Tampilkan postingan dengan label Fiqh. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Fiqh. Tampilkan semua postingan

Mengenal Riba Lebih Dekat


بسم الله الرحمن الرحيم

الحمد لله رب العالمين، وبه نستعين، والصلاة والسلام على سيد المرسلين، وعلى آله وصحبه ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين، أما بعد

Riba adalah perkara besar yang sangat terlarang dalam Islam. Orang yang terus-terusan dalam riba terancam diperangi oleh Alloh Shubhanahu wa Ta’ala, Dia berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ * فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللهِ وَرَسُولِهِ

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Alloh dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kalian orang-orang yang beriman. Apabila kalian tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Alloh dan Rasul-Nya akan memerangi kalian”. (QS Al-Baqoroh 278-279)

Orang-orang yang terlibat riba juga terlaknat. Makna laknat adalah meminta agar terusir dari rahmat-Nya. Jabir Rodhiyallohu ‘Anhu mengatakan: “Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam melaknat orang yang memakan riba, memberi makan, penulis, dan kedua saksinya. Beliau Shollallohu ‘Alaihi wa Sallammengatakan:

هم سواء

“Mereka sama”. (HR Muslim)

Rosululloh Shollallohu ‘alahi wa sallam juga menegaskan bahwa riba adalah dosa yang mencelakakan dan membinasakan pelakunya. Beliau Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

اجتنبوا السبع الموبقات

“Jauhilah tujuh perkara yang mencelakakan!!”

Beliau ditanya: “Apa tujuh perkara tersebut, wahai Rosululloh?” Beliaupun menjawab:

الشرك بالله، والسحر، وقتل النفس التي حرم الله إلا بالحق، وأكل مال اليتيم وأكل الربا، والتولي يوم الزحف، وقذف المحصنات الغافلات المؤمنات

“(Tujuh perkara tersebut adalah) Syirik kepada Alloh, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Alloh kecuali dengan haq, memakan harta anak yatim, memakan harta riba, melarikan diri saat berkecamuknya perang, dan menuduh seorang perempuan mukminah -yang menjaga dirinya dan tidak bersalah- telah melakukan zina.”(HR. Bukhory- Muslim)

Sebagaimana dimaklumi, mengenal sebuah kejelekan adalah salah satu langkah awal untuk meninggalkannya, sebagaimana disebutkan oleh Hudzaifah Ibnul Yaman Rodhiyallohu ‘Anhu.

كَانَ النَّاسُ يَسْأَلُونَ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الخَيْرِ، وَكُنْتُ أَسْأَلُهُ عَنِ الشَّرِّ مَخَافَةَ أَنْ يُدْرِكَنِي

“Dahulu orang-orang bertanya kepada Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam tentang kebaikan, sementara aku bertanya tentang kejelekan karena khawatir bisa menimpaku”. (HR Bukhori-Muslim)

Karena itu mengenal bentuk riba merupakan perkara yang penting dipahami oleh seorang muslim, terlebih berkembangnya transaksi-transaksi ini di tengah masyarakat, dan banyak yang tidak peduli,wallohul musta’aan.

Tidak dipungkiri bahwa pelaku riba senantiasa melakukan inovasi-inovasi -yang kebanyakannya dilahirkan di negara kafir untuk kemudian diadopsi oleh kaum muslimin- untuk memperhalus tampilannya, sehingga orang-orang yang baik tidak menyadarinya bahkan sampai tahap menyangka apa yang mereka lakukan adalah islamy.

Dalam pembahasan ini, kita tidak mengupas semua modus, namun paling tidak kita akan mengenal riba dari pokoknya, sehingga bagaimanapun cabangnya dibuat insyaalloh dengan sedikit penalaran -setelah adanya taufiq dari Alloh- perkara tersebut bisa dikenali.

PEMBAHASAN PERTAMA: RIBA DALAM TRANSAKSI JUAL BELI

Secara umum riba bisa ditemukan dalam dua bentuk transaksi yaitu jual beli dan utang piutang.
Kita mulai pembahasan dengan riba yang terdapat di jual beli, namun sebelum masuk ke gambaran riba dalam transaksi jual beli, perlu diketahui terlebih dahulu bahwa benda-benda yang terkena riba dalamtransaksi jual beli terbatas.

Benda-benda tersebut disebutkan di hadits dari Abu Sa’id Al-Khudry Rodhiyallohu ‘Anhu, Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

الذهب بالذهب، والفضة بالفضة، والبر بالبر، والشعير بالشعير، والتمر بالتمر، والملح بالملح، مثلا بمثل، يدا بيد، فمن زاد، أو استزاد، فقد أربى، الآخذ والمعطي فيه سواء

“(Jual beli) emas dengan emas, perak dengan perak, burr (gandum) dengan burr, sya’ir dengan sya’ir (sejenis biji-bijian, nama latinnya: Hordeum Vulgare), kurma dengan kurma, garam dengan garam, (mesti) semisal (takaran atau timbangannya), dan kontan. Barang siapa yang menambah atau meminta lebih banyak maka dia telah berbuat riba. Orang yang mengambil dan memberi (riba) hukumnya sama”. (HR Muslim)

Berdasarkan bentuk transaksi yang terjadi antar masing-masingnya -sebagaimana diterangkan di hadits-hadits yang lain yang insyaalloh akan disebutkan- maka benda yang enam ini terbagi dalam dua kelompok besar.

Kelompok Pertama: 

Emas dan perak, juga digolongkan ke dalam kelompok ini: Jumhur (mayoritas) ulama terdahulu atau belakangan, juga memasukkan uang kertas ataupun logam yang beredar sekarang ke dalam kelompok ini, karena yang menjadi alat transaksi di zaman Nabi adalah dinar (dari emas) dan dirham (dari perak). Perincian lengkapnya butuh pembahasan tersendiri yang tidak akan dibahas disini, wallohul Musta’an.

Kelompok Kedua: 

Burr, sya’ir, kurma dan garam.

Tidak bisa digolongkan jenis makanan lain -yang juga ditimbang atau ditakar- ke dalam kelompok ini karena di zaman Rosululloh Shollallohu ‘Alahi wa Sallam terdapat jenis makanan lain -yang ditakar ataupun ditimbang- seperti: aqith (susu yang dikeringkan), kismis, dll, namun beliau tidak menggolongkannya sebagai barang yang terkena riba.

[KOMBINASI TRANSAKSI JUAL BELI ANTARA BENDA RIBA DALAM DUA KELOMPOK DI ATAS]

Ada tiga kombinasi transaksi jual beli yang terjadi pada jenis-jenis di atas berdasarkan barang yang dilibatkan dalam transaksi sesama mereka.

A. JUAL BELI BARANG SEJENIS

Sebagaimana disebutkan di hadits Abu Sa’id di atas, ada dua syarat yang mesti dipenuhi agar tidak terjatuh dalam riba. Jika salah satu syarat tersebut tidak terpenuhi maka jatuh ke dalam bentuk riba, syarat tersebut adalah tunai dan kesamaan berat atau takaran (volume) nya.

A1. Barangnya dibayar tunai namun benda yang diserahkan pembeli dan penjual tidak sama. Maka             riba di sini dinamakan riba fadhl.

Contoh: Jual beli emas dengan sistem tukar tambah, kontan.

Ada dua bentuk: 

Pertama

Pembeli -misalnya- datang dengan sepuluh gram emas batangan untuk ditukar dengan kalung emas delapan gram. Kedua: Pembeli datang membawa sepuluh gram emas batangan ditukar dengan kalung emas juga sepuluh gram, namun penjual meminta tambahan lima ratus ribu. Atau pembeli datang dengan kalung emas 22 karat seberat sepuluh gram ditukar dengan kalung emas 24 karat dengan berat yang sama, maka penjual minta tambahan lima ratus ribu.

Perlu diperhatikan, yang jadi patokan dalam penukaran emas ataupun perak adalah berat, terlepas dari mutu dan bentuknya. Sebagaimana dikisahkan Fudholah bin ‘Ubaid Rodhiyallohu ‘Anhu: “Dahulu kami bersama Rosululloh pada hari penaklukan Khaibar maka kami mengadakan kesepakatan dengan Yahudi atas penjualan satu uqiyyah emas dengan dua dan (atau) tiga dinar. Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam, lantas berkata:

لا تبيعوا الذهب بالذهب، إلا وزنا بوزن

“Jangan kalian menjual emas dengan emas kecuali dengan berat yang sama”. (HR Muslim)

Dalam riwayat lain dari Abu Sa’id Al-Khudhry, Rosululloh bersabda:

لا تبيعوا الذهب بالذهب، ولا الورق بالورق، إلا وزنا بوزن، مثلا بمثل، سواء بسواء

“Janganlah kalian menjual emas dengan emas, tidak juga perak dengan perak, kecuali dengan berat yang setara, semisal, sama”. (HR Muslim)

Terus bagaimana dengan upah pengrajin? Dalam sebuah riwayat yang shahih bahwa seorang pengrajin bertanya kepada Ibnu ‘Umar Rodhiyallohu ‘Anhu. Orang tersebut mengatakan: “Wahai Abu ‘Abdirrohman, sesungguhnya aku adalah seorang pengrajin emas. Kemudian aku menjualnya dengan (emas) yang lebih dari beratnya. Bolehkah aku meminta kelebihan tersebut sekadar upah kerjaan tanganku?”. Ibnu ‘Umar pun melarang pengrajin tersebut.

Si pengrajin itu terus-terusan mengulangi pertanyaannya dan ‘Abdulloh bin ‘Umar terus melarangnya. Sampai ketika berakhir di pintu masjid atau sampai ke tunggangannya ketika dia ingin menaikinya, Ibnu ‘Umar berkata: “Dinar dengan dinar, dirham dengan dirham, tidak boleh ada kelebihan antara keduanya. Inilah yang diamanahkan Nabi kami kepada kami, dan yang kami amanahkan kepada kalian”. (Diriwayatkan di Mushonnaf ‘Abdurrozzaq, atsar ini dishohihkan Syaikh Kami Muhammad bin Hizam)

Demikian juga halnya menukar kurma dengan kurma, garam dengan garam dll, takarannya harus sama (karena yang dijadikan patokan untuk jenis ini adalah satuan volume) walau mutunya berbeda.
Solusinya: Sebagaimana disebutkan di hadits Abu Sa’id Al-Khudry Rodhiyallohu ‘Anhu dalam riwayat yang lain. Abu Sa’id mengatakan: “Didatangkan kurma kepada Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam. Lalu beliau mengatakan:

ما هذا التمر من تمرنا؟

“Kurma ini bukanlah dari jenis kurma kita”.

Maka lelaki yang mendatangkan kurma mengatakan: “Wahai Rosululloh, kami menjual dua sho’ (salah satu jenis takaran) jenis kurma kita, dengan satu sho’ dari jenis ini”.

Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam, lantas berkata:

هذا الربا فردوه، ثم بيعوا تمرنا واشتروا لنا من هذا

“Ini adalah riba, kembalikanlah oleh kalian. Kemudian juallah kurma kita (dengan benda yang lain). Lalu kalian belilah untuk kami dari jenis kurma ini”. (HR Muslim)

Karena itu maka pihak pembeli mesti menjual emas batangannya terlebih dahulu. Setelah mendapatkan uang, terserah dia mau beli kalung emas yang mana saja dan dengan harga berapa saja.

A2. Barang yang dibarter sudah sama, namun salah satu pihak tidak memberikan secara keseluruhan. Maka tidak adanya unsur tunai di sini tergolong riba, dinamakan dengan riba nasii-ah.

Contoh

(1). Jual beli emas sepuluh gram dengan sepuluh gram namun salah satu pihak baru menyerahkan lima gram.

(2). Penukaran lima dirham dengan uang pecahan satu dirham di toko, namun pecahannya baru bisa dikasihkan senilai tiga dirham, sisanya nanti sore karena pemilik toko masih butuh pecahan untuk transaksi. (Contoh ini juga bisa diterapkan pada uang kertas atau recehan bagi jumhur ulama yang berpendapat digolongkannya uang ke kelompok emas dan perak).

Solusi

Kalau emas tersebut memiliki nilai nominal, misal yang lima gram adalah satu dinar dan yang sepuluh gram nominalnya dua dinar, maka bentuknya kembali ke contoh (2). Jika tidak memiliki nominal, misal yang sepuluh gram adalah kalung sementara yang lima gram adalah cincin. Maka disarankan pada bentuk yang ini sebagaimana solusi pada jenis (A1).

Adapun pada contoh (2), maka bagi yang ingin menukarkan uang dirham tersebut disarankan untuk beralih kepada transaksi utang, yaitu dengan meminjam tiga dirham dari pemilik toko. Apabila dia minta jaminan, maka berikan uang lima dirham tersebut sebagai jaminan, wallohu a’lam.

~Masalah Terkait Jenis (A) Dan Jawabnya~

(Masalah ini terkait dengan pendapat jumhur ulama yang menggolongkannya uang ke kelompok emas dan perak)

Kalau dikatakan: “Berarti hampir semua transaksi kita lakukan saat ini, jatuh ke bentuk transaksi ini. Misalkan, kita membeli sabun seharga empat ribu, kemudian menyerahkan uang senilai sepuluh ribu, maka penjual akan memberikan kembalian sebanyak enam ribu. Artinya kita menukar sepuluh ribu dengan uang enam ribu plus sabun.

Jawabnya: Uang kembalian yang enam ribu bukanlah asal transaksi. Asal transaksi adalah sabun dengan uang empat ribu. Ketika kita menyerahkan sepuluh ribu, transaksi sabun telah selesai. Posisi enam ribu yang layaknya barang titipan. Bisa dia pulangkan langsung, atau kita biarkan sebagai barang titipan dengan mengatakan: “Pegang saja dulu, nanti saya ambil”, atau bisa jadi penjual memintanya sebagai utang dengan mengatakan: “Besok saja kembaliannya”.

B. JUAL BELI BARANG BERBEDA JENIS TAPI DALAM KELOMPOK YANG SAMA

Seperti jual beli emas dengan perak, atau juga barter garam dengan kurma, burr dengan sya’ir, atau kombinasi lain dalam masing-masing kelompok yang telah disebutkan di atas. Maka yang seperti ini hanya disyaratkan kontan, terserah satu ton emas mau ditukar sekilo perak. Tidak boleh beli emas -misalkan- seharga seratus dirham dibayar separuh di depan. Bentuk riba yang ada dalam transaksi seperti ini adalah riba nasii-ah.

