Tampilkan postingan dengan label Syaikh Abu Fairuz Abdurrohman. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Syaikh Abu Fairuz Abdurrohman. Tampilkan semua postingan

Ini dars penerjemahan kitab "Al Uyunul Jawariy" yang berisi syarah terhadap kitab "Shahihul Bukhariy" dars ke 22





download file kitab "Al Uyunul Jawariy" syarah kitab "Shahihul Bukhariy"
Karya Syaikh Abu Fairuz Abdurrohman




JIKA PADA SAAT DARS, REKAMAN TERHENTI, SILAHKAN DI RELOAD ULANG.


DARS YANG LAINNYA 

📣     dars ke duapuluh satu                                                                                         

📣     dars ke duapuluh tiga


╭─┅─═ঊঊঈ═─┅─╮ 
       SEBARKANLAH 
       ENGKAU AKAN 
       MENDAPATKAN 
           PAHALANYA 
╰─┅─═ঊঊঈ═─┅─╯ 

 🅹🅾🅸🅽 🅲🅷🅰🅽🅽🅴🅻 🆃🅴🅻🅴🅶🆁🅰🅼 

Ini dars penerjemahan kitab "Al Uyunul Jawariy" yang berisi syarah terhadap kitab "Shahihul Bukhariy" dars ke 21





download file kitab "Al Uyunul Jawariy" syarah kitab "Shahihul Bukhariy"
Karya Syaikh Abu Fairuz Abdurrohman



JIKA PADA SAAT DARS, REKAMAN TERHENTI, SILAHKAN DI RELOAD ULANG.


DARS YANG LAINNYA 

📣     dars ke duapuluh                                                                                          



╭─┅─═ঊঊঈ═─┅─╮ 
       SEBARKANLAH 
       ENGKAU AKAN 
       MENDAPATKAN 
           PAHALANYA 
╰─┅─═ঊঊঈ═─┅─╯ 

 🅹🅾🅸🅽 🅲🅷🅰🅽🅽🅴🅻 🆃🅴🅻🅴🅶🆁🅰🅼 

Ini dars penerjemahan kitab "Al Uyunul Jawariy" yang berisi syarah terhadap kitab "Shahihul Bukhariy" dars ke 20






download file kitab "Al Uyunul Jawariy" syarah kitab "Shahihul Bukhariy"
Karya Syaikh Abu Fairuz Abdurrohman



JIKA PADA SAAT DARS, REKAMAN TERHENTI, SILAHKAN DI RELOAD ULANG.


DARS YANG LAINNYA 

📣     dars ke Sebilanbelas                                                                                               



╭─┅─═ঊঊঈ═─┅─╮ 
       SEBARKANLAH 
       ENGKAU AKAN 
       MENDAPATKAN 
           PAHALANYA 
╰─┅─═ঊঊঈ═─┅─╯ 

 🅹🅾🅸🅽 🅲🅷🅰🅽🅽🅴🅻 🆃🅴🅻🅴🅶🆁🅰🅼 

Ini dars penerjemahan kitab "Al Uyunul Jawariy" yang berisi syarah terhadap kitab "Shahihul Bukhariy" dars ke 19






download file kitab "Al Uyunul Jawariy" syarah kitab "Shahihul Bukhariy"
Karya Syaikh Abu Fairuz Abdurrohman



JIKA PADA SAAT DARS, REKAMAN TERHENTI, SILAHKAN DI RELOAD ULANG.


DARS YANG LAINNYA 

📣     dars ke delapanbelas                                                                                                    

📣     dars ke duapuluh


╭─┅─═ঊঊঈ═─┅─╮ 
       SEBARKANLAH 
       ENGKAU AKAN 
       MENDAPATKAN 
           PAHALANYA 
╰─┅─═ঊঊঈ═─┅─╯ 

 🅹🅾🅸🅽 🅲🅷🅰🅽🅽🅴🅻 🆃🅴🅻🅴🅶🆁🅰🅼 

Hukum Terlambatnya Makmum Dari Mengikuti Imam Dalam Sholat

Disusun Oleh Al Faqir Ilallohi ta’ala:
Abu Fairuz Abdurrohman bin Soekojo ‘afallohu ‘anhu di Yaman

بسم الله الرحمن الرحيم

Pengantar Penulis

:الحمد لله وأشهد أن لا إله إلا الله وأن محمدا عبده ورسوله صلى الله عليه وآله وسلم، أما بعد

Sesungguhnya ada pertanyaan yang isinya adalah:
Apa hukum terlambatnya makmum dari mengikuti imam dalam satu rukun atau lebih dalam sholat mereka?

Maka dengan memohon pertolongan pada Alloh saya menjawab:

Sesungguhnya para ulama memiliki beberapa pendapat dalam masalah ini. Dan saya akan menyebutkan yang nampak paling kuat. Barangsiapa memilih pendapat yang lain karena lebih kuat baginya, dipersilakan.

Sesungguhnya dalam masalah ini ada perincian. Jika si makmum tertinggal dari imamnya dalam satu rukun atau lebih di dalamnya sholatnya karena suatu udzur, maka hendaknya dia segera menyempurnakan rukun-rukun yang tertinggal tadi, sampai dia berhasil menyusul sang imam.

Manshur Al Bahutiy Al Hanbaliy rohimahulloh berkata: “Dan jika makmum tertinggal satu rukun dari imamnya tanpa udzur, maka hukumnya sebagaimana telah tersebut di muka dia tertinggal satu ruku’ tanpa udzur, batallah sholatnya. Tapi jika tidak demikian, yaitu dia tertinggal satu rukun karena udzur berupa mengantuk atau lupa atau berdesak-desakannya jamaah (sehingga dia susah untuk ruku’ dan sebagainya sehingga tertinggal), jika dia mengerjakan rukun yang tertinggal tadi dan dia menyusul sang imam, rekaatnya tadi sudah sah. Dan itu memang harus dia kerjakan, jika memungkinkan baginya untuk mengejar sang imam tanpa melakukan perkara yang terlarang (tanpa meninggalkan satu rukunpun).” 

(“Syarh Muntahal Irodat”/1/hal. 266).

Al Khothib Muhammad bin Ahmad Asy Syarbiniy Asy Syafi’iy rohimahulloh berkata: “Adapun jika dia tertinggal kurang dari satu rukun, seperti: sang imam ruku’ duluan sebelum makmum, lalu sang makmum menyusulnya sebelum imam mengangkat kepalanya dari ruku’, atau sang makmum tertinggal satu rukun karena suatu udzur, maka tidaklah sholatnya itu batal. Ini pasti.” 

(“Mughnil Muhtaj Ila Ma’rifati Ma’ani Alfazhil Minhaj”/1/hal. 506).

