمُ فِيْهِ مُخَالِفًا وَيَجُوزُ أَنْ يَبِيْتَ فِيْهِ.

“Diperbolehkan bagi orang yang beri’tikaf untuk naik ke atap masjid karena hal itu termasuk dari bagian masjid, oleh karena itulah dilarang bagi orang yang junub untuk tinggal disitu. Dan ini adalah pendapat Abu Hanifah, Malik dan Asy-Syafi’i. dan kami tidaklah mengetahui ada yang menyelisihi, dan boleh baginya untuk bermalam disitu.”
[lihat📕“Al-Mughni” (3/197)]

✅ KETIGA👇:
Menunaikan suatu perkara yang tidak mungkin dilaksanakan di masjid.

Ibnu Qudamah rohimahulloh mengatakan:

وُكُلُّ مَا لاَ بُدَّ لَهُ مِنْهُ وَلاَ يُمْكِنُ فِعْلُهُ فِي المَسْجِدِ فَلَهُ الخُرُوجُ إِلَيهِ وَلاَ يُفْسِدُ اعْتِكَافُهُ وَهُوَ عَلَيْهِ مَا لَمْ يَطُلْ.

“Setiap sesuatu yang harus ia lakukan, dan tidak mungkin dilakukan di masjid maka boleh baginya untuk keluar untuk melaksanakan hal tersebut, dan tidaklah merusak I’tikafnya dalam keadaan ia tidak berlama-lama dalam hal tersebut.”
[lihat📘“Al-Mughni” (3/192)]

✅ KEEMPAT👇:
Meletakkan hidangan makan dan mencuci tangan di masjid.

Asy-Syafi’I rohimahulloh mengatakan:

وَلاَ بَأْسَ بِوَضْعِ المَائِدَةِ فِي المَسْجِدِ وَغَسْلِ اليَدَينِ فِي المَسْجِدِ فِي الطَّسْتِ.

“Tidak mengapa bagi seorang untuk meletakkan hidangan makanan di masjid, mencuci kedua tangan di masjid dilakukan di dalam wadah.”
[lihat📓“Al-Umm” (2/267)]

✅ KELIMA👇:
Boleh memakai wewangian bagi seorang yang beri’tikaf.

An-Nawawi rohimahulloh mengatakan:

يَجُوزُ لَهُمَا مِنَ اللِّبَاسِ وَالطِّيْبِ وَالمَأكُولِ مَا كَانَ جَائِزًا قَبْلَ الاِعْتِكَافِ وَسَوَاءٌ رَفِيْع الثِّيَابِ وَغَيْرِهِ وَلاَ كَرَاهَةَ فِي شَئٍ مِنْ ذَلِكَ وَلاَ يُقَالُ اِنَّهُ خِلَافُ الاَوْلَى هَذَا مَذْهَبُنَا.

“Boleh bagi keduanya (seorang mu’takif dan mu’takifah) untuk memakai pakaian, wewangian dan makanan yang diperbolehkan sebelum ia beri’tikaf, sama saja hal tersebut adalah pakaian yang bagus atau selainnya, dan tidaklah makruh pada perkara-perkara tersebut (yang telah disebuntukan). Dan tidak juga dikatakan hal tersebut menyelisihi yang lebih afdhol, dan ini adalah madzhab kami.”
[lihat📙“Al-Majmu’” (6/559)]

✅ KEENAM👇:
Menikah dan menikahkan yang lain.

An-Nawawi rohimahulloh mengatakan:

يَجُوزُ أَنْ يَتَزَوَّجَ وَأَنْ يُزَوَّجَ وَقَدْ نَصَّ عَلَيهِ الشَّافِعِي فِي المُخْتَصَرِ وَاتَّفَقَ الاَصْحَابُ عَلَيهِ وَلاَ أَعْلَمُ فِيهِ خِلاَفًا.