[Adapun contoh bagi pendapat jumhur, maka tidak boleh membeli emas atau perak dengan uang dengan cara utang atau kredit]

Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits dari ‘Ubadah bin Shomit Rodhiyallohu ‘Anhu, RosulullohShollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

الذهب بالذهب، والفضة بالفضة، والبر بالبر، والشعير بالشعير، والتمر بالتمر، والملح بالملح، مثلا بمثل، سواء بسواء، يدا بيد، فإذا اختلفت هذه الأصناف، فبيعوا كيف شئتم، إذا كان يدا بيد

“(Jual beli) emas dengan emas, perak dengan perak, burr dengan burr, sya’ir dengan sya’ir, kurma dengan kurma, garam dengan garam, mesti semisal, sama, tunai. Apabila berbeda jenis dari kelompok (yang disebutkan ini) maka juallah semau kalian, apabila transaksinya tunai”. (HR Muslim)

Apabila dikatakan: Apa alasan pembagian benda-benda riba ini menjadi dua kelompok -sebagaimana di awal pembatasan-, padahal di hadits ini Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam menetapkan hukum yang sama bagi tiap-tiapnya?

Maka jawabnya: Memang, emas dan perak jika dilakukan transaksi antar keduanya tanpa tunai, merupakan perkara yang diharamkan. Hal ini sebagaimana disebutkan di hadits di atas, serta yang diriwayatkan dari Al-Baro’ bin ‘Azib dan Zaid bin Arqom Rodhiyallohu ‘Anhuma, mereka berkata:

نَهَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الذَّهَبِ بِالوَرِقِ دَيْنًا

Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam melarang menjual emas dibayar perak dengan cara hutang”. (HR Bukhory-Muslim)

Adapun jika emas atau perak (demikian juga uang yang menggantikan posisinya sebagai alat tukar) dipakai membeli benda-benda riba yang empat (burr, sya’ir garam, dan kurma) maka tidak mesti tunai.
‘Aisyah Rodhiyallohu ‘Anha mengatakan: “Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam membeli makanan dari seorang Yahudi dengan cara hutang. Maka beliau menjadikan baju besinya sebagai jaminan”. (HR Bukhory)

Dalam riwayat lain, ‘Aisyah Rodhiyallohu ‘Anha menjelaskan bahwa makanan yang dimaksudkan adalahsya’ir: “Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam meninggal, sementara baju besinya tergadai pada seorang Yahudi, untuk mendapatkan tiga puluh sho’ sya’ir”. (HR Al-Bukhory)

C. Jual beli barang berbeda kelompok. 

Sebagaimana yang baru disebutkan, maka hukum jual belinya sebagaimana barang-barang yang lain, tak masalah kalau hutang, terserah kadarnya berapa. Beli gula dengan sekilo perak dibayar dalam tempo setahun, tidak ada unsur riba.

PEMBAHASAN KEDUA: RIBA DALAM TRANSAKSI UTANG PIUTANG

Sebelum masuk ke masalah ini, ada beberapa istilah yang perlu kita pahami terlebih dahulu karena terkadang dua perkara berbeda dalam hukum syari’at, namun dalam kebiasaan kita sering diungkapkan dengan ibarat yang sama.

Yang pertama: i’aaroh. Yaitu peminjaman suatu barang, namun barang yang dikembalikan adalah barang yang dipinjam, barang pinjaman tidak menjadi hak milik peminjam. Seperti minjam sepeda motor, maka yang dikembalikan mesti sepeda motor yang dipinjam tidak boleh yang lain walau jenisnya sama.

Bentuk i’aaroh ini, jika si pemilik barang ingin meminta manfaat dari pinjamannya, maka bentuk akadnya menjadi ijaaroh (sewa menyewa).

Yang kedua qordh. Yaitu peminjaman suatu barang, namun tidak harus barang yang kelak dikembalikan peminjam tidak mesti barang yang diambil ketika meminjam karena status barang yang dipinjam telah menjadi hak milik peminjam, dia berhak menggunakan sesuka hatinya, boleh menjual atau menghadiahkan kepada orang lain. Posisi peminjam adalah pengutang.

Jadi kebiasaan kita meminjam uang masuk ke jenis qordh. Karena uang yang kita bayarkan -walau nilainya sama- nomor serinya sudah berbeda. Jenis kedua inilah yang kita singgung dalam masalah riba.

BENTUK RIBA DALAM UTANG PIUTANG

Barang-barang yang terkena riba dalam bentuk ini, tidak terbatas pada barang-barang yang terkena riba dalam bentuk jual beli. Akan tetapi riba dalam utang piutang juga berlaku pada barang barang yang lain.

[Bentuk Pertama]

Pada waktu tempo pelunasan, si peminjam tidak memiliki cukup uang untuk melunasi. Akhirnya disepakati bahwa tempo pembayaran ditunda dengan adanya tambahan bagi pihak pemilik uang. Entah itu dinamakan hadiah, sedekah, bonus, ganti-rugi dll. Ini adalah riba dalam utang piutang orang jahiliyyah.[Az-Zawajir -Ibnu Hajar 1/431, Ahkaamul Qur’an -Al-Jashshoos 1/635]

[Bentuk Kedua]

Tambahan bonus (kelebihan) disyaratkan ketika terjadi transaksi. Pensyaratan ini bisa jadi dari pihak pemilik uang atau dari pihak peminjam. Bonus tersebut bisa berupa harta (misalkan: seseorang meminjamkan seratus juta biar diganti dengan seratus sepuluh juta), atau bisa juga bonus itu berupa transaksi yang lain (misalkan: seseorang meminjamkan seratus juta dengan syarat si peminjam mau meminjamkan rumahnya, atau menyewakannya, atau menjual), atau dengan syarat balas jasa(misalnya: pemilik uang mengatakan: “Nanti kalau aku terdesak, kamu mesti meminjamkan aku uang”.). Ini juga bentuk riba dalam utang piutang orang jahiliyyah. [Jaami’il Bayan – Ath-Thonary 4/90, Al-Jaami’ Li Ahkaamil Qur’an -Al Qurthuby 3/226]

Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

لَا يَحِلُّ سَلَفٌ وَبَيْعٌ

“Tidak dihalalkan pinjaman disertai pembelian”. (HR Ahmad, Abu Daud dll, dari ‘Abdulloh bin ‘AmrRodhiyallohu ‘Anhu, sanadnya dihasankan Syaikh Al-Albany, lihat juga Tahqiq Musnad Imam Ahmad)

Imam Malik Rahimahulloh mengatakan: “Penafsiran hadits tersebut bahwasanya seorang lelaki berkata kepada lelaki lain, aku beli barang daganganmu dengan harga sekian dan sekian, dengan syarat engkau meminjamkanku sekian dan sekian”. [Al-Istidzkaar 6/432]

Mengambil manfaat berupa transaksi yang lain saja tidak diperbolehkan, maka bagaimana jika kelebihan yang disyaratkan dalam bentuk harta ???

Para ulama muslimin juga telah ijma’ (sepakat) bahwa adanya syarat manfaat dari pinjaman (yakni qordh) adalah riba. [Al-Istidzkar – Ibnu ‘Abdil Barr 6/514, Al-Ijmaa’ – Ibnu Mundzir 120-121, Al-Muhalla – Ibnu Hazm 8/77, Majmu’ul Fatawa 29/334, Al-Mughny – Ibnu Qudamah 6/436]

Ke dalam jenis inilah masuknya riba pada penyimpanan di bank. Karena posisi nasabah adalah pemberiqordh.

KENAPA PENYIMPANAN UANG DI BANK DIGOLONGKAN QORDH?

Peletakan uang pada seseorang atau badan tertentu tak lepas dari tiga jenis transaksi dalam syari’at Islam.

1. Wadii’ah

Adalah penitipan barang untuk dijaga. Orang yang diminta untuk menjaga tidak boleh memanfaatkan barang tersebut apalagi mengalihkan kepemilikan. Jika barang tersebut hilang, rusak, kebakaran, kecurian dsb, maka orang yang dititipkan ganti rugi jika hal tersebut muncul karena kelalaiannya. Adapun jika terjadi perkara-perkara tersebut bukan karena kelalaian orang yang dititipi maka dia tidak bertanggung jawab untuk memberi ganti rugi sama sekali. Misalkan dia telah meletakkan barang titipan di tempat yang aman -menurut kebiasaan- kemudian terjadi salah satu dari musibah tersebut, maka dia tidak bisa dituntut.

2. Ijaaroh

Adalah sewa menyewa. Yaitu peletakan barang di tangan seseorang dengan imbalan. Orang yang yang menyewa boleh memanfaatkan barang tersebut namun tidak berhak menukar, memberikan kepada orang lain, menjual dsb karena barang sewaan itu bukanlah miliknya. Apabila barang rusak atau hilang, maka pihak penyewa tidak dibebani ganti rugi, kecuali jika hal tersebut muncul karena kelalaiannya.

3. Qordh

Sedikit banyaknya telah kita singgung sebelumnya. Pada transaksi ini, terjadi perpindahan kepemilikan. Orang yang menerima barang berhak memanfaatkan, merusakkan, ataupun mengalihkan kepemilikan kepada pihak lain, yang penting dia harus mengembalikan kepada pemberi qordh barang dari jenis dan kondisi yang sama.

Nah, penyimpanan uang di bank tak mungkin dikatakan wadii’ah, karena pihak bank memanfaatkan uang tersebut, terbukti nomor seri yang dikembalikan tidak sama. Kemudian pihak bank harus mengganti rugi jika terjadi kehilangan dalam keadaan apapun.

Penyimpanan uang di bank tidak bisa juga dikatakan sebagai ijaaroh (sewa) karena syarat sewa menyewa, barang yang disewakan tetap tidak boleh berganti, sementara uang tidak mungkin bisa dimanfaatkan kecuali dengan mengalihkan kepemilikan kepada pihak yang lain. Kemudian pihak bank harus mengganti rugi jika terjadi kehilangan dalam keadaan apapun.

Jadi penyimpanan uang di bank transaksinya hanyalah qordh, karena bank memiliki hak untuk membelanjakan uang tersebut, dan mengembalikannya ketika diminta. Jika terjadi kehilangan atau kerusakan dalam proses penyimpanan maka pihak bank bertanggung jawab sepenuhnya dalam keadaan apapun.

SAMA-SAMA RIDHO KOK !!!

Sebagian orang beralasan bahwa mereka melakukan transaksi riba: “Kedua pihak suka sama suka, sementara hubungan interaksi sesama manusia dibangun di atas keridhoan. Kalau kedua pihak saling ridho maka transaksinya sah”.

Memang keridhoan kedua belah pihak menjadi faktor penentu sah tidaknya transaksi baik jual-beli, utang-piutang, pemberian dll. Namun itu semua itu hanyalah pada hal-hal yang diperbolehkan secara syari’at.

Bukankah transaksi heroin, kokain dan semisalnya didasari saling ridho antar penjual dan pembeli?

Bukankan penjualan perempuan ke club pelacuran didasari saling ridho antar penjual dan pembeli?

Padahal untuk riba dan jual beli sendiri, Alloh telah membedakannya. Hanya para pecandu riba yang mengatakannya sama. Alloh Ta’ala bersabda:

الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا

“Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri dari kuburnya kelak melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat): “Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba”. Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. (QS Al-Baqoroh 275)

MEMBAYAR HUTANG DENGAN MEMBERI KELEBIHAN

Terkadang kita memberikan pinjaman kepada seseorang, ketika dia melunasinya dia memberikan dengan nilai atau jumlah yang lebih dari yang dipinjamkan, apakah ini riba?

Jika tambahan itu disyaratkan atau dijanjikan sebelumnya, maka insyaalloh kita telah paham tentang hukumnya berdasar penjelasan terdahulu.

Adapun jika tidak ada pensyaratan atau pemberian janji sebelumnya?

Inilah letak kekeliruan sebagian orang, diantara mereka ada yang memahami tambahan ini tergolong ke dalam riba. 

Padahal dalam sebuah hadits, Abu Rofi’ Rodhiyallohu ‘Anhu mengatakan: 

“Sesungguhnya Rosululloh meminjam (qordh)bakr (anak onta yang masih kecil) dari seseorang. Kemudian datang unta-unta sedekah kepada Rosululloh, maka beliau memerintahkan Abu Rofi’ untuk mengganti bakr milik lelaki itu. Abu Rofi’ berkata: “Aku tidak mendapatkan (diantara unta-unta sedekah) kecuali unta pilihan ruba’iy (yang telah berumur enam tahun masuk tujuh)”. 

