FIQIH JENAZAH (1) Menjelang & Setelah Kematian

FIQIH JENAZAH (1) Menjelang & Setelah Kematian



بسم الله الرحمن الرحيم
إن الحمد لله، نحمده ونستعينه، ونستغفره، ونعوذ بالله من شرور أنفسنا، وسيئات أعمالنا، من يهده الله فلا مضل له، ومن يضلل فلا هادي له، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له وأشهد أن محمدا عبده ورسوله، أما بعد، فان أصدق الحديث كتاب الله، وأحسن الهدي هدي محمد، وشر الامور محدثاتها، وكل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة، وكل ضلالة في النار

Alloh 'azza wa jalla berfirman:

تبارك الذي بيده الملك وهو على كل شيء قدير * الذي خلق الموت والحياة ليبلوكم أيكم أحسن عملا وهو العزيز الغفور

"Telah banyak kebaikan dan kenikmatan Alloh atas seluruh makhluk-Nya, yang di tangan-Nyalah kekuasaan dunia dan akhirat. Perintah dan hukumnya berlaku pada keduanya dan Dialah yang berkuasa atas segala sesuatu. Yang menciptakan kematian dan kehidupan ini untuk menguji kalian -wahai manusia-, siapa di antara kalian yang paling bagus dan ikhlas amalannya. Dia adalah Al-'Aziz, maha perkasa yang tidak terkalahkan oleh siapapun lagi Al-Ghofur, maha pengampun bagi siapa yang bertaubat dari hamba-hamba-Nya." 

(Tafsir Muyassar QS. Al-Mulk: 1-2)

كل نفس ذائقة الموت ونبلوكم بالشر والخير فتنة وإلينا ترجعون

"Setiap jiwa itu pasti akan merasakan kematian, selama apapun ia hidup di dunia. Tidaklah keberadaannya dalam kehidupan ini, melainkan untuk diuji dengan beban syariat berupa perintah dan larangan dengan berbolak-baliknya keadaan antara kebaikan dan kejelekan. Kemudian tempat kembalinya nanti setelah itu adalah kepada Alloh semata untuk dihitung amalannya dan dibalasi dengan balasan yang setimpal." 

(Tafsir Muyassar QS. Al-Anbiya': 35)

Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda:

ما لي وللدنيا؟ ما أنا في الدنيا إلا كراكب استظل تحت شجرة، ثم راح وتركها

"Apa urusanku dengan dunia?! Tidaklah keadaanku di dunia ini, melainkan seperti pengendara yang berteduh sejenak di bawah sebuah pohon, lalu pergi dan meninggalkannya." 

(HR. Ahmad dan selainnya dari Ibnu Mas'ud rodhiyallohu 'anhu, dishohihkan oleh Imam Al-Albaniy rohimahulloh dalam Ash-Shohihah, no. 438)

Kaum muslimin yang dimuliakan oleh Alloh ta'ala, petunjuk Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam dalam penyelenggaraan jenazah itu merupakan sebaik-baik petunjuk, berbeda dengan selainnya dari umat manusia. Petunjuk tersebut mencakup perlakuan baik bagi si mayit berupa hal-hal yang bermanfaat baginya di kuburan serta hari kebangkitannya, juga perlakuan yang baik pula bagi keluarga dan kerabat yang ditinggalkannya. Diantara petunjuk beliau dalam hal itu adalah penegakan 'ubudiyah (penghambaan) terhadap Robb tabaroka wa ta'ala dengan sebaik-baik keadaan dan perlakuan baik terhadap si mayit dengan mempersiapkannya untuk menuju Alloh ta'ala dengan seutama-utama keadaan.

Mengingat bahwa hukum-hukum penyelenggaraan jenazah itu termasuk ilmu syariat yang wajib dipelajari dan sangat diperlukan serta keadaan kebanyakan kaum muslimin jaman sekarang yang jauh sekali dari petunjuk Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam dalam hal peribadatan, diantaranya adalah masalah ini, yang disebabkan banyak dari mereka yang meninggalkan untuk mempelajari ilmu agama, terutama ilmu hadits dan sunnah. Sebaliknya mereka tekun dalam mendalami ilmu-ilmu keduniaan dan berbagai pekerjaan guna mengumpulkan harta untuk kehidupan dunia mereka. Ditambah lagi dengan adanya bid'ah-bid'ah serta berbagai macam penyimpangan yang terjadi pada masalah ini, maka perlu untuk disampaikan suatu risalah -meskipun sederhana- tentang hukum-hukum atau tata cara pengurusan jenazah yang sesuai dengan sunnah dan terhindarkan dari kebid'ahan dan kemaksiatan dengan mengambil faedah dari karya-karya para ulama sunnah yang telah diakui keilmuannya. Dengan demikian, diharapkan kaum muslimin dapat melakukan apa yang sifatnya wajib atas mereka -di atas ilmu dan bashiroh- terhadap kerabat dan saudaranya yang meninggal dunia.

Risalah ini dimulai dengan pembahasan masalah talqin terhadap seseorang menjelang kematiannya dan apa yang dilakukan bagi yang hadir ketika itu beserta para kerabatnya, wabillahit-taufiq.

Talqin seseorang menjelang kematiannya

Ketika kematian datang menjelang kepada seseorang, maka disunnahkan bagi yang hadir di sisinya ketika itu untuk melakukan beberapa amalan berikut ini:

Pertama: Mentalqin atau menuntunnya untuk mengucapkan kalimat syahadat. Hal ini merupakan perintah Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam dalam sebuah hadits beliau:

لقنوا موتا كم لا إله إلا الله ، من كان آخر كلامه لا إله إلا الله عند الموت دخل الجنة يوما من الدهر، وإن أصابه قبل ذلك ما أصابه

"Tuntunlah seseorang menjelang kematiannya untuk mengucapkan kalimat: "Laa ilaha illalloh." Siapa yang akhir ucapannya: "Laa ilaha illalloh" menjelang kematiannya, maka kelak akan masuk jannah, meskipun sebelumnya tertimpa apa yang menimpanya." 

(HR. Muslim dari Abu Huroiroh rodhiyallohu 'anhu dengan tambahan riwayat dari Ibnu Hibban, dishohihkan Imam Al-Albaniy dalam Irwa'ul Gholil, no. 679. Juga dari hadits Mu'adz bin Jabal rodhiyallohu 'anhu, riwayat Ahmad dengan sanad hasan sebagaimana dalam Al-Irwa', no. 687)

Para ulama telah sepakat akan disyariatkannya talqin tersebut. Akan tetapi hal itu tidak dilakukan secara terus-menerus agar tidak menyempitkan hati si mayit, sehingga ia akan membencinya dan mengatakan sesuatu yang tidak pantas. Jika telah mengucapkan kalimat syahadat sekali, maka tidak perlu diulangi lagi kecuali ia mengucapkan kalimat lain, sehingga perlu diulang lagi supaya akhir ucapannya adalah kalimat syahadat. 

(Al Majmu': 5/110, Imam An-Nawawi; Al Mughni: 2/450, Ibnu Qudamah; Al Muhalla, no. 595, Ibnu Hazm; Nailul Author, Imam Asy Syaukani rohimahumulloh)

Perhatian: Bukanlah talqin tersebut dengan menyebut-nyebut kalimat syahadat di depan orang tersebut dan memperdengarkannya -terutama kepada seorang muslim yang lemah imannya-, akan tetapi dengan mengingatkan si mayit menjelang kematiannya untuk mengucapkannya atau dengan sindiran atau memintanya untuk mengucapkannya. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam ketika menjenguk salah seorang sahabat dari kalangan Anshor sebagaimana dalam hadits Anas bin Malik rodhiyallohu 'anhu:

أن رسول الله صلى الله عليه وسلم عاد رجلا من الأنصار، فقال: يا خال! قل: لا إله إلا الله، فقال: أخال أم عم؟ فقال: بل خال، فقال: فخير لي أن أقول: لا إله إلا الله؟ فقال النبي صلى الله عليه وسلم: نعم

"Bahwasanya Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam pernah menjenguk salah seorang dari sahabat Anshor menjelang kematiannya. Maka beliau berkata: "Wahai paman, ucapkanlah: "Laa ilaaha illalloh." Beliau bertanya: "Apakah paman dari pihak ibu atau bapak? Jawabnya: "Dari pihak ibu." Maka ia berkata: "Apa lebih baik bagi diriku untuk mengucapkan: "Laa ilaaha illalloh?" Jawab Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam: "Ya." 

(HR. Ahmad, kata Imam Al-Albaniy rohimahulloh: "Sanadnya shohih sesuai dengan syarat Imam Muslim dan dishohihkan oleh Imam al-Wadi'iy dalam Ash-Shohihul Musnad, no. 37).

 (Ahkamul Janaiz, hal. 20 dan Fathul 'Allam: 2/268)

Kedua: Mendoakannya dan tidak mengatakan sesuatu kepadanya melainkan kebaikan. Hal ini sebagaimana dalam hadits Ummu Salamah rodhiyallohu 'anha, berkata: "Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda:

إذا حضرتم المريض أو الميت، فقولوا خيرا، فإن الملائكة يؤمنون على ما تقولون

"Jika kalian menghadiri orang sakit atau menjelang kematiannya, maka hendaklah mengatakan kebaikan. Sesungguhnya malaikat akan mengaminkan apa yang kalian katakan." 

(HR. Muslim)

Ketika waktu menjelang kematiannya cukup lama, maka disunnahkan bagi yang hadir untuk memberikan rasa tenang kepada si mayit dengan dekatnya rahmat Alloh serta menganjurkannya untuk husnuddhon (berbaik sangka) terhadap Robbnya dengan menyebutkan dalil-dalil tentang roja' (pengharapan akan rahmat Alloh) serta menyemangatinya akan hal itu. 

(Al Majmu': 5/98, Imam Nawawi)

Hukum menghadiri seorang kafir menjelang kematiannya

Dibolehkan untuk menghadiri seorang kafir menjelang kematiannya untuk menyerunya ke dalam Islam dengan harapan ia bersedia masuk Islam dengan mengucapkan dua kalimat syahadat. Hal ini berdasarkan hadits Anas rodhiyallohu 'anhu, beliau berkata:

كان غلام يهودي يخدم النبي صلى الله عليه وسلم فمرض، فأتاه النبي صلى الله عليه وسلم يعوده، فقعد عند رأسه، فقال له أسلم، فنظر إلى أبيه وهو عنده ، فقال له أطع أبا القاسم صلى الله عليه وسلم فأسلم، فخرج النبي صلى الله عليه وسلم وهو يقول الحمد لله الذي أنقذه من النار، فلما مات، قال صلوا على صاحبكم

"Ada seorang anak Yahudi pembantu Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam menderita sakit. Maka Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam menjenguknya dan duduk di sisi kepalanya. Nabi berkata: "Berislamlah!" Maka anak itu melihat kepada ayahnya yang ketika itu berada di sisinya. Sang ayah berkata: "Taatilah Abul Qosim (Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam)!" Maka anak itu masuk Islam. Ketika Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam keluar, beliau bersabda: "Alhamdulillah (segala puji bagi Alloh) yang telah menyelamatkannya dari neraka." Ketika anak itu telah meninggal, beliau shollallohu 'alaihi wa sallam berkata: "Sholatilah saudara kalian!" 

(HR. Bukhori dan selainnya dengan tambahan dari riwayat Ahmad)

Apa yang dilakukan para hadirin setelah ia meninggal dunia?

Setelah ia benar-benar meninggal dunia setelah keluarnya roh dari jasadnya, disertai dengan tanda-tanda kematian seperti meregangnya kulit wajah, menurunnya kedua pelipis, miring hidungnya, terlepas telapak tangannya, lemas kakinya serta menyusut buah pelirnya dan tergantung kulitnya, maka bagi yang hadir di sisi mayit hendaknya melakukan hal-hal sebagai berikut:

Amalan pertama: Memejamkan kedua matanya jika terbuka, lalu mendoakannya dengan kebaikan. Hal ini sebagaimana hadits Ummu Salamah rodhiyallohu 'anha, beliau berkata:

دخل رسول الله صلى الله عليه وسلم على أبي سلمة، وقد شق بصره، فأغمضه ثم قال: إن الروح إذا قبض تبعه البصر، فضج ناس من أهله فقال: لا تدعوا على أنفسكم إلا بخير، فان الملائكة يؤمنون على ما تقولون، ثم قال: اللهم اغفر لابي سلمة، وارفع درجته في المهديين، واخلفه في عقبه في الغابرين، واغفر لنا وله يا رب العالمين، وافسح له في قبره، ونور له فيه

"Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam menjenguk jenazah Abu Salamah yang matanya terbuka. Maka beliau memejamkannya dan bersabda: "Sesungguhnya roh itu ketika dicabut, diikuti oleh matanya. Maka seketika itu kerabatnya berteriak menangis. Maka beliau bersabda: "Janganlah kalian berdoa kecuali dengan kebaikan. Sesungguhnya malaikat mengaminkan apa-apa yang kalian katakan." Kemudian beliau berdoa: "Ya Alloh, ampunilah Abu Salamah, angkatlah derajatnya bersama orang-orang yang telah diberi hidayah, jagalah keluarganya dan orang-orang yang ditinggalkannya, ampunilah dosa-dosa kami dan dosa-dosanya, wahai Robb semesta alam, lapangkanlah kuburannya dan terangilah dia di dalamnya." 

(HR. Muslim dan selainnya)

Hal ini merupakan kesepakatan para ulama dan hikmahnya adalah agar tidak terlihat kurang baik ketika dipandang jika tidak dipejamkan. Demikian juga dibolehkan untuk mengikat kedua rahangnya dengan kain diikatkan ke atas kepala agar mulut si mayit tidak terbuka setelah beberapa lama dan juga melemaskan sendi-sendinya agar lebih memudahkan ketika proses memandikan dan mengafaninya. 

(Al Majmu': 5/110, Imam Nawawiy; Al Muhalla, no. 596; Asy Syarhul Mumti': 5/325; Fathul 'Allam: 2/272)

Perhatian: Tidak ada bacaan dzikir atau doa tertentu (khusus) yang disyariatkan berdasarkan dalil yang shohih ketika memejamkan kedua mata si mayit. Adapun apa yang diriwayatkan oleh Abdurrozzaq dalam Al-Mushonnaf dan Al-Baihaqiy dalam Sunan Al-Kubro tentang dzikir ketika memejamkan mata mayit dari Bakr bin Abdillah rohimahulloh, bahwasanya beliau berkata: "Jika engkau memejamkan mata mayit, maka katakanlah: "Bismillah wa 'ala millati Rosulillah," maka ini hanyalah ucapan atau pendapat beliau semata tanpa didasari oleh hadits Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam. Jadi tidak ada dzikir atau bacaan doa yang tsabit dan shohih dalam masalah tersebut. 

(Jami'ul Adillah, hal. 84)

Amalan kedua: Menutupi seluruh badan si mayit dengan pakaian atau kain dan ini merupakan kesepakatan ulama, sebagaimana hadits Aisyah rodhiyallohu 'anha:

أن رسول الله صلى الله عليه وسلم حين توفي سجي ببرد حبرة

"Bahwasanya Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam ketika meninggal dunia, jasad beliau ditutup dengan pakaian bergaris ala Yaman." 

(HR. Bukhori dan Muslim)

Hikmah ditutupnya seluruh badan mayit adalah agar tidak tersingkap tubuh dan aurotnya yang telah berubah setelah meninggalnya. Menutup tubuh mayit tersebut dilakukan setelah dilepasnya pakaian si mayit tersebut agar tubuhnya tidak cepat rusak dikarenakan pakaiannya tersebut. Juga tidak meletakkan mayit di atas tanah, akan tetapi diletakkan di atas papan atau dipan dan sebagainya agar tidak cepat rusak. 

(Syarh Muslim, Al Majmu': 5/105, Imam Nawawi; Fathul Bari: 3/140, Ibnu Hajar; Fathul 'Allam: 2/273)

Perhatian: Hal ini adalah bagi yang meninggal bukan dalam keadaan muhrim (berihrom). Adapun yang meninggal dunia ketika berpakaian ihrom, maka tidaklah ditutup wajah dan kepalanya, berdasarkan hadits Ibnu Abbas rodhiyallohu 'anhuma:

بينما رجل واقف بعرفة، إذ وقع عن راحلته فوقصته، أو قال: فأقعصته، فقال النبي صلى الله عليه وسلم: اغسلوه بماء وسدر، وكفنوه في ثوبين -وفي رواية: في ثوبيه- ولا تحنطوه -وفي رواية: ولا تطيبوه- ، ولا تخمروا رأسه ولا وجهه ، فإنه يبعث يوم القيامة ملبيا

"Ketika seseorang tengah melakukan wukuf di Arofah, tiba-tiba dia terjatuh dari hewan tunggangannya dan patah lehernya sehingga meninggal. Maka Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam berkata: "Mandikanlah ia dengan air campur sidr (bidara), lalu kafanilah dengan dua potong pakaian (dalam riwayat: dua potong pakaiannya), jangan diberi wewangingan. Jangan ditutupi kepala dan wajahnya. Sesungguhnya ia akan dibangkitkan nanti dalam keadaan bertalbiyah." 

(HR. Bukhori tanpa tambahan riwayat dan Muslim dalam Shohih keduanya, Abu Nu'aim dalam Al-Mustakhroj, Al-Baihaqi dalam Sunannya)

Amalan ketiga: Menyegerakan proses pengurusan jenazah jika telah yakin akan kematiannya. Hal ini berdasarkan hadits Abu Huroiroh rodhiyallohu 'anhu, bahwasanya Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda:

أسرعوا بالجنازة، فإن تك صالحة فخير تقدمونها، وإن يك سوى ذلك، فشر تضعونه عن رقابكم

"Segerakanlah pengurusan jenazah. Jika ia seorang yang sholeh, maka ia adalah kebaikan yang segera kalian kedepankan. Jika selain itu, maka ia adalah kejelekan yang segera kalian lepaskan dari pundak-pundak kalian." 

