Mengenal Riba Lebih Dekat


بسم الله الرحمن الرحيم

الحمد لله رب العالمين، وبه نستعين، والصلاة والسلام على سيد المرسلين، وعلى آله وصحبه ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين، أما بعد

Riba adalah perkara besar yang sangat terlarang dalam Islam. Orang yang terus-terusan dalam riba terancam diperangi oleh Alloh Shubhanahu wa Ta’ala, Dia berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ * فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللهِ وَرَسُولِهِ

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Alloh dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kalian orang-orang yang beriman. Apabila kalian tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Alloh dan Rasul-Nya akan memerangi kalian”. (QS Al-Baqoroh 278-279)

Orang-orang yang terlibat riba juga terlaknat. Makna laknat adalah meminta agar terusir dari rahmat-Nya. Jabir Rodhiyallohu ‘Anhu mengatakan: “Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam melaknat orang yang memakan riba, memberi makan, penulis, dan kedua saksinya. Beliau Shollallohu ‘Alaihi wa Sallammengatakan:

هم سواء

“Mereka sama”. (HR Muslim)

Rosululloh Shollallohu ‘alahi wa sallam juga menegaskan bahwa riba adalah dosa yang mencelakakan dan membinasakan pelakunya. Beliau Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

اجتنبوا السبع الموبقات

“Jauhilah tujuh perkara yang mencelakakan!!”

Beliau ditanya: “Apa tujuh perkara tersebut, wahai Rosululloh?” Beliaupun menjawab:

الشرك بالله، والسحر، وقتل النفس التي حرم الله إلا بالحق، وأكل مال اليتيم وأكل الربا، والتولي يوم الزحف، وقذف المحصنات الغافلات المؤمنات

“(Tujuh perkara tersebut adalah) Syirik kepada Alloh, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Alloh kecuali dengan haq, memakan harta anak yatim, memakan harta riba, melarikan diri saat berkecamuknya perang, dan menuduh seorang perempuan mukminah -yang menjaga dirinya dan tidak bersalah- telah melakukan zina.”(HR. Bukhory- Muslim)

Sebagaimana dimaklumi, mengenal sebuah kejelekan adalah salah satu langkah awal untuk meninggalkannya, sebagaimana disebutkan oleh Hudzaifah Ibnul Yaman Rodhiyallohu ‘Anhu.

كَانَ النَّاسُ يَسْأَلُونَ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الخَيْرِ، وَكُنْتُ أَسْأَلُهُ عَنِ الشَّرِّ مَخَافَةَ أَنْ يُدْرِكَنِي

“Dahulu orang-orang bertanya kepada Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam tentang kebaikan, sementara aku bertanya tentang kejelekan karena khawatir bisa menimpaku”. (HR Bukhori-Muslim)

Karena itu mengenal bentuk riba merupakan perkara yang penting dipahami oleh seorang muslim, terlebih berkembangnya transaksi-transaksi ini di tengah masyarakat, dan banyak yang tidak peduli,wallohul musta’aan.

Tidak dipungkiri bahwa pelaku riba senantiasa melakukan inovasi-inovasi -yang kebanyakannya dilahirkan di negara kafir untuk kemudian diadopsi oleh kaum muslimin- untuk memperhalus tampilannya, sehingga orang-orang yang baik tidak menyadarinya bahkan sampai tahap menyangka apa yang mereka lakukan adalah islamy.

Dalam pembahasan ini, kita tidak mengupas semua modus, namun paling tidak kita akan mengenal riba dari pokoknya, sehingga bagaimanapun cabangnya dibuat insyaalloh dengan sedikit penalaran -setelah adanya taufiq dari Alloh- perkara tersebut bisa dikenali.

PEMBAHASAN PERTAMA: RIBA DALAM TRANSAKSI JUAL BELI

Secara umum riba bisa ditemukan dalam dua bentuk transaksi yaitu jual beli dan utang piutang.
Kita mulai pembahasan dengan riba yang terdapat di jual beli, namun sebelum masuk ke gambaran riba dalam transaksi jual beli, perlu diketahui terlebih dahulu bahwa benda-benda yang terkena riba dalamtransaksi jual beli terbatas.

Benda-benda tersebut disebutkan di hadits dari Abu Sa’id Al-Khudry Rodhiyallohu ‘Anhu, Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

الذهب بالذهب، والفضة بالفضة، والبر بالبر، والشعير بالشعير، والتمر بالتمر، والملح بالملح، مثلا بمثل، يدا بيد، فمن زاد، أو استزاد، فقد أربى، الآخذ والمعطي فيه سواء

“(Jual beli) emas dengan emas, perak dengan perak, burr (gandum) dengan burr, sya’ir dengan sya’ir (sejenis biji-bijian, nama latinnya: Hordeum Vulgare), kurma dengan kurma, garam dengan garam, (mesti) semisal (takaran atau timbangannya), dan kontan. Barang siapa yang menambah atau meminta lebih banyak maka dia telah berbuat riba. Orang yang mengambil dan memberi (riba) hukumnya sama”. (HR Muslim)

Berdasarkan bentuk transaksi yang terjadi antar masing-masingnya -sebagaimana diterangkan di hadits-hadits yang lain yang insyaalloh akan disebutkan- maka benda yang enam ini terbagi dalam dua kelompok besar.

Kelompok Pertama: 

Emas dan perak, juga digolongkan ke dalam kelompok ini: Jumhur (mayoritas) ulama terdahulu atau belakangan, juga memasukkan uang kertas ataupun logam yang beredar sekarang ke dalam kelompok ini, karena yang menjadi alat transaksi di zaman Nabi adalah dinar (dari emas) dan dirham (dari perak). Perincian lengkapnya butuh pembahasan tersendiri yang tidak akan dibahas disini, wallohul Musta’an.

Kelompok Kedua: 

Burr, sya’ir, kurma dan garam.

Tidak bisa digolongkan jenis makanan lain -yang juga ditimbang atau ditakar- ke dalam kelompok ini karena di zaman Rosululloh Shollallohu ‘Alahi wa Sallam terdapat jenis makanan lain -yang ditakar ataupun ditimbang- seperti: aqith (susu yang dikeringkan), kismis, dll, namun beliau tidak menggolongkannya sebagai barang yang terkena riba.

[KOMBINASI TRANSAKSI JUAL BELI ANTARA BENDA RIBA DALAM DUA KELOMPOK DI ATAS]

Ada tiga kombinasi transaksi jual beli yang terjadi pada jenis-jenis di atas berdasarkan barang yang dilibatkan dalam transaksi sesama mereka.

A. JUAL BELI BARANG SEJENIS

Sebagaimana disebutkan di hadits Abu Sa’id di atas, ada dua syarat yang mesti dipenuhi agar tidak terjatuh dalam riba. Jika salah satu syarat tersebut tidak terpenuhi maka jatuh ke dalam bentuk riba, syarat tersebut adalah tunai dan kesamaan berat atau takaran (volume) nya.

