KETIKA MUADZIN (PENGANGGURAN) BERLOMBA-LOMBA DENGAN AYAM DI WAKTU FAJAR

KETIKA MUADZIN (PENGANGGURAN) BERLOMBA-LOMBA DENGAN AYAM DI WAKTU FAJAR
__________________________________________

قال ابن حزم: سئل الحسن البصري عن الرجل يؤذن قبل الفجر يوقظ الناس؟ فغضب..

Ibn Hazm rahimahullâh mengatakan,"

Al-Hasan Al-Bashriy pernah ditanya tentang orang yang adzan sebelum masuk waktu Shubuh dengan tujuan untuk membangunkan manusia? Maka beliau marah dan mengatakan, "

وقال علوج فراغ لو أدركهم عمر بن الخطاب لأوجع جنوبهم من أذن قبل الفجر فإنما صلى أهل ذلك المسجد بإقامة لا أذان فيه .

“‘Uluj Faragh (orang-orang keterlaluan yang pengangguran), seandainya 'Umar bin Khathab mendapati mereka tentu ia akan memukul sisi-sisi tubuh mereka. Siapa yang adzan sebelum waktu subuh, maka jama’ah masjid itu shalat berdasarkan iqamah saja, tidak ada adzan padanya (adzan tidak sah. Itu jika iqamahnya sudah masuk waktu, jika belum maka shalat tanpa adzan dan iqamah; shalat di luar waktu).”

وفي رواية: انه سمع مؤذنا أذن بليل فقال: علوج تباري الديوك: وهل كان الأذان على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم إلا بعد ما يطلع الفجر.

Dalam riwayat lain disebutkan, bahwa ia (Al-Hasan Al-Bashriy) mendengar seseorang adzan di malam hari, ia berkata, " 'Uluj (orang-orang kasar) berlomba dengan ayam! Bukankah adzan di masa Rasulullâh –Shallallâhu 'alayhi wasallam - tidak dilakukan kecuali setelah terbit fajar?”

وعن إبراهيم النخعي أنه كان يكره أن يؤذن قبل الفجر.
وعنه أيضا قال: سمع علقمة بن قيس مؤذنا بليل فقال: لقد خالف هذا سنة من سنة أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم، لو نام على فراشه لكان خيرا له) المحلى (3/118)

Dari Ibrahim an-Nakha’iy, disebutkan bahwa ia membenci dikumandangkannya adzan sebelum terbit fajar.

dia juga mengatakan, “Alqamah bin Qais mendengar seseorang adzan di malam hari (sebelum terbit fajar), maka ia berkata, “Orang ini telah menyelisihi salah satu sunnah para sahabat Rasulullâh -Shallallâhu 'alayhi wasallam-, seandainya ia tidur di tikarnya, tentu itu lebih baik baginya.”
(al-Muhalla, 3/118)

Dalam riwayat Ibnu Abi Syaibah, Hasan Bashri berkata:

“Orang-orang kasar pengangguran, mereka tidak menyambung dengan iqamah. Seandainya 'Umar mendapati mereka, tentu sudah memukuli atau memukul kepada mereka.”

(Mushannaf: 2306)