(HR. Bukhori dan Muslim)

Hal-hal yang boleh dilakukan oleh para hadirin terhadap si mayit

Diperbolehkan bagi para hadirin untuk menyingkap wajah si mayit serta menciumnya dan diperbolehkan untuk menangis bersedih hati selama tiga hari, tidak lebih dari itu. Diantara dalil-dalil yang menunjukkan hal ini adalah:

Hadits Jabir bin Abdillah rodhiyallohu 'anhuma, ketika terbunuhnya Abdulloh ayahnya. Beliau berkata: "Ketika ayahku terbunuh, maka aku singkapkan kain penutup wajahnya sambil aku menangis. Orang-orang melarangku untuk itu, sedangkan Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam tidak melarangku. Kemudian Nabi memerintahkan agar jenazah ayahku diangkat. Seketika itu bibiku Fathimah mulai menangis. Maka Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda:

تبكين، أولا تبكين، ما زالت الملائكة تظله بأجنحتها حتى رفعتموه

"Engkau menangis ataupun tidak, senantiasa malaikat memayunginya dengan sayap-sayapnya sampai kalian mengangkatnya." 

(HR. Bukhori dengan tambahan riwayat dari Muslim dan Nasa'i)

Hadits Aisyah rodhiyallohu 'anha, beliau berkata:

أقبل أبو بكر رضي الله عنه على فرسه من مسكنه بالسنح حتى نزل فدخل على المسجد، (وعمر يكلم الناس) فلم يكلم الناس حتى دخل على عائشة رضي الله عنها، فتيمم النبي صلى الله عليه وسلم وهو مسجى ببردة حبرة، فكشف عن وجهه، ثم أكب عليه فقبله (بين عينيه) ، ثم بكى فقال: بأبي أنت وأمي يا نبي الله ، لا يجمع الله عليك موتتين، أما الموتة التي عليك فقد متها، وفي رواية: لقد مت الموتة التي لا تموت بعدها أبدا

"Abu Bakar rodhiyallohu 'anhu datang dengan menunggang kudanya dari tempat kediamannya di daerah Sunh. Ketika sampai dan turun dari tunggangannya, beliau langsung memasuki masjid Nabi. Ketika itu Umar rodhiyallohu 'anhu sedang berbicara di depan orang-orang. Sedangkan Abu Bakar tidak berbicara dengan siapapun, tetapi langsung memasuki rumah Aisyah rodhiyallohu 'anha, bermaksud melihat Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam yang telah ditutup dengan pakaian bergaris dari Yaman. Maka Abu Bakar menyingkap wajah Nabi, lalu dia menelungkup dan mencium beliau (dalam riwayat: mencium antara kedua mata beliau), kemudian menangis dan berkata: "Sungguh -wahai Nabi Alloh- tidaklah Alloh mengumpulkan dua kematian atasmu (maksudnya: mati, lalu hidup lagi di dunia, kemudian mati untuk kedua kalinya). Adapun kematian atas dirimu, maka telah datang (dalam riwayat: sungguh engkau mengalami kematian yang tidak ada lagi kematian setelahnya selama-lamanya)." 

(HR. Bukhori dengan tambahan riwayat Ibnu Hibban, dishohihkan Imam Al-Albaniy dalam Shohih Ibnu Hibban, no. 3030)

Hadits Abdulloh bin Ja'far rodhiyallohu 'anhu:

أن النبي صلى الله عليه وسلم أمهل آل جعفر ثلاثا أن يأتيهم ثم أتاهم فقال: لا تبكوا على أخي بعد اليوم

"Bahwasanya Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam memberi kesempatan bagi keluarga Ja'far untuk menangis selama tiga hari sebelum beliau mendatangi mereka. Setelah itu beliau mendatangi mereka dan berkata: "Janganlah kalian menangisi saudaraku lagi setelah hari ini!" 

(HR. Abu Dawud dan Nasa'iy, Imam Al-Albaniy berkata: Sanadnya shohih sesuai dengan syarat Muslim)

Hadits Anas rodhiyallohu 'anhu, beliau berkata:

دخلنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم على أبي سيف -وكان ظئرا لإبراهيم- فأخذ رسول الله صلى الله عليه وسلم صلى الله عليه وسلم إبراهيم فقبله وشمه. ثم دخلنا عليه بعد ذلك وإبراهيم يجود بنفسه فجعلت عينا رسول الله صلى الله عليه وسلم تذرفان فقال له عبد الرحمن بن عوف: وأنت يا رسول الله؟! فقال: يا ابن عوف، إنها رحمة ثم أتبعها بأخرى فقال: إن العين لتدمع والقلب يحزن ولا نقول إلا ما نرضي ربنا وإنا بفراقك يا إبراهيم لمحزونون

"Kami bersama Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam memasuki rumah Abu Saif -suami Khoulah binti Al-Mundzir ibu susuan Ibrohim-, lalu Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam mengambil Ibrohim lalu menciuminya. Lalu kami masuk rumahnya kembali setelah itu dalam keadaan Ibrohim menghembuskan nafas terakhirnya. Maka kedua mata beliau shollallohu 'alaihi wa sallam mencucurkan air mata. Melihat hal itu, maka Abdurrohman bin 'Auf berkata: "Wahai Rosululloh, engkau berbuat demikian?!" Beliau menjawab: "Wahai Ibnu 'Auf, ini adalah rohmah…" Kemudian beliau meneruskannya seraya berkata: "Sungguh mata ini mencucurkan air mata dan hati ini bersedih… Tidaklah kita mengucapkan sesuatu melainkan apa yang membuat ridho Robb kita… Sungguh, kami sangat bersedih dengan kepergianmu, wahai Ibrohim…" 

(HR. Bukhori dan Muslim)

Perhatian: Yang diperbolehkan dalam mencium mayit di sini adalah seorang-laki-laki mencium mayit laki-laki dan perempuan mencium mayit perempuan. Maka janganlah seorang laki-laki mencium mayit perempuan dan sebaliknya, karena dapat terjadi fitnah di dalamnya serta tidak adanya riwayat yang shohih dari salaf ridhwanullohi 'alaihim bahwasanya mereka melakukan hal tersebut. 

(Jami'ul Adillah, hal. 87)

Perhatian: Mencium mayit bukan dalam rangka tabarruk (mencari berkah), karena ini tidaklah ada dalilnya dan para salaf tidaklah melakukannya dalam rangka hal tersebut. Hal itu dilakukan hanyalah dalam rangka menghormati si mayit. Tabarruk dengan jasad atau atsar hanyalah berlaku bagi Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam, karena Alloh ta'ala telah menjadikan jasad beliau berbarokah. Adapun selain beliau, maka tidak diperbolehkan mencium mayit dalam rangka tabarruk, karena hal itu termasuk wasilah yang menghantarkan kepada kesyirikan. 

(Ta'liq Syaikh Ibni Bazz 'ala Fathil Bariy, no. hadits 1244 dan Jami'ul Adillah, hal. 88)

Hal-hal yang hendaknya dilakukan oleh kerabat si mayit

Ketika mendengar berita kematian si mayit, maka hendaknya keluarga atau kerabat yang ditinggalkannya untuk:

Pertama: Bersabar dan ridho (menerima) terhadap takdir Alloh yang telah ditentukan. Firman Alloh ta'ala:

ولنبلونكم بشيء من الخوف والجوع ونقص من الأموال والأنفس والثمرات وبشر الصابرين * الذين إذا أصابتهم مصيبة قالوا إنا لله وإنا إليه راجعون * أولئك عليهم صلوات من ربهم ورحمة وأولئك هم المهتدون

"Sungguh, Kami akan menguji kalian dengan sedikit rasa takut, kelaparan, kekurangan harta benda dikarenakan sulit untuk mendapatkannya atau lenyapnya harta tersebut. Juga dengan hilangnya jiwa dengan kematian atau mati syahid di jalan Alloh. Demikian juga dengan kekurangan hasil bumi seperti korma, anggur dan biji-bijian dengan sedikitnya panenan atau tertimpa bencana. Berilah kabar gembira -wahai Nabi- kepada orang-orang yang bersabar atas ini semua dan semisalnya dengan hal-hal yang menggembirakan dan menyenangkan mereka berupa akibat yang baik di dunia dan akherat.

Diantara sifat orang-orang yang sabar tersebut adalah jika tertimpa sesuatu yang tidak disukai (musibah), maka ia mengatakan: "Inna lillahi wa inna ilaihi roji'un" (Sungguh kita ini adalah hamba milik Alloh, tunduk dengan perintah dan aturan-Nya. Dia berhak untuk memperlakukan kita sesuai dengan kehendak-Nya. Kita akan kembali kepada-Nya dengan melalui kematian. Kemudian kelak akan dibangkitkan untuk dihitung dan dibalasi amalan-amalan kita).

Orang-orang yang bersabar itulah, bagi mereka pujian dan rahmat yang besar dari Robb mereka subhanahu wa ta'ala dan mereka itulah orang-orang yang mendapatkan petunjuk kepada jalan kebenaran." 

(Tafsir Muyassar QS. Al-Baqoroh: 155-157)

Dalam hadits Anas bin Malik rodhiyallohu 'anhu, beliau berkata:

مر رسول الله صلى الله عليه وسلم بامرأة عند قبر وهي تبكي، فقال لها: اتقي الله واصبري، فقالت: إليك عني، فانك لم تصب بمصيبتي! قال: ولم تعرفه! فقيل لها: هو رسول الله صلى الله عليه وسلم! فأخذها مثل الموت، فأتت باب رسول الله صلى الله عليه وسلم فلم تجد عنده بوابين، فقالت: يا رسول الله إني لم أعرفك. فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: إن الصبر عند أول الصدمة

"Suatu ketika, Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam melewati seorang perempuan yang menangis di sisi sebuah kuburan. Maka beliau berkata kepadanya: "Takutlah kepada Alloh dan bersabarlah!" Perempuan yang belum mengenal Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam itu menjawab: "Pergilah dari sisiku, sungguh engkau tidak merasakan musibah yang menimpaku!" Kemudian dikatakan kepadanya: "Dia itu Rosululloh!" Maka perempuan itu terkejut setengah mati dan bergegas mendatangi pintu rumah beliau shollallohu 'alaihi wa sallam yang tidak ditemukan adanya para penjaga di depannya. Perempuan itu berkata: "Wahai Rosululloh, sungguh saya belum mengenal Anda..." Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda: "Sesungguhnya kesabaran itu ketika awal tertimpanya musibah." (HR. Bukhori dan Muslim)

Dari Anas bin Malik rodhiyallohu 'anhu, bahwasanya Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda:

إن عظم الجزاء مع عظم البلاء، وإن الله إذا أحب قوما ابتلاهم، فمن رضي فله الرضا، ومن سخط فله السخط

"Sungguh besarnya ganjaran itu sesuai dengan besarnya cobaan. Sesungguhnya jika Alloh ta'ala mencintai suatu kaum, maka Ia akan memberikan cobaan kepada mereka. Maka siapa yang ridho (menerima) terhadap cobaan tersebut, niscaya akan mendapatkan ridho Alloh. Sebaliknya, siapa yang tidak menerimanya, maka ia akan mendapatkan murka Alloh." 

(HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah, dihasankan oleh Imam Al-Albaniy dalam Ash-Shohihah, no. 146)

Kedua: Bagi kerabat yang ditinggalkan hendaknya mengucapkan kalimat istirja' berdasarkan ayat di atas, yaitu ucapan:

إنا لله وإنا إليه راجعون

"Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji'uun," yang maknanya: "Sungguh kita ini adalah hamba milik Alloh, tunduk dengan perintah dan aturan-Nya. Dia berhak untuk memperlakukan kita sesuai dengan kehendak-Nya. Kita akan kembali kepada-Nya dengan melalui kematian. Kemudian kelak akan dibangkitkan untuk dihitung dan dibalasi amalan-amalan kita."

Juga disertai dengan ucapan doa:

اللهم أجرني في مصيبتي واخلف لي خيرا منها

"Allohumma ijirnii fii mushibatii wakhluf lii khoiron minhaa," yang maknanya: "Ya Alloh, berikanlah aku ganjaran lantaran musibahku ini dan gantilah untukku yang lebih baik dari itu semua."

Hal ini sebagaimana hadits Ummu Salamah rodhiyallohu 'anha, beliau berkata: "Aku mendengar Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda:

ما من مسلم تصبه مصيبة فيقول ما أمره الله: إنا لله وإنا إليه راجعون، اللهم أجرني في مصيبتي واخلف لي خيرا منها إلا أخلف الله له خيرا منها

"Siapapun seorang muslim yang tertimpa musibah, lalu ia mengucapkan apa yang diperintahkan Alloh kepadanya: "Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji'uun, Allohumma ijirnii fii mushibatii wakhluf lii khoiron minhaa," niscaya Alloh akan menggantinya dengan yang lebih baik dari itu semua."

Ummu Salamah berkata: "Ketika Abu Salamah (suaminya) meninggal dunia, kukatakan: "Siapa yang lebih baik dari Abu Salamah, keluarga pertama yang hijrah kepada Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam?!" Kemudian aku mengucapkan doa tersebut. Maka Alloh menggantikan untukku yang lebih baik darinya yaitu Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam…" 

(HR. Muslim)

Ketiga: Bersegera untuk melunasi hutang-hutang si mayit dari hartanya, meskipun sampai habis total. Jika tidak mampu membayar dari hartanya sendiri, maka dibayarkan oleh pemerintah jika ia telah berusaha untuk melunasinya ketika hidupnya. Jika hal itu tidak dilakukan oleh pemerintah, maka dibolehkan jika ada seseorang yang menyumbangkan harta untuk melunasi hutangnya. Hadits-hadits yang menunjukkan akan hal itu adalah sebagai berikut:

Hadits Sa'ad bin Al Athwal rodhiyallohu 'anhu:

أن أخاه مات وترك ثلاثمائة درهم، وترك عيالا، قال: فأردت أن أنفقها على عياله، قال: فقال لي النبي صلى الله عليه وسلم: إن أخاك محبوس بدينه فاذهب فاقض عنه، فذهبت فقضيت عنه، ثم جئت، قلت: يارسول الله، قد قضيت عنه إلا دينارين ادعتهما امرأة، وليست لها بينة، قال أعطها فإنها محقة، وفي رواية: صادقة

"Bahwasanya saudara laki-lakinya meninggal dan meninggalkan harta sebanyak tiga ratus dirham serta meninggalkan anak-anak. Ia berkata: "Aku ingin menggunakan harta itu untuk menghidupi anak-anaknya. Sedangkan Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam berkata kepadaku: "Sesungguhnya saudaramu itu tertahan oleh hutangnya, maka pergilah untuk melunasinya." Lalu aku pergi melunasinya. Setelah itu aku datang kepada beliau dan kukatakan: "Wahai Rosululloh, sudah kulunasi hutangnya, kecuali sisa dua dinar yang ditagih oleh seorang wanita dan dia tidak mempunyai bukti akan hal itu. Maka beliau berkata: "Berikanlah kepadanya, sesungguhnya ia itu berhak." Dalam riwayat: "Ia itu jujur." 

(HR. Ibnu Majah, Ahmad, Baihaqi dengan sanad shohih, sebagaimana hukum Al Albaniy dalam Ahkamul Jana'iz, hal. 15)

Hadits Aisyah rodhiyallohu 'anha, bahwasanya Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda:

من حمل من أمتي دينا، ثم جهد في قضائه فمات ولم يقضه فأنا وليه

"Siapa di antara umatku yang terbebani hutang, kemudian ia telah berusaha untuk melunasinya dan meninggal dunia dan belum terlunasi juga, maka akulah walinya yang akan membayarkan hutangnya." 

(HR. Ahmad dengan sanad shohih menurut syarat Muslim, sebagaimana hukum Al Albani dalam Ahkamul Jana'iz, hal. 19)

Hadits Abu Qotadah rodhiyallohu 'anhu, beliau berkata:

توفي رجل منا فأتينا النبي صلى الله عليه وسلم ليصلي عليه قال: هل ترك من شيء؟ قالوا: لا والله ما ترك من شيء. قال: فهل ترك عليه من دين؟ قالوا: نعم. ثمانية عشر درهما. قال: فهل ترك لها قضاء؟ قالوا: لا. والله ما ترك لها من شيء. قال: فصلوا أنتم عليه. قال أبو قتادة: يا رسول الله، أرأيت إن قضيت عنه أتصلي عليه؟ قال: إن قضيت عنه بالوفاء صليت عليه. قال فذهب أبو قتادة فقضى عنه. فقال: أوفيت ما عليه؟ قال: نعم. فدعا به رسول الله صلى الله عليه وسلم فصلى عليه

"Seorang laki-laki dari kami meninggal dunia, maka aku menemui Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam meminta beliau untuk menyolatinya. Beliau bertanya: "Apakah ia meninggalkan harta?" Mereka menjawab: "Tidak -demi Alloh-, tidak meninggalkan apa-apa." Beliau bertanya: "Apa dia meninggalkan hutang?" Jawab mereka: "Ya, delapan belas dirham." Tanya beliau: "Apa dia tinggalkan sesuatu untuk melunasinya?" Jawab mereka: "Tidak, -demi Alloh- tidak meninggalkannya sama sekali." Nabi berkata: "Sholatilah dia." Abu Qotadah berkata: "Wahai Rosululloh, bagaimana jika saya lunasi hutangnya. Apakah Anda akan menyolatinya?" Jawab Nabi: Jika engkau lunasi semua hutangnya, maka aku akan menyolatinya." Maka Abu Qotadah pergi melunasinya. Kemudian beliau bertanya: "Apakah engkau telah melunasi semua hutangnya?" Ia menjawab: "Ya." Maka beliau shollallohu 'alaihi wa sallam menyolatinya." 

