Tampilkan postingan dengan label Fiqh. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Fiqh. Tampilkan semua postingan

⏳TA'AWUN DAN BERSEMANGAT MEMBERI IFTHAR (HIDANGAN BUKA PUASA) KEPADA ORANG YANG BERPUASA.

نصـيـحـة للـنــساء:

Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam bersabda dari Zaid Bin Khalid Al_Juhany Radhiallahu Anhu:

من فطَّر صائمًا كان له مثلُ أجرِه ، غير أنه لا ينقُصُ من أجرِ الصائمِ شيءٌ

"Siapa yang memberi hidangan buka puasa untuk orang yang berpuasa, maka dia mendapatkan seperti pahalanya, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa itu."

📚 HR. At Tirmidzi no 807, Ibnu Majah no 1746, Imam Ahmad 5/182 dan
dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib no 1078, dan Shahih Al_Jami' 6415.

⭕BAGAIMANA UKURAN PORSI MEMBERI HIDANGAN BUKA PUASA SEHINGGA IA MENDAPATKAN PAHALA NYA ORANG BERPUASA SEBAGAIMANA DALAM HADITS ?

🖋️Berkata Imam As-Shon'aany rahimahullah :

( من فطر صائما ) أعطاه ما يفطر به ولو جرعة من ماء ( كان له مثل أجره ) أي مثل أجر صومه ( غير أنه لا ينقص ) مما يعطاه المفطر ( من أجر الصائم شيئا ) وينبغي للصائم قبول ما يعطاه أن يفطر به إعانة لأخيه على الآخرة وإجابته إن دعاه للعشاء.

(Barangsiapa yang memberikan buka kepada orang berpuasa) memberikan kepadanya sesuatu untuk dia berbuka walaupun hanya SATU TEGUK AIR, (baginya pahala semisal pahalanya), yaitu semisal pahala puasanya, (tanpa mengurangi) dari apa yang diberikan kepada orang yang berbuka, (dari pahala orang berpuasa sedikitpun) dan sepantasnya bagi orang berpuasa menerima apa yang diberikan kepadanya untuk dia berbuka dengannya sebagai bentuk pertolongan bagi saudaranya atas akhiratnya (sehingga ia mendapatkan pahala), dan memenuhi panggilannya jika dia mengundangnya untuk makan malam.

📚 At_Tanwiir Syarh Al Jaami'is Shoghiir/1/329

🖋️Berkata Imam Nawawi rahimahullah,

قَالَ الْمُتَوَلِّي فَإِنْ لَمْ يَقْدِرْ عَلَى عَشَائِهِ فَطَّرَهُ عَلَى تَمْرَةٍ أَوْ شَرْبَةِ مَاءٍ أَوْ لَبَنٍ 

"Al-Mutawalli mengatakan, jika seseorang tidak mampu memberi buka puasa dengan hidangan makan malam, maka dia bisa memberi buka dengan KURMA, AIR MINUM, ATAU SUSU."

📚Al-Majmu', 6/363

🖋️Al Allamah Ibnul Utsaimin mengatakan,

ولكن ظاهر الحديث : أن الإنسان لو فطر صائما ولو بتمرة واحدة فإنه له مثل أجره .

"Namun, zhahir hadis ini, seseorang memberi makan orang yang puasa, MESKIPUN SEBUTIR KURMA, maka dia mendapat semisal pahalanya."

📚 Syarh Riyadus_shalihin 5/315

🖋️Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baaz rahimahullah

Penanya :

هل يلزم الإشباع في أجر مَن فطَّر صائمًا؟

“Barangsiapa yang memberi hidangan berbuka kepada orang yang berpuasa, maka dia akan mendapatkan pahala semisal pahala puasanya, apakah hal ini harus sampai kenyang.
Apa pendapat anda dalam perkara ini?

Jawaban :

لا، الأحاديث تدل على أنه ما هو لازم الإشباع.

Tidak, hadits-hadits menunjukkan, bahwasanya TIDAK HARUS SAMPAI MENGENYANGKAN.

Penanya : Berarti bisa diperoleh pahalanya, walaupun tidak mengenyangkan?

Jawaban :

ولو ما أشبعه نعم

Iya , walaupun tidak mengenyangkan.

📚Fatawa Ad-Durus

Jangan menganggap kesempatan terbatasi dan peluang tertutup serta terhalangi demi mendapatkan keutamaan pahala orang yang berpuasa sebagaimana dalam hadits, karena dengan alasan ketidakmampuan kita dalam menyiapkan nasi dos dan kue yang beranekaragam dan sementara kemampuan kita sekedar hanya memberikan buka puasa dengan sebutir kurma atau satu gelas air minum ukuran kecil.

Apa yang kita sumbangkan berupa hidangan buka puasa besar atau kecil itu termasuk:

Dari kesempurnaan iman dan baiknya keislaman seseorang,

Sebagai dalil akan berbaik sangkanya ia kepada Allah dan tsiqah terhadapnya.

Sebagai bentuk menjalankan kesyukuran atas nikmat Allah Ta'ala,

Sebagai sebab mendapatkan kecintaan Allah dan kecintaan makhluk.

Sebagai bentuk antipati dan rasa kasihan untuk saling berbagi serta demi menutup hajat pada orang yang miskin dan orang yang butuh

Sebagai bentuk pensucian diri dengan mengeluarkan kekikiran dan kebakhilan dari jiwa.

Sebagai sebab keberkahan harta dan berkembangnya dan terjaganya seseorang dari segala musibah dan bala'

Sebagai jalan untuk sampai kesurga Allah.


⭕APAKAH YANG DIBERI HIDANGAN BUKA PUASA ITU HARUS ORANG MISKIN?

DAN TERMASUK SALAH SATU SUNNAH ISLAM ADALAH MEMBERI HIDANGAN BUKA PUASA PADA ORANG YANG MISKIN

🖋️Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:

إعانة الفقراء بالإطعام في شهر رمضان ؛ هو من سنن الإسلام ، فقد قال النبي ﷺ (من فطّر صائماً فله مثل أجره)

"Membantu kepada orang miskin dengan memberi makanan pada bulan ramadhan termasuk dari sunnah Islam,

Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda:

'Barang siapa memberi hidangan berbuka bagi seorang yang sedang berpuasa maka baginya pahala semisal pahala berpuasa.'

📚 Majmu' Fatawa 25/298

Bukan suatu keharusan hidangan buka puasa diberikan kepada orang yang miskin, tapi bisa juga diberikan orang yang mampu baik dari kerabat atau teman, maka ia akan mendapatkan keutamaan dari hadits tersebut, hanya saja lebih dianjurkan memberikan hidangan buka puasa bagi orang yang miskin.

🖋️ Al-'Allamah Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah menerangkan,

الحديث عام يعم الغني والفقير، والفرض والنفل، وفضل الله واسع سبحانه وتعالى

"Hadits di atas bersifat umum, mencakup orang yang berpuasa tersebut berkecukupan dan orang yang miskin, baik itu puasa wajib atau sunnah. Keutamaan Allah subhanahu wa ta'ala amat luas."

📚Majmu' Fatawa wa Maqalat, 25/207

🖋️Asy-Syaikh Muhammad al-'Utsaimin berkata,

ينبغي للإنسان أن يحرص على تفطير الصوام بقدر المستطاع لاسيما مع حاجة الصائمين وفقرهم أو حاجتهم لكونهم ليس في بيوتهم من يقوم بتجهيز الفطور لهم وما أشبه ذلك

"Sepantasnya bagi seseorang untuk bersemangat memberi hidangan berbuka bagi orang yang berpuasa sesuai dengan kemampuannya, terkhusus lagi orang orang yang berpuasa kondisinya butuh dan kehidupannya miskin, dikarenakan keberadaan mereka yang tidak ada menyiapkan buka puasa di rumah rumah mereka ataupun yang semisal itu.

📚Syarah Riyadhus_ Shalihin, 5/314

🖋️ Dan beliau rahimahullah juga berkata :

وينبغي لمَن عنده القدرة أن يحرص على تفطير الصُوَّام إما في المساجد، أو في أماكن أخرى؛ لأن مَن فطَّر صائمًا له مثل أجره، فإذا فطَّر الإنسان إخوانه الصائمين، فإن له مثل أجورهم، فينبغي أن ينتهز الفرصة مَن أغناه الله تعالى حتى ينال أجرًا كثيرًا.

Dan sepantasnya bagi siapa yang punya kemampuan untuk bersemangat memberikan hidangan buka puasa, sama saja di masjid masjid atau ditempat lain, karena siapa yang memberikan hidangan buka puasa, maka baginya pahala semisal pahalanya orang yang berpuasa, dan jika seseorang memberikan hidangan buka puasa pad a saudara saudaranya yang berpuasa, maka baginya semisal pahala mereka yang berpuasa. Dan sepantasnya siapa yang Allah berikan kecukupan padanya untuk bersemagat mengambil kesempatan dalam hal ini hingga ia mendapatkan pahala yang besar.

📚 As_sual Fish_shiyam hal 19_20.

والله اعلم بالصواب


Abu Hanan As-Suhaily

2 Sya'ban 1444 -22/2/2023


⏳BERBUKA PUASA DENGAN KURMA.

نصـيـحـة للـنــساء:


Datang hadits ari Salman bin 'Amir Adh_dhobbi radhialloohu 'anhu dari Nabi Shollallaahu 'alaihi wassallam ia berkata

إذا أفطر أحدكم فليفطر على التمر ، فإن لم يجد فليفطر على الماء فإنه طهور.

Dan jika salah seorang dari kalian ingin berbuka, maka hendaknya ia berbuka dengan kurma , dan jika ia tidak mendapatkan maka hendaknya ia berbuka dengan air, sebab air itu thahur (suci )(HR imam Ahmad 4/17, 18, 213 , Abu Dawud no 2355 , At_tirmidzi no 658 , Ibnu Majah 1699 , An _ Nasai dalam Al kubro 2/214-215 , Ibnu Hibban no 3515 , Al hakim 1/431 dan hadits ini dilemahkan oleh syaikh Al_Allamah  Al_Albani dalam Al' irwa 4/49-50, sebab dalam sanadnya terdapat seorang perawi yang maj'hulah yaitu ar_rabab bintu Ash_shulay'i .)

Dan juga datang hadits dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu, ia berkata :

ٍ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُفْطِرُ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّيَ عَلَى رُطَبَاتٍ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ رُطَبَاتٌ فَتُمَيْرَاتٌ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تُمَيْرَاتٌ حَسَا حَسَوَاتٍ مِنْ مَاءٍ

Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam selalu berbuka dengan ruthab / kurma basah sebelum shalat, jika beliau tidak mendapatinya, maka (beliau berbuka) dengan beberapa kurma kering dan jika tidak mendapatkan kurma kering, beliau berbuka dengan meneguk beberapa tegukan air (HR  At Tirmidzi 3/381 dan selainnya dan dihasankan oleh Syaikh Al Allamah Al_Muhaddits Muqbil Al wadi'i dalam Al_ Jami'  Ash_shohih mimma laysa fi Ash_Shohihain 2/470_471 no 1460 dan Imam Al_Albany dalam Irwaul Ghalil 4/45 no 922).

Akan tetapi disebutkan oleh ahli Ilmi beberapa illah/cacat yang menjadikan sebab kelemahan hadits tersebut :

▪️Abdur_razzaq Ash_Shan'any bersendirian dengan lafazd tersebut dari Ja'far Bin Sulaiman  Adh_Dhubai' dari Tsabit al_Bunani dari Anas Radhiyallahu Anhu.

Berkata Abu Zur'ah dan Abu Hatim, kami tidak mengetahui meriwayatkan hadits ini kecuali Abdur razzaq dan kami tidak mengetahui dari mana Abdur Razzaq datang dengan hadits ini. (Lihat Al_Ilal karya Ibnu Abi Hatim 1/224-225). 

Dan hadits tersebut disebutkan oleh Imam Adz_dzahabi dalam Al_Mizan (1/408) bahwa hadits tersebut dari perkara yang diingkari atas Ja'far Bin Sulaiman Adh_dhubai' .

▪️ Dan didalamnya terdapat gharobah, dan juga dari sisi Ja'far Bin Sulaiman Adh_Dhubai' bersendirian dengan konteks tersebut dari tsabit Al_Bunani dalam penyebutan kalimat ruthab (kurma basah) dan tidak ada seorang pun yang mengikuti atasnya dari sisi yang shahih.

🖋️ Berkata Syaikhuna Fathul Qadasi hafidzahullah Ta'ala dari apa yang kami tanyakan tentang hadits di atas :

شيخنا المقبل يتراجع عنه او ذكر فيه العلة

Syaikh kami Muqbil Al_Wadi'i taroju' dari menghasankan hadits tersebut atau beliau menyebutkan illah (cacat) pada hadits itu.

📚 Selesai penukilan

Dan telah datang hadits Anas dari jalan jalan lain dari Humaid Ath_thawil, Qatadah, Buraid Bin Abi Maryam, Ibnu Juraij dan selain mereka dengan tidak menyebutkan ruthab/kurma basah.

Dari Humaid Ath_thowil dari Anas, ia berkata:

ما رأيت النبي صلى الله عليه وسلم قط صلى صلاة المغرب حتى يفطر ولو كان على شربة ماء.

Aku tidak pernah melihat Nabi shalallahu alaihi wasallam sama sekali shalat magrib kecuali beliau telah berbuka walaupun dengan meminum air. (Dikeluarkan oleh Abu Ya'la 3792, Ibnu Hibban 3504 dan dishahihkan oleh Al_Albany dalam Shahih At_targhib 1/259).

Dan juga dari Buraid Bin Abi Maryam dari Anas Radhiyallahu Anhu :

كان يبدأ إذا أفطر بالتَّمرِ

Dan kebiasaannya rasulullah beliau memulai  jika berbuka dengan kurma"  (Dikeluarkan An_Nasai dalam As_sunan Al_Kubro no 3318, Ath_Thabrany dalam Al_Mu'jam Al_Awshat 5/348 no 5517, dan dishahihkan oleh Syaikh Al_Allamah Al_Albany dalam Shahih al_Jaami' no 4892) .

Dan hadits Anas di atas

كان يبدأ إذا أفطر بالتَّمرِ

Dan kebiasaannya rasulullah beliau memulai  jika berbuka dengan kurma"  (diriwayatkan Al_Firyabi dalam kitab Ash_shiyam 69, dengan sanad yang shahih).