A1. Barangnya dibayar tunai namun benda yang diserahkan pembeli dan penjual tidak sama. Maka             riba di sini dinamakan riba fadhl.

Contoh: Jual beli emas dengan sistem tukar tambah, kontan.

Ada dua bentuk: 

Pertama

Pembeli -misalnya- datang dengan sepuluh gram emas batangan untuk ditukar dengan kalung emas delapan gram. Kedua: Pembeli datang membawa sepuluh gram emas batangan ditukar dengan kalung emas juga sepuluh gram, namun penjual meminta tambahan lima ratus ribu. Atau pembeli datang dengan kalung emas 22 karat seberat sepuluh gram ditukar dengan kalung emas 24 karat dengan berat yang sama, maka penjual minta tambahan lima ratus ribu.

Perlu diperhatikan, yang jadi patokan dalam penukaran emas ataupun perak adalah berat, terlepas dari mutu dan bentuknya. Sebagaimana dikisahkan Fudholah bin ‘Ubaid Rodhiyallohu ‘Anhu: “Dahulu kami bersama Rosululloh pada hari penaklukan Khaibar maka kami mengadakan kesepakatan dengan Yahudi atas penjualan satu uqiyyah emas dengan dua dan (atau) tiga dinar. Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam, lantas berkata:

لا تبيعوا الذهب بالذهب، إلا وزنا بوزن

“Jangan kalian menjual emas dengan emas kecuali dengan berat yang sama”. (HR Muslim)

Dalam riwayat lain dari Abu Sa’id Al-Khudhry, Rosululloh bersabda:

لا تبيعوا الذهب بالذهب، ولا الورق بالورق، إلا وزنا بوزن، مثلا بمثل، سواء بسواء

“Janganlah kalian menjual emas dengan emas, tidak juga perak dengan perak, kecuali dengan berat yang setara, semisal, sama”. (HR Muslim)

Terus bagaimana dengan upah pengrajin? Dalam sebuah riwayat yang shahih bahwa seorang pengrajin bertanya kepada Ibnu ‘Umar Rodhiyallohu ‘Anhu. Orang tersebut mengatakan: “Wahai Abu ‘Abdirrohman, sesungguhnya aku adalah seorang pengrajin emas. Kemudian aku menjualnya dengan (emas) yang lebih dari beratnya. Bolehkah aku meminta kelebihan tersebut sekadar upah kerjaan tanganku?”. Ibnu ‘Umar pun melarang pengrajin tersebut.

Si pengrajin itu terus-terusan mengulangi pertanyaannya dan ‘Abdulloh bin ‘Umar terus melarangnya. Sampai ketika berakhir di pintu masjid atau sampai ke tunggangannya ketika dia ingin menaikinya, Ibnu ‘Umar berkata: “Dinar dengan dinar, dirham dengan dirham, tidak boleh ada kelebihan antara keduanya. Inilah yang diamanahkan Nabi kami kepada kami, dan yang kami amanahkan kepada kalian”. (Diriwayatkan di Mushonnaf ‘Abdurrozzaq, atsar ini dishohihkan Syaikh Kami Muhammad bin Hizam)

Demikian juga halnya menukar kurma dengan kurma, garam dengan garam dll, takarannya harus sama (karena yang dijadikan patokan untuk jenis ini adalah satuan volume) walau mutunya berbeda.
Solusinya: Sebagaimana disebutkan di hadits Abu Sa’id Al-Khudry Rodhiyallohu ‘Anhu dalam riwayat yang lain. Abu Sa’id mengatakan: “Didatangkan kurma kepada Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam. Lalu beliau mengatakan:

ما هذا التمر من تمرنا؟

“Kurma ini bukanlah dari jenis kurma kita”.

Maka lelaki yang mendatangkan kurma mengatakan: “Wahai Rosululloh, kami menjual dua sho’ (salah satu jenis takaran) jenis kurma kita, dengan satu sho’ dari jenis ini”.

Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam, lantas berkata:

هذا الربا فردوه، ثم بيعوا تمرنا واشتروا لنا من هذا

“Ini adalah riba, kembalikanlah oleh kalian. Kemudian juallah kurma kita (dengan benda yang lain). Lalu kalian belilah untuk kami dari jenis kurma ini”. (HR Muslim)

Karena itu maka pihak pembeli mesti menjual emas batangannya terlebih dahulu. Setelah mendapatkan uang, terserah dia mau beli kalung emas yang mana saja dan dengan harga berapa saja.

A2. Barang yang dibarter sudah sama, namun salah satu pihak tidak memberikan secara keseluruhan. Maka tidak adanya unsur tunai di sini tergolong riba, dinamakan dengan riba nasii-ah.

Contoh

(1). Jual beli emas sepuluh gram dengan sepuluh gram namun salah satu pihak baru menyerahkan lima gram.

(2). Penukaran lima dirham dengan uang pecahan satu dirham di toko, namun pecahannya baru bisa dikasihkan senilai tiga dirham, sisanya nanti sore karena pemilik toko masih butuh pecahan untuk transaksi. (Contoh ini juga bisa diterapkan pada uang kertas atau recehan bagi jumhur ulama yang berpendapat digolongkannya uang ke kelompok emas dan perak).

Solusi

Kalau emas tersebut memiliki nilai nominal, misal yang lima gram adalah satu dinar dan yang sepuluh gram nominalnya dua dinar, maka bentuknya kembali ke contoh (2). Jika tidak memiliki nominal, misal yang sepuluh gram adalah kalung sementara yang lima gram adalah cincin. Maka disarankan pada bentuk yang ini sebagaimana solusi pada jenis (A1).

Adapun pada contoh (2), maka bagi yang ingin menukarkan uang dirham tersebut disarankan untuk beralih kepada transaksi utang, yaitu dengan meminjam tiga dirham dari pemilik toko. Apabila dia minta jaminan, maka berikan uang lima dirham tersebut sebagai jaminan, wallohu a’lam.

~Masalah Terkait Jenis (A) Dan Jawabnya~

(Masalah ini terkait dengan pendapat jumhur ulama yang menggolongkannya uang ke kelompok emas dan perak)

Kalau dikatakan: “Berarti hampir semua transaksi kita lakukan saat ini, jatuh ke bentuk transaksi ini. Misalkan, kita membeli sabun seharga empat ribu, kemudian menyerahkan uang senilai sepuluh ribu, maka penjual akan memberikan kembalian sebanyak enam ribu. Artinya kita menukar sepuluh ribu dengan uang enam ribu plus sabun.