(HR. Ahmad. Hadits shohih, sebagaimana dalam tahqiq Musnad Ahmad: 38/328)

Keempat: Bersegera untuk melaksanakan wasiat si mayit jika memungkinkan, terutama yang berkaitan dengan urusan penyelenggaraan jenazah, seperti wasiat kepada siapa ditunjuk untuk menyolati, memandikannya dan sebagainya jika ada. Jika wasiat tersebut sifatnya wajib, maka si mayit akan segera terlepas dari tanggungan. Adapun jika wasiat tersebut sifatnya mustahab atau sunnah, maka agar segera mendapatkan pahala karenanya. 

(Asy Syarhul Mumti': 5/333)

Kelima: Wajibnya ihdad (berkabung) atas istri si mayit untuk suaminya yang meninggal. Jika ia dalam keadaan hamil, maka wajib berkabung sampai melahirkan bayinya, sebagaimana firman Alloh ta'ala:

وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُن

"Para perempuan hamil, masa iddahnya sampai melahirkan bayinya." 

(Tafsir Muyassar QS. Ath Tholaq: 4)

Adapun yang tidak hamil, maka wajib atasnya berkabung selama empat bulan sepuluh hari, sebagaimana firman Alloh ta'ala:

وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنْفُسِهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ

"Siapa yang meninggal dunia di antara kalian dan meninggalkan istri-istri, maka wajib atas istri-istri tersebut untuk menunggu (masa iddah) selama empat bulan sepuluh hari, tidak keluar dari rumah suaminya, tidak berhias diri dan tidak menikah lagi (berkabung). Jika selesai menjalani masa itu, maka tidak berdosa bagi kalian -wahai para wali perempuan- terhadap apa yang ia lakukan dari keluar rumah, berhias diri dan menikah lagi sesuai syariat. Alloh ta'ala itu Khobiir (maha mengetahui) amalan-amalan kalian, baik yang nampak maupun tidak dan akan membalasinya." 

(Tafsir Muyassar QS. Al Baqoroh: 234)

Juga berdasarkan hadits Ummu Habibah dan Zainab binti Jahsy rodhiyallohu 'anhuma riwayat Bukhori dan Muslim, bahwasanya Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda:

لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ، أَنْ تُحِدَّ فَوْقَ ثَلَاثٍ، إِلَّا عَلَى زَوْجٍ، فَإِنَّهَا تُحِدُّ عَلَيْهِ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا

"Tidak halal bagi seorang perempuan yang beriman kepada Alloh dan hari akhir untuk berkabung lebih dari tiga hari ketika ditinggal mati keluarganya, kecuali terhadap suaminya. Sesungguhnya ia berkabung terhadapnya selama empat bulan sepuluh hari."

Hal-hal yang diharamkan atas kerabat yang ditinggalkannya

Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam mengharamkan beberapa perkara yang banyak dilakukan orang-orang ketika ditinggal mati salah seorang kerabatnya:

Larangan pertama: Melakukan niyahah, seperti yang dilakukan orang-orang jaman jahiliyah. Pada jaman itu para wanita berteriak-teriak sambil menyebutkan kebaikan-kebaikan dan kebanggaan si mayit dan mengusap-usapkan tanah pada kepala-kepala mereka serta menampar-nampar wajah-wajah mereka ketika ditinggal mati salah seorang kerabatnya, tidak hanya sekedar menangis saja.

Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda:

أربع في أمتي من أمر الجاهلية، لا يتركونهن: الفخر في الأحساب، والطعن في الأنساب، والاستسقاء بالنجوم، والنياحة. وقال: النائحة إذا لم تتب قبل موتها، تقام يوم القيامة وعليها سربال من قطران، ودرع من جرب

"Empat hal dari perkara jahiliyah yang masih dilakukan oleh umatku: membanggakan keturunan, mencela nasab, keyakinan turunnya hujan karena perbuatan bintang-bintang dan niyahah." Beliau shollallohu 'alaihi wa sallam juga bersabda: "Orang yang melakukan niyahah, jika belum bertaubat darinya sebelum matinya, maka pada hari kiamat akan dibangkitkan dalam keadaan tubuhnya penuh dengan ter dan kudis." 

(HR. Muslim dan Baihaqi dari hadits Abu Malik Al-Asy'ariy rodhiyallohu 'anhu)

Hadits Abu Huroiroh rodhiyallohu 'anhu:

لما مات ابراهيم ابن رسول الله صلى الله عليه وسلم صاح أسامة بن زيد، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ليس هذا مني، وليس بصائح حق، القلب يحزن، والعين تدمع، ولا يغضب الرب

"Ketika meninggalnya Ibrohim putra Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam, Usamah bin Zaid berteriak-teriak. Maka Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam berkata: "Ini bukanlah dari jalanku, tidaklah benar orang yang berteriak itu. Hati ini memang bersedih dan air mata bercucuran, tetapi tidak boleh menyebabkan Robb kita murka." 

(HR. Ibnu Hibban dan Al-Hakim, dihasankan oleh Imam Al-Albaniy dalam Ahkamul Janaiz)

Larangan kedua: Menampar-nampar pipi dan merobek-robek bajunya. Hal ini berdasarkan hadits Ibnu Mas'ud rodhiyallohu 'anhu, bahwasanya Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda:

ليس منا من تلطم الخدود، وشق الجيوب، ودعى بدعوى الجاهلية

"Bukan dari golonganku orang yang menampar-nampar pipi, merobek-robek baju dan menyeru dengan seruan jahiliyah." 

(HR. Bukhori dan Muslim)

Diibaratkan dalam hadits ini dengan pipi, karena itulah yang biasanya ditampar. Akan tetapi hukum ini berlaku untuk keseluruhan bagian wajah, tidak hanya pipi saja. Perbuatan ini dan merobek-robek baju merupakan pertanda bahwa orang itu tidak ridho atau menerima takdir Alloh ta'ala. Adapun makna jahiliyah adalah masa sebelum datangnya Islam yang penuh dengan kebodohan akan agama Alloh. Juga setiap yang menyelisihi ajaran Islam merupakan kejahiliyahan. 

(Fathul Bari: 3/164, Ibnu Hajar; Jami'ul Adillah, hal. 95)

Larangan ketiga: Mencukur rambut, berdasarkan hadits Abu Burdah bin Abi Musa rodhiyallohu 'anhu, beliau berkata:

وجع أبو موسى وجعا فغشي عليه، ورأسه في حجر امرأة من أهله، فصاحت امرأة من أهله، فلم يستطع أن يرد عليها شيئا، فلما أفاق قال: إنا بريئ ممن برئ منه رسول الله صلى الله عليه وسلم، فان رسول الله صلى الله عليه وسلم برئ من الصالقة، والحالقة، والشاقة

"Abu Musa mengalami sakit parah sampai tidak tersadarkan diri. Sedangkan kepalanya terletak di pangkuan salah seorang istrinya. Maka berteriaklah salah seorang istrinya dan dia tidak bisa melarangnya sama sekali. Setelah ia tersadar kembali, maka ia berkata: "Sungguh aku berlepas diri dari perkara yang Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam telah berlepas diri darinya. Sungguh beliau shollallohu 'alaihi wa sallam telah berlepas diri dari orang yang berteriak ketika adanya kematian, mencukur rambut dan merobek-robek bajunya." 

(HR. Bukhori dan Muslim)

Larangan keempat: Mengacak-acak rambut, berdasarkan hadits salah seorang wanita shohabiyah yang ikut serta dalam berbai'at kepada Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam. Beliau berkata:

كان فيما أخذ علينا رسول الله صلى الله عليه وسلم في المعروف الذي أخذ علينا أن لا نعصيه فيه، وأن لا نخمش وجها ولا ندعو ويلا، ولا نشق جيبا، وأن لا ننشر شعرا

"Diantara perkara ma'ruf yang diwajibkan oleh Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam atas kami adalah supaya tidak menentang beliau, tidak mencakar-cakar wajah (ketika kematian), tidak meronta-ronta dengan seruan kebinasaan, tidak merobek-robek baju dan tidak mengacak-acak rambut." 

(HR. Abu Dawud dan Baihaqi, dishohihkan oleh Imam Al-Albaniy dalam Ahkamul Janaiz)

Larangan kelima: Na'iy yang terlarang, yaitu mengumum-umumkan tentang kematiannya di menara-menara dan semisalnya. Dari Hudzaifah bin Al-Yaman rodhiyallohu 'anhu ketika terjadi kematian seseorang, beliau berkata:

لا تؤذنوا به أحدا، إني أخاف أن يكون نعيا، إني سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم ينهى عن النعي

"Jangan kalian umum-umumkan kepada siapapun. Sungguh aku khawatir hal ini termasuk na'iy yang terlarang. Sungguh aku mendengar Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam melarang dari na'iy ini." 

(HR. Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad, Baihaqiy dan Ibnu Abi Syaibah dengan sanad hasan, sebagaimana dalam Ahkamul Janaiz, hal. 31)

Makna na'iy

Na'iy secara bahasa bermakna pengabaran tentang kematian seseorang. Makna ini mencakup segala bentuk pengabaran. Akan tetapi terdapat hadits-hadits shohih yang menunjukkan bolehnya salah satu bentuk dari pengabaran. Para ulama telah memberikan batasan tentang na'iy yang terlarang, yaitu pengabaran atau pengumuman tentang kematian seseorang yang menyerupai apa yang dilakukan pada zaman jahiliyah berupa teriakan-teriakan keras di pintu-pintu rumah, pasar-pasar, menara-menara dengan menyebut-nyebut jasa-jasa serta hal-hal yang dibanggakan dari si mayit dan sebagainya.

Na'iy yang diperbolehkan

Diperbolehkan mengumumkan tentang kematian seseorang jika tidak disertai hal-hal yang menyerupai na'iy jahiliyah. Terkadang pengumuman kematian ini menjadi wajib hukumnya jika tidak ada orang yang mengurusi jenazahnya atau menjadi mustahab hukumnya untuk memperbanyak jamaah sholat jenazah dan membantu proses penguburannya. Diantara hadits-hadits yang menunjukkan kebolehan akan hal ini adalah sebagai berikut:

Hadits Abu Huroiroh rodhiyallohu 'anhu:

أن رسول الله صلى الله عليه وسلم نعى النجاشي في اليوم الذي مات فيه، خرج إلى المصلى، فصف بهم وكبر أربعا

"Bahwasanya Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam pernah mengumumkan akan kematian Najasyiy (Raja Habasyah) pada hari kematiannya. Lalu beliau keluar menuju tempat sholat dan menyusun shof bersama para sahabat. Kemudian melakukan sholat dengan empat kali takbir (sholat ghoib)." 

(HR. Bukhori dan Muslim)

Hadits Ibnu Abbas rodhiyallohu 'anhu:

مات إنسان كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يعوده، فمات بالليل، فدفنوه ليلا، فلما أصبح أخبروه، فقال: ما منعكم أن تعلموني؟ قالوا: كان الليل فكرهنا، وكانت ظلمة أن نشق عليك فأتى قبره فصلى عليه

"Salah seorang sahabat yang sebelumnya Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam telah menjenguknya telah meninggal dunia pada malam hari. Lalu mereka kuburkan malam itu juga. Ketika paginya, para sahabat baru mengabari beliau shollallohu 'alaihi wa sallam. Maka beliau berkata: "Mengapa kalian tidak memberitahukan kepadaku?" Mereka menjawab: "Malam yang gelap, kami tidak ingin mengganggu dan memberatkan Anda." Maka beliau mendatangi kuburannya dan melakukan sholat atasnya." 

(HR. Bukhori)

Hadits Anas bin Malik rodhiyallohu 'anhu, bahwasanya Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam mengabarkan tentang keadaan para shohabat yang telah diutus dalam suatu peperangan:

أخذ الراية زيد فأصيب، ثم أخذ جعفر فأصيب، ثم أخذها عبد الله بن رواحة فأصيب -إن عيني رسول الله صلى الله عليه وسلم لتذرفان- ثم أخذها خالد بن الوليد من غير إمرة ففتح له

"Zaid (Ibn Haritsah) memegang bendera pasukan, lalu terbunuh. Kemudian diambil alih oleh Ja'far (Ibn Abi Tholib), lalu terbunuh juga. Kemudian diambil alih oleh Abdulloh bin Rowahah, lalu terbunuh juga.." Anas berkata: "Sungguh, kedua mata Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam meneteskan air mata.." Kemudian beliau meneruskan ucapannya: "Lalu diambil alih oleh Kholid bin Walid tanpa adanya perintah dan mendapatkan kemenangan karenanya." 

(HR. Bukhori, no. 1246 dengan memberikan judul sebelum hadits ini: "Bab Seseorang Yang Mengumumkan Berita Kematian Kepada Keluarga Mayit")

Al-Hafidz Ibnu Hajar rohimahulloh berkata: 

"Faedah yang dapat diambil dari bab Imam Bukhori ini adalah mengisyaratkan bahwa tidak semua bentuk na'iy itu terlarang, akan tetapi yang dilarang hanyalah seperti apa yang dilakukan pada zaman jahiliyah. Dahulu mereka mengirimkan orang-orang untuk mengumumkan tentang kematian seseorang pada pintu-pintu rumah dan pasar-pasar." 

(Fathul Bari: 3/116)

Disunnahkan bagi siapa yang mengumumkan untuk menghimbau manusia agar mendoakan si mayit supaya diampuni dosa-dosanya. Hal ini berdasarkan hadits Abu Huroiroh rodhiyallohu 'anhu:

أن رسول الله صلى الله عليه وسلم نعى لهم النجاشي، صاحب الحبشة، في اليوم الذي مات فيه، وقال: استغفروا لأخيكم

"Bahwasanya Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam mengumumkan kepada para sahabat akan kematian Najasyiy pemimpin Habasyah pada hari kematiannya dan mengatakan: "Mintakanlah ampunan untuk saudaramu itu." 

(HR. Bukhori)

Juga hadits Abu Qotadah rodhiyallohu 'anhu, beliau berkata:

"Rosululloh mengutus pasukan Al-Umaro' (para pemimpin), beliau berpesan: "Taatilah Zaid bin Haritsah. Jika Zaid terbunuh, maka diganti Ja'far bin Abi Tholib. Jika Ja'far terbunuh, maka diganti Abdulloh bin Rowahah Al-Anshoriy."

Maka Ja'far melompat sambil berkata: "Wahai Rosululloh, sungguh aku tidak takut sampai engkau menjadikan Zaid sebagai pimpinanku!" Beliau menjawab: "Pergilah, sungguh engkau tidak tahu mana yang terbaik!"

Maka mereka berangkat dan berlangsunglah peperangan beberapa lama. Kemudian Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam menaiki mimbar dan memerintahkan sahabat untuk berkumpul dengan menyerukan: "Ash-Sholaatu jaami'ah!" Setelah berkumpul, Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam berkhotbah:

ناب خبر، أو ثاب خبر، ألا أخبر كم عن جيشكم هذا الغازي؟ إنهم انطلقوا فلقوا العدو، فأصيب زيد شهيدا، فاستغفروا له -فاستغفر له الناس- ثم أخذ اللواء جعفر بن أبي طالب، فشد على القوم حتى قتل شهيدا، أشهد له بالشهادة، فاستغفروا له، ثم أخذ اللواء عبد الله بن رواحة، فأثبت قدميه حتى قتل شهيدا، فاستغفروا له، ثم أخذا اللواء خالد بن الوليد

"Telah datang berita, akan kukabarkan kepada kalian tentang pasukan kalian pada perang ini. Mereka telah berangkat dan bertemu musuh. Zaid terbunuh syahid, maka mintalah ampunan untuknya…!" Maka para sahabat memintakan ampunan untuknya. Lalu Nabi berkata: "Kemudian bendera pasukan diambil oleh Ja'far bin Abi Tholib dan maju menyerang musuh sampai ia terbunuh syahid. Aku bersaksi bahwa ia mati syahid, maka mintalah ampunan untuknya…! Kemudian bendera diambil alih oleh Abdulloh bin Rowahah, maka ia kokohkan kedua kakinya sampai terbunuh syahid. Mintalah ampunan untuknya…!" Kemudian datang Kholid bin Walid mengambil bendera pasukan…"

Sedangkan dia ketika itu bukan termasuk pimpinan pasukan, tetapi menjadikan dirinya sebagai pemimpin karena semua pimpinan telah terbunuh. Kemudian Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam mengangkat jari telunjuknya seraya bersabda:

اللهم هو سيف من سيوفك

"Ya Alloh, dia itu pedang dari pedang-pedang-Mu!"

Maka terjadilah kemenangan melalui tangannya. Maka sejak itulah Kholid digelari sebagai Saifulloh (Pedang Alloh). Kemudian beliau menyerukan:

انفروا فأمدوا إخوانكم، ولا يتخلفن أحد

"Berangkatlah kalian semua, tolonglah saudara-saudara kalian, tidak ada seorangpun yang tinggal!"

Maka berangkatlah seluruh manusia di tengah-tengah panas yang sangat terik, baik dengan jalan kaki ataupun berkendaraan." 

(HR. Ahmad, Imam Al-Albaniy berkata: "Sanadnya hasan.")

Awas bid'ah…!

Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda:

فإن خير الحديث كتاب الله، وخير الهدى هدى محمد، وشر الأمور محدثاتها، وكل بدعة ضلالة

"Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabulloh dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shollallohu 'alaihi wa sallam. Sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan dalam agama ini dan setiap kebid'ahan dalam agama itu adalah sesat." 

(HR. Muslim dari Jabir bin Abdillah rodhiyallohu 'anhuma)

Beliau shollallohu 'alaihi wa sallam juga bersabda:

من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد

"Siapa yang mengamalkan suatu amalan yang bukan dari perkara (ajaran) kami, maka amalan tersebut tertolak." 

(HR. Muslim dari Aisyah rodhiyallohu 'anha)

Hadits-hadits ini menunjukkan akan haromnya melakukan kebid'ahan yang tidak ada dalil shohih dan tuntunannya dari pembawa syari'at dalam perkara agama dan tidak diterimanya amalan-amalan bid'ah tersebut di sisi Alloh ta'ala.

Dalam hadits Hudzaifah bin Al-Yaman rodhiyallohu 'anhu, beliau berkata:

كان الناس يسألون رسول الله صلى الله عليه وسلم عن الخير، وكنت أسأل عن الشر مخافة أن يدركني

"Dahulu orang-orang menanyakan tentang kebaikan kepada Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam. Sedangkan aku menanyakan kepada beliau tentang kejelekan karena khawatir ia akan menemuiku sehingga aku terjatuh ke dalamnya." 

(HR. Bukhori)

Hadits ini menunjukkan perlunya kita untuk mengenal dan mengetahui perkara-perkara kejelekan berupa kemaksiatan dan kebid'ahan dalam agama ini, supaya kita dapat menghindarkan diri darinya dan tidak terjatuh ke dalamnya. Dengan demikian, kita dapat terselamatkan dari hal-hal yang dapat mendatangkan kemurkaan Alloh ta'ala dengan seizin-Nya.

Benarlah apa kata seorang penyair:

عرفت الشر لا للشر * لكن لتوقيه
ومن لا يعرف الخير * من الشر يقع فيه

"Aku mengenal kejelekan bukan untuk dilakukan, tetapi untuk dihindarkan. Siapa yang tidak mengenal serta membedakan antara kebaikan dan kejelekan, niscaya ia akan terjatuh ke dalam kejelekan itu."

Maka perlu disampaikan di sini beberapa kebid'ahan yang sering dilakukan oleh kebanyakan manusia berkaitan dengan pengurusan jenazah, baik berupa keyakinan, ucapan ataupun perbuatan agar kita tidak terjatuh di dalamnya:

Kebid'ahan-kebid'ahan yang biasa dilakukan sebelum kematian si mayit

Bid'ah pertama: Keyakinan sebagian orang bahwa setan-setan akan mendatangi si mayit menjelang kematiannya menyerupai kedua orang tuanya yang berpakaian ala Yahudi dan Nashrani untuk menawarkan kepadanya agar keluar dari agama Islam. Ini adalah perkara yang tidak ada dalilnya.

Bid'ah kedua: Meletakkan mushhaf (kitab suci Al-Quran) di bagian kepala si mayit.

Bid'ah ketiga: Mentalqin si mayit untuk berikrar tentang Nabi dan para imam ahli bait. Ini termasuk bid'ah yang datangnya dari Syi'ah.

Bid'ah keempat: Membaca surat Yasin terhadap si mayit menjelang kematiannya. Tidak ada hadits yang shohih tentang hal ini. Adapun hadits Ma'qil bin Yasar rodhiyallohu 'anhu, bahwasanya Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda:

اقرءوا على موتاكم يس

"Bacalah atas mayit kalian surat Yasin," maka ini adalah hadits dho'if, tidak bisa dijadikan sebagai hujjah. 

(Al Irwa', no. 681)

Maka amalan ini tidaklah disyariatkan, bahkan terhitung sebagai amalan bid'ah, karena amalan itu dinyatakan syar'iy jika berdasarkan dalil yang shohih baik dari Al-Quran maupun As-Sunnah.

Bid'ah kelima: Menghadapkan si mayit menjelang kematiannya ke arah kiblat. Tidak ada satu dalil shohih pun yang menunjukkan hal ini. 

(Al Irwa', no. 689)

Bahkan hal ini dibenci oleh salaf, diantaranya adalah Sa'id bin Al-Musayyib rohimahulloh dengan ucapan beliau: "Bukankah si mayit itu seorang muslim?!"

Dari Zur'ah bin Abdurrohman, bahwasanya beliau pernah menjenguk Sa'id bin Al-Musayyib ketika sakit menjelang kematiannya. Di sisi beliau waktu itu adalah Abu Salamah bin Abdurrohman. Tatkala Sa'id tak sadarkan diri, maka Abu Salamah menyuruh anaknya Salamah untuk mengarahkan tempat tidur Sa'id ke arah ka'bah. Ketika Sa'id tersadar kembali, beliau berkata: "Kalian pindahkan tempat tidurku?!" Mereka menjawab: "Benar." Maka Sa'id melihat kepada Abu Salamah seraya berkata: "Sepertinya engkau tahu?" Lalu Abu Salamah menjawab: "Aku yang menyuruh mereka." Maka Sa'id meminta tempat tidurnya untuk dikembalikan seperti semula. 

(Riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushonnaf (4/76) dengan sanad shohih dari Zur'ah, sebagaimana dalam Ahkamul Janaiz, hal. 11)

Adapun hadits Umair ayah Ubaid tentang penyebutan dosa-dosa besar yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Nasa'i:

واستحلال البيت الحرام قبلتكم أحياء وأمواتا

"Menghalalkan bait harom (ka'bah) kiblat kalian baik ketika hidup atau mati," maka ini adalah hadits yang dho'if, tidak bisa dijadikan sebagai hujjah. Demikian juga makna hadits ini yang tepat adalah menghadapkan mayit ke arah kiblat ketika di liang lahadnya.

Juga hadits Abdulloh bin Abi Qotadah rodhiyallohu 'anhu riwayat Al-Hakim dan Baihaqiy, bahwasanya Al-Barro' bin Ma'rur meninggal dunia dan telah berwasiat yang isinya meminta untuk diarahkan ke arah kiblat ketika menjelang kematiannya adalah hadits yang dho'if dan dimungkinkan yang dimaksud oleh beliau adalah diarahkan ketika di kuburannya berdasarkan wasiat beliau. Tidaklah wasiat itu dilaksanakan, melainkan setelah meninggalnya. 

(Fathul 'Allam: 2/271)

Sebagian perkara bid'ah yang sering dilakukan setelah meninggalnya si mayit

Bid'ah pertama: Ucapan dan keyakinan Syi'ah bahwa tubuh anak Adam itu najis setelah kematiannya kecuali al-ma'shum, yaitu imam-imam mereka yang mereka yakini kemaksumannya, orang yang mati syahid dan orang yang wajib dihukum mati dan telah mandi sebelum dihukum mati. Tidak ada dalil shohih yang menunjukkan hal ini, bahkan sebaliknya, bahwa Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda:

ليس عليكم في غسل ميتكم غسل إذا غسلتموه، فإن ميتكم ليس بنجس، فحسبكم أن تغسلوا أيديكم

"Tidak wajib atas orang yang memandikan mayit untuk mandi setelah memandikannya. Sesungguhnya mayit kalian itu tidak najis. Cukuplah kalian mencuci tangan-tangan kalian."

(HR. Al-Hakim dan Baihaqiy dari Ibnu Abbas rodhiyallohu 'anhu, dihasankan oleh Imam Al-Albaniy dalam Ahkamul Janaiz, hal. 54)

Bid'ah kedua: Mengeluarkan wanita yang sedang haidh dan nifas serta laki-laki yang junub dari sisi si mayit.

Bid'ah ketiga: Tidak mandi bagi yang menghadiri keluarnya roh mayit sampai tujuh harinya.

Bid'ah keempat: Keyakinan sebagian orang bahwa roh mayit itu bergentayangan di sekitar tempat kematiannya.

Bid'ah kelima: Menyalakan lilin di sisi mayit pada malam kematiannya sampai pagi harinya.

Bid'ah keenam: Meletakkan dahan pohon yang masih basah di dalam kamar tempat kematiannya.

Bid'ah ketujuh: Membaca Al-Quran di sisi mayit sampai proses memandikannya.

Bid'ah kedelapan: Memotong kuku si mayit dan mencukur bulu kemaluannya.

Bid'ah kesembilan: Memasukkan kapas di dubur, tenggorokan dan hidungnya.

Bid'ah kesepuluh: Meletakkan tanah pada dua mata mayit dengan mengatakan: "Tidaklah ada yang memenuhi mata anak Adam kecuali tanah."

Bid'ah kesebelas: Keluarga si mayit tidak makan sampai selesai penguburannya.

Bid'ah kesepuluh: Selalu menangis pada waktu makan siang dan malam.

Bid'ah kesebelas: Seorang laki-laki merobek baju ketika ditinggal mati ayah dan saudaranya (madzhab Syi'ah Imamiyah).

Bid'ah kedua belas: Berkabung selama setahun atas kematiannya, tidak berhias sama sekali dan tidak memakai pakaian yang bagus selama itu.

Bid'ah ketiga belas: Memelihara jenggot dalam rangka berkabung.

Bid'ah keempat belas: Membalik tikar-tikar atau sajadah dan menutup cermin-cermin dan lampu-lampu gantung.

Bid'ah kelima belas: Tidak menggunakan air yang ada di rumah, baik dalam tempayan atau lainnya, berkeyakinan bahwa air itu telah menjadi najis dikarenakan roh mayit jika melayang mencebur ke dalamnya.

Bid'ah keenam belas: Jika salah seorang bersin di depan makanan disuruh menyebut nama orang-orang yang masih hidup dengan keyakinan supaya tidak menyusul si mayit.

Bid'ah ketujuh belas: Tidak makan sayuran dan ikan selama berkabung.

Bid'ah kedelapan belas: Tidak makan daging panggang dan bakar (kebab).

Bid'ah kesembilan belas: Perkataan kelompok Shufiyah: "Jika menangisi si mayit, maka telah keluar dari jalannya ahli ma'rifat.

Bid'ah keduapuluh: Tidak mencuci pakaian si mayit sampai pada hari ketiga kematian dengan keyakinan bahwa hal itu bisa menolak adzab kubur bagi si mayit.

Bid'ah keduapuluh satu: Keyakinan sebagian orang bahwa orang yang mati pada hari Jum'at atau malam Jum'at akan mendapatkan adzab kubur selama satu jam, kemudian berhenti dan tidak diadzab kembali sampai hari kiamat.

Bid'ah keduapuluh satu: Keyakinan batil yang lainnya bahwa seorang mukmin yang bermaksiat itu terputus adzab kuburnya pada hari Jum'at atau malam Jum'at dan tidak diadzab lagi sampai hari kiamat.

Bid'ah keduapuluh dua: Keyakinan yang lebih batil lagi bahwa adzab kubur itu diangkat dari orang kafir pada hari Jum'at dan bulan Romadhon dengan kehormatan Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam.

Bid'ah keduapuluh tiga: Ucapan mereka ketika memberi kabar kematian: "Al-Fatihah untuk roh si fulan." Ini bertentangan dengan tuntunan Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam tersebut di atas untuk memintakan ampunan bagi si mayit, bukan meminta untuk kirim Al-Fatihah.

Demikianlah bagian pertama dari pembahasan pengurusan jenazah ini. Insyaalloh pada bagian-bagian selanjutnya akan dibahas mengenai proses memandikan mayit sampai pada penguburannya disertai dengan beberapa permasalahan ta'ziyah bagi keluarga si mayit. Semoga bermanfaat dan menjadi ilmu yang bermanfaat serta bisa menghantarkan seseorang kepada amal sholeh yang berguna bagi kehidupan kita di dunia dan akherat.

Wallohu ta'ala a'lam bish-showab, walhamdulillahi Robbil 'alamin.

Ditulis: Mushlih Abu Sholeh Al-Madiuniy -waffaqohulloh- (rev. 15 Muharrom 1436)

Pustaka:
-At-Tafsir Al-Muyassar, karya kumpulan ulama tafsir Saudi Arabia dengan pengantar Syaikh Sholeh bin Abdul 'Aziz Alus-Syaikh waffaqohulloh, cet. ke-2 (Ad-Darul 'Alamiyyah 1430H).
-Ahkamul Janaiz wa Bida'uha, karya Imam Al-Albaniy rohimahulloh, cet. ke-4 (Al-Maktabul Islamiy 1406H).
-Talkhis Ahkamul Janaiz, karya Imam Al-Albaniy rohimahulloh, cet. ke-3 (Maktabah Al-Ma'arif).
-Jami'ul Adillah wat Tarjihat fii Ahkamil Amwat, oleh Syaikh Yahya bin Ali Al-Hajuriy, cet. pertama (Maktabah Shon'a Al-Atsariyah), tahun 1427H.
-Fathul 'Allam fii Dirosati Ahaditsi Bulughil Marom (jilid 2 Kitab Janaiz), oleh Syaikh Muhammad bin Hizam Al-Ba'daniy, cet. pertama (Maktabah Ibnu Taimiyah 1432H).
-Mulakkhosh Ahkam Al Jana'iz, oleh Syaikh Abdulloh Al Iryaniy, cet. 1 Darul Atsar 1430H.




╭─┅─═ঊঊঈ═─┅─╮
      SEBARKANLAH
      ENGKAU AKAN
      MENDAPATKAN
         PAHALANYA
╰─┅─═ঊঊঈ═─┅─╯

🅹🅾🅸🅽 🅲🅷🅰🅽🅽🅴🅻 🆃🅴🅻🅴🅶🆁🅰🅼

FIQIH JENAZAH (2) Memandikan Jenazah


FIQIH JENAZAH (2) Memandikan Jenazah



بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله، وعلى آله وصحبه ومن والاه، أما بعد

Alhamdulillah, telah dibahas pada bagian pertama risalah ini tentang apa yang dilakukan oleh keluarga si mayit atau yang hadir ketika itu, baik pada saat menjelang kematian atau setelahnya disertai dengan hal-hal yang tidak diperkenankan untuk dilakukan, baik berupa kebid'ahan atau kemaksiatan yang sering dilakukan.

Pada bagian kedua ini, akan dibahas amalan selanjutnya yang wajib dilakukan dalam pengurusan jenazah yaitu tata cara memandikan jenazah. Semoga Alloh ta'ala memberikan petunjuk dan hidayah-Nya kepada kita semua.

Hukum memandikan jenazah

Ketika si mayit telah meninggal, maka wajib kifayah atas sebagian kaum muslimin untuk segera memandikannya (pendapat jumhur ulama). Adapun dalil tentang kewajiban memandikan jenazah terdapat dalam hadits-hadits yang banyak diantaranya:

Hadits Ibnu Abbas rodhiyallohu 'anhuma:

بينما رجل واقف بعرفة، إذ وقع عن راحلته فوقصته، أو قال: فأقعصته، فقال النبي صلى الله عليه وسلم: اغسلوه بماء وسدر...الحديث

"Ketika seseorang tengah melakukan wukuf di Arofah, tiba-tiba dia terjatuh dari hewan tunggangannya dan patah lehernya sehingga meninggal. Maka Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam berkata: "Mandikanlah ia dengan air campur sidr (bidara)…" 

(HR. Bukhori)

Hadits Ummu 'Athiyah rodhiyallohu 'anha:

دخل علينا النبي صلى الله عليه وسلم، ونحن نغسل ابنته (زينب)، فقال: اغسلنها ثلاثا، أو خمسا أو أكثر من ذلك، إن رأيتن ذلك...الحديث

"Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam memasuki tempat kami, sedangkan kami tengah memandikan jenazah anak beliau (yaitu Zainab). Maka beliau bersabda: "Mandikanlah dia dengan tiga atau lima atau lebih jika hal itu diperlukan…" 

(HR. Bukhori dan Muslim)

Cara memandikan jenazah

Secara umum, cara memandikan jenazah adalah seperti mandi junub berdasarkan kesepakatan ulama (ijma'). 

(Al Ijma', Ibnul Mundzir tahqiq Al Barudiy, no. 79; Al Mulakkhosh, hal. 20-21)

Hadits Ummu 'Athiyah rodhiyallohu 'anha yang diriwayatkan oleh Bukhori, Muslim dan selainnya termasuk hadits-hadits yang berisi pedoman tata cara memandikan jenazah secara terperinci. Beliau rodhiyallohu 'anha berkata:

دخل علينا النبي صلى الله عليه وسلم، ونحن نغسل ابنته (زينب)، فقال: اغسلنها ثلاثا، أو خمسا، أو أكثر من ذلك، إن رأيتن ذلك، قالت: قلت: وترا؟ قال: نعم، واجعلن في الاخرة كافورا أو شيئا من كافور، فإذا فرغتن فآذني، فلما فرغنا آذناه، فألقى إلينا حقوه، فقال: أشعرنها إياه -تعني إزاره-، قالت: ومشطناها ثلاثة قرون، -وفي رواية: نقضنه ثم غسلنه- فضفرنا شعرها ثلاثة أثلاث: قرنيها وناصيتها وألقيناها، قالت: وقال لنا: ابدأن بميامنها ومواضع الوضوء منها

"Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam memasuki tempat kami dan kami sedang memandikan jenazah anak beliau (yaitu Zainab). Maka beliau bersabda: "Mandikanlah dia tiga atau lima atau lebih jika hal itu diperlukan. Aku (Ummu 'Athiyah) bertanya: "Apakah jumlahnya ganjil?" Beliau menjawab: "Ya. Jadikanlah basuhan terakhir dicampur dengan kapur barus. Jika kalian telah selesai, maka panggil aku." Setelah kami selesai, kami panggil beliau. Maka Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam melemparkan sarung beliau kepada kami seraya berkata: "Pakaikan sarung itu padanya." Ummu 'Athiyah berkata: "Kami sisir rambutnya menjadi tiga bagian." Dalam riwayat lain: "Kami urai rambutnya, lalu kami cuci. Kemudian kami bagi menjadi tiga bagian, samping kanan-kiri dan satu bagian atasnya. Lalu kami letakkan ke belakang." Setelah itu beliau bersabda kepada kami: "Mulailah memandikannya dari bagian kanannya dahulu dan anggota wudhunya." 