Maka beluiau berkata:

أعطه إياه، إن خيار الناس أحسنهم قضاء

“Berikanlah itu kepadanya. Sesungguhnya manusia pilihan adalah yang paling baik diantara mereka dalam memberikan ganti” (HR Muslim)

سبحانك اللهم وبحمدك أشهد أن لا إله إلا أنت أستغفرك وأتوب إليك

Ditulis oleh: Abu Ja’far Al-Harits Al-Minangkabawy Saddadahulloh
14 Jumadil Awwal 1434
Darul Hadits – Dammaj -Yaman

HUKUM RINGKAS SEPUTAR QUNUT NAZILAH

Makna Qunut
Qunut dalam bahasa Arab mempunyai banyak arti. Diantaranya mempunyai arti : “Taat, Khusyu’, Sholat, Doa, Ibadah, Berdiri, Lama berdiri dalam sholat, dan Diam.”
Al-Ambari rohimahulloh berkata : “Qunut itu ada empat macam makna : Sholat, Lama Berdiri dalam sholat, Menegakkan Ketaatan (benar-benar melakukan amal ketaatan), dan Diam.” (lihat An-Nihayah fii Goribil Hadits wal Atsar, 4/96)
Adapun yang dimaksud disini adalah doa di dalam sholat, yang dilakukan setelah bangkit dari ruku’ pada roka’at  terakhir setiap sholat-sholat fardhu, atau pada roka’at terakhir dari sholat witir.
Yang dimaksud dengan Nazilah disini adalah peristiwa atau kejadian besar (luar biasa) yang dialami oleh kaum muslimin, apakah itu berupa bencana/musibah, serangan musuh atau peperangan, dan lain-lainnya.
Dalil-Dalil tentangnya
Banyak sekali dalil-dalil yang menunjukkan disyari’atkannya hal itu, diantaranya adalah hadits Anas bin Malik rodhiyallohu ‘anhu, dia berkata : “Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam mendoakan kejelakan terhadap orang-orang yang membunuh para sahabatnya di Bi’ruma’unnah selama 30 hari, beliau mendoakan kejelekan terhadap kabilah Ri’il, Dzakwan, Lihyan dan Ushoyyah, yang mereka telah durhaka kepada Alloh dan Rosul-Nya…..” (HR Muslim no. 677)
Dalam riwayat lainnya : “Bahwa Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam melakukan qunut selama satu bulan, setelah bangkit dari ruku’, beliau mendoakan kejelekan kepada suatu kabilah dari beberapa kabilah bangsa arab, kemudian setelah itu beliau meninggalkannya.” (HR Imam Al-Bukhori no. 4089 dan Muslim no. (677) (204) )
Dalam riwayat lainnya disebutkan, beliau berdoa : “Ya Alloh, laknatlah Lihyan, Ri’il, Dzakwan dan Ushoiyyah, yang mereka telah durhaka kepada Alloh dan Rosul-Nya.”Anas berkata : “Kemudian sampailah berita kepada kami bahwa beliau meninggalkan qunut nazilah tersebut ketika turun ayat :
لَيْسَ لَكَ مِنَ الأمْرِ شَيْءٌ أَوْ يَتُوبَ عَلَيْهِمْ أَوْ يُعَذِّبَهُمْ فَإِنَّهُمْ ظَالِمُونَ (١٢٨)
“Tak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu atau Allah menerima taubat mereka, atau mengazab mereka karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang zalim.” (QS Ali Imron : 128) (HR  Imam Muslim no. 274)
Dalam hadits Ibnu Abbas rodhiyallohu ‘anhuma, dia berkata : “Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam melakukan qunut nazilah terus menerus selama satu bulan, pada sholat dhuhur, ashar, maghrib, isya’ dan shubuh, di akhir sholat apabila beliau mengucapkan : “Sami’allohu liman hamidah”, dari roka’at yang terakhir, beliau mendoakan kebinasaan atas mereka, yakni atas kabilah Bani Sulaim, Ri’il, Dzakwan, dan Ushoiyyah, dan orang-orang yang di belakang beliau (yakni para makmum) mengaminkannya, (dan sebab beliau melakukan qunut ini adalah) beliau mengutus para sahabat kepada mereka (kabilah-kabilah yang tersebut di atas) untuk mendakwahi mereka kepada Islam, tetapi ternyata kemudian mereka membunuhnya.”(HR Imam Ahmad dalam Al-Musnad (1/301), Ibnu Khuzaimah dalam As-Shohih (no. 618) dan yang selainnya, sanadnya shohih, dishohihkan oleh Syaikh Al-Albani rohimahulloh dalam Irwa’ul Gholil (2/163) dan juga guru kami, Syaikh Muhammad bin Hizam hafidzhohulloh dalam Fathul Allam, 1/773)   
Dan masih banyak dalil-dalil lainnya. Berdasarkan dalil-dalil tersebut, maka jumhur ulama berpendapat disunnahkannya melakukan qunut nazuilah ketika terjadi musibah yang menimpa kaum muslimin, seperti ketika terjadi peperangan yakni diserangnya kaum muslimin oleh orang-orang kafir dan yang lainnya. Qunut nazilah itu bentuknya adalah mendoakan kebaikan atau kemenangan untuk kaum muslimin, dan mendoakan kehancuran atau kekalahan di pihak kaum kafirin atau musyrikin yang memerangi kaum muslimin.
(lihat : Syarh Al-Muhadzdzab (3/494) dan Al-Mughni (2/586-587) )
Pada sholat yang manakah qunut nazilah itu dilakukan ?
Dalam masalah ini ada beberapa pendapat para ulama sebagai berikut :
Pertama : Qunut Nazilah itu dilakukan secara khusus pada waktu sholat fajr / sholat shubuh saja, bukan pada waktu sholat-sholat lainnya. Ini pendapat Imam Ahmad dan Ishaq rohimahulloh. Dalilnya adalah hadits Anas bin Malik sebagaimana disebutkan dalam shohih Al-Bukhori dan Muslim dan yang lainnya, disebutkan dengan taqyid (kepastian) bahwa beliau melakukan itu pada saat Sholat Fajr (Sholat Shubuh). (HRImam Al-Bukhori no. 1001Muslim no. 675 dan 677 (298, 299) )
Kedua : Qunut Nazilah itu dilakukan hanya pada waktu sholat Shubuh dan Sholat Maghrib saja, karena kedua sholat ini adalah sholat yang bacaan Al-Qur’annya dibaca dengan jahr (keras/nyaring), pada kedua ujung siang. Ini adalah pendapatnya Abul Khoththob Al-Hambali rohimahulloh. Dalilnya adalah hadits Anas bin Malik rodhiyallohu ‘anhu dalam As-Shohihain : “Bahwa Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam melakukan qunut pada sholat maghrib dan fajr (shubuh).” (HR Imam Al-Bukhori no. 1004 dan Muslim no. 678)
Ketiga : Bahwa Qunut Nazilah itu dilakukan pada semua sholat yang lima waktu. Ini adalah pendapat para ulama Syafi’iyyah. Dalilnya adalah hadits Abu Huroiroh rodhiyallohu ‘anhu, bahwa beliau berkata : “Sungguh aku akan mendekatkan (yakni menunjukkan dan mencontohkan) kepada kalian sholatnya Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam, adalah beliau shollallohu ‘alaihi wa sallam qunut pada roka’at terakhir dari sholat dhuhur, sholat isya’ yang diakhirkan, sholat shubuh …….” (HRImam Al-Bukhori no. 797 dan Muslim no. 676)
Dalil lainnya adalah hadits Ibnu Abbas rodhiyallohu ‘anhuma sebagaimana yang telah disebutkan di atas. (HR Imam Ahmad dalam Al-Musnad (1/301), Ibnu Khuzaimah dalam As-Shohih (no. 618) dan yang selainnya, sanadnya shohih, dishohihkan oleh Syaikh Al-Albani rohimahulloh dalam Irwa’ul Gholil (2/163) dan juga guru kami, Syaikh Muhammad bin Hizam hafidzhohulloh dalam Fathul Allam, 1/773)   
Dari sekian pendapat di atas, yang insya Alloh rojih (kuat dan terpilih) adalah pendapat terakhir, yakni pendapat para ulama Syafi’iyyah, dan inilah yang dirojihkan oleh Al-Imam As-Syaukani rohimahulloh dalam Nailul Author.
Adapun pendapat pertama dan kedua, yang berdalil dengan hadits-hadits yang menyebutkan sebagian sholat tertentu, hal itu tidak menunjukkan bahwa beliau tidak melakukan doa qunut pada sholat-sholat yang lainnya. Hanya saja diambil faedah dari dalil-dalil tersebut, bahwa beliau shollallohu ‘alaihi wa sallam menjaga betul doa qunut pada waktu sholat tersebut lebih banyak dan lebih ditekankan daripada di waktu-waktu sholat yang lainnya. Wallohu a’lamu bis showab.
(lihat Syarh Al-Muhadzdzab (3/505-506), Al-Mughni (2/586-587) dan Syarhus Sunnah (2/243-245) )
Dimanakah letak Doa Qunut Nazilah yang kita lakukan dalam sholat ?
Hadits-hadits yang menjelaskan tentang Doa Qunut Nazilah, sebagian besarnya menjelaskan letaknya, yaitu ba’da ruku’ (yakni setelah bangkit dari ruku’, pada roka’at terakhir dari sholat yang kita lakukan)
Dalil yang menunjukkan hal itu diantaranya adalah hadits Ibnu Umar rodhiyallohu ‘anhuma dalam Shohih Al-Bukhori (no. 4560) : “Bahwa Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam melakukan qunut setelah ruku’.” Juga hadits Abu Huroiroh rodhiyallohu ‘anhu dalam Shohih Al-Bukhori (no. 797) dan Shohih Muslim (no. 676), kemudian juga hadits Khofaf bin Ima’ Al-Ghifari rodhiyallohu ‘anhu dalam Shohih Muslim (no. 679), juga kebanyakan dari hadits Anas bin Malik rodhiyallohu ‘anhu dalam As-Shohihain, semuanya menjelaskan bahwa Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam melakukan qunut ba’da (setelah) ruku’.
Kemudian datang pula riwayat-riwayat lainnya dari Anas bin Malik rodhiyallohu ‘anhu bahwa Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam melakukan qunut sebelum ruku’. Lalu mana yang benar dari riwayat-riwayat tersebut ?
Al-Imam Ibnu Rojab Al-Hambali rohimahulloh menjelaskan : “Para A’immah (imam-imam Ahlul Hadits, yakni para ulama) mengingkari riwayat dari Ashim yang meriwayatkan dari Anas bin Malik, yang menjelaskan tentang qunut sebelum ruku’. Imam Ahmad mengatakan : “Ashim menyelisihi mereka semuanya, yakni menyelisihi sahabat-sahabat Anas. Kemudian beliau juga berkata : “(Dalam riwayat) Hisyam, dari Qotadah, dari Anas, bahwa Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam melakukan qunut ba’da ruku’.” (Dalam riwayat) At-Taimi, dari Abu Majlaz, dari Anas (seperti itu juga). (Dalam riwayat) Ayyub, dari Mujahid dia berkata : “Aku bertanya kepada Anas….” (Dalam riwayat) Handholah As-Sadusi, dari Anas : Ada empat sisi.. Abu Bakar Al-Khotib berkata dalam kitab Al-Qunut : “Adapun hadits Ashim Al-Ahwal, dari Anas, maka sesungguhnya dia bersendirian dalam riwayatnya (tentang qunut sebelum ruku’), dia menyelisihi semua sahabat-sahabat Anas yang meriwayatkan tentang qunut ba’da ruku’, oleh karena itu hukumnya adalah riwayat-riwayat yang banyak itu mengalahkan riwayat yang hanya satu orang saja (sebab riwayat yang demikian itu dianggap syadz, yakni ganjil atau “nyeleh”, menyelisihi riwayat yang mayoritas, edt.). Sebagian ulama muta’akhirin membawa pengertian hadits Anas tentang qunut sebelum ruku’ itu pada pengertian/makna lain dari ruku’ itu, yakni maksudnya adalah “itholatul qiyaam”(lama berdiri sebelum ruku’, bukan bermakna melakukan doa qunut, edt.), sebagaimana dalam hadits : “Afdholus Sholati thulul qunut” (seutama-utama sholat adalah yang panjang/lama berdirinya…” (Fathul Bari, Syarh Shohih Al-Bukhori (6/276), karya Al-Hafidz Ibnu Rojab Al-Hambali rohimahulloh) Hal seperti inipun juga dijelaskan oleh Al-Imam Ibnul Qoyyim rohimahulloh dalam kitab beliau Zaadul Ma’aad.
Al-Imam Al-Baihaqy rohimahulloh berkata : “Riwayat-riwayat tentang qunut ba’da ruku’ itu lebih banyak dan lebih terjaga/terpelihara. Atas pendapat inilah para Kholifah Ar-Rosyidun rodhiyallohu ‘anhum ajma’in berjalan/berpendapat, sebagaimana riwayat-riwayat yang shohih dan masyhur dari mereka.” (As-Sunan Al-Kubro, 2/208)
Guru kami, Syaikh Muhammad bin Ali bin Hizam hafidzohulloh berkata pula : “Jumhur ulama telah berpendapat bahwa qunut itu adalah ba’da ruku’, dan inilah pendapat yang benar.” (Fathul ‘Allam, 1/775) Wallohu a’lamu bis showab.
(lihat Al-Mughni (2/581-582), Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab (3/506) )
Apakah disyari’atkan dengan mengangkat tangan ketika doa qunut ?
Jawabnya : Ya benar, disunnahkan untuk mengangkat tangan tatkala melakukan doa qunut. Ini adalah pendapat para ulama, diantaranya Imam Ahmad, Ishaq, Ashabur Ro’yi, dan pendapat yang shohih dari beberapa pendapat para ulama madzhab As-Syafi’iyyah.
Mereka berdalil dengan keumuman hadits-hadits yang menganjurkan mengangkat tangan ketika berdoa, seperti hadits Salman Al-Farisi rodhiyallohu ‘anhu, bahwa Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya Robb-mu Pemalu lagi Pemurah. Apabila hamba-Nya mengangkat tangan kepada-Nya, maka Dia malu kalau hamba-Nya tersebut mengembalikan tangannya dalam keadaan kosong (tidak dikabulkan doanya, edt.)” (HR Abu Dawud no. 1488, At-Tirmidzi no. 3556, Ibnu Majah no. 3865, dan Al-Hakim (1/497), dishohihkan oleh Syaikh Al-Albani rohimahulloh dalam Shohih Ibnu Majah no. 3131 dan Al-Misykah no. 2244, tetapi guru kami, Syaikh Muhammad bin Ali bin Hizam hafidzhohulloh mengatakan : “Yang rojih hadits ini Mauquf pada Salman, adapun secara Marfu’ hadits ini Dho’if.” (Bulughul Marom, dengan Tahqiq dan Takhrij oleh guru kami tersebut, penerbit Maktabah Ibnu Taimiyyah, Darul Hadits Dammaj, Sho’dah, Yaman) Wallohu a’lamu bis showab.
Mereka juga berdalil dengan hadits Anas bin Malik rodhiyallohu ‘anhu, dia berkata :“Aku melihat Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam setiap kali sholat pagi hari (yakni Sholat Shubuh) beliau mengangkat kedua tangannya mendoakan kebinasaan atas mereka, yakni orang-orang yang telah membunuh sahabat-sahabat beliau.” (HRImam Muslim)
Imam Ahmad bin hambal rohimahulloh juga menyebutkan riwayat hadits dengan sanad-sanadnya dari Anas bin Malik rodhiyallohu ‘anhu, dalam suatu hadits yang panjang, Anas rodhiyallohu ‘anhu berkata : “Aku tidak pernah melihat Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam mendapati suatu permasalahan yang membuat beliau berduka/bersedih karenanya (kecuali beliau bersedih) atas mereka (para sahabatnya yang terbunuh). Sungguh, aku melihat  Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam setiap kali sholat di pagi hari (yakni sholat shubuh) beliau mengangkat kedua tangannya, beliau mendoakan kebinasaan atas mereka (kaum yang telah membunuh para sahabatnya tersebut..).” (HR Imam Ahmad, no. 12.402, sanad-sanadnya shohih menurut syarat Imam Muslim)
Dan masih banyak dalil-dalil lainnya yang menunjukkan disunnahkan untuk mengangkat tangan ketika melakukan doa qunut, baik oleh Imam maupun makmum semuanya, wallohu a’lamu bis showab.
(lihat Syarh Al-Muhadzdzab (3/507)
Apakah Makmum disunnahkan untuk mengaminkan doa qunutnya Imam ?
Jawabnya : Ya, disunnahkan bagi makmum mengaminkan doa qunutnya imam. Dalilnya sebagaimana dalam hadits Ibnu Abbas rodhiyallohu ‘anhuma yang telah disebutkan di atas.
Ibnu Abbas rodhiyallohu ‘anhuma berkata : “Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam melakukan qunut nazilah terus menerus selama satu bulan, pada sholat dhuhur, ashar, maghrib, isya’ dan shubuh, di akhir sholat apabila beliau mengucapkan : “Sami’allohu liman hamidah”, dari roka’at yang terakhir, beliau mendoakan kebinasaan atas mereka, yakni atas kabilah Bani Sulaim, Ri’il, Dzakwan, dan Ushoiyyah, dan orang-orang yang di belakang beliau (yakni para makmum) mengaminkannya, (dan sebab beliau melakukan qunut ini adalah) beliau mengutus para sahabat kepada mereka (kabilah-kabilah yang tersebut di atas) untuk mendakwahi mereka kepada Islam, tetapi ternyata kemudian mereka membunuhnya.” (HR Imam Ahmad dalamAl-Musnad (1/301), Ibnu Khuzaimah dalam As-Shohih (no. 618) dan yang selainnya, sanadnya shohih, dishohihkan oleh Syaikh Al-Albani rohimahulloh dalamIrwa’ul Gholil (2/163) dan juga guru kami, Syaikh Muhammad bin Hizam hafidzhohulloh dalam Fathul Allam, 1/773)   
Para ulama berdalil dengan hadits tersebut di atas untuk menunjukkan disunnahkannya bagi makmum mengaminkan doa qunutnya imam. Bahkan Al-Imam Ibnu Khuzaimah rohimahulloh dalam Shohih-nya (1/313) membawakan bab dengan judul “BAB BAHWA QUNUT ITU UNTUK SEMUA SHOLAT (YANG LIMA WAKTU), DAN MAKMUM MENGAMINKAN IMAM KETIKA MELAKUKAN DOA QUNUT”. Setelah itu beliau membawakan dalil-dalil tentang masalah ini.
Al-Imam Ibnu Qudamah rohimahulloh mengatakan : “Apabila imam melakukan doa qunut, maka orang-orang yang dibelakangnya (yakni para makmum) hendaknya mengaminkannya. Dalam masalah ini tidak ada khilaf (perselisihan diantara para ulama).” (Al-Mughni, 2/584)
Apakah ada dalil yang menunjukkan lafadz doa tertentu untuk Qunut Nazilah ?
Sepanjang yang kami ketahui, tidak ada dalil khusus yang menunjukkan lafadz tertentu untuk doa dalam qunut nazilah. Para ulama memberikan keluasan dalam masalah ini. Oleh karena itu boleh berdoa apa saja sesuai dengan apa yang dibutuhkan dan sesuai keadaan orang yang tertimpa musibah.
Al-Qodhi Iyyadh rohimahulloh menukil ijma’ (kesepakatan) para ulama tentang tidak adanya doa khusus/tertentu dalam qunut nazilah ini. Al-Imam Ibnu Sholah rohimahulloh menganggap orang yang berpendapat adanya doa khusus dalam qunut nazilah ini adalah pendapat yang keliru dan menyelisihi pendapat jumhur ulama. Wallohu a’lamu bis showab.
(lihat Al-Majmu’ (3/477) karya Al-Imam An-Nawawi rohimahulloh dan Majmu’ Al-Fatawa (23/108) karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rohimahulloh)

