FIQIH JENAZAH (4) Mengusung & Mengikuti Jenazah

FIQIH JENAZAH (4) Mengusung & Mengikuti Jenazah



بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله وكفى والصلاة والسلام على عباده الذين اصطفى، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له وأشهد أن محمدا عبده ورسوله، أما بعد

Setelah jenazah selesai dimandikan dan dikafani dengan sempurna, maka wajib (fardhu kifayah) atas yang masih hidup untuk mengusung dan mengantar jenazah muslim tersebut menuju musholla jenazah untuk disholatkan. Hal ini termasuk haknya yang wajib dipenuhi oleh kaum muslimin, karena merupakan kelaziman dalam proses pemakamannya yang tidak hanya dipikul oleh kerabat si mayit semata. Terutama jika mereka memerlukan pertolongan untuk mengusung, menggali kuburan dan memakamkannya, maka hal ini lazim atas kaum muslimin untuk membantu kerabat mayit tersebut. Tidaklah disyariatkan untuk mengikuti jenazah itu, melainkan untuk saling ta'awun (tolong-menolong) dalam mengurusi jenazah muslim. 

(Ahkamul Jana'iz, hal. 66; Jami'ul adillah, hal. 246)

Diantara dalil yang menunjukkan hal itu adalah hadits Baro' bin 'Azib rodhiyallohu 'anhu, bahwasanya beliau berkata:

أمرنا النبي صلى الله عليه وسلم بسبع ونهانا عن سبع، أمرنا باتباع الجنائز ... الحديث

"Kami diperintahkan oleh Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam dengan tujuh kewajiban dan melarang kami dari tujuh larangan. Kami diperintahkan untuk mengikuti jenazah, … al hadits." 

(HR. Bukhori dan Muslim)

Juga ini merupakan hak muslim yang wajib dipenuhi oleh muslim yang lain, sebagaimana dalam hadits Abu Huroiroh rodhiyallohu 'anhu, bahwasanya Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda:

حق المسلم (وفي رواية: يجب المسلم على أخيه) خمس: رد السلام، وعيادة المريض، واتباع الجنائز، وإجابة الدعوة، وتشميت العاطس

"Hak seorang muslim -dalam riwayat: "Kewajiban atas seorang muslim terhadap saudaranya.."- ada lima: membalas salam, menjenguk yang sakit, mengantar jenazahnya, menghadiri undangannya dan menjawabnya jika bersin." 

(HR. Bukhori dan Muslim)

Pengusung jenazah

Hal ini merupakan amalan khusus laki-laki dan bukan perempuan menurut kesepakatan para ulama. Tidaklah mengusung jenazah tersebut, melainkan para laki-laki, meskipun mayitnya adalah perempuan. Hal itu karena para laki-laki lebih kuat daripada wanita yang bisa tersingkap aurotnya ketika membawanya. 

(Syarah Muslim, An Nawawi sebagaimana dalam Jami'ul Adillah, hal. 252)

Demikian juga dengan melihat kelemahan jiwa-jiwa perempuan ketika menyaksikan jenazah secara umum, maka terlebih lagi jika memikulnya, dikhawatirkan akan muncul perkara-perkara yang terlarang seperti ikhtilath (bercampur dengan laki-laki), berteriak-teriak atau meronta-ronta karena bersedih dan sebagainya berupa fitnah-fitnah. 

(Mulakhosh Ahkamil Jana'iz, hal. 43)

Tata cara mengusung jenazah

Tata cara mengusung jenazah menurut sunnah adalah dengan memikulnya di atas pundak-pundak manusia. Adapun jika si mayit masih anak-anak (balita), maka cukuplah dibopong oleh seseorang dengan dua belah tangannya di depan dada.

Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda:

أسرعوا بالجنازة فإن تك صالحة فخير تقدمونها، وإن تكن غير ذلك فشر تضعونه عن رقابكم

"Percepatlah dalam mengusung jenazah. Jika ia adalah seorang yang sholeh, maka itu adalah kebaikan yang kalian kedepankan. Jika ia seorang yang bukan sholeh, maka itu adalah kejelekan yang segera diletakkan dari pundak-pundak kalian." 

(HR. Bukhori, Muslim dan selainnya dari Abu Huroiroh rodhiyallohu 'anhu)

Sabda beliau juga:

إذا وضعت الجنازة، واحتملها الرجال على أعناقهم، فإن كانت صالحة قالت: قدموني قدموني، وإن كانت غير صالحة قالت: يا ويلها أين يذهبون بها؟! يسمع صوتها كل شئ إلا الانسان، ولو سمعه لصعق

"Ketika jenazah diletakkan dan dipikul di atas pundak-pundak para laki-laki pengusungnya, jika ia seorang yang sholeh, maka akan mengatakan: "Kedepankan aku, kedepankan aku!" Jika ia tidak sholeh, maka ia mengatakan: "Aduh celaka, kemana ia akan kalian bawa pergi?!" Suaranya akan didengar oleh semuanya, kecuali manusia. Jika manusia mendengarnya, niscaya ia akan jatuh pingsan." 

(HR. Bukhori, Nasa'i, Baihaqi dan Ahmad dari Abu Sa'id Al Khudri rodhiyallohu 'anhu)

Mempercepat langkah ketika mengusung jenazah

Disyariatkan untuk mempercepat langkah ketika mengiring jenazah tanpa berlari, karena dikhawatirkan jenazah akan terguncang-guncang dengan keras sehingga terlepas kain kafannya dan tersingkap sebagian dari tubuhnya atau terjatuh dari usungannya dan sebagainya.

Hikmah disyariatkan untuk mempercepat langkah tersebut adalah sebagaimana yang telah disebutkan oleh Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam dalam sabda beliau tersebut di atas:

أسرعوا بالجنازة فإن تك صالحة فخير تقدمونها، وإن تكن غير ذلك فشر تضعونه عن رقابكم

"Percepatlah dalam mengusung jenazah. Jika ia adalah seorang yang sholeh, maka itu adalah kebaikan yang kalian kedepankan. Jika ia seorang yang bukan sholeh, maka itu adalah kejelekan yang segera diletakkan dari pundak-pundak kalian." 

(HR. Bukhori, Muslim dan selainnya dari Abu Huroiroh rodhiyallohu 'anhu)

Sabda beliau juga:

إذا وضعت الجنازة، واحتملها الرجال على أعناقهم، فإن كانت صالحة قالت: قدموني قدموني، وإن كانت غير صالحة قالت: يا ويلها أين يذهبون بها؟! يسمع صوتها كل شئ إلا الانسان، ولو سمعه لصعق

"Ketika jenazah diletakkan dan dipikul di atas pundak-pundak para laki-laki pengusungnya, jika ia seorang yang sholeh, maka akan mengatakan: "Kedepankan aku, kedepankan aku!" Jika ia tidak sholeh, maka ia mengatakan: "Aduh celaka, kemana ia akan kalian bawa pergi?!" Suaranya akan didengar oleh semuanya, kecuali manusia. Jika manusia mendengarnya, niscaya ia akan jatuh pingsan." 

(HR. Bukhori, Nasa'i, Baihaqi dan Ahmad dari Abu Sa'id Al Khudri rodhiyallohu 'anhu)

Adapun mempercepat langkah tanpa berlari ketika mengantar jenazah, maka ditunjukkan oleh hadits Abu Bakroh rodhiyallohu 'anhu dalam kisah Abdurrohman bin Jausyan rohimahulloh:

شَهِدْتُ جَنَازَةَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ سَمُرَةَ وَخَرَجَ زِيَادٌ يَمْشِي بَيْنَ يَدَيْ السَّرِيرِ فَجَعَلَ رِجَالٌ مِنْ أَهْلِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ وَمَوَالِيهِمْ يَسْتَقْبِلُونَ السَّرِيرَ وَيَمْشُونَ عَلَى أَعْقَابِهِمْ وَيَقُولُونَ رُوَيْدًا رُوَيْدًا بَارَكَ اللَّهُ فِيكُمْ فَكَانُوا يَدِبُّونَ دَبِيبًا حَتَّى إِذَا كُنَّا بِبَعْضِ طَرِيقِ الْمِرْبَدِ لَحِقَنَا أَبُو بَكْرَةَ عَلَى بَغْلَةٍ فَلَمَّا رَأَى الَّذِي يَصْنَعُونَ حَمَلَ عَلَيْهِمْ بِبَغْلَتِهِ وَأَهْوَى إِلَيْهِمْ بِالسَّوْطِ وَقَالَ خَلُّوا فَوَالَّذِي أَكْرَمَ وَجْهَ أَبِي الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَقَدْ رَأَيْتُنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَإِنَّا لَنَكَادُ نَرْمُلُ بِهَا رَمَلًا فَانْبَسَطَ الْقَوْمُ

"Aku menyaksikan jenazah Abdurrohman bin Samuroh dan Ziyad keluar dan berjalan di depan usungan jenazah. Kemudian para laki-laki dari kerabat Abdurrohman dan para mawali (budak-budak) mereka mulai mengangkat usungan dan berjalan kaki dan mereka mengatakan: "Pelan-pelan, barokallohu fikum." Mereka berjalan sangat pelan bagaikan merangkak. Sampai ketika kami melewati jalan tempat penambatan onta dan hewan ternak, maka Abu Bakroh bergabung bersama kami sambil mengendarai baghl (hewan tunggangan hasil peranakan kuda dan keledai). Ketika Abu Bakroh melihat apa yang mereka lakukan, maka beliau mendekati mereka dengan tunggangannya dan mengisyaratkan kepada mereka dengan cemetinya sambil berseru: "Biarkanlah -demi Dzat yang memuliakan wajah Abul Qosim (Rosululloh) shollallohu 'alaihi wa sallam-, sungguh aku telah melihat para sahabat bersama Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam hampir-hampir berlari-lari kecil ketika mengusung jenazah." Maka mereka mulai bersemangat (setelah mendengar hal itu)." 

(HR. An Nasa'i, dishohihkan oleh Al Albani dalam Ahkamul Jana'iz, hal. 72 dan Syaikhuna Al Hajuriy menghasankannya dalam Jami'ul Adillah, hal. 255)

Ibnul Qoyyim rohimahulloh mengatakan dalam Zadul Ma'ad (1/498): "Adapun rangkakan orang-orang sekarang selangkah demi selangkah, maka itu adalah bid'ah yang dibenci dan menyelisihi sunnah serta mengandung penyerupaan terhadap ahli kitab Yahudi." 

(Ahkamul Jana'iz, hal. 73)

Dua langkah dalam mengikuti jenazah

Mengikuti jenazah mempunyai dua langkah dalam sunnah:

Pertama: Mengikutinya dari rumah keluarganya sampai disholatkan.

Kedua: Mengikutinya dari rumah keluarganya sampai selesai proses pemakaman.

Keduanya pernah dilakukan oleh Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam. Abu Sa'id Al Khudriy rodhiyallohu 'anhu meriwayatkan:

كُنَّا مُقَدَّمَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (يعني المدينة) إِذَا حُضِرَ مِنَّا الْمَيِّتُ آذَنَّا النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَحَضَرَهُ وَاسْتَغْفَرَ لَهُ حَتَّى إِذَا قُبِضَ انْصَرَفَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَمَنْ مَعَهُ حَتَّى يُدْفَنَ، وَرُبَّمَا طَالَ حَبْسُ ذَلِكَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَلَمَّا خَشِينَا مَشَقَّةَ ذَلِكَ عَلَيْهِ قَالَ بَعْضُ الْقَوْمِ لِبَعْضٍ: لَوْ كُنَّا لَا نُؤْذِنُ النَّبِيَّ بِأَحَدٍ حَتَّى يُقْبَضَ، فَإِذَا قُبِضَ آذَنَّاهُ، فَلَمْ يَكُنْ عَلَيْهِ فِي ذَلِكَ مَشَقَّةٌ وَلَا حَبْسٌ، فَفَعَلْنَا ذَلِكَ وَكُنَّا نُؤْذِنُهُ بِالْمَيِّتِ بَعْدَ أَنْ يَمُوتَ فَيَأْتِيهِ فَيُصَلِّي عَلَيْهِ، فَرُبَّمَا انْصَرَفَ، وَرُبَّمَا مَكَثَ حَتَّى يُدْفَنَ الْمَيِّتُ، فَكُنَّا عَلَى ذَلِكَ حِينًا، ثُمَّ قُلْنَا لَوْ لَمْ يَشْخَصِ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَحَمَلْنَا جَنَازَتَنَا إِلَيْهِ حَتَّى يُصَلِّيَ عَلَيْهِ عِنْدَ بَيْتِهِ لَكَانَ ذَلِكَ أَوْفَقَ بِهِ، فَفَعَلْنَا فَكَانَ ذَلِكَ الْأَمْرُ إِلَى الْيَوْمِ

"Kami dahulu -ketika awal-awal kedatangan Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam di Madinah-, jika ada seseorang dari kami menjelang kematiannya, maka kami memberitahukannya kepada beliau. Sehingga beliau mendatanginya dan memintakan ampunan Alloh untuknya. Sampai jika ia meninggal, maka beliau dan yang bersama beliau pun beranjak mengikutinya sampai dimakamkan. Terkadang memakan waktu yang lama atas Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam ketika itu. Ketika kami khawatir kalau beliau merasa keberatan, maka kami mengatakan kepada sebagian lainnya: "Sekiranya kita tidak memberitahukan Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam jika ada seseorang menjelang kematiannya sampai ia meninggal. Barulah setelah itu kita beritahukan kepada beliau, maka beliau tidak akan lama tertahan dan merasa keberatan." Maka kami melakukan yang demikian itu. Kami beritahukan kepada beliau ketika telah meninggal dan beliau datang untuk menyolatkannya, lalu beliau pergi. Terkadang beliau tetap menyertai sampai selesai pemakaman. Demikianlah keadaan kami ketika itu. Kemudian kami membicarakan, "Sekiranya beliau tidak usah datang menghadirinya. Kita bawa jenazah kita kepada beliau, lalu disholatkan di rumah beliau, maka tentunya itu lebih baik." Maka kami pun melakukan hal itu sampai hari ini." 