(HR. Bukhori, Muslim, Abu Dawud, Nasa'i, Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad)

Berdasarkan hadits-hadits tersebut dan semisalnya, maka tata cara memandikan jenazah dapat disimpulkan sebagai berikut:

Langkah pertama: Persiapan air untuk memandikan jenazah dengan dicampur dengan daun sidr (bidara) atau penggantinya seperti sabun atau pembersih lainnya. Air yang dipakai untuk memandikan jenazah adalah air dengan suhu normal, tidak panas (pendapat jumhur ulama). Hal ini karena air yang panas akan melembekkan tubuh si mayit. Air hangat atau panas hanya digunakan jika diperlukan untuk menghilangkan kotoran yang sulit dibersihkan dengan air dingin. Demikian juga ketika Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam meminta shohabat untuk memandikan jenazah anak beliau, tidaklah memerintahkan untuk menggunakan air hangat atau panas. Hal ini menunjukkan bahwa mereka menggunakan air dengan suhu normal. Adapun jika cuaca atau suhu air terlalu dingin, maka dibolehkan untuk dihangatkan sampai mencapai suhu normal, sehingga tidak kedinginan. 

(Jami'ul Adillah, hal. 181 dan Fathul 'Allam: 2/280)

Masalah: Jika tidak didapatkan air untuk memandikan jenazah, atau tidak memungkinkan untuk memandikan atau mengguyurnya dengan air, karena khawatir hancur atau rusak jasadnya, seperti luka bakar dan sebagainya, maka disyariatkan untuk tayammum menurut salah satu pendapat ulama, karena tayammum tersebut sebagai pengganti bersuci dengan air.

Sebagian ulama yang lain berpendapat untuk tidak dilakukan tayammum jika tidak mungkin dimandikan, karena tidak ada dalil yang menunjukkan akan hal itu. Akan tetapi langsung dikafani. Tayammum hanyalah disyariatkan untuk bersuci bagi yang masih hidup, bukan untuk yang sudah mati. Demikian juga, syariat memandikan mayit tersebut bukan dalam rangka membersihkan atau mensucikan dari hadats, akan tetapi untuk kebersihan jasadnya. Oleh karena itu, Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam memerintahkan orang-orang yang memandikan jenazah untuk mencuci atau membasuhnya sebanyak tiga, lima atau tujuh kali. Sedangkan bersuci dari hadats itu tidak disyariatkan lebih dari tiga kali basuhan. Maka jika maksud memandikan tersebut adalah kebersihan jasad, maka tidak akan tercapai dengan dilakukannya tayammum. Sehingga pendapat yang lebih kuat adalah tidak dilakukannya tayammum (pendapat Ahmad dalam satu riwayat, Ats Tsauri, Malik, Asy Syaukani, Ibnu Utsaimin), wallohu a'lam. 

(As Sailul Jarror, hal. 211, Imam Asy Syaukani; Asy Syarhul Mumti': 5/297, Ibnu Utsaimin; Fathul 'Allam: 2/283; Miskul Khitam: 2/209; Al Mulakkhosh, hal.28-29)

Langkah kedua: Orang yang memandikannya memulai dengan membalut tangannya dengan suatu kain atau memakai kaos tangan untuk membersihkan kotoran si mayit dalam keadaan tertutup aurotnya dengan suatu kain penutup setelah baju si mayit yang dikenakan ketika kematiannya dilepaskan semuanya. Para ulama telah sepakat akan wajibnya hal ini. Simaklah hadits Aisyah rodhiyallohu 'anha berikut ini:

لما أرادوا غسل النبي صلى الله عليه وسلم قالوا: والله ما ندري أنجرد رسول الله صلى الله عليه وسلم من ثيابه كما نجرد موتانا أم نغسله وعليه ثيابه؟ فلما اختلفوا ألقى الله عليهم النوم حتى ما منهم رجل إلا وذقنه في صدره ثم كلمهم مكلم من ناحية البيت لا يدرون من هو: أن اغسلوا النبي صلى الله عليه وسلم وعليه ثيابه فقاموا إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم فغسلوه وعليه قميصه يصبون الماء فوق القميص ويدلكونه بالقميص دون أيديهم.

"Ketika mereka para sahabat ingin memandikan Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam, mereka mengatakan: "Demi Alloh… Kita tidak tahu, apakah kita akan melepas pakaian Rosululloh sebagaimana kita melepas pakaian mayit-mayit kita atau kita mandikan beliau dengan pakaiannya?" Ketika mereka berselisih, maka Alloh melemparkan rasa kantuk atas mereka, sehingga tidaklah ada seorangpun dari mereka melainkan janggutnya telah menempel di dadanya karena tertidur. Kemudian seolah-olah ada seseorang dari arah sisi rumah -tidak diketahui siapa dia- mengatakan kepada mereka: "Mandikanlah Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam dengan pakaiannya!" Maka mereka bangun dan bangkit menuju Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam dan memandikan beliau dengan gamisnya tanpa melepaskannya. Mereka menyiramkan air ke atas gamis tersebut, lalu mengurut atau mengusap badan beliau dengan gamis tersebut dengan tangan-tangan mereka." 

(HR. Abu Dawud, Ibnu Jarud dalam Al-Muntaqo, Al-Hakim, Al-Baihaqi, Ath-Thoyalisi dan Ahmad, dishohihkan oleh Imam Al-Albani dalam Ahkamul Janaiz, hal. 49)

Hadits tersebut menunjukkan bahwa apa yang dilakukan pada jenazah Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam dengan tidak dilepaskannya gamis beliau adalah merupakan kekhususan bagi beliau, tidak berlaku untuk selain beliau. 

(Fathul 'Allam: 2/278)

Adapun tujuan dari menutup badan si mayit dan membasuh dengan menggunakan kain atau kaos tangan adalah agar aurotnya tidak terlihat dan tidak tersentuh langsung oleh tangan orang yang memandikannya.

Batasan aurot laki-laki dan perempuan

Aurot seseorang adalah bagian tubuh yang harus ditutupi agar tidak terlihat oleh pandangan mata, baik ketika masih hidup ataupun setelah meninggalnya.

Aurot laki-laki adalah antara pusar dan lutut, yaitu mencakup kemaluan (qubul dan dubur) serta kedua paha, menurut pendapat yang kuat (pendapat jumhur ulama).

Ibnu Abdil Barr rohimahulloh dalam Al-Istidzkar (3/8) mengatakan: "Para ulama bersepakat bahwa melihat kemaluan seseorang baik yang masih hidup, maupun yang sudah meninggal itu harom, tidak boleh. Demikian juga tidak boleh menyentuh langsung aurot seseorang dengan tangan selain orang yang dihalalkan untuk menyentuhnya seperti suami istri dan sebagainya…" 

(Jami'ul Adillah, hal. 165)

Adapun kedua paha termasuk aurot, maka berdasarkan hadits:

القخد عورة

"Paha itu aurot." 

(HR. Ahmad dan selainnya dari sahabat Ibnu Abbas, Muhammad bin Jahsy dan Jarhad rodhiyallohu 'anhum, dihasankan oleh Imam Al-Albani dalam Al-Irwa', no. 269 dan Syaikhuna Yahya dalam Jami'ul Adillah, hal. 169)

Sedangkan aurot wanita muslimah di hadapan wanita muslimah lainnya adalah seluruh badannya kecuali bagian-bagian tubuh yang diletakkan padanya perhiasan wanita, seperti kepala, telinga, leher dan dada bagian atas (tempat kalung), lengan bawah (tempat gelang tangan) sampai sedikit di atas siku, telapak kaki dan betis bawah (tempat gelang kaki). 

(Talkhis Ahkamil Janaiz, hal. 30)

Adapun selain itu, maka merupakan aurot wanita yang harus ditutup di hadapan para wanita dan para mahromnya, sebagaimana dalam firman Alloh ta'ala:

ولا يبدين زينتهن إلا لبعولتهن أو آبائهن أو آباء بعولتهن أو أبنائهن أو أبناء بعولتهن أو إخوانهن أو بني إخوانهن أو بني أخواتهن أو نسائهن أو ما ملكت أيمانهن أو التابعين غير أولي الإربة من الرجال أو الطفل الذين لم يظهروا على عورات النساء

"Janganlah para wanita itu menampakkan perhiasannya yang tersembunyi (aurotnya) kecuali kepada suami mereka, karena suami itu boleh melihatnya dan tidak dibolehkan bagi selainnya. Diantara aurotnya yang lain, seperti wajah, leher, kedua tangan dan siku, maka boleh dilihat oleh ayahnya atau ayah suaminya atau anak laki-lakinya atau anak suaminya atau saudara laki-lakinya atau anak saudara laki-lakinya atau anak saudara perempuannya atau budak perempuannya yang muslimah, bukan yang kafir atau budak-budak laki-lakinya atau para pengikut dari laki-laki yang sudah tidak ada syahwat atau keinginan terhadap wanita, seperti laki-laki lemah akalnya (idiot) yang hanya menginginkan makan dan minum saja atau anak-anak kecil yang belum mengetahui perihal aurot wanita dan belum memiliki syahwat." 

(Tafsir Muyassar QS. An-Nuur: 31)

Masalah: Jika si mayit belum dikhitan, maka pendapat yang rojih (kuat) adalah tidak boleh dikhitan, karena akan memotong kulit si mayit dan akan membuka aurotnya tanpa hajah untuk itu. 

(Fathul 'Allam: 2/282)

Masalah: Apakah perlu dipotong kumis, bulu dan kukunya? Pendapat yang kuat adalah disunnahkan untuk memotong kumis, bulu ketiak dan kukunya jika diperlukan, karena ini merupakan sunnah fithroh dan membuat penampilan lebih bagus.

Adapun bulu kemaluan mayit, maka yang rojih adalah tidak dicukur, karena harus membuka aurotnya dan menyentuhnya pada perkara yang tidak darurat. Demikian juga bahwa hal tersebut tertutup tidaklah nampak dari luar, sehingga tidak perlu dihilangkan. Adapun atsar Sa'ad bin Abi Waqqosh rodhiyallohu 'anhu yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dan Abdurrozzaq dalam Mushonnaf keduanya, bahwasanya beliau pernah mencukur bulu kemaluan mayit, maka ini adalah atsar yang dho'if tidak shohih. Atsar tersebut diriwayatkan dari jalan perowi hadits bernama Abu Qilabah yang meriwayatkan dari Sa'ad bin Abi Waqqosh. Ini adalah sanad yang terputus, karena Abu Qilabah tidak pernah bertemu dengan Sa'ad. 

(Fathul 'Allam: 2/282-283)

Langkah ketiga: Sedikit merundukkan badan si mayit tidak sampai pada posisi duduk, karena posisi mendekati duduk termasuk menyakitkan si mayit. Kemudian mengurut bagian perutnya dengan lembut untuk mengeluarkan kotorannya agar tidak keluar setelah itu. Hal ini dilakukan jika diperlukan untuk itu. Jika tidak, maka tidak apa-apa untuk ditinggalkan. Tidak ada dalil syar'i yang menunjukkan disunnahkannya hal tersebut. 

(Jami'ul Adillah, hal. 183)

Langkah keempat: Setelah membersihkan kotoran, maka mulai mewudhukan si mayit seperti wudhunya ketika ingin mengerjakan sholat. Mulai dengan mencuci kedua telapak tangannya, mengusap gigi dan lubang hidungnya dengan lembut untuk membersihkannya dengan tidak memasukkan air ke dalam mulut dan hidung, karena berkumur dan istinsyaq (yaitu membersihkan bagian dalam hidung dengan memasukkan air ke dalam kedua lubang hidung dan mengeluarkannnya kembali) tidak bisa dilakukan untuk si mayit, akan tetapi cukup dengan mengusap lubang hidung dengan kain basah. Kemudian membasuh wajah, kedua tangan, mengusap kepala dan telinga, lalu membasuh kedua kaki sebagaimana yang dilakukan ketika berwudhu.

Langkah kelima: Setelah diwudhukan, maka dimulai mencuci bagian kepala dengan menguraikan terlebih dahulu jalinan-jalinan rambut mayit perempuan yang ada dan mencucinya dengan baik serta menyisirnya. Kemudian menjalinnya kembali menjadi tiga jalinan lalu diletakkan di bagian belakang. Kemudian mencuci atau membasuh badannya dimulai dari bagian kanan tubuhnya, baik depan maupun belakang dengan memiringkan si mayit ke kiri dan sebaliknya memiringkan badannya ke kanan ketika mencuci bagian kiri badannya.

Langkah keenam: Disunnahkan untuk memandikannya sebanyak tiga kali atau lebih jika diperlukan. Adapun memandikannya sekali saja, maka hukumnya boleh dan sah dengan syarat telah mencakupi keseluruhan badannya, sebagaimana dalam hadits Ibnu Abbas rodhiyallohu 'anhu tersebut di atas. Hadits tersebut diucapkan pada haji wada' di akhir-akhir kehidupan Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam dan beliau tidak memerintahkan untuk memandikannya sebanyak tiga kali, sehingga hadits yang di dalamnya terdapat jumlah tiga kali ke atas menunjukkan bahwa hal itu tidak wajib, akan tetapi lebih utama. 

(Fathul 'Allam: 2/277)

Langkah ketujuh: Jumlah memandikannya atau membasuhnya adalah ganjil, yaitu tiga, lima dan tujuh kali. Adapun lebih dari tujuh, maka hanyalah terdapat pada satu atau dua riwayat yang telah dihukumi oleh para ulama sebagai riwayat yang keliru, karena bertentangan dengan banyak riwayat lainnya dalam Shohih Bukhori, Muslim dan selainnya yang menunjukkan bahwa yang terbanyak adalah tujuh kali basuhan. Juga tidak ada ulama yang berpendapat lebih dari tujuh. Sebagian ulama mengatakan bahwa lebih dari tujuh tersebut termasuk berlebihan (isrof) dalam menggunakan air dan sebagian mereka mengatakan bahwa hal itu dapat melembekkan tubuh si mayit karena terlalu banyak mencucinya. Maka hukumnya adalah makruh, kecuali jika masih diperlukan. Hal ini berdasarkan hadits Ummu 'Athiyah di atas. 

(Jami'ul Adillah, hal. 149-150 dan Fathul 'Allam: 2/279)

Langkah kedelapan: Mencampur air dengan kapur barus atau minyak wangi pada basuhan terakhir, kecuali bagi seorang yang sedang muhrim (berihrom). Tidak boleh memberikan wewangingan dalam memandikan seorang yang sedang muhrim tersebut. Hal ini sebagaimana dalam hadits Ibnu Abbas rodhiyallohu 'anhuma:

ولا تحنطوه -وفي رواية: ولا تطيبوه- ، ولا تخمروا رأسه ولا وجهه ، فإنه يبعث يوم القيامة ملبيا

"Jangan diberi wewangingan. Jangan pula ditutupi kepala dan wajahnya. Sesungguhnya ia akan dibangkitkan nanti dalam keadaan bertalbiyah." 

(HR. Bukhori tanpa tambahan riwayat dan Muslim dalam Shohih keduanya, Abu Nu'aim dalam Al-Mustakhroj, Al-Baihaqi dalam Sunannya)

Langkah kesembilan: Jika masih keluar kotorannya setelah selesai dimandikan sebanyak tujuh kali, maka tidak diwajibkan untuk mengulangi memandikannya, tetapi cukup dengan membersihkan tempat keluarnya kotoran tersebut dan mengulangi wudhunya. Hal ini karena kotoran (najis) yang keluar itu tidak membatalkan mandinya, sebagaimana seseorang yang telah mandi junub lalu berhadats kecil, maka hanya mengulangi wudhunya saja dan tidak mengulangi mandinya. Adapun jika belum mencapai tujuh kali, maka bisa dimandikan kembali hingga mencapai tujuh kali basuhan. 

(Fathul 'Allam: 2/280 dan Jami'ul Adillah, hal. 184)

Langkah kesepuluh: Setelah selesai membasuh seluruh badan si mayit, dibolehkan untuk mengeringkannya dengan kain atau handuk hingga kering sebelum dikafani agar tidak membasahi kain kafannya.

Hukum-hukum orang yang memandikan mayit

Beberapa permasalahan yang berkaitan dengan orang-orang yang memandikan jenazah adalah sebagai berikut:

Masalah: Hadits Ummu 'Athiyah di atas juga menunjukkan bahwa mayit laki-laki dimandikan oleh laki-laki dan mayit perempuan dimandikan oleh para perempuan, kecuali apa yang telah dikecualikan oleh syariat yaitu pasangan suami-istri, maka dibolehkan salah satunya untuk memandikan pasangannya berdasarkan hadits Aisyah rodhiyallohu 'anha, beliau berkata:

رجع إلي رسول الله صلى الله عليه وسلم من جنازة بالبقيع وأنا أجد صداعا في رأسي وأقول: وارأساه فقال: بل أنا وارأساه ما ضرك لو مت قبلي فغسلتك وكفنتك ثم صليت عليك ودفنتك

"Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam kembali dari menguburkan jenazah di Baqi', sedangkan aku menderita sakit kepala. Aku mengatakan: "Aduh, kepalaku!" Maka Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam mengatakan: "Bahkan aku yang sakit kepala, tidak ada yang merugikanmu jika engkau mati lebih dahulu sebelumku, lalu engkau kumandikan, kukafani, kemudian kusholati dan kukuburkan." 

