*MEMURNIKAN ITTIBA’ DAN MEMBERSIHKAN NAMA BAIK ULAMA
AHLUSSUNNAH*
(Study Kasus Munculnya Syaikh Sholeh Al-Fauzan di Televisi yang Menimbulkan
Polemik dan Kontradiksi)
Ditulis oleh: Abu Zakaria Irham bin Ahmad Al Jawy
-Semoga Alloh mengampuni dosa-dosanya-
Darul Hadits Dammaj, Jumat, 20 Robiul Awwal 1434H
بِسْمِ الله الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
الحمدلله، والصلاة والسلام على رسول
الله، وعلى أله وأصحابه ومن واله، أشهد أن لا إله إلا الله، وأشهد أن محمدا عبده
ورسوله، أما بعد:
Di antara prinsip utama aqidah Ahlussunnah wal jamaah adalah
peletakan Al-Quran dan As-Sunnah sebagai dasar utama pengambilan hukum serta
mengedepankan keduanya dalam setiap perkara. Alloh telah berfirman:
اتَّبِعُوا مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ
مِنْ رَبِّكُمْ وَلا تَتَّبِعُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ قَلِيلاً مَا
تَذَكَّرُونَ
“Ikutilah apa yang diturunkan
kepadamu dari Robb-mu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin
selain-Nya, amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya).” (QS.
Al-A’rof: 3)
Hal ini dikarenakan tidaklah tersisa satu perkara pun baik
di masa dahulu maupun sekarang bahkan yang akan datang, kecuali Alloh dan
Rosul-Nya telah menentukan hukumnya, baik secara nash maupun istimbath. Alloh
adalah Dzat yang Maha Mengetahui segala sesuatu, tahu semua perkara yang akan
muncul dan tidak, serta tahu dampak yang akan ditimbulkannya jika perkara
tersebut muncul. Adapun perselisihan yang terjadi dalam menentukan suatu hukum
kembali pada kekurangan manusia dalam memahami syariat Alloh dan penjelasan-penjelasan
yang disampaikan Rosul-Nya.
Dengan ini jelaslah bahwa penempatan seseorang sebagai
sesuatu yang diikuti dalam setiap perbuatan dan perkataannya tanpa mengetahui
dalilnya merupakan penyelisihan terhadap manhaj ahlus sunnah.
Prinsip di atas secara sekilas memang mudah, tapi pada
kenyataannya merupakan perkara yang berat untuk diterapkan –kecuali bagi
orang-orang yang mendapat taufiq dari Alloh-. Oleh karena itu, banyak kita
lihat orang-orang terjerembab ke dalam kesesatan disebabkan jauhnya mereka dari
pengamalan prinsip utama tersebut. Sehingga mereka mengedepankan perkataan dan
perbuatan para pemimpin mereka atas perkataan Alloh dan Rosul-Nya.
Ironisnya, penyakit ini juga menjangkiti sebagian saudara
kita yang menisbahkan dirinya sebagai salafy, walaupun tarafnya tidak sekronis
yang menimpa para hizbiyyun. Namun merupakan kaidah yang diakui oleh syariat
dan akal yang sehat bahwa sesuatu yang menimbulkan dampak negatif harus dipupus
dengan segera sehingga tidak menjalar dan mencelakakan diri dan orang-orang
sekitarnya.
Diantara kasus yang menunjukkan ketidak kokohan sebagian
orang dalam memahami dan memegang prinsip di atas adalah mudahnya mereka goyah
dari pijakan yang diyakininya ketika melihat ada ulama melakukan hal yang menyelisihi keyakinannya.
Sebagai contoh adalah munculnya Syaikh Sholeh Al-Fauzan –hafidzohulloh- di
layar Televisi pada tahun-tahun terakhir ini.
Hal ini tidak bisa dipungkiri memang menimbulkan polemik dan
kontradiksi yang butuh untuk diperjelas dan didudukkan dengan benar. Terlebih
lagi ketika banyak manusia berbicara dalam kasus ini tanpa didasari ilmu.
Sebagian menjadikan kemunculan beliau itu sebagai dalil bahwa gambar makhluk
bernyawa boleh, sebagian lainnya: televisi itu boleh. Sebagian lainnya bersikap
kebalikannya: mereka mencela dan menempatkan Syaikh pada kedudukan yang tidak
sepantasnya. Sebagiannya lagi bertanya-tanya; bagaimanakah hakekat perkara yang
sebenarnya?
Oleh karena itu pada pembahasan kali ini –Insya Alloh- akan
kami kupas permasalahan ini sehingga tidak menimbulkan tanda tanya lagi.
