Surat Mungil Tentang Hukum Memukul Anak Kecil

Pertanyaan: Apa hukum mendidik anak kecil yang berusia Antara dua tahun hingga mendekati tujuh tahun dengan cara banyak memukulinya atau memukulinya dengan keras?

Ditulis oleh :

Abu Fairuz Abdurrahman bin Soekojo Al-Qudsy Al-Jawy hafidzahullaoh

Jawaban dengan memohon pertolongan pada Alloh semata:
Ini perlu penjabaran yang cukup. Dan saya dengan taufiq dari Alloh semata membahas masalah itu dalam tulisan khusus. Akan tetapi dalam kesempatan yang amat terbatas ini akan saya jawab sebagai berikut:
Sesungguhnya pemukulan memang salah satu metode yang penting dalam pendidikan, akan tetapi dia bukan diletakkan di awal, tapi dia ada di bagian akhir.
Alloh ta’ala berfirman:

﴿ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ﴾ [النحل: 125]

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah, dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” 

Al Imam Ibnul Qoyyim رحمه الله berkata: “Alloh Yang Mahasuci menjadikan tingkatan-tingkatan dakwah sesuai dengan tingkatan makhluk. Maka orang yang menerima dan menyambut kebenaran, yang cerdas, yang tidak membangkang terhadap kebenaran, mempedulikannya, dia itu diseru dengan cara hikmah (menyebutkan dalil-dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah). Orang yang menerima tapi pada dirinya ada semacam kelalaian dan keterlambatan, dia diseru dengan pelajaran yang baik, yaitu perintah dan larangan yang diiringi dengan roghbah (janji pahala dan keutamaan) dan rohbah (ancaman hukuman dan kerugian). Orang yang membangkang dan menentang, diajak berdebat dengan cara yang lebih baik. Inilah yang benar tentang makna ayat ini.” (“Miftah Daris Sa’adah”/1/hal. 153). 
Dan terkadang sebagian orang tidak tersadar kecuali dengan semacam sikap keras, maka metode ini tidak boleh diingkari karena jelasnya dalil-dalil tentang itu, dan langkah tadi tidak menunjukkan kecilnya rohmat pelaksananya sebagaimana yang diduga oleh Al Wushobiy. Dari Anas رضي الله عنه :

أن النبي صلى الله عليه وسلم رأى رجلا يسوق بدنة فقال: «اركبها» قال: إنها بدنة. قال: «اركبها» قال: إنها بدنة. قال: «اركبها ويلك». (أخرجه البخاري (6159) ومسلم (1322)).

“Bahwasanya Nabi صلى الله عليه وسلم melihat seseorang menggiring badanah (binatang untuk disembelih dalam haji). Maka beliau bersabda: “Naikilah dia.” Maka dia berkata: “Dia itu badanah.” beliau bersabda: “Naikilah dia.” Maka dia berkata: “Dia itu badanah.” beliau bersabda: “Naikilah dia, celaka kamu.” (HR. Al Bukhoriy (6159) dan Muslim (1322)).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah رحمه الله berkata: “… dan hanyalah perkara ini termasuk dalam kemaslahatan-kemaslahatan kaum mukminin yang dengannya Alloh memperbaiki sebagian dari mereka dengan sebagian yang lain, karena sesungguhnya mukmin yang satu bagi mukmin yang lain adalah bagaikan dua tangan, yang satu mencuci yang lain. Dan terkadang kotoran tidak lepas kecuali dengan semacam kekasaran, akan tetapi yang demikian itu akan menghasilkan kebersihan dan kelembutan yang dengannya kekasaran tadi dipuji.” (“Majmu’ul Fatawa”/28/hal. 53-54).
Alloh ta’ala berfirman:

{وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا } [النساء: 34]

“Dan para wanita yang kalian khawatirkan kedurhakaan mereka, maka nasihatilah mereka, dan tinggalkanlah mereka di tempat-tempat tidur, dan pukullah mereka. Maka jika mereka menaati kalian, maka janganlah kalian mencari jalan untuk menyakiti mereka. Sesungguhnya Alloh Mahatinggi dan Mahabesar.”

Kemudian sesungguhnya manusia itu terdiri dari jiwa dan raga. Maka usahakan untuk tidak memukul anak sebelum akal mereka cukup untuk memahami arti pukulan, dan sebelum badan mereka cukup kuat untuk memikul beban pukulan tadi.
Dan secara kebanyakan –bukan pembatasan yang baku-, anak sebelum usia sepuluh tahun belum begitu memahami makna pukulan, maka Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam menyebutkan pendidikan dengan cara pukulan itu pada usia anak sepuluh tahun.
Nabi shollallohu ‘alaihi waalihi wasallam bersabda:

«مروا أبناءكم بالصلاة لسبع واضربوهم عليها لعشر وفرقوا بينهم في المضاجع»،

“Perintahkanlah anak-anak kalian untuk sholat ketika mereka berusia tujuh tahun, dan pukullah mereka dalam rangka itu ketika mereka berusia sepuluh tahun dan pisahkanlah di antara mereka pada tempat-tempat tidur mereka.” [Itu adalah riwayat Al Imam Ahmad (6689) dan Abu Dawud (495) dari Abdulloh bin Amr ibnil ‘Ash رضي الله عنهما dengan sanad hasan].

Maka usahakan jangan memukul anak sebelum mereka berusia sepuluh tahun. Akan tetapi jika memang amat susah diatur setelah dinasihati dengan lembut dan telah diberi hardikan dan ancaman, ternyata anak itu membandel, dan dilihat bahwasanya anak tadi akalnya telah mulai memahami arti pukulan, dengan badan yang bisa memikul pukulan yang ringan, boleh orang tua atau pendidik untuk memberikan pukulan yang ringan dan tidak berbekas di badannya dan tidak mendatangkan efek yang membahayakan, sekalipun anak tadi belum berusia sepuluh tahun.

Hadits tadi adalah gambaran umum dan bukan pembatasan yang baku untuk setiap anak.
Al Imam Ibnu ‘Utsaimin rohimahulloh berkata: “Mumayyiz adalah anak yang mencapai usia tujuh tahun sampai usia baligh. Dia dinamakan sebagai Mumayyiz karena dia bisa membedakan, sehingga bisa memahami ucapan dan bisa menjawab pertanyaan. Sebagian ulama berkata: “Sesungguhnya (gelar) Mumayyiz itu tidak terikat dengan usia, dia cuma terikat dengan sifat.”
Yang mengatakan bahwasanya Mumayyiz itu terikat dengan usia, mereka berdalilkan dengan sabda Nabi shollallohu ‘alaihi waalihi wasallam:

«مروا أبناءكم بالصلاة لسبع واضربوهم عليها لعشر»،

“Perintahkanlah anak-anak kalian untuk sholat ketika mereka berusia tujuh tahun, dan pukullah mereka dalam rangka itu ketika mereka berusia sepuluh tahun.”

Nabi menjadikan tujuh tahun sebagai awal usia diperintahnya seorang anak kecil. Dan ini menunjukkan bahwasanya sebelum usia tadi, tidak sah kita mengarahkan perintah pada anak kecil. Bisa dikatakan: karena anak usia tadi tidak memahami perintah, dan bisa juga dikatakan: karena anak usia tadi tidak bisa memikul perintah.
Maka jika kita berpendapat dengan alasan pertama, jadilah usia tujuh tahun itu sebagai batasan Tamyiz. Tapi jika kita berpendapat dengan yang kedua, maka usia tujuh tahun itu bukanlah batasan Tamyiz.
Yang mengatakan bahwasanya Mumayyiz itu terikat dengan sifat, mereka mengatakan: “Karena kalimat “Mumayyiz” itu isim fa’il dari “Tamyiz”. Jika dia itu suatu pecahan dari kalimat tadi, jika makna tamyiz (kemampuan membedakan) itu ada pada seorang anak kecil, sifat Mumayyiz tadi telah tetap ada padanya. Maka mumayyiz adalah anak yang memahami pembicaraan dan bisa menjawab pertanyaan. Akan tetapi usia tujuh tahun itu adalah batasan yang umum. Dan yang dimaksudkan dengan memahami makna adalah: jika engkau meminta dia mendatangkan sesuatu, -seperti air misalkan- dia pergi dan mendatangkan air itu untukmu.”
(selesai dari “Asy Syarhul Mumti’”/2/hal. 71-72).