(HR. Ahmad, Ad-Darimi, Ibnu Majah, Ad-Daruquthni, Al-Baihaqi dan Ibnu Hisyam dalam Ash-Shiroh, dihasankan oleh Imam Al-Albani dalam Ahkamul Janaiz, hal. 50)

Masalah: Yang paling berhak untuk memandikan jenazah adalah siapa yang diwasiati untuk itu. Jika tidak ada, maka dikedepankan yang paling dekat kekerabatannya dengan si mayit disertai dengan bimbingan seorang yang berilmu tentang sunnah memandikan jenazah. Dahulu yang memandikan Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam adalah dari kerabat beliau. Ali bin Abi Tholib rodhiyallohu 'anhu, anak paman serta menantu beliau berkata:

غسلت رسول الله صلى الله عليه وسلم فجعلت أنظر ما يكون من الميت فلم أر شيئا وكان طيبا حيا وميتا صلى الله عليه وسلم

"Aku memandikan Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam. Maka aku melihat apa yang terjadi pada jenazah beliau. Tidaklah aku menemukan sesuatu yang buruk. Jasad beliau tetap bagus, baik semasa hidupnya maupun setelah kematiannya." 

(HR. Ibnu Majah, Al-Hakim dan Al-Baihaqi, dishohihkan oleh Imam Al-Albaniy dalam Ahkamul Janaiz, hal. 50)

Jika si mayit laki-laki dan belum beristri, maka yang dikedepankan untuk memandikannya adalah ayahnya, kemudian kakeknya, kemudian anak laki-lakinya, kemudian cucu laki-lakinya, kemudian saudara laki-lakinya, kemudian keponakan laki-lakinya, kemudian pamannya, kemudian anak laki-laki pamannya. Jika si mayit perempuan dan belum bersuami, maka yang memandikannya adalah para wanita dari kerabat rahimnya, kemudian kerabat yang bukan rahimnya, kemudian para wanita lain selain kerabatnya. Adapun pihak kerabat, maka yang dikedepankan adalah ibu dan neneknya ke atas, kemudian anak perempuan dan cucunya ke bawah, kemudian bibinya, kemudian keponakan perempuannya.

Masalah: Seorang wanita boleh memandikan jenazah laki-laki dari mahromnya menurut pendapat jumhur ulama. Hal itu pada urutan terakhir, jika tidak ada yang memandikannya dari kalangan kerabat laki-laki, suami dan para laki-laki lainnya. Hukumnya sama seperti para laki-laki lainnya yang tidak ada hubungan rahim. 

(Fathul 'Allam: 2/303)

Masalah: Adapun jenazah yang sudah bersuami atau beristri, maka si istri boleh memandikan jenazah suaminya menurut kesepakatan ulama dan sebaliknya juga, si suami boleh memandikan jenazah istrinya menurut pendapat yang kuat. Hal tersebut berdasarkan hadits Aisyah rodhiyallohu 'anha tersebut di atas, beliau berkata:

ما ضرك لو مت قبلي فغسلتك وكفنتك ثم صليت عليك ودفنتك

"Tidak ada yang merugikanmu, jika engkau mati lebih dahulu sebelumku, lalu engkau kumandikan, kukafani, kemudian kusholati dan kukuburkan." 

(hadits shohih riwayat Ahmad dan selainnya)

Juga hadits Aisyah rodhiyallohu 'anha riwayat Ahmad dan selainnya dengan sanad yang hasan:

لو استقبلت من أمرى ما استدبرت ما غسله إلا نساؤه

"Seandainya aku mengetahui sebelumnya, maka tidaklah yang memandikan Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam melainkan para istri beliau." 

(Al-Irwa': 702 dan Fathul 'Allam: 2/298)

Masalah: Seorang laki-laki tidak diperbolehkan untuk memandikan jenazah wanita selain istrinya. Ini adalah pendapat kebanyakan para ulama, baik wanita itu mahrom baginya maupun bukan.

Adapun jika seorang laki-laki meninggal di antara para wanita yang bukan mahromnya dan tidak ada laki-laki lainnya dan sebaliknya, maka pendapat yang kuat adalah dimandikan dengan pakaiannya ketika meninggal. Hal ini seperti apa yang dilakukan sahabat terhadap Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam, tanpa membuka pakaiannya agar tidak terlihat aurotnya. Maka untuk selain beliau shollallohu 'alaihi wa sallam, dilakukan ketika darurat atau ada hajah yang mendesak. 

(Fathul 'Allam: 2/300)

Masalah: Seorang wanita boleh memandikan jenazah anak kecil laki-laki. Hal ini merupakan kesepakatan para ulama, sebagaimana dinukilkan oleh Ibnul Mundzir, An-Nawawi dan Ibnu Qudamah rohimahumulloh. Adapun perselisihan yang ada adalah penentuan sampai umur berapa jenazah anak tersebut, sehingga hal itu masih diperbolehkan. Pendapat yang kuat adalah bahwa hal itu diperbolehkan sebelum si anak tersebut terlihat menarik bagi lawan jenisnya, sebagaimana ini adalah madzhab Syafi'iyyah. Untuk seorang laki-laki, diperbolehkan juga memandikan jenazah anak kecil perempuan menurut pendapat jumhur ulama. Batasannya seperti apa yang tersebut di atas. Jika telah mencapai umur yang terlihat menarik bagi lawan jenisnya, maka tidak boleh memandikannya kecuali para wanita. 

(Fathul 'Allam: 2/301)

Masalah: Seorang laki-laki yang junub dan wanita yang sedang haidh diperbolehkan untuk memandikan jenazah. Tidak ada dalil yang melarangnya. Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda:

إن المؤمن لا ينجس

"Sesungguhnya mukmin itu tidak najis." 

(HR. Bukhori dan Muslim dari hadits Abu Huroiroh rodhiyallohu 'anhu)

Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam juga berkata kepada Aisyah rodhiyallohu 'anha:

إن حيضتك ليست في يدك

"Sesungguhnya haidhmu itu bukan pada tanganmu." 

(HR. Bukhori dan Muslim dari hadits Aisyah rodhiyallohu 'anha)

Dua hadits tersebut bisa dijadikan sebagai dalil tentang bolehnya seorang yang sedang berhadats besar seperti junub atau haidh untuk memandikan jenazah.

Masalah: Tidak disunnahkan bagi yang memandikan jenazah untuk mandi setelah selesai memandikan menurut pendapat yang kuat. Tidak ada hadits shohih dalam bab ini yang menunjukkan hal tersebut, sebagaimana dinyatakan oleh para Imam Ahli Hadits seperti Ibnul Mundzir dalam Al-Isyrof, Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni dan Ar-Rofi'iy sebagaimana dalam At-Talkhish karya Ibnu Hajar rohimahumulloh.

Adapun hadits Abu Huroiroh rodhiyallohu 'anhu, bahwasanya Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda:

من غسل ميتا فليغتسل ومن حمله فليتوضأ

"Siapa yang telah memandikan mayit, maka hendaknya ia mandi dan siapa yang telah mengangkatnya, hendaknya ia berwudhu." 

(HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Hibban, Ath-Thoyalisi dan Ahmad)

Maka ini adalah hadits dho'if, yang rojih adalah mauquf (dari ucapan Abu Huroiroh) sebagaimana yang dikuatkan oleh para Imam Ahli Hadits seperti Imam Bukhori, Abu Hatim, Al-Baihaqi dan selain mereka. Para Imam Ahli hadits yang juga mendho'ifkan hadits tersebut adalah Ahmad bin Hambal, Ali bin Al-Madini, Adz-Dzuhli, Ibnul Mundzir dan selain mereka. 

(Jami'ul Adillah, hal. 164 dan Fathul 'Allam: 1/244-245)

Permasalahan jenazah yang dimandikan

Beberapa permasalahan yang berkaitan dengan jenazah yang dimandikan adalah sebagai berikut:

Masalah: Jenazah yang meninggal dalam keadaan junub atau haidh, maka dimandikan sebagaimana jenazah-jenazah lainnya tanpa ada tambahan apapun. Ini adalah pendapat keseluruhan ulama, bahwa tidak dibedakan antara mayit yang meninggal dalam keadaan junub atau haidh dengan mayit-mayit lainnya dalam cara memandikannya. 

(Al-Ausath: 5/341 oleh Ibnul Mundzir sebagaimana ternukil dalam Jami'ul Adillah, hal. 182)

Masalah: Wajib memandikan atau mencuci seluruh bagian jenazah yang ada atau berhasil diketemukan meskipun kecil ukurannya, karena memandikannya hukumnya wajib pada seluruh jasadnya, termasuk pula pada bagian-bagiannya yang ada. Jika ada bagian tubuh yang diketemukan setelah itu, maka dimandikan atau dicuci juga dan demikianlah seterusnya. 

(Fatwa Lajnah Da'imah: 8/434; Al Mulakkhosh, hal. 34)

Masalah: Adapun jenazah yang telah dikuburkan sebelum dimandikan, maka dikeluarkan kembali untuk dimandikan selama belum berubah atau rusak. Ini adalah pendapat kebanyakan para ulama. Dalam hadits Jabir bin Abdillah rodhiyallohu 'anhu disebutkan:

أتى رسول الله صلى الله عليه وسلم عبد الله بن أبي بعد ما أدخل حفرته، فأمر به، فأخرج، فوضعه على ركبتيه ونفث عليه من ريقه، وألبسه قميصه

"Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam mendatangi mayit Abdulloh bin Ubaiy setelah dimasukkan ke dalam liang kuburannya. Lalu beliau memerintahkan jasadnya untuk dikeluarkan dan diletakkan di pangkuannya. Lalu beliau meludah kecil padanya dan memakaikan gamis beliau kepadanya." 

(HR. Bukhori dan Muslim)

Dalam hadits Jabir bin Abdillah rodhiyallohu 'anhu pula riwayat Bukhori, bahwa beliau mengeluarkan jenazah ayahnya yang terbunuh di medan jihad dan masih dikuburkan bersama seorang yang lainnya setelah enam belas bulan kemudian. Lalu dikuburkannya secara tersendiri.

Berdasarkan dua hadits di atas, maka tidak apa-apa mengeluarkan kembali mayit yang telah dikubur untuk dikafani atau dipindahkan ke tempat lainnya yang lebih baik. Demikian juga boleh mengeluarkan kembali jenazah yang telah dikubur dan belum dimandikan untuk dimandikan. 

(Jami'ul Adillah, hal. 186)

Masalah: Tidak disyariatkan untuk memandikan dan melepas pakaian yang melekat pada jenazah seseorang yang mati syahid di medan peperangan. Para ulama sepakat bahwa yang dilepas hanyalah senjata dan peluru yang disandang serta tamengnya (baju atau topi anti peluru) saja, sedangkan yang lain tidak dilepas. Hal ini ditunjukkan oleh hadits Jabir rodhiyallohu 'anhu, bahwasanya Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda:

ادفنوهم في دمائهم يعني يوم أحد ولم يغسلهم. وفي رواية فقال: أنا شهيد على هؤلاء لفوهم في دمائهم فإنه ليس جريح يجرح في الله إلا جاء وجرحه يوم القيامة يدمى لونه لون الدم وريحه ريح المسك وفي رواية: لا تغسلوهم فإن كل جرح يفوح مسكا يوم القيامة ولم يصل عليهم

"Kuburkanlah mereka -yaitu para syuhada' perang Uhud- dengan darah-darah mereka." Beliau tidaklah memandikan mereka. Dalam riwayat: "Aku bersaksi atas kesyahidan mereka. Tutupilah mereka beserta darah-darah mereka. Sesungguhnya bukanlah yang terluka di jalan Alloh itu, melainkan akan datang bersama lukanya yang mengucurkan darah pada hari kiamat. Warnanya warna darah dan baunya adalah aroma misik." Dalam riwayat lainnya: "Janganlah kalian memandikan mereka. Sesungguhnya setiap luka itu akan mengeluarkan aroma misik pada hari kiamat." Beliau tidak pula melakukan sholat jenazah terhadap mereka." 

(HR. Bukhori, Abu Dawud, An-Nasa'i, At-Tirmidzi, Ibnu Majah dan selain mereka, dishohihkan oleh Al-Albaniy dalam Ahkamul Janaiz, hal. 54 dan Fathul 'Allam: 2/288-289)

Masalah: Jenazah orang kafir tidak dimandikan oleh kaum muslimin menurut pendapat yang kuat (pendapat Ahmad dan Malik).

Ketika perang Badar, terbunuhlah puluhan orang-orang kafir Quraisy. Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam memerintahkan untuk langsung menguburkan mereka di salah satu sumur dari sumur-sumur Badar dan tidak memandikan mereka, sebagaimana dalam riwayat Bukhori dan Muslim dari hadits Abu Tholhah rodhiyallohu 'anhu. 

(Fathul 'Allam: 2/302)

Tidak ada dalil yang shohih tentang seorang muslim memandikan mayit kafir, akan tetapi langsung dikuburkan jasadnya jika tidak ada yang mengurusinya berdasarkan dalil yang ada, supaya tidak mengganggu kaum muslimin dengan bau busuknya. 

(Jami'ul Adillah, hal. 162)

Demikian juga, tidak sah jika jenazah seorang muslim dimandikan oleh orang kafir menurut pendapat yang kuat (pendapat Ahmad dan Hanabilah). Hal ini karena memandikan jenazah merupakan amalan ibadah yang membutuhkan niat di dalamnya dan seorang kafir bukanlah ahlinya, sehingga tidak berhak untuk itu. Maka, meskipun jenazah muslim telah dimandikan oleh seorang kafir, masih harus dimandikan lagi oleh kaum muslimin. Wallohu ta'ala a'lam. 

(Fathul 'Allam: 2/302)

Hal-hal yang perlu diperhatikan oleh orang yang memandikan jenazah

Bagi yang memandikan jenazah hendaknya memenuhi dua persyaratan agar mendapatkan pahala yang besar dan keutamaan di sisi Alloh ta'ala:

Pertama: Hendaknya dengan amalan itu dia mengharapkan wajah Alloh, tidak menginginkan sesuatu dari perkara dunia. Telah tetap dalam syariat bahwa Alloh ta'ala tidaklah menerima suatu amalan ibadah, kecuali dengan keikhlasan hanya kepada Alloh semata. Alloh ta'ala berfirman:

قل إنما أنا بشر مثلكم يوحى إلي أنما إلهكم إله واحد فمن كان يرجو لقاء ربه فليعمل عملا صالحا ولا يشرك بعبادة ربه أحدا

"Katakanlah -wahai Rosul- kepada orang-orang musyrikin itu: "Aku hanyalah manusia biasa seperti kalian yang telah diwahyukan kepadaku dari Robbku bahwasanya sesembahan kalian yang haq itu hanyalah satu (Alloh ta'ala). Maka siapa yang takut terhadap adzab Robbnya dan mengharapkan pahala dari-Nya pada hari pertemuan dengan-Nya (hari kiamat), maka hendaknya melakukan amalan sholeh untuk Robbnya sesuai dengan syariat-Nya dan tidaklah menyekutukan-Nya dalam ibadah dengan siapapun selain-Nya (ikhlas)." 

(Tafsir Muyassar QS. Al-Kahfi: 110)

Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda:

إنما الأعمال بالنيات وإنما لكل امرئ ما نوى فمن كانت هجرته إلى الله ورسوله فهجرته إلى الله ورسوله ومن كانت هجرته إلى دنيا يصيبها أو امرأة ينكحها فهجرته إلى ما هاجر إليه

"Hanyalah suatu amalan itu sesuai dengan niatnya. Setiap orang hanyalah akan mendapatkan apa yang ia niatkan. Siapa yang hijrohnya (ibadahnya) untuk Alloh dan Rosul-Nya (ikhlas), maka hijrohnya (ibadahnya) kepada Alloh dan Rosul-Nya (yaitu mendapatkan ganjaran dari Alloh) dan siapa yang hijrohnya untuk mendapatkan dunia atau wanita yang ingin ia nikahi, maka hijrohnya akan mendapatkan apa yang sesuai dengan tujuan yang diniatkannya." 

(HR. Bukhori dan Muslim dari hadits Umar rodhiyallohu 'anhu)

Kedua: Menutupi dan tidak menyebarkan atau membicarakan aib dan hal-hal tidak disukai yang terdapat pada si mayit. Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda:

من غسل مسلما فكتم عليه غفر له الله أربعين مرة

"Siapa yang memandikan jenazah muslim dan menutupi aib yang ada padanya, maka Alloh akan mengampuninya sebanyak empat puluh kali." 

(HR. Al-Hakim, Al-Baihaqiy dari hadits Abu Rofi' rodhiyallohu 'anhu, dishohihkan oleh Imam Al-Albaniy dalam Ahkamul Janaiz, hal. 51)

Demikian juga berdasarkan keumuman hadits Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam:

وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا، سَتَرَهُ اللهُ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ

"Siapa yang menutupi aib seorang muslim, maka Alloh akan menutupi aibnya baik di dunia maupun di akherat." 