:paperclip:Follow ISNAD on TELEGRAM

Hak seorang muslim terhadap muslim yang lain

YA IKHWAANI DATANGKANLAH HAK SAUDARAMU..!
بسم الله الرحمن الرحيم
Sebagaimana perkataan rosululloh sholallohu 'alayhi wa sallam,
حَقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ خَمْسٌ: رَدُّ السَّلاَمِ، وَعِيَادَةُ الْمَرِيْضِ، وَاتِّبَاعُ الْجَنَائِزِ، وَإِجَابَةُ الدَّعْوَةِ، وَتَشْمِيْتُ الْعَاطِسِ
“ Hak seorang muslim terhadap muslim yang lain ada lima yaitu menjawab salam, menjenguk orang sakit, mengikuti jenazah, memenuhi undangan, dan mendoakan orang yang bersin (bila yang bersin mengucapkan hamdalah, pent.).”
[HR. Al-Bukhari no.1240 dan Muslim no.5615]
Hukum menjenguk orang sakit, dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama, namun kami melihat pendapat yang lebih rojih adalah hukumnya fardhu kifayah, Allooh a'lam.
Artinya, bila ada sebagian orang yang melakukannya maka gugur kewajiban dari yang lain. Bila tidak ada seorang pun yang melakukannya, maka wajib bagi orang yang sudah mengetahui dan mendengar khabar tentang keberadaan si sakit hendaknya bersegera ia untuk menjenguknya.
Kemudian yang perlu diketahui, orang sakit yang dituntunkan untuk dijenguk adalah yang terbaring di rumahnya (atau di rumah sakit) dan tidak keluar darinya.
Adapun orang yang menderita sakit yang ringan, yang tidak menghalanginya untuk keluar dari rumah dan bergaul dengan orang-orang, maka tidak berhak / tidak perlu dijenguk.
Namun bagi orang yang telah mengetahui tentang khabar sakitnya hendaknya menanyakan keadaannya.
Demikian penjelasan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rohimahulloh dalam kitabnya Syarhu Riyaadhish Sholihin (3/55).
Keutamaan yang besar dijanjikan bagi seorang muslim yang menjenguk saudaranya yang sakit seperti ditunjukkan dalam hadits² berikut ini:
Tsauban rodhiyallohu 'anhu mengabarkan dari Nabi sholallohu 'alayhi wa sallam, beliau bersabda :
إِنَّ الْمُسْلِمَ إِذَا عَادَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ لَمْ يَزَلْ فِي خُرْفَةِ الْجَنَّةِ حَتَّى يَرْجِعَ
“Sesungguhnya seorang muslim bila menjenguk saudaranya sesama muslim maka ia terus menerus berada di khurfatil jannah hingga ia pulang (kembali).”
 [HR. Muslim no.6498. Dalam lafadz lain hadits no.6499] :
مَنْ عَادَ مَرِيْضًا، لَمْ يَزَلْ فِي خُرْفَةِ الْجَنَّةِ. قِيْلَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، وَمَا خُرْفَةِ الْجَنَّةِ؟ قَالَ: جَنَاهَا
“ Siapa yang menjenguk seorang yang sakit maka ia terus menerus berada di khurfatil jannah.” Ditanyakan kepada beliau, “Wahai Rasulullah, apakah khurfatil jannah itu?”. Beliau menjawab, “Buah-buahan yang dipetik dari surga.”
Ali rodhiyallohu 'anhu berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah sholallohu 'alayhi wa sallam bersabda:
مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَعُوْدُ مُسْلِمًا غُدْوَةً إِلاَّ صَلَّى عَلَيْهِ سَبْعُوْنَ أَلْفَ مَلَكٍ حَتَّى يُمْسِيَ، وَإِنْ عَادَهُ عَشِيَّةً إِلاَّ صَلَّى عَلَيْهِ سَبْعُوْنَ أَلْفَ مَلَكٍ حَتَّى يُصْبِحَ، وَكَانَ لَهُ خَرِيْفٌ فِي الْجَنَّةِ
“Tidaklah seorang muslim menjenguk muslim yang lain di pagi hari melainkan 70.000 malaikat bersholawat atasnya (memintakan ampun untuknya) hingga ia berada di sore hari. Dan jika ia menjenguknya di sore hari maka 70.000 malaikat bersholawat atasnya (memintakan ampun untuknya) hingga ia berada di pagi hari. Dan ia memiliki buah-buahan yang dipetik di dalam surga.”
[HR. At-Tirmidzi no. 969, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rohimahulloh dalam Shahih Al-Jami’ Ash-Shaghir no. 5767 dan Ash-Shahihah no. 1367]
Ada beberapa adab yang perlu diperhatikan oleh seseorang bila hendak menjenguk orang sakit, sebagaimana disebuntukan Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rohimahulloh.
Di antaranya:
1   Ia melakukan amalan tersebut dengan niat menjalankan perintah Nabi sholallohu 'alayhi wa sallam.
2  Ia meniatkan untuk berbuat baik kepada saudaranya dengan menjenguknya, karena seorang yang sakit bila dijenguk saudaranya akan merasa senang dan menjadi lapang hatinya.
3    Ia gunakan kesempatan membesuk tersebut untuk memberikan arahan kepada si sakit dalam perkara yang bermanfaat baginya, seperti menyuruhnya bertaubat, istighfar, dan menyelesaikan hak-hak orang yang lain yang belum dipenuhinya.