Abu Abdirrohman Yoyok WN
sumber : darul ilmi

FIQIH JENAZAH (1) Menjelang & Setelah Kematian

FIQIH JENAZAH (1) Menjelang & Setelah Kematian



بسم الله الرحمن الرحيم
إن الحمد لله، نحمده ونستعينه، ونستغفره، ونعوذ بالله من شرور أنفسنا، وسيئات أعمالنا، من يهده الله فلا مضل له، ومن يضلل فلا هادي له، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له وأشهد أن محمدا عبده ورسوله، أما بعد، فان أصدق الحديث كتاب الله، وأحسن الهدي هدي محمد، وشر الامور محدثاتها، وكل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة، وكل ضلالة في النار

Alloh 'azza wa jalla berfirman:

تبارك الذي بيده الملك وهو على كل شيء قدير * الذي خلق الموت والحياة ليبلوكم أيكم أحسن عملا وهو العزيز الغفور

"Telah banyak kebaikan dan kenikmatan Alloh atas seluruh makhluk-Nya, yang di tangan-Nyalah kekuasaan dunia dan akhirat. Perintah dan hukumnya berlaku pada keduanya dan Dialah yang berkuasa atas segala sesuatu. Yang menciptakan kematian dan kehidupan ini untuk menguji kalian -wahai manusia-, siapa di antara kalian yang paling bagus dan ikhlas amalannya. Dia adalah Al-'Aziz, maha perkasa yang tidak terkalahkan oleh siapapun lagi Al-Ghofur, maha pengampun bagi siapa yang bertaubat dari hamba-hamba-Nya." 

(Tafsir Muyassar QS. Al-Mulk: 1-2)

كل نفس ذائقة الموت ونبلوكم بالشر والخير فتنة وإلينا ترجعون

"Setiap jiwa itu pasti akan merasakan kematian, selama apapun ia hidup di dunia. Tidaklah keberadaannya dalam kehidupan ini, melainkan untuk diuji dengan beban syariat berupa perintah dan larangan dengan berbolak-baliknya keadaan antara kebaikan dan kejelekan. Kemudian tempat kembalinya nanti setelah itu adalah kepada Alloh semata untuk dihitung amalannya dan dibalasi dengan balasan yang setimpal." 

(Tafsir Muyassar QS. Al-Anbiya': 35)

Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda:

ما لي وللدنيا؟ ما أنا في الدنيا إلا كراكب استظل تحت شجرة، ثم راح وتركها

"Apa urusanku dengan dunia?! Tidaklah keadaanku di dunia ini, melainkan seperti pengendara yang berteduh sejenak di bawah sebuah pohon, lalu pergi dan meninggalkannya." 

(HR. Ahmad dan selainnya dari Ibnu Mas'ud rodhiyallohu 'anhu, dishohihkan oleh Imam Al-Albaniy rohimahulloh dalam Ash-Shohihah, no. 438)

Kaum muslimin yang dimuliakan oleh Alloh ta'ala, petunjuk Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam dalam penyelenggaraan jenazah itu merupakan sebaik-baik petunjuk, berbeda dengan selainnya dari umat manusia. Petunjuk tersebut mencakup perlakuan baik bagi si mayit berupa hal-hal yang bermanfaat baginya di kuburan serta hari kebangkitannya, juga perlakuan yang baik pula bagi keluarga dan kerabat yang ditinggalkannya. Diantara petunjuk beliau dalam hal itu adalah penegakan 'ubudiyah (penghambaan) terhadap Robb tabaroka wa ta'ala dengan sebaik-baik keadaan dan perlakuan baik terhadap si mayit dengan mempersiapkannya untuk menuju Alloh ta'ala dengan seutama-utama keadaan.

Mengingat bahwa hukum-hukum penyelenggaraan jenazah itu termasuk ilmu syariat yang wajib dipelajari dan sangat diperlukan serta keadaan kebanyakan kaum muslimin jaman sekarang yang jauh sekali dari petunjuk Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam dalam hal peribadatan, diantaranya adalah masalah ini, yang disebabkan banyak dari mereka yang meninggalkan untuk mempelajari ilmu agama, terutama ilmu hadits dan sunnah. Sebaliknya mereka tekun dalam mendalami ilmu-ilmu keduniaan dan berbagai pekerjaan guna mengumpulkan harta untuk kehidupan dunia mereka. Ditambah lagi dengan adanya bid'ah-bid'ah serta berbagai macam penyimpangan yang terjadi pada masalah ini, maka perlu untuk disampaikan suatu risalah -meskipun sederhana- tentang hukum-hukum atau tata cara pengurusan jenazah yang sesuai dengan sunnah dan terhindarkan dari kebid'ahan dan kemaksiatan dengan mengambil faedah dari karya-karya para ulama sunnah yang telah diakui keilmuannya. Dengan demikian, diharapkan kaum muslimin dapat melakukan apa yang sifatnya wajib atas mereka -di atas ilmu dan bashiroh- terhadap kerabat dan saudaranya yang meninggal dunia.

Risalah ini dimulai dengan pembahasan masalah talqin terhadap seseorang menjelang kematiannya dan apa yang dilakukan bagi yang hadir ketika itu beserta para kerabatnya, wabillahit-taufiq.

Talqin seseorang menjelang kematiannya

Ketika kematian datang menjelang kepada seseorang, maka disunnahkan bagi yang hadir di sisinya ketika itu untuk melakukan beberapa amalan berikut ini:

Pertama: Mentalqin atau menuntunnya untuk mengucapkan kalimat syahadat. Hal ini merupakan perintah Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam dalam sebuah hadits beliau:

لقنوا موتا كم لا إله إلا الله ، من كان آخر كلامه لا إله إلا الله عند الموت دخل الجنة يوما من الدهر، وإن أصابه قبل ذلك ما أصابه

"Tuntunlah seseorang menjelang kematiannya untuk mengucapkan kalimat: "Laa ilaha illalloh." Siapa yang akhir ucapannya: "Laa ilaha illalloh" menjelang kematiannya, maka kelak akan masuk jannah, meskipun sebelumnya tertimpa apa yang menimpanya." 

(HR. Muslim dari Abu Huroiroh rodhiyallohu 'anhu dengan tambahan riwayat dari Ibnu Hibban, dishohihkan Imam Al-Albaniy dalam Irwa'ul Gholil, no. 679. Juga dari hadits Mu'adz bin Jabal rodhiyallohu 'anhu, riwayat Ahmad dengan sanad hasan sebagaimana dalam Al-Irwa', no. 687)

Para ulama telah sepakat akan disyariatkannya talqin tersebut. Akan tetapi hal itu tidak dilakukan secara terus-menerus agar tidak menyempitkan hati si mayit, sehingga ia akan membencinya dan mengatakan sesuatu yang tidak pantas. Jika telah mengucapkan kalimat syahadat sekali, maka tidak perlu diulangi lagi kecuali ia mengucapkan kalimat lain, sehingga perlu diulang lagi supaya akhir ucapannya adalah kalimat syahadat. 

(Al Majmu': 5/110, Imam An-Nawawi; Al Mughni: 2/450, Ibnu Qudamah; Al Muhalla, no. 595, Ibnu Hazm; Nailul Author, Imam Asy Syaukani rohimahumulloh)

Perhatian: Bukanlah talqin tersebut dengan menyebut-nyebut kalimat syahadat di depan orang tersebut dan memperdengarkannya -terutama kepada seorang muslim yang lemah imannya-, akan tetapi dengan mengingatkan si mayit menjelang kematiannya untuk mengucapkannya atau dengan sindiran atau memintanya untuk mengucapkannya. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam ketika menjenguk salah seorang sahabat dari kalangan Anshor sebagaimana dalam hadits Anas bin Malik rodhiyallohu 'anhu:

أن رسول الله صلى الله عليه وسلم عاد رجلا من الأنصار، فقال: يا خال! قل: لا إله إلا الله، فقال: أخال أم عم؟ فقال: بل خال، فقال: فخير لي أن أقول: لا إله إلا الله؟ فقال النبي صلى الله عليه وسلم: نعم

"Bahwasanya Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam pernah menjenguk salah seorang dari sahabat Anshor menjelang kematiannya. Maka beliau berkata: "Wahai paman, ucapkanlah: "Laa ilaaha illalloh." Beliau bertanya: "Apakah paman dari pihak ibu atau bapak? Jawabnya: "Dari pihak ibu." Maka ia berkata: "Apa lebih baik bagi diriku untuk mengucapkan: "Laa ilaaha illalloh?" Jawab Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam: "Ya." 

(HR. Ahmad, kata Imam Al-Albaniy rohimahulloh: "Sanadnya shohih sesuai dengan syarat Imam Muslim dan dishohihkan oleh Imam al-Wadi'iy dalam Ash-Shohihul Musnad, no. 37).

 (Ahkamul Janaiz, hal. 20 dan Fathul 'Allam: 2/268)

Kedua: Mendoakannya dan tidak mengatakan sesuatu kepadanya melainkan kebaikan. Hal ini sebagaimana dalam hadits Ummu Salamah rodhiyallohu 'anha, berkata: "Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda:

إذا حضرتم المريض أو الميت، فقولوا خيرا، فإن الملائكة يؤمنون على ما تقولون

"Jika kalian menghadiri orang sakit atau menjelang kematiannya, maka hendaklah mengatakan kebaikan. Sesungguhnya malaikat akan mengaminkan apa yang kalian katakan." 

(HR. Muslim)

Ketika waktu menjelang kematiannya cukup lama, maka disunnahkan bagi yang hadir untuk memberikan rasa tenang kepada si mayit dengan dekatnya rahmat Alloh serta menganjurkannya untuk husnuddhon (berbaik sangka) terhadap Robbnya dengan menyebutkan dalil-dalil tentang roja' (pengharapan akan rahmat Alloh) serta menyemangatinya akan hal itu. 

