⏳HUKUM ADZAN DI TELINGA BAYI YANG BARU LAHIR?

نصـيـحـة للـنــساء:


Sebagian ahli ilmi berpendapat disunnahkan adzan di telinga kanan, sedangkan iqamah di telinga kiri pada bayi yang baru lahir.

Pada permasalahan ini ada 3 hadits yang dijadikan sandaran :

▪️ hadits pertama:

Hadits Abi Raafi’ radhiyallahu ‘anhu, ia berkata;

رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ” أَذَّنَ فِي أُذُنَيِ الْحَسَنِ حِينَ وَلَدَتْهُ فَاطِمَةُ بِالصَّلَاةِ “

“Aku melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mengumandangkan adzan pada kedua telinga Hasan bin ‘Ali ketika Fatimah melahirkannya.” (HR Iman Ahmad, Abu Dawud dan At-Tirmidzi)

Pada sanadnya ada kelemahan yaitu hadits ini diriwayatkan melalui jalur  ‘Aashim bin ‘Ubaidillah, dia seorang perawi yang sangat dha’if (lemah).

🖋️ Berkata Ibnu Hajar rahimahullah :

ضعيف 

Lemah ( Taqribu Tahdzib 1/472)

🖋️Berkata Ibnu Khuzaimah :

لست أحتج به لسوء حفظه

Aku tak berhujjah dengannya karena ia buruk hapalannya. ( Tahdzibu Tahdzib 2/254)

🖋️Berkata Ibnu Hibban :

كان سيء الحفظ كثير الوهم فاحش الخطأ فترك من أجل كثرة خطئه

Dia buruk hapalannya, banyak wahmnya (kekeliruannya), fatal kesalahannya, maka tinggalkan ia karena sering banyak kesalahannya. (Ikmal Tahdzibul Kamal 7/108).

🖋️Berkata Abu Hatim Ar_Razi

منكر الحديث مضطرب الحديث ليس له حديث يعتمد عليه.

Haditsnya mungkar dan goncang dan tidak ada padanya hadits yang dijadikan sandaran. ( Al_Jarh Wa ta'dil Li Abi Hatim 6/347).

▪️ hadits kedua :

Dari Al-Husain bin Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ وُلِدَ لَهُ مَوْلُودٌ، فَأَذَّنَ فِي أُذُنِهِ الْيُمْنَى، وَأَقَامَ فِي أُذُنِهِ الْيُسْرَى، لَمْ يَضُرَّهُ أُمُّ الصِّبْيَانِ

“Barangsiapa dilahirkan seorang anak, kemudian dia kumandangkan adzan di telinga kanannya (bayi) dan iqamah di telinga kirinya, maka Ummu Shibyan (jin yang suka mengganggu anak kecil) tidak akan dapat membahayakannya.” (diriwayatkan Ibnu Sunny dalam kitabnya Amalul Yaum Wal lailah no 8619, Abu Ya,'la Al_Mushily dalam Musnadnya 6/180, Ibnu 'Adi dalam Al_Kamil 7/198)

Sanad hadits ini maudhu,  didalamnya ada perawi yang bernama :

Yahya Bin Alaa Al_Bajily Ar_Raaziy

🖋️ Berkata Imam Ahmad tentang rawi tersebut  :

كذاب، يضع الحديث

Pendusta, pemalsu hadist (Mizanul I'tidal 4/397.

Dan juga ada rawi bernama Marwan bin Saalim al-Ghifaari .

🖋️Berkata Daraquthni dan selainnya;
متروك

Ditinggalkan haditsnya.

Berkata Al_Hafifz

 متروك، ورماه الساجي وغيره بالوضع

Ditinggalkan haditsnya, dan As_Saji dan selainnya menuduh dia memalsukan hadits.

📚 Tahdzib Kamal 27/393, Mizanul I'tidal 4/90-91

▪️hadits ketiga :

Dari Ibnu Abbas Radhiallahu anhuma :

أن النبي -صلى الله عليه وآله وسلم- أذن في أذن الحسن بن علي يوم ولد؛ فأذن في أذنه اليمنى وأقام في أذنه اليسرى.

Bahwa Nabi shalallahu alaihi wasallam mengadzankan pada telinga kanan Hasan Bin 'ali pada hari kelahirannya dan Iqamah pada telinga kirinya (Diriwayatkan oleh Al_Baihaqi dalam Syuabul Iman)

Dan sanadnya maudhu, ada seorang rawi bernama Hasan Bin 'Amr dan ia didustakan.

🖋️ Berkata Syaikhuna Abu Hatim Yusuf Al_Jaizairy hafidzahullah (setelah menyebutkan 3 hadits di atas) :

فالخلاصة أنه لايثبت في ذلك شيء، وعليه؛ فلا يُشرع التأذين ولا الإقامة في أذن المولود عند ولادته

Maka kesimpulannya, bahwa tidak shahih pada perkara ini sedikit pun, sehingga tidak disyariatkan adzan dan Iqamah pada telinga bayi saat kelahirannya.
(https://t.me/youssefalgazairi/1163)

🖋️ Berkata Syaikhuna Al_Faqih Hasan Basy_Syuaib Hafidzahullah :

ما حال حديث الأذان في أذن المولود وهل هي سنه أم بدعه ؟

Bagaimana keadaan hadits adzan pada telinga bayi baru lahir? , apakah amalan tersebut hukumnya sunnah atau bid'ah ?