Akan tetapi kita harus waspada dan hati-hati karena masalah memukul ini masalah yang berbahaya, karena bermudah-mudah untuk memukul anak-anak sebelum mereka memiliki kekuatan pemahaman dan kemampuan badan untuk memikul pukulan, itu berbahaya sekarang atau di masa yang akan datang.
Al Imam Asy syinqithiy rohimahulloh berkata: “Dan ini menunjukkan apa yang kami sebutkan bahwasanya orang-orang yang bijaksana dan berakal telah bersepakat: bahwasanya memulai pendidikan dengan metode pemukulan itu akan membikin perasaan menjadi bodoh, dan membunuh makna-makna kejiwaan yang tinggi yang mestinya jiwa tadi membawa kepada keutamaan dan menjauhi perkara-perkara yang rendah. Maka ayah harus memperdalam kepercayaan dan menggerakkan pengetahuan pada diri anak-anak yang lelaki dan yang perempuan, sampai jika mereka mencapai baligh mereka sanggup dengan diri mereka sendiri untuk mengetahui banyak perkara secara mentap, perkara yang baik mereka terima, perkara yang buruk mereka tinggalkan. Dan ini lebih selama dan lebih bijaksana. Dan itulah yang wajib dipegang oleh seorang ayah.
Dibangun di atas perkara tersebut, mereka bersepakat bahwasanya seharusnya sang ayah memulai pada awalnya dengan pengarahan. Dan pengarahan pada perkara-perkara penyempurna itu tidak mengharuskan adanya hukuman (jika dilanggar), maka ayah jangan membawa sang anak pada perkara penyempurna secara paksaan, karena Alloh tidaklah mewajibkan perkara yang demikian itu pada para mukallafin (orang-orang yang telah terbebani), lebih-lebih pada orang-orang yang tidak terbebani.
Dan dari sini sang ayah memberikan pengarahan pertama kali, lalu diberikan pengarahan pada perkara yang bukan penyempurna, yaitu perkara-perkara yang wajib, sang ayah memerintahkan mereka untuk menjalankan yang wajib-wajib, melarang mereka dari yang harom-harom. Pengarahan itu mencakup perintah untuk taat pada Alloh dan larangan dari mendurhakai Alloh.
Jika ternyata pengarahan tadi tidak ditaati, sang ayah berpindah ke tahapan peringatan, mengingatkan anak dan berkata: “Kalau engkau tidak menjalankan perintah, aku akan menghukummu”, “Kalau engkau tidak menjalankan perintah, aku akan berbuat sesuatu padamu”. Dan ini paling utama. Sang ayah membikin batas waktu dalam peringatan yang mengandung ancaman hukuman tadi, dan membiasakan sang anak untuk mengetahui bahwasanya peringatan tadi berlangsung sekali atau dua kali, lalu pada kali yang ketiga jika sang ayah memberikan peringatan, sang ayah menjalankan ancamannya tadi dan tidak menundanya, karena jika sang ayah mengancam untuk memukul atau menghukum sementara sang anak melakukan penyelisihan, jika sang ayah memaafkannya, jiwa sang anak akan terbiasa untuk tidak peduli dengan peringatan dan terbiasa untuk menyepelekannya, sehingga jadilah dia menjadi jiwa yang meremehkan peringatan. Akan tetapi jika sang ayah membiasakannya dengan peringatan pada kali pertama, lalu peringatan pada kali yang kedua, jika dia melihat adanya kemaslahatan untuk bersabar sampai kali yang ketiga dia boleh bersabar. Jika tidak, boleh dia menimpakan hukuman pada fase ketiga.

Perkara yang ketiga: jika sang ayah ingin menimpakan hukuman, hendaknya dia menghukum anak tadi dalam bentuk yang masih membawa akhlaq yang mulia agar anak menjalankan perkara-perkara yang terpuji dan meninggalkan perkara-perkara yang tercela tanpa pemaksaan dan tanpa berlebihan dalam menghukum, karena sikap berlebihan dalam menghukum itu akan berpengaruh pada kejiwaan sang anak. Anak-anak kecil yang lelaki ataupun perempuan itu seperti yang telah kami sebutkan. Maka hukuman itu harus bisa dipahami oleh akal. Karena itulah maka Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam melarang memukul wajah, menampar muka, dan juga beliau melarang pukulan yang melukai ketika mendidik wanita.

Dan ini adalah dasar yang disyariatkan: anak itu dihukum dengan tahapan semacam tadi, dan terkadang perkaranya berakhir pada suatu hukuman, dan itu adalah tahapan yang terakhir. Maka kami ingin mengingatkan masalah ini, karena sebagian orang dengan semata-mata mendengar bahwasanya sang ayah boleh memukul anaknya, maka dia langsung saja memukul anaknya. Harus ada perincian. Oleh karena itulah maka Alloh ta’ala berfirman:

{فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ} [النساء:34] ،

“Maka nasihatilah mereka, dan tinggalkanlah mereka di tempat-tempat tidur, dan pukullah mereka.”

Alloh menyebutkan tiga tingkatan: nasihat dan peringatan dengan nama Alloh ‘Azza wajalla, lalu hajer (boikot atau peninggalan) di atas pembaringan. Dan hajer di atas pembaringan itu setara dengan menghentikan kebaikan pada anak-anak. Yaitu: jika ayah terbiasa membawa anak untuk rekreasi di akhir pecan, dan terbiasa membawa anak pergi ke tempat yang disukainya, lalu pada hari ini anak tidak mengerjakan kewajiban atau justru melakukan perkara yang diharomkan, ayahpun tidak mau lagi membawanya berrekreasi. Dan hal ini harus dijalankan dengan metode yang amat berhati-hati, yaitu dengan cara yang tidak menjadikan anak berputus asa dari kebaikanmu dan menjadi tumpul perasaan.

Bahkan engkau harus menjadi orang yang bijaksana. Dan ketahuilah dengan ilmu yakin, bahwasanya sebanyak apapun akal dan bashiroh (pengetahuan) yang diberikan padamu, engkau tak akan bisa mendidik, dan engkau tak akan bisa mengajar selama engkau tidak diberi taufiq oleh Robbmu.
Maka seluruh perkara ini ada di tangan Alloh ‘Azza wajalla, sebagaimana firman Alloh ta’ala:

{وَمَا تَوْفِيقِي إِلَّا بِالله} [هود:88]

“Dan tiada taufiq padaku kecuali dengan pertolongan Alloh.”

Maka barangsiapa merasa amat perlu pada Robbnya, Robbnya akan memberinya kecukupan dan meluruskannya.”
(selesai dari “Syarh Zadil Mustaqni’”/Asy Syinqithiy/2/hal. 360).
Sampai di sini dulu, penjabaran yang lebih panjang ada dalam risalah tersendiri.

والله تعالى أعلم، والحمد لله رب العالمين

sumber: https://thaifahalmanshurah.wordpress.com/

╭─┅─═ঊঊঈ═─┅─╮ 

       SEBARKANLAH 
       ENGKAU AKAN 
       MENDAPATKAN 
           PAHALANYA 
╰─┅─═ঊঊঈ═─┅─╯ 

 🅹🅾🅸🅽 🅲🅷🅰🅽🅽🅴🅻 🆃🅴🅻🅴🅶🆁🅰🅼 




Berhutang Atau Berniaga Lebih Baik Daripada Meminta-minta

Berhutang Atau Berniaga
Lebih Baik Daripada Meminta-minta



Ditulis oleh:
Abu Fairuz Abdurrohman Al Qudsy Al Jawy Al Indonesy
-semoga Alloh memaafkannya-




بسم الله الرحمن الرحيم

Pengantar Penulis


الحمد لله وأشهد أن لا إله إلا الله وأن محمدا عبده ورسوله صلى الله عليه وآله وصحبه وسلم أما بعد:

Sesungguhnya saya telah mendengar sebagian orang yang menisbatkan dirinya kepada Dakwah Salafiyyah, akan tetapi dirinya tidak malu-malu mengemis dan mengintai harta orang lain.

Sebagian alasan mereka adalah: “Jika kita tidak membuat yayasan untuk mengumpulkan dana bantuan masyarakat, dapur kita tidak akan mengepulkan asap.”

Sebagian dari mereka berkata: 

“Jika kita tidak membuat yayasan, kita nanti akan makan apa?”

Demikianlah kondisi mereka itu, yang menjadikan dakwah bukan sebagai ladang Akhirat, tapi justru menjadi mata pencaharian duniawi. Maka mereka itu bukanlah da’iy ke jalan Alloh, mereka sebenarnya adalah para pemburu dunia dengan bertopeng agama dan dakwah.

Al Imam Muqbil Al Wadi’iy –rohimahulloh- berkata:

ويالله كم من داعية كبير تراه يحفظ الآيات التي فيها ترغيب في الصدقة، وينتقل من هذا المسجد إلى هذا المسجد: ﴿وما تقدّموا لأنفسكم من خير تجدوه عند الله هو خيرًا وأعظم أجرًا﴾. وانقلب المسكين من داعية إلى شحاذ، وصدق الرسول صلى الله عليه وعلى آله وسلم إذ يقول: ((لكلّ أمّة فتنةً، وفتنة أمّتي المال)).

“Ya Alloh, alangkah banyaknya da’i besar yang menghapal ayat-ayat yang mengandung penyemangatan untuk bershodaqoh, dia pindah dari masjid ini ke masjid itu, membacakan: “Dan kebaikan apapun yang kalian lakukan untuk diri kalian sendiri, kalian akan mendapatkannya di sisi Alloh dengan yang lebih baik dan lebih besar pahalanya.” Dan berbaliklah si miskin ini dari posisi da’i kepada posisi pengemis. Sungguh benar Rosululloh –shollallohu 'alaihi wa alihi wasallam- ketika bersabda: “Setiap umat itu punya fitnah, dan fitnah umatku adalah harta.” 

(“Dzammul Mas’alah”/hal. 218).


Maka dengan memohon pertolongan pada Alloh saya mengingatkan diri saya sendiri dan mereka dengan beberapa firman Alloh dan sabda Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam dan bimbingan para ulama.


Bab Satu: Para Nabi shollallohu ‘alaihim wasallam Tidak Meminta-minta


Jika kita mengaku sebagai pengikut para Nabi, hendaknya kita konsekuen dengan itu dan tidak mencemarkan keagungan dakwah para Nabi dengan mengemis.