(Al Majmu': 5/98, Imam Nawawi)

Hukum menghadiri seorang kafir menjelang kematiannya

Dibolehkan untuk menghadiri seorang kafir menjelang kematiannya untuk menyerunya ke dalam Islam dengan harapan ia bersedia masuk Islam dengan mengucapkan dua kalimat syahadat. Hal ini berdasarkan hadits Anas rodhiyallohu 'anhu, beliau berkata:

كان غلام يهودي يخدم النبي صلى الله عليه وسلم فمرض، فأتاه النبي صلى الله عليه وسلم يعوده، فقعد عند رأسه، فقال له أسلم، فنظر إلى أبيه وهو عنده ، فقال له أطع أبا القاسم صلى الله عليه وسلم فأسلم، فخرج النبي صلى الله عليه وسلم وهو يقول الحمد لله الذي أنقذه من النار، فلما مات، قال صلوا على صاحبكم

"Ada seorang anak Yahudi pembantu Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam menderita sakit. Maka Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam menjenguknya dan duduk di sisi kepalanya. Nabi berkata: "Berislamlah!" Maka anak itu melihat kepada ayahnya yang ketika itu berada di sisinya. Sang ayah berkata: "Taatilah Abul Qosim (Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam)!" Maka anak itu masuk Islam. Ketika Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam keluar, beliau bersabda: "Alhamdulillah (segala puji bagi Alloh) yang telah menyelamatkannya dari neraka." Ketika anak itu telah meninggal, beliau shollallohu 'alaihi wa sallam berkata: "Sholatilah saudara kalian!" 

(HR. Bukhori dan selainnya dengan tambahan dari riwayat Ahmad)

Apa yang dilakukan para hadirin setelah ia meninggal dunia?

Setelah ia benar-benar meninggal dunia setelah keluarnya roh dari jasadnya, disertai dengan tanda-tanda kematian seperti meregangnya kulit wajah, menurunnya kedua pelipis, miring hidungnya, terlepas telapak tangannya, lemas kakinya serta menyusut buah pelirnya dan tergantung kulitnya, maka bagi yang hadir di sisi mayit hendaknya melakukan hal-hal sebagai berikut:

Amalan pertama: Memejamkan kedua matanya jika terbuka, lalu mendoakannya dengan kebaikan. Hal ini sebagaimana hadits Ummu Salamah rodhiyallohu 'anha, beliau berkata:

دخل رسول الله صلى الله عليه وسلم على أبي سلمة، وقد شق بصره، فأغمضه ثم قال: إن الروح إذا قبض تبعه البصر، فضج ناس من أهله فقال: لا تدعوا على أنفسكم إلا بخير، فان الملائكة يؤمنون على ما تقولون، ثم قال: اللهم اغفر لابي سلمة، وارفع درجته في المهديين، واخلفه في عقبه في الغابرين، واغفر لنا وله يا رب العالمين، وافسح له في قبره، ونور له فيه

"Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam menjenguk jenazah Abu Salamah yang matanya terbuka. Maka beliau memejamkannya dan bersabda: "Sesungguhnya roh itu ketika dicabut, diikuti oleh matanya. Maka seketika itu kerabatnya berteriak menangis. Maka beliau bersabda: "Janganlah kalian berdoa kecuali dengan kebaikan. Sesungguhnya malaikat mengaminkan apa-apa yang kalian katakan." Kemudian beliau berdoa: "Ya Alloh, ampunilah Abu Salamah, angkatlah derajatnya bersama orang-orang yang telah diberi hidayah, jagalah keluarganya dan orang-orang yang ditinggalkannya, ampunilah dosa-dosa kami dan dosa-dosanya, wahai Robb semesta alam, lapangkanlah kuburannya dan terangilah dia di dalamnya." 

(HR. Muslim dan selainnya)

Hal ini merupakan kesepakatan para ulama dan hikmahnya adalah agar tidak terlihat kurang baik ketika dipandang jika tidak dipejamkan. Demikian juga dibolehkan untuk mengikat kedua rahangnya dengan kain diikatkan ke atas kepala agar mulut si mayit tidak terbuka setelah beberapa lama dan juga melemaskan sendi-sendinya agar lebih memudahkan ketika proses memandikan dan mengafaninya. 

(Al Majmu': 5/110, Imam Nawawiy; Al Muhalla, no. 596; Asy Syarhul Mumti': 5/325; Fathul 'Allam: 2/272)

Perhatian: Tidak ada bacaan dzikir atau doa tertentu (khusus) yang disyariatkan berdasarkan dalil yang shohih ketika memejamkan kedua mata si mayit. Adapun apa yang diriwayatkan oleh Abdurrozzaq dalam Al-Mushonnaf dan Al-Baihaqiy dalam Sunan Al-Kubro tentang dzikir ketika memejamkan mata mayit dari Bakr bin Abdillah rohimahulloh, bahwasanya beliau berkata: "Jika engkau memejamkan mata mayit, maka katakanlah: "Bismillah wa 'ala millati Rosulillah," maka ini hanyalah ucapan atau pendapat beliau semata tanpa didasari oleh hadits Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam. Jadi tidak ada dzikir atau bacaan doa yang tsabit dan shohih dalam masalah tersebut. 

(Jami'ul Adillah, hal. 84)

Amalan kedua: Menutupi seluruh badan si mayit dengan pakaian atau kain dan ini merupakan kesepakatan ulama, sebagaimana hadits Aisyah rodhiyallohu 'anha:

أن رسول الله صلى الله عليه وسلم حين توفي سجي ببرد حبرة

"Bahwasanya Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam ketika meninggal dunia, jasad beliau ditutup dengan pakaian bergaris ala Yaman." 

(HR. Bukhori dan Muslim)

Hikmah ditutupnya seluruh badan mayit adalah agar tidak tersingkap tubuh dan aurotnya yang telah berubah setelah meninggalnya. Menutup tubuh mayit tersebut dilakukan setelah dilepasnya pakaian si mayit tersebut agar tubuhnya tidak cepat rusak dikarenakan pakaiannya tersebut. Juga tidak meletakkan mayit di atas tanah, akan tetapi diletakkan di atas papan atau dipan dan sebagainya agar tidak cepat rusak. 

(Syarh Muslim, Al Majmu': 5/105, Imam Nawawi; Fathul Bari: 3/140, Ibnu Hajar; Fathul 'Allam: 2/273)

Perhatian: Hal ini adalah bagi yang meninggal bukan dalam keadaan muhrim (berihrom). Adapun yang meninggal dunia ketika berpakaian ihrom, maka tidaklah ditutup wajah dan kepalanya, berdasarkan hadits Ibnu Abbas rodhiyallohu 'anhuma:

بينما رجل واقف بعرفة، إذ وقع عن راحلته فوقصته، أو قال: فأقعصته، فقال النبي صلى الله عليه وسلم: اغسلوه بماء وسدر، وكفنوه في ثوبين -وفي رواية: في ثوبيه- ولا تحنطوه -وفي رواية: ولا تطيبوه- ، ولا تخمروا رأسه ولا وجهه ، فإنه يبعث يوم القيامة ملبيا

"Ketika seseorang tengah melakukan wukuf di Arofah, tiba-tiba dia terjatuh dari hewan tunggangannya dan patah lehernya sehingga meninggal. Maka Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam berkata: "Mandikanlah ia dengan air campur sidr (bidara), lalu kafanilah dengan dua potong pakaian (dalam riwayat: dua potong pakaiannya), jangan diberi wewangingan. Jangan ditutupi kepala dan wajahnya. Sesungguhnya ia akan dibangkitkan nanti dalam keadaan bertalbiyah." 

(HR. Bukhori tanpa tambahan riwayat dan Muslim dalam Shohih keduanya, Abu Nu'aim dalam Al-Mustakhroj, Al-Baihaqi dalam Sunannya)

Amalan ketiga: Menyegerakan proses pengurusan jenazah jika telah yakin akan kematiannya. Hal ini berdasarkan hadits Abu Huroiroh rodhiyallohu 'anhu, bahwasanya Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda:

أسرعوا بالجنازة، فإن تك صالحة فخير تقدمونها، وإن يك سوى ذلك، فشر تضعونه عن رقابكم

"Segerakanlah pengurusan jenazah. Jika ia seorang yang sholeh, maka ia adalah kebaikan yang segera kalian kedepankan. Jika selain itu, maka ia adalah kejelekan yang segera kalian lepaskan dari pundak-pundak kalian." 

(HR. Bukhori dan Muslim)

Hal-hal yang boleh dilakukan oleh para hadirin terhadap si mayit

Diperbolehkan bagi para hadirin untuk menyingkap wajah si mayit serta menciumnya dan diperbolehkan untuk menangis bersedih hati selama tiga hari, tidak lebih dari itu. Diantara dalil-dalil yang menunjukkan hal ini adalah:

Hadits Jabir bin Abdillah rodhiyallohu 'anhuma, ketika terbunuhnya Abdulloh ayahnya. Beliau berkata: "Ketika ayahku terbunuh, maka aku singkapkan kain penutup wajahnya sambil aku menangis. Orang-orang melarangku untuk itu, sedangkan Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam tidak melarangku. Kemudian Nabi memerintahkan agar jenazah ayahku diangkat. Seketika itu bibiku Fathimah mulai menangis. Maka Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda:

تبكين، أولا تبكين، ما زالت الملائكة تظله بأجنحتها حتى رفعتموه

"Engkau menangis ataupun tidak, senantiasa malaikat memayunginya dengan sayap-sayapnya sampai kalian mengangkatnya." 

(HR. Bukhori dengan tambahan riwayat dari Muslim dan Nasa'i)

Hadits Aisyah rodhiyallohu 'anha, beliau berkata:

أقبل أبو بكر رضي الله عنه على فرسه من مسكنه بالسنح حتى نزل فدخل على المسجد، (وعمر يكلم الناس) فلم يكلم الناس حتى دخل على عائشة رضي الله عنها، فتيمم النبي صلى الله عليه وسلم وهو مسجى ببردة حبرة، فكشف عن وجهه، ثم أكب عليه فقبله (بين عينيه) ، ثم بكى فقال: بأبي أنت وأمي يا نبي الله ، لا يجمع الله عليك موتتين، أما الموتة التي عليك فقد متها، وفي رواية: لقد مت الموتة التي لا تموت بعدها أبدا

"Abu Bakar rodhiyallohu 'anhu datang dengan menunggang kudanya dari tempat kediamannya di daerah Sunh. Ketika sampai dan turun dari tunggangannya, beliau langsung memasuki masjid Nabi. Ketika itu Umar rodhiyallohu 'anhu sedang berbicara di depan orang-orang. Sedangkan Abu Bakar tidak berbicara dengan siapapun, tetapi langsung memasuki rumah Aisyah rodhiyallohu 'anha, bermaksud melihat Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam yang telah ditutup dengan pakaian bergaris dari Yaman. Maka Abu Bakar menyingkap wajah Nabi, lalu dia menelungkup dan mencium beliau (dalam riwayat: mencium antara kedua mata beliau), kemudian menangis dan berkata: "Sungguh -wahai Nabi Alloh- tidaklah Alloh mengumpulkan dua kematian atasmu (maksudnya: mati, lalu hidup lagi di dunia, kemudian mati untuk kedua kalinya). Adapun kematian atas dirimu, maka telah datang (dalam riwayat: sungguh engkau mengalami kematian yang tidak ada lagi kematian setelahnya selama-lamanya)." 

(HR. Bukhori dengan tambahan riwayat Ibnu Hibban, dishohihkan Imam Al-Albaniy dalam Shohih Ibnu Hibban, no. 3030)

Hadits Abdulloh bin Ja'far rodhiyallohu 'anhu:

أن النبي صلى الله عليه وسلم أمهل آل جعفر ثلاثا أن يأتيهم ثم أتاهم فقال: لا تبكوا على أخي بعد اليوم

"Bahwasanya Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam memberi kesempatan bagi keluarga Ja'far untuk menangis selama tiga hari sebelum beliau mendatangi mereka. Setelah itu beliau mendatangi mereka dan berkata: "Janganlah kalian menangisi saudaraku lagi setelah hari ini!" 

(HR. Abu Dawud dan Nasa'iy, Imam Al-Albaniy berkata: Sanadnya shohih sesuai dengan syarat Muslim)

Hadits Anas rodhiyallohu 'anhu, beliau berkata:

دخلنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم على أبي سيف -وكان ظئرا لإبراهيم- فأخذ رسول الله صلى الله عليه وسلم صلى الله عليه وسلم إبراهيم فقبله وشمه. ثم دخلنا عليه بعد ذلك وإبراهيم يجود بنفسه فجعلت عينا رسول الله صلى الله عليه وسلم تذرفان فقال له عبد الرحمن بن عوف: وأنت يا رسول الله؟! فقال: يا ابن عوف، إنها رحمة ثم أتبعها بأخرى فقال: إن العين لتدمع والقلب يحزن ولا نقول إلا ما نرضي ربنا وإنا بفراقك يا إبراهيم لمحزونون

"Kami bersama Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam memasuki rumah Abu Saif -suami Khoulah binti Al-Mundzir ibu susuan Ibrohim-, lalu Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam mengambil Ibrohim lalu menciuminya. Lalu kami masuk rumahnya kembali setelah itu dalam keadaan Ibrohim menghembuskan nafas terakhirnya. Maka kedua mata beliau shollallohu 'alaihi wa sallam mencucurkan air mata. Melihat hal itu, maka Abdurrohman bin 'Auf berkata: "Wahai Rosululloh, engkau berbuat demikian?!" Beliau menjawab: "Wahai Ibnu 'Auf, ini adalah rohmah…" Kemudian beliau meneruskannya seraya berkata: "Sungguh mata ini mencucurkan air mata dan hati ini bersedih… Tidaklah kita mengucapkan sesuatu melainkan apa yang membuat ridho Robb kita… Sungguh, kami sangat bersedih dengan kepergianmu, wahai Ibrohim…" 

(HR. Bukhori dan Muslim)

Perhatian: Yang diperbolehkan dalam mencium mayit di sini adalah seorang-laki-laki mencium mayit laki-laki dan perempuan mencium mayit perempuan. Maka janganlah seorang laki-laki mencium mayit perempuan dan sebaliknya, karena dapat terjadi fitnah di dalamnya serta tidak adanya riwayat yang shohih dari salaf ridhwanullohi 'alaihim bahwasanya mereka melakukan hal tersebut. 