الإجابة :  حديث الأذان في أذن المولود ضعيف وعليه فيكون هذا العمل بدعة

وللتنبيه فإن الشيخ الألباني رحمه الله تراجع عن تصحيحه للحديث
وعليه فمن وقع نظره على الحديث في صحيح سنن الترمذي فلا ينسب للألباني صحة الحديث فإنه تراجع عنه في الضعيفة والله الموفق

Beliau menjawab :

Hadits adzan pada telinga bayi yang baru lahir adalah lemah, dan atas dasar ini, maka amalan tersebut adalah bid'ah..

Dan diingatkan, bahwa Syaikh Al_Albany rahimahullah beliau taroju' akan pentashihan hadits tersebut.

Atas dasar inilah, maka siapa yang telah melihat akan hadist tersebut dalam shahih sunan At_Tirmidzi, maka tidak boleh disandarkan lagi akan keshahihan hadits tersebut pada Syaikh Al_Albany, dan beliau telah taroju' dari hadist tersebut dalam Adh_dhaifah.(bisa dilihat Al_Silsislah Adh_dhaifah 321, tambahan pent')

📚 Lihat fatwa beliau dalam telegram.

والله اعلم بالصواب .

Abu Hanan As-Suhaily

29 Rajab 1444 -20/2/2023

⏳ APAKAH DI SYARATKAN BAGI ORANG YANG INGIN MENGHAJIKAN ORANG LAIN, IA TELAH HAJI TERLEBIH DAHULU ATAS DIRINYA SENDIRI?

نصـيـحـة للـنــساء:

Telah datang hadits dalam masalah ini :
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas Radhiallahu Anhuma :
ان النبي صلى الله عليه و سلم سمع رجلا يقول : لبيك عن شبرمة ، قال : من شبرمة ؟ قال : أخ لى أو قريب لى ، قال : حججت عن نفسك ؟ قال : لا ، قال : حج عن نفسك ، ثم حج عن شبرمة    
                                             
bahwa Nabi   shallallahu 'alaihi wasallam  mendengar seorang laki-laki mengatakan : " aku sambut seruan-Mu -untuk haji- atas nama Syubrumah, Rasulullah – shallallahu 'alaihi wasallam   bertanya : siapakah Syubrumah ? laki-laki tersebut menjawab : saudaraku atau kerabatku, Rasulullah  shallallahu 'alaihi wasallam bertanya : sudahkah engkau pernah berhaji untuk dirimu sendiri ?, laki-laki itupun menjawab : belum, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam  bersabda : " Hajilah atas dirimu sendiri terlebih dahulu, kemudian setelah itu hajikanlah Syubrumah

(HR Abu Dawud 1811, Ibnu Majah 2903, Ibnu Hibban 862, dan berkata Imam Al_Baihaqi bahwa sanadnya shahih sebagaimana dalam As_sunan al_Kubro 4/336, Ibnul Qoththan menguatkan hukumnya rafa' dan dishahihkan Ibnu Hajar secara marfu' dalam At_Talkhis Al_habir 2/223_224 dan Ibnul mulaqqin mengatakan : sanadnya shahih atas syarat imam Muslim dalam Al_Badr Al_Munir 1/345 dan juga dishahihkan oleh Imam Asy_Syaukany lihat dalam at_taudhihul Ahkam 4/36 dan juga dishahihkan oleh Al_Albany rahimahullah dalam Irwaul Ghalil 4/171 no 994) .

🖋️ Berkata Imam Ash_shan'any rahimahullah :

قال ابن تيمية: إن أحمد حكم في رواية ابنه صالح عنه أنه مرفوع، فيكون قد اطلع على ثقة من رفعه، قال: وقد رفعه جماعة على أنه وإن كان موقوفًا فليس لابن عباس فيه مخالف. اهـ.

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dan Imam Ahmad menghukumi pada riwayat anaknya Shalih darinya bahwa hadits tersebut marfu', ini menunjukkan bahwa beliau telah menelaah atas ketsiqahan yang merafa'kannya. Ia berkata sekelompok jama'ah telah merafa'kannya, dan hadits tersebut walaupun mauquf, akan tetapi tidak ada seorang pun yang menyelisihi Ibnu Abbas.

📚 Lihat Subulus_salam.
 
Ada beberapa pendapat ulama dalam masalah ini ;

▪️ Pertama :

Tidak disyaratkan akan hal itu dan boleh bagi siapa yang belum haji atas dirinya, ia menghajikan orang lain, dan ini adalah pendapat Al-Hasan, An-Nakhaiy, imam Malik, abu Hanifah

▪️kedua :

Boleh menghajikan orang lain, dengan syarat yang menghajikan adalah orang yang miskin, tidak mampu atasnya haji.

Dan ini pendapat imam At_Tsauri .

Dan ini yang juga dikuatkan oleh Syaikh Al_Allamah Al_Utsaimin rahimahullah :

فإن كان لا يلزمه الحج ، كرجل فقير ، أعطاه شخصًا مالا يحج به عنه فهل يجوز أن يحج؟
الجواب: نعم، نعم يجوز لأن هذا الرجل لا يجب عليه الحج، فالله عز وجل يقول: (( ولله على الناس حج البيت من استطاع إليه سبيلا )) ، وهذا الرجل الآن لا يستطيع إليه السبيل لأنه ليس عنده مال ، فيجوز أن يحج عن غيره

Maka jika ia tidak diharuskan haji seperti orang yang miskin, di mana ada seseorang yang memberikan harta padanya untuk menghajikan selainnya, apakah boleh ia menghajikan?

Beliau menjawab, ia boleh, sebab lelaki tersebut tidak mampu atasnya haji, dan Allah telah berfirman: ( mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.) Dan lelaki tersebut sekarang tidak mampu menunaikan ibadah haji karena tidak punya harta, maka ia boleh menghajikan atas selainnya.

📚 Syarh Bulughul maram 3/315_316

▪️ketiga :

Disyaratkan akan hal itu jika ia melakukan menghajikan atas orang lain, ia telah haji sebelumnya dan jika tidak seperti itu, maka ibadah haji tersebut berubah dan beralih untuk dirinya sendiri, sama saja ia orang yang mampu atau tidak untuk haji dan ini adalah madzhab Imam Ahmad dan Al-Auzai, Asy_Syafi'.

🖋️Dan imam Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan:

ومن حج عن غيره ولم يكن حج عن نفسه رد ما أخذ وكانت الحجة عن نفسه لما روى ابن عباس رضى الله عنهما.

Dan siapa yang menghajikan atas selainnya dan ia belum pernah sebelumnya untuk dirinya, maka ia kembalikan apa yang ia telah ambil dan hajinya untuk dirinya sendiri, berdalilkan apa yang telah diriwayatkan Ibnu Abbas.

🖋️Berkata Imam Abu Thayyib rahimahullah:

وَظَاهِر الْحَدِيث أَنَّهُ لَا يَجُوز لِمَنْ لَمْ يَحُجّ عَنْ نَفْسه أَنْ يَحُجّ عَنْ غَيْره وَسَوَاء كَانَ مُسْتَطِيعًا أَوْ غَيْر مُسْتَطِيع لِأَنَّ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَآله وَسَلَّمَ لَمْ يَسْتَفْصِل هَذَا الرَّجُل الَّذِي سَمِعَهُ يُلَبِّي عَنْ شُبْرُمَةَ ، وَهُوَ يَنْزِل مَنْزِلَة الْعُمُوم ،

Menurut zhahir hadits ini, bahwa tidak dibolehkan orang yang belum menunaikan haji untuk dirinya sendiri, ia menghajikan untuk orang lain. Sama saja, apakah ia mampu atau tidak mampu, sebab Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak merinci keadaan laki-laki (itu tidak mampu atau mampu haji) yang telah beliau mendengarkan ia berkata ' aku sambut seruan Mu untuk haji atas nama syubrumah, sehingga hal itu menunjukkan keadaan yang umum,

📚Aunul Ma’bud, 5/174

Dan ini yang dikuatkan oleh Syaikh Shalih Al_Fauzan hafidzahullah :

فدل على ان من شرط صحة النيابة عن الغير ان يكون النائب قد حج عن نفسه اولا وان من حج عن غيره قبل ان يحج عن نفسه لا تصح نيابته

Maka hadits tersebut menunjukkan akan syarat sahnya menggantikan haji atas selainnya, dimana yang menggantikan awal kalinya ia telah haji atas dirinya, dan siapa yang menggantikan haji atas selainnya sebelum ia haji, maka tidak sah haji untuk orang yang diwakilkan.

📚Lihat Tashil Al_mam 3/304

▪️ Ke empat.

Dipersyaratkan akan hal itu, jika ia melakukannya maka hajinya batal.

⭕Sebagai kesimpulan:

Pendapat yang kuat adalah pendapat yang ke tiga .

Dan ini juga disebutkan dalam Fatwa Al-Lajnah AD-Daimah

لا يجوز للإنسان أن يحج عن غيره قبل حجه عن نفسه

“Tidak bolehseseorang menghajikan orang lain sebelum ia sendiri melakukan haji untuk dirinya.”

📚Fatwa Al-Lajnah 11/50

Dan permasalahan ini  juga kami tanyakan pada ulama Yaman.

[18/2 19:37] ابو حنان عثمان السندكاني: السلام عليكم ورحمة الله وبركاتة

احسن الله اليك يا شيخنا
هل يشترط في الرجل يحج عن غيره ان يكون قد حج عن نفسه :
علما ان ذاك الرجل فقير لا يستطيع إليه السبيل لكن الشخص يعطيه مالا يحج عن ابيه المتوفى؟؟

جزاك الله خيرا

Assalamualaikum warahmatullahi wa barakatuh .

Ahsanallahu ilaika ya syaikhana .

Apakah disyaratkan bagi seorang lelaki untuk menghajikan atas selain, ia telah haji atas dirinya sendiri terlebih dahulu, dan perlu diketahui : bahwa lelaki tersebut orang yang miskin yang tidak mampu haji, akan tetapi ada orang yang memberikannya uang untuk menghajikan atas nama bapaknya yang telah meninggal?

🖋️ Jawaban Syaikhuna Hasan Bin Qasim hafidzahullah :

[18/2 19:40] الشيخ حسن بن قاسم الريمي: وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته

هذا هو القول الصحيح ، ان الذي يحج عن غيره لابد ان يحج عن نفسه

Wa Alaikum salam warahmatullahi wa barakatuh.

Inilah pendapat yang shahih, bahwa yang menghajikan atas selainnya, harus ia telah haji atas dirinya sendiri terlebih dahulu.

📚 Selesai penukilan.

Dan ini juga yang dikuatkan oleh Syaikhuna Hasan Basy_syuaib Hafidzahullah dalam fatwa beliau.

⭕ Kemudian hukum bagi siapa yang ingin menggantikan haji pada orang lain, ia harus telah haji atas dirinya sendiri, maka ini  juga berlaku bagi yang menggantikan ibadah umrah atas orang lain.

📒Soal yang kami tanyakan pada ulama Yaman.

[18/2 19:44] ابو حنان عثمان السندكاني:
هل هذا الحكم أيضا يشمل لمن اراد أن ينوب عن غيره فى العمرة؟

Assalamualaikum warahmatullahi wa barakaatih.
Apakah hukum ini juga mencakup bagi siapa saja yang ingin menggantikan dari selainnya dalam ibadah umrah?

🖋️ jawaban Syaikhuna Hasan Bin Qasim hafidzahullah :

[18/2 19:48] الشيخ حسن بن قاسم الريمي : نعم ، يكون قد اعتمر عن نفسه اولا ثم يعتمر عن غيره

Iya,  ia terlebih dahulu telah umrah atas dirinya sendiri,  kemudian ia mengumrahkan atas orang lain.

📚 Selesai penukilan.

✍🏻 Di susun oleh :

Abu Hanan As-Suhaily

28 Rajab 1444 -19

HENDAKNYA MENGEMBALIKAN PERMASALAHAN SEPUTAR TASHWIR/SHURAH KEPADA PEMAHAMAN PARA SHAHABAT


_*(Disertai sedikit kritikan kepada Ust. Abu Ubaid Al bughisy terkait permasalahan shurah)*_
 

_*Telah di periksa oleh Al Ustadz Abu Abdirrohman Shiddiq Al Bughisi حفظه الله تعالى*_ 


            بِسْمِ ٱللَّٰهِ ٱلرَّحْمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ

Alhamdulillah atas seizin-Nya kami telah berusaha semampu kami untuk menelaah beberapa risalah² yang mengetengahkan tentang perdebatan di antara para Ulama' seputar permasalah Tashwir/Shurah.

Maka kami pun mendapati setidaknya ada dua puluhan lebih hadits² yang di dalamnya menyinggung permasalahan seputar tashwir/shurah dengan berbagai macam redaksi (matan). Sehingga hal inipun tak pelak menyebabkan munculnya berbagai pendapat dan juga perdebatan diantara para Ulama' sejak di zaman mutaqaddimin hingga ulama' mutakhirin.

Maka kami pun berkesimpulan bahwa satu²nya jalan bagi kita (Ahlussunnah) di dalam menyikapi permasalahan seputar tashwir/shurah ini adalah dengan mengembalikan perkara tersebut sesuai dengan apa² yang di pahami oleh para shahabat Radhiyyallahu'anhum ajma'in sebagai generasi terbaik umat ini.

Karena jika tidak begitu, maka akan kita dapati ada begitu banyak pendapat² dan juga perdebatan² tanpa hujung dari setiap generasi ke generasi bahkan sampai hari ini terkait permasalahan shurah (gambar bernyawa) yang pada ahirnya hanya akan membuat kita bingung. 

Hal ini dikarenakan bahwasanya setiap pihak yang terlibat perdebatan terkait permasalah shurah ini pada umumnya masing² mereka juga memiliki argument sesuai dengan apa² yang mereka pahami berdasarkan dalil² yang ada. 

Oleh karenanya dengan mengembalikan perkara ini kepada pemahaman para shahabat tentunya hal itu akan menjadi lebih sederhana dan In Syaa Allah lebih selamat. Mengingat para shahabat merupakan satu² nya generasi yang pernah hidup bersama Rasulullah Sallalahu ‘Alaihi wa Sallam. 

Terlebih lagi perdebatan & perselisihan terkait tentang permasalahan shurah (gambar makhluk bernyawa) ini baru mulai marak terjadi di zaman para Tabi'in dan generasi setelahnya.


Maka dari itu, pada kesempatan ini kami akan coba mengetengahkan beberapa atsar para shahabat dan juga atsar yang menjelaskan tentang pendapat para shahabat tentang seputar permasalahan shurah (gambar bernyawa) agar sekiranya bisa menjadi pembelajaran bagi kita semua. 


*🔹 Pembahasan Pertama*

Shahabat berpendapat bahwa Tashwir/Shurah adalah meliputi sesuatu yang memiliki bayangan seperti patung bernyawa dan sejenisnya ataupun yang tidak memilki bayangan seperti gambar/lukisan bernyawa dan sejenisnya.

Imam Ibnu Baththal rahimahullah berkata: 

*”Bahwa Abu Hurairah Radhiyyallahu'anhu memahaminya (tashwir/shurah) meliputi yang mempunyai bayangan dan juga yang tidak, serta hal ini adalah pengingkaran terhadap gambar yang di dinding.”*
(Fathul Bari Syarh Shahih Bukhari 11/585)

Imam Nawawwi rahimahullah termasuk di antara Ulama' yang mengkritik keras siapa saja yang berpendapat bahwa larangan shurah itu hanya sebatas yang memiliki bayangan saja, dalam artian mereka kemudian memperbolehkan shurah yang tidak memiliki bayangan seperti gambar/lukisan bernyawa yang terdapat pada tirai, dinding dan sejenisnya. 

Bahkan didalam kitabnya Syarh Shahih Muslim beliau dengan tegas menyatakan bahwa pihak² yang berpendapat semacam itu telah mengikuti Mazhab Bathil dan itu mulai muncul sejak di era Tabi'in.

Wallahu ta'ala a'lam


🔹 *Pembahasan Kedua*

Para shahabat setidaknya telah memaparkan tiga solusi ataupun tata cara di dalam menyikapi shurah (gambar bernyawa), yang mana kesemuanya itu di sandaran pada cara praktek Rasulullah Sallalahu ‘Alaihi wa Sallam diantaranya :

*▪️Dengan cara dimusnahkan/di hancurkan*

عَنْ أَبِى الْهَيَّاجِ الأَسَدِىِّ قَالَ قَالَ لِى عَلِىُّ بْنُ أَبِى طَالِبٍ أَلاَّ أَبْعَثُكَ عَلَى مَا بَعَثَنِى عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ لاَ تَدَعَ تِمْثَالاً إِلاَّ طَمَسْتَهُ وَلاَ قَبْرًا مُشْرِفًا إِلاَّ سَوَّيْتَهُ

Dari Abul Hayyaj Al Asadi rahimahullah, ia berkata,

*‘Ali bin Abi Tholib radhiyyallahu'anhu berkata kepadaku, “Sungguh aku mengutusmu dengan sesuatu yang Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- pernah mengutusku dengan perintah tersebut. Yaitu jangan engkau biarkan patung/gambar melainkan engkau musnahkan/hancurkan dan jangan biarkan kubur tinggi dari tanah melainkan engkau ratakan.”*
(HR. Muslim).


Catatan :

Dalam riwayat lain kata *Timstal* di sebutkan dengan redaksi kata *Shuurah*. 

Adapun makna kata *Timtsal* yang terdapat pada atsar diatas bukan hanya sekedar di pahami sebagai patung yang terbuat dari batu, tanah, kaca dan selainya. Akan tetapi hal itu juga mencakup gambar² patung yang terdapat pada kain, dinding dan selainya. Penafsiran tersebut bisa dipahami sesuai dengan konteks hadits riwayat Ahmad, Abdurrazaq dan Al Baghawi.

:إِنَّ فِى اْلبَيْتِ سَتْرًا فِى اْلحَائِطِ فِيْهِ تَمَاثِيْلُ ....

*Sesungguhnya di dalam rumah ada kain di dinding yang di dalamnya ada patung² (tamatsil)....*

Maksudnya adalah kain di dinding yang terdapat padanya gambar patung² bernyawa.

Ini artinya kata Timtsal/tamatsil bisa meliputi patung dan juga gambar² patung bernyawa. Baik itu yang memiliki bayangan maupun yang tidak memilki bayangan dan kesemuanya diperintahkan oleh shahabat Ali untuk di hancurkan/di musnahkan. 

Dan sebagaimana yang telah kami jelaskan sebelumnya bahwa para salaf memahami Shurah ataupun timtsal adalah meliputi sesuatu yang memilki bayangan (patung bernyawa) dan juga yang tidak memiliki bayangan (gambar bernyawa). 

Maka maksud kata *Thoms* pada hadits diatas, baik itu dengan redaksi kata Timtsal maupun Shurah adalah lebih mengarah kepada perintah untuk *dihancurkan* atau *dimusnahkan*, dan bukan sebatas di maknai *dihapus*. 

Karena makna kata *Hancurkan* atau *Musnahkan* tersebut lebih luas cakupannya karena bisa diterapkan baik itu pada patung bernyawa maupun gambar/lukisan bernyawa. Adapun memaknai kata Thoms pada atsar tersebut sebatas dengan makna *Hapus*. Maka hal itu terlalu sempit karena sudah pasti tidak akan bisa di terapkan pada benda² seperti patung bernyawa yang terbuat dari batu, tanah, kaca, dll. 

Dan apa yang mau di hapus pada benda² semacam itu (patung) !!!!

Karena sekali lagi kami nyatakan bahwa kata Timtsal maupun Shurah yang terdapat pada hadits shahabat Ali radhiyyallahu'anhu tersebut adalah meliput seluruh yang memiliki bayangan (patung bernyawa) maupun yang tidak memilki bayangan (gambar/lukisan bernyawa).

Maka makna yang lebih tepat dari kata *Thoms* pada hadits diatas adalah perintah agar setiap Timtsal ataupun Shurah itu dihancurkan atau dimusnahkan.

Wallahu ta'ala a'lam


*▪️Dengan cara di potong kepalanya* 

Dari shahabat Abdullah ibnu Abbas radhiyyallahu'anhu,

الصُّورَةُ الرَّأْسُ، فَإِذَا قُطِعَ الرَّأْسُ فَلَيْسَ بِصُورَةٍ

*Inti dari shurah adalah kepalanya, jika kepalanya dipotong, maka ia bukan shurah”*

Atsar diatas memang di perdebatkan oleh kalangan para Ulama', sebagian pihak menyatakan Marfu' (disandarkan kepada Rasulullah), sebagian pihak menyatakan Mauquf (ucapan shahabat Ibnu Abbas) dan sebagian pihak menyatakan maqtu' (ucapan tabi'in ikrimah maula bin Abbas).

Adapun dalam hal ini kami condong bahwa hadits ini adalah mauquf (ucapan shahabat ibnu abbas radhiyallahu'anhu) yang kemudian belakangan juga di ucapkan oleh imam ikrimah rahimahullah. Namun kami juga tidak mengingkari pihak² yang berpendapat marfu' karena kemungkinan itu tetap ada.

Dan meskipun hadits tersebut berstatus mauquf akan tetapi atsar tersebut bisa di jadikan hujjah mengingat shahabat ibnu Abbas radhiyyallahu'anhu merupakan seorang 'alim dari kalangan Shahabat yang pernah di doakan oleh Rasululllah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,

اللّهُمَّ فَقِّهْهُ فِي الدِّينِ، وَعَلِّمْهُ التَّأْوِيلَ

*Ya Allah berikanlah pemahaman agama yang mendalam terhadap dia (ibnu abbas) dan ajarkanlah kepadanya takwil (tafsir al-Qur’an)*
(HR. Ahmad dengan sanad hasan)

Sehingga ucapan beliau tersebut bisa menjadi hujjah bagi kita dalam hal memahami dan menyikapi masalah shurah (gambar bernyawa) ini. 

Wallahu ta'ala a'lam

*▪️Dengan cara di hinakan (di jadikan hamparan yang di injak)*


Dari imam Ubaidullah bin Abdillah rahimahullah:

أَنَّهُ دَخَلَ عَلَى أَبِي طَلْحَةَ الْأَنْصَارِيِّ يَعُودُهُ قَالَ فَوَجَدْنَا عِنْدَهُ سَهْلَ بْنَ حُنَيْفٍ قَالَ فَدَعَا أَبُو طَلْحَةَ إِنْسَانًا فَنَزَعَ نَمَطًا تَحْتَهُ فَقَالَ لَهُ سَهْلُ بْنُ حُنَيْفٍ لِمَ تَنْتَزِعُهُ قَالَ لِأَنَّ فِيهِ تَصَاوِيرَ وَقَدْ قَالَ فِيهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا قَدْ عَلِمْتَ قَالَ سَهْلٌ أَوَلَمْ يَقُلْ إِلَّا مَا كَانَ رَقْمًا فِي ثَوْبٍ قَالَ بَلَى وَلَكِنَّهُ أَطْيَبُ لِنَفْسِي

*Bahwa beliau memasuki rumah Abu Thalhah al-Anshari Radhiyyallahu'anhu untuk menjenguk beliau. Kemudian Ubaidullah menemukan Sahl bin Hunaif radhiyyallahu'anhu di sisi Thalhah. Kemudian Abu Thalhah memanggil seseorang untuk agar mencabut alas tirai di bawah beliau. Maka Sahl bin Hunaif bertanya kepada beliau: “Mengapa kamu mencabutnya?” Abu Thalhah menjawab: “Karena didalamnya (alas tersebut) terdapat gambar bernyawa dan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah berkata sebagaimana yang telah kamu ketahui.” Sahl bertanya: “Bukankah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berkata: “Kecuali lukisan di pakaian?” Abu Thalhah menjawab: “Benar, tetapi ini lebih menyenangkan diriku.”* 
(HR. Ahmad, Malik, Nasa'i dan Tirmidzi rahimahumullah dan beliau berkata hadits hasan shahih. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Muqbil rahimahullah dalam Shahihul Musnad mimma Laisa fish Shahihain).

Atsar di atas sebagai bentuk penafsiran atas ucapan Rasulullah *"KECUALI LUKISAN DI PAKAIAN"* yang terdapat pada hadits riwayat imam bukhari, muslim dan selainya.
Maka pengecualian yang di pahami oleh para shahabat dalam hal ini adalah jenis kain bergambar yang sifatnya untuk di hinakan (di jadikan alas/hamparan yang di injak). Bukan jenis dari kain bergambar yang sifatnya dipakai di tubuh (baju) atau kain bergambar yang sifatnya di pajang di dinding, jendela, pintu dan semisalnya. 

Dan hal itu sejalan dengan hadits dari Shahabat Abu Hurairah radhiyallahu anhu, dimana beliau berkata:

اسْتَأْذَنَ جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلَامُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: «ادْخُلْ» فَقَالَ: كَيْفَ أَدْخُلُ وَفِي بَيْتِكَ سِتْرٌ فِيهِ تَصَاوِيرُ، فَإِمَّا أَنْ تُقْطَعَ رُءُوسُهَا، أَوْ تُجْعَلَ بِسَاطًا يُوطَأُ فَإِنَّا مَعْشَرَ الْمَلَائِكَةِ لَا نَدْخُلُ بَيْتًا فِيهِ تَصَاوِيرُ

*"Suatu ketika Jibril alaihissalam meminta ijin kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam, maka beliau berkata: “Silakan masuk.” Jibril berkata: “Bagaimana aku masuk sedangkan di rumahmu terdapat tirai yang terdapat gambar yang bernyawa? Maka potonglah kepala gambar tersebut atau jadikan (tirai bergambar tersebut) alas/hamparan yang di injak, karena kami (para malaikat) tidak akan memasuki rumah yang di dalamnya terdapat gambar yang bernyawa.”*
(HR. Nasa'i dan dishahihkan oleh Syeikh Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan an-Nasa'i)  

Dan selain itu, ada terdapat banyak persaksian atau pernyataan dari para kalangan imam tabi'in seperti :

imam Salim bin Abdullah bin Umar rahimahullah (anak dari shahabat ibnu umar)

Imam Ikrimah rahimahullah (maula Ibnu Abbas yang sekaligus juga murid beliau)

Imam said bin jubair rahimahullah (murid dari shahabat ibnu abbas) 

dan selainya.

Yang intinya para imam tabi'in tersebut menyatakan bahwasanya para shahabat Radhiyyallahu'anhum ajma'in membenci gambar bernyawa yang sifatnya terpajang (di tirai, dinding, dll) dan tidak mempermasalahkan gambar bernyawa yang di injak (dalam artian di hinakan). 

Dan riwayat² tersebut bisa di temukan pada kitab Mushannaf karya imam Abu bakr ibnu abi syaibah rahimahullah. Karena beliau merupakan ulama' yang paling hafal terkait hadits² maqthu' (hadits yang di sandaran pada para tabi'in).

Dan imam Nawawwi rahimahullah juga menukilkan pendapat jumhur shahabat & tabi'in akan bolehnya pemanfaatan kain yang terdapat padanya gambar bernyawa yang sifatnya untuk di hinakan (di jadikan hamparan yang di injak).

Yang kemudian pendapat tersebut juga di ambil dalam mazhab para ulama setelahnya seperti Tsaury, Malik, Abu hanifah, Syafi'i dan selainya. 

Silahkan merujuk pada kitab beliau Syarh Shahih Muslim 14/81, dan selain itu penukilan Imam Nawawi rahimahullah tersebut juga di ketengahkan oleh Syeikh Shalih Utsaimin rahimahullah dalam kitab beliau Majmu' Fatawa wa Rasail 2/254.


_*Tambahan Faedah dari Al Ustadz Abu Abdirrohman Shiddiq Al Bughisi حفظه الله تعالى :*_

Akan tetapi berkaitan ucapan Nabi shalallahu alaihi wa salam :

[إلا رقما في الثوب]

*"Kecuali Tulisan di pakaian"*

Al hafidz ibnu Hajar rahimahullah berkata dalam syarah hadits tersebut :

قال النووي: يجمع بين الأحاديث بأن المراد باستثناء الرقم في الثوب ما كانت الصورة فيه من غير ذوات الأرواح كصورة الشجر ونحوها. انتهى،

Imam An Nawawiy rahimahullah berkata:

 *"Dipadukan antara hadits-hadits bahwasanya pengecualian "tulisan/ukiran di pakaian" adalah yang gambar padanya bukan gambar bernyawa, seperti gambar pohon dan semisalnya*.

Syaikh Muqbil rahimahullah berkata setelah mendatangkan hadits:

وقال الإمام أحمد رحمه الله (٨٠٦٥): حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ ، أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ ، عَنْ مُجَاهِدٍ ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، أَنَّ جِبْرِيلَ عَلَيْهِ السَّلَامُ، جَاءَ فَسَلَّمَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَعَرَفَ صَوْتَهُ، فَقَالَ : " ادْخُلْ ". فَقَالَ : إِنَّ فِي الْبَيْتِ سِتْرًا فِي الْحَائِطِ فِيهِ تَمَاثِيلُ، فَاقْطَعُوا رُءُوسَهَا وَاجْعَلُوهُ بِسَاطًا، أَوْ وَسَائِدَ، فَأَوْطِئُوهُ ؛ فَإِنَّا لَا نَدْخُلُ بَيْتًا فِيهِ تَمَاثِيلُ.

*"Dan berkata Imam Ahmad rahimahullah (8065): Telah menceritakan kepada 'Abdurrozzaq, telah mengabarkan kepada kami Ma'mar, dari Abi Ishaq, dari Mujahid, dari Abu Hurairah, bahwasanya Jibril 'alaihis salam datang memberi salam kepada Nabi shalallahu alaihi wa salam, beliaupun mengenal suaranya, Maka Nabi shalallahu alaihi wa salam berkata: "Masuklah". Maka Jibril berkata: "Sesungguhnya dirumah adalah tabir di dinding padanya gambar, maka potonglah kepala-kepalanya dan jadikanlah hamparan, atau bantal-bantal, maka injaklah, karena sesungguhnya kami (para Malaikat) tidak akan masuk rumah padanya gambar-gambar.* 

Pada ucapannya: "Maka potonglah kepala-kepalanya"

Syaikh Muqbil rahimahullah mengatakan:

أي: حتى تصير كالشجرة كما في الأحاديث الأخرى، وفيه دليل على أن الصور الممتهنة لا بد أن تكون قد قطعت رؤوسها حتى تكون كالشجرة، فخرجت عن منظر الصورة ، ودليل آخر أن النبي ﷺ أبي أن يدخل حجرة عائشة لما رأى فيها نمرقتين، أي:
وسادتين، فيها تصاویر حتى هتكتا.

_*Yaitu: hingga menjadi seperti pohon sebagaimana pada hadits-hadits lain, dan padanya dalil bahwasanya gambar-gambar yang dihinakan mesti telah terpotong kepalanya hingga menjadi seperti pohon, hingga keluar dari penampilan gambar (yang terlarang -pent). Dan dalil yang lain, bahwasanya Nabi shalallahu alaihi wa salam enggan masuk ke kamar 'Aisyah manakala melihat padanya dua numruqoh yaitu dua bantal, padanya gambar bernyawa hingga keduanya di sobek.*_

("Hukmu Tashwir" karya Syaikh Muqbil rahimahullah, hal. 47).

_*Selesai tambahan faedah dari Al Ustadz Abu Abdirrohman Shiddiq Al Bughisi حفظه الله تعالى*_ 


Maka sebagai bentuk sikap kehati²an serta menghindari munculnya fitnah maka sebaiknya kita (ahlussunnah) menyingkirkan atau berlepas diri dari setiap jenis shurah (gambar bernyawa) meskipun itu gambar bernyawa yang sifatnya untuk di hinakan (dijadikan alas/hamparan yang di injak). 

_*Dan ini merupakan sikap yang di pilih oleh sebagian shahabat seperti Abu hurairah radhiyallahu'anhu dan selainnya. Dan kami pribadi lebih condong dengan apa yang shahabat Abu hurairah pilih dalam menyikapi permasalahan shurah ini dalam rangka sikap kehati²an.

Wallahu ta'ala a'lam



*🔹PEMBAHASAN KETIGA* 

Perlu untuk di ketahui bersama bahwa tidak semua perbedaan pendapat para Ulama' terkait masalah shurah (gambar bernyawa) itu teranggap (mu'tabar ) disisi ahlussunnah, maka hendaknya kita berhati² dalam masalah ini.

Dan diantara pendapat yang tidak teranggap (mu'tabar) disisi Ahlussunnah adalah seperti pendapat yang menyatakan bahwa shurah itu hanya sebatas yang memiliki bayangan saja, seperti patung dan sejenisnya. Adapun yang tidak memiliki bayangan (gambar/lukisan bernyawa) tidak termasuk didalam larangan tersebut.

Maka pendapat inilah yang oleh imam Nawawwi rahimahullah di anggap sebagai mazhab bathil.

Adapun tanggapan kami terkait kasus perseteruan antara Ust. Shiddiq dan Ust. Abu ubaid terkait permasalahan shurah (gambar bernyawa) yang terjadi belakangan ini.

Dan apabila Ust. Abu Ubaid dalam hal ini benar berpendapat atau mengambil pendapat yang menyatakan bahwa menghapus wajah (tanpa perlu menghilangkan/menghancurkan kepalanya) setelah kepala itu terpotong sudah cukup untuk menggugurkan hukum shurah (gambar bernyawa) yang sifatnya terpajang baik pada tirai, dinding, pintu, dll. Ataupun yang terpampang pada layar komputer atau HP, sosial media, buku, brosur, katalog, dan lainya . 

Jika hal itu yang beliau maksudkan dengan hanya cukup menghapus wajah dan tanpa perlu menghilangkan/menghancurkan kepalanya setelah terpotong , maka jelas dalam hal ini Ust. Abu Ubaid berpendapat atau mengambil pendapat yang keliru, atau minimalnya pendapat tesebut sangat lemah sekali sehingga tidak pantas untuk di ambil atau di pertahankan apalagi sampai dibela² oleh orang yang mengaku dirinya tulus mengikuti para salaf (salafy). 

Terlebih lagi pendapat tersebut (menghapus wajah) memang tidak di bangun diatas dasar pemahaman para Shahabat. Dan bagaimana mungkin Ust. Abu ubaid ini rela berbalik arah dengan meninggalkan ucapan Shahabat ibnu abbas radhiyyallahu'anhu terkait masalah Shurah (gambar bernyawa) dan lebih memilih pendapat yang tidak memilki salaf dalam permasalahan ini. Allahul musta'an 

Sehingga nampaklah bagi kami bahwasanya dalam perseteruan ini Ust. Abu ubaid berada di pihak yang salah/keliru. Dan semoga beliau mau rujuk dari kekeliruannya tersebut.

Dan apabila ternyata Ust. Abu ubaid tetap saja pada pendiriannya tersebut dalam keadaan telah di tegakan padanya hujjah maka beliau berhak untuk disebut sebagai Ahlul ahwa (pengekor hawa nafsu) atau bermaksiat dengan sebab telah menyelisihi pemahaman para shahabat didalam memahami dan menyikapi masalah shurah (gambar bernyawa) ini.

Wallahu ta'ala a'lam


Berikut ini Bantahan dari Syaikh Al Albani Rahimahullah atas pendapat Ust Abu Ubaid yang mana beliau sendiri yang menterjemahkannya tetapi Sekarang telah terfitnah lebih memilih pendapat yang tidak benar :


⚠️ _*Penting ...!!*_

_Gambar yang terlarang itu adalah kepala secara utuh bukan wajah saja..._

_*Sebagian orang menganggap bahwa gambar bernyawa apabila telah menghapus wajahnya atau mata nya maka bukan lagi gambar yang terlarang, dan ini salah...*_ 

💍 _*Syaikh Al AlBani rahimahullah ditanya:*_

Pertanyaan:

شيخنا فيه حديث ( الصورة الرأس فإذا قطع الرأس فلا صورة ) 

هذا يدخل في طمس الوجه إذا توفر هناك صورة أو تمثال لو افترضنا في البيت هل يجوز طمس الوجه وهذا يكفي؟

Syaikh kami, ada hadits "Gambar itu adalah kepala, apabila dipotong maka bukan gambar"

Apakah masuk dalamnya menghapus wajah, apabila disana ada gambar atau patung seandainya ada dirumah, apakah boleh menghapus wajah dan itu cukup?! 

•Syaikh :

 مش الوجه الرأس, لأن قولك الوجه بقاء الرأس وطمس الوجه والحديث يقول ( الصورة الرأس ) أي إذا قطع الرأس وبقي بقية الجسم صار كهيئة الشجرة كما جاء في الحديث الصحيح فلا بد من الاستغناء عن رأس الصورة كُلا.

_*bukan wajah, kepala.*_

Kamu katakan wajah, tersisa kepala dan terhapus wajah. 

Dan hadits mengatakan "gambar itu kepala...."

Yaitu apabila kepala diputus dan tersisa badannya maka bagaikan pohon, sebagaimana datang dalam hadits yang shahih. 

_*maka mesti kepala gambar seluruhnya.*_

📼 سلسلة الهدى والنور - شريط : 902


Setiap kebenaran adalah datangnya dari Allah 'azza wajalla dan setiap kekeliruan adalah datangnya dari kebodohan kami pribadi serta dari godaan syaithan yang terkutuk.



✍🏻 *Ibnu Abdirrahman Hanif Indrapury*

_*NASEHAT UNTUK SEKIRANYA TIDAK MEMONDOKKAN ANAK SEBELUM MENCAPAI BALIGH*_

_*Telah Di Periksa Oleh Asy-Syaikh Abu Fairuz Abdurrohman Bin Soekojo Al Indonesiy حفظه الله تعالى*_                بِسْمِ اللّهِ الرَّحْمَن...