Sebagaimana ucapan Nuh عليه السلام:

﴿وما أسألكم عليه من أجر إن أجري إلا على رب العالمين﴾ [ الشعراء : 109 ] ،

“Dan tidaklah aku minta pada kalian upah sedikitpun dari dakwahku. Tidaklah upahku kecuali dalam tanggungan Robbil alamin.”

Demikian pula Hud, Sholih, Syu’aib, Luth dan yang lainnya. Demikian pula Penutup para Rosul:

﴿قل ما أسألكم عليه من أجر وما أنا من المتكلفين﴾ [ ص : 86 ] ،

“Katakanlah: tidaklah aku minta pada kalian upah sedikitpun dari dakwahku. Dan bukanlah aku termasuk orang yang memberat-beratkan diri.”

Dan berfirman berkata:

﴿قل ما أسألكم عليه من أجر إلا من شاء أن يتخذ إلى ربه سبيلا﴾ [ الفرقان : 57 ] .

“Katakanlah: tidaklah aku minta pada kalian upah sedikitpun dari dakwahku. Akan tetapi orang yang ingin mengambil jalan kepada Robbnya (dengan berinfaq di jalan Alloh, silakan berinfaq).”

Alloh ta’ala berfirman:

﴿قُلْ لَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا إِلَّا الْمَوَدَّةَ فِي الْقُرْبَى﴾ [الشورى: 23].

“Katakanlah: tidaklah aku minta pada kalian upah dari dakwahku. Aku hanya minta kasih sayang dalam kekerabatan.”

Al Imam Muhammad bin Ali Al Qoshshob رحمه الله berkata: 

“Dan firman Alloh ta’ala: “Katakanlah: tidaklah aku minta pada kalian upah dari dakwahku. Aku hanya minta kasih sayang dalam kekerabatan” merupakan dalil bahwasanya di dalam karakter manusia itu ada ketidaksukaan pada petuah yang datang dari orang yang mengambil dinar dan dirham, dan bahwasanya menjaga kehormatan dari dinar dan dirham itu terpuji di mata orang-orang di zaman jahiliyyah, bagi orang yang zuhud terhadap dinar dan dirham, dan orang yang bersegera mengambil dinar dan dirham itu martabatnya rendah.

Maka Alloh memerintahkan Rosul-Nya صلى الله عليه وسلم untuk mengumumkan pensucian diri kepada para makhluk yang diberi peringatan, mensucikan diri dari mengambil upah harta atas dakwah beliau, yang mendakwahkan Kitabulloh dan agama-Nya yang Dia syariatkan kepada para hamba-Nya, agar dakwah beliau itu murni kepada Alloh جل وتعالى , bersih tidak tercampurkan dengan kecondongan pada dunia, karena dunia itu akan merendahkan pencarinya dan orang-orang yang condong kepadanya, merendahkan mereka dari martabah-martabat kemuliaan dan derajat-derajat hamba yang didekatkan. 

Dan dengan itu Alloh mengabarkan kisah para Rosul yang telah berlalu sebelum beliau di dalam surat Asy Syu’aro dan lainnya dengan firman-Nyaعليه السلام:

﴿وما أسألكم عليه من أجر إن أجري إلا على رب العالمين﴾ [ الشعراء : 109 ] ،

“Dan tidaklah aku minta pada kalian upah sedikitpun dari dakwahku. Tidaklah upahku kecuali dalam tanggungan Robbil alamin.”

Dan seterusnya.

(“Nukatul Qur’an”/4/hal. 98-99/cet. Dar Ibnil Qoyyim).

Seakan-akan ciri khas ini –tidak minta upah- telah melekat di dalam dakwah para Nabi dan Rosul, dan menjadi alasan yang mendorong orang-orang berakal untuk menerimanya. Alloh ta’ala berfirman:

َجَاءَ مِنْ أَقْصَى الْمَدِينَةِ رَجُلٌ يَسْعَى قَالَ يَا قَوْمِ اتَّبِعُوا الْمُرْسَلِينَ * اتَّبِعُوا مَنْ لَا يَسْأَلُكُمْ أَجْرًا وَهُمْ مُهْتَدُونَ [يس : 20 ، 21]

“Dan datanglah seorang pria dari ujung kota itu dengan bergegas seraya berkata: Wahai kaum, ikutilah para utusan itu. Ikutilah orang yang tidak meminta upah, dan mereka itu mendapatkan petunjuk.” 

(QS. Yasin: 20-21).


Wahai saudara-saudaraku, inilah jalan para Nabi jika kita ingin mendapatkan keutamaan yang lebih tinggi.

Apakah mereka pura-pura lupa dengan dalil-dalil di atas, yang menunjukkan bahwasanya dakwah yang diiringi dengan mengemis itu menyelisihi jalan Rosululloh –shollallohu 'alaihi wasallam-? Anas bin Malik -rodhiyallohu 'anhu- menyebutkan kisah pembangunan masjid Nabawy:

وأنه أمر ببناء المسجد فأرسل إلى ملأ من بني النجار فقال: «يا بني النجار ثامنوني بحائطكم هذا». قالوا: لا والله لا نطلب ثمنه إلا إلى الله.

“… dan Rosululloh -shollallohu 'alaihi wasallam- memerintahkan untuk membangun masjid. Maka beliau mengirimkan utusan kepada Bani Najjar seraya berkata: “Wahai bani Najjar, kasih aku harga untuk kebun kalian ini.” Tapi mereka berkata,”Tidak, demi Alloh kami tidak meminta harganya kecuali kepada Alloh.” 

(HR. Al Bukhory dan Muslim).

Al Imam Al Wadi’iy rohimahulloh berkata:

وهكذا بناء المسجد لا يجوز أن يهين نفسه، ويهين العلم والدعوة، من أجل بناء مسجد، فالرسول صلى الله عليه وعلى آله وسلم لما أراد أن يبني مسجدًا قال: «يا بني النّجّار ثامنوني بحائطكم»، أي: من أجل أن يبني فيه مسجدًا، فقالوا: بل هو لله ولرسوله.
على أنه يمكن أن يبني مسجدًا من الطين واللبن بنحو مائة ألف ريال يمني، والوقت الذي تصرفه في المسألة، يمكن أن تصرفه في عمارة المسجد والعمل فيه ودعوة الناس إلى العمل بأيديهم. فالأموال التي تكون فيها إهانة للعلم وللدعاة إلى الله، أو دعوة إلى حزبية، أو جعل المساجد للشحاذة، فلسنا بحاجتها. ("ذم المسألة" ص217)

“Demikian pula dalam membangun masjid. Tidak boleh menghinakan diri, menghinakan ilmu dan dakwah demi membangun masjid. Rosul –shollallohu 'alaihi wa alihi wasallam- ketika ingin membangun masjid bersabda: “Wahai bani Najjar, kasih aku harga untuk kebun kalian ini.” Yaitu: beliau mau membangun masjid di situ. Tapi mereka berkata,”Tidak, justru kebun ini untuk Alloh dan Rosul-Nya.” 

Seseorang itu mungkin saja untuk membangun masjid dari tanah liat dan bata dengan dana sekitar seratus ribu real Yamaniy. Dan waktu yang dipakainya untuk meminta-minta bisa digunakannya untuk memakmurkan masjid, beramal di situ, dan mengajak orang untuk bekerja dengan tangan-tangan mereka. 

Harta yang di situ ada penghinaan terhadap ilmu dan dakwah ilalloh, atau dakwah kepada hizbiyyah, atau menggunakan masjid-masjid untuk mengemis, maka kami tidak membutuhkannya.” 

(“Dzammul Mas’alah”/hal. 217).

Kami amat memerlukan para da’iy yang setia pada manhaj Salaf, dan kami tidak perlu pada para pengekor hawa nafsu. Bagaimanakah kondisi Salaf kita?

Abul 'Aliyah -rahimahulloh- berkata:

عَنْ ثَوْبَانَ قَالَ وَكَانَ ثَوْبَانُ مَوْلَى رَسُولِ الله -صلى الله عليه وسلم- قَالَ قَالَ رَسُولُ الله -صلى الله عليه وسلم- « مَنْ تَكَفَّلَ لِى أَنْ لاَ يَسْأَلَ النَّاسَ شَيْئًا وَأَتَكَفَّلَ لَهُ بِالْجَنَّةِ ». فَقَالَ ثَوْبَانُ أَنَا. فَكَانَ لاَ يَسْأَلُ أَحَدًا شَيْئًا. (أخرجه أبو داود ج 5 / ص 195)

"Dari Tsauban –dan beliau adalah maula dari Rosululloh -shalallohu 'alaihi wa sallam—yang berkata: Rosululloh -shalallohu 'alaihi wa sallam- bersabda: "Siapakah menjamin kepadaku untuk tidak meminta pada manusia sedikitpun, dan aku menjamin untuknya dengan Jannah?" Maka Tsauban berkata,"Saya". Dan Tsauban tak pernah meminta kepada seorangpun sesuatu apapun." 

(HSR Abu Dawud/5/hal. 195 dan dishohihkan oleh Imam Al Wadi'y -rahimahulloh-)

'Auf bin Malik Al Asyja'iy rodhiyallohu 'anhu berkata:

كُنَّا عِنْدَ رَسُولِ الله -صلى الله عليه وسلم- تِسْعَةً أَوْ ثَمَانِيَةً أَوْ سَبْعَةً فَقَالَ: « أَلاَ تُبَايِعُونَ رَسُولَ الله » وَكُنَّا حَدِيثَ عَهْدٍ بِبَيْعَةٍ فَقُلْنَا: قَدْ بَايَعْنَاكَ يَا رَسُولَ الله. ثُمَّ قَالَ: «أَلاَ تُبَايِعُونَ رَسُولَ الله ». فَقُلْنَا: قَدْ بَايَعْنَاكَ يَا رَسُولَ الله. ثُمَّ قَالَ: «أَلاَ تُبَايِعُونَ رَسُولَ الله ». قَالَ: فَبَسَطْنَا أَيْدِيَنَا وَقُلْنَا قَدْ بَايَعْنَاكَ يَا رَسُولَ الله فَعَلاَمَ نُبَايِعُكَ قَالَ « عَلَى أَنْ تَعْبُدُوا الله وَلاَ تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَالصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ وَتُطِيعُوا - وَأَسَرَّ كَلِمَةً خَفِيَّةً - وَلاَ تَسْأَلُوا النَّاسَ شَيْئًا ». فَلَقَدْ رَأَيْتُ بَعْضَ أُولَئِكَ النَّفَرِ يَسْقُطُ سَوْطُ أَحَدِهِمْ فَمَا يَسْأَلُ أَحَدًا يُنَاوِلُهُ إِيَّاهُ .

"Kami pernah ada di sisi Rosululloh -shalallohu 'alaihi wa sallam-, sembilan, atau delapan atau tujuh orang. Maka beliau bersabda:"Berbai'atlah kalian kepada Rosululloh", padahal kami baru saja membai'at beliau. Maka kami berkata,"Kami telah membai'at Anda wahai Rosululloh." Lalu beliau bersabda:"Berbai'atlah kalian kepada Rosululloh". Maka kami berkata,"Kami telah membai'at Anda wahai Rosululloh." Lalu beliau bersabda:"Berbai'atlah kalian kepada Rosululloh". 

Maka kami mengulurkan tangan kami seraya berkata," Kami telah membai'at Anda wahai Rosululloh. Maka kami membai'at Anda untuk berbuat apa?" Beliau bersabda:"Agar kalian beribadah pada Alloh dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Dan untuk sholat lima waktu, dan agar kalian taat." 

Dan beliau berbicara dengan lirih: "Dan agar kalian tidak meminta pada manusia sedikitpun." Maka sungguh aku melihat sebagian dari rombongan tadi, cambuk dari salah seorang dari mereka terjatuh. Maka dia tidak meminta pada seorangpun untuk mengambilkannya untuknya." 

(HSR Muslim /1043)

Dari Ummud Darda' -rahimahalloh-, beliau berkata:

قال لي أبو الدرداء : لا تسألي الناس شيئا ، قالت : فقلت : فإن احتجت ؟ قال : فإن احتجت فتتبعي الحصادين فانظري ما سقط منهم فاخبطيه ثم اطحنيه ثم كليه، ولا تسألي الناس شيئا

"Abud Darda' –rodhiyallohu 'anhu – berkata padaku,"Janganlah engkau meminta pada manusia sedikitpun." Maka aku bertanya,"Kalau aku berhajat?" Beliau menjawab,"Jika engkau berhajat, maka ikutlah di belakang para tukang panen, lalu lihatlah apa yang berjatuhan dari bawaan mereka, lalu pungutlah ia, masaklah dan makanlah, dan jangan kau meminta pada manusia sedikitpun." 

("Az Zuhd"/2/291/ Imam Ahmad -rahimahulloh-, dan dishohihkan Syaikhuna Yahya Al Hajury - hafidzahulloh – di tahqiq "As Sunanul Kubro" Imam Al Bauhaqy -rahimahulloh-)




Bab Dua: Meminta-minta Tanpa Udzur Syar’iy Tidak Mendatangkan Keberkahan


Mu’awiyah -rodhiyallohu 'anhu- berkata: Aku mendengar Rosululloh –shollallohu 'alaihi wasallam- bersabda:

« إِنَّمَا أَنَا خَازِنٌ فَمَنْ أَعْطَيْتُهُ عَنْ طِيبِ نَفْسٍ فَيُبَارَكُ لَهُ فِيهِ وَمَنْ أَعْطَيْتُهُ عَنْ مَسْأَلَةٍ وَشَرَهٍ كَانَ كَالَّذِى يَأْكُلُ وَلاَ يَشْبَعُ ».

“Aku ini hanyalah penjaga harta. Barangsiapa aku beri harta tadi dengan senang hati, maka dia akan diberkahi dalam harta tadi. Tapi barangsiapa aku beri karena dirinya meminta dan rakus, maka dia itu bagaikan orang yang makan tapi tidak kenyang.” 

(HR. Muslim (1047)).

Hakim bin Hizam rodhiyallohu 'anhu berkata:

سَأَلْتُ رَسُولَ الله صلى الله عليه وسلم فَأَعْطَانِى، ثُمَّ سَأَلْتُهُ فَأَعْطَانِى ثُمَّ قَالَ لِى: « يَا حَكِيمُ ، إِنَّ هَذَا الْمَالَ خَضِرٌ حُلْوٌ، فَمَنْ أَخَذَهُ بِسَخَاوَةِ نَفْسٍ بُورِكَ لَهُ فِيهِ، وَمَنْ أَخَذَهُ بِإِشْرَافِ نَفْسٍ لَمْ يُبَارَكْ لَهُ فِيهِ، وَكَانَ كَالَّذِى يَأْكُلُ وَلاَ يَشْبَعُ، وَالْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى». قَالَ حَكِيمٌ فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ الله، وَالَّذِى بَعَثَكَ بِالْحَقِّ لاَ أَرْزَأُ أَحَدًا بَعْدَكَ شَيْئًا حَتَّى أُفَارِقَ الدُّنْيَا.

"Aku meminta pada Rosululloh -shalallohu 'alaihi wa sallam- maka beliau memberiku, lalu aku minta lagi padanya, maka beliau memberiku, lalu beliau bersabda padaku: "Wahai Hakim, sesungguhnya harta itu hijau dan manis. Barangsiapa mengambilnya dengan kedermawanan jiwa, dia akan diberi keberkahan padanya. Tapi barangsiapa mengambilnya dengan keinginan dan harapan jiwa, maka tak akan diberkahi untuknya. Seperti orang yang makan tapi tidak kenyang. Dan tangan di atas itu lebih baik daripada tangan di bawah." Maka aku berkata,"Wahai Rosululloh, Demi Dzat yang mengutusmu dengan kebenaran, saya tak akan lagi mengurangi harta orang setelah Anda dengan permintaan sedikitpun, sampai saya meninggalkan dunia. 

(HSR Al Bukhory (2750))

Imam Muhammad bin Sholih Al 'Utsaimin -rahimahulloh- berkata tentang sabda Nabi -shalallohu 'alaihi wa sallam-: (Tapi barangsiapa mengambilnya dengan keinginan dan harapan jiwa, maka tak akan diberkahi untuknya.) "Maka bagaimana dengan orang yang mengambilnya dengan cara meminta? Tentunya lebih jauh dan lebih jauh lagi dari keberkahan."

("Syarh Riyadhush Sholihin" di bawah no. 524).



Bab Tiga: Meminta-minta Tanpa Udzur Syar’iy Itu Termasuk Dosa Besar



Abu Huroiroh rodhiyallohu ‘anhu berkata: Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wasallam- bersabda:

« مَنْ سَأَلَ النَّاسَ أَمْوَالَهُمْ تَكَثُّرًا فَإِنَّمَا يَسْأَلُ جَمْرًا فَلْيَسْتَقِلَّ أَوْ لِيَسْتَكْثِرْ ».

“Barangsiapa meminta harta orang lain dalam rangka memperbanyak harta, maka dia itu sebenarnya hanyalah meminta bara api. Maka silakan menyedikitkan atau memperbanyak.” 

(HR. Al Bukhoriy (2047) dan Muslim (1041)).

Qobishoh bin Mukhoriq Al Hilaliy -rodhiyallohu 'anhu- berkata:

عَنْ قَبِيصَةَ بْنِ مُخَارِقٍ الْهِلاَلِىِّ قَالَ تَحَمَّلْتُ حَمَالَةً فَأَتَيْتُ رَسُولَ الله -صلى الله عليه وسلم- أَسْأَلُهُ فِيهَا فَقَالَ « أَقِمْ حَتَّى تَأْتِيَنَا الصَّدَقَةُ فَنَأْمُرَ لَكَ بِهَا ». قَالَ ثُمَّ قَالَ « يَا قَبِيصَةُ إِنَّ الْمَسْأَلَةَ لاَ تَحِلُّ إِلاَّ لأَحَدِ ثَلاَثَةٍ رَجُلٍ تَحَمَّلَ حَمَالَةً فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيبَهَا ثُمَّ يُمْسِكُ وَرَجُلٍ أَصَابَتْهُ جَائِحَةٌ اجْتَاحَتْ مَالَهُ فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيبَ قِوَامًا مِنْ عَيْشٍ - أَوْ قَالَ سِدَادًا مِنْ عَيْشٍ - وَرَجُلٍ أَصَابَتْهُ فَاقَةٌ حَتَّى يَقُول ثَلاَثَةٌ مِنْ ذَوِى الْحِجَا مِنْ قَوْمِهِ لَقَدْ أَصَابَتْ فُلاَنًا فَاقَةٌ فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيبَ قِوَامًا مِنْ عَيْشٍ - أَوْ قَالَ سِدَادًا مِنْ عَيْشٍ - فَمَا سِوَاهُنَّ مِنَ الْمَسْأَلَةِ يَا قَبِيصَةُ سُحْتًا يَأْكُلُهَا صَاحِبُهَا سُحْتًا ».