Harapan kami, penjelasan yang akan datang juga bisa memberikan wacana dan
pelajaran dalam menghadapi kasus-kasus lain yang semisal dengannya.
Nasalullohat Taufiq was Sadad.
♻️ Bimbingan Syareat dalam
Menyikapi Perbuatan Ulama.
Ikhwany –waffaqokumulloh- merupakan hal yang disepakati
bahwa ulama adalah manusia biasa yang terkadang lupa dan tidak mendapat jaminan
bahwa semua perbuatannya itu benar. Oleh karena itu, tidaklah dibenarkan
seseorang mengambil kesimpulan dan menarik suatu hukum dari perbuatan yang
mereka lakukan dengan serta-merta tanpa meminta penjelasan. Terlebih lagi jika
perbuatan yang dilakukannya itu terdapat pertentangan dengan perkara yang
dikenal darinya.
Imam Asy-Syatiby –Rohimahulloh- berkata: “(Para ulama)
mengatakan: “Janganlah kamu melihat perbuatan seorang ‘alim, tapi tanyalah dia
maka dia akan membenarkan (dugaanmu atau menyalahkannya).” [Al-I’tishom: 2/605]
Beliau juga mengatakan: “(Para ulama) mengatakan: ilmu yang
paling lemah adalah (yang didapat dari) penglihatan, yaitu seseorang melihat
orang lain melakukan sesuatu kemudian dia melakukan yang semisalnya, padahal
mungkin saja orang (yang dilihat tersebut) melakukannya karena lupa.”
[Al-I’tishom: 3/109]
Inilah kaidah dalam menyikapi perbuatan ulama. Sebab
perbuatan itu memiliki kemungkinan yang banyak; terkadang tidak disengaja,
terkadang karena lupa, terkadang karena terpaksa, terkadang karena menghindari
kemadhorotan yang lebih besar….dan kemungkinan-kemungkinan lainnya. [lihat
penjelasan Syaikh Sholeh Alu Syaikh dalam Syarh Aqidah Thohawiyyah]
Demikian pula pada kasus kita ini, kita tidak boleh langsung
mengambil kesimpulan dan menetapkan suatu hukum hanya dengan sekedar melihat
munculnya Syaikh Al-Fauzan di layar TV. Namun kita harus mencari penjelasan;
apa yang menjadi dasar beliau sehingga melakukan perbuatan tersebut??[1]
♻️Penjelasan tentang Pendapat
Syaikh Al-Fauzan dalam Permasalahan Shuroh dan Televisi.
1️⃣Pertama:
Fatwa beliau tentang haramnya shuroh (gambar makhluk bernyawa) baik digambar
dengan tangan maupun dengan kamera
Syaikh Sholeh Fauzan –hafidzohulloh- ketika menjelaskan
hadits:
كلُّ مصوِّرٍ في النّار، يُجعل له بكلّ
صورة صوّرها نفسٌ يعذّب بها في جهنّم
“Setiap orang yang menggambar
(makhluk bernyawa akan masuk) neraka. Gambar-gambar yang telah mereka buat itu
akan dijadikan bernyawa sehingga menyiksa mereka di Jahannam”.
Beliau berkata: “(Sabda beliau ini) juga umum mencakup
seluruh gambar makhluk yang bernyawa, baik itu dihasilkan dengan digambar atau
dipahat atau dengan memencet alat. Perbedaannya hanyalah bahwa pengguna alat
lebih cepat kerjanya daripada orang yang menggambar (dengan tangan), adapun
hasilnya sama, masing-masing mereka menginginkan untuk menghasilkan ‘shuroh’.
Orang yang mengukir atau membikin patung tujuannya
terciptanya ‘shuroh’. Orang yang melukis tujuannya juga ‘shuroh’. Orang yang
memotret dengan kamera tujuannya juga ‘shuroh’. Lalu, kenapa kita
membedakan-bedakan mereka??! Padahal Rosul Shollallohu ‘alahi wa sallam telah
bersabda:
كلُّ مصوِّرٍ في النّار
“Semua orang yang menggambar makhluk
bernyawa di neraka”?!.
(Mereka) tidaklah punya
dalil kecuali falsafat yang mereka buat-buat dan teori-teori yang mereka
ada-adakan. Mereka ingin membatasi cakupan makna sabda Rosululloh Shollallohu
‘alahi wa sallam (di atas) dengan kepala mereka….(Padahal) merupakan suatu
perkara yang dimaklumi bahwa perkataan Alloh dan Rosul-Nya tidaklah boleh
dibatasi cakupan maknanya kecuali dengan dalil dari perkataan Alloh dan
Rosul-nya juga. Bukan dengan ijtihad atau teori-teori buatan manusia.