(Jami'ul Adillah, hal. 87)

Perhatian: Mencium mayit bukan dalam rangka tabarruk (mencari berkah), karena ini tidaklah ada dalilnya dan para salaf tidaklah melakukannya dalam rangka hal tersebut. Hal itu dilakukan hanyalah dalam rangka menghormati si mayit. Tabarruk dengan jasad atau atsar hanyalah berlaku bagi Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam, karena Alloh ta'ala telah menjadikan jasad beliau berbarokah. Adapun selain beliau, maka tidak diperbolehkan mencium mayit dalam rangka tabarruk, karena hal itu termasuk wasilah yang menghantarkan kepada kesyirikan. 

(Ta'liq Syaikh Ibni Bazz 'ala Fathil Bariy, no. hadits 1244 dan Jami'ul Adillah, hal. 88)

Hal-hal yang hendaknya dilakukan oleh kerabat si mayit

Ketika mendengar berita kematian si mayit, maka hendaknya keluarga atau kerabat yang ditinggalkannya untuk:

Pertama: Bersabar dan ridho (menerima) terhadap takdir Alloh yang telah ditentukan. Firman Alloh ta'ala:

ولنبلونكم بشيء من الخوف والجوع ونقص من الأموال والأنفس والثمرات وبشر الصابرين * الذين إذا أصابتهم مصيبة قالوا إنا لله وإنا إليه راجعون * أولئك عليهم صلوات من ربهم ورحمة وأولئك هم المهتدون

"Sungguh, Kami akan menguji kalian dengan sedikit rasa takut, kelaparan, kekurangan harta benda dikarenakan sulit untuk mendapatkannya atau lenyapnya harta tersebut. Juga dengan hilangnya jiwa dengan kematian atau mati syahid di jalan Alloh. Demikian juga dengan kekurangan hasil bumi seperti korma, anggur dan biji-bijian dengan sedikitnya panenan atau tertimpa bencana. Berilah kabar gembira -wahai Nabi- kepada orang-orang yang bersabar atas ini semua dan semisalnya dengan hal-hal yang menggembirakan dan menyenangkan mereka berupa akibat yang baik di dunia dan akherat.

Diantara sifat orang-orang yang sabar tersebut adalah jika tertimpa sesuatu yang tidak disukai (musibah), maka ia mengatakan: "Inna lillahi wa inna ilaihi roji'un" (Sungguh kita ini adalah hamba milik Alloh, tunduk dengan perintah dan aturan-Nya. Dia berhak untuk memperlakukan kita sesuai dengan kehendak-Nya. Kita akan kembali kepada-Nya dengan melalui kematian. Kemudian kelak akan dibangkitkan untuk dihitung dan dibalasi amalan-amalan kita).

Orang-orang yang bersabar itulah, bagi mereka pujian dan rahmat yang besar dari Robb mereka subhanahu wa ta'ala dan mereka itulah orang-orang yang mendapatkan petunjuk kepada jalan kebenaran." 

(Tafsir Muyassar QS. Al-Baqoroh: 155-157)

Dalam hadits Anas bin Malik rodhiyallohu 'anhu, beliau berkata:

مر رسول الله صلى الله عليه وسلم بامرأة عند قبر وهي تبكي، فقال لها: اتقي الله واصبري، فقالت: إليك عني، فانك لم تصب بمصيبتي! قال: ولم تعرفه! فقيل لها: هو رسول الله صلى الله عليه وسلم! فأخذها مثل الموت، فأتت باب رسول الله صلى الله عليه وسلم فلم تجد عنده بوابين، فقالت: يا رسول الله إني لم أعرفك. فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: إن الصبر عند أول الصدمة

"Suatu ketika, Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam melewati seorang perempuan yang menangis di sisi sebuah kuburan. Maka beliau berkata kepadanya: "Takutlah kepada Alloh dan bersabarlah!" Perempuan yang belum mengenal Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam itu menjawab: "Pergilah dari sisiku, sungguh engkau tidak merasakan musibah yang menimpaku!" Kemudian dikatakan kepadanya: "Dia itu Rosululloh!" Maka perempuan itu terkejut setengah mati dan bergegas mendatangi pintu rumah beliau shollallohu 'alaihi wa sallam yang tidak ditemukan adanya para penjaga di depannya. Perempuan itu berkata: "Wahai Rosululloh, sungguh saya belum mengenal Anda..." Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda: "Sesungguhnya kesabaran itu ketika awal tertimpanya musibah." (HR. Bukhori dan Muslim)

Dari Anas bin Malik rodhiyallohu 'anhu, bahwasanya Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda:

إن عظم الجزاء مع عظم البلاء، وإن الله إذا أحب قوما ابتلاهم، فمن رضي فله الرضا، ومن سخط فله السخط

"Sungguh besarnya ganjaran itu sesuai dengan besarnya cobaan. Sesungguhnya jika Alloh ta'ala mencintai suatu kaum, maka Ia akan memberikan cobaan kepada mereka. Maka siapa yang ridho (menerima) terhadap cobaan tersebut, niscaya akan mendapatkan ridho Alloh. Sebaliknya, siapa yang tidak menerimanya, maka ia akan mendapatkan murka Alloh." 

(HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah, dihasankan oleh Imam Al-Albaniy dalam Ash-Shohihah, no. 146)

Kedua: Bagi kerabat yang ditinggalkan hendaknya mengucapkan kalimat istirja' berdasarkan ayat di atas, yaitu ucapan:

إنا لله وإنا إليه راجعون

"Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji'uun," yang maknanya: "Sungguh kita ini adalah hamba milik Alloh, tunduk dengan perintah dan aturan-Nya. Dia berhak untuk memperlakukan kita sesuai dengan kehendak-Nya. Kita akan kembali kepada-Nya dengan melalui kematian. Kemudian kelak akan dibangkitkan untuk dihitung dan dibalasi amalan-amalan kita."

Juga disertai dengan ucapan doa:

اللهم أجرني في مصيبتي واخلف لي خيرا منها

"Allohumma ijirnii fii mushibatii wakhluf lii khoiron minhaa," yang maknanya: "Ya Alloh, berikanlah aku ganjaran lantaran musibahku ini dan gantilah untukku yang lebih baik dari itu semua."

Hal ini sebagaimana hadits Ummu Salamah rodhiyallohu 'anha, beliau berkata: "Aku mendengar Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda:

ما من مسلم تصبه مصيبة فيقول ما أمره الله: إنا لله وإنا إليه راجعون، اللهم أجرني في مصيبتي واخلف لي خيرا منها إلا أخلف الله له خيرا منها

"Siapapun seorang muslim yang tertimpa musibah, lalu ia mengucapkan apa yang diperintahkan Alloh kepadanya: "Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji'uun, Allohumma ijirnii fii mushibatii wakhluf lii khoiron minhaa," niscaya Alloh akan menggantinya dengan yang lebih baik dari itu semua."

Ummu Salamah berkata: "Ketika Abu Salamah (suaminya) meninggal dunia, kukatakan: "Siapa yang lebih baik dari Abu Salamah, keluarga pertama yang hijrah kepada Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam?!" Kemudian aku mengucapkan doa tersebut. Maka Alloh menggantikan untukku yang lebih baik darinya yaitu Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam…" 

(HR. Muslim)

Ketiga: Bersegera untuk melunasi hutang-hutang si mayit dari hartanya, meskipun sampai habis total. Jika tidak mampu membayar dari hartanya sendiri, maka dibayarkan oleh pemerintah jika ia telah berusaha untuk melunasinya ketika hidupnya. Jika hal itu tidak dilakukan oleh pemerintah, maka dibolehkan jika ada seseorang yang menyumbangkan harta untuk melunasi hutangnya. Hadits-hadits yang menunjukkan akan hal itu adalah sebagai berikut:

Hadits Sa'ad bin Al Athwal rodhiyallohu 'anhu:

أن أخاه مات وترك ثلاثمائة درهم، وترك عيالا، قال: فأردت أن أنفقها على عياله، قال: فقال لي النبي صلى الله عليه وسلم: إن أخاك محبوس بدينه فاذهب فاقض عنه، فذهبت فقضيت عنه، ثم جئت، قلت: يارسول الله، قد قضيت عنه إلا دينارين ادعتهما امرأة، وليست لها بينة، قال أعطها فإنها محقة، وفي رواية: صادقة

"Bahwasanya saudara laki-lakinya meninggal dan meninggalkan harta sebanyak tiga ratus dirham serta meninggalkan anak-anak. Ia berkata: "Aku ingin menggunakan harta itu untuk menghidupi anak-anaknya. Sedangkan Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam berkata kepadaku: "Sesungguhnya saudaramu itu tertahan oleh hutangnya, maka pergilah untuk melunasinya." Lalu aku pergi melunasinya. Setelah itu aku datang kepada beliau dan kukatakan: "Wahai Rosululloh, sudah kulunasi hutangnya, kecuali sisa dua dinar yang ditagih oleh seorang wanita dan dia tidak mempunyai bukti akan hal itu. Maka beliau berkata: "Berikanlah kepadanya, sesungguhnya ia itu berhak." Dalam riwayat: "Ia itu jujur." 

(HR. Ibnu Majah, Ahmad, Baihaqi dengan sanad shohih, sebagaimana hukum Al Albaniy dalam Ahkamul Jana'iz, hal. 15)

Hadits Aisyah rodhiyallohu 'anha, bahwasanya Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda:

من حمل من أمتي دينا، ثم جهد في قضائه فمات ولم يقضه فأنا وليه

"Siapa di antara umatku yang terbebani hutang, kemudian ia telah berusaha untuk melunasinya dan meninggal dunia dan belum terlunasi juga, maka akulah walinya yang akan membayarkan hutangnya." 

(HR. Ahmad dengan sanad shohih menurut syarat Muslim, sebagaimana hukum Al Albani dalam Ahkamul Jana'iz, hal. 19)

Hadits Abu Qotadah rodhiyallohu 'anhu, beliau berkata:

توفي رجل منا فأتينا النبي صلى الله عليه وسلم ليصلي عليه قال: هل ترك من شيء؟ قالوا: لا والله ما ترك من شيء. قال: فهل ترك عليه من دين؟ قالوا: نعم. ثمانية عشر درهما. قال: فهل ترك لها قضاء؟ قالوا: لا. والله ما ترك لها من شيء. قال: فصلوا أنتم عليه. قال أبو قتادة: يا رسول الله، أرأيت إن قضيت عنه أتصلي عليه؟ قال: إن قضيت عنه بالوفاء صليت عليه. قال فذهب أبو قتادة فقضى عنه. فقال: أوفيت ما عليه؟ قال: نعم. فدعا به رسول الله صلى الله عليه وسلم فصلى عليه

"Seorang laki-laki dari kami meninggal dunia, maka aku menemui Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam meminta beliau untuk menyolatinya. Beliau bertanya: "Apakah ia meninggalkan harta?" Mereka menjawab: "Tidak -demi Alloh-, tidak meninggalkan apa-apa." Beliau bertanya: "Apa dia meninggalkan hutang?" Jawab mereka: "Ya, delapan belas dirham." Tanya beliau: "Apa dia tinggalkan sesuatu untuk melunasinya?" Jawab mereka: "Tidak, -demi Alloh- tidak meninggalkannya sama sekali." Nabi berkata: "Sholatilah dia." Abu Qotadah berkata: "Wahai Rosululloh, bagaimana jika saya lunasi hutangnya. Apakah Anda akan menyolatinya?" Jawab Nabi: Jika engkau lunasi semua hutangnya, maka aku akan menyolatinya." Maka Abu Qotadah pergi melunasinya. Kemudian beliau bertanya: "Apakah engkau telah melunasi semua hutangnya?" Ia menjawab: "Ya." Maka beliau shollallohu 'alaihi wa sallam menyolatinya." 

(HR. Ahmad. Hadits shohih, sebagaimana dalam tahqiq Musnad Ahmad: 38/328)

Keempat: Bersegera untuk melaksanakan wasiat si mayit jika memungkinkan, terutama yang berkaitan dengan urusan penyelenggaraan jenazah, seperti wasiat kepada siapa ditunjuk untuk menyolati, memandikannya dan sebagainya jika ada. Jika wasiat tersebut sifatnya wajib, maka si mayit akan segera terlepas dari tanggungan. Adapun jika wasiat tersebut sifatnya mustahab atau sunnah, maka agar segera mendapatkan pahala karenanya. 

(Asy Syarhul Mumti': 5/333)

Kelima: Wajibnya ihdad (berkabung) atas istri si mayit untuk suaminya yang meninggal. Jika ia dalam keadaan hamil, maka wajib berkabung sampai melahirkan bayinya, sebagaimana firman Alloh ta'ala:

وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُن

"Para perempuan hamil, masa iddahnya sampai melahirkan bayinya." 

(Tafsir Muyassar QS. Ath Tholaq: 4)

Adapun yang tidak hamil, maka wajib atasnya berkabung selama empat bulan sepuluh hari, sebagaimana firman Alloh ta'ala:

وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنْفُسِهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ

"Siapa yang meninggal dunia di antara kalian dan meninggalkan istri-istri, maka wajib atas istri-istri tersebut untuk menunggu (masa iddah) selama empat bulan sepuluh hari, tidak keluar dari rumah suaminya, tidak berhias diri dan tidak menikah lagi (berkabung). Jika selesai menjalani masa itu, maka tidak berdosa bagi kalian -wahai para wali perempuan- terhadap apa yang ia lakukan dari keluar rumah, berhias diri dan menikah lagi sesuai syariat. Alloh ta'ala itu Khobiir (maha mengetahui) amalan-amalan kalian, baik yang nampak maupun tidak dan akan membalasinya." 

(Tafsir Muyassar QS. Al Baqoroh: 234)

Juga berdasarkan hadits Ummu Habibah dan Zainab binti Jahsy rodhiyallohu 'anhuma riwayat Bukhori dan Muslim, bahwasanya Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda:

لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ، أَنْ تُحِدَّ فَوْقَ ثَلَاثٍ، إِلَّا عَلَى زَوْجٍ، فَإِنَّهَا تُحِدُّ عَلَيْهِ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا

"Tidak halal bagi seorang perempuan yang beriman kepada Alloh dan hari akhir untuk berkabung lebih dari tiga hari ketika ditinggal mati keluarganya, kecuali terhadap suaminya. Sesungguhnya ia berkabung terhadapnya selama empat bulan sepuluh hari."