“Aku pernah memikul suatu tanggungan, maka kudatangi Rosululloh –shollallohu 'alaihi wasallam- untuk meminta beliau membantu melunasinya. Maka beliau bersabda: “Tinggallah di sini sampai datang shodaqoh, maka kami akan memerintahkan mereka untuk memberikannya padamu.” Lalu beliau bersabda: “Wahai Qobishoh, sesungguhnya meminta-minta itu tidak halal kecuali untuk salah satu dari tiga orang saja: Orang yang memikul suatu tanggungan, halal baginya meminta sampai bisa membayarnya, lalu dia berhenti dari minta-minta. Dan (yang kedua) orang yang tertimpa malapetaka yang menghabiskan hartanya, halal baginya minta-minta sampai bisa tegak hidupnya. Dan (yang ketiga) orang yang tertimpa kemiskinan sampai ada tiga orang berakal dari kaumnya berkata: “kemiskinan telah menimpa si Fulan.” Maka halal baginya minta-minta sampai bisa tegak hidupnya. Adapun minta-minta yang selain tiga jenis itu –wahai Qobishoh- dia itu adalah keharoman, pelakunya memakannya dengan harom.” 

(HR. Muslim (1044)).

Sahl Ibnul Handholiyyah rodhiyallohu 'anhu berkata:

َقَالَ رَسُولُ الله -صلى الله عليه وسلم- « مَنْ سَأَلَ وَعِنْدَهُ مَا يُغْنِيهِ فَإِنَّمَا يَسْتَكْثِرُ مِنَ النَّارِ ». –وفي رواية- « مِنْ جَمْرِ جَهَنَّمَ ». فَقَالُوا يَا رَسُولَ الله وَمَا يُغْنِيهِ –وفي رواية- وَمَا الْغِنَى الَّذِى لاَ تَنْبَغِى مَعَهُ الْمَسْأَلَةُ قَالَ « قَدْرُ مَا يُغَدِّيهِ وَيُعَشِّيهِ ». –وفي رواية- « أَنْ يَكُونَ لَهُ شِبَعُ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ أَوْ لَيْلَةٍ وَيَوْمٍ ».

Rosululloh -shalallohu 'alaihi wa sallam- bersabda: "Barangsiapa meminta-minta, dan di sisinya ada sesuatu yang telah mencukupinya, maka dia itu hanyalah sedang memperbanyak api." –dalam riwayat lain: "Dari api Jahannam" Maka mereka bertanya: "Wahai Rosululloh, apa itu sesuatu yang telah mencukupinya?" dalam riwayat lain: "Apa itu kekayaan yang dengan tidak diperbolehkan meminta-minta?" Beliau menjawab,"Sekadar makan siang, atau makan malam." dalam riwayat lain: "Yang bisa mengenyangkannya sehari semalam." 

(HR Abu Dawud (5/hal. 177) dan dishohihkan Al Imam Al Wadi'iy -rahimahulloh-).

عن رجل من بني أسد أنه سمع رسول الله -صلى الله عليه وسلم- قال: «مَنْ سَأَلَ مِنْكُمْ وَلَهُ أُوقِيَّةٌ أَوْ عَدْلُهَا فَقَدْ سَأَلَ إِلْحَافًا ». قَالَ الأَسَدِىُّ فَقُلْتُ لَلَقِحَةٌ لَنَا خَيْرٌ مِنْ أُوقِيَّةٍ وَالأُوقِيَّةُ أَرْبَعُونَ دِرْهَمًا.

Salah seorang dari Bani Asad berkata bahwasanya dirinya mendengar Rosululloh -shalallohu 'alaihi wa sallam- bersabda: "Barangsiapa dari kalian meminta-minta, padahal dirinya memiliki satu uqiyyah atau yang semisal dengannya, maka sungguh dia telah meminta dengan merengek-rengek.” Maka berkatalah orang Bani Asad ini: “Aku sungguh memiliki onta betina yang tentu saja lebih baik daripada satu uqiyyah”. Dan satu uqiyyah adalah empat puluh dirham.” 

(HR. Abu dawud (5/hal. 175) dan dishohihkan Al Imam Al Wadi’iy –rohimahulloh-).

Abdulloh bin ‘Umar -rodhiyallohu 'anhuma- berkata: Rosululloh –shollallohu 'alaihi wasallam- bersabda:

«مَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَسْأَلُ النَّاسَ حَتَّى يَأْتِىَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلَيْسَ فِى وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَحْمٍ».

“Senantiasa seseorang itu meminta pada orang lain sampai dia datang pada hari kiamat dalam keadaan di wajahnya tiada potongan daging.” 

(HR. Muslim (2445)).

Imam An Nawawy -rahimahulloh- berkata:

مَقْصُود الْبَاب وَأَحَادِيثه : النَّهْي عَنْ السُّؤَال، وَاتَّفَقَ الْعُلَمَاء عَلَيْهِ إِذَا لَمْ تَكُنْ ضَرُورَةٌ ، وَاخْتَلَفَ أَصْحَابنَا فِي مَسْأَلَة الْقَادِر عَلَى الْكَسْب عَلَى وَجْهَيْنِ أَصَحُّهُمَا : أَنَّهَا حَرَام ؛ لِظَاهِرِ الْأَحَادِيث . وَالثَّانِي : حَلَال مَعَ الْكَرَاهَة بِثَلَاثِ شُرُوط : أَلَّا يُذِلَّ نَفْسه ، وَلَا يُلِحَّ فِي السُّؤَال ، وَلَا يُؤْذِيَ الْمَسْئُول ، فَإِنْ فُقِدَ أَحَد هَذِهِ الشُّرُوط فَهِيَ حَرَام بِالِاتِّفَاقِ . وَالله أَعْلَم .

"Maksud dari bab ini dan hadits-haditsnya adalah larangan dari meminta-minta. Dan para ulama telah bersepakat dalam larangan ini, jika bukan dalam keadaan darurat. Adapun masalah orang yang mampu untuk bekerja tapi dia meminta-minta, para sahabat kami –Asy Syafi'iyyah- berselisih menjadi dua pendapat. Yang paling shohih adalah dia itu harom, berdasarkan lahiriyah dari hadits-hadits tersebut. Dan pendapat yang kedua: halal tapi dibenci, dengan tiga syarat: tidak sampai dia merendahkan dirinya, tidak berbuat "ilhah" (merengek-rengek) dalam meminta, dan tidak menyakiti atau mengganggu orang yang dimintai. Apabila salah satu dari syarat-syarat ini tidak terpenuhi, maka dia itu harom secara kesepakatan. Wallohu a'lam. 

("Syarh Shohih Muslim" 3/488).


Bab Empat: Meminta-minta Tanpa Udzur Syar’iy Itu Mendatangkan Kehinaan


Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah -rahimahulloh- berkata:

فأعظم ما يكون العبد قدرا وحرمة عند الخلق إذا لم يحتج اليهم بوجه من الوجوه فإن أحسنت اليهم مع الإستغناء عنهم كنت أعظم ما يكون عندهم ومتى إحتجت اليهم ولو فى شربة ماء نقص قدرك عندهم بقدر حاجتك اليهم وهذا من حكمة الله ورحمته ليكون الدين كله لله ولا يشرك به شىء إلخ ("مجموع الفتاوى" - (ج 1 / ص 39))

"Maka nilai seorang hamba yang paling agung dan paling terhormat di sisi para makhluk adalah jika dia tidak butuh sama sekali pada mereka. Jika engkau berbuat baik pada mereka bersamaan dengan ketidakbutuhan kepada mereka, engkau menjadi makhluk paling agung di sisi mereka. Dan kapan saja engkau butuh kepada mereka –meskipun seteguk air- berkuranglah nilaimu di sisi mereka sesuai dengan kadar kebutuhanmu pada mereka. Dan ini adalah bagian dari hikmah Alloh dan Rohmat-Nya agar ketundukan itu hanya diberikan untuk Alloh, dan tiada sesuatupun yang disekutukan dengan-Nya dst 

("Majmu'ul Fatawa" 1/39).

Maka bagaiman dengan orang yang mengaku mendukung dakwah dan mengatasnamakan langkahnya dengan dakwah tapi dirinya justru mencoreng nama baik Dakwah Islamiyyah Salafiyyah?

Wahb bin Munabbih –rohimahulloh- berkata pada ‘Atho Al Khurosaniy:

«كان العلماء قبلنا استغنوا بعلمهم عن دنيا غيرهم ، فكانوا لا يلتفتون إلى دنياهم ، فكان أهل الدنيا يبذلون لهم دنياهم ، رغبة في علمهم ، فأصبح أهل العلم منا اليوم يبذلون لأهل الدنيا علمهم ، رغبة في دنياهم ، فأصبح أهل الدنيا قد زهدوا في علمهم ، لما رأوا من سوء موضعه عندهم ، فإياك وأبواب السلاطين ، فإن عند أبوابهم فتنا كمبارك الإبل، لا تصيب من دنياهم شيئا إلا أصابوا من دينك مثله »

“Dulu para ulama sebelum kita merasa cukup dengan ilmu mereka dari dunia orang lain. Dulu mereka tidak menoleh kepada dunia mereka. Makanya ahli dunia mencurahkan dunianya untuk ulama tadi karena berhasrat mendapatkan ilmu mereka. Sekarang jadilah ulama dari kalangan kita mencurahkan ilmu mereka kepada ahlu dunia karena berhasrat kepada dunia mereka. Maka jadilah ahlu dunia telah merasa tidak butuh kepada ilmu mereka karena melihat jeleknya posisinya di sisi mereka. Maka hindarilah olehmu pintu-pintu para penguasa, karena sungguh ada fitnah di pintu-pintu mereka, bagaikan tempat mendekamnya onta. Tidaklah kamu mengambil dunia mereka sedikitpun kecuali mereka akan mengambil semisalnya dari agamamu.” 