(“I’anatul Mustafid”: 2/ 369)
Perkataan di atas sangat jelas bahwa Syaikh Fauzan
berpendapat bahwa shuroh itu haram secara mutlak. Tidak dibedakan apakah shuroh
dihasilkan dengan tangan atau dengan kamera. Tidak pula dibedakan apakah shuroh
itu dua dimensi atau tiga dimensi. Inilah yang benar dalam perkara shuroh yang
tidak ada pilihan selainnya. [lihat kembali penjelasan secara terperinci dalam
tulisan kami: “Televisi dalam Timbangan Syar’i”]
2️⃣Kedua:
Pendapat beliau tentang Televisi dan video
Dalam permasalahan ini, Syaikh Fauzan mempunyai beberapa
fatwa yang berbeda, sehingga kita harus mencermati dengan benar fatwa-fatwa
tersebut dan menempatkan sesuai porsinya.
Pada awalnya beliau berpendapat bahwa shuroh yang ada di
layar televisi hukumnya haram secara mutlak. Hal ini nampak nyata dari
fatwa-fatwa serta perbuatan beliau. Oleh karena itu beliau dengan tegas menolak
untuk keluar ke studio-studio TV. Beliau berkata: “Aku tidak akan keluar ke
studio-studio TV dan belum pernah keluar serta tidak akan keluar insya Alloh.”
Demikian pula ketika beliau diberitahu bahwa shuroh beliau
muncul di TV atau majalah, dan ditanya apakah hal tersebut merupakan bukti
bahwa beliau berpendapat bolehnya menggambar makhluk hidup?? Beliau menjawab:
“Tidak, hal ini bukan dalil! Saya
tidak memerintahkan mereka, tidak pula meminta mereka. Merekalah yang datang.
Dulu mereka mengambil gambar Syaikh Bin Baz padahal beliau mengharamkannya dan
meminta dengan keras agar orang yang melakukan tersebut mencabut gambar beliau
(yang telah disebar itu) dari masyarakat. Semua ini dosanya kembali kepada
mereka. Adapun kami, kami tidaklah ridho dengan perbuatan tersebut dan kami
tidak memerintahkan mereka untuk melakukannya. Mereka tidak pula meminta
pertimbangan kami dalam perkara ini.”
Masih banyak lagi fatwa-fatwa beliau yang senada, bagi yang
menginginkan lebih lengkap silakan kunjungi situs resmi beliau:
http://www.alfawzan.ws/node/10233. Juga: 10243, 10209.
Kemudian ijtihad beliau dalam permasalahan ini berubah. Hal
ini terlihat dengan munculnya beliau pertama kali di studio TV resmi Saudi pada
tahun-tahun terakhir ini. Kemunculan beliau inilah yang menimbulkan kontradiksi
di antara salafiyyin. Adapun para hizbiyyun mereka dengan girang menyambutnya
dan menyatakan bahwa Syaikh Al-Fauzan membolehkan gambar. Namun apakah demikian
kenyataannya??
Akhirnya pada pelajaran kitab “Ad-Durrun Nadhid” [Selasa,
18-1-1433H] beliau menjelaskan alasan kenapa beliau muncul di TV sekaligus
membantah orang-orang yang menyatakan bahwa beliau telah membolehkan shuroh.
Inti dari penjelasan beliau bahwa hukum gambar yang ada di
TV itu tidak termasuk dalam shuroh yang dilarang jika terjadi siaran secara
langsung dan hasil shoting dari siaran tersebut tidak disimpan, baik dalam
kaset video atau yang semisalnya. Sebab,
jika terjadi siaran secara langsung maka hal ini ibarat pemindahan bayangan
yang terjadi pada cermin.[2] Bayangan akan hilang dengan selesainya siaran.
Oleh karena itu beliau mensyaratkan agar siaran tersebut tidak disimpan dan
mengingkari dengan keras proses perekaman video. Beliau mencontohkan dengan
siaran langsung sholat di masjidil haram dan masjid Nabawy, juga siaran
langsung manasik haji di Arofah. Semua ini, jika memenuhi persyaratan di atas
bukanlah termasuk perkara yang terlarang. Namun, apabila gambar hasil shoting
tersebut disimpan baik dalam kaset video atau yang semisalnya maka jelas bahwa
hal ini termasuk dalam proses manggambar makhluk hidup bernyawa yang
diharamkan. [lihat: Majalah Ma’rifat As-Sunan wal Atsar]
Jadi, Syaikh Al-Fauzan tetap dalam fatwanya tentang haramnya
shuroh, baik itu berupa lukisan tangan atau kamera, baik itu diam atau
bergerak. Adapun yang dibolehkan menurut ijtihad beliau adalah proses siaran
langsung yang pada hakekatnya hanya sekedar pemindahan gambar hidup belaka.