⭕Kesimpulan dari hadits di atas :

Disunnahkan bagi seseorang yang berpuasa agar berbuka dengan kurma, jika tidak ada kurma maka berbuka dengan air.

Dan ini adalah madzhab asy_syafiiyyah dan kebanyakan dari kalangan Hanabilah dan Imam Asy_syairozi dalam Muhadzdzab menyatakan dengan tegas:

على استحباب الإفطار على التمر

akan disunnahkannya berbuka dengan kurma،

Berkata An_nawawi rahimahullah dalam syarhnya  :

مستحب ان يفطر على تمر فإن لم يجد فعلى الماء

Disunnahkan berbuka dengan kurma, jika tidak ada, maka dengan air.

📚 Lihat Al_Majmu' Syarh al_muhadzdzab 6/362, Al_Inshaf 331, Al_Mughni 3/175.

🖋️Syaikh Ibnu Shalih al-‘Utsaimin berkata :

فإن لم يجد رُطَبًا ولا تمرًا ولا ماء أفطر على ما تيسَّر من طعام أو شراب حلال، فإن لم يجد شيئًا نوى الإفطار بقلبه، ولا يَمصُّ إصبعه، أو يجمع ريقه ويبلعه، كما يفعل بعض العوام

“Jika seseorang tak mendapati kurma basah, tak juga kurma kering, bahkan tak ada air, maka hendaknya dia berbuka dengan makanan atau minuman halal yang mudah dia dapatkan. Namun jika dia masih tak mendapat apapun, maka hendaknya dia meniatkan di dalam hati bahwa dia telah berbuka, bukan dengan cara mengisap jari, atau mengumpulkan air liur dalam mulut kemudian menelannya seperti yang dilakukan sebagian orang awam.”

📚 Majmu’ Fatawa
20/261.

📒 Soal yang kami ajukan pada ulama Yaman .

[19/2 04:27] ابو حنان عثمان السندكاني: بعض الناس يقولون يقطر الإنسان على ما تيسر له من الطيبات حتى ولو على شربة ماء لأن الإفطار بالتمر يبلغ الى كونه سنة فالأدلة لم ثثبت_ ضعيفة_.

وجاء في الصحيحين عن عبد الله بن أبي أوفى أن النبي صلى الله عليه وسلم كان في سفر فلما غربت الشمس قال لأحد الصحابة انزل فاجدح لنا قال يا رسول الله إن عليك نهاراً قال انزل فاجدح لنا قال لو أمسيت فنزل فجدح لهم فشرب النبي صلى الله عليه وسلم.

الشاهد: 

إذأ افطر النبي صلى الله عليه وسلم على سويق او نحو ذلك ولم ينقل أنه أكل التمر .

هل يفهم من ذلك الحديث :  ليس من السنة ان يفطر بالتمر؟؟
[19/2 07:27] ابو حنان عثمان السندكاني: يا شيخنا

قد راينا فى الجامع الصحيح مما ليس فى الصحيحين ٢/٤٧٠ رقم ١٤٦٠ عن انس بن مالك قال كان رسول الله يفطر قبل ان يصلى على رطبات، فإن لم تكن رطبات فتميرات فإن لم تكن تميرات حسا حسوات من ماء

قال الشيخ المقبل الوادعى هو حديث حسن على شرط مسلم.

Sebagian orang mengatakan bahwa seseorang berbuka dengan apa yang mudah baginya dari makanan yang baik baik walaupun dengan meminum air, sebab berbuka dengan kurma yang keberadaannya sampai pada tingkat sunnah maka dalilnya lemah.

Dan telah datang dalam shahihain dari Abdullah Bin Abi Aufa bahwa

Kami bersama Rasulullah  dalam suatu perjalanan di bulan ramadhan, ketika tenggelam matahari,  (Rasulullah) bersabda  “ Ya Fulan, turun dan siapkan makanan buat kami (adonan gandum yang dicampur dengan air)”, Ia berkata, “YA Rasulullah hari masih siang”, ,  (Rasulullah) berkata “Turun dan siapkan bagi kami ”, maka ia turun dan menyiapkan makanan tersebut dan menghidangkanya, dan Nabi minum darinya kemudian beliau bersabda “ Jika telah hilang matahari, dari arah sini (barat), dan datang malam dari arah sini (timur), maka telah berbuka orang yang berpuasa.

Titik penekanannya:

Kalau begitu Nabi berbuka dengan adonan tepung gandum yang dicampur dengan air atau semisal itu dan tidak dinukil berbuka dengan makan kurma.

Apakah dipahami dari hadits tersebut, bukan merupakan sunnah berbuka dengan kurma ?

Dan telah datang dalam Al_Jam'i Ash_shahih mimma laysa fish_shahihain 2/470 no :  1460 dari Anas Bin Malik Radhiyallahu Anhu :

Bahwa rasulullah shalallahu alaihi wasallam berbuka sebelum shalat dengan ruthab (kurma basah), jika tidak ada, maka dengan beberapa kurma, jika tidak ada, maka dengan beberapa tegukan air. Dan Syaikh Muqbil Al_Wadi' rahimahullah menghasankan hadits tersebut.

🖋️ Jawaban Syaikhuna Hasan Bin Qasim hafidzahullah :

[19/2 08:08] الشيخ حسن بن قاسم الريمي:

هذه هي السنة ولايمنع ان يحصل خلاف ذلك حتى لايكون واجبا

Inilah yang merupakan sunnah (berbuka dengan kurma), dan tidak menghalangi didapatkan tidak seperti itu, sampai berbuka dengan kurma bukanlah hal yang wajib..

📚 Selesai penukilan

🖋️ Jawaban Syaikhuna Fathul Qadasy hafidzahullah tentang berbuka dengan kurma :

لا يقال ليس من السنة الفطر على التمر أوالرطب فإن هذا عند اكثر أهل العلم انه من السنة، لكن يقال لا يلزم، لا سيما لمن لم يجد الرطب او التمر ، يفطر على ما يتيسر له.

Tidak dikatakan (bahwa berbuka dengan ruthab atau kurma bukan dari sunnah), sebab kebanyakan dari para ahli ilmu mengatakan itu sunnah, hanya saja dikatakan tidak diharuskan, terkhusus lagi bagi orang yang tidak mendapatkan ruthab atau kurma, maka ia berbuka dengan apa yang mudah.

📚 Selesai penukilan.

والله اعلم بالصواب .

Abu Hanan As-Suhaily

2 Sya'ban 1444 -22/2/2023


⏳HUKUM ADZAN DI TELINGA BAYI YANG BARU LAHIR?

نصـيـحـة للـنــساء:


Sebagian ahli ilmi berpendapat disunnahkan adzan di telinga kanan, sedangkan iqamah di telinga kiri pada bayi yang baru lahir.

Pada permasalahan ini ada 3 hadits yang dijadikan sandaran :

▪️ hadits pertama:

Hadits Abi Raafi’ radhiyallahu ‘anhu, ia berkata;

رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ” أَذَّنَ فِي أُذُنَيِ الْحَسَنِ حِينَ وَلَدَتْهُ فَاطِمَةُ بِالصَّلَاةِ “

“Aku melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mengumandangkan adzan pada kedua telinga Hasan bin ‘Ali ketika Fatimah melahirkannya.” (HR Iman Ahmad, Abu Dawud dan At-Tirmidzi)

Pada sanadnya ada kelemahan yaitu hadits ini diriwayatkan melalui jalur  ‘Aashim bin ‘Ubaidillah, dia seorang perawi yang sangat dha’if (lemah).

🖋️ Berkata Ibnu Hajar rahimahullah :

ضعيف 

Lemah ( Taqribu Tahdzib 1/472)

🖋️Berkata Ibnu Khuzaimah :

لست أحتج به لسوء حفظه

Aku tak berhujjah dengannya karena ia buruk hapalannya. ( Tahdzibu Tahdzib 2/254)

🖋️Berkata Ibnu Hibban :

كان سيء الحفظ كثير الوهم فاحش الخطأ فترك من أجل كثرة خطئه

Dia buruk hapalannya, banyak wahmnya (kekeliruannya), fatal kesalahannya, maka tinggalkan ia karena sering banyak kesalahannya. (Ikmal Tahdzibul Kamal 7/108).

🖋️Berkata Abu Hatim Ar_Razi

منكر الحديث مضطرب الحديث ليس له حديث يعتمد عليه.

Haditsnya mungkar dan goncang dan tidak ada padanya hadits yang dijadikan sandaran. ( Al_Jarh Wa ta'dil Li Abi Hatim 6/347).

▪️ hadits kedua :

Dari Al-Husain bin Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ وُلِدَ لَهُ مَوْلُودٌ، فَأَذَّنَ فِي أُذُنِهِ الْيُمْنَى، وَأَقَامَ فِي أُذُنِهِ الْيُسْرَى، لَمْ يَضُرَّهُ أُمُّ الصِّبْيَانِ

“Barangsiapa dilahirkan seorang anak, kemudian dia kumandangkan adzan di telinga kanannya (bayi) dan iqamah di telinga kirinya, maka Ummu Shibyan (jin yang suka mengganggu anak kecil) tidak akan dapat membahayakannya.” (diriwayatkan Ibnu Sunny dalam kitabnya Amalul Yaum Wal lailah no 8619, Abu Ya,'la Al_Mushily dalam Musnadnya 6/180, Ibnu 'Adi dalam Al_Kamil 7/198)

Sanad hadits ini maudhu,  didalamnya ada perawi yang bernama :

Yahya Bin Alaa Al_Bajily Ar_Raaziy

🖋️ Berkata Imam Ahmad tentang rawi tersebut  :

كذاب، يضع الحديث

Pendusta, pemalsu hadist (Mizanul I'tidal 4/397.

Dan juga ada rawi bernama Marwan bin Saalim al-Ghifaari .

🖋️Berkata Daraquthni dan selainnya;
متروك

Ditinggalkan haditsnya.

Berkata Al_Hafifz

 متروك، ورماه الساجي وغيره بالوضع

Ditinggalkan haditsnya, dan As_Saji dan selainnya menuduh dia memalsukan hadits.

📚 Tahdzib Kamal 27/393, Mizanul I'tidal 4/90-91

▪️hadits ketiga :

Dari Ibnu Abbas Radhiallahu anhuma :

أن النبي -صلى الله عليه وآله وسلم- أذن في أذن الحسن بن علي يوم ولد؛ فأذن في أذنه اليمنى وأقام في أذنه اليسرى.

Bahwa Nabi shalallahu alaihi wasallam mengadzankan pada telinga kanan Hasan Bin 'ali pada hari kelahirannya dan Iqamah pada telinga kirinya (Diriwayatkan oleh Al_Baihaqi dalam Syuabul Iman)

Dan sanadnya maudhu, ada seorang rawi bernama Hasan Bin 'Amr dan ia didustakan.

🖋️ Berkata Syaikhuna Abu Hatim Yusuf Al_Jaizairy hafidzahullah (setelah menyebutkan 3 hadits di atas) :

فالخلاصة أنه لايثبت في ذلك شيء، وعليه؛ فلا يُشرع التأذين ولا الإقامة في أذن المولود عند ولادته

Maka kesimpulannya, bahwa tidak shahih pada perkara ini sedikit pun, sehingga tidak disyariatkan adzan dan Iqamah pada telinga bayi saat kelahirannya.
(https://t.me/youssefalgazairi/1163)

🖋️ Berkata Syaikhuna Al_Faqih Hasan Basy_Syuaib Hafidzahullah :

ما حال حديث الأذان في أذن المولود وهل هي سنه أم بدعه ؟

Bagaimana keadaan hadits adzan pada telinga bayi baru lahir? , apakah amalan tersebut hukumnya sunnah atau bid'ah ?

الإجابة :  حديث الأذان في أذن المولود ضعيف وعليه فيكون هذا العمل بدعة

وللتنبيه فإن الشيخ الألباني رحمه الله تراجع عن تصحيحه للحديث
وعليه فمن وقع نظره على الحديث في صحيح سنن الترمذي فلا ينسب للألباني صحة الحديث فإنه تراجع عنه في الضعيفة والله الموفق

Beliau menjawab :

Hadits adzan pada telinga bayi yang baru lahir adalah lemah, dan atas dasar ini, maka amalan tersebut adalah bid'ah..

Dan diingatkan, bahwa Syaikh Al_Albany rahimahullah beliau taroju' akan pentashihan hadits tersebut.

Atas dasar inilah, maka siapa yang telah melihat akan hadist tersebut dalam shahih sunan At_Tirmidzi, maka tidak boleh disandarkan lagi akan keshahihan hadits tersebut pada Syaikh Al_Albany, dan beliau telah taroju' dari hadist tersebut dalam Adh_dhaifah.(bisa dilihat Al_Silsislah Adh_dhaifah 321, tambahan pent')

📚 Lihat fatwa beliau dalam telegram.

والله اعلم بالصواب .

Abu Hanan As-Suhaily

29 Rajab 1444 -20/2/2023

⏳ APAKAH DI SYARATKAN BAGI ORANG YANG INGIN MENGHAJIKAN ORANG LAIN, IA TELAH HAJI TERLEBIH DAHULU ATAS DIRINYA SENDIRI?

نصـيـحـة للـنــساء:

Telah datang hadits dalam masalah ini :
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas Radhiallahu Anhuma :
ان النبي صلى الله عليه و سلم سمع رجلا يقول : لبيك عن شبرمة ، قال : من شبرمة ؟ قال : أخ لى أو قريب لى ، قال : حججت عن نفسك ؟ قال : لا ، قال : حج عن نفسك ، ثم حج عن شبرمة    
                                             
bahwa Nabi   shallallahu 'alaihi wasallam  mendengar seorang laki-laki mengatakan : " aku sambut seruan-Mu -untuk haji- atas nama Syubrumah, Rasulullah – shallallahu 'alaihi wasallam   bertanya : siapakah Syubrumah ? laki-laki tersebut menjawab : saudaraku atau kerabatku, Rasulullah  shallallahu 'alaihi wasallam bertanya : sudahkah engkau pernah berhaji untuk dirimu sendiri ?, laki-laki itupun menjawab : belum, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam  bersabda : " Hajilah atas dirimu sendiri terlebih dahulu, kemudian setelah itu hajikanlah Syubrumah

(HR Abu Dawud 1811, Ibnu Majah 2903, Ibnu Hibban 862, dan berkata Imam Al_Baihaqi bahwa sanadnya shahih sebagaimana dalam As_sunan al_Kubro 4/336, Ibnul Qoththan menguatkan hukumnya rafa' dan dishahihkan Ibnu Hajar secara marfu' dalam At_Talkhis Al_habir 2/223_224 dan Ibnul mulaqqin mengatakan : sanadnya shahih atas syarat imam Muslim dalam Al_Badr Al_Munir 1/345 dan juga dishahihkan oleh Imam Asy_Syaukany lihat dalam at_taudhihul Ahkam 4/36 dan juga dishahihkan oleh Al_Albany rahimahullah dalam Irwaul Ghalil 4/171 no 994) .