(“Asy Syari’ah”/oleh Al Imam Al Ajurriy –rohimahulloh-/no. 70).

Lalu Al Imam Al Ajurriy –rohimahulloh- berkata:

فإذا كان يخاف على العلماء في ذلك الزمان ، أن تفتنهم الدنيا ، فما ظنك في زمننا هذا ؟ الله المستعان ما أعظم ما قد حل بالعلماء من الفتن ، وهم عنه في غفلة

“Jika dulunya ditakutkan pada para ulama pada zaman itu untuk terfitnah dengan dunia, maka bagaimana dugaanmu pada zaman kita ini? Wallohul musta’an, alangkah besarnya fitnah yang menimpa ulama dalam keadaan mereka melalaikannya.”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah –rohimahulloh- berkata:

وقد تواترت الأحاديث عن النبي صل بتحريم مسألة الناس إلا عند الضرورة

“Hadits-hadits telah mutawatir bahwasanya Nabi –shollallohu 'alaihi wasallam- mengharomkan minta-minta pada manusia kecuali di saat darurat.” 

(“Majmu’ul Fatawa”/8/hal. 316).

Al Imam Al Hafizh Ibnul Qoththon Al Fasiy –rohimahulloh- berkata:

واتفقوا أن المسألة حرام. ("الإقناع في مسائل الإجماع"/7/3/ص397).

“Para ulama telah sepakat bahwasanya meminta-minta itu harom.” 

(“Al Iqna’ Fi Masailil Ijma’”/7/3/hal. 397).

Dan mengemis atas nama dakwah sudah menjadi sifat kebanyakan hizbiyyun, bukan sifat Ahlussunnah Wal Jama’ah. Al Imam Al Wadi’iy –rohimahulloh- berkata:

فالحق أنّهم شوهوا الدعوة، - إلى قوله: - وقد ساءت النيات بسبب الدنيا، فقد كان يأتيني أصحاب إبّ ويقولون لي: يا أبا عبدالرحمن قل للأستاذ محمد المهدي يجلس لنا في المسجد، يعلمنا العلم. وقد كنت أحسن به الظن، وهم كذلك يحسنون به الظن، فقلت له فأبى، وما عرفنا أنه جوال لجمع الدنانير والأموال، فلا تسمع به إلا في دولة قطر، وأخرى في السعودية، ومرة في أمريكا، -إلى قوله: - ثم يأتي عقيل ويقول: قال رسول الله صلى الله عليه وعلى آله وسلم: ((أنا وكافل اليتيم كهاتين)). ويأتي محمد المهدي ويقول:﴿وما تقدّموا لأنفسكم من خير تجدوه عند الله﴾. وانظروا إلى المجلة الشحّاذة (مجلة الفرقان) هل تجدون عددًا ليس فيه شحاذة.

“Sebenarnya mereka itu sungguh telah memperburuk citra dakwah –sampai ucapan beliau:- niat-niat telah menjadi jelek karena dunia. Dulu orang-orang propinsi Ibb mendatangiku dan berkata: “Wahai Abu Abdirrohman, katakanlah pada Al Ustadz Muhammad Al Mahdi agar mau duduk untuk kami di masjid dan mengajari kami ilmu.” 

Dulu aku berbaik sangka padanya. Demikian pula mereka berbaik sangka padanya. Kukatakan padanya yang demikian itu tapi dia menolak. Kami tidak tahu bahwasany dirinya itu gemar bepergian demi mengumpulkan dinar-dinar dan harta. 

Tidaklah kamu dengar berita tentang dirinya kecuali dia itu sudah ada di Negara Qothor, terkadang di Saudi, dan suatu kali di Amerika. –sampai ucapan beliau:- lalu datanglah ‘Aqil (Al Maqthoriy) dan berkata: 

Rosululloh –shollallohu 'alaihi wasallam- bersabda: 

“Aku dan pengasuh anak yatim bagaikan kedua jari ini.” 

Dan datang Muhammad Al Mahdi dan berkata: “Dan kebaikan apapun yang kalian lakukan untuk diri kalian sendiri, kalian akan mendapatkannya di sisi Alloh.” 

Dan lihatlah majalah pengemis: Majalah “Al Furqon”. Apakah kalian mendapatkan edisi yang di situ tidak ada sikap mengemis?” 

(lihat lengkap di “Tuhfatul Mujib”/hal. 75-79).



Bab Lima: Meminta-minta Atas Nama Agama, Padahal Diri Sendiri Akan Turut Menikmati Keuntungan Merupakan Gaya Hizbiyyin


Keadaan sebagian hizbiyyin itu seperti yang diucapkan Al Imam Al Wadi’iy –rohimahulloh-:

..وخصوصًا إذا كنت تاجرًا، فهو مستعد أن يأخذ عمامته ويمسح الغبار عن نعليك، أو كان لك من السلطة شيء، أو كنت متبوعًا، فهم مستعدون أن يتابعوك حتى يظفروا بك ويصطادوك. ("تحفة المجيب" ص 151)

“… dan khususnya jika engkau adalah seorang pedagang, maka dia siap untuk mengambil sorbannya dan menghapus debu yang ada di kedua sandalmu. Atau jika kamu punya sedikit kekuasaan, atau kamu adalah seorang pemimpin yang diikuti, maka mereka siap untuk membuntutimu sampai bisa merekrutmu dan menjaringmu.” 

(“Tuhfatul Mujib”/hal. 151).


Di antara metode dakwah yang batil adalah meminta-minta setelah ceramah. Ini merupakan gaya hizbiyyin dan beberapa kelompok ahlul bida'. 

Sudah banyak fatwa Imam Al Wadi'iy -rahimahulloh- tentang hal itu. Beliau pernah ditanya:

يأتي إلى أمريكا من ينسب نفسه إلى أهل السنة، ومنهم عقيل المقطري، ويخطب في المساجد، وبعدها يقوم بجمع التبرعات للجمعية فما حكم ذلك؟

"Ada seseorang yang datang ke Amerika dan menisbatkan dirinya kepada Ahlussunnah. Di antara mereka adalah 'Aqil Al Maqthory. Dia berkhothbah di beberapa masjid, dan setelah itu dia berdiri untuk mengumpulkan sumbangan buat jam'iyyah. Maka apa hukum perbuatan itu?

Maka beliau menjawab:

دعوة الإخوان المسلمين دعوة مادية دنيوية، ولجمع الأموال، ففي ذات مرة خرجنا دعوة، وخرج معنا عبدالله النهمي رحمه الله فقد قتل في أفغانستان ، وعبدالوهاب صهر حزام البهلولي، وقالوا: نحن نطلب تبرعات، فقلنا: هذه ليست من سمات أهل السنة

"Dakwah Ikhwanul Muslimin adalah dakwah materiil keduniaan, untuk mengumpulkan harta. Pernah pada suatu hari kami keluar untuk berdakwah, dan keluarlah bersama kami Abdulloh An Nahmy -rahimahulloh- -beliau telah terbunuh di Afganistan- dan juga Abdul Wahhab besan Hizam Al Bahluly. 

Dan mereka berkata,"Kami akan meminta sumbangan. Maka kami berkata,"Ini bukanlah alamat Ahlussunnah." dst 

("Tuhfatul Mujib" hal. 75 dst)

Al Imam Al Wadi'i rohimahulloh berkata dalam masalah minta-minta: 

"Dan bukanlah kami mendakwahi manusia untuk mengambil harta mereka. Kalaupun engkau pergi ke negri manapun dari negri-negri Islam engkau tak akan melihat seorang sunni yang berdiri dan memberikan nasihat kepada manusia hingga membikin mereka menangis, lalu setelah itu dia menggelar sorbannya di pintu 

("Tuhfatul Mujib" hal. 75-76).

Beliau rohimahulloh juga berkata:

وقد أخبرني أخ جاء من أمريكا أنّهم كانوا يتجولون في أمريكا، ويلقون المحاضرات ويقولون: أنا وكافل اليتيم كهاتين، فقام شخص عليهم وقد كان يريد مساعدة البوسنة والهرسك فقال لهم: كافل اليتيم الذي يكفله، وليس الذي يشحذ فجرى بينهم الخصام من أجل الدنيا. والدعوة عند أن دخلتها المطامع الدنيوية قلّت بركتها: ﴿ألا لله الدّين الخالص﴾، ويقول: ﴿وما أمروا إلا ليعبدوا الله مخلصين له الدّين﴾. ("تحفة المجيب" ص 147)

“Telah mengabariku seorang saudara yang datang dari Amerika bahwasanya mereka itu (tokoh-tokoh hizbiyyun yang tersebut sebelumnya) berkeliling di Amerika, menyampaikan ceramah-ceramah dan berkata 

(Menyebut sabda Rosululloh –shollallohu 'alaihi wasallam-): 

“Aku dan pengasuh anak yatim bagaikan kedua jari ini.” 