Jawabnya: Uang kembalian yang enam ribu bukanlah asal transaksi. Asal transaksi adalah sabun dengan uang empat ribu. Ketika kita menyerahkan sepuluh ribu, transaksi sabun telah selesai. Posisi enam ribu yang layaknya barang titipan. Bisa dia pulangkan langsung, atau kita biarkan sebagai barang titipan dengan mengatakan: “Pegang saja dulu, nanti saya ambil”, atau bisa jadi penjual memintanya sebagai utang dengan mengatakan: “Besok saja kembaliannya”.

B. JUAL BELI BARANG BERBEDA JENIS TAPI DALAM KELOMPOK YANG SAMA

Seperti jual beli emas dengan perak, atau juga barter garam dengan kurma, burr dengan sya’ir, atau kombinasi lain dalam masing-masing kelompok yang telah disebutkan di atas. Maka yang seperti ini hanya disyaratkan kontan, terserah satu ton emas mau ditukar sekilo perak. Tidak boleh beli emas -misalkan- seharga seratus dirham dibayar separuh di depan. Bentuk riba yang ada dalam transaksi seperti ini adalah riba nasii-ah.

[Adapun contoh bagi pendapat jumhur, maka tidak boleh membeli emas atau perak dengan uang dengan cara utang atau kredit]

Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits dari ‘Ubadah bin Shomit Rodhiyallohu ‘Anhu, RosulullohShollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

الذهب بالذهب، والفضة بالفضة، والبر بالبر، والشعير بالشعير، والتمر بالتمر، والملح بالملح، مثلا بمثل، سواء بسواء، يدا بيد، فإذا اختلفت هذه الأصناف، فبيعوا كيف شئتم، إذا كان يدا بيد

“(Jual beli) emas dengan emas, perak dengan perak, burr dengan burr, sya’ir dengan sya’ir, kurma dengan kurma, garam dengan garam, mesti semisal, sama, tunai. Apabila berbeda jenis dari kelompok (yang disebutkan ini) maka juallah semau kalian, apabila transaksinya tunai”. (HR Muslim)

Apabila dikatakan: Apa alasan pembagian benda-benda riba ini menjadi dua kelompok -sebagaimana di awal pembatasan-, padahal di hadits ini Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam menetapkan hukum yang sama bagi tiap-tiapnya?

Maka jawabnya: Memang, emas dan perak jika dilakukan transaksi antar keduanya tanpa tunai, merupakan perkara yang diharamkan. Hal ini sebagaimana disebutkan di hadits di atas, serta yang diriwayatkan dari Al-Baro’ bin ‘Azib dan Zaid bin Arqom Rodhiyallohu ‘Anhuma, mereka berkata:

نَهَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الذَّهَبِ بِالوَرِقِ دَيْنًا

Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam melarang menjual emas dibayar perak dengan cara hutang”. (HR Bukhory-Muslim)

Adapun jika emas atau perak (demikian juga uang yang menggantikan posisinya sebagai alat tukar) dipakai membeli benda-benda riba yang empat (burr, sya’ir garam, dan kurma) maka tidak mesti tunai.
‘Aisyah Rodhiyallohu ‘Anha mengatakan: “Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam membeli makanan dari seorang Yahudi dengan cara hutang. Maka beliau menjadikan baju besinya sebagai jaminan”. (HR Bukhory)

Dalam riwayat lain, ‘Aisyah Rodhiyallohu ‘Anha menjelaskan bahwa makanan yang dimaksudkan adalahsya’ir: “Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam meninggal, sementara baju besinya tergadai pada seorang Yahudi, untuk mendapatkan tiga puluh sho’ sya’ir”. (HR Al-Bukhory)

C. Jual beli barang berbeda kelompok. 

Sebagaimana yang baru disebutkan, maka hukum jual belinya sebagaimana barang-barang yang lain, tak masalah kalau hutang, terserah kadarnya berapa. Beli gula dengan sekilo perak dibayar dalam tempo setahun, tidak ada unsur riba.

PEMBAHASAN KEDUA: RIBA DALAM TRANSAKSI UTANG PIUTANG

Sebelum masuk ke masalah ini, ada beberapa istilah yang perlu kita pahami terlebih dahulu karena terkadang dua perkara berbeda dalam hukum syari’at, namun dalam kebiasaan kita sering diungkapkan dengan ibarat yang sama.

Yang pertama: i’aaroh. Yaitu peminjaman suatu barang, namun barang yang dikembalikan adalah barang yang dipinjam, barang pinjaman tidak menjadi hak milik peminjam. Seperti minjam sepeda motor, maka yang dikembalikan mesti sepeda motor yang dipinjam tidak boleh yang lain walau jenisnya sama.

Bentuk i’aaroh ini, jika si pemilik barang ingin meminta manfaat dari pinjamannya, maka bentuk akadnya menjadi ijaaroh (sewa menyewa).

Yang kedua qordh. Yaitu peminjaman suatu barang, namun tidak harus barang yang kelak dikembalikan peminjam tidak mesti barang yang diambil ketika meminjam karena status barang yang dipinjam telah menjadi hak milik peminjam, dia berhak menggunakan sesuka hatinya, boleh menjual atau menghadiahkan kepada orang lain. Posisi peminjam adalah pengutang.

Jadi kebiasaan kita meminjam uang masuk ke jenis qordh. Karena uang yang kita bayarkan -walau nilainya sama- nomor serinya sudah berbeda. Jenis kedua inilah yang kita singgung dalam masalah riba.

BENTUK RIBA DALAM UTANG PIUTANG

Barang-barang yang terkena riba dalam bentuk ini, tidak terbatas pada barang-barang yang terkena riba dalam bentuk jual beli. Akan tetapi riba dalam utang piutang juga berlaku pada barang barang yang lain.

[Bentuk Pertama]

Pada waktu tempo pelunasan, si peminjam tidak memiliki cukup uang untuk melunasi. Akhirnya disepakati bahwa tempo pembayaran ditunda dengan adanya tambahan bagi pihak pemilik uang. Entah itu dinamakan hadiah, sedekah, bonus, ganti-rugi dll. Ini adalah riba dalam utang piutang orang jahiliyyah.[Az-Zawajir -Ibnu Hajar 1/431, Ahkaamul Qur’an -Al-Jashshoos 1/635]

[Bentuk Kedua]

Tambahan bonus (kelebihan) disyaratkan ketika terjadi transaksi. Pensyaratan ini bisa jadi dari pihak pemilik uang atau dari pihak peminjam. Bonus tersebut bisa berupa harta (misalkan: seseorang meminjamkan seratus juta biar diganti dengan seratus sepuluh juta), atau bisa juga bonus itu berupa transaksi yang lain (misalkan: seseorang meminjamkan seratus juta dengan syarat si peminjam mau meminjamkan rumahnya, atau menyewakannya, atau menjual), atau dengan syarat balas jasa(misalnya: pemilik uang mengatakan: “Nanti kalau aku terdesak, kamu mesti meminjamkan aku uang”.). Ini juga bentuk riba dalam utang piutang orang jahiliyyah. [Jaami’il Bayan – Ath-Thonary 4/90, Al-Jaami’ Li Ahkaamil Qur’an -Al Qurthuby 3/226]

Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

لَا يَحِلُّ سَلَفٌ وَبَيْعٌ

“Tidak dihalalkan pinjaman disertai pembelian”. (HR Ahmad, Abu Daud dll, dari ‘Abdulloh bin ‘AmrRodhiyallohu ‘Anhu, sanadnya dihasankan Syaikh Al-Albany, lihat juga Tahqiq Musnad Imam Ahmad)

Imam Malik Rahimahulloh mengatakan: “Penafsiran hadits tersebut bahwasanya seorang lelaki berkata kepada lelaki lain, aku beli barang daganganmu dengan harga sekian dan sekian, dengan syarat engkau meminjamkanku sekian dan sekian”. [Al-Istidzkaar 6/432]

Mengambil manfaat berupa transaksi yang lain saja tidak diperbolehkan, maka bagaimana jika kelebihan yang disyaratkan dalam bentuk harta ???