Hal-hal yang diharamkan atas kerabat yang ditinggalkannya

Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam mengharamkan beberapa perkara yang banyak dilakukan orang-orang ketika ditinggal mati salah seorang kerabatnya:

Larangan pertama: Melakukan niyahah, seperti yang dilakukan orang-orang jaman jahiliyah. Pada jaman itu para wanita berteriak-teriak sambil menyebutkan kebaikan-kebaikan dan kebanggaan si mayit dan mengusap-usapkan tanah pada kepala-kepala mereka serta menampar-nampar wajah-wajah mereka ketika ditinggal mati salah seorang kerabatnya, tidak hanya sekedar menangis saja.

Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda:

أربع في أمتي من أمر الجاهلية، لا يتركونهن: الفخر في الأحساب، والطعن في الأنساب، والاستسقاء بالنجوم، والنياحة. وقال: النائحة إذا لم تتب قبل موتها، تقام يوم القيامة وعليها سربال من قطران، ودرع من جرب

"Empat hal dari perkara jahiliyah yang masih dilakukan oleh umatku: membanggakan keturunan, mencela nasab, keyakinan turunnya hujan karena perbuatan bintang-bintang dan niyahah." Beliau shollallohu 'alaihi wa sallam juga bersabda: "Orang yang melakukan niyahah, jika belum bertaubat darinya sebelum matinya, maka pada hari kiamat akan dibangkitkan dalam keadaan tubuhnya penuh dengan ter dan kudis." 

(HR. Muslim dan Baihaqi dari hadits Abu Malik Al-Asy'ariy rodhiyallohu 'anhu)

Hadits Abu Huroiroh rodhiyallohu 'anhu:

لما مات ابراهيم ابن رسول الله صلى الله عليه وسلم صاح أسامة بن زيد، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ليس هذا مني، وليس بصائح حق، القلب يحزن، والعين تدمع، ولا يغضب الرب

"Ketika meninggalnya Ibrohim putra Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam, Usamah bin Zaid berteriak-teriak. Maka Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam berkata: "Ini bukanlah dari jalanku, tidaklah benar orang yang berteriak itu. Hati ini memang bersedih dan air mata bercucuran, tetapi tidak boleh menyebabkan Robb kita murka." 

(HR. Ibnu Hibban dan Al-Hakim, dihasankan oleh Imam Al-Albaniy dalam Ahkamul Janaiz)

Larangan kedua: Menampar-nampar pipi dan merobek-robek bajunya. Hal ini berdasarkan hadits Ibnu Mas'ud rodhiyallohu 'anhu, bahwasanya Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda:

ليس منا من تلطم الخدود، وشق الجيوب، ودعى بدعوى الجاهلية

"Bukan dari golonganku orang yang menampar-nampar pipi, merobek-robek baju dan menyeru dengan seruan jahiliyah." 

(HR. Bukhori dan Muslim)

Diibaratkan dalam hadits ini dengan pipi, karena itulah yang biasanya ditampar. Akan tetapi hukum ini berlaku untuk keseluruhan bagian wajah, tidak hanya pipi saja. Perbuatan ini dan merobek-robek baju merupakan pertanda bahwa orang itu tidak ridho atau menerima takdir Alloh ta'ala. Adapun makna jahiliyah adalah masa sebelum datangnya Islam yang penuh dengan kebodohan akan agama Alloh. Juga setiap yang menyelisihi ajaran Islam merupakan kejahiliyahan. 

(Fathul Bari: 3/164, Ibnu Hajar; Jami'ul Adillah, hal. 95)

Larangan ketiga: Mencukur rambut, berdasarkan hadits Abu Burdah bin Abi Musa rodhiyallohu 'anhu, beliau berkata:

وجع أبو موسى وجعا فغشي عليه، ورأسه في حجر امرأة من أهله، فصاحت امرأة من أهله، فلم يستطع أن يرد عليها شيئا، فلما أفاق قال: إنا بريئ ممن برئ منه رسول الله صلى الله عليه وسلم، فان رسول الله صلى الله عليه وسلم برئ من الصالقة، والحالقة، والشاقة

"Abu Musa mengalami sakit parah sampai tidak tersadarkan diri. Sedangkan kepalanya terletak di pangkuan salah seorang istrinya. Maka berteriaklah salah seorang istrinya dan dia tidak bisa melarangnya sama sekali. Setelah ia tersadar kembali, maka ia berkata: "Sungguh aku berlepas diri dari perkara yang Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam telah berlepas diri darinya. Sungguh beliau shollallohu 'alaihi wa sallam telah berlepas diri dari orang yang berteriak ketika adanya kematian, mencukur rambut dan merobek-robek bajunya." 

(HR. Bukhori dan Muslim)

Larangan keempat: Mengacak-acak rambut, berdasarkan hadits salah seorang wanita shohabiyah yang ikut serta dalam berbai'at kepada Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam. Beliau berkata:

كان فيما أخذ علينا رسول الله صلى الله عليه وسلم في المعروف الذي أخذ علينا أن لا نعصيه فيه، وأن لا نخمش وجها ولا ندعو ويلا، ولا نشق جيبا، وأن لا ننشر شعرا

"Diantara perkara ma'ruf yang diwajibkan oleh Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam atas kami adalah supaya tidak menentang beliau, tidak mencakar-cakar wajah (ketika kematian), tidak meronta-ronta dengan seruan kebinasaan, tidak merobek-robek baju dan tidak mengacak-acak rambut." 

(HR. Abu Dawud dan Baihaqi, dishohihkan oleh Imam Al-Albaniy dalam Ahkamul Janaiz)

Larangan kelima: Na'iy yang terlarang, yaitu mengumum-umumkan tentang kematiannya di menara-menara dan semisalnya. Dari Hudzaifah bin Al-Yaman rodhiyallohu 'anhu ketika terjadi kematian seseorang, beliau berkata:

لا تؤذنوا به أحدا، إني أخاف أن يكون نعيا، إني سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم ينهى عن النعي

"Jangan kalian umum-umumkan kepada siapapun. Sungguh aku khawatir hal ini termasuk na'iy yang terlarang. Sungguh aku mendengar Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam melarang dari na'iy ini." 

(HR. Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad, Baihaqiy dan Ibnu Abi Syaibah dengan sanad hasan, sebagaimana dalam Ahkamul Janaiz, hal. 31)

Makna na'iy

Na'iy secara bahasa bermakna pengabaran tentang kematian seseorang. Makna ini mencakup segala bentuk pengabaran. Akan tetapi terdapat hadits-hadits shohih yang menunjukkan bolehnya salah satu bentuk dari pengabaran. Para ulama telah memberikan batasan tentang na'iy yang terlarang, yaitu pengabaran atau pengumuman tentang kematian seseorang yang menyerupai apa yang dilakukan pada zaman jahiliyah berupa teriakan-teriakan keras di pintu-pintu rumah, pasar-pasar, menara-menara dengan menyebut-nyebut jasa-jasa serta hal-hal yang dibanggakan dari si mayit dan sebagainya.

Na'iy yang diperbolehkan

Diperbolehkan mengumumkan tentang kematian seseorang jika tidak disertai hal-hal yang menyerupai na'iy jahiliyah. Terkadang pengumuman kematian ini menjadi wajib hukumnya jika tidak ada orang yang mengurusi jenazahnya atau menjadi mustahab hukumnya untuk memperbanyak jamaah sholat jenazah dan membantu proses penguburannya. Diantara hadits-hadits yang menunjukkan kebolehan akan hal ini adalah sebagai berikut:

Hadits Abu Huroiroh rodhiyallohu 'anhu:

أن رسول الله صلى الله عليه وسلم نعى النجاشي في اليوم الذي مات فيه، خرج إلى المصلى، فصف بهم وكبر أربعا

"Bahwasanya Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam pernah mengumumkan akan kematian Najasyiy (Raja Habasyah) pada hari kematiannya. Lalu beliau keluar menuju tempat sholat dan menyusun shof bersama para sahabat. Kemudian melakukan sholat dengan empat kali takbir (sholat ghoib)." 

(HR. Bukhori dan Muslim)

Hadits Ibnu Abbas rodhiyallohu 'anhu:

مات إنسان كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يعوده، فمات بالليل، فدفنوه ليلا، فلما أصبح أخبروه، فقال: ما منعكم أن تعلموني؟ قالوا: كان الليل فكرهنا، وكانت ظلمة أن نشق عليك فأتى قبره فصلى عليه

"Salah seorang sahabat yang sebelumnya Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam telah menjenguknya telah meninggal dunia pada malam hari. Lalu mereka kuburkan malam itu juga. Ketika paginya, para sahabat baru mengabari beliau shollallohu 'alaihi wa sallam. Maka beliau berkata: "Mengapa kalian tidak memberitahukan kepadaku?" Mereka menjawab: "Malam yang gelap, kami tidak ingin mengganggu dan memberatkan Anda." Maka beliau mendatangi kuburannya dan melakukan sholat atasnya." 

(HR. Bukhori)

Hadits Anas bin Malik rodhiyallohu 'anhu, bahwasanya Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam mengabarkan tentang keadaan para shohabat yang telah diutus dalam suatu peperangan:

أخذ الراية زيد فأصيب، ثم أخذ جعفر فأصيب، ثم أخذها عبد الله بن رواحة فأصيب -إن عيني رسول الله صلى الله عليه وسلم لتذرفان- ثم أخذها خالد بن الوليد من غير إمرة ففتح له

"Zaid (Ibn Haritsah) memegang bendera pasukan, lalu terbunuh. Kemudian diambil alih oleh Ja'far (Ibn Abi Tholib), lalu terbunuh juga. Kemudian diambil alih oleh Abdulloh bin Rowahah, lalu terbunuh juga.." Anas berkata: "Sungguh, kedua mata Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam meneteskan air mata.." Kemudian beliau meneruskan ucapannya: "Lalu diambil alih oleh Kholid bin Walid tanpa adanya perintah dan mendapatkan kemenangan karenanya." 

(HR. Bukhori, no. 1246 dengan memberikan judul sebelum hadits ini: "Bab Seseorang Yang Mengumumkan Berita Kematian Kepada Keluarga Mayit")

Al-Hafidz Ibnu Hajar rohimahulloh berkata: 

"Faedah yang dapat diambil dari bab Imam Bukhori ini adalah mengisyaratkan bahwa tidak semua bentuk na'iy itu terlarang, akan tetapi yang dilarang hanyalah seperti apa yang dilakukan pada zaman jahiliyah. Dahulu mereka mengirimkan orang-orang untuk mengumumkan tentang kematian seseorang pada pintu-pintu rumah dan pasar-pasar." 

(Fathul Bari: 3/116)

Disunnahkan bagi siapa yang mengumumkan untuk menghimbau manusia agar mendoakan si mayit supaya diampuni dosa-dosanya. Hal ini berdasarkan hadits Abu Huroiroh rodhiyallohu 'anhu:

أن رسول الله صلى الله عليه وسلم نعى لهم النجاشي، صاحب الحبشة، في اليوم الذي مات فيه، وقال: استغفروا لأخيكم

"Bahwasanya Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam mengumumkan kepada para sahabat akan kematian Najasyiy pemimpin Habasyah pada hari kematiannya dan mengatakan: "Mintakanlah ampunan untuk saudaramu itu." 

(HR. Bukhori)

Juga hadits Abu Qotadah rodhiyallohu 'anhu, beliau berkata:

"Rosululloh mengutus pasukan Al-Umaro' (para pemimpin), beliau berpesan: "Taatilah Zaid bin Haritsah. Jika Zaid terbunuh, maka diganti Ja'far bin Abi Tholib. Jika Ja'far terbunuh, maka diganti Abdulloh bin Rowahah Al-Anshoriy."

Maka Ja'far melompat sambil berkata: "Wahai Rosululloh, sungguh aku tidak takut sampai engkau menjadikan Zaid sebagai pimpinanku!" Beliau menjawab: "Pergilah, sungguh engkau tidak tahu mana yang terbaik!"

Maka mereka berangkat dan berlangsunglah peperangan beberapa lama. Kemudian Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam menaiki mimbar dan memerintahkan sahabat untuk berkumpul dengan menyerukan: "Ash-Sholaatu jaami'ah!" Setelah berkumpul, Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam berkhotbah:

ناب خبر، أو ثاب خبر، ألا أخبر كم عن جيشكم هذا الغازي؟ إنهم انطلقوا فلقوا العدو، فأصيب زيد شهيدا، فاستغفروا له -فاستغفر له الناس- ثم أخذ اللواء جعفر بن أبي طالب، فشد على القوم حتى قتل شهيدا، أشهد له بالشهادة، فاستغفروا له، ثم أخذ اللواء عبد الله بن رواحة، فأثبت قدميه حتى قتل شهيدا، فاستغفروا له، ثم أخذا اللواء خالد بن الوليد

"Telah datang berita, akan kukabarkan kepada kalian tentang pasukan kalian pada perang ini. Mereka telah berangkat dan bertemu musuh. Zaid terbunuh syahid, maka mintalah ampunan untuknya…!" Maka para sahabat memintakan ampunan untuknya. Lalu Nabi berkata: "Kemudian bendera pasukan diambil oleh Ja'far bin Abi Tholib dan maju menyerang musuh sampai ia terbunuh syahid. Aku bersaksi bahwa ia mati syahid, maka mintalah ampunan untuknya…! Kemudian bendera diambil alih oleh Abdulloh bin Rowahah, maka ia kokohkan kedua kakinya sampai terbunuh syahid. Mintalah ampunan untuknya…!" Kemudian datang Kholid bin Walid mengambil bendera pasukan…"

Sedangkan dia ketika itu bukan termasuk pimpinan pasukan, tetapi menjadikan dirinya sebagai pemimpin karena semua pimpinan telah terbunuh. Kemudian Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam mengangkat jari telunjuknya seraya bersabda:

اللهم هو سيف من سيوفك

"Ya Alloh, dia itu pedang dari pedang-pedang-Mu!"

Maka terjadilah kemenangan melalui tangannya. Maka sejak itulah Kholid digelari sebagai Saifulloh (Pedang Alloh). Kemudian beliau menyerukan:

انفروا فأمدوا إخوانكم، ولا يتخلفن أحد

"Berangkatlah kalian semua, tolonglah saudara-saudara kalian, tidak ada seorangpun yang tinggal!"

Maka berangkatlah seluruh manusia di tengah-tengah panas yang sangat terik, baik dengan jalan kaki ataupun berkendaraan." 