(HR. Ibnu Hibban, Al Hakim dan selainnya, dishohihkan oleh Al Albani dalam Ahkamul Jana'iz, hal. 67)

Mana yang lebih afdhol?

Tidak ragu lagi, bahwa langkah kedualah yang lebih utama daripada pertama. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam:

من شهد الجنازة (من بيتها)، (وفي رواية من ابتع جنازة مسلم إيمانا واحتسابا) حتى يصلى عليها فله قيراط، ومن شهد ها حتى تدفن، (وفي الرواية الاخرى: يفرغ منها) فله قيراطان (من الاجر)، قيل: (يارسول الله) وما القيراطان؟ قال: مثل الجبلين العظيمين -وفي الرواية الاخرى: كل قيراط مثل أحد

"Siapa yang menghadiri jenazah di rumahnya -dalam riwayat: 

"Siapa yang mengikuti jenazah muslim dengan keimanan dan mengharap pahala Alloh,"- sampai disholatkan, maka baginya pahala satu qiroth. Siapa yang menghadirinya sampai dimakamkan -dalam riwayat: "Sampai selesai pemakaman,"- maka baginya pahala dua qiroth." Ditanyakan kepada beliau: "Wahai Rosululloh, apa dua qiroth itu?" Beliau menjawab: "Seperti dua gunung besar." Dalam riwayat: "Setiap qiroth itu seperti gunung Uhud." (HR. Bukhori, Muslim, Abu Dawud, Nasa'i, Tirmidzi, Ahmad dan selain mereka dari Abu Huroiroh rodhiyallohu 'anhu. Juga telah datang dari Abdulloh bin Al Mughoffal riwayat Nasa'i tercantum dalam Al Jami'us Shohih, karya Imam Al Wadi'i: 2/250)

Dalam riwayat lain dari Abu Huroiroh rodhiyallohu 'anhu terdapat tambahan yang bermanfaat untuk disebutkan di sini:

وكان ابن عمر يصلي عليها، ثم ينصرف، فلما بلغه حديث أبي هريرة قال: أكثر علينا أبو هريرة، -وفي رواية: فتعاظمه-، فأرسل خبابا إلى عائشة يسألها عن قول أبي هريرة ثم يرجع إليه فيخبره ما قالت، وأخذ ابن عمر قبضة من حصى المسجد يقلبها في يده حتي رجع إليه الرسول، فقال: قالت عائشة: صدق أبو هريرة، فضرب ابن عمر بالحصى الذي كان في يده الارض ثم قال: لقد فرطنا في قراريط كثيرة، فبلغ ذلك أبا هريرة فقال: إنه لم يكن يشغلني عن رسول الله صلى الله عليه وسلم صفقة السوق، ولا غرس الودي، إنما كنت ألزم النبي صلى الله عليه وسلم لكلمة يعلمنيها، وللقمة يطعمنيها، فقال له ابن عمر: أنت يا أبا هريرة كنت ألزمنا لرسول الله صلى الله عليه وسلم وأعلمنا بحديثه

"Dahulu Ibnu Umar menyolatkan jenazah, kemudian pergi. Setelah sampai kepadanya hadits Abu Huroiroh tentang keutamaan mengikuti jenazah sampai selesai dikuburkan, maka ia berkata: "Abu Huroiroh telah berlebihan." Dalam riwayat: "Maka ia mengingkarinya." Lalu Ibnu Umar mengutus Khobbab kepada Aisyah untuk menanyakan ucapan Abu Huroiroh tersebut, kemudian kembali untuk mengabarkan apa yang ia katakan. Maka Ibnu Umar mengambil segenggam pasir masjid dan membolak-balikkannya di tangannya sampai datang utusannya. Setelah datang, maka ia berkata: "'Aisyah berkata: "Benar apa yang dikatakan Abu Huroiroh." Mendengar hal itu, maka Ibnu Umar melemparkan pasir yang ada ditangannya itu ke tanah seraya berkata: "Sungguh kita telah menyia-nyiakan banyak qiroth." Ketika Abu Huroiroh mendengar hal itu, maka ia berkata: "Itu karena aku tidak tersibukkan oleh jual beli di pasar dan juga cocok tanam bibit kurma dari mendengarkan hadits Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam. Aku hanyalah menetapi majelis Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam untuk mendengarkan kalimat yang beliau ajarkan dan sesuap makanan yang beliau berikan kepadaku." Maka Ibnu 'Umar berkata kepadanya: "Engkau -wahai Abu Huroiroh- adalah orang yang paling menetapi Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam dan yang paling mengetahui hadits beliau." 

(HR. Muslim dan riwayat tambahan dari Bukhori, Ahmad, Thoyalisi, Tirmidzi dengan sanad shohih sebagaimana dalam Ahkamul Jana'iz, hal. 69)

Hukum mengikuti jenazah bagi wanita

Imam An Nawawi rohimahulloh menukilkan kesepakatan ulama bahwasanya mengikuti jenazah tersebut hanyalah wajib atas laki-laki, bukan perempuan. 

(Syarah Shohih Muslim; Mulakhosh, hal. 46)

Demikian juga keutamaan mengikuti jenazah tersebut di atas hanyalah diperuntukkan bagi muslim laki-laki. Adapun bagi para wanita muslimah, maka terdapat larangan tanzih (hukumnya makruh) dari Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam untuk itu, sehingga amalan tersebut dimakruhkan bagi mereka, sedangkan keutamaan tersebut menunjukkan bahwa amalan tersebut mustahab (lawan dari makruh) dan keduanya tidaklah berkumpul menjadi satu. 

(Fathul Bari: 3/173; Mulakhosh, hal. 48)

Ummu 'Athiyyah rodhiyallohu 'anha mengatakan:

كنا ننهى -وفي رواية: نهانا رسول الله صلى الله عليه وسلم- عن اتباع الجنائز، ولم يعزم علينا

"Kami dilarang -dalam riwayat: "Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam melarang kami"- untuk mengikuti jenazah dan beliau tidak menekankannya atas kami (tidak seperti perkara harom)." 

(HR. Bukhori, Muslim, Al Isma'iliy dan selain mereka)

Posisi seseorang ketika mengikuti jenazah

Seseorang dibolehkan untuk mengikuti jenazah, baik dengan berjalan di depannya maupun belakangnya, di sebelah kanannya maupun sebelah kirinya, berdekatan dengan jenazah tersebut. Adapun yang berkendaraan, maka berada di belakangnya, sebagaimana sabda Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam:

الراكب يسير خلف الجنازة، والماشي حيث شاء منها، خلفها وأمامها، وعن يمينها، وعن يسارها، قريبا منها

"Seseorang yang berkendaraan berada di belakang jenazah. Sedangkan yang berjalan kaki, maka sekehendaknya, di belakang atau depannya, di sebelah kanan atau kirinya berdekatan dengan jenazah tersebut." 

(HR. Abu Dawud, Nasa'i, Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad, Baihaqi dan selain mereka, dari Mughiroh bin Syu'bah rodhiyallohu 'anhu, dishohihkan Al Albani dalam Ahkamul Jana'iz, hal. 73)

Berjalan di depan dan di belakang jenazah ketika mengikutinya telah dilakukan oleh Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam, sebagaimana ucapan Anas bin Malik rodhiyallohu 'anhu:

أن رسول الله صلى الله عليه وسلم وأبا بكر وعمر كانوا يمشون أمام الجنازة وخلفها

"Bahwasanya Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam, Abu Bakar dan Umar dahulu berjalan di depan jenazah dan di belakangnya ketika mengikutinya." 

(HR. Thohawi, dishohihkan oleh Al Albani dalam Ahkamul Jana'iz, hal. 74)

Akan tetapi yang lebih utama adalah berjalan di belakangnya, karena hal ini dipahami dari sabda Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam: "Mengikuti jenazah," sebagaimana dalam hadits hak-hak muslim di atas. 

(Ahkamul Jana'iz, hal. 74)

Berkendaraan ketika mengikuti jenazah

Diperbolehkan bagi yang mengikuti jenazah untuk berkendaraan, akan tetapi disyaratkan untuk berjalan di belakangnya, sebagaimana sabda Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam dalam hadits Mughiroh bin Syu'bah rodhiyallohu 'anhu di atas:

الراكب يسير خلف الجنازة .. الحديث

"Seseorang yang berkendaraan berada di belakang jenazah…"

Akan tetapi yang lebih utama (afdhol) adalah mengikuti jenazah dengan berjalan kaki, karena itulah yang nampak dari perbuatan Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam. Tidak pernah diriwayatkan bahwa beliau berkendaraan ketika mengikuti jenazah. Bahkan Tsauban rodhiyallohu 'anhu berkata:

إن رسول الله صلى الله عليه وسلم أتي بدابة وهو مع الجنازة فأبى أن يركبها، فلما انصرف أتي بدابة فركب، فقيل له؟ فقال: إن الملائكة كانت تمشي فلم أكن لأركب وهم يمشون، فلما ذهبوا ركبت

"Sesungguhnya Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam ketika mengikuti jenazah, didatangkan kepada beliau hewan tunggangan dan beliau menolak untuk menaikinya. Setelah selesai dan didatangkan kembali hewan tunggangannya, lalu beliau menaikinya. Ketika ditanyakan kepada beliau, maka jawab beliau: "Sesungguhnya para malaikat tadi berjalan kaki, maka tidaklah aku menaiki kendaraan sedangkan mereka berjalan kaki. Setelah mereka pergi, barulah aku naik kendaraan." 

(HR. Abu Dawud, Al Hakim, Baihaqi, dishohihkan oleh Al Albani dalam Ahkamul Jana'iz, hal. 75)

Adapun berkendaraan setelah selesai mengikuti jenazah, maka hal itu dibolehkan tanpa ada masalah, sebagaimana ditunjukkan oleh hadits Tsauban di atas.

Demikian juga pada hadits Jabir bin Samuroh rodhiyallohu 'anhu, bahwasanya Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam menyolati Ibnu Dahdah bersama kami. Dalam riwayat: "Beliau mengikuti jenazah Ibnu Dahdah dengan berjalan kaki." Kemudian setelah itu didatangkan seekor kuda tak berpelana dan diikat oleh seseorang. Lalu beliau menaikinya ketika beranjak pergi. Kuda itu mulai melompat dan berjalan perlahan dan kami mengikuti berjalan di belakang beliau -dalam riwayat: "...di sekitar beliau."- Seorang laki-laki dari kaum itu berkata: "Sesungguhnya Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda:

كم من عذق معلق أو مدلى في الجنة لابن الدحداح

"Betapa banyaknya tandan anggur yang tergantung dan berjuntai di jannah (surga) untuk Ibnu Dahdah." 

(HR. Muslim, Abu Dawud, Nasa'i, Tirmidzi, Ahmad, Baihaqi dan Thoyalisi)

Janganlah menyelisihi syariat!

Ketika mengikuti jenazah, dilarang untuk melakukan perkara-perkara yang menyelisihi syariat, baik berupa kemaksiatan, kebid'ahan maupun penyerupaan terhadap kaum kafir.

Selayang pandang tentang larangan menyerupai kaum kafir

Menyerupai dan mengekor terhadap kaum kafir merupakan perkara yang dilarang dalam syariat Islam, sedangkan menyelisihi mereka merupakan perkara yang disyariatkan dan diperintahkan, baik yang berkaitan dengan peribadatan-peribadatan, pakaian-pakaian maupun adat-istiadat khas mereka.

Alloh ta'ala berfirman:

ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَى شَرِيعَةٍ مِنَ الْأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَ الَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ

"Kemudian Kami jadikan engkau -wahai Rosul- di atas manhaj (metode) agama yang jelas, maka ikutilah syariat yang telah dijadikan bagimu itu dan janganlah engkau mengikuti hawa-hawa nafsu orang-orang yang jahil terhadap syariat Alloh serta tidak mengetahui al haq." 

(Tafsir Muyassar QS. Al Jatsiyah: 18)

Dalam ayat ini terdapat petunjuk yang agung tentang kesempurnaan agama ini serta kemuliaannya serta wajibnya untuk taat terhadap hukum-hukumnya dan tidak condong mengikuti hawa nafsu kaum kafir serta menyimpang.

Syaikhul Islam rohimahulloh berkata: "Masuk di dalam golongan orang-orang yang tidak mengetahui (jahil) terhadap syariat Alloh dan al haq -dalam ayat tersebut- adalah setiap orang yang menyelisihi syariat-Nya. Sedangkan yang dimaksud dengan hawa-hawa nafsu mereka adalah apa yang mereka cenderungi dan sukai serta apa yang diperbuat oleh kaum musyrikin dari jalan mereka yang nampak, yang termasuk ajaran agama mereka yang batil serta perkara-perkara yang mengikutinya. Perbuatan menyerupai hal-hal itu termasuk mengikuti hawa-hawa nafsu mereka. Oleh karena itu, kaum kafir merasa senang dengan penyerupaan kaum muslimin dalam beberapa perkara mereka serta mereka bergembira dan menginginkan sekiranya mereka bisa menggunakan biaya yang besar demi terwujudnya hal itu." 