Para ulama muslimin juga telah ijma’ (sepakat) bahwa adanya syarat manfaat dari pinjaman (yakni qordh) adalah riba. [Al-Istidzkar – Ibnu ‘Abdil Barr 6/514, Al-Ijmaa’ – Ibnu Mundzir 120-121, Al-Muhalla – Ibnu Hazm 8/77, Majmu’ul Fatawa 29/334, Al-Mughny – Ibnu Qudamah 6/436]

Ke dalam jenis inilah masuknya riba pada penyimpanan di bank. Karena posisi nasabah adalah pemberiqordh.

KENAPA PENYIMPANAN UANG DI BANK DIGOLONGKAN QORDH?

Peletakan uang pada seseorang atau badan tertentu tak lepas dari tiga jenis transaksi dalam syari’at Islam.

1. Wadii’ah

Adalah penitipan barang untuk dijaga. Orang yang diminta untuk menjaga tidak boleh memanfaatkan barang tersebut apalagi mengalihkan kepemilikan. Jika barang tersebut hilang, rusak, kebakaran, kecurian dsb, maka orang yang dititipkan ganti rugi jika hal tersebut muncul karena kelalaiannya. Adapun jika terjadi perkara-perkara tersebut bukan karena kelalaian orang yang dititipi maka dia tidak bertanggung jawab untuk memberi ganti rugi sama sekali. Misalkan dia telah meletakkan barang titipan di tempat yang aman -menurut kebiasaan- kemudian terjadi salah satu dari musibah tersebut, maka dia tidak bisa dituntut.

2. Ijaaroh

Adalah sewa menyewa. Yaitu peletakan barang di tangan seseorang dengan imbalan. Orang yang yang menyewa boleh memanfaatkan barang tersebut namun tidak berhak menukar, memberikan kepada orang lain, menjual dsb karena barang sewaan itu bukanlah miliknya. Apabila barang rusak atau hilang, maka pihak penyewa tidak dibebani ganti rugi, kecuali jika hal tersebut muncul karena kelalaiannya.

3. Qordh

Sedikit banyaknya telah kita singgung sebelumnya. Pada transaksi ini, terjadi perpindahan kepemilikan. Orang yang menerima barang berhak memanfaatkan, merusakkan, ataupun mengalihkan kepemilikan kepada pihak lain, yang penting dia harus mengembalikan kepada pemberi qordh barang dari jenis dan kondisi yang sama.

Nah, penyimpanan uang di bank tak mungkin dikatakan wadii’ah, karena pihak bank memanfaatkan uang tersebut, terbukti nomor seri yang dikembalikan tidak sama. Kemudian pihak bank harus mengganti rugi jika terjadi kehilangan dalam keadaan apapun.

Penyimpanan uang di bank tidak bisa juga dikatakan sebagai ijaaroh (sewa) karena syarat sewa menyewa, barang yang disewakan tetap tidak boleh berganti, sementara uang tidak mungkin bisa dimanfaatkan kecuali dengan mengalihkan kepemilikan kepada pihak yang lain. Kemudian pihak bank harus mengganti rugi jika terjadi kehilangan dalam keadaan apapun.

Jadi penyimpanan uang di bank transaksinya hanyalah qordh, karena bank memiliki hak untuk membelanjakan uang tersebut, dan mengembalikannya ketika diminta. Jika terjadi kehilangan atau kerusakan dalam proses penyimpanan maka pihak bank bertanggung jawab sepenuhnya dalam keadaan apapun.

SAMA-SAMA RIDHO KOK !!!

Sebagian orang beralasan bahwa mereka melakukan transaksi riba: “Kedua pihak suka sama suka, sementara hubungan interaksi sesama manusia dibangun di atas keridhoan. Kalau kedua pihak saling ridho maka transaksinya sah”.

Memang keridhoan kedua belah pihak menjadi faktor penentu sah tidaknya transaksi baik jual-beli, utang-piutang, pemberian dll. Namun itu semua itu hanyalah pada hal-hal yang diperbolehkan secara syari’at.

Bukankah transaksi heroin, kokain dan semisalnya didasari saling ridho antar penjual dan pembeli?

Bukankan penjualan perempuan ke club pelacuran didasari saling ridho antar penjual dan pembeli?

Padahal untuk riba dan jual beli sendiri, Alloh telah membedakannya. Hanya para pecandu riba yang mengatakannya sama. Alloh Ta’ala bersabda:

الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا

“Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri dari kuburnya kelak melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat): “Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba”. Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. (QS Al-Baqoroh 275)

MEMBAYAR HUTANG DENGAN MEMBERI KELEBIHAN

Terkadang kita memberikan pinjaman kepada seseorang, ketika dia melunasinya dia memberikan dengan nilai atau jumlah yang lebih dari yang dipinjamkan, apakah ini riba?

Jika tambahan itu disyaratkan atau dijanjikan sebelumnya, maka insyaalloh kita telah paham tentang hukumnya berdasar penjelasan terdahulu.

Adapun jika tidak ada pensyaratan atau pemberian janji sebelumnya?

Inilah letak kekeliruan sebagian orang, diantara mereka ada yang memahami tambahan ini tergolong ke dalam riba. 

Padahal dalam sebuah hadits, Abu Rofi’ Rodhiyallohu ‘Anhu mengatakan: 

“Sesungguhnya Rosululloh meminjam (qordh)bakr (anak onta yang masih kecil) dari seseorang. Kemudian datang unta-unta sedekah kepada Rosululloh, maka beliau memerintahkan Abu Rofi’ untuk mengganti bakr milik lelaki itu. Abu Rofi’ berkata: “Aku tidak mendapatkan (diantara unta-unta sedekah) kecuali unta pilihan ruba’iy (yang telah berumur enam tahun masuk tujuh)”. 