“Boleh baginya (seorang yang ber’itikaf) untuk menikah dan menikahkan yang lainnya sebagaimana telah dinash oleh Asy-Syafi’I dalam “Al-Mukhtashor” dan telah disepakati juga oleh pengikut madzhab, dan aku tidaklah mengetahui pada hal ini khilaf.”
[lihat📙Al-Majmu” (6/528)]

✅ KETUJUH👇:
Keluar dari masjid tanpa sengaja.

Asy-Syafi’I rohimahulloh mengatakan:

وَلَو نَسِيَ المُعْتَكِفُ فَخَرَجَ ثُمَّ رَجَعَ لَمْ يُفْسِدْ اعْتِكَافُهُ.
“Kalau seandainya seorang mu’takif lupa keluar (dari masjid) kemudian kembali, maka tidaklah rusak I’tikafnya.”
[lihat📓“Al-Umm” (2/267)]

17  Bolehnya i’tikaf kapan saja

Ibnu Mulaqqin rohimahulloh mengatakan:

أَنَّ الاِعْتِكَافَ لَا يُكْرَهُ فِي وَقْتٍ مِنَ الأَوْقَاتِ، وَأَجْمَعَ العُلَمَاءُ عَلَى أَنْ لاَ حَدَّ لِأَكْثَرِهِ.

“Bahwasanya I’tikaf tidaklah makruh (untuk dilaksanakan) pada kapan pun saja, dan para ‘Ulama telah sepakat bahwa tidak ada batasan waktu terbanyaknya.”
[lihat📘“Al-‘Ilam bi Fawaid ‘Umdatul Ahkam” (5/430)]

18  Orang yang beri’tikaf membuat tempat tidur di masjid.
Muhallab mengatakan:
فِيْه مِنَ الفِقْهِ أَنَّ المُعْتَكِفَ يَجِبُ أَنْ يَجْعَلَ لِنَفْسِهِ فِى المَسْجِدِ مَكَانًا لِمَبِيتِهِ، بِحَيْثُ لاَ يُضَيِّقُ عَلَى المُسْلِمِينَ، كَمَا فَعَلَ الرَّسُولُ  - صلى الله عليه وسلم -  فِى الصَّحْنِ إِذَا ضَرَبَ فِيْهِ خِبَاءَهُ.

“Pada (hadits) tersebut terdapat padanya; termasuk dari fiqih adalah seorang yang beri’tikaf wajib untuk membuat tempat tidur untuk dirinya di masjid agar tidak mengganggu kaum muslimin, sebagaimana Rosul –alaihis sholatu wa salam- menjadikan bagian tengah masjid untuk membuat padanya kemah.”  [dari📕“Syarh Al-Bukhori Ibnu Bathol” (7/199)]

19  Bolehnya membuat kemah di masjid bagi orang yang beri’tikaf

عَنْ عَائِشَةَ، قَالَتْ: كَانَ النَّبِىُّ، عليه السَّلام، يَعْتَكِفُ فِى الْعَشْرِ الأوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ، فَكُنْتُ أَضْرِبُ لَهُ خِبَاءً فَيُصَلِّى الصُّبْحَ، ثُمَّ يَدْخُلُهُ، فَاسْتَأْذَنَتْ حَفْصَةُ عَائِشَةَ أَنْ تَضْرِبَ خِبَاءً، فَأَذِنَتْ لَهَا، فَضَرَبَتْ خِبَاءً فَلَمَّا رَأَتْهُ زَيْنَبُ ابْنَةُ جَحْشٍ، ضَرَبَتْ خِبَاءً آخَرَ

Dari Aisyah berkata: Nabi shollallohu alaihi wa sallam dahulu beri’tikaf pada 10 hari terakhir dari Romadhon, maka aku membuat untuk beliau kemah, beliau pun melaksanakan  sholat shubuh,  setelah itu beliau masuk ke kemah tersebut. Maka Hafshoh idzin kepada Aisyah untuk membuat kemah juga, maka Aisyah mengijinkan untuk membuat kemah, setelah itu ia pun membuat kemah. Maka Zainab binti Jahsy melihat beliau juga, ia pun membuat kemah yang lain…”
[📌HR. Al-Bukhori]

Ibnul Mundzir mengatakan:

وَفِيْهِ دَلِيْلٌ عَلَى إِبَاحَةِ ضَرْبِ الأَخْبِيَةِ فِى المَسْجِدِ لِلْمُعْتَكِفِيْنَ.