🖋️ Berkata Imam Ash_shan'any rahimahullah :

قال ابن تيمية: إن أحمد حكم في رواية ابنه صالح عنه أنه مرفوع، فيكون قد اطلع على ثقة من رفعه، قال: وقد رفعه جماعة على أنه وإن كان موقوفًا فليس لابن عباس فيه مخالف. اهـ.

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dan Imam Ahmad menghukumi pada riwayat anaknya Shalih darinya bahwa hadits tersebut marfu', ini menunjukkan bahwa beliau telah menelaah atas ketsiqahan yang merafa'kannya. Ia berkata sekelompok jama'ah telah merafa'kannya, dan hadits tersebut walaupun mauquf, akan tetapi tidak ada seorang pun yang menyelisihi Ibnu Abbas.

📚 Lihat Subulus_salam.
 
Ada beberapa pendapat ulama dalam masalah ini ;

▪️ Pertama :

Tidak disyaratkan akan hal itu dan boleh bagi siapa yang belum haji atas dirinya, ia menghajikan orang lain, dan ini adalah pendapat Al-Hasan, An-Nakhaiy, imam Malik, abu Hanifah

▪️kedua :

Boleh menghajikan orang lain, dengan syarat yang menghajikan adalah orang yang miskin, tidak mampu atasnya haji.

Dan ini pendapat imam At_Tsauri .

Dan ini yang juga dikuatkan oleh Syaikh Al_Allamah Al_Utsaimin rahimahullah :

فإن كان لا يلزمه الحج ، كرجل فقير ، أعطاه شخصًا مالا يحج به عنه فهل يجوز أن يحج؟
الجواب: نعم، نعم يجوز لأن هذا الرجل لا يجب عليه الحج، فالله عز وجل يقول: (( ولله على الناس حج البيت من استطاع إليه سبيلا )) ، وهذا الرجل الآن لا يستطيع إليه السبيل لأنه ليس عنده مال ، فيجوز أن يحج عن غيره

Maka jika ia tidak diharuskan haji seperti orang yang miskin, di mana ada seseorang yang memberikan harta padanya untuk menghajikan selainnya, apakah boleh ia menghajikan?

Beliau menjawab, ia boleh, sebab lelaki tersebut tidak mampu atasnya haji, dan Allah telah berfirman: ( mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.) Dan lelaki tersebut sekarang tidak mampu menunaikan ibadah haji karena tidak punya harta, maka ia boleh menghajikan atas selainnya.

📚 Syarh Bulughul maram 3/315_316

▪️ketiga :

Disyaratkan akan hal itu jika ia melakukan menghajikan atas orang lain, ia telah haji sebelumnya dan jika tidak seperti itu, maka ibadah haji tersebut berubah dan beralih untuk dirinya sendiri, sama saja ia orang yang mampu atau tidak untuk haji dan ini adalah madzhab Imam Ahmad dan Al-Auzai, Asy_Syafi'.

🖋️Dan imam Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan:

ومن حج عن غيره ولم يكن حج عن نفسه رد ما أخذ وكانت الحجة عن نفسه لما روى ابن عباس رضى الله عنهما.

Dan siapa yang menghajikan atas selainnya dan ia belum pernah sebelumnya untuk dirinya, maka ia kembalikan apa yang ia telah ambil dan hajinya untuk dirinya sendiri, berdalilkan apa yang telah diriwayatkan Ibnu Abbas.

🖋️Berkata Imam Abu Thayyib rahimahullah:

وَظَاهِر الْحَدِيث أَنَّهُ لَا يَجُوز لِمَنْ لَمْ يَحُجّ عَنْ نَفْسه أَنْ يَحُجّ عَنْ غَيْره وَسَوَاء كَانَ مُسْتَطِيعًا أَوْ غَيْر مُسْتَطِيع لِأَنَّ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَآله وَسَلَّمَ لَمْ يَسْتَفْصِل هَذَا الرَّجُل الَّذِي سَمِعَهُ يُلَبِّي عَنْ شُبْرُمَةَ ، وَهُوَ يَنْزِل مَنْزِلَة الْعُمُوم ،

Menurut zhahir hadits ini, bahwa tidak dibolehkan orang yang belum menunaikan haji untuk dirinya sendiri, ia menghajikan untuk orang lain. Sama saja, apakah ia mampu atau tidak mampu, sebab Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak merinci keadaan laki-laki (itu tidak mampu atau mampu haji) yang telah beliau mendengarkan ia berkata ' aku sambut seruan Mu untuk haji atas nama syubrumah, sehingga hal itu menunjukkan keadaan yang umum,

📚Aunul Ma’bud, 5/174

Dan ini yang dikuatkan oleh Syaikh Shalih Al_Fauzan hafidzahullah :

فدل على ان من شرط صحة النيابة عن الغير ان يكون النائب قد حج عن نفسه اولا وان من حج عن غيره قبل ان يحج عن نفسه لا تصح نيابته

Maka hadits tersebut menunjukkan akan syarat sahnya menggantikan haji atas selainnya, dimana yang menggantikan awal kalinya ia telah haji atas dirinya, dan siapa yang menggantikan haji atas selainnya sebelum ia haji, maka tidak sah haji untuk orang yang diwakilkan.

📚Lihat Tashil Al_mam 3/304

▪️ Ke empat.

Dipersyaratkan akan hal itu, jika ia melakukannya maka hajinya batal.

⭕Sebagai kesimpulan:

Pendapat yang kuat adalah pendapat yang ke tiga .

Dan ini juga disebutkan dalam Fatwa Al-Lajnah AD-Daimah

لا يجوز للإنسان أن يحج عن غيره قبل حجه عن نفسه

“Tidak bolehseseorang menghajikan orang lain sebelum ia sendiri melakukan haji untuk dirinya.”

📚Fatwa Al-Lajnah 11/50

Dan permasalahan ini  juga kami tanyakan pada ulama Yaman.

[18/2 19:37] ابو حنان عثمان السندكاني: السلام عليكم ورحمة الله وبركاتة

احسن الله اليك يا شيخنا
هل يشترط في الرجل يحج عن غيره ان يكون قد حج عن نفسه :
علما ان ذاك الرجل فقير لا يستطيع إليه السبيل لكن الشخص يعطيه مالا يحج عن ابيه المتوفى؟؟

جزاك الله خيرا

Assalamualaikum warahmatullahi wa barakatuh .

Ahsanallahu ilaika ya syaikhana .

Apakah disyaratkan bagi seorang lelaki untuk menghajikan atas selain, ia telah haji atas dirinya sendiri terlebih dahulu, dan perlu diketahui : bahwa lelaki tersebut orang yang miskin yang tidak mampu haji, akan tetapi ada orang yang memberikannya uang untuk menghajikan atas nama bapaknya yang telah meninggal?

🖋️ Jawaban Syaikhuna Hasan Bin Qasim hafidzahullah :

[18/2 19:40] الشيخ حسن بن قاسم الريمي: وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته

هذا هو القول الصحيح ، ان الذي يحج عن غيره لابد ان يحج عن نفسه

Wa Alaikum salam warahmatullahi wa barakatuh.

Inilah pendapat yang shahih, bahwa yang menghajikan atas selainnya, harus ia telah haji atas dirinya sendiri terlebih dahulu.

📚 Selesai penukilan.

Dan ini juga yang dikuatkan oleh Syaikhuna Hasan Basy_syuaib Hafidzahullah dalam fatwa beliau.

⭕ Kemudian hukum bagi siapa yang ingin menggantikan haji pada orang lain, ia harus telah haji atas dirinya sendiri, maka ini  juga berlaku bagi yang menggantikan ibadah umrah atas orang lain.

📒Soal yang kami tanyakan pada ulama Yaman.

[18/2 19:44] ابو حنان عثمان السندكاني:
هل هذا الحكم أيضا يشمل لمن اراد أن ينوب عن غيره فى العمرة؟

Assalamualaikum warahmatullahi wa barakaatih.
Apakah hukum ini juga mencakup bagi siapa saja yang ingin menggantikan dari selainnya dalam ibadah umrah?

🖋️ jawaban Syaikhuna Hasan Bin Qasim hafidzahullah :

[18/2 19:48] الشيخ حسن بن قاسم الريمي : نعم ، يكون قد اعتمر عن نفسه اولا ثم يعتمر عن غيره

Iya,  ia terlebih dahulu telah umrah atas dirinya sendiri,  kemudian ia mengumrahkan atas orang lain.

📚 Selesai penukilan.

✍🏻 Di susun oleh :

Abu Hanan As-Suhaily

28 Rajab 1444 -19

HENDAKNYA MENGEMBALIKAN PERMASALAHAN SEPUTAR TASHWIR/SHURAH KEPADA PEMAHAMAN PARA SHAHABAT


_*(Disertai sedikit kritikan kepada Ust. Abu Ubaid Al bughisy terkait permasalahan shurah)*_
 

_*Telah di periksa oleh Al Ustadz Abu Abdirrohman Shiddiq Al Bughisi حفظه الله تعالى*_ 


            بِسْمِ ٱللَّٰهِ ٱلرَّحْمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ

Alhamdulillah atas seizin-Nya kami telah berusaha semampu kami untuk menelaah beberapa risalah² yang mengetengahkan tentang perdebatan di antara para Ulama' seputar permasalah Tashwir/Shurah.

Maka kami pun mendapati setidaknya ada dua puluhan lebih hadits² yang di dalamnya menyinggung permasalahan seputar tashwir/shurah dengan berbagai macam redaksi (matan). Sehingga hal inipun tak pelak menyebabkan munculnya berbagai pendapat dan juga perdebatan diantara para Ulama' sejak di zaman mutaqaddimin hingga ulama' mutakhirin.

Maka kami pun berkesimpulan bahwa satu²nya jalan bagi kita (Ahlussunnah) di dalam menyikapi permasalahan seputar tashwir/shurah ini adalah dengan mengembalikan perkara tersebut sesuai dengan apa² yang di pahami oleh para shahabat Radhiyyallahu'anhum ajma'in sebagai generasi terbaik umat ini.

Karena jika tidak begitu, maka akan kita dapati ada begitu banyak pendapat² dan juga perdebatan² tanpa hujung dari setiap generasi ke generasi bahkan sampai hari ini terkait permasalahan shurah (gambar bernyawa) yang pada ahirnya hanya akan membuat kita bingung. 

Hal ini dikarenakan bahwasanya setiap pihak yang terlibat perdebatan terkait permasalah shurah ini pada umumnya masing² mereka juga memiliki argument sesuai dengan apa² yang mereka pahami berdasarkan dalil² yang ada. 

Oleh karenanya dengan mengembalikan perkara ini kepada pemahaman para shahabat tentunya hal itu akan menjadi lebih sederhana dan In Syaa Allah lebih selamat. Mengingat para shahabat merupakan satu² nya generasi yang pernah hidup bersama Rasulullah Sallalahu ‘Alaihi wa Sallam. 

Terlebih lagi perdebatan & perselisihan terkait tentang permasalahan shurah (gambar makhluk bernyawa) ini baru mulai marak terjadi di zaman para Tabi'in dan generasi setelahnya.


Maka dari itu, pada kesempatan ini kami akan coba mengetengahkan beberapa atsar para shahabat dan juga atsar yang menjelaskan tentang pendapat para shahabat tentang seputar permasalahan shurah (gambar bernyawa) agar sekiranya bisa menjadi pembelajaran bagi kita semua. 


*🔹 Pembahasan Pertama*

Shahabat berpendapat bahwa Tashwir/Shurah adalah meliputi sesuatu yang memiliki bayangan seperti patung bernyawa dan sejenisnya ataupun yang tidak memilki bayangan seperti gambar/lukisan bernyawa dan sejenisnya.

Imam Ibnu Baththal rahimahullah berkata: 

*”Bahwa Abu Hurairah Radhiyyallahu'anhu memahaminya (tashwir/shurah) meliputi yang mempunyai bayangan dan juga yang tidak, serta hal ini adalah pengingkaran terhadap gambar yang di dinding.”*
(Fathul Bari Syarh Shahih Bukhari 11/585)

Imam Nawawwi rahimahullah termasuk di antara Ulama' yang mengkritik keras siapa saja yang berpendapat bahwa larangan shurah itu hanya sebatas yang memiliki bayangan saja, dalam artian mereka kemudian memperbolehkan shurah yang tidak memiliki bayangan seperti gambar/lukisan bernyawa yang terdapat pada tirai, dinding dan sejenisnya. 

Bahkan didalam kitabnya Syarh Shahih Muslim beliau dengan tegas menyatakan bahwa pihak² yang berpendapat semacam itu telah mengikuti Mazhab Bathil dan itu mulai muncul sejak di era Tabi'in.

Wallahu ta'ala a'lam


🔹 *Pembahasan Kedua*

Para shahabat setidaknya telah memaparkan tiga solusi ataupun tata cara di dalam menyikapi shurah (gambar bernyawa), yang mana kesemuanya itu di sandaran pada cara praktek Rasulullah Sallalahu ‘Alaihi wa Sallam diantaranya :

*▪️Dengan cara dimusnahkan/di hancurkan*

عَنْ أَبِى الْهَيَّاجِ الأَسَدِىِّ قَالَ قَالَ لِى عَلِىُّ بْنُ أَبِى طَالِبٍ أَلاَّ أَبْعَثُكَ عَلَى مَا بَعَثَنِى عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ لاَ تَدَعَ تِمْثَالاً إِلاَّ طَمَسْتَهُ وَلاَ قَبْرًا مُشْرِفًا إِلاَّ سَوَّيْتَهُ

Dari Abul Hayyaj Al Asadi rahimahullah, ia berkata,

*‘Ali bin Abi Tholib radhiyyallahu'anhu berkata kepadaku, “Sungguh aku mengutusmu dengan sesuatu yang Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- pernah mengutusku dengan perintah tersebut. Yaitu jangan engkau biarkan patung/gambar melainkan engkau musnahkan/hancurkan dan jangan biarkan kubur tinggi dari tanah melainkan engkau ratakan.”*
(HR. Muslim).