Maka beluiau berkata:

أعطه إياه، إن خيار الناس أحسنهم قضاء

“Berikanlah itu kepadanya. Sesungguhnya manusia pilihan adalah yang paling baik diantara mereka dalam memberikan ganti” (HR Muslim)

سبحانك اللهم وبحمدك أشهد أن لا إله إلا أنت أستغفرك وأتوب إليك

Ditulis oleh: Abu Ja’far Al-Harits Al-Minangkabawy Saddadahulloh
14 Jumadil Awwal 1434
Darul Hadits – Dammaj -Yaman

LUQMANIYIN ITU APA

Audio Majaalis AhlisSunnah:
بسم الله الرحمن الرحيم
Faedah Tanya - Jawab
TANYA :
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh bang , kalau LUQMANIYIN ITU APA (maksudnya -edt) bang...?
afwan ini titipan pertanyaan ustadz, mohon faedah, penjelasannya serta nasehatnya buat kaum muslimin secara umum dan buat ikhwah yg baru belajar utk lebih mengenal manhaj dakwah assalafiyah. Jazaakallohu khoiro.
JAWAB :
wa'alaikumussalaam warohmatullohi wabarokaatuh...
Bismillaah..
Na'am ya akhi gelar LUQMANIYYUUN di telinga Ahli sunnah yg paham masalah fitnah sudah tidak asing lagi.... Tapi tidak mengapa jika kita sebutkan sedikit siapakah LUQMANIYYUUN.. .?
LUQMANIYYUUN : adalah penisbahan kepada para pengekor /pengikut pak LUQMAN BAA'ABDUH (pengasuh ponpes assalafiy Jember) yg mana dakwah mereka tidak di ragukan lagi kehizbiyan nya, mulai dari sarananya dalam berdakwah maupun praktik dalam pendidikan pengajaran dsm...
Adapun sarana dakwah yg mereka gunakan adalah : bersembunyi /bernaung dibawah YAYASAN, PROPOSAL, TASAWWUL, PENGGALANGAN DANA.. hal ini bisa di ketahui dg kita menyaksikan sendiri pada pondok pondok mereka.... Pasti dan seringnya mereka paparkan pada plang plang pondok mereka: nama pondok, nama yayasan,... Dan jarang yg tidak... Kemudian ketika hendak mengadakan dauroh nasional dsm , mereka mengadakan penghalangan dana dg cara lembut dan halus yg mereka ubah namanya dg TA'AAWUN sehingga banyak manusia /kaum muslimin yg tertipu dan tergiur dg gerak gerik mereka... Allohul musta'aan.
Adapun dari sisi pendidikan mereka sudah mulai mengikuti langkah langkahnya sekolahan umum, seperti : sistem belajar di kelas, ijazah, seragam dsm... Namun mereka pandai untuk mengelabuhi manusia /ahli sunnah dg mengubah nama nama sekolahan mereka dg tambahan IT (Islam Terpadu)... Padahal yg terjadi adalah (Islam Tertipu)..
Nasehat ana bagi kaum muslimin secara umum dan ahli sunnah secara khusus di manapun mereka berada... Agar mereka senantiasa bertaqwa kepada Alloh serta bertawakal kepada Nya... Karena dg dua kunci tersebut - biidznillah - Alloh ta'aala akan bukakan pintu pintu rizqi tanpa kita harus TASAWWUL, MENGEMIS, membikin PROPOSAL, YAYASAN dsm...
Alloh ta'aala berfirman :
ومن يتق الله يجعل له مخرجا ويرزقه من حيث لا يحتسب
"Dan barangsiapa yang bertaqwa kepada Alloh, niscaya Alloh ta'aala akan berikan padanya jalan keluar (kemudahan) dan Alloh ta'aala akan mencurahkan rizqi kepadanya dari arah yg tidak di sangka sangka "
- Dan juga firmanNya :
ومن يتوكل على الله فهو حسبه
" Dan barang siapa yang bertawakal kepada Alloh, maka Alloh ta'aala akan berikan kecukupan padanya."
Dan jangan tertipu dg rayuan dan bujukan mereka..... Dan perlu di ingat..! Bahwa HIZBIYYUUN yg semisal dg mereka (LUQMANIYYUUN) banyak, walaupun mereka menamakan diri diri mereka dg ahli sunnah, salafiyyuun, dsm..... Seperti : kubu DZULQORNAIN dkk, Tv RODJA dkk, SURURIYYUUN dkk... Semua dakwah mereka tidak terlepas dari hizbiyyah, baik dg YAYASAN, PROPOSAL, TASAWWUL, TV, VIDEO MAKHLUK BERNYAWA, DUNIA, IJAZAH, bermudah mudahan bermu'aamalah dg BANK dsm..... Allohul musta'aan...
نسأل الله أن يثبّتنا على الكتاب والسنة حتى نلقاه
Wallohu a'lam..
Dijawab oleh : Ustadz Abu Zakariya Harits Al Jabaliy Jogja -hafidzhohulloh-
JOIN CHANNEL Telegram
@majaalisahlissunnah_audio


Audio Majaalis AhlisSunnah:

بسم الله الرحمن الرحيم

Faedah Tanya - Jawab

TANYA :
Bismillah. 
Afwan abu. Mohon keterangan yg lebih terperinci tentang kesalahan luqmaniyun dkk. Dan keterangan lengkap pula dari ulama dari saudi maupun yaman. 

Harap maklum bagi hamba Allah yg kurang ilmu seperti ana. Jazakolllohu khoiron

Mohon kemakluman pula, abu... 

Istilah Hizbi dan penghizbian terdengar saling tuding menuding. 

Ana berharap, semoga ulama ahlussunnah membimbing kita. Bukan yang meng- Ulama kan diri atau kelompok tertentu. Allahu a'lam.

Berikut pula tentang apa itu ulama? Defenisi ulama? Dan siapakah ulama pewaris nabi sekarang ini? Yang berhak menuntun kita. Ulama fulan atau si alan?

👆🏽Pertanyaan titipan yg masuk ke japri admin berkaitan postingan terbaru ttg tanya jawab "luqmaniyun". 
Ini yg nanya sprtinya mmg btul2 awam dan ingin mencari alhaq ustadz... Mohon faedahnya ya ustadz

JAWAB :
بسم الله...
Afwan ya akhi (jawaban dlm bentuk audio -edt)... Jika audio ini terlalu ringkas... Karena membahas perkara tersebut tidak cukup dg waktu yg cepat... Tapi ana kirim ke antum secara ringkas... Baarokallohu fiik

ADMIN :
Laa ba'sa ustadz walhamdulillaah 'ala kulli haal wa jazaakallohu khoiro

Ijin utk kami share di majmu'ah WhatsApp dan channel telegram boleh ya ustadz..?