4    Bisa jadi si sakit memiliki permasalahan yang membutuhkan bantuan orang lain yang ketika dia sakit hal tersebut tak dapat dikerjakannya sendiri karena sakitbya, contoh; gas kompornya ato air minumnya habis dan tak ada orang yang bisa membelikannya ato dimintainya bantuan untuk itu...dan mungkin juga si sakit ada permasalahan tentang bagaimana tata cara thaharah atau shalat selama sakitnya atau yang semisalnya...maka bila si penjenguk mampu dan memungkinkan baginya untuk berbuat baik membantu sisakit dalam hajat² yang dibutuhkan saat itu,,,dan bila ia punya ilmu tentang yang jadi permasalahan ibadah si sakit hendaknyalah ia mengajarkan kepadanya.
5    Ia melihat mana yang maslahat bagi si sakit, apakah dengan ia lama berada di sisi si sakit atau cukup sebentar saja. Bila ia melihat si sakit senang, terlihat gembira dan menyukai bila ia berlama-lama di tempat tersebut, hendaknya ia pun menahan dirinya lebih lama bersama si sakit dalam rangka membagi kebahagiaan kepada saudaranya. Namun bila ia melihat yang sebaliknya, hendaklah ia tidak berlama-lama di tempat tersebut.
6    Hendaknya ia mengingat nikmat Allah subhaanahu wa ta'ala berupa kesehatan yang sedang dinikmatinya, karena biasanya seseorang tidak mengetahui kadar nikmat Allah subhaanah kepadanya kecuali bila ia melihat orang yang ditimpa musibah berupa kehilangan nikmat tersebut. Dengan nikmat tersebut, ia memuji Allah ta'ala dan memohon agar melanggengkan nikmat sehat untuk dirinya.
7    (*) Ia doakan si sakit dengan doa yang diajarkan oleh rosulullooh sholallohu 'alayhi wa sallam:
لاَ بَأْسَ طَهُوْرٌ إِنْ شَاءَ اللهُ
“Tidak mengapa, insya Allah (sakit ini) sebagai pembersih.”
[HR.Bukhari dari sahabat Abdullah bin ‘Abbas rodhiyallahu ‘anhuma]
Dalam hadits yang lain, Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa menjenguk orang sakit yang belum datang ajalnya lalu dia mengucapkan doa
,أَسْأَلُ اللهَ الْعَظِيْمَ رَبَّ الْعَرْشِ الْعَظِيْمِ أَنْ يَشْفِيَكَ
“Aku meminta kepada Allah yang Maha Kuasa, Rabb al-’Arsy yang agung, agar memberikan kesembuhan kepadamu.”
Sebanyak 7 kali, niscaya Allah akan memberikan kesembuhan kepadanya.”
[HR.Tirmidzi dan Abu Dawud dari sahabat Abdullah bin ‘Abbas rodhiyallohu ‘anhuma].
8    (*) Tidak mengapa membawa sesuatu untuk dihadiahkan kepada si sakit, karena dengan hadiah akan semakin erat tali persaudaraan dan kasih sayang.
 Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda:
تَهَادُوْا تَحَابُّوْا
“Saling memberikan hadiahlah di antara kalian niscaya kalian akan saling mencintai"
[HR.Bukhari dalam Adabul Mufrad dari sahabat Abu Huroiroh rodhiyallohu ‘anhu].
9    (*) Hendaknya tidak berkunjung atau menjenguk di waktu-waktu yang memberatkan si sakit, seperti waktu-waktutidur atau istirahat.
✅🔟 (*) Meruqyah si sakit tanpa diminta olehnya, tentu dengan meminta izin kepadanya terlebih dulu, yaitu dengan membacakan kepadanya bacaan-bacaan yang disyariatkan yaitu ayat-ayat Al-Qur`an atau doa-doa yang tidak mengandung kesyirikan.
Alloh ta’ala berkata:
وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ
“Dan Kami turunkan dari Al-Qur`an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.”
[QS. Al-Isroo`: 82]
Al-Qur`an itu mengandung obat dan rahmat. Namun kandungan tersebut tidak bermanfaat bagi setiap orang, dan hanya bermanfaat bagi orang yang beriman dengannya, yang membenarkan ayat-ayat-Nya, dan mengilmuinya. Adapun orang² yang zholim, yang tidak membenarkannya atau tidak beramal dengannya, maka Al-Qur`an tidak akan menambahkan kepada mereka kecuali kerugian.
[Lihat Tafsir as-Sa’di]
Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam pernah menjenguk sebagian keluarganya yang sakit, lalu beliau mengusap si sakit dengan tangan kanannya sambil membaca:
اللَّهُمَّ رَبَّ النَّاسِ أَذْهِبِ الْبَأْسَ، اشْفِ، أَنْتَ الشَّافِيْ لاَ شِفَاءَ إِلاَّ شِفَاءُكَ، شِفَاءً لاَ يُغَادِرُ سَقَمًا
“Ya Allah, Robb seluruh manusia, hilangkanlah penyakit ini. Sembuhkanlah, Engkau adalah Dzat yang Maha Menyembuhkan. (Maka) tidak ada kesembuhan (yang sempurna menyembuhkan) kecuali kesembuhan (dari)Engkau, yakni kesembuhan yang tidak meninggalkan penyakit.” [Muttafaqun ‘alayhi]
maroji' Syarhu Riyadhish
 Sholihin, hal.55-56, Syaikh Al Utsaimin rohimahulloh.