(HR. Muslim dari Abu Huroiroh rodhiyallohu 'anhu)

Adapun jika si mayit tersebut semasa hidupnya adalah seorang yang tercela dalam agama dan sunnah, masyhur atau dikenal sebagai mubtadi' (ahli bid'ah), maka diperbolehkan bahkan disunnahkan untuk membicarakan dan menampakkan kejelekannya dalam rangka memperingatkan umat dari kebid'ahannya. Ini adalah perkara yang pasti dan tidak ditinggalkan, karena jika manusia mengetahui akan akhir hayatnya yang jelek, maka mereka akan lari menghindar dari jalan dan manhajnya. Sebaliknya, hendaknya tidak ditampakkan apa yang ada pada dirinya berupa jasa-jasa dan kebaikan-kebaikan, agar tidak ada orang yang tertipu dan terpengaruh dengannya sehingga mengikuti jalan kebid'ahannya. Dengan demikian, tertutuplah jalan-jalan yang mengantarkan seseorang kepada fitnah kebid'ahan dan kesesatan. 

(Al Majmu': 5/139, Imam Nawawi; Al Mughni: 2/456, Ibnu Qudamah; Al Inshof: 2/506, Al Mardawiy; Asy Syarhul Mumti': 5/376-377; Al Mulakkhosh, hal. 27-28)

Bid'ah-bid'ah terlarang dalam hal memandikan jenazah

Beberapa kebid'ahan yang sering dilakukan dalam acara memandikan jenazah:

Pertama: Meletakkan roti atau makanan dan secangkir air di tempat si mayit dimandikan selama tiga malam setelah kematiannya.

Kedua: Menyalakan lentera atau lampu minyak di tempat si mayit dimandikan selama tiga malam mulai dari terbenamnya matahari sampai waktu terbitnya. Sebagian mereka membiarkannya sampai tujuh harinya atau lebih di tempat itu.

Ketiga: Mengucapkan dzikir-dzikir tertentu dan mengeraskannya ketika mencuci atau membasuh setiap anggota tubuh si mayit.

Keempat: Membiarkan rambut mayit terurai di antara kedua susunya. 

(Ahkamul Janaiz, hal. 247)

Semoga Alloh ta'ala memberikan petunjuk dan taufiq-Nya kepada kaum muslimin seluruhnya, sehingga dapat menjalankan agama mereka dengan baik, sesuai dengan sunnah Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam dan menjauhkan diri-diri mereka dari kesesatan berupa kebid'ahan-kebid'ahan dalam agama yang diada-adakan.

Demikianlah pembahasan bagian kedua dari hukum-hukum penyelenggaraan jenazah ini. Insyaalloh, akan diteruskan pada pembahasan bagian ketiga yaitu tata cara mengkafani jenazah.

Wallohu ta'ala a'lam bish showab, walhamdulillahi Robbil 'alamin.

Ditulis: Mushlih Abu Sholeh Al-Madiuniy -waffaqohulloh- (rev. 16 Muharrom 1436)

Pustaka:
- At-Tafsir Al-Muyassar, karya kumpulan ulama tafsir Saudi Arabia dengan pengantar Syaikh Sholeh bin Abdul 'Aziz Alus-Syaikh waffaqohulloh, cet. ke-2 Ad-Darul 'Alamiyyah 1430H.
- Ahkamul Janaiz wa Bida'uha, karya Imam Al-Albaniy rohimahulloh, cet. ke-4 Al-Maktabul Islamiy 1406H.
- Talkhis Ahkamil Janaiz, karya Imam Al-Albaniy rohimahulloh, cet. ke-3 Maktabah Al-Ma'arif.
- Jami'ul Adillah wat Tarjihat fii Ahkamil Amwat, oleh Syaikh Yahya bin Ali Al-Hajuriy, cet. pertama Maktabah Shon'a Al-Atsariyah, tahun 1427H.
- Fathul 'Allam fii Dirosati Ahaditsi Bulughil Marom (jilid 2 Kitab Janaiz), oleh Syaikh Muhammad bin Hizam Al-Ba'daniy, cet. pertama Maktabah Ibnu Taimiyah 1432H.
- Mulakkhosh Ahkamil Jana'iz, oleh Syaikh Abdulloh Al Iryani, cet. 1 Darul Atsar Shon'a, th. 1430.
- As Sailul Jarror Al Mutadaffiq 'Ala Hada'iqil Azhar, karya Imam Asy Syaukani, cet. 1 Dar Ibnu Hazm.
- Asy Syarhul Mumti' 'Ala Zadil Mustaqni', karya Syaikh Ibnu 'Utsaimin, cet. 1 Dar Ibnul Jauzi, th. 1428.




╭─┅─═ঊঊঈ═─┅─╮
      SEBARKANLAH
      ENGKAU AKAN
      MENDAPATKAN
         PAHALANYA
╰─┅─═ঊঊঈ═─┅─╯

🅹🅾🅸🅽 🅲🅷🅰🅽🅽🅴🅻 🆃🅴🅻🅴🅶🆁🅰🅼

FIQIH JENAZAH (3) Mengafani Jenazah

FIQIH JENAZAH (3) Mengafani Jenazah



بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن واله وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له وأشهد أن محمدا عبده ورسوله، أما بعد

Alhamdulillah, pada bagian ketiga dari fiqih jenazah ini akan dibahas tentang hukum-hukum mengafani jenazah. Nah, setelah selesai memandikan jenazah, maka wajib untuk mengafaninya berdasarkan kesepakatan ulama (ijma'). 

(Al Majmu': 5/146, An Nawawi; Al Mughni: 2/335, Ibnu Qudamah; Syarhus Sunnah: 5/320; Al Baghowi sebagaimana dalam Jami'ul Adillah, hal. 208)

Dalil yang menunjukkan akan hal ini diantaranya adalah perintah Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam dalam hadits kisah seorang muhrim yang terjatuh dari ontanya:


بينما رجل واقف بعرفة، إذ وقع عن راحلته فوقصته، أو قال: فأقعصته، فقال النبي صلى الله عليه وسلم: اغسلوه بماء وسدر، وكفنوه.. الحديث

"Ketika seseorang tengah melakukan wukuf di Arofah, tiba-tiba dia terjatuh dari hewan tunggangannya dan patah lehernya sehingga meninggal. Maka Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam berkata: "Mandikanlah ia dengan air campur sidr (bidara), lalu kafanilah…!" 

(HR. Bukhori dan Muslim dari Ibnu Abbas rodhiyallohu 'anhuma)

Keutamaan mengafani jenazah

Mengafani jenazah merupakan suatu amalan yang besar keutamaannya bagi yang melakukannya dengan ikhlash dan mengharap wajah Alloh ta'ala. Keutamaan tersebut adalah apa yang disebutkan oleh Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam dalam sabda beliau:

ومن كفنه كساه الله يوم القيامة من سندس واستبرق الجنة

"Siapa yang mengafani jenazah, maka Alloh akan memberinya pakaian pada hari kiamat dengan pakaian dari sutra, baik yang tipis maupun tebal berasal dari jannah (surga)." 

(HR. Al Hakim, Baihaqi dari Abu Rofi' rodhiyallohu 'anhu, dishohihkan oleh Al Albani dalam Ahkamul Jana'iz, hal. 51)

Pengadaan kain kafan

Pengadaan kain kafan atau biayanya diambilkan dari harta pribadi si mayit, meskipun ia belum berpesan kepada siapapun sebelum kematiannya dan ini lebih dikedepankan daripada ahli waris menurut kesepakatan ahli ilmu. Jika si mayit tidak meninggalkan harta sama sekali, maka ditanggung oleh walinya yang mengurusi nafkahnya. Jika tidak ada, maka ditanggung oleh baitul mal (pemerintah) jika memungkinkan. Jika tidak bisa, maka ditanggung oleh seluruh kerabatnya dan kaum muslimin di daerah tersebut. 

(Al I'lam: 4/420; Ibnul Mulaqqin; Syarhus Sunnah: 5/320, Al Baghowi sebagaimana dalam Jami'ul Adillah, hal. 210; Syarh Shohih Muslim, no. 941, An Nawawi sebagaimana dalam Miskul Khitam: 2/193)

Hal ini berdasarkan hadits Khobbab bin Al-Arots rodhiyallohu 'anhu, beliau berkata:

هاجرنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم في سبيل الله، نبتغي وجه الله، فوجب أجرنا على الله، فمنا من مضى لم يأكل من أجره شيئا، منهم مصعب بن عمير، قتل يوم أحد، فلم يوجد له شئ، -وفي رواية: ولم يترك- إلا نمرة، فكنا إذا وضعناها على رأسه خرجت رجلاه، وإذا وضعناها على رجليه خرج رأسه، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ضعوها مما يلي رأسه -وفي رواية: غطوا بها رأسه-، واجعلوا على رجليه الاذخر، ومنا من أينعت له ثمرته فهو يهدبها، أي: يجتنيها

"Kami berhijrah bersama Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam di jalan Alloh dengan mengharap wajah Alloh. Maka telah tetap ganjaran kami di sisi Alloh (baik duniawi berupa harta rampasan perang maupun ukhrowi). Sebagian dari kami ada yang telah meninggal tanpa menikmati ganjarannya di dunia sama sekali. Di antara mereka adalah Mush'ab bin Umair yang terbunuh pada perang Uhud. Tidak meninggalkan apapun, kecuali selembar kain baju. Jika kami tutupkan pada kepalanya, terbukalah kedua kakinya. Jika kami tutupkan pada kedua kakinya, maka terbukalah kepalanya. Maka Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam memerintahkan: "Tutupilah kepalanya dengan kain dan tutupilah kakinya dengan tumbuhan idzkhir." Di antara kami ada yang telah menikmati buahnya (berupa kenikmatan duniawi berupa kemenangan dan ghonimah), sedangkan dia tidak mendapatkannya (akan tetapi mendapatkan ganjaran yang penuh di akhirat)." 

(HR. Bukhori, Muslim dan selain mereka)

Sabda Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam:

من ترك دينا أو ضياعا فعلي وإلي

"Siapa yang meninggalkan hutang atau anak-anak, maka itu adalah tanggunganku (beliau sebagai pemimpin kaum muslimin)." 

(HR. Muslim dari Jabir rodhiyallohu 'anhu)

Alloh ta'ala berfirman:

وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ

"Kaum mukminin dan mukminat terhadap Alloh dan Rosul-Nya itu sebagian mereka sebagai penolong sebagian lainnya." (Tafsir Muyassar QS. At Taubah: 71)

Masalah: Diperbolehkan bagi seseorang sebelum meninggal untuk mempersiapkan kain kafannya untuk digunakan ketika ia meninggal dunia nanti. Hal ini ditunjukkan oleh hadits Sahl rodhiyallohu 'anhu:

"Bahwasanya salah seorang sahabat Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam melihat sarung bagus yang sedang beliau kenakan. Lalu ia mengatakan: "Alangkah bagusnya sarung ini! Berikanlah kepadaku." Para sahabat lainnya berkata kepadanya: "Bagaimana kau ini, Nabi sedang perlu untuk memakainya, lalu kau memintanya?! Padahal engkau tahu bahwa beliau tidak menolak orang yang meminta." Ia berkata: "Demi Alloh, sungguh tidaklah aku memintanya untuk kupakai, akan tetapi untuk kujadikan sebagai kain kafanku nanti." Sahl berkata: "Jadilah sarung itu sebagai kain kafannya." 

(HR. Bukhori, no. 1277)

Sifat kain kafan

Hendaknya disediakan kain kafan yang lebar untuk menutupi seluruh badannya. Hal ini sebagaimana ditunjukkan oleh hadits Jabir bin Abdillah rodhiyallohu 'anhu:

أن النبي صلى الله عليه وسلم خطب يوما فذ كر رجلا من أصحابه قبض فكفن غير طائل، وقبر ليلا، فزجر النبي صلى الله عليه وسلم أن يقبر الرجل بالليل حتى يصلى عليه إلا أن يضطر إنسان إلى ذلك، وقال النبي صلى الله عليه وسلم: إذا كفن أحدكم أخاه فليحسن كفنه إن استطاع

"Bahwasanya Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam suatu hari berkhutbah dan menyebutkan seseorang dari sahabat beliau yang telah meninggal, lalu dikafani dengan kain yang sempit dan dikuburkan pada malam hari. Maka Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam menegurnya untuk tidak menguburkannya malam-malam sampai disholatkan, kecuali jika dalam keadaan darurat. Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda: "Jika salah seorang dari kalian mengafani saudaranya, maka hendaknya membaguskan kafannya jika memungkinkan." 

(HR. Muslim, Ibnul Jarud, Abu Dawud, Ahmad dan selainnya)

Para ulama mengatakan bahwa yang dimaksud dengan membaguskan kain kafan adalah berkaitan dengan kebersihannya, ketebalan dan bisa menutupi seluruh badan dengan sempurna serta pertengahan dari segi kualitasnya. Bukanlah yang dimaksud di situ adalah berlebih-lebihan dalam harga dan kualitasnya. Sebagian ulama (An-Nawawi) mengatakan bahwa jenis kain kafan disyaratkan sesuai dengan apa yang biasa dikenakannya semasa hidupnya, tidak boleh lebih bagus dan tidak boleh lebih rendah kualitasnya. Akan tetapi syarat ini tidaklah benar, karena tidak ada dalil yang mendukungnya. (Ahkamul Janaiz, hal. 58-59)

Kain kafan terlalu sempit

Jika tidak diketemukan kain kafan yang bisa menutup seluruh badannya, maka ditutup bagian kepalanya dan seterusnya. Sedangkan bagian yang masih terbuka, seperti kaki, maka bisa ditutup dengan sesuatu yang lain seperti daun-daunan, tetumbuhan dan sebagainya. Hal ini sebagaimana dalam hadits Khobbab bin Arot pada kisah Mush'ab bin Umair tersebut di atas, juga hadits Harits bin Midhrob berikut ini:

دخلت على خباب وقد اكتوى في بطنه سبعا، فقال لولا أني سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: لا يتمنين أحدكم الموت لتمنيته، ولقد رأيتني مع رسول الله صلى الله عليه وسلم لا أملك درهما، وإن في جانب بيتي الان لاربعين ألف درهم! ثم أتى بكفنه، فبلما رآه بكى وقال: ولكن حمزة لم يوجد له كفن إلا بردة ملحاء، إذا جعلت على رأسه قلصت عن قدميه، وإذا جعلت على قدميه قلصت عن رأسه، وجعل على قدميه الاذخر.

"Aku menjenguk Khobbab ketika sakit yang telah dicos besi panas di bagian perutnya sebanyak tujuh tempat (pengobatan dengan besi panas). Lalu dia berkata: "Kalaulah aku tidak mendengar Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda: "Janganlah seseorang dari kalian berangan-angan untuk mati," niscaya aku ingin mati saja karena penyakitku ini." Sungguh aku telah bersama Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam dalam keadaan aku tidak punya harta. Sedangkan sekarang, sungguh di sisi rumahku terdapat empat puluh ribu dirham." Kemudian didatangkan kain kafannya yang bagus. Ketika melihatnya, maka ia menangis dan mengatakan: "Akan tetapi Hamzah tidak ditemukan untuknya kain kafan, kecuali kain burdah bergaris. Jika ditutupkan di kepalanya, maka kakinya tersingkap dan jika ditutupkan di kakinya, maka kepalanya tersingkap. Maka ditutupkanlah pada kepalanya, sedangkan kakinya ditutup dengan idzkhir (sejenis rerumputan yang harum baunya)." (HR. Ahmad, dishohihkan oleh Syaikh Al-Albani rohimahulloh dalam Ahkamul Janaiz, hal. 59)

Jika kain kafan yang ditemukan lebih kecil dari itu, maka diutamakan untuk menutupi aurotnya, sedangkan bagian badan lainnya bisa ditutup dengan idzkhir. Jika tidak ada kain sama sekali, maka seluruh badan ditutup dengan idzkhir dan semacamnya dan ini lebih dikedepankan daripada menggunakan baju wanita, karena terdapat larangan seorang laki-laki memakai pakaian wanita dan sebaliknya. 

(Jami'ul Adillah, hal. 242)

Keterbatasan kain kafan

Jika kain kafan sedikit jumlahnya, sedangkan jenazah lebih banyak, maka diperbolehkan satu kain kafan untuk beberapa jenazah. Dikedepankan jenazah yang paling banyak hafalan Qur'annya ke arah kiblat. Hal ini ditunjukkan oleh hadits Anas rodhiyallohu 'anhu tentang kisah perang Uhud, beliau berkata:

وكثرت القتلى، وقلت الثياب، قال: وكان يجمع الثلاثة والاثنين في قبر واحد، ويسأل أيهم أكثر قرآنا، فيقدم في اللحد، وكفن الرجلين والثلاثة في الثوب الواحد

"Ketika itu banyak yang terbunuh sedangkan kain kafan sedikit jumlahnya. Beliau shollallohu 'alaihi wa sallam mengumpulkan dua atau tiga jenazah dalam satu kuburan dan menanyakan siapa yang paling banyak hafalan Al Qurannya untuk dikedepankan di dalam liang lahad. Beliau juga mengafani dua dan tiga jenazah dengan satu kain kafan." 

(HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Sa'ad, Al Hakim, Al Baihaqi, Ahmad. Dihasankan oleh Al- Albaniy rohimahulloh)

Makna hadits tersebut adalah bahwasanya Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam membagi-bagi satu kain kafan untuk beberapa orang (jamaah), maka setiap orang dikafani dengan potongan atau sebagian kain karena keadaan darurat, meskipun kain tersebut tidak dapat membungkus seluruh badannya. Hal ini ditunjukkan oleh kelengkapan hadits, bahwa beliau menanyakan siapa yang terbanyak hafalan Qurannya untuk dikedepankan di liang lahad (setelah mereka dibungkus). Sekiranya mereka dibungkus bersama dalam selembar kain, maka tentunya beliau bertanya sebelumnya agar tidak melepas kain kafan lagi dan membungkusnya kembali. Tafsir hadits inilah yang benar. Adapun pendapat yang mengatakan bahwa itu sesuai dhohirnya, yaitu beberapa jenazah dibungkus menjadi satu dengan satu kain, maka ini adalah keliru dan tidak sesuai dengan konteks kisahnya. 