(Al Iqtidho', hal. 8 sebagaimana dalam Jilbab, hal. 162)

Alloh ta'ala berfirman:

أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ آَمَنُوا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللَّهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ الْحَقِّ وَلَا يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمُ الْأَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ فَاسِقُونَ

"Bukankah telah tiba waktunya bagi orang-orang yang membenarkan Alloh dan Rosul-Nya serta mengikuti petunjuk-Nya untuk melunakkan hati-hati mereka ketika mengingat Alloh (berdzikir) dan mendengarkan Al Quran. Janganlah mereka keras hatinya seperti orang-orang yang diberi al kitab sebelum mereka (Yahudi dan Nasrani) yang telah berlalu atas mereka zaman yang panjang dan mereka mengubah-ubah firman Alloh, sehingga keraslah hati mereka dan kebanyakan dari mereka telah keluar dari ketaatan kepada Alloh." 

(Tafsir Muyassar QS. Al Hadid: 16)

Dalam ayat ini terdapat himbauan untuk melembutkan hati dan khusyu' kepada Alloh subhanahu wa ta'ala ketika mendengarkan apa yang telah diturunkan oleh-Nya berupa Al Kitab dan Al Hikmah (As Sunnah) serta peringatan dari sikap menyerupai kaum Yahudi dan Nasrani dalam kekerasan hati mereka dan keluarnya mereka dari ketaatan kepada Alloh ta'ala.

Syaikhul Islam rohimahulloh berkata: "(Dalam ayat ini terdapat) larangan mutlak untuk menyerupai mereka secara umum dan terdapat larangan khusus untuk menyerupai mereka dalam kekerasan hati. Kekerasan hati tersebut merupakan buah dari perbuatan-perbuatan kemaksiatan." 

(Al Iqtidho', hal. 43, sebagaimana dalam Jilbab, hal. 163)

Ibnu Katsir rohimahulloh berkata: "Oleh karena itu, Alloh melarang kaum mukminin untuk menyerupai mereka pada segala perkara mereka, baik yang pokok maupun yang cabang." 

(Tafsir Ibnu Katsir pada ayat tersebut)

Dari beberapa ayat tersebut telah nampak bahwa meninggalkan jalan atau petunjuk kaum kafir dan menyerupai mereka dalam perbuatan-perbuatan, ucapan-ucapan dan hawa-hawa nafsu mereka merupakan salah satu tujuan pokok diturunkannya Al Quran Al Karim. Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam telah menjelaskan hal tersebut secara terperinci kepada umat beliau serta mewujudkannya pada banyak hal dari praktek-praktek syariat dalam kehidupan. Sampai-sampai hal ini diketahui oleh kaum Yahudi yang ketika itu berada di Madinah dan mereka merasakan bahwasanya beliau shollallohu 'alaihi wa sallam menginginkan untuk menyelisihi mereka di segala perkara khas mereka, sebagaimana telah diriwayatkan oleh Anas bin Malik rodhiyallohu 'anhu:

إن اليهود كانوا إذا حاضت المرأة فيهم لم يؤاكلوها ولم يجامعوها في البيوت، فسأل أصحاب النبي -صلى الله عليه وسلم- النبي -صلى الله عليه وسلم-، فأنزل الله تعالى: {وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ} إلى آخر الآية، فقال رسول الله -صلى الله عليه وسلم: (اصنعوا كل شيء إلا النكاح)، فبلغ ذلك اليهود فقالوا: ما يريد هذا الرجل أن يدع من أمرنا شيئًا إلا خالفنا فيه

"Sesungguhnya orang Yahudi itu jika istrinya sedang haid, tidak mau makan bersamanya dan tidak menempatkannya di rumah-rumah. Lalu para sahabat Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam bertanya kepada beliau tentang hal itu. Maka turunlah firman Alloh:

وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ

"Mereka bertanya kepadamu tentang haid -yaitu darah yang biasa mengalir dari rahim wanita pada waktu-waktu tertentu-. Katakanlah kepada mereka -wahai Nabi-: "Itu adalah kotoran yang membahayakan bagi siapa yang mendekatinya, maka jauhilah menyetubuhi wanita selama masa haidnya sampai berhentinya darah tersebut. Setelah darah haid berhenti dan mandi besar, maka pergaulilah mereka di tempat yang telah dihalalkan Alloh untuk kalian -yaitu qubul bukan dubur-. Sesungguhnya Alloh mencintai hamba-hamba-Nya yang banyak beristighfar dan bertaubat serta mencintai mereka yang mensucikan diri dengan menjauhi perbuatan-perbuatan keji dan kotor." 

(Tafsir Muyassar QS. Al Baqoroh: 222)

Maka Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda:

اصنعوا كل شيء إلا النكاح

"Lakukanlah apa saja padanya, kecuali nikah (jima')."

Ketika ucapan beliau tersebut sampai kepada orang-orang Yahudi, maka mereka mengatakan: "Orang ini tidaklah ingin membiarkan apapun dari urusan kita, melainkan ia menyelisihi kita di dalamnya." 

(HR. Muslim)

Hadits ini menunjukkan betapa banyaknya apa yang disyariatkan Alloh kepada Nabi-Nya berupa penyelisihan terhadap kaum Yahudi, bahkan penyelisihan terhadap segala perkara khas mereka, sebagaimana komentar mereka dalam hadits tersebut.

Kemudian, penyelisihan terhadap kaum kafir tersebut terkadang terdapat pada asal hukum perbuatannya dan terkadang pada sifat perbuatan tersebut. Seperti perbuatan menjauhi wanita haid, maka hal ini bukan menyelisihi mereka dalam asal hukumnya, akan tetapi hanya pada sifatnya, yaitu Alloh ta'ala mensyariatkan atau membolehkan untuk mendekati istri yang sedang haid selain pada tempat keluarnya darah haid. Hal ini dapat menimbulkan kebencian Yahudi yang sangat…" 

(Al Iqtidho', sebagaimana dalam Jilbab, hal. 166)

Adapun dalam as sunnah yang menunjukkan larangan penyerupaan (tasyabbuh) terhadap kaum kafir, diantaranya adalah pada hadits Abdulloh bin Umar rodhiyallohu 'anhuma, bahwasanya Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda:

بعثت بين يدي الساعة بالسيف حتى يعبدَ الله وحده لا شريك له، وجعل رزقي تحت ظل رمحي وجعل الذلة والصغار على من خالف أمري ومن تشبه بقوم فهو منهم

"Aku telah diutus menjelang hari kiamat dengan pedang, sampai Allohlah satu-satunya yang disembah dan tidak dipersekutukan dengan apapun. Dia telah menjadikan rezkiku berada di bawah bayangan tombakku serta menjadikan kehinaan itu atas siapa yang menyelisihi perintahku. Siapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia adalah bagian dari mereka." 

(HR. Ahmad, dihasankan oleh Al Albani dalam Jilbab, hal. 203)

Menyelisihi kaum kafir dan tidak menyerupai mereka merupakan salah satu dari tujuan syariat Islam yang tinggi. Wajib atas setiap muslim -baik laki-laki maupun perempuan- untuk memperhatikan hal tersebut pada segala urusannya, termasuk pada perkara penyelenggaraan jenazah ini.

Sebagian manusia menyangka bahwa penyelisihan ini hanyalah perkara peribadatan semata tanpa dipahami makna atau hikmah yang terkandung padanya. Hikmah dan maknanya sangatlah jelas. Telah ditetapkan oleh para ulama peneliti bahwasanya di sana terdapat keterikatan yang kuat antara sesuatu yang nampak dan yang bersifat batin (tidak nampak). Keduanya saling mempengaruhi satu sama lainnya. Jika salah satunya baik, maka baiklah yang lainnya dan sebaliknya jika jelek, maka jelek pulalah selainnya. Meskipun hal itu terkadang tidak dirasakan oleh seseorang pada dirinya sendiri, akan tetapi dapat terlihat pada selainnya. 

(Jilbab, hal. 207)

Hukum bersuara keras dan membawa api

Diantara perkara yang dilarang ketika mengantar jenazah adalah seperti menangis dengan suara keras, membawa dupa wangi atau bakar-bakar sesuatu dan sebagainya. Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda:

لا تتبع الجنازة بصوت ولا نار

"Janganlah kalian mengikuti jenazah dengan suara keras dan membawa api." 

(HR. Abu Dawud, Ahmad. Pada sanadnya terdapat kelemahan, akan tetapi dikuatkan dengan riwayat-riwayat lain dan atsar-atsar mauquf dari beberapa shohabat)

Riwayat-riwayat penguat hadits tersebut diriwayatkan dari Jabir dari Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam, bahwasanya beliau melarang mengikuti mayit dengan suara keras dan api. 

(HR. Abu Ya'la)

Juga dari Ibnu Umar, beliau berkata: "Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam melarang mengikuti jenazah dengan membunyikan sirine." 

(HR. Ibnu Majah, Ahmad dengan sanad hasan dari dua jalan; Ahkamul Jana'iz, hal. 70)

Juga dari Abu Musa rodhiyallohu 'anhu tentang wasiat larangan membawa obor ketika mengiring jenazahnya. 

(HR. Ahmad, Baihaqi dengan sanad hasan; Ahkamul jana'iz, hal. 17)

Demikian juga atsar 'Amr bin Ash rodhiyallohu 'anhu, beliau berkata dalam wasiatnya: "Jika aku mati, maka janganlah engkau menyertaiku dengan niyahah (ratapan) dan api." 

(HR. Muslim, Ahmad)

Juga atsar Abu Huroiroh rodhiyallohu 'anhu menjelang kematiannya: "Janganlah kalian dirikan untukku tenda (untuk berkabung) dan janganlah kalian mengiringku dengan membawa obor -dalam riwayat: api-." 

(HR. Ahmad dengan sanad shohih; Ahkamul Jana'iz, hal. 70)

Ibnu Abdil Barr rohimahulloh berkata: "Aku tidak mengetahui atau menemui para ulama berselisih pendapat akan dibencinya perkara ini." 

(Al Istidzkar: 3/24)

Ibnu Qudamah rohimahulloh berkata: "Dibenci mengiringi jenazah dengan membawa api." 

(Al Mughni: 2/360, no. 1540)

Ibnul Mundzir rohimahulloh berkata: "Hal itu dibenci oleh semua ulama yang telah kami hafal pendapat-pendapat mereka." Lalu beliau berkata: "Jika jenazah dikuburkan malam hari dan memerlukan pencahayaan, maka hal itu tidak apa-apa. Membawa api yang berasap itu ketika mengiring jenazah tanpa keperluan (hajah), merupakan perbuatan kaum jahiliyah." 

('Aunul Ma'bud Syarh Sunan Abi Dawud, hadits no. 3169)

Syaikhuna Yahya Al Hajuriy hafidzohulloh mengatakan: 

"Hal yang mendukung ucapan Ibnul Mundzir tersebut, bahwasanya tidak apa-apa membawa penerangan (di malam hari) jika diperlukan ketika mengiring jenazah adalah apa yang telah dikeluarkan oleh Abu Dawud (no. 3162) pada Kitab Jenazah, bab Penguburan Pada Malam Hari dari hadits Jabir bin Abdillah rodhiyallohu 'anhu, beliau berkata: "Ketika itu orang-orang melihat api di kuburan, lalu mereka mendatanginya. Ternyata Rosululloh sholallohu 'alaihi wa sallam berada di liang kuburan dan beliau berkata:

ناولوني صاحبكم

"Berikan sini (jenazah) sahabat kalian!"

Ternyata dia adalah orang yang dulunya pernah mengangkat suaranya ketika berdzikir." 

(Sanadnya hasan; Jami'ul Adillah, hal. 261)

Demikian pula dilarang mengangkat suara dengan dzikir, istighfar, tahlil dan sebagainya di depan jenazah ketika mengikutinya, karena hal ini termasuk kebid'ahan.

Qois bin 'Ubad rohimahulloh berkata:

كان أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم يكرهون رفع الصوت عند الجنائز

"Dahulu para sahabat Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam membenci mengangkat suara ketika mengikuti jenazah." 

(HR. Baihaqi, diriwayatkan oleh para perowi yang terpercaya, sebagaimana dalam Ahkamul Jana'iz, hal. 71)

Hal itu termasuk perbuatan menyerupai Nashoro, karena mereka mengangkat suara dengan melantunkan injil-injil dan dzikir-dzikir mereka dengan suara sedih.

Imam An Nawawi rohimahulloh berkata dalam kitab Al Adzkar: 

"Ketahuilah bahwa yang benar dan dilakukan oleh salaf rodhiyallohu 'anhum adalah berdiam ketika mengikuti jenazah, tidak mengangkat suara dengan bacaan apapun, baik berupa dzikir maupun selainnya. Hikmahnya jelas, yaitu bahwasanya dengan demikian pikiran menjadi lebih tenang dan terfokus pada hal-hal yang berkaitan dengan jenazah dan itu sesuatu yang diperlukan ketika itu. Ini adalah yang haq, janganlah tertipu dengan banyaknya orang yang menyelisihinya.

Abu 'Ali Al Fudhoil bin 'Iyadz rohimahulloh mengatakan:

إلزم طرق الهدي ولا يضرك قلة السالكين، وإياك وطرق الضلالة ولا تغتر بكثرة الهالكين

"Tetapilah jalan-jalan hidayah, tidak merugikan kalian sedikitnya orang yang melaluinya. Hati-hatilah dari jalan-jalan kesesatan dan janganlah tertipu dengan banyaknya orang yang binasa."

Telah diriwayatkan kepada kami dalam Sunan Baihaqi apa yang sesuai dengan yang kukatakan (yaitu ucapan Qois bin 'Ubad di atas). Adapun apa yang dilakukan oleh orang-orang jahil di Damaskus dan selainnya berupa bacaan ketika mengikuti jenazah dengan suara panjang (dilantunkan) dengan mengeluarkan kalam dari tempatnya, maka itu adalah harom hukumnya menurut ijma' (kesepakatan) ulama."

Yang lebih buruk dari itu, jika diiringi dengan lantunan alat-alat musik di depan jenazah dengan nada-nada sedih, sebagaimana yang dilakukan di beberapa negeri Islam dalam rangka mengekor kaum kafir. Wallohul musta'an

(Ahkamul Jana'iz, hal. 71)

Hukum meletakkan jenazah di atas kendaraan

Adapun meletakkan jenazah di atas kendaraan -seperti kereta, mobil jenazah dan sebagainya- ketika mengantarkannya tanpa adanya udzur -seperti jarak kuburan yang terlalu jauh, adanya angin kencang, hujan deras, rasa rakut (tidak aman) dan sebagainya-, serta mengikutinya dalam kendaraan bersama dengan jenazahnya, maka yang seperti ini tidaklah sama sekali disyariatkan. 

(Miskul Khitam: 2/223)

Hal ini dikarenakan oleh beberapa hal:

Pertama: Hal itu termasuk perbuatan menyerupai adat kaum kafir dan kita tidak boleh untuk mengikutinya menurut syariat dan diperintahkan untuk menyelisihi mereka.

Kedua: Menaikkan jenazah di atas kendaraan tersebut merupakan kebid'ahan dalam ibadah, bersamaan dengan penyelisihannya terhadap sunnah amalan dalam mengusung jenazah.

Ketiga: Hal itu melalaikan atau melewatkan tujuan dan hikmah dari mengusung jenazah, yaitu dalam rangka mengingat akhirat, sebagaimana telah disabdakan oleh Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam dalam hadits tersebut di atas.

Merupakan sesuatu yang tidak samar lagi, bahwa dengan membawa jenazah di atas pundak-pundak dan disaksikan oleh orang-orang ketika berada di atas kepala-kepala mereka itu lebih mendorong kepada terwujudnya peringatan akan kematian daripada dengan meletakkannya di atas kendaraan. Tidaklah berlebihan jika dikatakan, bahwa sesungguhnya sesuatu yang mendorong kaum kafir untuk meletakkannya di atas kendaraan adalah rasa ketakutan mereka terhadap kematian dan hal-hal yang mengingatkan kepadanya, disebabkan kecintaan mereka terhadap dunia dan kufurnya mereka terhadap hari akhir. 

(Ahkamul Jana'iz, hal. 77)

Keempat: Hal itu merupakan penyebab yang kuat sedikitnya para pengiring jenazah dan lemahnya keinginan manusia untuk mendapatkan pahala yang besar, sebagaimana tersebut di atas, karena tidak semua orang mampu untuk menyewa kendaraan guna mengantar jenazah menuju pemakamannya.

Kelima: Bentuk pengantaran jenazah tersebut tidaklah sesuai dengan apa yang dikenal dalam syariat yang suci untuk menjauhkan diri dari upacara-upacara resmi, terutama berkaitan dengan perkara kematian seperti ini.

Hukum berdiri untuk jenazah

Berdiri untuk menyambut jenazah telah dihapus pensyariatannya. Sikap berdiri tersebut ada dua macam:

Pertama: Berdirinya seseorang yang pada mulanya duduk ketika lewatnya jenazah.

Kedua: Berdirinya pengiring jenazah ketika telah sampai di pemakaman dan tidak duduk sampai jenazah diletakkan di tanah.

Keduanya telah dihapuskan sunnahnya, berdasarkan hadits Ali rodhiyallohu 'anhu, bahwasanya beliau berkata:

قام رسول الله صلى الله عليه وسلم للجنازة فقمنا، ثم جلس فجلسنا

"Dahulunya Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam berdiri untuk jenazah, maka kami pun berdiri untuknya. Kemudian setelahnya beliau duduk (tidak berdiri untuk jenazah) dan kami pun ikut duduk." 

(HR. Muslim dan selainnya)

Dalam lafal lainnya beliau berkata:

كان يقوم في الجنائز، ثم جلس بعد

"Dahulu beliau shollallohu 'alaihi wa sallam berdiri untuk jenazah, kemudian setelah itu beliau duduk (tidak berdiri untuknya)." 

(HR. Abu Dawud dan selainnya)

Dalam riwayat lainnya, beliau berkata:

كان رسول الله صلى الله عليه وسلم أمرنا بالقيام في الجنازة، ثم جلس بعد ذلك، وأمرنا بالجلوس

"Dahulu Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk berdiri ketika ada jenazah. Kemudian beliau duduk setelah itu dan memerintahkan kami untuk duduk." 

(HR. Asy Syafi'i, Ahmad dan Ath Thohawi)

Dalam riwayat Ibnu Hibban dan Baihaqi, beliau berkata:

قام رسول الله صلى الله عليه وسلم مع الجنائز حتى توضع، وقام الناس معه، ثم قعد بعد ذلك، وأمر هم بالقعود

"Dahulu Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam berdiri bersamaan dengan jenazah sampai diletakkan dan manusia ikut berdiri bersama beliau. Kemudian beliau duduk setelah itu dan memerintahkan untuk duduk."

Dalam riwayat Isma'il bin Mas'ud bin Al Hakam Az Zuroqi dari ayahnya, bahwasanya dia berkata:

شهدت جنازة بالعراق، فرأيت رجالا قياما ينتظرون أن توضع، ورأيت علي بن أبي طالب رضي الله عنه يشير إليهم أن اجلسوا، فإن النبي صلى الله عليه وسلم قد أمرنا بالجلوس بعد القيام

"Ketika aku menyaksikan jenazah di Irak, aku melihat orang-orang berdiri menunggu jenazah itu diletakkan. Aku melihat Ali bin Abi Tholib rodhiyallohu 'anhu mengisyaratkan kepada mereka untuk duduk. Sesungguhnya Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam telah memerintahkan kita untuk duduk setelah sebelumnya berdiri." 

(HR. Ath Thohawi, dihasankan oleh Al Albani dalam Ahkamul Jana'iz, hal. 78)

Lafal hadits ini dan sebelumnya telah jelas menunjukkan bahwa berdiri untuk jenazah sampai diletakkan itu telah dihapus pensyariatannya dan sekarang menjadi sesuatu yang tidak disyariatkan untuk dilakukan kembali. 

(Ahkamul Jana'iz, hal. 78; Jami'ul Adillah, hal. 258; Mulakhosh, hal. 51-52)

Hukum mengirim atau memindahkan jenazah ke daerah atau negeri lain

Para ulama berbeda pendapat dalam masalah memindahkan atau mengangkut jenazah sebelum dikuburkan ke daerah atau negeri lain.

Pendapat pertama, bahwasanya hal itu makruh (pendapat 'Aisyah dengan sanad yang terdapat kelemahan di dalamnya, Al 'Auza'i, Ibnul Mundzir dan sebagian Syafi'iyah, juga pendapat Muhammad bin Hasan dari Hanafiyah jika jaraknya lebih dari satu atau dua mil) atau harom (pendapat An Nawawi dan sebagian Syafi'iyah). Mereka mengatakan bahwa syariat memerintahkan kita untuk mempercepat penguburan. Sedangkan memindahkan ke daerah lain dapat memperlambat proses tersebut dan manfaatnya tidak begitu besar, sehingga hukumnya makruh. Demikian juga memindahkannya ke daerah lain akan beresiko berubah atau rusaknya jasad mayit, sedangkan segera menguburkannya di tempat meninggalnya dapat terhindarkan dari hal itu dan juga memperkecil biayanya.

Pendapat kedua, bahwasanya hal itu boleh, akan tetapi harus terhindarkan dari kerusakan jasad mayit, mengandung kemaslahatan atau dengan tujuan yang dibenarkan (pendapat sebagian besar Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah). Sebagian Syafi'iyah membolehkan jika dipindah ke tempat yang lebih afdhol dan dekat, seperti dekat Mekkah, Madinah atau Baitul Maqdis. Menurut Malikiyah juga, dibolehkan jika untuk dikuburkan di dekat keluarga dan kerabatnya. Mereka mengatakan bahwa hukum asal memindahkan jenazah ke daerah lain itu tidak dilarang. Tidak ada dalil shohih yang melarang hal itu. 

(Fathul 'Allam: 2/334-335; Miskul Khitam: 2/224; Ahkamul Maqobir, hal. 246-250)

Kesimpulan dari masalah ini, bahwasanya hukum memindahkan jenazah untuk dikuburkan ke daerah lain tersebut sesuai dengan keadaan dan tempatnya. Hukumnya harom, jika hal itu menyebabkan rusak atau berubahnya jasad mayit, meskipun dia telah berwasiat untuk itu. Hukumnya wajib, jika pada kondisi darurat, seperti meninggal di daerah musuh dan kemungkinan untuk dirusak jasadnya oleh mereka. Hukumnya boleh, jika di sana terdapat tujuan yang dibenarkan dan adanya maslahat untuk itu serta tidak terjatuh pada hal terlarang dan tidak memberatkan yang hidup atau walinya. Sebaliknya, jika tidak ada hajah atau tujuan yang dibenarkan dan tidak adanya maslahat serta jika hal itu memberatkan bagi siapa yang mengurusinya, maka hendaknya dikuburkan dimana ia meninggal, tidak dibawa ke daerah lain, dikarenakan yang demikian itu akan menunda waktu proses penguburan jenazah yang hal ini bertentangan dengan perintah syariat untuk menyegerakan penguburan jenazah sebagaimana yang telah diterangkan di atas. Wallohu a'lam. 

(Miskul Khitam: 2/224; Ahkamul Maqobir, hal. 251)

Memindahkan jenazah muslim yang meninggal di negeri kafir untuk dikuburkan di negeri Islam diperbolehkan oleh para ulama. 

(Fatwa Lajnah Da'imah, pimpinan Syaikh Ibnu Bazz rohimahulloh: 8/451; Fathul 'Allam: 2/335)

Beberapa kebid'ahan ketika mengantar jenazah

Diantara kebid'ahan yang dijumpai ketika mengantarkan jenazah adalah sebagai berikut:

1- Mengantarkan jenazah ke tempat-tempat yang jauh sekali untuk dikuburkan di dekat kuburan orang sholeh seperti ahli bait dan sebagainya.

2- Membawa bendera-bendera atau payung di atas jenazah.

3- Meletakkan 'imamah dan sebagainya di atas kayu keranda dengan tujuan untuk menunjukkan kepribadian si mayit.

4- Membawa rangkaian bunga dan foto mayit di depan jenazahnya.

5- Menyembelih domba di bawah pintu rumah mayit ketika keluar menuju pemakaman dan keyakinan sebagian mereka bahwa jika tidak dilakukan, maka akan mati tiga orang dari ahli bait (keluarganya) menyusul si mayit.

6- Membawa roti (makanan) dan domba (kambing) di depan iringan jenazah dan menyembelihnya setelah pemakaman untuk disebarkan bersama rotinya.

7- Keyakinan sebagian orang bahwa jenazah yang sholeh itu akan terasa ringan dipikul dan cepat jalannya.

8- Mengkhususkan untuk bershodaqoh bersamaan dengan mengantar jenazah, diantaranya dengan membagi-bagikan minuman dan sebagainya di perjalanan.

9- Ketika memulai mengangkat jenazah, selalu mengangkatnya mulai dari sebelah kanannya dahulu.

10- Memikul jenazah dengan memulai melangkah sebanyak sepuluh langkah oleh setiap orang yang memikulnya pada sisinya yang empat. Mereka berdalil dengan hadits yang tidak shohih, bahkan lemah sekali atau palsu:

من حمل جنازة أربعين خطوة كفرت عنه أربعين كبيرة

"Siapa yang memikul jenazah sebanyak empat puluh langkah, maka akan diampuni dosanya sebanyak empat puluh dosa besar."

Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Bakar An Najad (Hasyiyah Syarhul Maniyyah: 1/833). Dalam sanadnya terdapat perowi bernama Ali bin Abi Saroh -dho'if- dan hadits ini termasuk riwayat yang diingkari darinya, sebagaimana kata Imam Adz Dzahabi. Syaikh Al Albani rohimahulloh memasukkan hadits ini ke dalam kumpulan hadits-hadits palsu yang terdapat dalam Al Jami'ush Shoghir. Bersamaan dengan itu, hadits ini tidaklah menunjukkan atas perbuatan kebid'ahan yang mereka adakan tersebut. 

(Ahkamul Jana'iz, hal. 249)

11- Memperlambat berjalan ketika mengantarkan jenazah.

12- Berkerumun dan berdesak-desakan di sekitar keranda. Akan tetapi hendaknya jika ada kesempatan untuk memikul, maka silahkan ia memikul dan jika tidak, maka tidak berdesakan dan menyakiti lainnya.

13- Tidak mau mendekati jenazah.

14- Berbuat gaduh dan tidak tenang ketika mengantar jenazah.

15- Mengeraskan dzikir, bacaan Al Quran atau syair-syair burdah dan sebagainya.