Catatan :

Dalam riwayat lain kata *Timstal* di sebutkan dengan redaksi kata *Shuurah*. 

Adapun makna kata *Timtsal* yang terdapat pada atsar diatas bukan hanya sekedar di pahami sebagai patung yang terbuat dari batu, tanah, kaca dan selainya. Akan tetapi hal itu juga mencakup gambar² patung yang terdapat pada kain, dinding dan selainya. Penafsiran tersebut bisa dipahami sesuai dengan konteks hadits riwayat Ahmad, Abdurrazaq dan Al Baghawi.

:إِنَّ فِى اْلبَيْتِ سَتْرًا فِى اْلحَائِطِ فِيْهِ تَمَاثِيْلُ ....

*Sesungguhnya di dalam rumah ada kain di dinding yang di dalamnya ada patung² (tamatsil)....*

Maksudnya adalah kain di dinding yang terdapat padanya gambar patung² bernyawa.

Ini artinya kata Timtsal/tamatsil bisa meliputi patung dan juga gambar² patung bernyawa. Baik itu yang memiliki bayangan maupun yang tidak memilki bayangan dan kesemuanya diperintahkan oleh shahabat Ali untuk di hancurkan/di musnahkan. 

Dan sebagaimana yang telah kami jelaskan sebelumnya bahwa para salaf memahami Shurah ataupun timtsal adalah meliputi sesuatu yang memilki bayangan (patung bernyawa) dan juga yang tidak memiliki bayangan (gambar bernyawa). 

Maka maksud kata *Thoms* pada hadits diatas, baik itu dengan redaksi kata Timtsal maupun Shurah adalah lebih mengarah kepada perintah untuk *dihancurkan* atau *dimusnahkan*, dan bukan sebatas di maknai *dihapus*. 

Karena makna kata *Hancurkan* atau *Musnahkan* tersebut lebih luas cakupannya karena bisa diterapkan baik itu pada patung bernyawa maupun gambar/lukisan bernyawa. Adapun memaknai kata Thoms pada atsar tersebut sebatas dengan makna *Hapus*. Maka hal itu terlalu sempit karena sudah pasti tidak akan bisa di terapkan pada benda² seperti patung bernyawa yang terbuat dari batu, tanah, kaca, dll. 

Dan apa yang mau di hapus pada benda² semacam itu (patung) !!!!

Karena sekali lagi kami nyatakan bahwa kata Timtsal maupun Shurah yang terdapat pada hadits shahabat Ali radhiyyallahu'anhu tersebut adalah meliput seluruh yang memiliki bayangan (patung bernyawa) maupun yang tidak memilki bayangan (gambar/lukisan bernyawa).

Maka makna yang lebih tepat dari kata *Thoms* pada hadits diatas adalah perintah agar setiap Timtsal ataupun Shurah itu dihancurkan atau dimusnahkan.

Wallahu ta'ala a'lam


*▪️Dengan cara di potong kepalanya* 

Dari shahabat Abdullah ibnu Abbas radhiyyallahu'anhu,

الصُّورَةُ الرَّأْسُ، فَإِذَا قُطِعَ الرَّأْسُ فَلَيْسَ بِصُورَةٍ

*Inti dari shurah adalah kepalanya, jika kepalanya dipotong, maka ia bukan shurah”*

Atsar diatas memang di perdebatkan oleh kalangan para Ulama', sebagian pihak menyatakan Marfu' (disandarkan kepada Rasulullah), sebagian pihak menyatakan Mauquf (ucapan shahabat Ibnu Abbas) dan sebagian pihak menyatakan maqtu' (ucapan tabi'in ikrimah maula bin Abbas).

Adapun dalam hal ini kami condong bahwa hadits ini adalah mauquf (ucapan shahabat ibnu abbas radhiyallahu'anhu) yang kemudian belakangan juga di ucapkan oleh imam ikrimah rahimahullah. Namun kami juga tidak mengingkari pihak² yang berpendapat marfu' karena kemungkinan itu tetap ada.

Dan meskipun hadits tersebut berstatus mauquf akan tetapi atsar tersebut bisa di jadikan hujjah mengingat shahabat ibnu Abbas radhiyyallahu'anhu merupakan seorang 'alim dari kalangan Shahabat yang pernah di doakan oleh Rasululllah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,

اللّهُمَّ فَقِّهْهُ فِي الدِّينِ، وَعَلِّمْهُ التَّأْوِيلَ

*Ya Allah berikanlah pemahaman agama yang mendalam terhadap dia (ibnu abbas) dan ajarkanlah kepadanya takwil (tafsir al-Qur’an)*
(HR. Ahmad dengan sanad hasan)

Sehingga ucapan beliau tersebut bisa menjadi hujjah bagi kita dalam hal memahami dan menyikapi masalah shurah (gambar bernyawa) ini. 

Wallahu ta'ala a'lam

*▪️Dengan cara di hinakan (di jadikan hamparan yang di injak)*


Dari imam Ubaidullah bin Abdillah rahimahullah:

أَنَّهُ دَخَلَ عَلَى أَبِي طَلْحَةَ الْأَنْصَارِيِّ يَعُودُهُ قَالَ فَوَجَدْنَا عِنْدَهُ سَهْلَ بْنَ حُنَيْفٍ قَالَ فَدَعَا أَبُو طَلْحَةَ إِنْسَانًا فَنَزَعَ نَمَطًا تَحْتَهُ فَقَالَ لَهُ سَهْلُ بْنُ حُنَيْفٍ لِمَ تَنْتَزِعُهُ قَالَ لِأَنَّ فِيهِ تَصَاوِيرَ وَقَدْ قَالَ فِيهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا قَدْ عَلِمْتَ قَالَ سَهْلٌ أَوَلَمْ يَقُلْ إِلَّا مَا كَانَ رَقْمًا فِي ثَوْبٍ قَالَ بَلَى وَلَكِنَّهُ أَطْيَبُ لِنَفْسِي

*Bahwa beliau memasuki rumah Abu Thalhah al-Anshari Radhiyyallahu'anhu untuk menjenguk beliau. Kemudian Ubaidullah menemukan Sahl bin Hunaif radhiyyallahu'anhu di sisi Thalhah. Kemudian Abu Thalhah memanggil seseorang untuk agar mencabut alas tirai di bawah beliau. Maka Sahl bin Hunaif bertanya kepada beliau: “Mengapa kamu mencabutnya?” Abu Thalhah menjawab: “Karena didalamnya (alas tersebut) terdapat gambar bernyawa dan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah berkata sebagaimana yang telah kamu ketahui.” Sahl bertanya: “Bukankah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berkata: “Kecuali lukisan di pakaian?” Abu Thalhah menjawab: “Benar, tetapi ini lebih menyenangkan diriku.”* 
(HR. Ahmad, Malik, Nasa'i dan Tirmidzi rahimahumullah dan beliau berkata hadits hasan shahih. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Muqbil rahimahullah dalam Shahihul Musnad mimma Laisa fish Shahihain).

Atsar di atas sebagai bentuk penafsiran atas ucapan Rasulullah *"KECUALI LUKISAN DI PAKAIAN"* yang terdapat pada hadits riwayat imam bukhari, muslim dan selainya.
Maka pengecualian yang di pahami oleh para shahabat dalam hal ini adalah jenis kain bergambar yang sifatnya untuk di hinakan (di jadikan alas/hamparan yang di injak). Bukan jenis dari kain bergambar yang sifatnya dipakai di tubuh (baju) atau kain bergambar yang sifatnya di pajang di dinding, jendela, pintu dan semisalnya. 

Dan hal itu sejalan dengan hadits dari Shahabat Abu Hurairah radhiyallahu anhu, dimana beliau berkata:

اسْتَأْذَنَ جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلَامُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: «ادْخُلْ» فَقَالَ: كَيْفَ أَدْخُلُ وَفِي بَيْتِكَ سِتْرٌ فِيهِ تَصَاوِيرُ، فَإِمَّا أَنْ تُقْطَعَ رُءُوسُهَا، أَوْ تُجْعَلَ بِسَاطًا يُوطَأُ فَإِنَّا مَعْشَرَ الْمَلَائِكَةِ لَا نَدْخُلُ بَيْتًا فِيهِ تَصَاوِيرُ

*"Suatu ketika Jibril alaihissalam meminta ijin kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam, maka beliau berkata: “Silakan masuk.” Jibril berkata: “Bagaimana aku masuk sedangkan di rumahmu terdapat tirai yang terdapat gambar yang bernyawa? Maka potonglah kepala gambar tersebut atau jadikan (tirai bergambar tersebut) alas/hamparan yang di injak, karena kami (para malaikat) tidak akan memasuki rumah yang di dalamnya terdapat gambar yang bernyawa.”*
(HR. Nasa'i dan dishahihkan oleh Syeikh Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan an-Nasa'i)  

Dan selain itu, ada terdapat banyak persaksian atau pernyataan dari para kalangan imam tabi'in seperti :

imam Salim bin Abdullah bin Umar rahimahullah (anak dari shahabat ibnu umar)

Imam Ikrimah rahimahullah (maula Ibnu Abbas yang sekaligus juga murid beliau)

Imam said bin jubair rahimahullah (murid dari shahabat ibnu abbas) 

dan selainya.

Yang intinya para imam tabi'in tersebut menyatakan bahwasanya para shahabat Radhiyyallahu'anhum ajma'in membenci gambar bernyawa yang sifatnya terpajang (di tirai, dinding, dll) dan tidak mempermasalahkan gambar bernyawa yang di injak (dalam artian di hinakan). 

Dan riwayat² tersebut bisa di temukan pada kitab Mushannaf karya imam Abu bakr ibnu abi syaibah rahimahullah. Karena beliau merupakan ulama' yang paling hafal terkait hadits² maqthu' (hadits yang di sandaran pada para tabi'in).

Dan imam Nawawwi rahimahullah juga menukilkan pendapat jumhur shahabat & tabi'in akan bolehnya pemanfaatan kain yang terdapat padanya gambar bernyawa yang sifatnya untuk di hinakan (di jadikan hamparan yang di injak).

Yang kemudian pendapat tersebut juga di ambil dalam mazhab para ulama setelahnya seperti Tsaury, Malik, Abu hanifah, Syafi'i dan selainya. 

Silahkan merujuk pada kitab beliau Syarh Shahih Muslim 14/81, dan selain itu penukilan Imam Nawawi rahimahullah tersebut juga di ketengahkan oleh Syeikh Shalih Utsaimin rahimahullah dalam kitab beliau Majmu' Fatawa wa Rasail 2/254.


_*Tambahan Faedah dari Al Ustadz Abu Abdirrohman Shiddiq Al Bughisi حفظه الله تعالى :*_

Akan tetapi berkaitan ucapan Nabi shalallahu alaihi wa salam :

[إلا رقما في الثوب]

*"Kecuali Tulisan di pakaian"*

Al hafidz ibnu Hajar rahimahullah berkata dalam syarah hadits tersebut :

قال النووي: يجمع بين الأحاديث بأن المراد باستثناء الرقم في الثوب ما كانت الصورة فيه من غير ذوات الأرواح كصورة الشجر ونحوها. انتهى،

Imam An Nawawiy rahimahullah berkata:

 *"Dipadukan antara hadits-hadits bahwasanya pengecualian "tulisan/ukiran di pakaian" adalah yang gambar padanya bukan gambar bernyawa, seperti gambar pohon dan semisalnya*.

Syaikh Muqbil rahimahullah berkata setelah mendatangkan hadits:

وقال الإمام أحمد رحمه الله (٨٠٦٥): حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ ، أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ ، عَنْ مُجَاهِدٍ ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، أَنَّ جِبْرِيلَ عَلَيْهِ السَّلَامُ، جَاءَ فَسَلَّمَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَعَرَفَ صَوْتَهُ، فَقَالَ : " ادْخُلْ ". فَقَالَ : إِنَّ فِي الْبَيْتِ سِتْرًا فِي الْحَائِطِ فِيهِ تَمَاثِيلُ، فَاقْطَعُوا رُءُوسَهَا وَاجْعَلُوهُ بِسَاطًا، أَوْ وَسَائِدَ، فَأَوْطِئُوهُ ؛ فَإِنَّا لَا نَدْخُلُ بَيْتًا فِيهِ تَمَاثِيلُ.

*"Dan berkata Imam Ahmad rahimahullah (8065): Telah menceritakan kepada 'Abdurrozzaq, telah mengabarkan kepada kami Ma'mar, dari Abi Ishaq, dari Mujahid, dari Abu Hurairah, bahwasanya Jibril 'alaihis salam datang memberi salam kepada Nabi shalallahu alaihi wa salam, beliaupun mengenal suaranya, Maka Nabi shalallahu alaihi wa salam berkata: "Masuklah". Maka Jibril berkata: "Sesungguhnya dirumah adalah tabir di dinding padanya gambar, maka potonglah kepala-kepalanya dan jadikanlah hamparan, atau bantal-bantal, maka injaklah, karena sesungguhnya kami (para Malaikat) tidak akan masuk rumah padanya gambar-gambar.* 

Pada ucapannya: "Maka potonglah kepala-kepalanya"

Syaikh Muqbil rahimahullah mengatakan:

أي: حتى تصير كالشجرة كما في الأحاديث الأخرى، وفيه دليل على أن الصور الممتهنة لا بد أن تكون قد قطعت رؤوسها حتى تكون كالشجرة، فخرجت عن منظر الصورة ، ودليل آخر أن النبي ﷺ أبي أن يدخل حجرة عائشة لما رأى فيها نمرقتين، أي:
وسادتين، فيها تصاویر حتى هتكتا.