Maka seseorang berdiri menghadap mereka -dan dia menginginkan pengumpulan bantuan buat Bosnia dan Herzegovina- seraya berkata pada mereka, “Pengasuh yatim adalah orang yang benar-benar mengasuhnya, bukan orang yang mengemis.” 

Maka terjadilah pertengkaran di antara mereka karena dunia. Dakwah jika dimasuki hasrat-hasrat duniawi itu kecil barokahnya. 

(Alloh ta’ala berfirman yang artinya:) “Ketahuilah: Hanya milik Alloh sajalah agama yang murni.” 

Dan berfirman: “Dan tidaklah mereka diperintahkan kecuali agar mereka beribadah kepada Alloh dalam keadaan memurnikan agama kepada-Nya.” 

(“Tuhfatul Mujib”/hal. 147).

Masjid adalah rumah Alloh ta’ala yang di situ wajib para hamba mengagungkan Alloh ta’ala, dan memuliakan agama-Nya. 

Adapun mempergunakan masjid untuk sarana mengemis dan agar dakwah itu dikasihani, maka ini merupakan pelanggaran dari tujuan di atas

Imam Al Wadi'iy -rahimahulloh- di antara fatwanya adalah:

خذوا لكم مكبر صوت واخرجوا في الشوارع. أما بيوت الله فلم تبن إلا لذكر الله ولم تبن للشحاذة. وأقول إنه ينبغي أن يخرج من المسجد هذا الذي يقوم في بيت الله للشحاذة إلخ

"Ambil saja oleh kalian pengeras suara dan keluarlah ke jalan-jalan. Adapun rumah-rumah Alloh, maka dia itu dibangun untuk dzikrulloh, dan bukan dibangun untuk mengemis. Dan aku katakan: Orang ini, yang berdiri di masjid untuk mengemis dia harus dikeluarkan dari masjid" dst 

("Ghorotul Asyrithoh" 1/536-537)


Bab Enam: Memberikan Syafa’at Dalam Kebaikan Itu Disyari’atkan


Pembahasan di atas adalah terkait dengan perbuatan meminta-minta atas nama dakwah, atau atas nama ayak yatim dan sebagainya akan tetapi si pelakunya memang berniat untuk mengambil sebagian harta tadi untuk keuntungan dirinya sendiri. 

Hanya saja dia memakai nama dakwah atau anak yatim dan sebagainya untuk menggerakkan hati masyarakat.

Adapun jika pemerintah menuntut masyarakat untuk menunaikan zakat sebagaimana mestinya, dan pemerintah menunjuk beberapa orang sebagai petugas untuk mengurus zakat tadi, pengurus resmi tadi berhak mendapatkan bagian dari zakat tadi, yang pembagiannya sesuai dengan ijtihad pemerintah, dan masing-masing pihak melangkah dengan menaati syariat Alloh dan Rosul-Nya, bukan dengan hawa nafsu sendiri-sendiri.

Adapun syafa’at, yaitu seseorang berkata pada orang lain: “Bantulah orang-orang miskin, bantulah anak-anak yatim, bantulah para janda,” dan dia sendiri tidak mengambil keuntungan duniawi apa-apa, maka hal itu bukanlah perkara yang dilarang. 

Bahkan hal itu disyariatkan dan mendapatkan pahala yang banyak.

Alloh ta’ala berfirman:

﴿مَنْ يَشْفَعْ شَفَاعَةً حَسَنَةً يَكُنْ لَهُ نَصِيبٌ مِنْهَا وَمَنْ يَشْفَعْ شَفَاعَةً سَيِّئَةً يَكُنْ لَهُ كِفْلٌ مِنْهَا﴾.

“Barangsiapa memberikan suatu syafaat yang baik, dia akan mendapatkan bagian dari pahala syafaat tadi. Dan barangsiapa memberikan suatu syafaat yang jelek, dia akan mendapatkan bagian dari dosa syafaat tadi.” 

(QS. An Nisa: 85).

Al Imam Ibnu Katsir rohimahulloh berkata:

وقوله: { من يشفع شفاعة حسنة يكن له نصيب منها } أي: من سعى في أمر، فترتب عليه خير، كان له نصيب من ذلك { ومن يشفع شفاعة سيئة يكن له كفل منها } أي: يكون عليه وزر من ذلك الأمر الذي ترتب على سعيه ونيته.

“Firman-Nya: “Barangsiapa memberikan suatu syafaat yang baik, dia akan mendapatkan bagian dari pahala syafaat tadi.” 

Yaitu: Barangsiapa berupaya melakukan suatu perkara yang mengakibatkan kebaikan, maka dia mendapatkan bagian dari pahala kebaikan tadi. 

“Dan barangsiapa memberikan suatu syafaat yang jelek, dia akan mendapatkan bagian dari dosa syafaat tadi.” 

Yaitu: maka dia mendapatkan bagian dari dosa dari perkara yang timbul sebagai akibat dari upaya dan niatnya tadi.” 

(“Tafsirul Qur’anil ‘Azhim”/2/hal. 368).

Dari Abu Musa Al Asy’ariy rodhiyallohu ‘anh yang berkata:

كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا جاءه السائل أو طلبت إليه حاجة قال اشفعوا تؤجروا ويقضي الله على لسان نبيه صلى الله عليه وسلم ما شاء .

“Dulu Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam jika didatangi oleh orang yang meminta, atau beliau dimintai suatu keperluan, beliau bersabda (pada para Shohabat): 

“Berikanlah syafaat, niscaya kalian akan mendapatkan pahala. Dan Alloh akan memberikan keputusan sekehendak-Nya melalui lisan Nabi-Nya shollallohu ‘alaihi wasallam.”

(HR. Al Bukhoriy (1432) dan Muslim (2627)).

Dan dari Wahb bin Munabbih, dari saudaranya yang berkata:

عن معاوية : اشفعوا تؤجروا فإني لأريد الأمر فأؤخره كيما تشفعوا فتؤجروا فإن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال " اشفعوا تؤجروا " .

“Dari Mu’awiyah yang berkata: “Berikanlah syafaat, niscaya kalian akan mendapatkan pahala, karena sesungguhnya terkadang aku menginginkan suatu perkara, lalu aku menundanya agar kalian memberikan syafaat, lalu kalian mendapatkan pahala, karena sesungguhnya Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam bersabda: “Berikanlah syafaat, niscaya kalian akan mendapatkan pahala.” 

(HR. Abu Dawud (5132)/shohih).

Al Hafizh Ibnu Hajar rohimahulloh berkata:

أي إذا عرض المحتاج حاجته علي فاشفعوا له إلي فإنكم إن شفعتم حصل لكم الأجر سواء قبلت شفاعتكم أم لا، ويجري الله على لسان نبيه ما شاء أي: من موجبات قضاء الحاجة أو عدمها أي: إن قضيتها أو لم أقضها فهو بتقدير الله تعالى وقضائه. ("فتح الباري" /10 /ص451).

“Yaitu: jika orang yang berhajat itu menyampaikan hajatnya kepadaku, maka hendaknya kalian memberikan syafaat untuknya kepadaku, karena sesungguhnya jika kalian memberikan syafaat, kalian akan mendapatkan pahala, sama saja apakah syafaat kalian diterima ataukah tidak. 

Dan Alloh akan memperjalankan melalui lidah Nabi-Nya apa yang Dia kehendaki. Yaitu: sebagai bagian dari ketentuan dipenuhinya hajat tadi ataukah tidak. 

Yaitu: jika aku memenuhinya ataupun aku tidak memenuhinya dengan taqdir dan ketetapan Alloh ta’ala.” 

(“Fathul Bari”/10/hal. 451).

Dan hadits perintah Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam di hari ‘Id agar para wanita itu bershodaqoh, itu juga bagian dari syafaat, bukan dalil yang mendukung para pemburu harta untuk meraup harta umat, lalu mengambil sebagiannya untuk kepentingan sendiri.

Oleh karena itulah maka Ibnu Baththol rohimahulloh memasukkan itu dalam bidang syafa’at. 

Beliau rohimahulloh berkata dalam syaroh hadits tersebut:

الشفاعة فى الصدقة وسائر أفعال البر، مرغب فيها، مندوب إليها، ألا ترى قوله - صلى الله عليه وسلم - : « اشفعوا تؤجروا » ، فندب أمته إلى السعى فى حوائج الناس، وشرط الأجر على ذلك، ودَلَّ قوله - صلى الله عليه وسلم - : « ويقضى الله على لسان نبيه ما شاء » أن الساعى مأجور على كل حال، وإن خاب سعيه ولم تنجح طلبته، وقد قال - صلى الله عليه وسلم - : « الله فى عون العبد ما كان العبد فى عون أخيه » . (شرح ابن بطال"/12 /ص214).

“Syafa’at dalam shodaqoh dan seluruh perbuatan kebajikan itu sangat dianjurkan dan didorong. Apakah engkau tidak melihat sabda Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam: “Berikanlah syafaat, niscaya kalian akan mendapatkan pahala.” Maka beliau mendorong umat beliau untuk berupaya memenuhi keperluan-keperluan manusia, dan beliau menjanjikan pahala atas perbuatan tadi. 