16- Berdzikir di belakang jenazah dengan lafdzul jalalah, burdah, dala'il ataupun asma'ul husna.

17- Mengucapkan di belakang jenazah: "Allohu akbar, Allohu akbar, asyhadu annalloha yuhyii wa yumiit, wa huwa hayyun laa yamuut, subhaana man ta'azzaza bil qudroh wal baqoo' wa qohril 'ibaad bil maut wal fanaa'." (Alloh maha besar, Alloh maha besar, akau bersaksi bahwa Alloh yang menghidupkan dan mematikan dan Dia maha hidup tidak mati, maha suci Dzat yang maha kuat dengan kekuasaan dan kekekalan serta mengalahkan para hamba dengan kematian dan kehancuran).

18- Berseru di belakang jenazah dengan mengucapkan: "Istaghfiruu lahuu, yaghfirullohu lakum," (Mintakan ampunan untuknya, maka Alloh akan mengampuni dosamu!) dan sebagainya.

19- Berseru dengan lafal, "Al Fatihah!" ketika melewati kuburan seorang yang sholeh dan juga ketika di perempatan, pertigaan atau persimpangan jalan.

20- Ucapan seseorang yang menyaksikan jenazah, "Alhamdulillahilladzii lam yaj'alnii minas sawaadil mukhtarom." (Segala puji bagi Alloh yang tidak menjadikanku termasuk orang yang binasa).

21- Keyakinan sebagian mereka bahwa jenazah yang sholeh akan berhenti di sisi kuburan seorang wali ketika melewatinya, meskipun tidak dikehendaki oleh para pengusungnya.

22- Ucapan ketika melihat jenazah, "Hadza maa wa'adanallohu wa rosuluhu, wa shodaqollohu wa rosuluhu, Allohumma zidnaa imaanan wa taslimaa." (Inilah yang telah Alloh dan Rosul-Nya janjikan dan benarlah Alloh dan Rosul-Nya, ya Alloh, tambahkanlah kepada kami keimanan dan penerimaan).

23- Mengikuti jenazah dengan membawa pembakaran dupa.

24- Thowaf (berjalan mengelilingkan) jenazah di sekeliling kuburan.

25- Mengelilingkan jenazah di ka'bah (thowaf) sebanyak tujuh kali.

26- Pengumuman akan adanya jenazah di pintu-pintu masjid.

27- Meratapi dan menyebut-nyebut kebaikan jenazah ketika mendatanginya di masjid sebelum menyolatinya atau setelahnya dan juga sebelum diangkat atau setelah pemakamannya di kuburan.

28- Selalu membawa jenazah di atas kendaraan dan mengiringnya dengan kendaraan-kendaraan.

29- Membawa sebagian jenazah di atas gerobak meriam. (Ahkamul Jana'iz, hal 248-251)

Demikianlah pembahasan hukum-hukum syariat Islam dalam mengusung dan mengantarkan jenazah. Insyaalloh akan diteruskan dengan pembahasan selanjutnya, yaitu tata cara sholat jenazah sesuai sunnah. Semoga dapat bermanfaat dan menjadi amalan sholeh bagi kita semuanya.

Wabillahit taufiq wal hidayah, wal hamdulillahi Robbil 'alamin.

Ditulis: Mushlih Abu Sholeh Al Madiuniy -waffaqohulloh- (21 Robi'ul Awwal 1436)

Maroji':
- Ahkamul Jana'iz wa Bida'uha, karya Imam Al Albani rohimahulloh, cet. 4 Maktabul Islami, 1406.
- Jami'ul Adillah wat Tarjihat fii Ahkamil Amwat, oleh Syaikh Yahya bin Ali Al Hajuri, cet. 1 Maktabah Shon'a Al Atsariyah, 1427.
- Mulakhosh Ahkamil Jana'iz, oleh Syaikh Abdulloh bin Ahmad Al Iryani, cet. 1 Darul Atsar, 1430.
- Jilbab Al Mar'ah Al Muslimah, karya Imam Al Albani rohimahulloh, cet. 3 Darus Salam, 1423.
- Fathul 'Allam fii Dirosati Ahadits Bulughil Marom, oleh Syaikh Muhammad bin Hizam Al Ba'dani, cet. 1 Dar Al 'Ashimah, 1434.
- Miskul Khitam Syarh 'Umdatil Ahkam, oleh Syaikh Zayid bin Hasan Al Wushobi, cet. 1 Maktabah Al Falah, 1434.
- Ahkamul Maqobir fi Asy Syari'ah Al Islamiyah, oleh Dr. Abdulloh bin Umar As Suhaibaniy, cet. 3 Dar Ibnul Jauzi, 1433.



🅹🅾🅸🅽 🅲🅷🅰🅽🅽🅴🅻 🆃🅴🅻🅴🅶🆁🅰🅼

Tuntunan & Beberapa Kesalahan Dalam Berwudhu

Tuntunan & Beberapa Kesalahan Dalam Berwudhu





بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله رب العالمين، وبه نستعين، والصلاة والسلام على سيد المرسلين، وعلى آله وصحبه ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين، أما بعد


Alloh -subhanahu wa ta’ala- berfirman dalam surat Al-Maidah yang dikenal oleh para ulama sebagai ‘ayat wudhu’:


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ


“Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian hendak mengerjakan sholat, maka basuhlah muka dan tangan kalian sampai dengan siku. Usaplah kepala dan basuh kaki kalian sampai dengan kedua mata kaki.” 

(QS. Al-Maidah: 6)


Ayat tersebut diawali dengan seruan Alloh -ta’ala- kepada orang-orang mukmin. Hal ini menunjukkan akan pentingnya perkara wudhu ini, karena dengan seruan tersebut mengharuskan adanya perhatian dari yang diseru. Kemudian seruan tersebut diarahkan kepada orang-orang yang beriman, sehingga menunjukkan bahwa pelaksanaan hukum wudhu dalam ayat tersebut secara baik dan tepat merupakan konsekuensi keimanan seseorang. Sebaliknya, jika dilakukan secara serampangan, maka dapat mengurangi kualitas keimanan seorang mukmin. 

(Tadwinul Faidah, hal. 22)


Di samping itu, wudhu termasuk syarat sahnya sholat seseorang, Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- bersabda:


لَا تُقْبَلُ صَلَاةُ أَحَدِكُمْ إِذَا أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ


“Tidak diterima sholat salah seorang dari kalian jika berhadats, sampai ia berwudhu.” 

(HR. Bukhori dan Muslim dari Abu Huroiroh -rodhiyallohu ‘anhu-)


Banyak hadits-hadits Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- yang shohih menjelaskan perincian ayat tersebut, yaitu tata-cara berwudhu sesuai As-Sunnah yang jikalau umat Islam mengamalkan petunjuk Nabi mereka -baik dalam peribadatan maupun mu’amalah-, maka akan mendapatkan keutamaan yang banyak dan barokah serta kesejahteraan hidup, baik di dunia maupun di akherat kelak. Ini semua merupakan bentuk kasih sayang dan rahmat beliau ‘alaihis-sholatu was salam terhadap umat akhir zaman ini.


Demikian pula, para sahabat beliau -rodhiyallohu ‘anhum- telah bersemangat dan bersungguh-sungguh dalam menyampaikan sunnah Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- kepada generasi setelah mereka para salafush-sholeh dan seterusnya, sehingga ajaran Islam yang murni ini -termasuk tata cara bersuci- sampailah kepada kita dengan sempurna dan terang-benderang -malamnya bagaikan siang-. Tidaklah seseorang itu berpaling dan enggan untuk menerimanya, melainkan ia akan hidup sengsara dan binasa.


Inilah sahabat Ali bin Abi Tholib -rodhiyallohu ‘anhu- ketika berwudhu mengatakan kepada siapa yang waktu itu berada di sekitarnya: “Siapa yang ingin mengetahui wudhu Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam-, maka inilah dia.” 

(Riwayat Abu Dawud)


Demikian juga ‘Utsman bin ‘Affan -rodhiyallohu ‘anhu-, ketika berwudhu dengan membasuh anggota wudhunya sebanyak tiga kali, berkata kepada siapa yang ada di sekitarnya: “Aku telah melihat Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- berwudhu seperti wudhuku ini.” 

(Riwayat Bukhori dan Muslim)


Para salaf pun demikian bersemangat untuk menanyakan bagaimana tata cara wudhu Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- dan bersungguh-sungguh dalam mempelajari dan mengajarkannya, sampai-sampai di antara mereka ada yang dikenal sebagai ‘Ibnu Syaikh Wudhu’ (anak syaikh wudhu); yaitu Ahmad bin Muhammad bin Ibrohim Ash-Shofadiy (wafat 799H). Hal itu karena ayahnya dahulu suka mengajari orang-orang awam tata-cara berwudhu, sehingga dijuluki sebagai ‘Syaikh Wudhu’. 

(Syudzurot Adz-Dzahab: 6/357)


Pentingnya kesempurnaan dalam berwudhu


Wudhu yang sempurna adalah wudhu yang sesuai dengan sunnah Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam-, dengan memenuhi kewajiban-kewajiban, sunnah-sunnahnya serta menghindari kesalahan-kesalahan yang terjadi. Dengan demikian, seorang muslim yang membaguskan wudhunya akan mendapatkan manfaat dan keutamaan yang besar dari amalan tersebut, diantaranya adalah sebagai berikut:


Kesempurnaan wudhu separoh dari keimanan


Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- bersabda dalam hadits Abu Malik Al-Asy’ariy -rodhiyallohu ‘anhu-:


إِسْبَاغُ الْوُضُوءِ شَطْرُ الْإِيمَان


“Kesempurnaan wudhu adalah separoh dari keimanan.” 

(HR. An-Nasa’iy dan Ibnu Majah, dishohihkan oleh Syaikhuna Yahya -hafidzohulloh- dalam Tadwinul Faidah, hal. 18)


Diantara makna hadits ini adalah bahwasanya yang dimaksud iman di sini adalah sholat, sebagaimana dalam firman Alloh -subhanahu wa ta’ala-:


وَمَا كَانَ الله لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ


“Alloh tidak akan menyia-nyiakan iman kalian (yaitu sholat kalian ketika masih berkiblat ke Baitul Maqdis).” 

(QS. Al-Baqoroh: 143)


Sedangkan wudhu adalah syarat sahnya sholat, maka seolah-olah ia adalah separoh sholat. Tidak melazimkan bahwa yang dimaksudkan dengan separoh di sini adalah secara hakiki. 

(Syarh Shohih Muslim, no. 223; Imam An-Nawawiy -rohimahulloh-)


Wudhu yang baik penyebab datangnya ampunan


Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- bersabda:


لَا يَتَوَضَّأُ رَجُلٌ مُسْلِمٌ فَيُحْسِنُ الْوُضُوءَ فَيُصَلِّي صَلَاةً إِلَّا غَفَرَ اللهُ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الصَّلَاةِ الَّتِي تَلِيهَا


“Tidaklah seorang muslim membaguskan wudhunya kemudian melakukan sholat, kecuali Alloh akan memberikan ampunan untuknya di antara sholat yang satu dengan sholat berikutnya.” (HR. Muslim dari ‘Utsman bin ‘Affan -rodhiyallohu ‘anhu)


Yang dimaksud dengan membaguskan wudhu di sini adalah melakukan sifat (tata cara) dan adab wudhu secara sempurna. Dalam hadits ini pula mengandung anjuran untuk mempelajari syarat-syarat, tata cara, adab-adab berwudhu dan beramal dengannya secara hati-hati serta bersungguh-sungguh untuk berwudhu secara sempurna. 

(Syarh Shohih Muslim, no. 333)


Wudhu yang sempurna sebab dihapuskannya dosa-dosa


Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- bersabda:


مَنْ أَتَمَّ الْوُضُوءَ كَمَا أَمَرَهُ اللهُ تَعَالَى، فَالصَّلَوَاتُ الْمَكْتُوبَاتُ كَفَّارَاتٌ لِمَا بَيْنَهُنَّ


“Siapa yang menyempurnakan wudhunya sebagaimana yang diperintahkan oleh Alloh ta’ala, maka sholat lima waktu itu sebagai penghapus dosa di antara sholat-sholat tersebut.” 

(HR. Muslim dari ‘Utsman bin ‘Affan -rodhiyallohu ‘anhu-)


Hadits ini berlaku bagi seseorang yang mencukupkan diri dengan melakukan kewajiban-kewajiban dalam berwudhu, tanpa melakukan perkara-perkara sunnah mustahabbah dalam berwudhu. Jika seseorang menyempurnakan wudhunya dengan melakukan perkara-perkara sunnah, maka akan lebih banyak pula dosa-dosa yang dihapuskan. (lihat Syarh Shohih Muslim, no. 231)


Sebab dibukakannya pintu-pintu masuk jannah


Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda:


مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ يَتَوَضَّأُ فَيُبْلِغُ – أَوْ فَيُسْبِغُ – الْوَضُوءَ ثُمَّ يَقُولُ: أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُ اللهِ وَرَسُولُهُ إِلَّا فُتِحَتْ لَهُ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ الثَّمَانِيَةُ يَدْخُلُ مِنْ أَيِّهَا شَاء


“Tidaklah salah seorang dari kalian berwudhu dan membaguskan wudhunya, lalu mengucapkan: “Asyhadu all-laa ilaaha illalloh, wa anna Muhammadan ‘abdullohi wa rosuuluh,” melainkan akan dibukakan untuknya delapan pintu-pintu jannah, silahkan ia memasukinya dari pintu manapun yang dikehendaki.” 