JAWAB :
Waiyyaak...
Na'am (tafadhdhol -edt)... Jika di butuhkan

ADMIN : 
Thoyyib,  fahimtu ustadz


Dijawab dgn audio oleh : Ustadz Abu Zakariya Harits Al Jabaliy Jogja -hafidzhohulloh-
Dengar jawabannya dalam dua audio dibawah ini


JOIN CHANNEL Telegram
@majaalisahlissunnah_audio

bit.do/majaalisahlissunnahaudio


HUKUM RINGKAS SEPUTAR QUNUT NAZILAH

Makna Qunut
Qunut dalam bahasa Arab mempunyai banyak arti. Diantaranya mempunyai arti : “Taat, Khusyu’, Sholat, Doa, Ibadah, Berdiri, Lama berdiri dalam sholat, dan Diam.”
Al-Ambari rohimahulloh berkata : “Qunut itu ada empat macam makna : Sholat, Lama Berdiri dalam sholat, Menegakkan Ketaatan (benar-benar melakukan amal ketaatan), dan Diam.” (lihat An-Nihayah fii Goribil Hadits wal Atsar, 4/96)
Adapun yang dimaksud disini adalah doa di dalam sholat, yang dilakukan setelah bangkit dari ruku’ pada roka’at  terakhir setiap sholat-sholat fardhu, atau pada roka’at terakhir dari sholat witir.
Yang dimaksud dengan Nazilah disini adalah peristiwa atau kejadian besar (luar biasa) yang dialami oleh kaum muslimin, apakah itu berupa bencana/musibah, serangan musuh atau peperangan, dan lain-lainnya.
Dalil-Dalil tentangnya
Banyak sekali dalil-dalil yang menunjukkan disyari’atkannya hal itu, diantaranya adalah hadits Anas bin Malik rodhiyallohu ‘anhu, dia berkata : “Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam mendoakan kejelakan terhadap orang-orang yang membunuh para sahabatnya di Bi’ruma’unnah selama 30 hari, beliau mendoakan kejelekan terhadap kabilah Ri’il, Dzakwan, Lihyan dan Ushoyyah, yang mereka telah durhaka kepada Alloh dan Rosul-Nya…..” (HR Muslim no. 677)
Dalam riwayat lainnya : “Bahwa Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam melakukan qunut selama satu bulan, setelah bangkit dari ruku’, beliau mendoakan kejelekan kepada suatu kabilah dari beberapa kabilah bangsa arab, kemudian setelah itu beliau meninggalkannya.” (HR Imam Al-Bukhori no. 4089 dan Muslim no. (677) (204) )
Dalam riwayat lainnya disebutkan, beliau berdoa : “Ya Alloh, laknatlah Lihyan, Ri’il, Dzakwan dan Ushoiyyah, yang mereka telah durhaka kepada Alloh dan Rosul-Nya.”Anas berkata : “Kemudian sampailah berita kepada kami bahwa beliau meninggalkan qunut nazilah tersebut ketika turun ayat :
لَيْسَ لَكَ مِنَ الأمْرِ شَيْءٌ أَوْ يَتُوبَ عَلَيْهِمْ أَوْ يُعَذِّبَهُمْ فَإِنَّهُمْ ظَالِمُونَ (١٢٨)
“Tak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu atau Allah menerima taubat mereka, atau mengazab mereka karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang zalim.” (QS Ali Imron : 128) (HR  Imam Muslim no. 274)
Dalam hadits Ibnu Abbas rodhiyallohu ‘anhuma, dia berkata : “Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam melakukan qunut nazilah terus menerus selama satu bulan, pada sholat dhuhur, ashar, maghrib, isya’ dan shubuh, di akhir sholat apabila beliau mengucapkan : “Sami’allohu liman hamidah”, dari roka’at yang terakhir, beliau mendoakan kebinasaan atas mereka, yakni atas kabilah Bani Sulaim, Ri’il, Dzakwan, dan Ushoiyyah, dan orang-orang yang di belakang beliau (yakni para makmum) mengaminkannya, (dan sebab beliau melakukan qunut ini adalah) beliau mengutus para sahabat kepada mereka (kabilah-kabilah yang tersebut di atas) untuk mendakwahi mereka kepada Islam, tetapi ternyata kemudian mereka membunuhnya.”(HR Imam Ahmad dalam Al-Musnad (1/301), Ibnu Khuzaimah dalam As-Shohih (no. 618) dan yang selainnya, sanadnya shohih, dishohihkan oleh Syaikh Al-Albani rohimahulloh dalam Irwa’ul Gholil (2/163) dan juga guru kami, Syaikh Muhammad bin Hizam hafidzhohulloh dalam Fathul Allam, 1/773)   
Dan masih banyak dalil-dalil lainnya. Berdasarkan dalil-dalil tersebut, maka jumhur ulama berpendapat disunnahkannya melakukan qunut nazuilah ketika terjadi musibah yang menimpa kaum muslimin, seperti ketika terjadi peperangan yakni diserangnya kaum muslimin oleh orang-orang kafir dan yang lainnya. Qunut nazilah itu bentuknya adalah mendoakan kebaikan atau kemenangan untuk kaum muslimin, dan mendoakan kehancuran atau kekalahan di pihak kaum kafirin atau musyrikin yang memerangi kaum muslimin.
(lihat : Syarh Al-Muhadzdzab (3/494) dan Al-Mughni (2/586-587) )
Pada sholat yang manakah qunut nazilah itu dilakukan ?
Dalam masalah ini ada beberapa pendapat para ulama sebagai berikut :
Pertama : Qunut Nazilah itu dilakukan secara khusus pada waktu sholat fajr / sholat shubuh saja, bukan pada waktu sholat-sholat lainnya. Ini pendapat Imam Ahmad dan Ishaq rohimahulloh. Dalilnya adalah hadits Anas bin Malik sebagaimana disebutkan dalam shohih Al-Bukhori dan Muslim dan yang lainnya, disebutkan dengan taqyid (kepastian) bahwa beliau melakukan itu pada saat Sholat Fajr (Sholat Shubuh). (HRImam Al-Bukhori no. 1001Muslim no. 675 dan 677 (298, 299) )
Kedua : Qunut Nazilah itu dilakukan hanya pada waktu sholat Shubuh dan Sholat Maghrib saja, karena kedua sholat ini adalah sholat yang bacaan Al-Qur’annya dibaca dengan jahr (keras/nyaring), pada kedua ujung siang. Ini adalah pendapatnya Abul Khoththob Al-Hambali rohimahulloh. Dalilnya adalah hadits Anas bin Malik rodhiyallohu ‘anhu dalam As-Shohihain : “Bahwa Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam melakukan qunut pada sholat maghrib dan fajr (shubuh).” (HR Imam Al-Bukhori no. 1004 dan Muslim no. 678)