(Ahkamul Jana'iz, hal. 60)

Sunnah-sunnah berkaitan dengan kain kafan

Pertama: Disunnahkan untuk memilih kain kafan yang berwarna putih, sebagaimana sabda Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam:

البسوا من ثيابكم البياض، فانها خير ثيابكم، وكفنوا فيها

"Pakailah dari pakaianmu yang berwarna putih, karena sungguh ia adalah sebaik-baik pakaianmu dan kafanilah dengannya." 

(HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah, Baihaqi, Ahmad dari hadits Ibnu 'Abbas rodhiyallohu 'anhuma, dishohihkan oleh Al Albani rohimahulloh)

Kedua: Disunnahkan pula untuk menggunakan kain kafan sebanyak tiga lembar dan yang wajib adalah selembar kain yang menutup seluruh badan. 

(Jami'ul Adillah, hal. 209)

Hal ini sebagaimana dalam hadits 'Aisyah rodhiyallohu 'anha, beliau berkata:

إن رسول الله صلى الله عليه وسلم كفن في ثلاثة أثواب يمانية بيض سحولية، من كرسف، ليس فيهن قميص، ولا عمامة أدرج فيها إدراجا

"Sesungguhnya Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam dikafani dengan tiga buah (lembar) kain buatan daerah Sahuliyah (arah propinsi Ibb sekarang) Yaman berwarna putih bersih dari bahan katun, bukan berupa baju gamis dan bukan pula 'imamah. Akan tetapi dimasukkan ke dalamnya begitu saja." 

(HR. Bukhori, Muslim, Ashhabus Sunan, Ibnul Jarud, Baihaqi, Ahmad)

Ini adalah pendapat yang kuat (pendapat jumhur ulama), bahwa sunnahnya dibungkus dengan tiga lembar kain kafan saja tanpa memakai gamis (baju panjang) dan tidak pula 'imamah (penutup kepala). Imam Bukhori memberikan sebuah bab dalam Shohihnya pada hadits no. 1273: "Bab Kain Kafan Tanpa Gamis dan 'Imamah." Adapun hadits Ibnu 'Abbas rodhiyallohu 'anhuma riwayat Abu Dawud, bahwasanya Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam dikafani dengan tiga buah baju: baju gamis yang dipakai ketika meninggalnya, baju atas dan bawah, maka ini adalah hadits dho'if (lemah) tidak sah untuk dijadikan sebagai dalil yang memalingkan riwayat-riwayat yang shohih. 

(Jami'ul Adillah, hal. 197)

Sejumlah atsar shohih dari Aisyah rodhiyallohu 'anha menunjukkan pula pendapat jumhur ulama, bahwasanya telah dikatakan kepada Aisyah bahwasanya Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam dikafani dengan tiga baju (dua baju hullah dan satu baju burdah), maka beliau rodhiyallohu 'anha mengatakan:

قد أتى بالبرد, ولكنهم ردوه ولم يكفنوه فيه

"Telah diberikan sebuah baju burdah, akan tetapi mereka menolaknya dan tidak mengafani beliau dengan baju itu." 

(HR. Muslim)

Masalah: Diharomkan mengafani mayit laki-laki dengan kain sutra, sedangkan selainnya seperti katun, wol, linen, bulu dan sebagainya yang diperbolehkan untuk dipakai ketika hidupnya, maka ini diperbolehkan pula untuk digunakan sebagai kain kafannya. Adapun mayit perempuan, maka mengafaninya dengan kain sutra hukumnya makruh, karena hal itu termasuk berlebihan dan mirip dengan menyia-nyiakan harta. Berbeda halnya jika dipakai semasa hidupnya, maka hal itu termasuk perhiasan di mata suaminya. 

(Al Majmu': 5/153, An Nawawi sebagaimana dalam Jami'ul Adillah, hal. 209)

Ketiga: Disunnahkan pula pada salah satu kain kafan -jika tersedia- untuk menggunakan kain bergaris, berdasarkan sabda Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam:

إذا توفي أحدكم فوجد شيئا، فليكفن في ثوب حبرة

"Jika salah seorang di antara kalian meninggal dunia dan ia termasuk orang yang mampu, maka kafanilah ia dengan kain bergaris." 

(HR. Abu Dawud, dishohihkan oleh Al Albaniy rohimahulloh)

Hadits ini tidaklah bertentangan dengan hadits pertama tersebut di atas tentang kain berwarna putih, karena bisa didudukkan atau dikumpulkan antara satu dengan lainnya, sehingga kedua hadits tersebut bisa diamalkan secara bersamaan, yaitu bahwa kain kafan tersebut disunnahkan berwarna putih bergaris, jika hanya memakai satu kain. Jika menggunakan lebih dari satu lembar kain, maka salah satunya berwarna putih bergaris, sedangkan yang lainnya berwarna putih bersih (polos). 

(Ahkamul Janaiz, hal. 63-64)

Keempat: Disunnahkan untuk mengharumkan mayit dan kain kafannya (selain yang meninggal ketika ihrom), baik dengan menggunakan dupa pengharum atau bahan pengharum lainnya sebanyak tiga kali, berdasarkan hadits Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam:

إذا جمرتم الميت، فأجمروه ثلاثا

"Jika kalian mengharumkan mayit, maka lakukanlah sebanyak tiga kali." 

(HR. Ahmad, Ibnu Abi Syaibah, Ibnu Hibban, Al Hakim, Baihaqi dari hadits Jabir rodhiyallohu 'anhu, dishohihkan oleh Al Albaniy rohimahulloh)

Ibnul Mundzir rohimahulloh dalam Al Autsath (no. 879) mengatakan: "Seluruh ulama yang telah diketahui dan dihafal dari mereka menyatakan disunnahkannya untuk mengharumkan kain kafan mayit." 

(Al Mulakkhosh, hal. 39)

Yang dilarang pada kain kafan

Tidak diperbolehkan bermewah-mewahan dan berlebihan dalam kain kafan. Demikian juga tidak lebih dari tiga lembar kain, karena tidak sesuai dengan sunnah dan orang yang masih hidup lebih pantas untuk mengenakannya serta hal ini termasuk menyia-nyiakan harta. Kalaulah bukan karena syariat telah menunjukkan tiga lembar kain kafan, maka hal itu pun termasuk menyia-nyiakan harta, karena tidak bermanfaat bagi si mayit di kuburannya dan juga tidak kembali kemanfaatannya kepada yang masih hidup. Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda:

إن الله كره لكم ثلاثا قيل وقال، وإضاعة المال، وكثرة السؤال

"Sesungguhnya Alloh membenci tiga hal: katanya dan katanya (berita yang tak jelas kebenarannya), menyia-nyiakan harta dan banyak tanya yang tidak bermanfaat." 

(HR. Bukhori, Muslim, Ahmad dari hadits Al Mughiroh bin Syu'bah rodhiyallohu 'anhu)

Adapun hadits yang menunjukkan bahwa Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam dikafani dengan tujuh lembar kain, maka itu adalah tidak shohih dan termasuk hadits mungkar, sebagaimana yang telah diterangkan oleh Imam Az Zaila'iy dalam Nashbur Royah (2/261-262). 

(Ahkamul Jana'iz, hal. 64)

Tata cara mengafani mayit

Secara global, cara mengafani mayit adalah dengan memasukkan mayit tersebut ke dalam kain kafannya. Adapun langkah-langkahnya secara lebih rinci adalah sebagai berikut:

Pertama: Bentangkan kain kafan pertama, yaitu yang paling tebal dan lebar agar terlihat bagus di luarnya. Kemudian dibubuhi kapur barus. Lalu bentangkan kain kedua di atasnya dan dibubuhi kapur barus dan sebagainya. Kemudian dibentangkan kain ketiga di atasnya.

Kedua: Mayit diangkat dalam keadaan tertutup, lalu diletakkan di atas kain kafan yang telah dibentangkan tersebut dengan posisi telentang agar lebih mudah untuk dibungkus kain kafan.

Ketiga: Jasad si mayit diolesi minyak wangi pada bagian-bagian wajah dan anggota sujud serta lipatan-lipatan tubuhnya seperti ketiak, pusar dan sebagainya.

Keempat: Melipatkan ujung kain yang menempel pada jasad mayit (kain ketiga) yang berada di sisi sebelah kanan mayit menuju ke sisi sebelah kiri. Sisa kain disisipkan atau dimasukkan ke bawah tubuh mayit sebelah kiri. Hal ini agar tidak mudah terlepas nantinya ketika diturunkan miring ke kanan di liang lahad.

Kelima: Melipatkan kain yang di sebelah kiri jasad ke sebelah kanan sampai jasad terbungkus dengan kain.

Keenam: Demikian juga pada lembaran-lembaran kain kafan berikutnya sampai jasad mayit terbungkus dengan tiga lembar kain kafan dengan sempurna.

Ketujuh: Ujung-ujung kain di bagian kepala dan kaki dilebihkan untuk diikatkan tanpa merobek kain kafan, agar bungkusan mayit tidak terlepas ketika dibawa. 

(Al Mughni: 3/384; Ibnu Qudamah sebagaimana dalam Fathul 'Allam: 2/285; Miskul Khitam: 2/195)

Masalah: 

Tidak ada ketentuan jumlah tertentu untuk ikatan pada kain kafan. Yang terpenting adalah menjaga agar kafan tidak terlepas ketika jenazah dibawa dan diletakkan ke dalam liang lahadnya. Setelah jenazah diletakkan di liang lahadnya, maka ikatan-ikatan tersebut dilepas, karena sudah tidak diperlukan lagi. 

(Majmu' Fatawa Ibnu 'Utsaimin: 17/95; Al Mulakhhosh Al Fiqhi: 1/305; Fatawa Al Lajnah Daimah: 8/362 sebagaimana dalam Al Mulakkhosh, hal. 37)

Masalah: 

Diperbolehkan untuk meletakkan jasad mayit yang banyak mengalami luka-luka dan mengeluarkan darah di dalam kantong mayat plastik sebelum dikafani, agar darahnya tidak membasahi kain kafannya. 

(Fatawa Thoharoh wa Sholah: 2/278, Ibnu Bazz sebagaimana dalam Al Mulakhhosh, hal. 42)

Cara mengafani mayit perempuan

Penyelenggaraan kain kafan untuk mayit perempuan disunnahkan sama seperti mayit laki-laki, karena tidak ada dalil yang membedakan antara keduanya. Adapun hadits Laila binti Qonif Ats Tsaqofiyah bahwasanya ia mengafani anak perempuan beliau shollallohu 'alaihi wa sallam dengan lima lembar kain kafan, maka itu tidaklah shohih sanadnya. Dalam sanadnya terdapat perowi majhul (tidak dikenal) yang bernama Nuh bin Hakim Ats Tsaqofi, sebagaimana yang diterangkan oleh Al Hafidz Ibnu Hajar, Imam Az Zaila'iy dalam Nashbur Royah (2/258) dan ulama hadits lainnya. 


(Ahkamul Jana'iz, hal. 65; Jami'ul Adillah, hal. 216-218)

Mengafani muhrim

Adapun seorang yang muhrim (berpakaian ihrom), ketika meninggal di tengah-tengah ihromnya, maka dikafani dengan pakaian ihrom yang dikenakannya ketika meninggal. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam, sebagaimana dalam kisah seorang muhrim tersebut di atas yang jatuh dari ontanya lalu meninggal:

وكفنوه في ثوبيه اللذين أحرم فيهما

"Kafanilah ia dengan dua pakaian ihrom yang sedang dikenakannya." 

(HR. An Nasa'i dan Ath Thobroni dari hadits Ibnu 'Abbas rodhiyallohu 'anhuma, dishohihkan oleh Al Albaniy rohimahulloh)

Masalah: 
Seorang muhrim laki-laki, wajah dan kepalanya tidak ditutupi kain. Yang ditutupi adalah wajah muhrim perempuan (muhrimah), karena itu termasuk aurotnya. Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda berkaitan dengan muhrim laki-laki:

ولا تخمروا رأسه (ولا وجهه)، فإنه يبعث يوم القيامة ملبيا

"Janganlah kalian tutup kepalanya dan juga wajahnya. Sesungguhnya ia akan dibangkitkan nanti pada hari kiamat dalam keadaan bertalbiyah." (HR. Bukhori, Muslim, Baihaqi dan Abu Nu'aim dalam Al Mustakhroj dari Ibnu 'Abbas rodhiyallohu 'anhuma)

Mengafani syuhada' perang melawan kaum kafir

Tidak boleh melepas baju yang dikenakan oleh seorang yang mati syahid dalam medan jihad melawan kaum kafir ketika terbunuh, akan tetapi dikuburkan sekalian bersama jasadnya. Hal ini berdasarkan sabda Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam:

زملوهم في ثيابهم

"Selimutilah atau bungkuslah dengan baju-baju mereka." 

(HR. Ahmad dari Abdulloh bin Tsa'labah rodhiyallohu 'anhu. Hadits ini shohih sebagaimana dalam tahqiq Musnad Ahmad: 39/62)

Disunnahkan pula mengafaninya dengan selembar kain atau lebih di atas baju yang ia pakai, sebagaimana yang dilakukan oleh Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam terhadap Mush'ab bin 'Umair dan Hamzah bin Abdul Muttholib rodhiyallohu 'anhuma.

Adapun syuhada' lainnya selain jihad fii sabilillah melawan orang kafir, seperti yang meningal karena wabah penyakit, sakit perut, tenggelam dan tertimpa reruntuhan, maka dimandikan, dikafani dan disholati sebagaimana jenazah lainnya. 

(Jami'ul Adillah, hal. 234)

Bid'ah-bid'ah dalam mengafani mayit

Beberapa kebid'ahan yang ditemukan dalam mengafani mayit adalah sebagai berikut:

Pertama: Merias jenazah sebelum dikafani.

Kedua: Keyakinan sebagian orang bahwa mayit-mayit akan saling membanggakan diri-diri mereka dengan bagusnya kain kafan di kuburan mereka. Siapa yang kain kafannya kurang bagus, maka yang lainnya akan mencela dan mengejeknya karena itu. Terdapat beberapa riwayat tentang hal itu dalam hadits-hadits yang lemah diantaranya adalah hadits Jabir:

أحسنوا كفن موتاكم فإنهم يتباهون ويتزاورون بها في قبورهم

"Perbaguslah kain kafan mayit kalian. Sesungguhnya mereka akan saling membanggakan diri dan berkunjung dengannya di kuburan mereka."

Hadits ini diriwayatkan oleh Ad Dailamiy dan Imam Al Albaniy rohimahulloh menerangkan bahwa di dalam sanadnya terdapat para perawi yang tidak dikenal. Yang semisal dengan itu pula terdapat dua hadits yang disebutkan oleh Ibnul Jauzi dalam Al Maudhu'at (kumpulan hadits-hadits palsu). 

(Ahkamul Jana'iz, hal. 248)

Ketiga: Menuliskan doa-doa pada kain kafan.

Keempat: Menuliskan nama si mayit dan bahwasanya ia telah bersyahadat dengan dua kalimat syahadat serta menuliskan nama-nama ahli bait 'alaihimus salam dengan dibubuhi tanah kuburan Husain 'alaihis salam jika ada dan diletakkan dalam kain kafan. Bid'ah ini dilakukan oleh Al Imamiyah, sebagaimana disebutkan dalam Miftahul Karomah (1/455-456). 


Wallohu ta'ala a'lam bish showab.

Demikianlah pembahasan tata cara mengafani jenazah pada kali ini, insyaalloh akan diteruskan dengan pembahasan berikutnya yaitu hukum-hukum yang berkaitan dengan mengusung dan mengiring jenazah ke pemakaman.

Wabillahit taufiq, walhamdulillahi Robbil 'alamin.

Ditulis: Mushlih Abu Sholeh Al Madiuniy -'afallohu 'anhu- (19 Muharrom 1436)

Maroji':
- Ahkamul Jana'iz wa Bida'uha, karya Imam Al Albaniy rohimahulloh, cet. 4 Al Maktabul Islamiy, th. 1406.
- Jami'ul Adillah wat Tarjihat fii Ahkamil Amwat, oleh Syaikh Yahya Al Hajuri, cet. 1 Maktabah Shon'a Al Atsatiyah, th. 1427.
- Mulakkhosh Ahkamil Jana'iz, oleh Syaikh Abdulloh Al Iryani, cet. 1 Darul Atsar, th 1430.
- Fathul 'Allam fii Dirosati Ahadits Bulughil Marom, oleh Syaikh Muhammad bin Hizam Al Ba'dani, cet. 1 Dar Al 'Ashimah, th. 1434.
- Miskul Khitam Syarh 'Umdatil Ahkam, oleh Syaikh Zayid bin Hasan Al Wushobi, cet. 1 Maktabah Al Falah, th. 1434.






🅹🅾🅸🅽 🅲🅷🅰🅽🅽🅴🅻 🆃🅴🅻🅴🅶🆁🅰🅼

_*NASEHAT UNTUK SEKIRANYA TIDAK MEMONDOKKAN ANAK SEBELUM MENCAPAI BALIGH*_

_*Telah Di Periksa Oleh Asy-Syaikh Abu Fairuz Abdurrohman Bin Soekojo Al Indonesiy حفظه الله تعالى*_                بِسْمِ اللّهِ الرَّحْمَن...