dinukil faedahnya di medan pada hari ahad qoblal 'ashr 11 Romadhon 1436 H / 28-062015, oleh akhukum fillaah, alfaqiir ilalloohi wa maghfirotihi wa liwalidaytih :
Abu Jundi Ahmad ibn Titok Harianto Al Jaawiy As Surobawiy
Catatan kaki:
(*) : adalah sdikit tambahan dari ana sendiri, dari apa yang Alloh mudahkan untuk ana memahaminya. Mohon koreksinya dari para asatidzh bila terdapat banyak kesalahan disana sini. Jazaakumulloh khoyron...

Semoga manfaat & barokah

HADITS-HADITS DHO’IF & PALSU TENTANG PUASA ROJAB

HADITS-HADITS DHO’IF & PALSU TENTANG PUASA ROJAB
TANYA:
“ Mohon dijelaskan, shohihkah hadits-hadits yang menjelaskan tentang anjuran berpuasa di Bulan Rojab ? Jazakumulloh khoiron atas penjelasannya.”
JAWAB:
Sejauh yang kami ketahui, hadits-hadits yang menjelaskan anjuran berpuasa di bulan Rojab tidak ada yang shohih, bahkan mayoritasnya adalah maudhu’ (yang dipalsukan dan didustakan atas nama Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam).
Berikut ini akan kami sebuntukan sebagian hadits-hadits dho’if dan maudhu’ tersebut yang masyhur (banyak beredar dan terkenal) di tengah kaum muslimin. Diantaranya adalah ini :
Hadits Pertama:
ان في الجنة نهرا يقال له رجب ماؤه اشد بياض من اللبن و احلى من العسل من صام يوما من رجب سقاه الله من ذلك النهر (حديث ضعيف)
“Sesungguhnya di surga ada sebuah sungai yang dinamakan Rojab, warnanya lebih putih daripada susu dan rasanya lebih manis daripada madu. Barangsiapa berpuasa satu hari di bulan Rojab, niscaya Alloh akan memberinya minum dari sungai tersebut.”Tentang hadits tersebut di atas, Al-Hafidz Ibnu Hajar rohimahulloh berkata : “(Hadits ini) disebuntukan oleh Abu Qosim At-Taimi dalam kitab At-Targhib wa At-Tarhib, Al-Hafidz Al-Asbahani dalam kitab Fadhlu As-Shiyam, diriwayatkan juga oleh Al-Baihaqi dalam kitab Fadhoiil Auqoot, dan Ibnu Syahin dalam kitab At-Targhib wa At-Tarhib. Dia berkata : “ Ibnul Jauzi dalam Al-‘Ilal Al-Mutanahiyah berkata : “ Di dalam hadits ini ada banyak kebodohan, sanadnya secara mayoritas dho’if, sehingga tidak bisa ditetapkan hukum atasnya. Ada jalan lain dalam sanadnya, tetapi juga sama-sama dho’ifnya.” (Tabyiinul ‘Ajab (hal.9-11), Al-‘Ilal Al-Mutanahiyah, 2/65)
Hadits Ke 2:
كان رسول الله صلى الله عليه و سلم اذا دخل رجبا قال اللهم بارك لنا في رجب و شعبان و بلغنا رمضان
“ Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam apabila memasuki bulan Rojab beliau berdoa: “Wahai Alloh, berkahilah kami pada bulan Rojab dan Sya’ban, dan pertemukanlah kami dengan bulan Romadhon.” Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalamAl-Musnad (1/259), dalam sanadnya ada Zaidah bin Abi Roqqod, dari Ziyad An-Namiri. Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata : “Jama’ah (sekelompok ahlul hadits) telah meriwayatkan dari Zaidah bin Abi Roqqod.” Abu Hatim berkata : “Diriwayatkan dari Ziyad An-Namiri, dari Anas beberapa hadits yang Marfu’ Munkaroh, dia tidak tahu dari dia atau dari Ziyad, dan saya tidak tahu apakah diriwayatkan tentangnya selain Ziyad, tetapi kami memakai haditsnya sebagai hujjah.” Al-Imam Al-Bukhori berkata : “Ini hadits munkar.” Al-Imam An-Nasa’i berkata : “Setelah saya mentahrij satu hadits miliknya di dalam As-Sunan, saya tidak tahu siapa dia itu (yakni Zaidah bin Abi Roqqod).” Beliau juga berkata dalam kitab Ad-Dhu’afa’: “Ini hadits munkar.” Beliau juga berkata dalam kitab Al-Kunyah: “Dia tidak tsiqoh.” Al-Imam Ibnu Hibban berkata : “Beritanya (yakni dari Zaidah) tidak bisa dijadikan hujjah.” (lihat maroji’ sebagai berikut :Tabyiinul ‘Ajab bi Maa Waroda fii Fadli Rojab (hal.12), Ad-Dhu’afaaul Kabir(2/81), biografi no.531 dan Tahdzibut Tahdzib (3/305) biografi no.570)
Hadits Ke 3 (yang artinya) :
“Sesungguhnya Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam tidak pernah berpuasa setelah Romadhon, kecuali di bulan Rojab dan Sya’ban.” Tentang hadits tersebut, Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqolani rohimahulloh berkata : “Al-Baihaqi rohimahulloh berkata : “Ini adalah hadits munkar, karena di dalam sanadnya ada Yusufbin ‘Athiyah, seorang yang sangat lemah.” (Tabyiinul ‘Ajab, hal.12)