(HR. Muslim dari Umar bin Al-Khotthob -rodhiyallohu ‘anhu-)


Sifat (tata-cara) wudhu Nabi


Banyak diantara para ulama salaf menjelaskan tata-cara berwudhu dengan cara praktek langsung di hadapan orang-orang. Hal ini telah dimaklumi bersama, bahwa hal itu lebih mudah untuk diingat dan dipahami daripada hanya sekedar teori.


Diantara riwayat yang cukup lengkap dalam menggambarkan sifat wudhu Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- adalah dari ‘Utsman bin ‘Affan -rodhiyallohu ‘anhu- dalam Shohih Bukhori dan Muslim:


دَعَا بِوَضُوءٍ فَتَوَضَّأَ فَغَسَلَ كَفَّيْهِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ، ثُمَّ مَضْمَضَ وَاسْتَنْثَرَ، ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ، ثُمَّ غَسَلَ يَدَهُ الْيُمْنَى إِلَى الْمِرْفَقِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ، ثُمَّ غَسَلَ يَدَهُ الْيُسْرَى مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ مَسَحَ رَأْسَهُ، ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَهُ الْيُمْنَى إِلَى الْكَعْبَيْنِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ، ثُمَّ غَسَلَ الْيُسْرَى مِثْلَ ذَلِكَ. ثُمَّ قَالَ: رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّأَ نَحْوَ وُضُوئِي هَذَا. ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ تَوَضَّأَ نَحْوَ وُضُوئِي هَذَا ثُمَّ قَامَ فَرَكَعَ رَكْعَتَيْنِ لَا يُحَدِّثُ فِيهِمَا نَفْسَهُ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِه. قَالَ ابْنُ شِهَابٍ: وَكَانَ عُلَمَاؤُنَا يَقُولُونَ: هَذَا الْوُضُوءُ أَسْبَغُ مَا يَتَوَضَّأُ بِهِ أَحَدٌ لِلصَّلَاةِ


“Beliau meminta air wudhu, lalu memulai berwudhu dengan mencuci kedua telapak tangan sebanyak tiga kali. Kemudian berkumur-kumur disertai dengan memasukkan air ke dalam hidung (istinsyaq) dan mengeluarkannya kembali (istintsar). Kemudian mencuci wajah sebanyak tiga kali. Lalu mencuci tangan kanan sampai siku sebanyak tiga kali, demikian juga tangan kirinya. Kemudian mengusap kepala. Lalu mencuci kaki kanannya sampai mata kaki sebanyak tiga kali, demikian juga kaki kirinya. Lalu beliau berkata: “Aku telah melihat Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- berwudhu seperti wudhuku ini.” Kemudian menyampaikan sabda Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam-: “Siapa yang berwudhu seperti wudhuku ini, lalu mendirikan sholat dua rokaat dengan khusyu’, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.”


Ibnu Syihab Az-Zuhriy -rohimahulloh- berkata: “Ulama kami dahulu mengatakan: “Ini adalah cara wudhu terbaik yang dilakukan seseorang untuk mendirikan sholat.”


Banyak riwayat-riwayat lainnya secara rinci melengkapi hadits ini dalam tata-cara wudhu, sehingga dapat disimpulkan secara singkat bahwa sifat wudhu Nabi secara urut adalah sebagai berikut:


Pertama: Berniat wudhu dalam hati (wajib hukumnya); lalu mencuci kedua telapak tangan (sunnah hukumnya).


Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda:


إنما الأعمال بالنيات وإنما لكل امرىء ما نوى


"Amalan itu hanyalah disertai dengan niatnya. Setiap orang hanya mendapatkan apa yang sesuai dengan niatnya." 

(HR. Bukhori dan Muslim dari Umar rodhiyallohu 'anhu)


Disunnahkannya mencuci kedua telapak tangan sebelum wudhu tersebut di samping berdasarkan hadits Utsman di atas, juga berdasarkan kesepakatan (ijma') ulama, sebagaimana hal ini dinukilkan oleh Ibnul Mundzir dalam Al Ausath (1/375) dan Imam Nawawi dalam Syarh Shohih Muslim (3/107). 

(Fathul 'Allam: 1/133)


Kedua: Kemudian berkumur-kumur (sunnah hukumnya) disertai dengan memasukkan air ke dalam hidung (istinsyaq) dan mengeluarkannya kembali (istintsar).


Ketiga amalan ini (berkumur, istinsyaq dan istintsar), dilakukan dengan sekali mengambil air dengan tangan kanan, sebagian air untuk berkumur dan sebagian untuk istinsyaq dan istintsar. Tidak memisahkan antara satu dengan lainnya dalam pengambilan air wudhu.


Hal ini berdasarkan hadits Abdulloh bin Zaid rodhiyallohu 'anhu riwayat Bukhori dan Muslim, bahwasanya Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam berkumur dan melakukan istinsyaq dengan satu telapak tangan (sekali mengambil air).


Dalam hadits Utsman bin Affan rodhiyallohu 'anhu riwayat Bukhori dan Muslim disebutkan bahwa Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam memasukkan telapak tangan kanan beliau ke dalam bejana air wudhu, lalu berkumur dan istintsar dengannya.


Adapun hukum istinsyaq dan istintsar adalah wajib dalam berwudhu menurut pendapat yang kuat, berdasarkan perintah Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam dalam hadits Abu Huroiroh rodhiyallohu 'anhu, bahwasanya Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda:


إذا توضأ أحدكم فليجعل في أنفه، ثم لينثر


"Jika salah seorang dari kalian berwudhu, maka hendaklah ia memasukkan air ke dalam hidungnya, lalu mengeluarkannya kembali." 

(HR. Bukhori dan Muslim)


Ketiga: Lalu mencuci atau membasuh seluruh permukaan wajah (wajib hukumnya berdasarkan ayat Al Maidah di atas); disertai dengan menyela-nyela jenggot (jika berjenggot lebat sampai menutup kulit di bawahnya).


Menyela-nyela jenggot ketika membasuh wajah ini hukumnya sunnah, berdasarkan hadits Abu Umamah rodhiyallohu 'anhu riwayat Ibnu Abi Syaibah (8/422), bahwasanya beliau berwudhu tiga kali-tiga kali dan menyela-nyela jenggotnya, lalu berkata: "Aku melihat Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam melakukannya." 

(Shohihul Musnad dan Imam Al Wadi'i rohimahulloh menghasankannya)


Dalam hadits Jabir bin Samuroh rodhiyallohu 'anhu riwayat Muslim disebutkan bahwa jenggot beliau shollallohu 'alaihi wa sallam lebat.


Keempat: Lalu mencuci kedua tangan (wajib hukumnya berdasarkan ayat Al Maidah): dari ujung jari sampai siku, hingga memasuki sedikit bagian atas siku (lengan bagian atas).


Hal ini berdasarkan hadits Nu'aim bin Abdillah Al Mujmir, bahwasanya beliau melihat Abu Huroiroh rodhiyallohu 'anhu berwudhu dengan membasuh tangan kanannya sampai memasuki sedikit lengan atasnya, kemudian membasuh tangan kirinya juga sampai memasuki sedikit lengan atasnya. Kemudian beliau rodhiyallohu 'anhu berkata: "Demikianlah aku melihat Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam berwudhu." 

(HR. Muslim)


Disunnahkan pula ketika membasuh kedua tangan dengan menggosoknya dengan telapak tangan, sebagaimana dalam hadits Ummu Umaroh binti Ka'ab rodhiyallohu 'anha, bahwasanya Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam berwudhu dan membasuh kedua tangannya dengan menggosok keduanya. 

(HR. Abu Dawud dan An Nasa'i, disebutkan dalam Shohihul Musnad: 2/544)


Kelima: Kemudian mengusap seluruh permukaan kepala dengan kedua tangan sekaligus sebanyak satu kali (wajib hukumnya), dimulai dari arah depan tempat tumbuhnya rambut kepala sampai ke belakang, lalu mengembalikannya kembali ke depan. Lalu diteruskan dengan mengusap kedua telinga secara bersamaan -tanpa mengambil air wudhu lagi- dengan memasukkan ujung jari telunjuk ke dalam lobang telinga dan mengusap bagian dalam telinga dangan jari telunjuk dan bagian luar dengan ibu jari.


Jika ia sedang mengenakan ‘imamah (sorban penutup kepala), maka cukup dengan mengusap seluruh permukaan 'imamah atau mengusap ubun-ubun dan permukaan 'imamah tersebut sebagai ganti mengusap permukaan kepala dan kedua telinga.


Dalil-dalil yang menunjukkan akan hal itu semua adalah sebagai berikut:


Dari Abdulloh bin Zaid rodhiyallohu 'anhu riwayat Bukhori dan Muslim tentang sifat wudhu Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam, di dalamnya disebutkan: "Kemudian beliau shollallohu 'alaihi wa sallam memasukkan tangannya ke bejana untuk mengambil air, lalu mengusap kepalanya dengan kedua tangannya mulai dari depan ke belakang dan kembali lagi ke depan sebanyak satu kali."


Dalam riwayat lainnya disebutkan: "Kemudian beliau shollallohu 'alaihi wa sallam mengusap kepalanya dengan kedua tangannya ke belakang dan kembali ke depan, dimulai dari mengusap bagian depan kepala sampai ke belakang. Kemudian mengembalikannya ke depan tempat memulainya."


Diriwayatkan oleh An Nasa'i dan Ibnu Majah dari Abdulloh bin Abbas rodhiyallohu 'anhuma tentang sifat wudhu Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam yang disebutkan di dalamnya cara mengusap telinga: "Kemudian beliau mengusap kepala dan kedua telinganya; bagian dalam dengan kedua telunjuknya dan bagian luar dengan kedua ibu jarinya." 

(Hadits hasan; Shifat Wudhu Nabi, hal. 60)


Dari Amr bin Umaiyah Adh Dhomri rodhiyallohu 'anhu riwayat Bukhori, beliau berkata: "Aku melihat Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam mengusap 'imamah dan kedua khufnya." Demikian juga diriwayatkan oleh Muslim dari hadits Bilal rodhiyallohu 'anhu.


Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shohihnya dari Mughiroh bin Syu'bah rodhiyallohu 'anhu, bahwasanya Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam ketika berwudhu mengusap kedua khuf, bagian depan kepala dan 'imamahnya. Dalam riwayat lain: "…bagian ubun-ubun dan 'imamahnya."


Keenam: Kemudian mencuci kedua kaki sampai mata kaki, hingga sedikit memasuki bagian atas mata kaki atau betis bawah (wajib hukumnya). Disunnahkan untuk menyela-nyela jari-jemari kaki agar tercuci atau terbasuh secara sempurna.


Jika ia tengah mengenakan khuf (sepatu tinggi atau kaos kaki yang menutupi mata kaki), maka dibolehkan untuk mengusap bagian atas keduanya, tanpa melepasnya dengan syarat ia dalam keadaan telah bersuci ketika memakainya. Bagi seorang yang mukim (tidak safar atau bepergian jauh), maka batas waktu dibolehkan untuk mengusap khuf adalah sehari semalam. Sedangkan bagi musafir (bersafar), dibolehkan untuk mengusapnya selama tiga hari tiga malam. Setelah habis masa waktunya, maka wajib atasnya untuk membasuhnya.


Dari Laqith bin Shobiroh rodhiyallohu 'anhu, ia berkata: "Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda:


أسبغ الوضوء وخلل بين الأصابع


"Sempurnakanlah wudhu dan sela-selailah antara jari-jemari." 

(HR. Abu Dawud, Tirmidzi dan selainnya dengan sanad yang shohih; Fathul 'Allam: 1/160)


Dari Nu'aim bin Abdillah Al Mujmir, ia berkata: "Aku melihat Abu Huroiroh rodhiyallohu 'anhu berwudhu. Kemudian menyebutkan tentang membasuh kaki: "Lalu ia mencuci kaki kanannya sampai memasuki betis bawah dan mencuci kaki kiri juga sampai memasuki betis bawahnya. Kemudian beliau berkata: "Demikianlah aku melihat Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam berwudhu." (HR. Muslim)


Dari 'Ali rodhiyallohu 'anhu, beliau berkata: "Jika sekiranya agama itu dengan akal pikiran, niscaya bagian bawah khuf itu lebih pantas untuk diusap daripada bagian atasnya. Sungguh aku melihat Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam mengusap bagian atas kedua khufnya." 

(HR. Abu Dawud; Shohihul Musnad: 2/53)


Dari Mughiroh bin Syu'bah rodhiyallohu 'anhu, beliau berkata: "Dahulu aku bersama Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam, lalu beliau berwudhu. Maka aku merunduk untuk melepaskan khuf beliau. Beliau bersabda:


دعهما، فإني أدخلتهما طاهرتين


"Biarkanlah, sesungguhnya aku telah memakainya dalam keadaan telah bersuci." Kemudian beliau mengusap kedua khufnya." 

(HR. Bukhori dan Muslim)


Dari Syuroih bin Hani', ia berkata: "Aku bertanya kepada 'Aisyah rodhiyallohu 'anha tentang mengusap kedua khuf. Maka 'Aisyah berkata: "Hendaknya engkau pergi bertanya kepada Ali bin Abi Tholib rodhiyallohu 'anhu, karena dialah yang dahulu bersafar bersama Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam." Maka aku bertanya kepadanya, lalu ia menjawab: "Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam menetapkan waktu mengusap khuf: tiga hari tiga malam bagi para musafir dan sehari semalam bagi yang mukim." 