_*Yaitu: hingga menjadi seperti pohon sebagaimana pada hadits-hadits lain, dan padanya dalil bahwasanya gambar-gambar yang dihinakan mesti telah terpotong kepalanya hingga menjadi seperti pohon, hingga keluar dari penampilan gambar (yang terlarang -pent). Dan dalil yang lain, bahwasanya Nabi shalallahu alaihi wa salam enggan masuk ke kamar 'Aisyah manakala melihat padanya dua numruqoh yaitu dua bantal, padanya gambar bernyawa hingga keduanya di sobek.*_

("Hukmu Tashwir" karya Syaikh Muqbil rahimahullah, hal. 47).

_*Selesai tambahan faedah dari Al Ustadz Abu Abdirrohman Shiddiq Al Bughisi حفظه الله تعالى*_ 


Maka sebagai bentuk sikap kehati²an serta menghindari munculnya fitnah maka sebaiknya kita (ahlussunnah) menyingkirkan atau berlepas diri dari setiap jenis shurah (gambar bernyawa) meskipun itu gambar bernyawa yang sifatnya untuk di hinakan (dijadikan alas/hamparan yang di injak). 

_*Dan ini merupakan sikap yang di pilih oleh sebagian shahabat seperti Abu hurairah radhiyallahu'anhu dan selainnya. Dan kami pribadi lebih condong dengan apa yang shahabat Abu hurairah pilih dalam menyikapi permasalahan shurah ini dalam rangka sikap kehati²an.

Wallahu ta'ala a'lam



*🔹PEMBAHASAN KETIGA* 

Perlu untuk di ketahui bersama bahwa tidak semua perbedaan pendapat para Ulama' terkait masalah shurah (gambar bernyawa) itu teranggap (mu'tabar ) disisi ahlussunnah, maka hendaknya kita berhati² dalam masalah ini.

Dan diantara pendapat yang tidak teranggap (mu'tabar) disisi Ahlussunnah adalah seperti pendapat yang menyatakan bahwa shurah itu hanya sebatas yang memiliki bayangan saja, seperti patung dan sejenisnya. Adapun yang tidak memiliki bayangan (gambar/lukisan bernyawa) tidak termasuk didalam larangan tersebut.

Maka pendapat inilah yang oleh imam Nawawwi rahimahullah di anggap sebagai mazhab bathil.

Adapun tanggapan kami terkait kasus perseteruan antara Ust. Shiddiq dan Ust. Abu ubaid terkait permasalahan shurah (gambar bernyawa) yang terjadi belakangan ini.

Dan apabila Ust. Abu Ubaid dalam hal ini benar berpendapat atau mengambil pendapat yang menyatakan bahwa menghapus wajah (tanpa perlu menghilangkan/menghancurkan kepalanya) setelah kepala itu terpotong sudah cukup untuk menggugurkan hukum shurah (gambar bernyawa) yang sifatnya terpajang baik pada tirai, dinding, pintu, dll. Ataupun yang terpampang pada layar komputer atau HP, sosial media, buku, brosur, katalog, dan lainya . 

Jika hal itu yang beliau maksudkan dengan hanya cukup menghapus wajah dan tanpa perlu menghilangkan/menghancurkan kepalanya setelah terpotong , maka jelas dalam hal ini Ust. Abu Ubaid berpendapat atau mengambil pendapat yang keliru, atau minimalnya pendapat tesebut sangat lemah sekali sehingga tidak pantas untuk di ambil atau di pertahankan apalagi sampai dibela² oleh orang yang mengaku dirinya tulus mengikuti para salaf (salafy). 

Terlebih lagi pendapat tersebut (menghapus wajah) memang tidak di bangun diatas dasar pemahaman para Shahabat. Dan bagaimana mungkin Ust. Abu ubaid ini rela berbalik arah dengan meninggalkan ucapan Shahabat ibnu abbas radhiyyallahu'anhu terkait masalah Shurah (gambar bernyawa) dan lebih memilih pendapat yang tidak memilki salaf dalam permasalahan ini. Allahul musta'an 

Sehingga nampaklah bagi kami bahwasanya dalam perseteruan ini Ust. Abu ubaid berada di pihak yang salah/keliru. Dan semoga beliau mau rujuk dari kekeliruannya tersebut.

Dan apabila ternyata Ust. Abu ubaid tetap saja pada pendiriannya tersebut dalam keadaan telah di tegakan padanya hujjah maka beliau berhak untuk disebut sebagai Ahlul ahwa (pengekor hawa nafsu) atau bermaksiat dengan sebab telah menyelisihi pemahaman para shahabat didalam memahami dan menyikapi masalah shurah (gambar bernyawa) ini.

Wallahu ta'ala a'lam


Berikut ini Bantahan dari Syaikh Al Albani Rahimahullah atas pendapat Ust Abu Ubaid yang mana beliau sendiri yang menterjemahkannya tetapi Sekarang telah terfitnah lebih memilih pendapat yang tidak benar :


⚠️ _*Penting ...!!*_

_Gambar yang terlarang itu adalah kepala secara utuh bukan wajah saja..._

_*Sebagian orang menganggap bahwa gambar bernyawa apabila telah menghapus wajahnya atau mata nya maka bukan lagi gambar yang terlarang, dan ini salah...*_ 

💍 _*Syaikh Al AlBani rahimahullah ditanya:*_

Pertanyaan:

شيخنا فيه حديث ( الصورة الرأس فإذا قطع الرأس فلا صورة ) 

هذا يدخل في طمس الوجه إذا توفر هناك صورة أو تمثال لو افترضنا في البيت هل يجوز طمس الوجه وهذا يكفي؟

Syaikh kami, ada hadits "Gambar itu adalah kepala, apabila dipotong maka bukan gambar"

Apakah masuk dalamnya menghapus wajah, apabila disana ada gambar atau patung seandainya ada dirumah, apakah boleh menghapus wajah dan itu cukup?! 

•Syaikh :

 مش الوجه الرأس, لأن قولك الوجه بقاء الرأس وطمس الوجه والحديث يقول ( الصورة الرأس ) أي إذا قطع الرأس وبقي بقية الجسم صار كهيئة الشجرة كما جاء في الحديث الصحيح فلا بد من الاستغناء عن رأس الصورة كُلا.

_*bukan wajah, kepala.*_

Kamu katakan wajah, tersisa kepala dan terhapus wajah. 

Dan hadits mengatakan "gambar itu kepala...."

Yaitu apabila kepala diputus dan tersisa badannya maka bagaikan pohon, sebagaimana datang dalam hadits yang shahih. 

_*maka mesti kepala gambar seluruhnya.*_

📼 سلسلة الهدى والنور - شريط : 902


Setiap kebenaran adalah datangnya dari Allah 'azza wajalla dan setiap kekeliruan adalah datangnya dari kebodohan kami pribadi serta dari godaan syaithan yang terkutuk.



✍🏻 *Ibnu Abdirrahman Hanif Indrapury*

⏳JIKA SESEORANG MASUK MASJID SEMENTARA MUADZDZIN MENGUMANDANGKAN ADZAN JUM'AT, APA YANG HARUS DILAKUKAN ?


Soal :

Apakah lebih Afdhal shalat tahiyatul masjid, ketika muadzdzin adzan shalat Jum'at ataukah menunggu hingga selesai adzan dulu ?
____

Ada 2 pendapat ulama dalam hal ini.

▪️ pendapat pertama:

ia segera shalat tahiyatul masjid.

Dengan maksud agar ia konsentrasi mendengarkan khutbah Jum'at, karena mendengarkan khutbah Jum'at hukumnya wajib, sementara menjawab panggilan muadzdzin hukumnya sunnah.

🖋️Berkata Syaikh Al_'Utsaimiin rahimahullah :

إذا دخلت والمؤذن يؤذن لصلاة الجمعة ، بادر بتحية المسجد ، ولا تنتظر انتهاء المؤذن ؛ لأن تفرغك لسماع الخطبة أولى من متابعتك للمؤذن ؛ حيث إن استماع الخطبة واجب، وإجابة المؤذن غير واجبة. واما إذا كان الأذان لغبر صلاة الجمعة، فالأفضل ان تبقي قائما حتى تجيب المؤذن وتدعو بالدعاء المعروف بعد الأذان...ثم بعد ذلك تأتي بتحية المسجد

Jika kami masuk (masjid) dalam keadaan muadzdzin sedang adzan untuk jum'at, bersegeralah untuk sholat tahiyyatul masjid dan jangan menunggu selesainya muadzdzin, karena konsentrasi untuk mendengar khutbah lebih utama dari pada mengikuti muadzdzin, dari sisi mendengarkan khutbah wajib sedangkan menjawab panggilan muadzdzin tidak wajib.

Adapun jika selain dari adzan untuk shalat jum'at, maka yang afdhalnya ia tetap berdiri menjawab panggilan muadzdzin dan berdoa dengan doa yang m'aruf setelah adzan, kemudian setelah itu ia melakukan tahitayatul masjid.

📚Al-Fataawaa 14/295

▪️ pendapat kedua :

Ia menunggu hingga selesai adzan

🖋️ Berkata Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baaz rahimahullah :

هذا هو الأفضل، أن يسمع الأذان، ويجيب المؤذن، ثم يصلي ركعتين، ولا يمنعه ذلك من سماع الخطبة؛ لأن صلاة الركعتين أمر خفيف، وقتها خفيف، في إمكانه أن يصليها، والخطيب لم ينته من مقدمة الخطبة.  ... كونه يجمع بين السنتين: سنة إجابة المؤذن، وسنة تحية المسجد، فهذا هو الأفضل،

Yang afdhalnya ia mendengarkan adzan dan menjawab panggilan muadzdzin, kemudian shalat 2 raka'at dan hal itu tidaklah menghalanginya dari mendengarkan khutbah, karena shalat 2 raka'at tahiyatul masjid, perkara yang ringan dan waktunya singkat yang memungkinkan ia shalat, sementara khatib belum selesai dari pembukaan khutbah.

Karena mengumpul dua sunnah: Sunnah menjawab muadzdzin dan sunnah tahiyatul masjid sunnah (beliau rahimahullah menganggap hukum tahiyatul masjid Sunnah, pent' ) maka ini yang afdhal.

📚 Fatawa Nur 'ala Darb..

▪️Sebagai kesimpulan :

Pendapat yang kuat adalah ia langsung mengerjakan shalat. Karena mendengarkan khutbah itu sendiri hukumnya wajib dan shalat tahiyatul masjid hukumnya wajib, sehingga lebih utama mengedepankan perkara yang wajib.

Dan ini yang dikuatkan oleh Syaikh Al_Allamah Al_Bany rahimahullah ;

 فما ينبغي أن ينتظر ليفرغ المؤذن من أذانه ثم يشرع في التحية ، لماذا ؟ لأن إجابة مؤذن هو أمر مستحب ، والتحية واجبة ، والإصغاء إلى الخطيب أيضًا واجب 

Maka tak sepantasnya untuk menunggu selesainya muadzdzin dari adzannya, kemudian ia memulai shalat tahiyatul masjid, kenapa?

Karena menjawab muadzdzin adalah perkara sunnah dan shalat tahiyatul Masjid hukumnya wajib' dan mendengarkan dengan saksama khutbah hukumnya juga wajib.

📚 Silsilah Al_Huda wa Nur 15/490

Dan pendapat ini yang juga dikuatkan syaikhuna Hasan Basy_Syuaib hafidzahullah :

الأفضل أن تعجل بصلاة ركعتي تحية المسجد حتى تدرك سماع الخطبة

Yang Afdhal adalah ia bersegera shalat tahiyatul masjid 2 raka'at supaya dapat mendengarkan khutbah.

📚 Fatawa beliau dalam telegram.

✍ Abu Hanan As-Suhaily

27 Rajab 1444 -18/2/2023


PARA ULAMA TELAH MENYEBUTKAN SYARAT-SYARAT SESEORANG WAJIB MENUNAIKAN IBADAH HAJI DAN APABILA SYARAT TERSEBUT TIDAK TERPENUHI MAKA BELUM ADA KEWAJIBAN HAJI BAGI NYA

Afwan Ustadz ada titipan pertanyaan dr ikhwah dsni

Afwan akhi, mama ana mendaftar haji awalnya sama kakek ana.. Tp qadarAllah kakek ana sdh meninggal, jd kalo misal tahun depan ma2 ana kena giliran otomatis berangkat nya sendirian dan kalo disuruh mahramnya harus mendampingi ana atau keluarga yg lain blom ada biayanya dan blom ada mendaftar jua, apa hukumnya akhi? Ma2 ana tdk boleh berangkat kah berarti walaupun sdh dpt giliran misal?

*JAWABAN :*

بسم الله الرحمن الرحيم


الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وبعد:

Allah ﷻ berkata :

وَلِلَّهِ عَلَى ٱلنَّاسِ حِجُّ ٱلۡبَیۡتِ مَنِ ٱسۡتَطَاعَ إِلَیۡهِ سَبِیلࣰاۚ وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ ٱللَّهَ غَنِیٌّ عَنِ ٱلۡعَـٰلَمِینَ

Dan (di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, yaitu bagi orang-orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana.Barang siapa mengingkari (kewajiban) haji, maka ketahuilah bahwa Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari seluruh alam [Surat Ali 'Imran: 97]

Ayat ini adalah diantara dalil yang menunjukkan tentang wajibnya haji.

Para ulama telah menyebutkan syarat-syarat seseorang wajib menunaikan ibadah yang agung ini, dan apabila syarat tersebut tidak terpenuhi maka belum ada kewajiban haji bagi nya.

Syarat-syarat itu sebagai berikut:

1️⃣ Islam, Allah berkata :

وَمَا مَنَعَهُمۡ أَن تُقۡبَلَ مِنۡهُمۡ نَفَقَـٰتُهُمۡ إِلَّاۤ أَنَّهُمۡ كَفَرُوا۟ بِٱللَّهِ وَبِرَسُولِهِۦ

Dan yang menghalang-halangi infak mereka untuk diterima adalah karena mereka kafir (ingkar) kepada Allah dan Rasul-Nya [Surat At-Taubah: 54]

2️⃣ & 3️⃣ Baligh dan berakal, Nabi ﷺ berkata:

رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثَةٍ عَنْ الْمَجْنُونِ الْمَغْلُوبِ عَلَى عَقْلِهِ حَتَّى يَفِيقَ وَعَنْ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنْ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ

Pena pencatat amal itu diangkat dari tiga golongan; orang gila hingga ia waras, orang tidur hingga ia terbangun dan anak kecil hingga bermimpi basah(baligh). HR. Abu Dawud dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu.