Hadits Ke 4:
“Barangsiapa berpuasa tiga hari di bulan Rojab, Alloh akan mencatatnya seperti berpuasa sebulan. Dan barangsiapa berpuasa tujuh hari, Alloh akan menutup darinya tujuh pintu neraka…..”. Hadits ini Maudhu’(palsu). Lihat kitab Al-Maudhu’aat (2/206) karya Ibnul Jauzi rohimahulloh,Tabyiinul ‘Ajab (hal. 18) karya Al-Hafidz Ibnu Hajar rohimahulloh, Al-‘Aali Al-Mashnuu’ah (2/115) karya Al-Imam As-Suyuthi rohimahulloh, Al-Fawaaid Al-Majmuu’ah (hal.100) hadits no.228, karya Al-Imam Asy-Syaukani rohimahulloh.
Hadits Ke 5:
“Sesungguhnya bulan Rojab adalah bulan yang agung, siapa yang berpuasa di dalamnya sehari, maka Alloh akan mencatatnya seperti berpuasa seribu tahun.” Hadist ini Maudhu’ (palsu). Lihat kitab Al-Maudhuu’aat (2/206-207), Tabyiinul ‘Ajab (hal.26), dan Al-Fawaaid Al-Majmuu’ah (hal. 101) hadits no.289. Kemudian tentang keutamaan sholat lail (sholat malam) di bulan Rojab, diantaranya hadits ini :
Hadits Ke 6:
“Barangsiapa sholat maghrib pada awal malam bulan Rojab, kemudian sholat sesudahnya dua puluh roka’at, di setiap roka’atnya membaca surat Al-Fatihah, surat Al-Ikhlash sekali, dan mengucapkan salam sebanyak dua puluh kali salam, tahukah kalian apa pahalanya?” Beliau bersabda : “Alloh akan menjaga jiwanya, keluarganya, hartanya dan anaknya, dia akan dibebaskan dari adzab kubur, dan dia akan berjalan di atas shiroth (jembatan yang terbentang di atas neraka jahannam) seperti kilat, tanpa dihisab (diperhitungkan amalannya) dan tanpa diadzab.” Hadist ini Maudhu’ (palsu). Lihat kitab Al-Maudhuu’aat (2/123),Tabyiinul ‘Ajab (hal. 20), Al-‘Aali Al-Mashnuu’ah (2/115),dan Al-Fawaaid Al-Majmuu’ah (hal. 47) hadits no.144.
Hadits Ke 7:
“Bulan Rojab adalah bulan Alloh, bulan Sya’ban adalah bulanku, dan bulan Romadhon adalah bulan ummatku…..tetapi jangan lupa tentang awal malam jum’at dari bulan Rojab, karena itu adalah malam yang dinamakan oleh para malaikat dengan Ar-Roghooib. Yaitu bahwa apabila sepertiga malam telah berlalu, tidak ada malaikat di seluruh langit dan bumi kecuali berkumpul di Ka’bah dan sekitarnya. Lalu muncullah Alloh subhanahu wa ta’ala di hadapan mereka seraya berfirman : “Wahai para malaikat-Ku,bertanyalah (mintalah) kepada-Ku tentang apa saja sesuka kalian.” Lalu mereka berkata : “Wahai Robb kami, keinginan kami kepada-Mu adalah hendaknya Engkau mengampuni orang yang berpuasa di bulan Rojab.” Lalu Alloh subhanahu wa ta’ala menjawab : “Aku telah melakukannya !” Kemudian Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Tidak seorangpun yang berpuasa di hari kamis, (yakni) kamis pertama di bulan Rojab, lalu pada malam jum’atnya sholat antara waktu Isya’ hingga pagi sebanyak dua belas roka’at…..” Hadist ini Maudhu’ (palsu).Lihat kitab Al-Maudhuu’aat (2/124-126),Tabyiinul ‘Ajab (hal. 22-24), dan Al-Fawaaid Al-Majmuu’ah (hal. 47) hadits no. 146. Dan masih banyak yang lainnya.
Demikianlah beberapa hadits dho’if dan maudhu’ seputar keutamaan amalan puasa di bulan Rojab atau sholat pada sebagian malamnya.Penyebutan di atas bukanlah pembatasan, karena masih banyak riwayat-riwayat lain yang belum disebutkan.
KESIMPULANNYA: tidak ada amalan khusus yang dianjurkan pada bulan ini berikut keutamaannya. Yang jelas, bulan Rojab adalah termasuk salah satu bulan harom (yang dimuliakan) yang wajib kita muliakan dengan amal-amal sholih dan ketaatan yang diperintahkan dalam syari’at agama seperti bulan-bulan lain pada umumnya, dan kita juga diperintahkan untuk menjauhi perbuatan-perbuatan jelek berupa kedholiman dan yang lainnya.
 Wallohu a’lamu bis showab.
(Disusun oleh : ustadz Abu Abdirrohman Yoyok WN surabaya)
http://www.darul-ilmi.com/2015/04/adakah-dalil-tentang-keutamaan-bulan-rojab/#more-8172