Tapi jika si makmum tertinggal dari sang imam karena udzur, dan dia mampu untuk menunaikan rukun-rukun yang luput, tapi dia tidak melakukannya dan bahkan dia bersegera untuk mengikuti sang imam dengan masuk ke rukun yang sang imam ada di dalamnya, maka sholatnya sah, tapi rekaat cacat dari sang makmum tadi batal karena dia belum menunaikan rukun-rukun yang tertinggal tadi. Maka dia harus bangkit untuk membayar rekaat yang tidak teranggap tadi.

Manshur Al Bahutiy Al Hanbaliy rohimahulloh berkata: “Dan jika tidak demikian, yaitu dia tidak menunaikan rukun yang tertinggal tadi tapi dia langsung menyusul sang imam, karena tidak memungkinkan baginya untuk itu, maka rekaatnya yang dia tertinggal dalam rukun itu tadi, tidak teranggap, maka dia harus membayar rekaat tersebut dengan mendatangkan gantinya (menambah satu rekaat).” 

(“Syarh Muntahal Irodat”/1/hal. 266).

Dan jika si makmum tertinggal dari imamnya dengan sengaja dalam satu rukun, lalu dia menyusul sang imam sebelum sang imam berpindah ke rukun yang berikutnya, sholat si makmum sah, tapi makruh atau dosa karena dia menyelisihi perintah Nabi shollallohu ‘alaihi waalihi wasallam untuk mengikuti imam tanpa penundaan.

Dari Anas bin Malik rodhiyallohu ‘anhu : dari Rosululloh shollallohu ‘alaihi waalihi wasallam yang bersabda:

«إنما جعل الإمام ليؤتم به، فإذا كبر فكبروا، وإذا ركع فاركعوا، وإذا سجد فاسجدوا، وإن صلى قائما فصلوا قياما». (أخرجه البخاري (378) ومسلم (411))

“Hanyalah imam itu dijadikan untuk diikuti. Maka jika dia bertakbir, maka bertakbirlah kalian, dan jika dia ruku’ maka ruku’lah kalian, dan jika dia sujud maka sujudlah kalian, dan jika dia sholat berdiri, maka sholatlah dengan berdiri.” 

(HR. Al Bukhoriy (378) dan Muslim (411)).

Dan huruf Fa (ف) menunjukkan menyusulnya amalan yang berikutnya dengan tanpa penundaan, sebagaimana ucapan Al Imam Ibnu Malik rohimahulloh: “Huruf Fa itu menunjukkan urutan perbuatan secara bersambung.”

Al Hasan bin Qosim Al Mishriy rohimahulloh berkata: “Yaitu: tanpa penundaan. Maka Fa itu untuk menunjukkan menyusulnya amalan yang berikutnya. Dan ini adalah pendapat mayoritas ulama.” 

(“Taudhihul Maqoshid Wal Masalik Bi Syarh Alfiyyah Ibni Malik”/2/hal. 998).

Al Imam Ibnu Baz rohimahulloh berkata: Maka yang wajib bagi makmum adalah mengikut imam secara beruntun. Jika suatu imam telah berhenti (berhenti takbir, misalkan), maka makmum bersegera mengikutinya, berdasarkan sabda Nabi shollallohu ‘alaihi waalihi wasallam:

«إنما جعل الإمام ليؤتم به، فلا تختلفوا عليه، فإذا كبر فكبروا، ولا تكبروا حتى يكبر، وإذا ركع فاركعوا، ولا تركعوا حتى يركع، وإذا قال: سمع الله لمن حمده. فقولوا: ربنا ولك الحمد. وإذا سجد فاسجدوا، ولا تسجدوا حتى يسجد»

“Hanyalah imam itu dijadikan untuk diikuti. Maka janganlah kalian berselisih terhadapnya. Maka jika dia bertakbir, maka bertakbirlah kalian, dan jika dia ruku’ maka ruku’lah kalian, dan janganlah kalian ruku’ sampai dia ruku’. Dan jika dia berkata: “Sami’allohu liman hamidah” maka ucapkanlah: “Robbana walakal hamd.” Dan jika dia sujud maka sujudlah kalian, dan janganlah kalian sujud sampai dia sujud.”

Maka sabda beliau: “Maka jika dia bertakbir, maka bertakbirlah kalian, dan jika dia ruku’ maka ruku’lah kalian” dan seterusnya, maknanya adalah mengikuti imam secara beruntun, karena huruf Fa pada ucapan beliau (فكبروا) “Maka bertakbirlah” menurut para ulama maknanya adalah mengikuti imam secara beruntun, tanpa ditunda-tunda. Akan tetapi janganlah dia ruku’ sampai suara takbir imam itu berhenti. Demikian pula dia jangan mengangkat kepala sampai suara tasmi’ imam itu berhenti. Demikian pula dia jangan sujud sampai imam berhenti bertakbir, setelah suara takbir imam itu berhenti. Lalu barulah dia mengikuti sang imam. Demikian caranya.”

-sampai pada ucapan beliau:-

“Yang penting adalah si makmum bersungguh-sungguh mengikuti imam tanpa menunda-nunda. Jika dia menunda sedikit, maka itu tidak membahayakannya selama dia masih mengikutinya, ruku’ bersamanya, sujud bersamanya, itu tidak membahayakannya. Demikian pula jika dia menunda sebentar ketika salam, hal itu tidak membahayakannya. Hanya saja yang disunnahkan adalah: dia bersegera, jika imam ruku’ maka makmum ruku’ dan jika imam takbir, makmum takbir. Secara bersambung, tanpa bersamaan dengan imam, dan tanpa mendahuluinya, tapi melakukan itu setelah amalan sang imam secara beruntun.”

(selesai dari “Fatawa Nur ‘Alad Darb”/Ibnu Baz/12/hal. 360-361).

Dan jika si makmum tertinggal dari imamnya secara sengaja sebanyak satu rukun atau lebih, sholatnya batal menurut pendapat yang benar, karena orang ini sengaja membikin cacat dalam jama’ah sholat. Manshur Al Bahutiy Al Hanbaliy rohimahulloh berkata: “Dan jika makmum tertinggal dari sang imam tanpa udzur sebanyak dua rukun, batallah sholatnya karena dia meninggalkan keharusan mengikuti imam tanpa udzur, mirip dengan memutuskan sholat. Jika dia tertinggal dua rukun karena suatu udzur seperti mengantuk atau lupa atau berdesak-desakannya jamaah (sehingga dia susah untuk ruku’ dan sebagainya sehingga tertinggal), sholatnya tidak batal kaena udzur tadi. Tapi dia harus mengerjakan rukun yang tertinggal tadi dan menyusul imamnya jika aman dari ketertinggalan dari rukun yang berikutnya lagi. Jika makmum yang udzur tadi tidak mengerjakan rukun yang tertinggal tersebut padahal dia aman dari ketertinggalan dari rekaat yang berikutnya lagi andaikata dia mengerjakan rukun yang tertinggal, maka batallah sholatnya. Jika tidak demikian, yaitu dia (langsung mengikuti imam karena) khawatir jika dia mengerjakan rukun yang tertinggal akibatnya dia akan ketinggalan rekaat yang berikutnya lagi, maka rekaat yang di situ dia tertinggal dari mengerjakan rukun-rukun tadi menjadi batal, dan rekaat yang berikutnya menjadi penggantinya, dia membangun sholatnya dengan urutan semacam tadi, lalu jika imam mengucapkan salam, sang makmum tadi bangkit untuk menyempurnakan rekaat yang kurang tadi.” 