(HR. Muslim)


Ketujuh: Kemudian yang terakhir membaca dzikir setelah wudhu (asy-syahadatain), sebagaimana telah tersebut dalam hadits Umar -rodhiyallohu ‘anhu- di atas.


Semuanya itu wajib dilakukan secara tertib (berurutan) pada bagian-bagian anggota wudhu yang wajib dibasuh sebagaimana disebutkan secara berurutan dalam ayat wudhu (Al Maidah) dan juga dilakukan secara terus-menerus (sambung-menyambung) tanpa ada jeda waktu yang terlalu lama tanpa adanya udzur syar’i menurut pendapat yang kuat (pendapat Imam Malik, Syaikhul Islam, Ibnu 'Utsaimin rohimahumulloh), karena wudhu adalah satu kesatuan ibadah sebagaimana ditunjukkan dalam ayat wudhu (surat Al Maidah) yang hendaknya pelaksanaannya tidak dipisah-pisahkan.


Diantara udzur tersebut adalah sesuatu yang berkaitan dengan wudhu tersebut, seperti pada salah satu anggota wudhunya terdapat penghalang masuknya air (cat dsb), kemudian ia hilangkan terlebih dahulu dan setelah itu ia boleh meneruskan wudhunya tanpa mengulangnya dari awal. Demikian juga jika kehabisan air wudhu di tengah-tengah berwudhu, lalu ia mengambilnya dari tempat lain, maka setelah mendapatkannya boleh baginya untuk meneruskan wudhunya. Berbeda halnya jika ia tidak meneruskan wudhunya karena sesuatu yang tidak berkaitan dengan wudhunya, maka ia harus mengulangnya kembali dari awal. 

(Fathul Allam: 1/188, Miskul Khitam: 1/93)


Wajibnya berwudhu secara tertib diambil dari ayat wudhu (Al Maidah) tersebut di atas. Dalam ayat tersebut bahwa perintah perbuatan mengusap (kepala) disebutkan di antara perbuatan membasuh atau mencuci anggota wudhu lainnya, yaitu mengusap kepala disebutkan di antara membasuh tangan dan kaki. Hal ini menunjukkan bahwa perkara tertib dalam wudhu tersebut merupakan suatu keharusan. Sekiranya tidak demikian, maka anggota-anggota wudhu yang dibasuh akan disebutkan semuanya secara tersendiri dan anggota yang diusap juga disebutkan secara tersendiri, yang itu merupakan sesuatu yang lumrah dalam bahasa Arab. Ini adalah suatu pertanda yang kuat menunjukkan wajibnya tertib dalam berwudhu. 

(Fathul Allam: 1/179, Miskul Khitam: 1/92)


Demikian juga ditunjukkan oleh hadits 'Amr bin 'Abasah rodhiyallohu 'anhu riwayat Muslim dalam hadits yang panjang tentang pengajaran sifat wudhu Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam:


يَا نَبِيَّ اللهِ فَالْوُضُوءَ حَدِّثْنِي عَنْهُ، قَالَ: مَا مِنْكُمْ رَجُلٌ يُقَرِّبُ وَضُوءَهُ فَيَتَمَضْمَضُ، وَيَسْتَنْشِقُ فَيَنْتَثِرُ إِلَّا خَرَّتْ خَطَايَا وَجْهِهِ، وَفِيهِ وَخَيَاشِيمِهِ، ثُمَّ إِذَا غَسَلَ وَجْهَهُ كَمَا أَمَرَهُ اللهُ، إِلَّا خَرَّتْ خَطَايَا وَجْهِهِ مِنْ أَطْرَافِ لِحْيَتِهِ مَعَ الْمَاءِ، ثُمَّ يَغْسِلُ يَدَيْهِ إِلَى الْمِرْفَقَيْنِ، إِلَّا خَرَّتْ خَطَايَا يَدَيْهِ مِنْ أَنَامِلِهِ مَعَ الْمَاءِ، ثُمَّ يَمْسَحُ رَأْسَهُ، إِلَّا خَرَّتْ خَطَايَا رَأْسِهِ مِنْ أَطْرَافِ شَعْرِهِ مَعَ الْمَاءِ، ثُمَّ يَغْسِلُ قَدَمَيْهِ إِلَى الْكَعْبَيْنِ، إِلَّا خَرَّتْ خَطَايَا رِجْلَيْهِ مِنْ أَنَامِلِهِ مَعَ الْمَاءِ، فَإِنْ هُوَ قَامَ فَصَلَّى، فَحَمِدَ اللهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ وَمَجَّدَهُ بِالَّذِي هُوَ لَهُ أَهْلٌ، وَفَرَّغَ قَلْبَهُ لِلَّهِ، إِلَّا انْصَرَفَ مِنْ خَطِيئَتِهِ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ وَلَدَتْهُ أُمُّه


"Wahai Nabi Alloh, ajarkanlah kepadaku tentang wudhu." Beliau bersabda: "Siapa diantara kalian yang mendekatkan air wudhunya, lalu berkumur dan istinsyaq serta istintsar … kemudian jika ia membasuh wajahnya sebagaimana Alloh perintahkan… kemudian membasuh kedua tangannya… kemudian mengusap kepalanya… kemudian membasuh kedua kakinya …" (al hadits)


Dalam hadits ini, Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam mengucapkan urutan wudhu dengan kata "kemudian… kemudian…", yang ini menunjukkan adanya tertib dalam berwudhu. 

(Miskul Khitam: 1/92)


Kesalahan-kesalahan dalam berwudhu


Hal ini perlu disebutkan, agar kaum muslimin menghindarkan diri dari hal-hal yang dapat mengurangi kesempurnaan wudhunya dan bahkan diantara kesalahan-kesalahan tersebut ada yang merusak sahnya wudhu seseorang.


Batasan kesalahan dalam berwudhu


Yang dimaksudkan dengan melakukan kesalahan dalam berwudhu adalah jika seseorang itu:
- Meninggalkan kewajiban-kewajiban wudhu, seperti niat, membasuh wajah, tangan, kaki, mengusap kepala dan sebagainya.
- Melakukan hal-hal yang tidak ada dalilnya sama sekali.
- Melakukan atau meninggalkan sesuatu sebagai bentuk penyelisihan terhadap dalil-dalil yang jelas dan shohih serta mengikuti pendapat yang sangat lemah.


Beberapa kesalahan dalam berwudhu


Pertama: Melafalkan niat.


Niat adalah syarat sahnya suatu amalan, termasuk pada wudhu ini. Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- bersabda:


إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى


“Hanyalah amalan-amalan itu dengan niat-niatnya dan setiap orang mendapatkan apa yang diniatkannya.” 

(HR. Bukhoriy dan Muslim dari Umar -rodhiyallohu ‘anhu-)


Niat adalah amalan hati, yaitu kehendak hati untuk melakukan sesuatu dan bukan amalan lisan. Melafalkan niat dalam berwudhu dan ibadah lainnya tidaklah disyariatkan, karena hal itu tidak pernah dilakukan dan dituntunkan oleh Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam-. Juga tidak seorang pun dari para khulafa'ur-rosyidin, para sahabat, salafush-sholeh serta para ulama muslimin yang melakukannya. Itu hanyalah perkara yang diada-adakan oleh orang-orang belakangan yang tidak merasa cukup dengan apa yang telah dituntunkan oleh syariat yang telah sempurna ini.


Alloh -subhanahu wa ta’ala- maha mengetahui niat-niat yang ada dalam hati-hati manusia, sehingga tidak ada perlunya lagi bersusah payah untuk melafalkannya. Apakah masuk akal, jika seseorang hendak makan -misalnya-, lalu ia mengatakan: “Aku berniat makan ini dan itu untuk menghilangkan rasa lapar…” Maka demikian pula dalam berwudhu ataupun amalan lainnya, tidaklah perlu dia berkata: “Aku berniat untuk berwudhu untuk menghilangkan hadats…” Tidaklah hal itu dilakukan, kecuali oleh orang yang jahil dan kurang akalnya. Maka hal itu tertolak, baik secara tabiat maupun syariat.


Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah -rohimahulloh- mengatakan bahwa hal itu merupakan kebid’ahan menurut kesepakatan ulama. Siapa yang melakukannya dengan berkeyakinan bahwa hal itu disyariatkan, maka ia adalah seorang jahil dan sesat serta pantas mendapatkan hukuman. 

(Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam -rohimahulloh-: 22/218 & 236)


Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- bersabda:


مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ


“Siapa yang melakukan suatu amalan bukan dari tuntunan kami (kebid’ahan), maka amalan tersebut tertolak.” 

(HR. Muslim dari ‘Aisyah -rodhiyallohu ‘anha-)


Kedua: Mencuci kedua mata bagian dalam.


Perbuatan ini tidak disunnahkan, baik dalam berwudhu maupun mandi wajib, karena Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- tidak pernah melakukannya dan tidak pula menuntunkannya, bahkan hal itu dapat mengganggu kesehatan mata. Adapun pendapat sebagian orang akan disunnahkannya perbuatan tersebut, sama sekali tidaklah didukung dengan dalil yang shohih.


Ketiga: Berlebihan dalam penggunaan air wudhu.


Dahulu Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- menggunakan sedikit air wudhu. Seringnya, beliau berwudhu dengan satu mud air (lebih dari setengah liter dan kurang dari satu liter atau kurang lebih 0,75 liter), sebagaimana dalam hadits Anas bin Malik -rodhiyallohu ‘anhu- riwayat Bukhori dan Muslim. Bahkan beliau pernah berwudhu hanya dengan dua pertiga mud, sebagaimana dalam hadits Ummu ‘Umaroh -rodhiyallohu ‘anha- riwayat Abu Dawud dan An-Nasa’iy 

(dishohihkan oleh Imam Al-Wadi’iy -rohimahulloh- dalam Ash-Shohihul Musnad: 2/544).


Tidak apa-apa jika seseorang berwudhu dengan menggunakan air lebih dari satu mud jika dibutuhkan, selama tidak berlebihan. Hal ini karena tidak ada dalil tentang batasan air terbanyak yang boleh digunakan. Berwudhu secara sempurna dengan menggunakan sedikit air menunjukkan tingkatan fiqih seseorang dan ini termasuk madzhab Ahlussunah wal jama’ah, berbeda dengan kelompok ‘Ibadhiyah dan Khowarij yang suka berlebihan dalam menggunakan air wudhu. Kelompok ini muncul pada zaman tabi’in dan banyak atsar-atsar (riwayat-riwayat) salaf diriwayatkan sebagai bentuk pengingkaran terhadap perbuatan mereka. 

(At-Tamhid: 8/105, karya Imam Ibnu ‘Abdil Barr -rohimahulloh-)


Keempat: Mencuci atau membasuh anggota wudhu lebih dari tiga kali.


Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- berwudhu secara sempurna dengan membasuh anggota wudhu sebanyak tiga kali dan menganjurkan umatnya untuk melakukan yang demikian, sebagaimana dalam hadits ‘Utsman bin ‘Affan -rodhiyallohu ‘anhu- riwayat Bukhoriy dan Muslim tersebut di atas.


Beliau juga pernah berwudhu dua kali-dua kali sebagaimana dalam hadits ‘Abdulloh bin Zaid -rodhiyallohu ‘anhu- riwayat Bukhoriy dan satu kali-satu kali sebagaimana dalam hadits Ibnu ‘Abbas -rodhiyallohu ‘anhuma- riwayat Bukhoriy. Terkadang beliau mencuci atau membasuh sebagian anggota wudhu tiga kali dan sebagian yang lain dua kali dalam sekali berwudhu, sebagaimana dalam hadits ‘Abdulloh bin Zaid -rodhiyallohu ‘anhu- juga riwayat Bukhoriy dan Muslim.


Semuanya boleh dilakukan meskipun yang afdhol adalah cara pertama. Akan tetapi beliau -shollallohu ‘alaihi wa sallam- melarang umatnya untuk sengaja membasuh lebih dari tiga kali dengan sabda beliau setelah selesai mengajarkan cara berwudhu:


هَكَذَا الْوُضُوءُ، فَمَنْ زَادَ عَلَى هَذَا فَقَدْ أَسَاءَ وَتَعَدَّى وَظَلَمَ


“Demikianlah wudhu itu, siapa yang menambah dari ini (lebih dari tiga kali basuhan), maka dia telah melakukan kejelekan, melanggar dan berbuat dzolim.” 

(HR. Ahmad, Abu Dawud, An-Nasa’iy dari ‘Abdulloh bin ‘Amr -rodhiyallohu ‘anhuma, dihasankan oleh Syaikhuna Ibnu Hizam dalam Fathul ‘Allam: 1/148)


Kelima: Mengusap kepala lebih dari sekali.


As-Sunnah yang shohih menunjukkan secara jelas bahwa kepala hanyalah diusap sekali saja, sebagaimana dalam hadits ‘Utsman, ‘Abdulloh bin Zaid dalam Ash-Shohihain dan juga hadits ‘Ali bin Abi Tholib -rodhiyallohu ‘anhum- dalam Sunan Abu Dawud dengan sanad yang shohih bahwasanya Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- mengusap kepalanya sebanyak satu kali dan ini adalah pendapat jumhur ulama. 