Do'a dan ucapan atas kelahiran anak


Do'a dan ucapan atas kelahiran anak


Tidak terdapat satu hadits pun dari Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam tentang ucapan selamat, dan tidak ada sesuatu pun kecuali atsar yang diriwayatkan dari para salafuna sholeh. Di antaranya:

Dari Hasan Al-Bashri rohimahulloh, bahwasanya ada seseorang yang bertanya kepadanya, “Bagaimana cara saya mengucapkan ucapan selamat (kelahiran)?”

Beliau menjawab, “Ucapkanlah olehmu,

جَعَلَ اللهُ مُبَارَكًا عَلَيْكَ وَ عَلَى أُمَّةِ مُحَمَّدٍ

“Ja’alallohu mubaarokan ‘alaika wa ‘ala ummati Muhammadin”

“Semoga Alloh menjadikannya anak yang diberkahi atasmu dan atas umat Muhammad shollallohu ‘alaihi wasallam”
[Atsar ini hasan, dikeluarkan oleh Imam Thabrani]

Selain dari ucapan tersebut, ada ucapan lainnya yang shahih,

بَارَكَ اللهُ لَكَ فِي الْمَوْهُوْبِ لَكَ، وَشَكَرْتَ الْوَاهِبَ، وَبَلَغَ أَشُدَّهُ، وَرُزِقْتَ بِرَّهُ.

وَيَرُدُّ عَلَيْهِ الْمُهَنَّأُ فَيَقُوْلُ:

بَارَكَ اللهُ لَكَ وَبَارَكَ عَلَيْكَ، وَجَزَاكَ اللهُ خَيْرًا، وَرَزَقَكَ اللهُ مِثْلَهُ، وَأَجْزَلَ ثَوَابَكَ

‘Baarokallohu laka fil mauhuubi laka wa sayakartal Waahib wa balagho asyuddahu wa ruziqta birrohu’.”

“Semoga Alloh memberkahimu dalam anak yang diberikan kepadamu. Kamu pun bersyukur kepada Sang Pemberi, dan dia dapat mencapai dewasa, serta kamu dikaruniai kebaikannya.”

Sedang orang yang diberi ucapan selamat membalas dengan mengucapkan:

“Baarokallohu laka wa baaroka ‘alaika wa jazaakallohu khoiron wa rozaqokallohu mitslahu wa ajzalallohu tsawaabak.

“Semoga Alloh juga memberkahimu dan melimpahkan kebahagiaan untukmu. Semoga Alloh membalasmu dengan sebaik-baik balasan, mengaruniakan kepadamu sepertinya dan melipat gandakan pahalamu.”

[📚 Al-Adzkar, karya An-Nawawi, hal. 349, dan Shahih Al-Adzkar lin Nawawi, oleh Syaikh Salim Al-Hilali 2/713]

juga riwayat dibawah ini

riwayat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu

Hadis yang menceritakan pernikahan Ummu Sulaim dengan Abu Thalhah dengan syarat masuk islamnya Abu Thalhah. Hingga mereka dikaruniai seorang anak lelaki yang lincah dan sehat, yang membuat Abu Thalhah sangat mencintainya.

Qadarullah, anak ini meninggal ketika ayahnya sedang safar. Ketika pulang, Abu Thalhah langsung menanyakan tentang anaknya. Setelah Abul Thalhah ditenangkan istrinya, dihidangkan makanan, dan dilayani dengan baik, baru Ummu Sulaim menyampaikan, bahwa anaknya telah dipanggil yang punya (Allah).

