💎 *SALAH SATU WUJUD
BENTUK MENSYUKURI NIKMAT ALLOH*
Alloh Ta'ala berkata:
*ﻭَﻣَﺎ ﺑِﻜُﻢ ﻣِّﻦ ﻧِّﻌْﻤَﺔٍ ﻓَﻤِﻦَ ﺍﻟﻠَّﻪ*ِ
ۖ ﺛُﻢَّ ﺇِﺫَﺍ ﻣَﺴَّﻜُﻢُ ﺍﻟﻀُّﺮُّ ﻓَﺈِﻟَﻴْﻪِ ﺗَﺠْﺄَﺭُﻭﻥَ (النحل: ٥٣)
_"Dan *apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari
Allah-lah (datangnya)*, dan bila kamu ditimpa oleh kemudharatan, maka hanya kepada-Nya-lah
kamu meminta pertolongan."_ (An Nahl: 53)
Alloh Ta'ala berfirman:
*وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّث*
_*ْ"Dan terhadap nikmat Robb-mu, maka hendaklah kamu
menyebut-nyebutnya (dgn bersyukur)."*_ (Adh Dhuha:11)
Beberapa pendapat ulama mengenai ayat di atas (Adh Dhuha: 11
-edt).
Dari Abu Nadhroh -rohimahulloh-, ia berkata,
كان المسلمون يرون أن من شكر النعم أن
يحدّث بها
_*“Dahulu kaum muslimin menganggap dinamakan mensyukuri
nikmat adalah dengan seseorang menyiarkan (menampakkan) nikmat tersebut.”*_
(📚 Diriwayatkan oleh Ath
Thobari dalam kitab tafsirnya, Jaami’ Al Bayaan ‘an Ta’wili Ayyil Qur’an 24:
491).
Al Hasan bin ‘Ali bin Abi Tholib -rodhiyallohu 'anhuma-
berkata mengenai ayat di atas,
ما عملت من خير فَحَدث إخوانك
_*“Kebaikan apa saja yang kalian perbuat,maka siarkanlah
pada saudara kalian.”*_ Disebutkan oleh Ibnu Katsir, dari Laits, dari
seseorang, dari Al Hasan bin ‘Ali
(📚 Tafsir Al Qur’an Al
‘Azhim, 14: 387).
⚠ *Tentu saja nikmat atau
kebaikan yg disampaikan pada orang lain itu jika padanya mengandung maslahat,
bukan dalam rangka menyombongkan diri dan pamer atau ingin cari muka (cari
pujian, alias “riya’ “)* -na'udzubillaahi min dzaalik-.
Lihat perkataan Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di -rohimahulloh- di dalam kitab tafsirnya,
_*“Yang dimaksud dalam ayat tersebut mencakup nikmat din (akhirat) maupun nikmat dunia. Adapun “fahaddits” bermakna “pujilah Alloh atas nikmat tersebut”.
Bentuk syukur di sini adalah dengan lisan dan disebut khusus dalam ayat, dibolehkan jika memang mengandung maslahat. Namun boleh juga penampakkan nikmat ini secara umum (tidak hanya dengan lisan).
Karena menyebut-nyebut nikmat Allah adalah tanda seseorang bersyukur. Perbuatan semacam ini membuat hati seseorang semakin cinta pada pemberi nikmat (yaitu Alloh Ta’ala).
Itulah tabiat hati yang selalu mencintai orang yang berbuat baik
padanya.”*_
(📚 Taisir Al Karimir
Rohman, 928)