“(Pada hadits tersebut) dalil tentang bolehnya membuat kemah di masjid untuk orang yang beri’tikaf.”
[dari📙“Syarh Shohih Al-Bukhori” oleh Ibnu Bathol (7/200)]

20  Hukum i’tikaf bagi orang yang punya tanggungan nafkah keluarg

Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rohimahulloh berkata:

الاِعْتِكَافُ سُنَّةٌ وَلَيسَ بِوَاجِبٍ، وَمَعَ ذَلِكَ إِذَا كَانَ عَلَى الإِنْسَانِ الْتِزَامَاتٌ لِأَهْلِهِ فَإِنْ كَانَتْ الاِلْتِزَامَاتُ وَاجِبَةٌ عَلَيهِ وَجَب عَلَيهِ القِيَامُ بِهَا، وَكَانَ آثماً بِالاِعْتِكَافِ الَّذِي يَحُولُ دُوْنَهَا، وَإِنْ كَانَتْ غَيْرُ وَاجبَةٍ فَإِنَّ قِيَامَهُ بِتِلْكَ الاِلْتِزَامَاتُ قَدْ يَكُونُ أَفْضَلُ مِنَ الاِعْتِكَافِ.

“I’tikaf adalah Sunnah, dan bukanlah wajib. Akan tetapi bersamaan dengan itu, apabila seseorang mempunyai tanggungan terhadap keluarganya, dan tanggungan tersebut adalah suatu yang wajib baginya, maka wajib baginya untuk melaksanakan hal tersebut, dan ia berdosa apabila melakukan I’tikaf yang ia laksanakan. Dan apabila tanggungan tersebut tidaklah wajib, maka dengan melaksanakan tanggungan tersebut, bisa jadi hal tersebut lebih afdhol dari I’tikaf" [lihat📘“Majmu’ Fatawa wa Rosa’il Al-Utsaimin” (20/178)]

21  Hukum i’tikaf bagi orang yang mengurusi urusan kaum muslimin.

Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rohimahulloh berkata:

وَقَضَاءُ حَوَائِج المُسْلِمِيْنَ إِذَا كَانَ هَذَا الرَّجُلُ مُعَنِيًّا بِهَا فَلاَ يَعْتَكِفْ، لِأَنَّ قَضَاءَ حَوَائِجِ المُسْلِمِينَ أَهَمُّ مِنَ الاِعْتِكَافِ، لِأَنَّ نَفْعَهَا مُتَعَدٍّ، وَالنَّفْعُ المُتَعَدِّي أَفْضَلُ مِنَ النَّفْعِ القَاصِرِ، إِلاَّ إِذَا كَانَ النَّفْعُ القَاصِرُ مِنْ مُهِمَّاتِ الإِسْلاَمِ وَوَاجِبَاتِ الإِسْلاَمِ.

“Menuntaskan urusan kebutuhan kaum muslimin apabila orang ini ditugasi untuk hal tersebut, maka hendaknya ia tidak beri’tikaf, karena menuntaskan kebutuhan kaum muslimin lebih penting daripada I’tikaf, karena (juga) manfaatnya itu merambat kepada yang lain. Dan manfaat yang bisa untuk yang lainnya itu lebih afdhol daripada manfaat yang terbatas kecuali apabila manfaat terbatas tersebut termasuk dari perkara penting Islam dan kewajiban-kewajiban Islam.”
[lihat📘“Majmu’ Fatawa wa Rosa’il Al-Utsaimin” (20/180)]

22  I’tikafnya wanita.

Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rohimahulloh berkata:
المَرْأَةُ إِذَا أَرَادَتْ الاِعْتِكَافُ فَإِنَّمَا تَعْتَكِفُ فِي المَسْجِدِ إِذَا لَمْ يَكُنْ فِي ذَلِكَ مَحْذُورٌ شَرِعِي، وَإِنْ كَانَ فِي ذَلِكَ مَحْذُورٌ شَرْعِي فَلاَ تَعْتَكِفْ.