Karena merasa resah, Abu Thalhah langsung mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menceritakan kejadiannya bersama Ummu Sulaim. Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakan keberkahan untuk hubungan mereka. Hingga Ummu Sulaim melahirkan anak lelaki.

Beliau berpesan, jika tali pusarnya telah putus, jangan diberi makan apapun sampai dia diantarkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di situlah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan tahnik, dan mendoakan,

بَارَكَ اللَّهُ لَكِ فِيهِ، وَجَعَلَهُ بَرًّا تَقِيًّا

“Semoga Allah memberkahi anak ini untukmu dan menjadikannya orang baik yang bertaqwa”.


Hadis ini memiliki banyak redaksi. Sementara yang ada kutipan doa di atas, diriwayatkan oleh al-Bazzar dalam Musnadnya (no. 7310).

Sanadnya dinilai shahih oleh al-Haitsami. Dalam Majma’ az-Zawaid, beliau mengatakan,

رواه البزار ورجاله رجال الصحيح غير أحمد بن منصور الرمادي وهو ثقة

“Diriwayatkan al-Bazzar dan para perawinya adalah perawi kitab shahih, selain Ahmad bin Manshur ar-Ramadi, beliau perawi Tsiqqah.” (Majma’ az-Zawaid, 9/216)

Jika riwayat ini shahih, doa ini yang bisa kita rutinkan, karena ma’tsur( diriwayatkan) dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Allahu a’lam

RINGKASAN FATWA ‘ULAMA SEPUTAR DAKWAH DENGAN VIDEO BERGAMBAR

RINGKASAN FATWA ‘ULAMA SEPUTAR DAKWAH DENGAN VIDEO BERGAMBAR

1⃣ Lajnah Dâimah.

SOAL:

هَلِ التَّصْوِيْرُ الَّذِي تَسْتَخْدِمُ فِيْهِ كَامِيْرَا الفِيْدِيُو يَقَعُ حُكْمُهُ تَحْتَ التَّصْوِيْرِ الفُوتُوغْرَافِي؟

“Apakah gambar yang menggunakan padanya kamera video hukumnya seperti gambar fotografi?

JAWAB:

نَعَم ، حُكْمُ التَّصْوِيْرِ بِالفِيدِيُو حُكْمُ التَّصْوِيْرِ الفُوتُوغْرَافِيِّ بِالمَنْع وَالتَّحْرِيمِ لِعُمُومِ الأَدِلَّةِ».

“Iya, hukum gambar dengan video adalah hukum gambar dengan fotografi dalam larangan dan keharomannya sesuai dengan keumuman dalil.” [fatwa (no.16259)]

2⃣ Asy-Syaikh Muhammad Nâshiruddîn Al-Albânî rohimahullôh mengatakan:

كُلُّ الصُّوَرِ مُحرَّمَةٌ سَوَاءٌ كَانَتْ يَدَوِيَّةٌ أَو فُوتُوغْرَافِيَّةٌ أَو هَذِهِ (الموضة) الجَدِيْدَةُ الَّتِي سَمَّيْتَهَا -آنِفاً- (فِيْدِيُو)، كُلُّ هَذِهِ وَهَذِهِ وَهَذِهِ مُحرَّمَةٌ».

“Setiap gambar adalah harom, sama saja dengan cara tangan, fotografi atau model baru yang sekarang engkau namakan dengan (video), maka semua ini, ini dan ini adalah harom.” [dinukil dari “Al-Ibrôz li aqwâlil ‘Ulamâ fie hukmit tilfâz” (hal.14)]

3⃣ Asy-Syaikh Ibnu Bâz rohimahulloh.

SOAL:

س: مَا حُكْمُ التَّغْسِيْلِ وَالتَّكْفِيْنِ عَنْ طَرِيْقِ الفِيْدِيُو؟

“Apa hukum memandikan dan mengkafani (jenazah) melalui cara video?

JAWAB:

ج: التَّعْلِيْمُ يَكُونُ بِغَيْرِ الفِيْدِيُو لِمَا فِي الأَحَادِيْثِ الكَثِيْرَةِ الصَّحِيْحَةِ مِنَ النَّهْيِ عَنِ التَّصْوِيْرِ وَلَعْنِ المُصَوِّرِيْنَ».

“Pengajaran dilakasanakan dengan tanpa video karena terdapat pada hadits-hadits yang banyak lagi shohih, yang melarang dari menggambar dan melaknat orang-orang yang menggambar.” [dari “As’ilah Al-Jam’iyyah Al-Khoiriyyah bi Syaqrô”]

Beliau juga mengatakan:

«وَظُهُورُ صُورَتِي لَيْسَ دَلِيْلاً عَلَيَّ اِجَازَتِي التَّصْوِيْر وَلاَ عَلَى رِضَايَ بِهِ فَاِنِّي لَمْ أَعْلَمْ أَنَّهُمْ صَوَّرُونِي».