(“Syarh Muntahal Irodat”/1/hal. 266).

Dan jika si makmum tertinggal dari imamnya secara sengaja sebanyak satu rukun atau lebih, sholatnya batal menurut pendapat yang benar, karena orang ini sengaja membikin cacat dalam jama’ah sholat.
Manshur Al Bahutiy Al Hanbaliy rohimahulloh berkata: “Dan jika makmum tertinggal dari sang imam tanpa udzur sebanyak dua rukun, batallah sholatnya karena dia meninggalkan keharusan mengikuti imam tanpa udzur, mirip dengan memutuskan sholat. Jika dia tertinggal dua rukun karena suatu udzur seperti mengantuk atau lupa atau berdesak-desakannya jamaah (sehingga dia susah untuk ruku’ dan sebagainya sehingga tertinggal), sholatnya tidak batal kaena udzur tadi. Tapi dia harus mengerjakan rukun yang tertinggal tadi dan menyusul imamnya jika aman dari ketertinggalan dari rukun yang berikutnya lagi. Jika makmum yang udzur tadi tidak mengerjakan rukun yang tertinggal tersebut padahal dia aman dari ketertinggalan dari rekaat yang berikutnya lagi andaikata dia mengerjakan rukun yang tertinggal, maka batallah sholatnya. Jika tidak demikian, yaitu dia (langsung mengikuti imam karena) khawatir jika dia mengerjakan rukun yang tertinggal akibatnya dia akan ketinggalan rekaat yang berikutnya lagi, maka rekaat yang di situ dia tertinggal dari mengerjakan rukun-rukun tadi menjadi batal, dan rekaat yang berikutnya menjadi penggantinya, dia membangun sholatnya dengan urutan semacam tadi, lalu jika imam mengucapkan salam, sang makmum tadi bangkit untuk menyempurnakan rekaat yang kurang tadi.” 

(“Syarh Muntahal Irodat”/1/hal. 266).

Al Khothib Muhammad bin Ahmad Asy Syarbiniy Asy Syafi’iy rohimahulloh berkata: “…Atau dia tertinggal dalam dua rukun yang sifatnya adalah amalan anggota badan, misalnya sang imam telah selesai dalam dua rukun, tapi si makmum ini masih belum masuk ke dalam dua rukun itu. Misalnya adalah: sang imam memulai masuk ke sujud, sementara si makmum masih berdiri membaca Al fatihah. Jika si makmum tidak punya udzur, misalkan: dia tertinggal membaca surat atau tasbih ruku’ dan sujud, batallah sholatnya karena banyaknya penyelisihan dia terhadap imam (tanpa udzur), sama saja apakah dua rukun tadi panjang ataukah pendek.” 

(“Mughnil Muhtaj Ila Ma’rifati Ma’ani Alfazhil Minhaj”/1/hal. 506).

Al Imam Ibnu Utsaimin rohimahulloh berkata: “Adapun ketertinggalan dari imam itu terbagi menjadi dua macam:

Yang pertama: Dia berhasil mendapati sang imam di dalam rukun yang dia tertinggal oleh sang imam. Maka sholatnya itu sah. Misalnya: dia tertinggal dari sang imam di dalam sujud, tapi dia bisa bersujud juga sebelum sang imam mengangkat kepalanya. Maka sholatnya sah. Tapi ketertinggalannya tadi menyelisihi sunnah, karena yang disunnahkan adalah: bersegera mengikuti imam.

Yang kedua: dia tidak bisa menyusul imam dalam rukun tadi, di mana sang imam meninggalkan rukun tadi sebelum sang makmum sampai ke rukun itu. Jika hal itu terjadi karena udzur, hendaknya sang makmum segera menjalankan rukun yang tertinggal tadi. Kecuali jika sampai sang imamnya mencapai tempat tertinggalnya si makmum, maka dia hendaknya dia tetap bersama sang imam (jangan membayar dulu ketertinggalannya), dan jadilah dia punya “rekaat tempelan” (dia baru punya satu rekaat, sementara imamnya punya dua rekaat).

Contohnya adalah: 

makmum tidak mendengar takbir imamnya untuk ruku’. Makanakala si imam berkata” “Sami’allohu liman hamidah” ketika itulah sang makmum mendengarnya dan mengejar sang imam. Tapi imamnya belum mencapai tempat tertinggalnya si makmum (belum masuk ke rekaat yang berikutnya lagi).

Contoh yang lain: 

makmum tidak mendengar takbir imamnya untuk ruku’ di rekaat pertama, sehingga si makmum masih terus berdiri hingga imamnya bangkit lagi ke rekaat kedua. Maka ketika itu dia bersama imamnya masih bersama imamnya, tapi rekaat kedua imamnya adalah rekaat pertama si makmum. Dan jadilah rekaat makmum gabungan dari dua rekaat imamnya: rekaat pertama dan kedua, karena imamnya telah mencapai tempat tertinggalnya si makmum.

Dan jika ketertinggalan dia dari imamnya itu bukan karena udzur, maka hal itu seperti kasus terdahulu dengan perincian yang telah lewat. Dan tidaklah tersamarkan bahwasanya yang benar adalah bahwasanya sholatnya itu batal jika dia tertinggal satu rukun atau lebih tanpa udzur. Sama saja apakah rukunnya tadi adalah ruku’ ataukah yang lainnya. Wallohu a’lam.

(selesai dari “Majmu’ fatawa Wa Rosail Al ‘Utsaimin”/15/hal. 114-115).

Dan bagaimana jika keterlambatan si makmum dari imamnya itu dikarenakan dia menyempurnakan Al Fatihah?

Al Imam Ibnu Baz rohimahulloh ditanya: sebagian orang memperpanjang bacaan Al Fatihah, akibatnya saat imam ruku’ si makmum masih terus berdiri membaca Al Fatihah. Dan ketika si imam bangkit dari ruku’, mulailah si makmum ruku’. Dan telah luput darinya ruku’ bersama imam. Apa hukum sholat mereka?

Maka beliau rohimahulloh menjawab: “Itu tidak boleh. Wajib bagi makmum jika imamnya ruku’ untuk dirinya ruku’ juga, berdasarkan sabda Nabi shollallohu’alaihi wasallam:

وإذا ركع فاركعوا، وإذا سجد فاسجدوا». (أخرجه البخاري (378) ومسلم (411)

“Hanyalah imam itu dijadikan untuk diikuti. Maka jika dia bertakbir, maka bertakbirlah kalian, dan jika dia ruku’ maka ruku’lah kalian, dan jika dia sujud maka sujudlah kalian.” (HR. Al Bukhoriy (378) dan Muslim (411)).

Maka jika imamnya ruku’, telah gugurlah dari sang makmum sisa kewajiban untuk membaca Al Fatihah, sebagaimana jika dirinya datang dalam keadaan sang imam ruku’ maka dia harus ruku’ bersama imam, dan gugurlah darinya kewajiban Al Fatihah. Ini berdasarkan hadits Abi Bakroh dalam Shohihul Bukhoriy rohimahulloh, bahwasanya Abu Bakroh rodhiyallohu ‘anh datang dalam keadaan imam ruku’ –Nabi ‘alaihish sholatu wassalam ruku’-, maka diapun ruku’ sebelum sampai ke shof, lalu dia masuk ke dalam shof. Manakala Nabi shollallohu’alaihi wasallam mengucapkan salam, beliau bersabda padanya:

«زادك الله حرصا، ولا تعد»

“Semoga Alloh menambahimu semangat. Dan janganlah engkau ulangi hal itu.”
Dan beliau tidak memerintahkan dia untuk membayar sholat. Maka yang demikian itu menunjukkan sahnya sholat dia, karena dia mendapatkan udzur, karena manakala telah luput darinya kesempatan berdiri, gugurlah darinya kewajiban Al Fatihah.
Dan demikianlah makmum jika sang imam telah ruku sebelum si makmum menyempurnakan Al Fatihah, hendaknya si makmum ruku’ bersama imamnya dan telah gugur darinya kewajiban sisa bacaan Al Fatihah. Dan dia harus memperhatikan yang demikian itu saat dia berdiri agar dia bisa membaca Al Fatihah (dengan sempurna) sebelum ruku’nya sang imam. Hendaknya dia memulai bacaan Al Fatihah di awal rekaat sehingga dia bisa membacanya sebelum imamnya ruku’, dan janganlah dia meremehkan masalah ini.”

(selesai dari “Fatawa Nur ‘Alad Darb Ibni Baz”/12/hal. 363-365).

Al Imam Ibnu Utsaimin rohimahulloh ditanya: apa hukum orang yang meninggalkan Al Fatihah di sebagian rekaat karena lupa? Dan Apa hukumnya jika dia mendapati imam sedang ruku’? dan jika orang yang sholat itu meninggalkan Fatihah dengan sengaja, apa hukumnya? Dan apa hukum orang yang sholat empat rekaat bersama jama’ah sejak awal sholat, manakala sang imam salam orang ini berdiri dan mengadakan rekaat kelima, manakala sang imam menanyakan hal itu kepadanya dia menjawab: “Karena saya di rekaat ketiga belum sempat membaca Al Fatihah, maka saya mendatangkan rekaat kelima sebagai ganti darinya”? Maka beliau menjawab: Jawaban untuk masalah yang pertama: jika si makmum meninggalkan Al Fatihah karena lupa di sebagian rekaat sholat, jika kita berkata bahwasanya bacaan tadi sunnah saja untuk makmum sebagaimana madzhab Hanabilah, maka dia tidak perlu mengulang rekaat yang di situ dia meninggalkan Al Fatihah. Tapi jika kita mengatakan bahwasanya bacaan Al Fatihah adalah rukun, dan itulah yang benar, dia wajib mengulang kembali rekaatnya sebagaimana jika dia sendirinya atau sebagai imam. Adapun jika dia mendapati sang imam sedang ruku’, maka kewajiban membaca Al Fatihah itu gugur darinya ketika itu, karena tempat bacaan Al Fatihah adalah saat berdiri, sementara kewajiban berdiri telah gugur darinya saat itu dalam rangkan menjalankan kewajiban untuk mengikuti imam. Maka gugur pula kewajiban bacaan Al Fatihah dengan luputnya tempat bacaan tadi.

(kita masuk ke jawaban Syaikh Ibnu Baz) Beliau rohimahulloh menjawab: jika si makmum mengantuk dan masih terus dalam posisi duduknya sampai sang imam ruku’, dia harus bangkit dan ruku’ bersama imam. Jika imam mendahuluinya, dia harus ruku’ sampai bisa menyusul sang imam, sujud bersamanya. Ruku’ lalu bangkit dari ruku, lalu menyusul sang imam. Sholatnya tetap sah jika kantuknya itu sedikit dan tidak menghilangkan fungsi indera perasanya. Dia masih punya sebagian kesadaran, masih agak terjaga, hanya saja dia tidak sadar untuk bertakbir. Dia tidak tenggelam dalam tidur. Adapun jika dia tenggelam dalam tidurnya, maka sholatnya batal. Yaitu: dia wajib mengulang sholatnya dari awalnya, karena tidur itu membatalkan wudhu jika sampai meneggelamkan kesadarannya. Adapun jika mengantuk saja, yaitu tidur ringan, tidak sampai menenggelamkannya, maka dia harus segera mengejar sang imam, dan telah gugur darinya kewajiban Al Fatihah, karena dia dalam kondisi tadi tidak sengaja meninggalkan Al Fatihah, hanya saja dia diserang oleh tidur.” 

(selesai dari “Fatawa Nur ‘Alad Darb”/Ibnu Baz/12/hal. 365-366).

Bagaimana jika si makmum tertinggal dari imam disebabkan oleh amalan mustahab, semisal: duduk istirahat? Ketahuilah bahwasanya mengikuti gerakan imam itu wajib, sementara duduk istirahat itu mustahab. Maka jika imam bangkit dan tidak duduk istirahat –sang imam meninggalkan salah satu amalan mustahab- maka makmum sebaiknya duduk istirahat sebentar jika memungkinkan untuk mengamalkan sunnah tadi. Tapi jika dia khawatir duduknya tadi menyebabkan dirinya banyak tertinggal dari sang imam, dia harus segera berdiri dan mengejar imamnya, karena yang demikian itu lebih utama daripada duduk istirahat. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rohimahulloh berkata tentang masalah ini: “Pendapat yang terkuat adalah: bahwasanya mengikuti imam itu lebih utama daripada tertinggal karena mengerjakan amalan mustahab.” 

(“Majmu’ul Fatawa”/22/hal. 452).

والله تعالى أعلم بالصواب، والحمد لله رب العالمين

Shon’a 16 Jumadal Ula 1436 H

╭─┅─═ঊঊঈ═─┅─╮ 

       SEBARKANLAH 
       ENGKAU AKAN 
       MENDAPATKAN 
           PAHALANYA 
╰─┅─═ঊঊঈ═─┅─╯ 

 🅹🅾🅸🅽 🅲🅷🅰🅽🅽🅴🅻 🆃🅴🅻🅴🅶🆁🅰🅼 

Hadits Keutamaan Memberikan Minum

Ditulis dan diterjemahkan Oleh:

Abu Fairuz Abdurrohman bin Soekojo Al Jawiy Al Indonesiy –semoga Alloh memaafkannya-

بسم الله الرحمن الرحيم

Pembukaan

الحمد لله وأشهد أن لا إله إلا الله وأن محمدا عبده ورسوله صلى الله عليه وعلى آله وسلم أما بعد:

Berikut ini ada pertanyaan:

“Bagaimana derajat hadits Sa’d bin Ubadah di Sunan An Nasaiy yang berisi tentang keutamaan shodaqoh dengan memberikan air minum pada orang lain?

Maka dengan mohon pertolongan pada Alloh saya menjawab:

Hadits ini diriwayatkan oleh An Nasaiy dalam Sunan beliau nomor (3664) yang berkata: Akhbarona Muhammad bin Abdillah ibnil Mubarok: haddatsana Waki’: ‘an Hisyam: ‘an Qotadah: ‘an Sa’id ibnil Musayyab: ‘an Sa’d bin Ubadah rodhiyallohu ‘anhu yang berkata: Aku katakan:

يا رسول الله، إن أمي ماتت أفأتصدق عنها؟ قال: «نعم» ، قلت: فأي الصدقة أفضل؟ قال: «سقي الماء»

“Wahai Rosululloh, sesungguhnya ibu saya telah meninggal. Apakah saya boleh bershodaqoh atas nama beliau?” Nabi menjawab: “Iya.” Saya bertanya: “Maka shodaqoh manakah yang paling utama?” Beliau menjawab: “Memberikan minum.”

Hadits ini juga beliau riwayatkan pada nomor (3665) yang berkata: Akhbarona Abu ‘Ammar Al Husain bin Huroits: ‘an Waki’ dan seterusnya.

Juga diriwayatkan oleh Ibnu Majah di Sunan beliau nomor (3684) seraya berkata: haddatsana Ali bin Muhammad: haddatsana Waki’ Waki’ dan seterusnya.

Juga diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam Shohih beliau nomor (3348) dari jalur Waki’ juga.

Hisyam adalah Ad Dustuwa’iy, orang yang paling terpercaya dalam meriwayatkan hadits Qotadah.

Hisyam ini didukung oleh Syu’bah –termasuk orang yang paling terpercaya dalam meriwayatkan hadits Qotadah juga-, diriwayatkan oleh An Nasaiy nomor (3666) yang berkata: Akhbaroni Ibrohim ibnul Hasan: ‘An Hajjaj: Sami’tu Syu’bah yuhadditsu ‘an Qotadah, dan seterusnya.

Maka sanadnya shohih sampai ke Sa’id ibnul Musayyab –pemimpin para tabi’in-. akan tetapi Sa’id tidak mendengar dari Sa’d bin Ubadah.11:26

Al Hafizh Al ‘Alaiy rohimahulloh berkata:

“Dan di dalam Sunan Abi dawud dan An Nasaiy ada riwayat Sa’id ibnul Musayyab dari Sa’d bin Ubadah rodhiyallohu ‘anh, padahal beliau tidak berjumpa dengan Sa’d.” 

(“Jami’ut Tahshil”/hal. 184).

Akan tetapi marosil Sa’id ibnil Musayyab itu adalah hujjah yang shohih.

Al Hafizh Al ‘Alaiy rohimahulloh berkata: “Hanbal bin Ishaq berkata: Aku mendengar Abu Abdillah –yaitu: Ahmad bin Hanbal- berkata: “Marosil Ibnil Musayyab itu shohih. Engkau tidak akan melihat yang lebih shohih dari marosil beliau.” Yahya bin Ma’in berkata: Marosil yang paling shohih adalah marosil Sa’id ibnil Musayyab.” Dan ini semua mendukung keinginan Asy syafi’iy rohimahulloh dengan ucapan beliau yang memperkecualikan marosil Ibnul Musayyab dan menerimanya secara mutlak tanpa didukung oleh sanad yang lain, berdasarkan penjelasan yang telah lewat.

Al Qoffal Al Marwaziy menukilkan dari Asy Syafi’iy bahwasanya beliau berkata dalam kitab beliau “Ar Rohn Ash Shoghir”: “Irsal Ibnul Musayyab menurut kami adalah hujjah.” Dan demikian itu juga mendukung pendapat yang kami pilih.” 

(Selesai dari “Jami’ut Tahshil”/hal. 47).

Beliau rohimahulloh juga berkata: “Al Muzaniy berkata dalam “Mukhtashor” beliau: Irsal Sa’id ibnul Musayyab menurut kami adalah hasan.” 

(Selesai dari “Jami’ut Tahshil”/hal. 46).

Jika riwayat Sa’id ibnul Musayyab ke Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam itu shohihah, maka riwayat beliau dari Shohabat itu lebih utama untuk dishohihkan karena Sa’id itu amat jujur dan meneliti.

Al Imam Ibnul Qoyyim rohimahulloh berkata: “Al Imam Ahmad berkata: “Jika Sa’id ibnul Musayyab tidak diterima riwayatnya dari Umar, maka siapakah yang akan kita terima?” Dan para pemimpin Islam dan mayoritas mereka berhujjah dengan ucapan Sa’id ibnul Musayyab: “Rosululloh shollallohu ‘alaihi waalihi wasallam bersabda” maka bagaimana dengan riwayat beliau dari Umar rodhiyallohu ‘anh? Dulu Abdulloh bin Umar biasa mengirimkan utusan kepada Sa’id ibnul Musayyab dan menanyai beliau tentang keputusan-keputusan Umar, lalu Ibnu Umar berfatwa dengan riwayat tadi. Dan tiada seorangpun dari ulama terpandang dalam Islam yang sezaman dengan Sa’id ibnul Musayyab dan yang setelah beliau yang mencerca riwayat beliau dari Umar. Dan kritikan orang yang selain mereka tidak perlu diperhatikan.” 

(“Zadul Ma’ad”/5/hal. 166-167).11:30

Kemudian Sa’id ibnul Musayyab rohimahulloh telah didukung oleh Al Hasan Al Bashriy.

Al Imam Ahmad dalam Musnad beliau nomor (22459) berkata: Haddatsana Hajjaj: sami’tu Syu’bah yuhadditsu ‘an Qotadah: sami’tu Al Hasan yuhadditsu ‘an Sa’d bin Ubadah, dan seterusnya.

Al Hakim An Naisaburiy rohimahulloh telah menyatukan antara riwayat Sa’id ibnul Musayyab dan Al Hasan dalam satu sanad di “Al Mustadrok” (1511): tsana Muhammad bin ‘Ar’aroh, tsana Syu’bah: ‘an Qotadah: ‘an Sa’id ibnul Musayyab wal Hasan: ‘an Sa’d bin Ubadah rodhiyallohu ‘anh, dan seterusnya.

Dan dari jalur beliau Al Baihaqiy meriwayatkan dalam “As Sunanul Kubro” (7804) seperti itu juga.

Muhammad bin ‘Ar’aroh adalah ibnul Barnad As Samiy Al Qurosyiy, tsiqoh shoduq. 

(“Al Jarh Wat Ta’dil”/Ibnu Abi Hatim/8/hal. 51).

Al Hasan Al Bashriy mudallis, tapi ‘an’anah beliau bisa untuk pendukung, terutama karena beliau telah menyebutkan kisah yang memperkuat riwayat beliau.

Diriwayatkan oleh Sa’id bin Manshur dalam Sunan beliau nomor (419) dengan sanad yang shohih kepada Al Hasan yang berkata:

قال سعد بن عبادة: يا رسول الله، إني كنت ابن أم سعد، وإنها ماتت، فهل ينفعها أن أتصدق عنها؟ قال: «نعم» . قال: فأي الصدقة أفضل؟ قال: «اسق الماء» قال: فجعل صهريجين بالمدينة. قال الحسن: فربما سعيت بينهما وأنا غلام

“Sa’d bin Ubadah berkata: Wahai Rosululloh, sesungguhnya saya adalah anak Ummu Sa’d, dan beliau sekarang sudah meninggal. Maka apakah bermanfaat bagi beliau jika saya bershodaqoh atas nama beliau?” Nabi menjawab: “Iya.” Sa’d bertanya: “Maka shodaqoh apa yang paling utama?” Beliau menjawab: “Berikanlah minuman.” Al Hasan berkata: “Maka Sa’d membikin Shihrijain (dua telaga) di Madinah. Maka terkadang aku berlari-lari kecil di antara dua telaga tadi ketika aku masih anak-anak.”

Al Jauhariy rohimahulloh berkata: “Shihrij kata tunggal dari Shoharij, dan dia itu bagaikan telaga yang berkumpul di dalamnya air.” 

(“Ash Shihah”/1/hal. 326).

Maka hadits tersebut hasan li ghoirih.11:31

Hadits ini datang juga dari jalur lain yang amat lemah sekali, diriwayatkan oleh Ath Thobroniy rohimahulloh dalam “Al Mu’jamul Kabir” (5385) yang berkata: haddatsana Muhammad bin Utsman bin Abi Syaibah: tsana Dhiror bin Shord Abu Nu’aim Ath Thohhan: tsana Abdul ‘Aziz bin Muhammad: ‘an ‘Umaroh bin Ghuzayyah: ‘an Humaid bin Abish Shin’ah: ‘an Sa’d bin Ubadah:

أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال له: «يا سعد، ألا أدلك على صدقة يسيرة مؤنتها، عظيم أجرها؟» قال: بلى، قال: «تسقي الماء» ، فسقى سعد الماء.

“Bahwasanya Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam bertanya kepadanya: “Wahai Sa’d, maukah engkau aku tunjukkan pada shodaqoh yang bebannya mudah tapi pahalanya agung?” Sa’d menjawab: “Tentu.” Beliau bersabda: “Engkau memberikan minum.” Maka Sa’d memberikan minum.”

Akan tetapi di dalam sanadnya ada Dhiror bin Shord Abu Nu’aim Ath Thohhan. Yahya bin Ma’in berkata: “Di Khufah ada dua pendusta: Abu Nu’aim An Nakho’iy dan Abu Nu’aim Dhiror bin Shord.” Al Bukhoriy dan An Nasaiy berkata: “Dia matrukul hadits.” An Nasaiy pada kali yang lain berkata: “Dia tidak bisa dipercaya sama sekali.” Husain bin Muhammad Al Qubabiy berkata: “Para ahli hadits meninggalkan dia.” 

(“Tahdzibut Tahdzib”/4/hal. 456).

Dan datang juga hadits ini dalam Sunan Abi Dawud nomor (1681) tapi di dalamnya ada rowi mubham (yang tidak disebutkan namanya).

Dua jalur terakhir tadi tak bisa untuk pendukung.

Maka hukum hadits Sa’d adalah hasan lighoirih. Dan yang memperkuatnya juga adalah terkenalnya pengairan Sa’d bin Abi Waqqosh di Madinah yang dinamakan oleh Al Hasan Al Bashriy sebagai Shihrij. Dan dia adalah telaga yang ada di kebun “Al Mikhrof”.11:32

Dan yang memperkuatnya lagi adalah hadits Ibnu Abbas rodhiyallohu ‘anhuma:

أن سعد بن عبادة رضي الله عنه توفيت أمه وهو غائب عنها، فقال: يا رسول الله إن أمي توفيت
وأنا غائب عنها، أينفعها شيء إن تصدقت به عنها؟ قال: «نعم» ، قال: فإني أشهدك أن حائطيالمخراف صدقة عليها. (أخرجه البخاري (2756)).

“Bahwasanya Sa’d bin Uba dah rodhiyallohu ‘anh ibunya meninggal dalam keadaan dia tidak hadir di sisinya. Maka dia bertanya: “Wahai Rosululloh, sesungguhnya ibu saya meninggal dalam keadaan saya tidak hadir di sisinya. Maka apakah bermanfaat bagi beliau jika saya bershodaqoh atas nama beliau?” Nabi menjawab: “Iya.” Dia berkata: “Maka sungguh saya menjadikan Anda sebagai saksi bahwasanya kebun saya “Al Mikhrof” menjadi shodaqoh atas nama beliau.” 

(HR. Al Bukhoriy (2756)).

Al Munawiy rohimahulloh berkata: “Posisi yang menyebabkan pemberian minum tadi menjadi shodaqoh yang lebih utama daripada yang lainnya adalah jika keperluan orang-orang kepada air tadi amat besar, sebagaimana hal itu dominan di wilayah Hijaz karena sedikitnya air di situ. Dan semisal dengan itu pula jalan yang dilalui oleh jamaah haji. Dan yang semacam itu. Soalnya jika tidak demikian, semacam roti itu lebih utama daripada air, lebih-lebih lagi di masa kenaikan harga dan kelaparan.” 

(“Faidhul Qodir”/2/hal. 37).

╭─┅─═ঊঊঈ═─┅─╮ 

       SEBARKANLAH 
       ENGKAU AKAN 
       MENDAPATKAN 
           PAHALANYA 
╰─┅─═ঊঊঈ═─┅─╯ 

 🅹🅾🅸🅽 🅲🅷🅰🅽🅽🅴🅻 🆃🅴🅻🅴🅶🆁🅰🅼 

Kewajiban Adanya Mahrom Bagi wanita dalam Haji

Ditulis oleh Al Faqir Ilalloh:
Abu Fairuz Abdurrohman bin Soekojo Al Jawiy
Al Indonesiy –semoga Alloh memaafkannya-




بسم الله الرحمن الرحيم




Pembukaan


الحمد لله وأشهد أن لا إله إلا الله وأن محمدا عبده ورسوله صلى الله عليه وعلى آله وسلم أما بعد:

Telah datang surat dari seorang ikhwah yang mulia berisi pertanyaan kepada saya sebagai berikut: Apa hukum wanita berhaji tanpa mahrom yang ma’ruf semacam adik, anak, ayah dan sebagainya, hanya saja dia pergi bersama seorang lelaki yang ditunjuk sebagai mahrom sementara oleh pemerintah? Jika terlarang maka apa dalilnya?

Maka dengan memohon pertolongan pada Alloh, saya menjawab:

Sesungguhnya Alloh ta’ala telah mengatur agama ini secara sempurna demi kemaslahatan para hamba-Nya, dan menetapkan siapakah mahrom para wanita demi keselamatan jiwa dan terjaganya kehormatan mereka sendiri.

Dan Alloh melalui lisan Rosul-Nya shollallohu ‘alaihi wasallam melarang wanita safar tanpa mahrom.

Dari Abu Huroiroh rodhiyallohu ‘anhu: dari Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam yang bersabda:

«لا يحل لإمرأة تؤمن بالله واليوم الآخر تسافر مسيرة يوم وليلة إلا مع ذي محرم».

“Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman pada Alloh dan Hari Akhir untuk safar (pergi jauh) sejarak perjalanan sehari semalam kecuali bersama mahromnya.” 

(HR. Al Bukhoriy (1088) dan Muslim (1339)).

Al Imam Abul Walid Al Bajiy rohimahulloh berkata: “Sabda beliau shollallohu ‘alaihi wasallam: “Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman pada Alloh dan Hari Akhir” itu mengandung makna yang keras. Nabi menginginkan bahwasanya penyelisihan terhadap hukum ini bukanlah termasuk amalan orang yang beriman pada Alloh dan takut pada hukuman-Nya di Akhirat. Dan Sabda beliau shollallohu ‘alaihi wasallam: “untuk safar (pergi jauh) sejarak perjalanan sehari semalam kecuali bersama mahromnya.” Beliau menginginkan –wallohu a’lam- karena wanita itu fitnah. Dan kesendiriannya itu adalah sebab terjadinya perkara yang terlarang, karena setan itu akan mendapatkan jalan dengan kesendiriannya tadi untuk menyesatkan orang dengan perempuan tadi dan mengajak orang mendekati perempuan tadi.

Dan sabda shollallohu ‘alaihi wasallam: “kecuali bersama mahromnya.” Mengandung dua makna: 

yang pertama: tidak boleh wanita itu safar dengan jarak tadi bersama satu orang, kecuali jika orang itu punya tali kemahroman dengannya, karena mahrom itu dianggap terpercaya.

Makna yang kedua: tidak boleh wanita itu menyendiri dalam safar semacam ini tanpa ditemani orang yang punya tali kemahroman dengannya, karena mahromnya tadi akan menjaganya, dan berupaya melindunginya karena telah dicetak dalam tabiat kebanyakan manusia kecemburuan terhadap mahrom mereka dan upaya untuk menjaga mahrom-mahrom mereka.”

(selesai dari “Al Muntaqo Syarhil Muwaththo”/4/hal. 434).

Maka adanya mahrom bagi wanita itu kewajiban dari Alloh melalui lisan Rosul-Nya shollallohu alaihi wasallam jika mereka safar.

Al Imam An Nawawiy rohimahulloh berkata: “Kesimpulannya adalah: bahwasanya setiap perjalannya yang bernama SAFAR, wanita dilarang untuk menjalankannya tanpa suami atau mahrom. Sama saja apa itu tiga hari atau dua hari atau sehari atau satu BARID atau yang lainnya, berdasarkan riwayat Ibnu Abbas yang mutlak, dan itu adalah akhir riwayat Muslim yang lalu:

لا تسافر امرأة إلا مع ذي

“Tidak boleh wanita safar kecuali bersama mahrom.”

Dan ini mencakup seluruh perjalanan yang dinamakan sebagai SAFAR. Wallohu a’lam.”

(“Al Minhaj”/9/hal. 103-104).

Maka haji juga demikian, harus dengan mahrom, karena dia masuk dalam keumuman safar.
Dan yang memperkuat itu juga adalah hadits Ibnu Abbas rodhiyallohu ‘anhuma:

أنه: سمع النبي صلى الله عليه وسلم يقول: «لا يخلون رجل بامرأة، ولا تسافرن امرأة إلا ومعها محرم»، فقام رجل فقال: يا رسول الله، اكتتبت في غزوة كذا وكذا، وخرجت امرأتي حاجة، قال: «اذهب فحج مع امرأتك».

“Bahwasanya beliau mendengar Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam bersabda: “Jangan sekali-kali seorang lelaki menyendiri dengan seorang wanita. Dan jangan sekali-kali wanita safar kecuali dia disertai dengan mahrom.” Maka seseorang bangkit seraya berkata: “Wahai Rosululloh, saya telah ditetapkan untuk ikut perang demikian dan demikian. Sementara istri saya keluar untuk berjadi.” Maka beliau bersabda: “Pergilah lalu berhajilah bersama istrimu.” 

(HR. Al Bukhoriy (3006) dan Muslim (1341)).

Shohabiy ini telah ditetapkan untuk ikut dalam perang tersebut, sehingga jadilah hal itu wajib ‘ainiy terhadapnya. Sekalipun demikian Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam membatalkan kewajiban jihad dia agar dia menyertai haji sang istri. Maka ini menunjukkan amat kuatnya kewajiban adanya mahrom yang menyertai wanita di dalam haji.

Dan ini adalah fatwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam “Syarh Umdatul Ahkam” (2/hal. 174-177).

Ini juga fatwa Al Qodhiy Badrud Din Al ‘Ainiy rohimahulloh dalam “Umdatul Qori” (10/hal. 221-222).

Ini juga Fatwa Al Imam Ibnu Utsaimin rohimahulloh dalam “Majmu’ Fatawa Wa Rosail” (24/hal. 258).

Ini juga Fatwa Al Imam Muhammad bin Isma’il Al Amir Ash Shon’aniy rohimahulloh dalam “Subulus Salam” (1/hal. 608).