“Seorang wanita apabila hendak ber’itikaf, maka ia beri’tikaf di masjid apabila disana tidak ada larangan syar’I, dan kalua disana ada hal terlarang secara syar’I maka tidak diperkenankan ber’itikaf.”
[lihat📘“Majmu’ Fatawa wa Rosa’il Al-Utsaimin” (20/163)]

⚠TANBIH:
Ibnu Bathol rohimahulloh mengatakan:

أَنَّ المَرْأَةَ إِذَا أَرَادَتْ اعْتِكَافًا لَمْ تَعْتَكِفْ حَتَّى تَسْتَأْذِنْ زَوْجُهَا، وَيَدُلُّ عَلَى أَنَّ الأَفْضَلَ وَالأَعْلَى لِلنِّسَاءِ لَزُوْمُ مَنَازِلِهِنَّ، وَتَرْكُ الاعْتِكَافِ مَعَ إِبَاحَتِهِ لَهُنَّ؛ لِأَنَّ رَدَّهُنَّ وَمَنْعُهُنَّ مِنْهُ يَدُلُّ عَلَى أَنَّ لُزُومَ مَنَازِلِهنَّ أَفضَلُ مِنَ الاِعْتِكَافِ.

“Bahwa seorang wanita apabila hendak beri’tikaf, (maka) ia tidak beri’tikaf sampai idzin kepada suaminya, dan (hadits ini) menunjukkan bahwa yang afdhol dan mulia bagi wanita untuk menetapi rumah-rumahnya, dan meninggalkan I’tikaf walaupun hal itu boleh bagi mereka, karena penolakan dan pelarangan mereka dari Nabi shollallohu alaihi wa sallam menunjukkan bahwa menetapi rumah mereka lebih afdhol daripada I’tikaf.”
[lihat📔“Syarh Ibnu Bathol” (13/113)]

23  Waktu memulai I’tikaf 10 hari Romadhon.

Dimulai pada waktu sebelum tenggelam matahari dari malam 21 Romadhon, Abu Tsaur mengatakan:

إِنْ أَرَادَ الاِعْتِكَافُ عَشْرَ لَيَالِي دَخَلَ قَبْلَ الغُرُوبِ.

“Apabila hendak I’tikaf 10 malam, maka masuk sebelum tenggelam matahari.”
[dari📓“Umdatul Qori’” (17/205)]

24  Waktu selesai I’tikaf 10 hari Romadhon.

Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rohimahulloh berkata:
يَخْرُجُ المُعْتَكِفُ مِنْ اعْتِكَافِهِ إِذَا انتَهَى رَمَضَانُ، وَيَنْتهِي رَمَضَانُ بِغُروبِ الشَّمْسِ لَيْلَةَ العِيْدِ.
“Seorang yang beri’tikaf, ia keluar dari I’tikafnya apabila selesai Romadhon, dan selesainya Romadhon adalah dengan tenggelamnya matahari malam ‘ied.”
[lihat📘“Majmu’ Fatawa wa Rosa’il Al-Utsaimin” (20/170)]


📎📝 oleh Ust. Fuad Hasan Abu Muhammad Ngawi hafidzhohulloh

Berhutang Atau Berniaga Lebih Baik Daripada Meminta-minta

Berhutang Atau Berniaga Lebih Baik Daripada Meminta-minta Ditulis oleh: Abu Fairuz Abdurrohman Al Qudsy Al Jawy Al Indonesy -semoga Alloh me...