“Nampaknya gambarku bukanlah dalil tentang pembolehan dariku tentang gambar, tidak pula juga bentuk keridhoanku padanya, karena aku tidaklah tahu bahwasanya mereka (mengambil) gambarku.” [lihat “Lajnah Dâimah” (1/460)]

4⃣ Asy-Syaikh Muqbil bin Hâdî Al-Wâdi’î rohimahulloh mengatakan:

»وَمُنْكَرٌ عَظِيْمٌ أَنْ يَقُومَ المُحَاضِرُ فِي المَسَاجِدِ يُحَاضِرُ النَّاسَ وَالمُصَوَّرَة _أي الكَامِيْرَا_ مُوَجَّهَةٌ اِلَيْهِ ..... وَالبَثُّ المُبَاشِرُ _أَيّ النَّقْلُ الحَيُّ_ دَاخِلٌ فِي التَّحْرِيْمِ فَهُوَ يُعْتَبَرُ صُوْرَةً وَالنَّاسُ يُسَمَّونَهَا صُورَةً فَهِيَ مُحَرَّمَةٌ«

“Kemungkaran yang besar adalah ketika seorang pemberi ceramah di Masjid; memberikan ceramah kepada orang-orang dalam keadaan kamera menghadap ke arahnya ... dan siaran langsung masuk juga padanya dalam hal yang harom, maka hal tersebut termasuk gambar, dan orang-orang (pun) menamakannya juga gambar, dan ini adalah harom.” [lihat “Hukmu Tashwîr” (70-71)]

5⃣ Asy-Syaikh Ahmad bin Yahyâ An-Najmî rohimahullôh mengatakan:

«أَمَّا يَعْنِي ظُهُورُهُ عَلَى الشَّاشَةِ هَذَا لاَ شَكَّ أَنَّهُ مُنْكَرٌ ..»

“Adapun nampaknya da’i di layar (TV), ini tidaklah diragukan bahwa itu mungkar.” [dinukil dari “Al-Ibrôz li aqwâlil ‘Ulamâ fie hukmit tilfâz” (hal.32)]

6⃣ Asy-Syaikh Shôlih Al-Fauzân hafidzohullôh.

SOAL:

مَا حُكْمُ اسْتِخْدَامِ الوَسَائِلِ التَّعْلِيْمِيَّةِ مِن فِيدِيُو وَسِيْنِمَا وَغَيرِهِمَا فِي تَدْرِيْسِ المَوَّادِ الشَّرْعِيَّةِ كَالفِقْهِ وَالتَّفْسِيْرِ وَغَيرِهَا مِنَ المَوَّادِ الشَّرْعِيَّةِ‏؟‏ وَهَلْ فِي ذَلِكَ مَحْذُورٌ شَرْعِيٌّ‏؟‏ أَفْتُونَا مَأجُورِيْنَ‏.
“Apa hukukmnya menggunakan wasilah untuk pengajaran dengan video dan sinema atau selain keduanya dalam mengejarkan bidang syari’ah seperti Fiqh, Tafsir atau selain keduanya dari bidang syari;ah? Apakah dalam hal tersebut ada larangan secara syari’at? Berikanlah kami fatwa semoga anda diberikan pahala.

JAWAB:

الَّذِي أَرَاهُ أَنَّ ذَلِكَ لَا يَجُوزُ؛ لِأَنَّهُ لاَبُدَّ أَن يَكُونَ مَصْحُوبًا بِالتَّصْوِيْرِ، وَالتَّصْوِيْرُ حَرَامٌ، وَليسَ هُنَاك ضَرُورَة تَدْعو إِلَيهِ‏.‏ والله أعلم

“Dan yang aku pandang (dalam hal ini) adalah tidak boleh, karena diharuskan darinya disertai dengan (pengambilan) gambar, dan gambar adalah harom. Dan tidaklah ada disana namanya darurat yang dibutuhkan padanya, Wa Allôhu a’lam.” [lihat “Al-Muntaqo” (no.513)]

dr ustadz fuad di grup salafiyun

_*NASEHAT UNTUK SEKIRANYA TIDAK MEMONDOKKAN ANAK SEBELUM MENCAPAI BALIGH*_

_*Telah Di Periksa Oleh Asy-Syaikh Abu Fairuz Abdurrohman Bin Soekojo Al Indonesiy حفظه الله تعالى*_                بِسْمِ اللّهِ الرَّحْمَن...