Dan mahrom wanita itu telah Alloh tetapkan sebagaimana yang tersirat dalam firman Alloh ta’ala:

(حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالَاتُكُمْ وَبَنَاتُ الْأَخِ وَبَنَاتُ الْأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلَابِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا } [النساء: 23]

“Diharomkan terhadap kalian (menikahi) ibu-ibu kalian, anak-anak perempuan kalian, dan para saudari kalian, dan para bibi kalian yang dari ayah kalian, dan para bibi kalian yang dari ibu kalian, anak-anak perempuan saudara-saudara lelaki kalian, anak-anak perempuan saudara-saudara perempuan kalian, dan ibu-ibu kalian yang menyusui kalian, dan saudari-saudari sesusuan kalian, ibu dari istri-istri kalian, dan anak-anak perempuan yang ada di rumah-rumah kalian dari istri-istri kalian yang kalian telah menggaulinya (menggauli istri kalian). Jika kalian belum menggauli istri kalian tadi maka tidak mengapa kalian menikahi anak-anak perempuan mereka. Dan harom pula bagi kalian (menikahi) istri-istri anak-anak kandung kalian, dan harom bagi kalian mengumpulkan dua saudari (dalam satu ikatan perkawinan), kecuali perkara yang telah lewat. Sesungguhnya Alloh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” 

(QS. An Nisa: 23).

Maka mahrom seorang wanita di antaranya adalah: anak kandungnya, ayah kandungnya, saudara lelakinya, keponakannya dari pihak saudaranya, dan keponakannya dari pihak saudarinya, paman dari pihak ayah, paman dari pihak ibu, saudara sesusuan, suami dari anaknya, suami dari ibunya jika suami tadi telah menggauli ibunya. Yang termasuk dari mahrom adalah ayah suami.

Termasuk mahrom juga adalah: ayah sesusuan dan paman sesusuan.
Itu semua adalah mahrom abadi, selamanya tak boleh dinikahi.

Adapun mahrom sementara adalah: saudara suami (yaitu ipar). Tak boleh istri menikah dengan ipar selama sang suami masih hidup. Sekalipun ipar adalah mahrom juga, tapi harom untuk istri berduaan dengan ipar karena fitnahnya amat besar. Demikian pula suami bibi.

Dan mahrom yang dimaksudkan dalam safar adalah mahrom abadi, bukan mahrom sementara waktu yang secara umum di suatu saat bisa timbul syahwat untuk menikahi wanita itu.

Dari Uqbah bin Amir rodhiyallohu ‘anh:

أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: «إياكم والدخول على النساء» فقال رجل من الأنصار: يا رسول الله، أفرأيت الحمو؟ قال: «الحمو الموت». (أخرجه البخاري (5232) ومسلم (2172)).

“bahwasanya Rosululloh shollallohu ‘alaihi waalihi wasallam bersabda: “Hindarilah oleh kalian masuk ke tempat para wanita.” Maka seorang dari Anshor berkata: Wahai Rosululloh, bagaimana pendapat Anda tentang Al Hamu (kerabat suami)? Maka beliau menjawab: “Al Hamu adalah kematian.” 

(HR. Al Bukhoriy (5232) dan Muslim (2172)).

Dari Usamah bin Zaid rodhiyallohu ‘anhuma: dari Nabi shollallohu ‘alaihi waalihi wasallam bersabda:

«ما تركت بعدي فتنة أضر على الرجال من النساء».

“Tidaklah aku tinggalkan sepeninggalku fitnah yang lebih berbahaya terhadap para pria daripada para wanita.” 

(HR. Al Bukhoriy (5096) dan Muslim (2740)).

Seorang penyair berkata:

لا يأمنن على النساء أخ أخا ... ما في الرجال على النساء أمين
إن الأمين وإن تحفظ جهده ... لا بد أن بنظرة سيخون

“Janganlah sekali-sekali seorang saudara mempercayakan para wanita pada saudaranya. Tidak orang dari kalangan lelaki yang bisa dipercaya terhadap para wanita. Sesungguhnya orang yang terpercaya itu sekalipun dirinya berusaha menjaga diri sekuat tenaga, dia pasti akan berkhianat dengan mencuri pandang.”

(sebagaimana dalam kitab “Al Furu’ Wa Tashhihul Furu’”/Al Mardawiy/8/hal. 382).

Tentu saja para Nabi dan shiddiqun bisa dipercaya, akan tetapi sang penyair berbicara atas nama keumuman manusia yang memang fithrohnya adalah condong pada wanita. Dan hukum itu dibangun di atas kondisi yang dominan.

Al Imam ibnul Qoyyim rohimahulloh berkata: “Dan hukum-hukum itu hanyalah berlaku pada kondisi yang dominan yang banyak. Sementara perkara yang jarang terjadi itu dihukumi bagaikan tidak ada.” 

(“Zadul Ma’ad”/5/hal. 378/cet. Ar Risalah).

Maka mahrom wanita dalam safar adalah mahrom yang abadi, bukan mahrom sementara.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rohimahulloh berkata tentang penjelasan hadits mahrom dalam safar: “Dia itu adalah suaminya dan orang yang harom selamanya untuk menikah dengan wanita tadi, dengan sebab nasab atau dengan sebab mubah yang lain (susuan atau perbesanan).” 

(“Syarhu ‘Umdatil Fiqh”/Ibnu Taimiyyah/2/hal. 180).

Al Imam Ibnu Utsaimin rohimahulloh berkata: “Harom bagi wanita untuk safar tanpa mahrom di dalam pesawat, atau mobil, atau onta, atau keledai, atau kaki, semua itu harom. Dan mahrom itu adalah orang yang harom untuk menikahi wanita tadi dengan pengharoman abadi, dengan sebab nasab atau perbesanan atau persusuan.” 

(“Syarh Riyadhish Sholihin”/4/hal. 629).

Jika mahrom sementara yang ditetapkan dalam syariat saja tidak boleh untuk menjadi mahrom dalam safar, maka bagaimana dengan pria asing, bukan mahrom bagi wanita itu secara syar’iy? Tentu saja lebih pantas untuk dia tidak sah menjadi mahrom dalam safar bagi wanita tadi.

Ini adalah jawaban yang amat singkat. Selebihnya bisa dilihat dalam “At Tuhfatul Maliziyyah Bi Buhutsil Masailisy Syar’iyyah”

Selesai.

والله تعالى أعلم بالصواب، والحمد لله رب العالمين.

Malaysia, 23 Sya’ban 1436 H.

╭─┅─═ঊঊঈ═─┅─╮ 

       SEBARKANLAH 
       ENGKAU AKAN 
       MENDAPATKAN 
           PAHALANYA 
╰─┅─═ঊঊঈ═─┅─╯ 

 🅹🅾🅸🅽 🅲🅷🅰🅽🅽🅴🅻 🆃🅴🅻🅴🅶🆁🅰🅼 

_*NASEHAT UNTUK SEKIRANYA TIDAK MEMONDOKKAN ANAK SEBELUM MENCAPAI BALIGH*_

_*Telah Di Periksa Oleh Asy-Syaikh Abu Fairuz Abdurrohman Bin Soekojo Al Indonesiy حفظه الله تعالى*_                بِسْمِ اللّهِ الرَّحْمَن...