• seorang yang belum baligh (Anak-anak) tidak wajib berhaji, akan tetapi apabila ia berhaji maka hajinya sah dan ia mendapat pahala,

~ Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma beliau berkata:

رَفَعَتْ امْرَأَةٌ صَبِيًّا لَهَا فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلِهَذَا حَجٌّ قَالَ نَعَمْ وَلَكِ أَجْرٌ

Ada seorang wanita yang  mengangkat anak kecilnya lalu bertanya,

"Wahai Rasulullah, apakah anak kecil ini juga bisa menunaikan haji.

" Beliau menjawab: "Ya, dan kamu juga mendapatkan pahala."

4️⃣. Merdeka, seorang budak tidaklah wajib berhaji sebab ia tersibukkan dengan kewajibannya terhadap tuan nya.

5️⃣. Mampu

Dan mampu yang dimaksud disini adalah kemampuan dari sisi fisik dan harta,

berdasarkan ayat pertama diatas.

▪️ Adapun mampu secara fisik yaitu sehat jasmani, dan mampu memikul beban safar ke Baitullah.

▪️Adapun kemampuan harta,  maka ia memiliki harta yang dengannya ia sampai Baitullah  pulang pergi, dan harta untuk memenuhi kebutuhan siapa yang wajib ia nafkahi selama perjalanannya. (Seperti Nafkah untuk anak isterinya yang ditinggalkan nya)

📝 *Orang yang mampu harta namun tidak mampu fisik.*

• apabila ia menderita penyakit yang diharapkan kesembuhannya, maka kewajiban haji berlaku saat dia sudah sembuh dari sakitnya itu.

•• namun apabila ia menderita penyakit permanen atau lanjut usia, sementara dia memiliki harta untuk berhaji, maka hendaklah ia mengeluarkan hartanya untuk seseorang melakukan haji untuknya walaupun dengan upah _sebaiknya diberi kepada seseorang yang telah berhaji_.

~ Berdasarkan hadits Ibnu Abbas radhiallahu anhuma, beliau menceritakan tentang seorang wanita yang bertanya kepada Rasulullah ﷺ dan berkata:

يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ فَرِيضَةَ اللَّهِ عَلَى عِبَادِهِ فِي الْحَجِّ أَدْرَكَتْ أَبِي شَيْخًا كَبِيرًا لَا يَثْبُتُ عَلَى الرَّاحِلَةِ أَفَأَحُجُّ عَنْهُ


Wahai Rasulullah, sesungguhnya kewajiban dari Allah untuk berhaji bagi hamba-hambaNya datang saat bapakku sudah tua renta dan dia tidak akan kuat menempuh perjalanannya. Apakah aku boleh menghajikan atas namanya?".

Beliau menjawab: "Ya". HR. Al Bukhari

▪️ Adapun seorang wanita, maka selain syarat mampu fisik dan harta, juga dipersyaratkan baginya disertai oleh mahram nya atau suami nya, apabila tidak ada maka belum ada kewajiban atasnya,

• berdasarkan hadits Abdullah bin Abbas radhiallahu anhuma beliau berkata, Rasulullah ﷺ berkata:

لَا يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ وَلَا تُسَافِرَنَّ امْرَأَةٌ إِلَّا وَمَعَهَا مَحْرَمٌ فَقَامَ رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ اكْتُتِبْتُ فِي غَزْوَةِ كَذَا وَكَذَا وَخَرَجَتْ امْرَأَتِي حَاجَّةً قَالَ اذْهَبْ فَحُجَّ مَعَ امْرَأَتِكَ

Janganlah sekali-kali seorang laki-laki berkholwat (berduaan) dengan seorang wanita dan janganlah sekali-kali seorang wanita bepergian kecuali bersama mahramnya".

Lalu ada seorang laki-laki yang bangkit seraya berkata:

"Wahai Rasulullah, aku telah mendaftarkan diriku untuk mengikuti suatu peperangan sedangkan isteriku pergi menunaikan haji".

Maka Beliau bersabda:

"Tunaikanlah haji bersama isterimu". HR. Al Bukhari dan Muslim.

🔸 Berdasarkan hal ini, maka ibu saudara belum boleh berangkat dan belum wajib berhaji sekalipun sudah dapat giliran, kecuali bersama dengan walinya/mahramnya.

⚠️ Sebagian wanita bergampang-gampangan dalam hal ini, dan ia safar tuk haji atau umrah tanpa disertai oleh mahramnya atau bersama yang bukan mahramnya atau bersama sekelompok wanita,  dan semua ini haram.

*Dan dikhawatirkan haji atau umrahnya tidak mabrur.*

*Sebab haji mabrur itu adalah haji yang tidak tercampur dengan dosa.*

*Sementara wanita itu berdosa dalam safarnya itu hingga dia pulang*. Allahul Musta'an

✏️ Tapi berdasarkan data dan informasi yang sampai ke saya _barakallah fiikum_ seseorang  yang telah mendaftar haji kemudian meninggal dunia atau sakit permanen maka bisa digantikan oleh ahli warisnya.

Maka coba di proses, jika benar seperti itu dan masih mendapatkan pelayanan, semoga saudara bisa berhaji bersama dengan ibu nya.

Barakallah fiikum



✍️ *Faedah dari Al Ustadz Abu Ubaiyd Fadhliy Al Bughisi حفظه الله تعالى di Majmu'ah روضة الطالبين منكوتانا*





╭─┅─═ঊঊঈ═─┅─╮ 
       SEBARKANLAH 
       ENGKAU AKAN 
       MENDAPATKAN 
           PAHALANYA 
╰─┅─═ঊঊঈ═─┅─╯ 

 🅹🅾🅸🅽 🅲🅷🅰🅽🅽🅴🅻 🆃🅴🅻🅴🅶🆁🅰🅼 
📡 https://t.me/fawaaidassunnah

Web : https://bit.ly/Fawaaidassunnah 


#faedah #haji #mahrom

Hukum Terlambatnya Makmum Dari Mengikuti Imam Dalam Sholat

Disusun Oleh Al Faqir Ilallohi ta’ala:
Abu Fairuz Abdurrohman bin Soekojo ‘afallohu ‘anhu di Yaman

بسم الله الرحمن الرحيم

Pengantar Penulis

:الحمد لله وأشهد أن لا إله إلا الله وأن محمدا عبده ورسوله صلى الله عليه وآله وسلم، أما بعد

Sesungguhnya ada pertanyaan yang isinya adalah:
Apa hukum terlambatnya makmum dari mengikuti imam dalam satu rukun atau lebih dalam sholat mereka?

Maka dengan memohon pertolongan pada Alloh saya menjawab:

Sesungguhnya para ulama memiliki beberapa pendapat dalam masalah ini. Dan saya akan menyebutkan yang nampak paling kuat. Barangsiapa memilih pendapat yang lain karena lebih kuat baginya, dipersilakan.

Sesungguhnya dalam masalah ini ada perincian. Jika si makmum tertinggal dari imamnya dalam satu rukun atau lebih di dalamnya sholatnya karena suatu udzur, maka hendaknya dia segera menyempurnakan rukun-rukun yang tertinggal tadi, sampai dia berhasil menyusul sang imam.

Manshur Al Bahutiy Al Hanbaliy rohimahulloh berkata: “Dan jika makmum tertinggal satu rukun dari imamnya tanpa udzur, maka hukumnya sebagaimana telah tersebut di muka dia tertinggal satu ruku’ tanpa udzur, batallah sholatnya. Tapi jika tidak demikian, yaitu dia tertinggal satu rukun karena udzur berupa mengantuk atau lupa atau berdesak-desakannya jamaah (sehingga dia susah untuk ruku’ dan sebagainya sehingga tertinggal), jika dia mengerjakan rukun yang tertinggal tadi dan dia menyusul sang imam, rekaatnya tadi sudah sah. Dan itu memang harus dia kerjakan, jika memungkinkan baginya untuk mengejar sang imam tanpa melakukan perkara yang terlarang (tanpa meninggalkan satu rukunpun).” 

(“Syarh Muntahal Irodat”/1/hal. 266).

Al Khothib Muhammad bin Ahmad Asy Syarbiniy Asy Syafi’iy rohimahulloh berkata: “Adapun jika dia tertinggal kurang dari satu rukun, seperti: sang imam ruku’ duluan sebelum makmum, lalu sang makmum menyusulnya sebelum imam mengangkat kepalanya dari ruku’, atau sang makmum tertinggal satu rukun karena suatu udzur, maka tidaklah sholatnya itu batal. Ini pasti.” 

(“Mughnil Muhtaj Ila Ma’rifati Ma’ani Alfazhil Minhaj”/1/hal. 506).

Tapi jika si makmum tertinggal dari sang imam karena udzur, dan dia mampu untuk menunaikan rukun-rukun yang luput, tapi dia tidak melakukannya dan bahkan dia bersegera untuk mengikuti sang imam dengan masuk ke rukun yang sang imam ada di dalamnya, maka sholatnya sah, tapi rekaat cacat dari sang makmum tadi batal karena dia belum menunaikan rukun-rukun yang tertinggal tadi. Maka dia harus bangkit untuk membayar rekaat yang tidak teranggap tadi.

Manshur Al Bahutiy Al Hanbaliy rohimahulloh berkata: “Dan jika tidak demikian, yaitu dia tidak menunaikan rukun yang tertinggal tadi tapi dia langsung menyusul sang imam, karena tidak memungkinkan baginya untuk itu, maka rekaatnya yang dia tertinggal dalam rukun itu tadi, tidak teranggap, maka dia harus membayar rekaat tersebut dengan mendatangkan gantinya (menambah satu rekaat).” 

(“Syarh Muntahal Irodat”/1/hal. 266).

Dan jika si makmum tertinggal dari imamnya dengan sengaja dalam satu rukun, lalu dia menyusul sang imam sebelum sang imam berpindah ke rukun yang berikutnya, sholat si makmum sah, tapi makruh atau dosa karena dia menyelisihi perintah Nabi shollallohu ‘alaihi waalihi wasallam untuk mengikuti imam tanpa penundaan.

Dari Anas bin Malik rodhiyallohu ‘anhu : dari Rosululloh shollallohu ‘alaihi waalihi wasallam yang bersabda:

«إنما جعل الإمام ليؤتم به، فإذا كبر فكبروا، وإذا ركع فاركعوا، وإذا سجد فاسجدوا، وإن صلى قائما فصلوا قياما». (أخرجه البخاري (378) ومسلم (411))

“Hanyalah imam itu dijadikan untuk diikuti. Maka jika dia bertakbir, maka bertakbirlah kalian, dan jika dia ruku’ maka ruku’lah kalian, dan jika dia sujud maka sujudlah kalian, dan jika dia sholat berdiri, maka sholatlah dengan berdiri.” 

(HR. Al Bukhoriy (378) dan Muslim (411)).

Dan huruf Fa (ف) menunjukkan menyusulnya amalan yang berikutnya dengan tanpa penundaan, sebagaimana ucapan Al Imam Ibnu Malik rohimahulloh: “Huruf Fa itu menunjukkan urutan perbuatan secara bersambung.”

Al Hasan bin Qosim Al Mishriy rohimahulloh berkata: “Yaitu: tanpa penundaan. Maka Fa itu untuk menunjukkan menyusulnya amalan yang berikutnya. Dan ini adalah pendapat mayoritas ulama.” 

(“Taudhihul Maqoshid Wal Masalik Bi Syarh Alfiyyah Ibni Malik”/2/hal. 998).

Al Imam Ibnu Baz rohimahulloh berkata: Maka yang wajib bagi makmum adalah mengikut imam secara beruntun. Jika suatu imam telah berhenti (berhenti takbir, misalkan), maka makmum bersegera mengikutinya, berdasarkan sabda Nabi shollallohu ‘alaihi waalihi wasallam:

«إنما جعل الإمام ليؤتم به، فلا تختلفوا عليه، فإذا كبر فكبروا، ولا تكبروا حتى يكبر، وإذا ركع فاركعوا، ولا تركعوا حتى يركع، وإذا قال: سمع الله لمن حمده. فقولوا: ربنا ولك الحمد. وإذا سجد فاسجدوا، ولا تسجدوا حتى يسجد»

“Hanyalah imam itu dijadikan untuk diikuti. Maka janganlah kalian berselisih terhadapnya. Maka jika dia bertakbir, maka bertakbirlah kalian, dan jika dia ruku’ maka ruku’lah kalian, dan janganlah kalian ruku’ sampai dia ruku’. Dan jika dia berkata: “Sami’allohu liman hamidah” maka ucapkanlah: “Robbana walakal hamd.” Dan jika dia sujud maka sujudlah kalian, dan janganlah kalian sujud sampai dia sujud.”

Maka sabda beliau: “Maka jika dia bertakbir, maka bertakbirlah kalian, dan jika dia ruku’ maka ruku’lah kalian” dan seterusnya, maknanya adalah mengikuti imam secara beruntun, karena huruf Fa pada ucapan beliau (فكبروا) “Maka bertakbirlah” menurut para ulama maknanya adalah mengikuti imam secara beruntun, tanpa ditunda-tunda. Akan tetapi janganlah dia ruku’ sampai suara takbir imam itu berhenti. Demikian pula dia jangan mengangkat kepala sampai suara tasmi’ imam itu berhenti. Demikian pula dia jangan sujud sampai imam berhenti bertakbir, setelah suara takbir imam itu berhenti. Lalu barulah dia mengikuti sang imam. Demikian caranya.”

-sampai pada ucapan beliau:-

“Yang penting adalah si makmum bersungguh-sungguh mengikuti imam tanpa menunda-nunda. Jika dia menunda sedikit, maka itu tidak membahayakannya selama dia masih mengikutinya, ruku’ bersamanya, sujud bersamanya, itu tidak membahayakannya. Demikian pula jika dia menunda sebentar ketika salam, hal itu tidak membahayakannya. Hanya saja yang disunnahkan adalah: dia bersegera, jika imam ruku’ maka makmum ruku’ dan jika imam takbir, makmum takbir. Secara bersambung, tanpa bersamaan dengan imam, dan tanpa mendahuluinya, tapi melakukan itu setelah amalan sang imam secara beruntun.”