Dan sabda beliau shollallohu ‘alaihi wasallam: “Dan Alloh akan memberikan keputusan sekehendak-Nya melalui lisan Nabi-Nya shollallohu ‘alaihi wasallam” itu menunjukkan bahwasanya orang yang berupaya memberikan syafaat itu akan mendapatkan pahala dalam semua keadaannya sekalipun upayanya tadi gagal dan tidak berhasil. Dan Nabi shollalohu ‘alaihi wasallam telah bersabda: “Alloh itu selalu menolong sang hamba, selama sang hamba tadi menolong saudaranya.” 

(selesai dari “Syarh Shohihil Bukhoriy”/Ibnu Baththol/12/hal. 214).


Bab tujuh: Lebih Baik Berhutang Daripada Meminta-minta


Setelah kita tahu buruknya meminta-minta tanpa udzur syar’iy, dan kita tahu bahwasanya hal itu berbeda dengan bab syafa’at, maka hendaknya kita menghindari amalan buruk tadi (meminta- minta). Kalaupun kita amat memerlukan uang, hendaknya kita mohon pada Alloh ataupun juga berhutang, sebagaimana yang disyariatkan oleh Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam.

Dari Abu Huroiroh rodhiyallohu ‘anhu berkata:

أن رجلا أتى النبي صلى الله عليه وسلم يتقاضاه فأغلظ فهم به أصحابه فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم دعوه فإن لصاحب الحق مقالا ثم قال أعطوه سنا مثل سنه قالوا يا رسول الله إلا أمثل من سنه فقال أعطوه فإن من خيركم أحسنكم قضاء. (أخرجه البخاري (2306) ومسلم (1601)).

“Bahwasanya ada seseorang yang mendatang Nabi -shollallohu ‘alaihi wasallam- sambil menuntut beliau untuk membayar hutang. 

Dia berbicara dengan kasar pada Nabi. Maka para Shohabat beliau ingin memukulnya, maka Rosululloh صلى الله عليه وسلم bersabda: 

"Biarkanlah dia, karena sesungguhnya pemilik hak itu berhak bicara." Lalu beliau bersabda: “Berikanlah untuk dia hewan yang usianya sama dengan usia hewan yang aku pinjam itu.” Mereka berkata: “Wahai Rosululloh, tidak ada kecuali hewan yang lebih bagus dari hewan dia itu. 

Maka beliau bersabda: “Berikanlah padanya, karena sesungguhnya sebaik-baik dari kalian adalah orang yang paling baik pelunasan hutangnya.” 

(HR. Al Bukhoriy (2306) dan Muslim (1601)).

Bukan berarti Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam meminta harta pada orang lain, untuk melunasi utang-utang beliau, akan tapi beliau memerintahkan Abu Rofi’ yang menjadi pembantu beliau dan pengurus sebagian keuangan beliau untuk membeli seekor onta dari onta-onta shodaqoh untuk dibayarkan pada pihak yang pertama tadi, sebagaimana dalam riwayat yang lain.

Di dalam hadits ini dan hadits-hadits yang terkait dengannya ada beberapa faidah, di antaranya adalah sebagaimana yang disebutkan oleh Al Imam Ibnu Hajar Al Asqolaniy rohimahulloh: “Dan di dalam hadits ini adalah dalil akan bolehnya menuntut pembayaran hutang jika waktunya telah tiba. 

Dan di dalam hadits ini juga ada dalil akan bagusnya akhlaq Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam, agungnya kesabaran beliau, tawadhu’nya beliau, dan adilnya beliau, dan bahwasanya orang yang memikul hutang itu tidak boleh bersikap kasar pada si pemilik hak.

Dan (ada faidah lain) barangsiapa beradab dengan jelek pada seorang imam, dia harus dihukum sesuai dengan kondisinya, kecuali jika si pemilik hak tadi memaafkan. Di dalam hadits tadi juga ada faidah sesuai dengan judul dalam bab ini, yaitu: bolehnya berhutang onta. Dan termasuk di dalamnya adalah segala jenis binatang. Dan ini adalah ucapan kebanyakan ulama.” 

(selesai dari “Fathul Bari”/5/hal. 57).

Itulah Rosululloh sholllohu ‘alaihi wasallam, beliau terkadang terpaksa berhutang untuk memenuhi keperluan beliau, akan tetapi beliau adalah orang yang paling jujur dan paling berusaha untuk membayar hutang beliau kembali.

Dari ‘Aisyah rodhiyallohu ‘anha yang berkata:

كان على رسول الله صلى الله عليه و سلم بردان قطريان غليظان خشنان فقلت : يا رسول الله إن ثوبيك خشنان غليظان و إنك ترشح فيهما فيثقلان عليك و أن فلانا قدم له بز من الشام فلو بعثت إليه فأخذت منه ثوبين بنسيئة إلى ميسرة فأرسل إليه رسول الله صلى الله عليه و سلم فقال : قد علمت ما يريد محمد أن يذهب بثوبي و يمطلني فيهما فأتى الرسول إلى النبي صلى الله عليه و سلم فأخبره فقال النبي صلى الله عليه و سلم قد كذب قد علموا أني أتقاهم لله و أداهم للأمانة.

Dulu Rosululloh sholllallohu ‘alaihi wasallam punya dua burdah dari Qothr yang kasar dan tebal. Aku berkata: “Wahai Rosululloh, sesungguhnya kedua baju Anda itu kasar dan tebal, dan Anda itu berpeluh di dalamnya sehingga hal itu akan semakin memberatkan Anda. Dan sesungguhnya si fulan telah tiba baju-baju dia dari Syam. Andaikata Anda mau mengutus seseorang kepadanya untuk membeli dua baju darinya dengan pembayaran tertunda sampai Alloh memudahkan.” Maka Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam mengirimkan utusan kepadanya untuk keperluan tadi. Maka orang itu menjawab: “Aku telah tahu apa yang diinginkan Muhammad, dia ingin membawa pergi dua bajuku dan mengulur-ulur pembayarannya.” Maka sang utusan mendatangi Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam, lalu dia mengabari beliau akan jawaban orang tadi. Maka Nabi shollallohu ‘alai wasallam bersabda: “Dia dusta. Dia telah tahu bahwasanya aku adalah orang yang paling bertaqwa pada Alloh dan paling menunaikan amanah.” 

(HR. Al Hakim (2207) dengan sanad yang shohih).



Bab Delapan: Lebih Baik Berniaga Daripada Meminta-minta


Jika kita sudah tahu buruknya meminta-minta, maka berniaga itu lebih baik daripada dia, karena niaga itu halal, dan meminta-minta itu harom. Alloh ta’ala berfirman tentang jual-beli:

{وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا} [البقرة: 275]

“Dan Alloh menghalalkan jual-beli dan mengharomkan riba.”

Alloh ta’ala juga berfirman:

{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ } [النساء: 29]

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memakan harta-harta kalian secara batil, akan tetapi hendaknya ada jual beli yang didasari oleh saling ridho di antara kalian.”
Dan jual beli yang jujur itu mendatangkan keberkahan.

Dari Hakim bin Hizam rodhiyallohu ‘anhu yang berkata: Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam bersabda:

«البيعان بالخيار ما لم يتفرقا - أو قال: حتى يتفرقا - فإن صدقا وبينا بورك لهما في بيعهما ، وإن كتما وكذبا محقت بركة بيعهما». (أخرجه البخاري (2079) ومسلم (1532)).


“Dua orang yang berjual-beli itu memiliki hak untuk memilih selama belum saling berpisah. –atau beliau bersabda: “Sampai sama-sama berpisah.”- “Jika kedua-duanya itu jujur dan terus terang, akan diberkahi untuk mereka berdua di dalam jual-belinya. Tapi jika kedua-duanya bersikap rahasia dan berdusta, akan rusaklah keberkahan jual beli mereka.” 

(HR. Al Bukhoriy (2079) dan Muslim (1532)).

Dan Al Miqdam rodhiyallohu ‘anhu yang berkata, dari Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam yang bersabda:

ما أكل أحد طعاما قط خيرا من أن يأكل من عمل يده وإن نبي الله داود عليه السلام كان يأكل من عمل يده.

“Tidaklah seseorang itu memakan makanan yang lebih baik sama sekali daripada dia memakan dari hasil kerja tangannya. Dan sesungguhnya Nabiyulloh Dawud ‘alaihis salam itu biasa memakan dari hasil kerja beliau sendiri.” 

(HR. Al Bukhoriy (2072)).

Abu Huroiroh rodhiyallohu ‘anhu berkata: Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wasallam- bersabda:

كان زكرياً نجاراً

“Dulu Zakariyya adalah tukang kayu.” 

(HR. Ibnu Majah (2150)/shohih).



والله تعالى أعلم بالصواب، والحمد لله رب العالمين.


sumber: http://maktabahfairuzaddailamiy.blogspot.com/

╭─┅─═ঊঊঈ═─┅─╮ 
       SEBARKANLAH 
       ENGKAU AKAN 
       MENDAPATKAN 
           PAHALANYA 
╰─┅─═ঊঊঈ═─┅─╯ 

 🅹🅾🅸🅽 🅲🅷🅰🅽🅽🅴🅻 🆃🅴🅻🅴🅶🆁🅰🅼 

Berhutang Atau Berniaga Lebih Baik Daripada Meminta-minta

Berhutang Atau Berniaga Lebih Baik Daripada Meminta-minta Ditulis oleh: Abu Fairuz Abdurrohman Al Qudsy Al Jawy Al Indonesy -semoga Alloh me...