(Fathul ‘Allam: 1/151)


Adapun yang berpendapat bahwa kepala juga diusap sebanyak tiga kali sebagaimana anggota wudhu lainnya, ia berdalil dengan keumuman hadits bahwa Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- berwudhu tiga kali-tiga kali sebagaimana tersebut di atas. Akan tetapi hadits ini bersifat global yang telah diperjelas oleh hadits-hadits lainnya secara terperinci dan hendaknya seseorang itu beramal dengan sesuatu yang rinci sebagaimana yang telah ditetapkan dalam ilmu ushul fiqih. Mereka juga berdalil dengan riwayat-riwayat yang secara jelas menunjukkan bahwa beliau -shollallohu ‘alaihi wa sallam- mengusap kepala sebanyak tiga kali. Akan tetapi riwayat-riwayat tersebut sangat lemah, sehingga tidak bisa dijadikan sebagai hujjah.


Keenam: Mengusap tengkuk.


Tidak ada dalil yang shohih dari Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- bahwasanya beliau mengusap tengkuknya ketika berwudhu. Sebaliknya, riwayat-riwayat yang shohih tentang sifat wudhu beliau, tidaklah menyebutkan sama sekali bahwa beliau melakukan hal itu. Dengan demikian, mengusap tengkuk ketika berwudhu termasuk perbuatan kebid’ahan yang tertolak dalam agama ini. (Fathul ‘Allam: 1/145)


Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- bersabda:


مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ


“Siapa mengada-adakan suatu perkara dalam urusan kami (agama ini) yang bukan darinya, maka ia tertolak.” (HR. Bukhori dan Muslim dari ‘Aisyah -rodhiyallohu ‘anha-)


Ketujuh: Mencukupkan diri dengan mengusap telinga tanpa kepala.


Tidak sah wudhu seseorang yang hanya mencukupkan diri dengan mengusap kedua telinga dan meninggalkan untuk mengusap kepala menurut kesepakatan (ijma’) para ulama. (Al-Muhalla, no. 199; karya Ibnu Hazm dan Syarhul Muhadzab: 1/415, karya Imam An-Nawawiy -rohimahumalloh-)


Kedelapan: Sekedar mengusap kedua kaki tanpa mencucinya.


Telah mutawatir (diriwayatkan dari banyak jalan) dari Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- bahwasanya beliau dalam berwudhu membasuh atau mencuci kedua kaki sampai mata kaki jika tidak sedang mengenakan khuf (sepatu atau kaos kaki yang menutup mata kaki). Tidak ada satu riwayat pun yang shohih, bahwa beliau sekedar mengusap keduanya saja. Bahkan beliau -shollallohu ‘alaihi wa sallam- mengingkari seseorang yang sekedar mengusap kedua kaki tanpa membasuhnya dengan berseru:


وَيْلٌ لِلْأَعْقَابِ مِنَ النَّارِ


“Wail (kecelakaan dengan sengatan api neraka) bagi tumit-tumit (yang tidak terbasuh air wudhu)!” (HR. Bukhori dan Muslim dari ‘Abdulloh bin ‘Amr -rodhiyallohu ‘anhuma-)


Oleh karena itu, membasuh kedua kaki dalam berwudhu merupakan sunnah Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- yang wajib dilakukan dan merupakan madzhab Ahlussunnah. Para sahabat Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- telah bersepakat tentang hal ini. Tidak shohih dari seorang sahabat pun yang menyelisihi hal ini, kecuali apa yang diriwayatkan dari ‘Ali, Ibnu ‘Abbas dan Anas -rodhiyallohu ‘anhum-. Akan tetapi telah shohih riwayat-riwayat tentang rujuknya mereka semua kepada al-haq. (Fathul Bariy: 1/348, karya Ibnu Hajar -rohimahulloh-)


Adapun kelompok Rofidhoh, mereka mengatakan bahwa kedua kaki hanya diusap saja tanpa dibasuh atau dicuci. Maka mereka telah menyelisihi dalil-dalil As-Sunnah yang mutawatir tentang membasuh kedua kaki.


Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah -rohimahulloh- mengatakan: “Siapa yang hanya mengusap kedua kaki, maka dia adalah seorang mubtadi’ (ahli bid’ah), menyelisihi As-Sunnah yang mutawatir dan juga Al-Quran.” (Majmu’ Fatawa: 21/134)


Kesembilan: Meninggalkan sebagian anggota wudhu tidak terkena air.


Merupakan suatu kewajiban dalam berwudhu adalah mengenakan air pada seluruh anggota wudhu. Hal ini merupakan syarat sahnya wudhu. Tidak sah wudhu seseorang, kecuali dengan melakukan hal tersebut. Terkadang seseorang tergesa-gesa dalam berwudhu, sehingga sebagian anggota wudhunya tidak terkena air, seperti pada ujung siku, mata kaki, sela-sela jari, baik tangan maupun kaki. Maka ini merupakan suatu kesalahan yang harus dihindarkan agar wudhunya sah.


Sebagian orang ketika mencuci kedua tangan, hanya mencukupkan diri dengan mencucinya mulai dari pergelangan tangan sampai siku saja dan meninggalkan kedua telapak tangan dengan alasan, bahwa kedua telapak tangan tersebut telah dicuci pertama kali ketika memulai wudhu. Ini tidaklah benar, karena mencuci kedua telapak tangan ketika itu hukumnya sunnah mustahabbah, sedangkan mencuci kedua tangan setelah wajah -mulai dari ujung jari tangan sampai siku- adalah wajib, tidak sah wudhu seseorang tanpanya. Jadi harus dibedakan antara yang pertama dengan kedua.


Demikian juga, seseorang yang terkena sesuatu yang dapat menghalangi air untuk membasahi anggota wudhunya -seperti jika terkena cat atau bahan-bahan lainnya-, sehingga ada sebagian anggota wudhu yang tidak terkena air yang menyebabkan tidak sah wudhunya. Maka hendaknya seseorang berhati-hati dalam hal ini, dengan memeriksa bagian tersebut dan menghilangkannya sebelum berwudhu.


Perlu diperhatikan pula jika jari-jari kakinya rapat, sehingga kemungkinan besar air tidak masuk ke sela-sela jari kaki, kecuali dengan cara menyela-nyelanya. Maka, wajiblah baginya untuk menyela-nyela jari kaki atau tangannya agar sempurna wudhunya. Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- bersabda:


أَسْبِغِ الوُضُوءَ، وَخَلِّلْ بَيْنَ الأَصَابِعِ


“Sempurnakanlah wudhu dan sela-selahilah antara jari-jari kalian.” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidziy, An-Nasaiy, Ibnu Majah dan selain mereka, dishohihkan oleh Syaikhuna Ibnu Hizam -hafidzohulloh- dalam Fathul ‘Allam: 1/160)


Para ulama menyatakan bahwa siapa yang meninggalkan apa yang wajib dibasuh atau dicuci dalam berwudhu -meskipun hanya selebar rambut, baik sengaja maupun tidak-, maka tidak sah sholatnya dengan wudhu tersebut sampai ia menyempurnakannya. Hal itu karena ia belumlah teranggap mendirikan sholat dengan thoharoh (bersuci) yang diperintahkan. Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- bersabda:


مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ


“Siapa yang melakukan amalan bukan dari tuntunan kami, maka amalan itu tertolak.” (HR. Muslim dari ‘Aisyah -rodhiyallohu ‘anha-)


Ini adalah perkara yang telah disepakati oleh para ulama. (Al-Muhalla, no. 205; karya Ibnu Hazm dan Syarh Shohih Muslim: 3/132)


Kesepuluh: Mengangkat tangan dan menghadap kiblat setelah berwudhu.


Ini banyak dilakukan oleh awam kaum muslimin, padahal tidak ada dalilnya yang shohih dari Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- dan tidak pula dilakukan para sahabat serta para salafush-sholeh sepeninggal beliau. Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- bersabda:


مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ


“Siapa yang mengada-adakan pada urusan agama ini perkara yang bukan darinya, maka ia tertolak.” (Muttafaqun ‘alaih dari ‘Aisyah -rodhiyallohu ‘anha-)


Mengangkat tangan dan menghadap kiblat adalah termasuk perkara ibadah yang hendaknya dibangun di atas dalil, karena asal dari suatu peribadahan adalah terlarang (haram), kecuali jika ada dalilnya yang shohih.


Kesebelas: Mengucapkan doa-doa yang tak ada dalilnya.


Adapun mengucapkan do’a khusus pada setiap kali membasuh anggota wudhu; ketika membasuh wajah, tangan, kaki dan sebagainya, maka hal ini sama sekali tidak shohih dari Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam-. Tidak diperkenankan bagi seorang muslim untuk melakukannya.


Orang-orang awam biasanya mengatakan ketika berkumur dalam wudhunya:


اللَّهمَّ اسقِنِي من حوض نبيِّك كأساً لا أظمأ بعده أبداً،


“Ya Alloh, berikanlah segelas air dari telaga Nabi-Mu, sehingga aku tidak haus selamanya,”


ketika ber-istinsyaq membaca:


اللَّهمَّ لا تحرمنِي رائحةَ نعيمك وجنّاتك


“Ya Alloh, janganlah Engkau haramkan atasku aroma kenikmatan dan syurga-Mu,”


ketika mencuci wajah mengatakan:


اللَّهمَّ بيِّض وجهي يوم تبيَّض وجوه وتسودُّ وجوه


“Ya Alloh, putihkanlah wajahku pada hari diputihkan dan dihitamkannya wajah-wajah,”


ketika mencuci kedua tangan dengan mengatakan:


اللَّهمَّ أعطنِي كتابي بيميني، اللَّهمَّ لا تُعطنِي كتابي بشمالي


“Ya Alloh, berikanlah catatan amalku dari arah kananku. Ya Alloh, janganlah Engkau berikan catatanku dari arah kiriku,”


ketika mengusap kepala mengatakan:


اللَّهمَّ حرِّم شعري وبَشَرِي على النار


“Ya Alloh, hindarkanlah rambut dan kulitku dari api neraka,”


ketika mengusap kedua telinga membaca:


اللَّهمَّ اجعلنِي من الذين يستمعون القولَ فيتَّبعون أحسنه


“Ya Alloh, jadikanlah aku sebagai orang yang mendengarkan perkataan dan mengikuti yang terbaik,”


ketika mencuci kedua kaki mengatakan:


اللَّهمَّ ثبّت قدمي على الصراط


“Ya Alloh, tegarkanlah kaki di atas shiroth.”


Maka semuanya itu termasuk perkara yang tidak ada dalilnya sama sekali dari Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam-, tidak pula dari shohabat, tabi’in dan para imam kaum muslimin setelah mereka. Yang ada hanyalah hadits palsu, dusta atas nama Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam-. (Al-Wabilush-Shoyyib, hal. 316; karya Ibnul Qoyyim -rohimahulloh-)


Oleh karena itu, wajib bagi setiap muslim untuk mencukupkan diri dengan apa yang telah dituntunkan oleh As-Sunnah serta menjauhi apa-apa yang diada-adakan oleh manusia setelah itu. Wallohu ta'ala a’lam.


Ini adalah tuntunan dan beberapa kesalahan dalam berwudhu yang dapat kami sampaikan pada kesempatan yang mubarok (diberkahi) kali ini, sebagai isyarat kepada perkara kesalahan yang lainnya. Mungkin para pembaca -yang dimuliakan oleh Alloh- akan menemui bentuk-bentuk kesalahan lainnya termasuk dalam kategori kesalahan yang telah tersebut di atas, maka hendaknya kita saling nasehat-menasehati dalam kebaikan dan ketakwaan dengan cara yang baik dan bijaksana dalam rangka menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar yang merupakan salah satu pilar pokok agama ini dan kunci kejayaan umat Islam.


إِنْ أُرِيدُ إِلَّا الْإِصْلَاحَ مَا اسْتَطَعْتُ وَمَا تَوْفِيقِي إِلَّا بِالله عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ


“Tidaklah aku bermaksud, kecuali mengadakan perbaikan selama masih sanggup melakukannya dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan pertolongan Alloh. Hanya kepada Alloh-lah aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali.” (QS. Hud: 88)


Walhamdulillahi Robbil ‘alamin.


Ditulis: Mushlih Abu Sholeh Al-Madiuniy -saddadahulloh- (rev. 26 Robi'uts tsani 1436H).


Maroji':
- Asy-Syarhul Mumti’ ‘ala Zaadil Mustaqni’, karya Al-‘Allamah Ibnu ‘Utsaimin -rohimahulloh-.
- Tadwinul Fa’idah Fii Tafsir Ayatil-Wudhu’ Min Surotil-Ma’idah, karya Syaikhuna Yahya bin ‘Ali Al-Hajuriy -hafidzohuloh-.
- Shifatu Wudhu’in-Nabiy -‘alaihis-sholatu was-salam-, oleh Syaikhuna Abdulloh bin Ahmad Al-Iryaniy -hafidzohulloh-.
- Fathul ‘Allam fii Dirosati Ahadits Bulughil-Marom; oleh Syaikhuna Muhammad bin ‘Ali bin Hizam Al-Ba’daniy -hafidzohulloh-
- Adzkarut-Thoharoh was-Sholah, oleh Syaikh Abdurrozzaq bin Abdul Muhsin Al-Badr -waffaqohulloh-.


🅹🅾🅸🅽 🅲🅷🅰🅽🅽🅴🅻 🆃🅴🅻🅴🅶🆁🅰🅼

_*NASEHAT UNTUK SEKIRANYA TIDAK MEMONDOKKAN ANAK SEBELUM MENCAPAI BALIGH*_

_*Telah Di Periksa Oleh Asy-Syaikh Abu Fairuz Abdurrohman Bin Soekojo Al Indonesiy حفظه الله تعالى*_                بِسْمِ اللّهِ الرَّحْمَن...