Ketiga : Bahwa Qunut Nazilah itu dilakukan pada semua sholat yang lima waktu. Ini adalah pendapat para ulama Syafi’iyyah. Dalilnya adalah hadits Abu Huroiroh rodhiyallohu ‘anhu, bahwa beliau berkata : “Sungguh aku akan mendekatkan (yakni menunjukkan dan mencontohkan) kepada kalian sholatnya Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam, adalah beliau shollallohu ‘alaihi wa sallam qunut pada roka’at terakhir dari sholat dhuhur, sholat isya’ yang diakhirkan, sholat shubuh …….” (HRImam Al-Bukhori no. 797 dan Muslim no. 676)
Dalil lainnya adalah hadits Ibnu Abbas rodhiyallohu ‘anhuma sebagaimana yang telah disebutkan di atas. (HR Imam Ahmad dalam Al-Musnad (1/301), Ibnu Khuzaimah dalam As-Shohih (no. 618) dan yang selainnya, sanadnya shohih, dishohihkan oleh Syaikh Al-Albani rohimahulloh dalam Irwa’ul Gholil (2/163) dan juga guru kami, Syaikh Muhammad bin Hizam hafidzhohulloh dalam Fathul Allam, 1/773)   
Dari sekian pendapat di atas, yang insya Alloh rojih (kuat dan terpilih) adalah pendapat terakhir, yakni pendapat para ulama Syafi’iyyah, dan inilah yang dirojihkan oleh Al-Imam As-Syaukani rohimahulloh dalam Nailul Author.
Adapun pendapat pertama dan kedua, yang berdalil dengan hadits-hadits yang menyebutkan sebagian sholat tertentu, hal itu tidak menunjukkan bahwa beliau tidak melakukan doa qunut pada sholat-sholat yang lainnya. Hanya saja diambil faedah dari dalil-dalil tersebut, bahwa beliau shollallohu ‘alaihi wa sallam menjaga betul doa qunut pada waktu sholat tersebut lebih banyak dan lebih ditekankan daripada di waktu-waktu sholat yang lainnya. Wallohu a’lamu bis showab.
(lihat Syarh Al-Muhadzdzab (3/505-506), Al-Mughni (2/586-587) dan Syarhus Sunnah (2/243-245) )
Dimanakah letak Doa Qunut Nazilah yang kita lakukan dalam sholat ?
Hadits-hadits yang menjelaskan tentang Doa Qunut Nazilah, sebagian besarnya menjelaskan letaknya, yaitu ba’da ruku’ (yakni setelah bangkit dari ruku’, pada roka’at terakhir dari sholat yang kita lakukan)
Dalil yang menunjukkan hal itu diantaranya adalah hadits Ibnu Umar rodhiyallohu ‘anhuma dalam Shohih Al-Bukhori (no. 4560) : “Bahwa Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam melakukan qunut setelah ruku’.” Juga hadits Abu Huroiroh rodhiyallohu ‘anhu dalam Shohih Al-Bukhori (no. 797) dan Shohih Muslim (no. 676), kemudian juga hadits Khofaf bin Ima’ Al-Ghifari rodhiyallohu ‘anhu dalam Shohih Muslim (no. 679), juga kebanyakan dari hadits Anas bin Malik rodhiyallohu ‘anhu dalam As-Shohihain, semuanya menjelaskan bahwa Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam melakukan qunut ba’da (setelah) ruku’.
Kemudian datang pula riwayat-riwayat lainnya dari Anas bin Malik rodhiyallohu ‘anhu bahwa Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam melakukan qunut sebelum ruku’. Lalu mana yang benar dari riwayat-riwayat tersebut ?
Al-Imam Ibnu Rojab Al-Hambali rohimahulloh menjelaskan : “Para A’immah (imam-imam Ahlul Hadits, yakni para ulama) mengingkari riwayat dari Ashim yang meriwayatkan dari Anas bin Malik, yang menjelaskan tentang qunut sebelum ruku’. Imam Ahmad mengatakan : “Ashim menyelisihi mereka semuanya, yakni menyelisihi sahabat-sahabat Anas. Kemudian beliau juga berkata : “(Dalam riwayat) Hisyam, dari Qotadah, dari Anas, bahwa Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam melakukan qunut ba’da ruku’.” (Dalam riwayat) At-Taimi, dari Abu Majlaz, dari Anas (seperti itu juga). (Dalam riwayat) Ayyub, dari Mujahid dia berkata : “Aku bertanya kepada Anas….” (Dalam riwayat) Handholah As-Sadusi, dari Anas : Ada empat sisi.. Abu Bakar Al-Khotib berkata dalam kitab Al-Qunut : “Adapun hadits Ashim Al-Ahwal, dari Anas, maka sesungguhnya dia bersendirian dalam riwayatnya (tentang qunut sebelum ruku’), dia menyelisihi semua sahabat-sahabat Anas yang meriwayatkan tentang qunut ba’da ruku’, oleh karena itu hukumnya adalah riwayat-riwayat yang banyak itu mengalahkan riwayat yang hanya satu orang saja (sebab riwayat yang demikian itu dianggap syadz, yakni ganjil atau “nyeleh”, menyelisihi riwayat yang mayoritas, edt.). Sebagian ulama muta’akhirin membawa pengertian hadits Anas tentang qunut sebelum ruku’ itu pada pengertian/makna lain dari ruku’ itu, yakni maksudnya adalah “itholatul qiyaam”(lama berdiri sebelum ruku’, bukan bermakna melakukan doa qunut, edt.), sebagaimana dalam hadits : “Afdholus Sholati thulul qunut” (seutama-utama sholat adalah yang panjang/lama berdirinya…” (Fathul Bari, Syarh Shohih Al-Bukhori (6/276), karya Al-Hafidz Ibnu Rojab Al-Hambali rohimahulloh) Hal seperti inipun juga dijelaskan oleh Al-Imam Ibnul Qoyyim rohimahulloh dalam kitab beliau Zaadul Ma’aad.
Al-Imam Al-Baihaqy rohimahulloh berkata : “Riwayat-riwayat tentang qunut ba’da ruku’ itu lebih banyak dan lebih terjaga/terpelihara. Atas pendapat inilah para Kholifah Ar-Rosyidun rodhiyallohu ‘anhum ajma’in berjalan/berpendapat, sebagaimana riwayat-riwayat yang shohih dan masyhur dari mereka.” (As-Sunan Al-Kubro, 2/208)
Guru kami, Syaikh Muhammad bin Ali bin Hizam hafidzohulloh berkata pula : “Jumhur ulama telah berpendapat bahwa qunut itu adalah ba’da ruku’, dan inilah pendapat yang benar.” (Fathul ‘Allam, 1/775) Wallohu a’lamu bis showab.
(lihat Al-Mughni (2/581-582), Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab (3/506) )
Apakah disyari’atkan dengan mengangkat tangan ketika doa qunut ?
Jawabnya : Ya benar, disunnahkan untuk mengangkat tangan tatkala melakukan doa qunut. Ini adalah pendapat para ulama, diantaranya Imam Ahmad, Ishaq, Ashabur Ro’yi, dan pendapat yang shohih dari beberapa pendapat para ulama madzhab As-Syafi’iyyah.