(HR. Ahmad, Imam Al-Albaniy berkata: "Sanadnya hasan.")

Awas bid'ah…!

Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda:

فإن خير الحديث كتاب الله، وخير الهدى هدى محمد، وشر الأمور محدثاتها، وكل بدعة ضلالة

"Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabulloh dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shollallohu 'alaihi wa sallam. Sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan dalam agama ini dan setiap kebid'ahan dalam agama itu adalah sesat." 

(HR. Muslim dari Jabir bin Abdillah rodhiyallohu 'anhuma)

Beliau shollallohu 'alaihi wa sallam juga bersabda:

من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد

"Siapa yang mengamalkan suatu amalan yang bukan dari perkara (ajaran) kami, maka amalan tersebut tertolak." 

(HR. Muslim dari Aisyah rodhiyallohu 'anha)

Hadits-hadits ini menunjukkan akan haromnya melakukan kebid'ahan yang tidak ada dalil shohih dan tuntunannya dari pembawa syari'at dalam perkara agama dan tidak diterimanya amalan-amalan bid'ah tersebut di sisi Alloh ta'ala.

Dalam hadits Hudzaifah bin Al-Yaman rodhiyallohu 'anhu, beliau berkata:

كان الناس يسألون رسول الله صلى الله عليه وسلم عن الخير، وكنت أسأل عن الشر مخافة أن يدركني

"Dahulu orang-orang menanyakan tentang kebaikan kepada Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam. Sedangkan aku menanyakan kepada beliau tentang kejelekan karena khawatir ia akan menemuiku sehingga aku terjatuh ke dalamnya." 

(HR. Bukhori)

Hadits ini menunjukkan perlunya kita untuk mengenal dan mengetahui perkara-perkara kejelekan berupa kemaksiatan dan kebid'ahan dalam agama ini, supaya kita dapat menghindarkan diri darinya dan tidak terjatuh ke dalamnya. Dengan demikian, kita dapat terselamatkan dari hal-hal yang dapat mendatangkan kemurkaan Alloh ta'ala dengan seizin-Nya.

Benarlah apa kata seorang penyair:

عرفت الشر لا للشر * لكن لتوقيه
ومن لا يعرف الخير * من الشر يقع فيه

"Aku mengenal kejelekan bukan untuk dilakukan, tetapi untuk dihindarkan. Siapa yang tidak mengenal serta membedakan antara kebaikan dan kejelekan, niscaya ia akan terjatuh ke dalam kejelekan itu."

Maka perlu disampaikan di sini beberapa kebid'ahan yang sering dilakukan oleh kebanyakan manusia berkaitan dengan pengurusan jenazah, baik berupa keyakinan, ucapan ataupun perbuatan agar kita tidak terjatuh di dalamnya:

Kebid'ahan-kebid'ahan yang biasa dilakukan sebelum kematian si mayit

Bid'ah pertama: Keyakinan sebagian orang bahwa setan-setan akan mendatangi si mayit menjelang kematiannya menyerupai kedua orang tuanya yang berpakaian ala Yahudi dan Nashrani untuk menawarkan kepadanya agar keluar dari agama Islam. Ini adalah perkara yang tidak ada dalilnya.

Bid'ah kedua: Meletakkan mushhaf (kitab suci Al-Quran) di bagian kepala si mayit.

Bid'ah ketiga: Mentalqin si mayit untuk berikrar tentang Nabi dan para imam ahli bait. Ini termasuk bid'ah yang datangnya dari Syi'ah.

Bid'ah keempat: Membaca surat Yasin terhadap si mayit menjelang kematiannya. Tidak ada hadits yang shohih tentang hal ini. Adapun hadits Ma'qil bin Yasar rodhiyallohu 'anhu, bahwasanya Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda:

اقرءوا على موتاكم يس

"Bacalah atas mayit kalian surat Yasin," maka ini adalah hadits dho'if, tidak bisa dijadikan sebagai hujjah. 

(Al Irwa', no. 681)

Maka amalan ini tidaklah disyariatkan, bahkan terhitung sebagai amalan bid'ah, karena amalan itu dinyatakan syar'iy jika berdasarkan dalil yang shohih baik dari Al-Quran maupun As-Sunnah.

Bid'ah kelima: Menghadapkan si mayit menjelang kematiannya ke arah kiblat. Tidak ada satu dalil shohih pun yang menunjukkan hal ini. 

(Al Irwa', no. 689)

Bahkan hal ini dibenci oleh salaf, diantaranya adalah Sa'id bin Al-Musayyib rohimahulloh dengan ucapan beliau: "Bukankah si mayit itu seorang muslim?!"

Dari Zur'ah bin Abdurrohman, bahwasanya beliau pernah menjenguk Sa'id bin Al-Musayyib ketika sakit menjelang kematiannya. Di sisi beliau waktu itu adalah Abu Salamah bin Abdurrohman. Tatkala Sa'id tak sadarkan diri, maka Abu Salamah menyuruh anaknya Salamah untuk mengarahkan tempat tidur Sa'id ke arah ka'bah. Ketika Sa'id tersadar kembali, beliau berkata: "Kalian pindahkan tempat tidurku?!" Mereka menjawab: "Benar." Maka Sa'id melihat kepada Abu Salamah seraya berkata: "Sepertinya engkau tahu?" Lalu Abu Salamah menjawab: "Aku yang menyuruh mereka." Maka Sa'id meminta tempat tidurnya untuk dikembalikan seperti semula. 

(Riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushonnaf (4/76) dengan sanad shohih dari Zur'ah, sebagaimana dalam Ahkamul Janaiz, hal. 11)

Adapun hadits Umair ayah Ubaid tentang penyebutan dosa-dosa besar yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Nasa'i:

واستحلال البيت الحرام قبلتكم أحياء وأمواتا

"Menghalalkan bait harom (ka'bah) kiblat kalian baik ketika hidup atau mati," maka ini adalah hadits yang dho'if, tidak bisa dijadikan sebagai hujjah. Demikian juga makna hadits ini yang tepat adalah menghadapkan mayit ke arah kiblat ketika di liang lahadnya.

Juga hadits Abdulloh bin Abi Qotadah rodhiyallohu 'anhu riwayat Al-Hakim dan Baihaqiy, bahwasanya Al-Barro' bin Ma'rur meninggal dunia dan telah berwasiat yang isinya meminta untuk diarahkan ke arah kiblat ketika menjelang kematiannya adalah hadits yang dho'if dan dimungkinkan yang dimaksud oleh beliau adalah diarahkan ketika di kuburannya berdasarkan wasiat beliau. Tidaklah wasiat itu dilaksanakan, melainkan setelah meninggalnya. 

(Fathul 'Allam: 2/271)

Sebagian perkara bid'ah yang sering dilakukan setelah meninggalnya si mayit

Bid'ah pertama: Ucapan dan keyakinan Syi'ah bahwa tubuh anak Adam itu najis setelah kematiannya kecuali al-ma'shum, yaitu imam-imam mereka yang mereka yakini kemaksumannya, orang yang mati syahid dan orang yang wajib dihukum mati dan telah mandi sebelum dihukum mati. Tidak ada dalil shohih yang menunjukkan hal ini, bahkan sebaliknya, bahwa Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda:

ليس عليكم في غسل ميتكم غسل إذا غسلتموه، فإن ميتكم ليس بنجس، فحسبكم أن تغسلوا أيديكم

"Tidak wajib atas orang yang memandikan mayit untuk mandi setelah memandikannya. Sesungguhnya mayit kalian itu tidak najis. Cukuplah kalian mencuci tangan-tangan kalian."

(HR. Al-Hakim dan Baihaqiy dari Ibnu Abbas rodhiyallohu 'anhu, dihasankan oleh Imam Al-Albaniy dalam Ahkamul Janaiz, hal. 54)

Bid'ah kedua: Mengeluarkan wanita yang sedang haidh dan nifas serta laki-laki yang junub dari sisi si mayit.

Bid'ah ketiga: Tidak mandi bagi yang menghadiri keluarnya roh mayit sampai tujuh harinya.

Bid'ah keempat: Keyakinan sebagian orang bahwa roh mayit itu bergentayangan di sekitar tempat kematiannya.

Bid'ah kelima: Menyalakan lilin di sisi mayit pada malam kematiannya sampai pagi harinya.

Bid'ah keenam: Meletakkan dahan pohon yang masih basah di dalam kamar tempat kematiannya.

Bid'ah ketujuh: Membaca Al-Quran di sisi mayit sampai proses memandikannya.

Bid'ah kedelapan: Memotong kuku si mayit dan mencukur bulu kemaluannya.

Bid'ah kesembilan: Memasukkan kapas di dubur, tenggorokan dan hidungnya.

Bid'ah kesepuluh: Meletakkan tanah pada dua mata mayit dengan mengatakan: "Tidaklah ada yang memenuhi mata anak Adam kecuali tanah."

Bid'ah kesebelas: Keluarga si mayit tidak makan sampai selesai penguburannya.

Bid'ah kesepuluh: Selalu menangis pada waktu makan siang dan malam.

Bid'ah kesebelas: Seorang laki-laki merobek baju ketika ditinggal mati ayah dan saudaranya (madzhab Syi'ah Imamiyah).

Bid'ah kedua belas: Berkabung selama setahun atas kematiannya, tidak berhias sama sekali dan tidak memakai pakaian yang bagus selama itu.

Bid'ah ketiga belas: Memelihara jenggot dalam rangka berkabung.

Bid'ah keempat belas: Membalik tikar-tikar atau sajadah dan menutup cermin-cermin dan lampu-lampu gantung.

Bid'ah kelima belas: Tidak menggunakan air yang ada di rumah, baik dalam tempayan atau lainnya, berkeyakinan bahwa air itu telah menjadi najis dikarenakan roh mayit jika melayang mencebur ke dalamnya.

Bid'ah keenam belas: Jika salah seorang bersin di depan makanan disuruh menyebut nama orang-orang yang masih hidup dengan keyakinan supaya tidak menyusul si mayit.

Bid'ah ketujuh belas: Tidak makan sayuran dan ikan selama berkabung.

Bid'ah kedelapan belas: Tidak makan daging panggang dan bakar (kebab).

Bid'ah kesembilan belas: Perkataan kelompok Shufiyah: "Jika menangisi si mayit, maka telah keluar dari jalannya ahli ma'rifat.

Bid'ah keduapuluh: Tidak mencuci pakaian si mayit sampai pada hari ketiga kematian dengan keyakinan bahwa hal itu bisa menolak adzab kubur bagi si mayit.

Bid'ah keduapuluh satu: Keyakinan sebagian orang bahwa orang yang mati pada hari Jum'at atau malam Jum'at akan mendapatkan adzab kubur selama satu jam, kemudian berhenti dan tidak diadzab kembali sampai hari kiamat.

Bid'ah keduapuluh satu: Keyakinan batil yang lainnya bahwa seorang mukmin yang bermaksiat itu terputus adzab kuburnya pada hari Jum'at atau malam Jum'at dan tidak diadzab lagi sampai hari kiamat.

Bid'ah keduapuluh dua: Keyakinan yang lebih batil lagi bahwa adzab kubur itu diangkat dari orang kafir pada hari Jum'at dan bulan Romadhon dengan kehormatan Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam.

Bid'ah keduapuluh tiga: Ucapan mereka ketika memberi kabar kematian: "Al-Fatihah untuk roh si fulan." Ini bertentangan dengan tuntunan Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam tersebut di atas untuk memintakan ampunan bagi si mayit, bukan meminta untuk kirim Al-Fatihah.

Demikianlah bagian pertama dari pembahasan pengurusan jenazah ini. Insyaalloh pada bagian-bagian selanjutnya akan dibahas mengenai proses memandikan mayit sampai pada penguburannya disertai dengan beberapa permasalahan ta'ziyah bagi keluarga si mayit. Semoga bermanfaat dan menjadi ilmu yang bermanfaat serta bisa menghantarkan seseorang kepada amal sholeh yang berguna bagi kehidupan kita di dunia dan akherat.

Wallohu ta'ala a'lam bish-showab, walhamdulillahi Robbil 'alamin.

Ditulis: Mushlih Abu Sholeh Al-Madiuniy -waffaqohulloh- (rev. 15 Muharrom 1436)

Pustaka:
-At-Tafsir Al-Muyassar, karya kumpulan ulama tafsir Saudi Arabia dengan pengantar Syaikh Sholeh bin Abdul 'Aziz Alus-Syaikh waffaqohulloh, cet. ke-2 (Ad-Darul 'Alamiyyah 1430H).
-Ahkamul Janaiz wa Bida'uha, karya Imam Al-Albaniy rohimahulloh, cet. ke-4 (Al-Maktabul Islamiy 1406H).
-Talkhis Ahkamul Janaiz, karya Imam Al-Albaniy rohimahulloh, cet. ke-3 (Maktabah Al-Ma'arif).
-Jami'ul Adillah wat Tarjihat fii Ahkamil Amwat, oleh Syaikh Yahya bin Ali Al-Hajuriy, cet. pertama (Maktabah Shon'a Al-Atsariyah), tahun 1427H.
-Fathul 'Allam fii Dirosati Ahaditsi Bulughil Marom (jilid 2 Kitab Janaiz), oleh Syaikh Muhammad bin Hizam Al-Ba'daniy, cet. pertama (Maktabah Ibnu Taimiyah 1432H).
-Mulakkhosh Ahkam Al Jana'iz, oleh Syaikh Abdulloh Al Iryaniy, cet. 1 Darul Atsar 1430H.




╭─┅─═ঊঊঈ═─┅─╮
      SEBARKANLAH
      ENGKAU AKAN
      MENDAPATKAN
         PAHALANYA
╰─┅─═ঊঊঈ═─┅─╯

🅹🅾🅸🅽 🅲🅷🅰🅽🅽🅴🅻 🆃🅴🅻🅴🅶🆁🅰🅼

_*NASEHAT UNTUK SEKIRANYA TIDAK MEMONDOKKAN ANAK SEBELUM MENCAPAI BALIGH*_

_*Telah Di Periksa Oleh Asy-Syaikh Abu Fairuz Abdurrohman Bin Soekojo Al Indonesiy حفظه الله تعالى*_                بِسْمِ اللّهِ الرَّحْمَن...