(selesai dari “Fatawa Nur ‘Alad Darb”/Ibnu Baz/12/hal. 360-361).

Dan jika si makmum tertinggal dari imamnya secara sengaja sebanyak satu rukun atau lebih, sholatnya batal menurut pendapat yang benar, karena orang ini sengaja membikin cacat dalam jama’ah sholat. Manshur Al Bahutiy Al Hanbaliy rohimahulloh berkata: “Dan jika makmum tertinggal dari sang imam tanpa udzur sebanyak dua rukun, batallah sholatnya karena dia meninggalkan keharusan mengikuti imam tanpa udzur, mirip dengan memutuskan sholat. Jika dia tertinggal dua rukun karena suatu udzur seperti mengantuk atau lupa atau berdesak-desakannya jamaah (sehingga dia susah untuk ruku’ dan sebagainya sehingga tertinggal), sholatnya tidak batal kaena udzur tadi. Tapi dia harus mengerjakan rukun yang tertinggal tadi dan menyusul imamnya jika aman dari ketertinggalan dari rukun yang berikutnya lagi. Jika makmum yang udzur tadi tidak mengerjakan rukun yang tertinggal tersebut padahal dia aman dari ketertinggalan dari rekaat yang berikutnya lagi andaikata dia mengerjakan rukun yang tertinggal, maka batallah sholatnya. Jika tidak demikian, yaitu dia (langsung mengikuti imam karena) khawatir jika dia mengerjakan rukun yang tertinggal akibatnya dia akan ketinggalan rekaat yang berikutnya lagi, maka rekaat yang di situ dia tertinggal dari mengerjakan rukun-rukun tadi menjadi batal, dan rekaat yang berikutnya menjadi penggantinya, dia membangun sholatnya dengan urutan semacam tadi, lalu jika imam mengucapkan salam, sang makmum tadi bangkit untuk menyempurnakan rekaat yang kurang tadi.” 

(“Syarh Muntahal Irodat”/1/hal. 266).

Dan jika si makmum tertinggal dari imamnya secara sengaja sebanyak satu rukun atau lebih, sholatnya batal menurut pendapat yang benar, karena orang ini sengaja membikin cacat dalam jama’ah sholat.
Manshur Al Bahutiy Al Hanbaliy rohimahulloh berkata: “Dan jika makmum tertinggal dari sang imam tanpa udzur sebanyak dua rukun, batallah sholatnya karena dia meninggalkan keharusan mengikuti imam tanpa udzur, mirip dengan memutuskan sholat. Jika dia tertinggal dua rukun karena suatu udzur seperti mengantuk atau lupa atau berdesak-desakannya jamaah (sehingga dia susah untuk ruku’ dan sebagainya sehingga tertinggal), sholatnya tidak batal kaena udzur tadi. Tapi dia harus mengerjakan rukun yang tertinggal tadi dan menyusul imamnya jika aman dari ketertinggalan dari rukun yang berikutnya lagi. Jika makmum yang udzur tadi tidak mengerjakan rukun yang tertinggal tersebut padahal dia aman dari ketertinggalan dari rekaat yang berikutnya lagi andaikata dia mengerjakan rukun yang tertinggal, maka batallah sholatnya. Jika tidak demikian, yaitu dia (langsung mengikuti imam karena) khawatir jika dia mengerjakan rukun yang tertinggal akibatnya dia akan ketinggalan rekaat yang berikutnya lagi, maka rekaat yang di situ dia tertinggal dari mengerjakan rukun-rukun tadi menjadi batal, dan rekaat yang berikutnya menjadi penggantinya, dia membangun sholatnya dengan urutan semacam tadi, lalu jika imam mengucapkan salam, sang makmum tadi bangkit untuk menyempurnakan rekaat yang kurang tadi.” 

(“Syarh Muntahal Irodat”/1/hal. 266).

Al Khothib Muhammad bin Ahmad Asy Syarbiniy Asy Syafi’iy rohimahulloh berkata: “…Atau dia tertinggal dalam dua rukun yang sifatnya adalah amalan anggota badan, misalnya sang imam telah selesai dalam dua rukun, tapi si makmum ini masih belum masuk ke dalam dua rukun itu. Misalnya adalah: sang imam memulai masuk ke sujud, sementara si makmum masih berdiri membaca Al fatihah. Jika si makmum tidak punya udzur, misalkan: dia tertinggal membaca surat atau tasbih ruku’ dan sujud, batallah sholatnya karena banyaknya penyelisihan dia terhadap imam (tanpa udzur), sama saja apakah dua rukun tadi panjang ataukah pendek.” 

(“Mughnil Muhtaj Ila Ma’rifati Ma’ani Alfazhil Minhaj”/1/hal. 506).

Al Imam Ibnu Utsaimin rohimahulloh berkata: “Adapun ketertinggalan dari imam itu terbagi menjadi dua macam:

Yang pertama: Dia berhasil mendapati sang imam di dalam rukun yang dia tertinggal oleh sang imam. Maka sholatnya itu sah. Misalnya: dia tertinggal dari sang imam di dalam sujud, tapi dia bisa bersujud juga sebelum sang imam mengangkat kepalanya. Maka sholatnya sah. Tapi ketertinggalannya tadi menyelisihi sunnah, karena yang disunnahkan adalah: bersegera mengikuti imam.

Yang kedua: dia tidak bisa menyusul imam dalam rukun tadi, di mana sang imam meninggalkan rukun tadi sebelum sang makmum sampai ke rukun itu. Jika hal itu terjadi karena udzur, hendaknya sang makmum segera menjalankan rukun yang tertinggal tadi. Kecuali jika sampai sang imamnya mencapai tempat tertinggalnya si makmum, maka dia hendaknya dia tetap bersama sang imam (jangan membayar dulu ketertinggalannya), dan jadilah dia punya “rekaat tempelan” (dia baru punya satu rekaat, sementara imamnya punya dua rekaat).

Contohnya adalah: 

makmum tidak mendengar takbir imamnya untuk ruku’. Makanakala si imam berkata” “Sami’allohu liman hamidah” ketika itulah sang makmum mendengarnya dan mengejar sang imam. Tapi imamnya belum mencapai tempat tertinggalnya si makmum (belum masuk ke rekaat yang berikutnya lagi).

Contoh yang lain: 

makmum tidak mendengar takbir imamnya untuk ruku’ di rekaat pertama, sehingga si makmum masih terus berdiri hingga imamnya bangkit lagi ke rekaat kedua. Maka ketika itu dia bersama imamnya masih bersama imamnya, tapi rekaat kedua imamnya adalah rekaat pertama si makmum. Dan jadilah rekaat makmum gabungan dari dua rekaat imamnya: rekaat pertama dan kedua, karena imamnya telah mencapai tempat tertinggalnya si makmum.

Dan jika ketertinggalan dia dari imamnya itu bukan karena udzur, maka hal itu seperti kasus terdahulu dengan perincian yang telah lewat. Dan tidaklah tersamarkan bahwasanya yang benar adalah bahwasanya sholatnya itu batal jika dia tertinggal satu rukun atau lebih tanpa udzur. Sama saja apakah rukunnya tadi adalah ruku’ ataukah yang lainnya. Wallohu a’lam.

(selesai dari “Majmu’ fatawa Wa Rosail Al ‘Utsaimin”/15/hal. 114-115).

Dan bagaimana jika keterlambatan si makmum dari imamnya itu dikarenakan dia menyempurnakan Al Fatihah?

Al Imam Ibnu Baz rohimahulloh ditanya: sebagian orang memperpanjang bacaan Al Fatihah, akibatnya saat imam ruku’ si makmum masih terus berdiri membaca Al Fatihah. Dan ketika si imam bangkit dari ruku’, mulailah si makmum ruku’. Dan telah luput darinya ruku’ bersama imam. Apa hukum sholat mereka?

Maka beliau rohimahulloh menjawab: “Itu tidak boleh. Wajib bagi makmum jika imamnya ruku’ untuk dirinya ruku’ juga, berdasarkan sabda Nabi shollallohu’alaihi wasallam:

وإذا ركع فاركعوا، وإذا سجد فاسجدوا». (أخرجه البخاري (378) ومسلم (411)

“Hanyalah imam itu dijadikan untuk diikuti. Maka jika dia bertakbir, maka bertakbirlah kalian, dan jika dia ruku’ maka ruku’lah kalian, dan jika dia sujud maka sujudlah kalian.” (HR. Al Bukhoriy (378) dan Muslim (411)).

Maka jika imamnya ruku’, telah gugurlah dari sang makmum sisa kewajiban untuk membaca Al Fatihah, sebagaimana jika dirinya datang dalam keadaan sang imam ruku’ maka dia harus ruku’ bersama imam, dan gugurlah darinya kewajiban Al Fatihah. Ini berdasarkan hadits Abi Bakroh dalam Shohihul Bukhoriy rohimahulloh, bahwasanya Abu Bakroh rodhiyallohu ‘anh datang dalam keadaan imam ruku’ –Nabi ‘alaihish sholatu wassalam ruku’-, maka diapun ruku’ sebelum sampai ke shof, lalu dia masuk ke dalam shof. Manakala Nabi shollallohu’alaihi wasallam mengucapkan salam, beliau bersabda padanya:

«زادك الله حرصا، ولا تعد»

“Semoga Alloh menambahimu semangat. Dan janganlah engkau ulangi hal itu.”
Dan beliau tidak memerintahkan dia untuk membayar sholat. Maka yang demikian itu menunjukkan sahnya sholat dia, karena dia mendapatkan udzur, karena manakala telah luput darinya kesempatan berdiri, gugurlah darinya kewajiban Al Fatihah.
Dan demikianlah makmum jika sang imam telah ruku sebelum si makmum menyempurnakan Al Fatihah, hendaknya si makmum ruku’ bersama imamnya dan telah gugur darinya kewajiban sisa bacaan Al Fatihah. Dan dia harus memperhatikan yang demikian itu saat dia berdiri agar dia bisa membaca Al Fatihah (dengan sempurna) sebelum ruku’nya sang imam. Hendaknya dia memulai bacaan Al Fatihah di awal rekaat sehingga dia bisa membacanya sebelum imamnya ruku’, dan janganlah dia meremehkan masalah ini.”

(selesai dari “Fatawa Nur ‘Alad Darb Ibni Baz”/12/hal. 363-365).

Al Imam Ibnu Utsaimin rohimahulloh ditanya: apa hukum orang yang meninggalkan Al Fatihah di sebagian rekaat karena lupa? Dan Apa hukumnya jika dia mendapati imam sedang ruku’? dan jika orang yang sholat itu meninggalkan Fatihah dengan sengaja, apa hukumnya? Dan apa hukum orang yang sholat empat rekaat bersama jama’ah sejak awal sholat, manakala sang imam salam orang ini berdiri dan mengadakan rekaat kelima, manakala sang imam menanyakan hal itu kepadanya dia menjawab: “Karena saya di rekaat ketiga belum sempat membaca Al Fatihah, maka saya mendatangkan rekaat kelima sebagai ganti darinya”? Maka beliau menjawab: Jawaban untuk masalah yang pertama: jika si makmum meninggalkan Al Fatihah karena lupa di sebagian rekaat sholat, jika kita berkata bahwasanya bacaan tadi sunnah saja untuk makmum sebagaimana madzhab Hanabilah, maka dia tidak perlu mengulang rekaat yang di situ dia meninggalkan Al Fatihah. Tapi jika kita mengatakan bahwasanya bacaan Al Fatihah adalah rukun, dan itulah yang benar, dia wajib mengulang kembali rekaatnya sebagaimana jika dia sendirinya atau sebagai imam. Adapun jika dia mendapati sang imam sedang ruku’, maka kewajiban membaca Al Fatihah itu gugur darinya ketika itu, karena tempat bacaan Al Fatihah adalah saat berdiri, sementara kewajiban berdiri telah gugur darinya saat itu dalam rangkan menjalankan kewajiban untuk mengikuti imam. Maka gugur pula kewajiban bacaan Al Fatihah dengan luputnya tempat bacaan tadi.

(kita masuk ke jawaban Syaikh Ibnu Baz) Beliau rohimahulloh menjawab: jika si makmum mengantuk dan masih terus dalam posisi duduknya sampai sang imam ruku’, dia harus bangkit dan ruku’ bersama imam. Jika imam mendahuluinya, dia harus ruku’ sampai bisa menyusul sang imam, sujud bersamanya. Ruku’ lalu bangkit dari ruku, lalu menyusul sang imam. Sholatnya tetap sah jika kantuknya itu sedikit dan tidak menghilangkan fungsi indera perasanya. Dia masih punya sebagian kesadaran, masih agak terjaga, hanya saja dia tidak sadar untuk bertakbir. Dia tidak tenggelam dalam tidur. Adapun jika dia tenggelam dalam tidurnya, maka sholatnya batal. Yaitu: dia wajib mengulang sholatnya dari awalnya, karena tidur itu membatalkan wudhu jika sampai meneggelamkan kesadarannya. Adapun jika mengantuk saja, yaitu tidur ringan, tidak sampai menenggelamkannya, maka dia harus segera mengejar sang imam, dan telah gugur darinya kewajiban Al Fatihah, karena dia dalam kondisi tadi tidak sengaja meninggalkan Al Fatihah, hanya saja dia diserang oleh tidur.” 

(selesai dari “Fatawa Nur ‘Alad Darb”/Ibnu Baz/12/hal. 365-366).

Bagaimana jika si makmum tertinggal dari imam disebabkan oleh amalan mustahab, semisal: duduk istirahat? Ketahuilah bahwasanya mengikuti gerakan imam itu wajib, sementara duduk istirahat itu mustahab. Maka jika imam bangkit dan tidak duduk istirahat –sang imam meninggalkan salah satu amalan mustahab- maka makmum sebaiknya duduk istirahat sebentar jika memungkinkan untuk mengamalkan sunnah tadi. Tapi jika dia khawatir duduknya tadi menyebabkan dirinya banyak tertinggal dari sang imam, dia harus segera berdiri dan mengejar imamnya, karena yang demikian itu lebih utama daripada duduk istirahat. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rohimahulloh berkata tentang masalah ini: “Pendapat yang terkuat adalah: bahwasanya mengikuti imam itu lebih utama daripada tertinggal karena mengerjakan amalan mustahab.” 

(“Majmu’ul Fatawa”/22/hal. 452).

والله تعالى أعلم بالصواب، والحمد لله رب العالمين

Shon’a 16 Jumadal Ula 1436 H

╭─┅─═ঊঊঈ═─┅─╮ 

       SEBARKANLAH 
       ENGKAU AKAN 
       MENDAPATKAN 
           PAHALANYA 
╰─┅─═ঊঊঈ═─┅─╯ 

 🅹🅾🅸🅽 🅲🅷🅰🅽🅽🅴🅻 🆃🅴🅻🅴🅶🆁🅰🅼 

Hadits Keutamaan Memberikan Minum

Ditulis dan diterjemahkan Oleh:

Abu Fairuz Abdurrohman bin Soekojo Al Jawiy Al Indonesiy –semoga Alloh memaafkannya-

بسم الله الرحمن الرحيم

Pembukaan

الحمد لله وأشهد أن لا إله إلا الله وأن محمدا عبده ورسوله صلى الله عليه وعلى آله وسلم أما بعد:

Berikut ini ada pertanyaan:

“Bagaimana derajat hadits Sa’d bin Ubadah di Sunan An Nasaiy yang berisi tentang keutamaan shodaqoh dengan memberikan air minum pada orang lain?

Maka dengan mohon pertolongan pada Alloh saya menjawab:

Hadits ini diriwayatkan oleh An Nasaiy dalam Sunan beliau nomor (3664) yang berkata: Akhbarona Muhammad bin Abdillah ibnil Mubarok: haddatsana Waki’: ‘an Hisyam: ‘an Qotadah: ‘an Sa’id ibnil Musayyab: ‘an Sa’d bin Ubadah rodhiyallohu ‘anhu yang berkata: Aku katakan:

يا رسول الله، إن أمي ماتت أفأتصدق عنها؟ قال: «نعم» ، قلت: فأي الصدقة أفضل؟ قال: «سقي الماء»

“Wahai Rosululloh, sesungguhnya ibu saya telah meninggal. Apakah saya boleh bershodaqoh atas nama beliau?” Nabi menjawab: “Iya.” Saya bertanya: “Maka shodaqoh manakah yang paling utama?” Beliau menjawab: “Memberikan minum.”

Hadits ini juga beliau riwayatkan pada nomor (3665) yang berkata: Akhbarona Abu ‘Ammar Al Husain bin Huroits: ‘an Waki’ dan seterusnya.

Juga diriwayatkan oleh Ibnu Majah di Sunan beliau nomor (3684) seraya berkata: haddatsana Ali bin Muhammad: haddatsana Waki’ Waki’ dan seterusnya.

Juga diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam Shohih beliau nomor (3348) dari jalur Waki’ juga.

Hisyam adalah Ad Dustuwa’iy, orang yang paling terpercaya dalam meriwayatkan hadits Qotadah.

Hisyam ini didukung oleh Syu’bah –termasuk orang yang paling terpercaya dalam meriwayatkan hadits Qotadah juga-, diriwayatkan oleh An Nasaiy nomor (3666) yang berkata: Akhbaroni Ibrohim ibnul Hasan: ‘An Hajjaj: Sami’tu Syu’bah yuhadditsu ‘an Qotadah, dan seterusnya.

Maka sanadnya shohih sampai ke Sa’id ibnul Musayyab –pemimpin para tabi’in-. akan tetapi Sa’id tidak mendengar dari Sa’d bin Ubadah.11:26

Al Hafizh Al ‘Alaiy rohimahulloh berkata:

“Dan di dalam Sunan Abi dawud dan An Nasaiy ada riwayat Sa’id ibnul Musayyab dari Sa’d bin Ubadah rodhiyallohu ‘anh, padahal beliau tidak berjumpa dengan Sa’d.” 

(“Jami’ut Tahshil”/hal. 184).

Akan tetapi marosil Sa’id ibnil Musayyab itu adalah hujjah yang shohih.

Al Hafizh Al ‘Alaiy rohimahulloh berkata: “Hanbal bin Ishaq berkata: Aku mendengar Abu Abdillah –yaitu: Ahmad bin Hanbal- berkata: “Marosil Ibnil Musayyab itu shohih. Engkau tidak akan melihat yang lebih shohih dari marosil beliau.” Yahya bin Ma’in berkata: Marosil yang paling shohih adalah marosil Sa’id ibnil Musayyab.” Dan ini semua mendukung keinginan Asy syafi’iy rohimahulloh dengan ucapan beliau yang memperkecualikan marosil Ibnul Musayyab dan menerimanya secara mutlak tanpa didukung oleh sanad yang lain, berdasarkan penjelasan yang telah lewat.

Al Qoffal Al Marwaziy menukilkan dari Asy Syafi’iy bahwasanya beliau berkata dalam kitab beliau “Ar Rohn Ash Shoghir”: “Irsal Ibnul Musayyab menurut kami adalah hujjah.” Dan demikian itu juga mendukung pendapat yang kami pilih.” 

(Selesai dari “Jami’ut Tahshil”/hal. 47).

Beliau rohimahulloh juga berkata: “Al Muzaniy berkata dalam “Mukhtashor” beliau: Irsal Sa’id ibnul Musayyab menurut kami adalah hasan.” 

(Selesai dari “Jami’ut Tahshil”/hal. 46).

Jika riwayat Sa’id ibnul Musayyab ke Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam itu shohihah, maka riwayat beliau dari Shohabat itu lebih utama untuk dishohihkan karena Sa’id itu amat jujur dan meneliti.

Al Imam Ibnul Qoyyim rohimahulloh berkata: “Al Imam Ahmad berkata: “Jika Sa’id ibnul Musayyab tidak diterima riwayatnya dari Umar, maka siapakah yang akan kita terima?” Dan para pemimpin Islam dan mayoritas mereka berhujjah dengan ucapan Sa’id ibnul Musayyab: “Rosululloh shollallohu ‘alaihi waalihi wasallam bersabda” maka bagaimana dengan riwayat beliau dari Umar rodhiyallohu ‘anh? Dulu Abdulloh bin Umar biasa mengirimkan utusan kepada Sa’id ibnul Musayyab dan menanyai beliau tentang keputusan-keputusan Umar, lalu Ibnu Umar berfatwa dengan riwayat tadi. Dan tiada seorangpun dari ulama terpandang dalam Islam yang sezaman dengan Sa’id ibnul Musayyab dan yang setelah beliau yang mencerca riwayat beliau dari Umar. Dan kritikan orang yang selain mereka tidak perlu diperhatikan.” 

(“Zadul Ma’ad”/5/hal. 166-167).11:30

Kemudian Sa’id ibnul Musayyab rohimahulloh telah didukung oleh Al Hasan Al Bashriy.

Al Imam Ahmad dalam Musnad beliau nomor (22459) berkata: Haddatsana Hajjaj: sami’tu Syu’bah yuhadditsu ‘an Qotadah: sami’tu Al Hasan yuhadditsu ‘an Sa’d bin Ubadah, dan seterusnya.

Al Hakim An Naisaburiy rohimahulloh telah menyatukan antara riwayat Sa’id ibnul Musayyab dan Al Hasan dalam satu sanad di “Al Mustadrok” (1511): tsana Muhammad bin ‘Ar’aroh, tsana Syu’bah: ‘an Qotadah: ‘an Sa’id ibnul Musayyab wal Hasan: ‘an Sa’d bin Ubadah rodhiyallohu ‘anh, dan seterusnya.

Dan dari jalur beliau Al Baihaqiy meriwayatkan dalam “As Sunanul Kubro” (7804) seperti itu juga.

Muhammad bin ‘Ar’aroh adalah ibnul Barnad As Samiy Al Qurosyiy, tsiqoh shoduq. 

(“Al Jarh Wat Ta’dil”/Ibnu Abi Hatim/8/hal. 51).

Al Hasan Al Bashriy mudallis, tapi ‘an’anah beliau bisa untuk pendukung, terutama karena beliau telah menyebutkan kisah yang memperkuat riwayat beliau.

Diriwayatkan oleh Sa’id bin Manshur dalam Sunan beliau nomor (419) dengan sanad yang shohih kepada Al Hasan yang berkata:

قال سعد بن عبادة: يا رسول الله، إني كنت ابن أم سعد، وإنها ماتت، فهل ينفعها أن أتصدق عنها؟ قال: «نعم» . قال: فأي الصدقة أفضل؟ قال: «اسق الماء» قال: فجعل صهريجين بالمدينة. قال الحسن: فربما سعيت بينهما وأنا غلام

“Sa’d bin Ubadah berkata: Wahai Rosululloh, sesungguhnya saya adalah anak Ummu Sa’d, dan beliau sekarang sudah meninggal. Maka apakah bermanfaat bagi beliau jika saya bershodaqoh atas nama beliau?” Nabi menjawab: “Iya.” Sa’d bertanya: “Maka shodaqoh apa yang paling utama?” Beliau menjawab: “Berikanlah minuman.” Al Hasan berkata: “Maka Sa’d membikin Shihrijain (dua telaga) di Madinah. Maka terkadang aku berlari-lari kecil di antara dua telaga tadi ketika aku masih anak-anak.”

Al Jauhariy rohimahulloh berkata: “Shihrij kata tunggal dari Shoharij, dan dia itu bagaikan telaga yang berkumpul di dalamnya air.” 

(“Ash Shihah”/1/hal. 326).

Maka hadits tersebut hasan li ghoirih.11:31

Hadits ini datang juga dari jalur lain yang amat lemah sekali, diriwayatkan oleh Ath Thobroniy rohimahulloh dalam “Al Mu’jamul Kabir” (5385) yang berkata: haddatsana Muhammad bin Utsman bin Abi Syaibah: tsana Dhiror bin Shord Abu Nu’aim Ath Thohhan: tsana Abdul ‘Aziz bin Muhammad: ‘an ‘Umaroh bin Ghuzayyah: ‘an Humaid bin Abish Shin’ah: ‘an Sa’d bin Ubadah:

أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال له: «يا سعد، ألا أدلك على صدقة يسيرة مؤنتها، عظيم أجرها؟» قال: بلى، قال: «تسقي الماء» ، فسقى سعد الماء.

“Bahwasanya Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam bertanya kepadanya: “Wahai Sa’d, maukah engkau aku tunjukkan pada shodaqoh yang bebannya mudah tapi pahalanya agung?” Sa’d menjawab: “Tentu.” Beliau bersabda: “Engkau memberikan minum.” Maka Sa’d memberikan minum.”

Akan tetapi di dalam sanadnya ada Dhiror bin Shord Abu Nu’aim Ath Thohhan. Yahya bin Ma’in berkata: “Di Khufah ada dua pendusta: Abu Nu’aim An Nakho’iy dan Abu Nu’aim Dhiror bin Shord.” Al Bukhoriy dan An Nasaiy berkata: “Dia matrukul hadits.” An Nasaiy pada kali yang lain berkata: “Dia tidak bisa dipercaya sama sekali.” Husain bin Muhammad Al Qubabiy berkata: “Para ahli hadits meninggalkan dia.” 

(“Tahdzibut Tahdzib”/4/hal. 456).

Dan datang juga hadits ini dalam Sunan Abi Dawud nomor (1681) tapi di dalamnya ada rowi mubham (yang tidak disebutkan namanya).

Dua jalur terakhir tadi tak bisa untuk pendukung.

Maka hukum hadits Sa’d adalah hasan lighoirih. Dan yang memperkuatnya juga adalah terkenalnya pengairan Sa’d bin Abi Waqqosh di Madinah yang dinamakan oleh Al Hasan Al Bashriy sebagai Shihrij. Dan dia adalah telaga yang ada di kebun “Al Mikhrof”.11:32

Dan yang memperkuatnya lagi adalah hadits Ibnu Abbas rodhiyallohu ‘anhuma:

أن سعد بن عبادة رضي الله عنه توفيت أمه وهو غائب عنها، فقال: يا رسول الله إن أمي توفيت
وأنا غائب عنها، أينفعها شيء إن تصدقت به عنها؟ قال: «نعم» ، قال: فإني أشهدك أن حائطيالمخراف صدقة عليها. (أخرجه البخاري (2756)).

“Bahwasanya Sa’d bin Uba dah rodhiyallohu ‘anh ibunya meninggal dalam keadaan dia tidak hadir di sisinya. Maka dia bertanya: “Wahai Rosululloh, sesungguhnya ibu saya meninggal dalam keadaan saya tidak hadir di sisinya. Maka apakah bermanfaat bagi beliau jika saya bershodaqoh atas nama beliau?” Nabi menjawab: “Iya.” Dia berkata: “Maka sungguh saya menjadikan Anda sebagai saksi bahwasanya kebun saya “Al Mikhrof” menjadi shodaqoh atas nama beliau.” 

(HR. Al Bukhoriy (2756)).

Al Munawiy rohimahulloh berkata: “Posisi yang menyebabkan pemberian minum tadi menjadi shodaqoh yang lebih utama daripada yang lainnya adalah jika keperluan orang-orang kepada air tadi amat besar, sebagaimana hal itu dominan di wilayah Hijaz karena sedikitnya air di situ. Dan semisal dengan itu pula jalan yang dilalui oleh jamaah haji. Dan yang semacam itu. Soalnya jika tidak demikian, semacam roti itu lebih utama daripada air, lebih-lebih lagi di masa kenaikan harga dan kelaparan.” 

(“Faidhul Qodir”/2/hal. 37).

╭─┅─═ঊঊঈ═─┅─╮ 

       SEBARKANLAH 
       ENGKAU AKAN 
       MENDAPATKAN 
           PAHALANYA 
╰─┅─═ঊঊঈ═─┅─╯ 

 🅹🅾🅸🅽 🅲🅷🅰🅽🅽🅴🅻 🆃🅴🅻🅴🅶🆁🅰🅼 

_*NASEHAT UNTUK SEKIRANYA TIDAK MEMONDOKKAN ANAK SEBELUM MENCAPAI BALIGH*_

_*Telah Di Periksa Oleh Asy-Syaikh Abu Fairuz Abdurrohman Bin Soekojo Al Indonesiy حفظه الله تعالى*_                بِسْمِ اللّهِ الرَّحْمَن...