♻️Mengkritisi pendapat Syaikh
Al-Fauzan tentang Pembolehan ‘siaran langsung.’
Sebagai seorang sunny salafy, tentunya tidaklah boleh bagi
kita untuk menerima pendapat seseorang yang tidak ma’shum sampai kita
menimbangnya dengan timbangan syar’i. Rosululloh –Shollallohu ‘alaihi wa
sallam- telah bersabda:
لَيْسَ أَحَدٌ إِلَّا يُؤْخَذُ مِنْ
قَوْلِهِ وَيَدَعُ غَيْرَ النَّبِيِّ –صلى الله عليه وسلم-
“Tidaklah ada seorangpun kecuali
perkataannya (bisa) diambil dan ditinggalkan, kecuali Nabi –Shollallohu ‘alaihi
wa sallam.” [HR Thobrony: 11/ 339 dengan sanad hasan dari Ibnu Abbas]
Imam Malik –Rohimahulloh- berkata: “Tidaklah setiap
seseorang mengatakan suatu perkataan –meskipun orang tersebut punya keutamaan-
lantas perkataannya itu diikuti, Alloh telah berfirman:
الذين يستمعون القول فيتبعون أحسنه
“(Yaitu) orang-orang yang
mendengarkan perkataan dan mengikuti yang paling baiknya.” [Jami’ Bayanil ‘Ilm:
2/995]
Dengan ini semua, jelaslah bagi kita bahwa apa yang disebut
dengan ‘siaran langsung’ itu hukumnya tidaklah berbeda dengan siaran tunda
maupun kaset video. Barangsiapa mau membedakannya maka dituntut untuk
mendatangkan bukti serta dalil. Oleh karena itulah Syaikh Muqbil Al-Wadi’y
–rohimahulloh- menyatakan haramnya seorang da’I muncul di TV secara mutlak.
Demikian pula Syaikhuna Yahya Al-Hajury –hafidzohulloh. Wallohu a’lam
♻️Sebagai penutup, kami ingatkan
bahwa perkara yang sedang kita bicarakan ini adalah perkara yang
diperselisihkan oleh ulama, yang masing-masing mereka berijtihad dengan ilmu
yang Alloh bukakan pada mereka.
Barangsiapa yang benar dalam ijtihadnya Alloh berikan dua pahala
padanya, dan apabila keliru maka Alloh berikan satu pahala baginya atas
usahanya yang sungguh-sungguh untuk mencapai kebenaran. Yang dituntut dari
seorang sunny adalah mengikuti dalil yang dijadikan pijakan masing-masing
mujtahid, bukan mengikuti perasaan dan ta’ashshub golongan. Kita menghormati
Syaikh Sholeh Fauzan sebagai seorang ulama yang memperjuangkan sunnah dan
manhaj salaf, akan tetapi dalam permasalahan ini kita tidak sepakat dengan
beliau.
Kita memohon kepada Alloh agar menjaga beliau dan seluruh
ulama Ahlissunnah dimanapun mereka berada, sebagaimana kita memohon kepadaNya
agar memberikan keistiqomahan kepada kita semua sampai datang ajal yang telah
Alloh tetapkan.
سبحانك اللهم وبحمدك لا إله إلا أنت
أستغفرك وأتوب إليك
Footnote :
🔃[1] Hal inilah yang
menyebabkan kami menunda beberapa lama untuk berbicara tentang permasalahan
ini, agar bisa mendapatkan sumber-sumber yang meyakinkan dari fatwa-fatwa
Syaikh Fauzan sehingga jelas perkaranya bagi kami. Wallohul Muwaffiq
🔃[2] Orang yang
berpendapat dengan pendapat ini menamakan proses siaran langsung itu dengan
“Mir-ah Muthowwaroh” (cermin modern) dan menamakan siaran tunda dengan “alat
lukis modern.”
🔃[3] Diantara bukti
adanya jeda waktu ini: sampainya suara yang terkadang lebih cepat daripada
gambar, terlihatnya roda mobil yang berjalan berputar ke arah belakang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar