Ucapannya Tidak sesuai dengan perbuatannya...,

 قال زبيد بن الحارث الكوفي رحمه الله

: " أسكتتني كلمة ابن مسعود عشرين سنة


။ من كان كلامه لا يوافق فعله فإنما يوبخ نفسه".


[ عيون الأخبار ١/٢٠٤.]

Berkata Zubaid Ibnul Harits Al kuufi رحمه الله

"Kalimat dari Abdul Ibnu Mas'ud رضي الله عنه Telah menjadikan diriku untuk diam selama dua puluh tahun..

Ucapan itu yaitu...,

"Bagi siapa saja yang Ucapannya Tidak sesuai dengan perbuatannya...,

Sungguh dia telah mencela dirinya Sendirinya sendiri "

('uyuunul Akhbar 1/204


FAEDAH

[كبر مكتا عند الله أن تقولوا ما لا تفعلون ] الصف ٣

"Sangat besar kemurkaan Allah bagi seorang yang berucap tapi tidak menjalankannya" As hof 3

@Sebagai seorang muslim haruslah memberi contoh perbuatan yang baik.,apalagi dia seorang da'i


Akhukum Taufiq Ab Abd

Umar bin khottob

Menagih Hutang Di Hadapan Khalayak Ramai

 MENAGIH HUTANG DI HADAPAN KHALAYAK RAMAI


Pertanyaan :


 Assalamu'alaikum yaa Syikh bagaimana cara adab menagih hutang? Bolehkah kita menagih hutang ketika orang ramai? Apakah dzholim ketika ana menagih hutang dikeramaian orang setelah itu diapun malu dan mau membayarnya dengan marah2, di ketahui yang berhutang ini hutang makanan suka gak bayar bahkan lama dia bayarnya. 

-----------------------


Jawaban dengan memohon pertolongan pada Allah ta'ala :


 وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته.


Dalam hadits Abu Hurairah رضي الله عنه disebutkan :


أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ يَتَقَاضَاهُ فَأَغْلَظَ لَهُ فَهَمَّ بِهِ أَصْحَابُهُ فَقَالَ دَعُوهُ فَإِنَّ لِصَاحِبِ الْحَقِّ مَقَالًا. 


Ada seorang laki-laki datang menemui Nabi ﷺ untuk menagih apa yang dijanjikan kepadanya. Lalu si lelaki ini berbucara dengan suara yang kasar. Maka para sahabat Nabi ingin berbuat sesuatu kepadanya. Maka beliau ﷺ bersabda: "Biarkanlah saja dia, karena pemilik hak itu boleh menyampaikan ucapannya." (HR. Al Bukhariy dan Muslim).


Zhahir hadits ini menunjukkan bahwasanya si lelaki tadi menagih hutang Nabi صلى الله عليه وسلم dalam keadaan Nabi tidak sendirian. Padahal Nabi sangat jujur dan sangat menepati janji selama tidak ada udzur syari'iy.


Maka bagaimana dengan orang yang disebutkan dalam pertanyaan tadi bahwasanya dia itu tidak suka membayar hutang dan bahkan lama dalam membayar hutang?


Dan Nabi tidak marah disikapi dengan kasar oleh si penagih hutang tadi, dan beliau melarang Sahabat marah pada si penagih.

Maka bagaimana dengan orang yang disebutkan dalam pertanyaan tadi justru marah² dan lupa bahwasanya si penagih hutang memang diberi hak untuk berbicara kasar?


والله تعالى أعلم بالصواب.

➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖


(Dijawab Oleh : Asy Syaikh Abu Fairuz Abdurrahman bin Soekojo Al Qudsiy Al Jawiy Hafidzahullah )

Hukum jual-beli secara borongan hasil pertanian

Pertanyaan dari akh Faturahman
Ust bagaimana hukumnya sistem memborong sawah yang sudah siap panen padi dengan harga tertentu misalnya 10 juta (istilah nya ngebas). Begitu di panen kadang terjual lebih kadang rugi.
Apakah termasuk jual beli ghoror.

Dan halal kah jika kita ikut kerja panen padi (derep) dengan keadaan yang demikian 

Jawabannya :

Pertanyaan ini mengandung dua sisi permasalahan :
• Hukum jual-beli secara borongan.
• Dan hukum jual-beli padi yang sudah nyata tuanya (siap panen) secara borongan.
*Pertama* : _Hukum jual-beli secara borongan._
Para ulama sepakat atas bolehnya jual-beli secara borongan atau taksiran. Hal ini berdasarkan hadits :
عَنِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: كُنَّا نَشْتَرِي الطَّعَامَ مِنَ الرُّكْبَانِ جِزَافًا فَنَهَانَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ أَنْ نَبِيْعَهُ حَتَّى نَنْقُلَهُ مِنْ مَكَانِهِ
Dari *Abdullah bin Umar* rodhiyallohu anhuma, dia berkata :
_“Dahulu kami (para sahabat) membeli makanan secara taksiran (borongan), kemudian Rasulullah melarang kami menjual lagi, sampai kami memindahkannya dari tempat membelinya.”_ (HR. *Muslim* no. 1526)
Makna dari جِزَافًا adalah : *jual-beli makanan tanpa ditakar, tanpa ditimbang, dan tanpa ukuran tertentu. Akan tetapi menggunakan sistem taksiran*, dan inilah makna jual-beli borongan !
Sisi pengambilan hukum dari hadits ini, adalah : *bahwa jual beli sistem borongan itu merupakan salah satu sistem jual-beli yang dilakukan oleh para Sahabat pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau tidak melarangnya.* Hanya saja, beliau melarang untuk menjualnya kembali, sampai memindahkannya dari tempat semula (tempat membelinya). Ini merupakan taqriri (persetujuan) beliau atas bolehnya jual-beli sistem tersebut !
Seandainya terlarang, pasti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam akan melarangnya dan tidak hanya menyatakan hal di atas !
*Al-Hafizh Ibnu Hajar* rohimahulloh berkata :
_“Hadits ini menunjukkan bahwa jual-beli makanan dengan sistem taksiran (borongan) itu hukumnya boleh !”_ ( *Fathul Bari*, no.4351)
*Imam Ibnu Qudamah* rohimahulloh juga berkata :
_”Kami tidak mengetahui adanya perselisihan/perbedaan pendapat para ulama dalam masalah ini.”_
(Lihat pula *Mausu’ah al-Manahi Syar’iyyah*(2/233) oleh Syaikh Salim bin Ied al-Hilali hafidzohulloh)
*Kedua* : _Jual beli padi yang sudah nyata tuanya (siap panen) secara borongan._
Untuk masalah ini, ada dua kemungkinan, yaitu:
a. Jika jual beli itu dilakukan saat padi (atau tanaman yang sejenisnya, misalnya kacang tanah, singkong, wortel, kentang dan lainnya) sudah dipanen dan sudah berada di atas tanah, maka hukumnya sebagaimana di atas (yakni boleh).
b. Jika masih berada dalam tanah, maka dalam masalah ini ada perselisihan di kalangan para ulama.
Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i, dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad menyatakan : *tidak memperbolehkan jual beli tersebut !*
Namun Imam Malik dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad berpendapat *bahwa hal itu boleh !*
Pendapat inilah yang dikuatkan oleh *Syekhul Islam Ibnu Taimiyyah* dan murid beliau, *Ibnul Qayyim* rohimahumalloh.
Letak permasalahannya adalah :
_"Apakah jual-beli padi dan yang semisalnya yang masih berada dalam tanah, termasuk jual -beli yang dilarang oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits berikut :
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ وَ عَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ
Dari Abu Hurairah, dia berkata : _“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli ghoror.”_ (HR. *Muslim* no. 1513)
Ghoror adalah jual beli yang terdapat unsur penipuan atau sesuatu yang tidak jelas di dalamnya. (Lihat *al-Manahi Syariyyah*, 2/205)
Pendapat yang rajih (kuat) dalam masalah ini, insya Allah adalah *yang membolehkan,* berdasarkan beberapa sebab, diantaranya adalah sebagai berikut :
• Jual-beli tersebut tidak termasuk dalam jual beli ghoror, karena *orang yang sudah berpengalaman*, akan mampu untuk mengetahui isi dan kadar tanaman tersebut, meskipun belum dicabut dari dalam tanah (dengan catatan, tanaman sdh siap panen/sdh menguning).
Misalnya, dengan melihat batang dan daunnya, maka bisa diprediksikan apakah biji-bijian tersebut bagus ataukah tidak. Juga dengan mencabut satu atau dua tanaman, akan bisa diprediksikan berapa jumlah yang akan dihasilkan dalam, sawah, kebun atau ladang tersebut.
• Jual-beli dengan cara tersebut sangat dibutuhkan oleh manusia, terutama yang mempunyai lahan yang luas, yang akan sangat menyulitkan sekali kalau diharuskan kita memanennya sendiri lebih dulu.
Oleh karena itu, kalau diharamkan, maka akan sangat memberatkan.
Padahal Alloh Subhanahu wa Ta’ala telah mencabut sesuatu yang berat dari syariat agama ini. Allah berfirman :
… وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّيْنِ مِنْ حَرَجٍ ….
_“…Dan tidaklah Allah menjadikan dalam agama Islam ini kesulitan bagi kalian…”_ (QS Al-Hajj : 78)
(Lihat : *Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah* (29/33), dan hal. 227, 487, dan *Zsadul Ma’aad* (5/920), oleh Imam Ibnul Qayyim rohimahulloh)
_Wallohu a'lamu bis showwab....._
Demikianlah pembahasan ini. Semoga bisa dipahami dan bermanfaat.
Allohu yubaarik fiikum.

Abu Abdirrohman Yoyok WN Surabaya.

_*NASEHAT UNTUK SEKIRANYA TIDAK MEMONDOKKAN ANAK SEBELUM MENCAPAI BALIGH*_

_*Telah Di Periksa Oleh Asy-Syaikh Abu Fairuz Abdurrohman Bin Soekojo Al Indonesiy حفظه الله تعالى*_                بِسْمِ اللّهِ الرَّحْمَن...