Mereka berdalil dengan keumuman hadits-hadits yang menganjurkan mengangkat tangan ketika berdoa, seperti hadits Salman Al-Farisi rodhiyallohu ‘anhu, bahwa Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya Robb-mu Pemalu lagi Pemurah. Apabila hamba-Nya mengangkat tangan kepada-Nya, maka Dia malu kalau hamba-Nya tersebut mengembalikan tangannya dalam keadaan kosong (tidak dikabulkan doanya, edt.)” (HR Abu Dawud no. 1488, At-Tirmidzi no. 3556, Ibnu Majah no. 3865, dan Al-Hakim (1/497), dishohihkan oleh Syaikh Al-Albani rohimahulloh dalam Shohih Ibnu Majah no. 3131 dan Al-Misykah no. 2244, tetapi guru kami, Syaikh Muhammad bin Ali bin Hizam hafidzhohulloh mengatakan : “Yang rojih hadits ini Mauquf pada Salman, adapun secara Marfu’ hadits ini Dho’if.” (Bulughul Marom, dengan Tahqiq dan Takhrij oleh guru kami tersebut, penerbit Maktabah Ibnu Taimiyyah, Darul Hadits Dammaj, Sho’dah, Yaman) Wallohu a’lamu bis showab.
Mereka juga berdalil dengan hadits Anas bin Malik rodhiyallohu ‘anhu, dia berkata :“Aku melihat Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam setiap kali sholat pagi hari (yakni Sholat Shubuh) beliau mengangkat kedua tangannya mendoakan kebinasaan atas mereka, yakni orang-orang yang telah membunuh sahabat-sahabat beliau.” (HRImam Muslim)
Imam Ahmad bin hambal rohimahulloh juga menyebutkan riwayat hadits dengan sanad-sanadnya dari Anas bin Malik rodhiyallohu ‘anhu, dalam suatu hadits yang panjang, Anas rodhiyallohu ‘anhu berkata : “Aku tidak pernah melihat Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam mendapati suatu permasalahan yang membuat beliau berduka/bersedih karenanya (kecuali beliau bersedih) atas mereka (para sahabatnya yang terbunuh). Sungguh, aku melihat  Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam setiap kali sholat di pagi hari (yakni sholat shubuh) beliau mengangkat kedua tangannya, beliau mendoakan kebinasaan atas mereka (kaum yang telah membunuh para sahabatnya tersebut..).” (HR Imam Ahmad, no. 12.402, sanad-sanadnya shohih menurut syarat Imam Muslim)
Dan masih banyak dalil-dalil lainnya yang menunjukkan disunnahkan untuk mengangkat tangan ketika melakukan doa qunut, baik oleh Imam maupun makmum semuanya, wallohu a’lamu bis showab.
(lihat Syarh Al-Muhadzdzab (3/507)
Apakah Makmum disunnahkan untuk mengaminkan doa qunutnya Imam ?
Jawabnya : Ya, disunnahkan bagi makmum mengaminkan doa qunutnya imam. Dalilnya sebagaimana dalam hadits Ibnu Abbas rodhiyallohu ‘anhuma yang telah disebutkan di atas.
Ibnu Abbas rodhiyallohu ‘anhuma berkata : “Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam melakukan qunut nazilah terus menerus selama satu bulan, pada sholat dhuhur, ashar, maghrib, isya’ dan shubuh, di akhir sholat apabila beliau mengucapkan : “Sami’allohu liman hamidah”, dari roka’at yang terakhir, beliau mendoakan kebinasaan atas mereka, yakni atas kabilah Bani Sulaim, Ri’il, Dzakwan, dan Ushoiyyah, dan orang-orang yang di belakang beliau (yakni para makmum) mengaminkannya, (dan sebab beliau melakukan qunut ini adalah) beliau mengutus para sahabat kepada mereka (kabilah-kabilah yang tersebut di atas) untuk mendakwahi mereka kepada Islam, tetapi ternyata kemudian mereka membunuhnya.” (HR Imam Ahmad dalamAl-Musnad (1/301), Ibnu Khuzaimah dalam As-Shohih (no. 618) dan yang selainnya, sanadnya shohih, dishohihkan oleh Syaikh Al-Albani rohimahulloh dalamIrwa’ul Gholil (2/163) dan juga guru kami, Syaikh Muhammad bin Hizam hafidzhohulloh dalam Fathul Allam, 1/773)   
Para ulama berdalil dengan hadits tersebut di atas untuk menunjukkan disunnahkannya bagi makmum mengaminkan doa qunutnya imam. Bahkan Al-Imam Ibnu Khuzaimah rohimahulloh dalam Shohih-nya (1/313) membawakan bab dengan judul “BAB BAHWA QUNUT ITU UNTUK SEMUA SHOLAT (YANG LIMA WAKTU), DAN MAKMUM MENGAMINKAN IMAM KETIKA MELAKUKAN DOA QUNUT”. Setelah itu beliau membawakan dalil-dalil tentang masalah ini.
Al-Imam Ibnu Qudamah rohimahulloh mengatakan : “Apabila imam melakukan doa qunut, maka orang-orang yang dibelakangnya (yakni para makmum) hendaknya mengaminkannya. Dalam masalah ini tidak ada khilaf (perselisihan diantara para ulama).” (Al-Mughni, 2/584)
Apakah ada dalil yang menunjukkan lafadz doa tertentu untuk Qunut Nazilah ?
Sepanjang yang kami ketahui, tidak ada dalil khusus yang menunjukkan lafadz tertentu untuk doa dalam qunut nazilah. Para ulama memberikan keluasan dalam masalah ini. Oleh karena itu boleh berdoa apa saja sesuai dengan apa yang dibutuhkan dan sesuai keadaan orang yang tertimpa musibah.
Al-Qodhi Iyyadh rohimahulloh menukil ijma’ (kesepakatan) para ulama tentang tidak adanya doa khusus/tertentu dalam qunut nazilah ini. Al-Imam Ibnu Sholah rohimahulloh menganggap orang yang berpendapat adanya doa khusus dalam qunut nazilah ini adalah pendapat yang keliru dan menyelisihi pendapat jumhur ulama. Wallohu a’lamu bis showab.
(lihat Al-Majmu’ (3/477) karya Al-Imam An-Nawawi rohimahulloh dan Majmu’ Al-Fatawa (23/108) karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rohimahulloh)

Abu Abdirrohman Yoyok WN
sumber : darul ilmi

Berhutang Atau Berniaga Lebih Baik Daripada Meminta-minta

Berhutang Atau Berniaga Lebih Baik Daripada Meminta-minta Ditulis oleh: Abu Fairuz Abdurrohman Al Qudsy Al Jawy Al Indonesy -semoga Alloh me...