TIDAK BOLEH MENGAMBIL BARANG TEMUAN DI HARAM MAKKI DAN HARAM MADANI KECUALI BAGI ORANG YANG INGIN MENGUMUMKAN NYA, BERDASARKAN HADITS SHAHIH TENTANG ITU

Assalammualaikum ya ustadz hafizakAllah 

HayyakAllah
Mohon pencerahan nya ustadz, ketika check out dari hotel di makkah zaujah ana ada menjumpai sebotol minyak wangi kuantiti kecil dalam timbunan bag, di kiranya para jamaah yg punya setelah di tanyakan tiada siapa yg punya hinggalah di bawa ke madinah, setahu ana kita tidak boleh mengambil barangan temuan di tanah haram, jadi apa perlu ana lakukan Syaikh, hantar semula ke makkah atau tinggalkan saja di madinah?

Mohon faedahnya ustadz hafizhakALLAHu 

JazakAllahu khair wa BarakAllahu fiiq ya ustadz hafizakAllah


*JAWABAN :*

بسم الله الرحمن الرحيم

وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وبعد:

Tidak boleh mengambil barang temuan di haram makki dan haram madani kecuali bagi orang yang ingin mengumumkan nya, berdasarkan hadits shahih tentang itu. 

Nabi ﷺ berkata:

وَلَا تُلْتَقَطُ سَاقِطَتُهَا إِلَّا لِمُنْشِدٍ

barang temuannya tidak boleh diambil kecuali untuk diumumkan / dicari pemiliknya. 

HR. Al Bukhari dan Muslim

Yang wajib bagi orang yang menemukan barang temuan adalah

• mengumumkan nya, 
• atau ia biarkan / tidak mengambilnya

•• Dan sekiranya ia serahkan kepada badan/pihak/lembaga yang ditugaskan oleh pemerintah dalam urusan itu maka gugur tanggungjawab/kewajibannya untuk mengumumkan nya. 

Barakallahu fiikum


✍️ *Faedah dari Al Ustadz Abu Ubaiyd Fadhliy Al Bughisi حفظه الله تعالى di Majmu'ah روضة الطالبين منكوتانا*


╭─┅─═ঊঊঈ═─┅─╮
       SEBARKANLAH
       ENGKAU AKAN
       MENDAPATKAN
           PAHALANYA
╰─┅─═ঊঊঈ═─┅─╯

🅹🅾🅸🅽 🅲🅷🅰🅽🅽🅴🅻 🆃🅴🅻🅴🅶🆁🅰🅼
📡 https://t.me/fawaaidassunnah

Web : https://bit.ly/Fawaaidassunnah



#faedah #barang #temuan

PARA ULAMA TELAH MENYEBUTKAN SYARAT-SYARAT SESEORANG WAJIB MENUNAIKAN IBADAH HAJI DAN APABILA SYARAT TERSEBUT TIDAK TERPENUHI MAKA BELUM ADA KEWAJIBAN HAJI BAGI NYA

Afwan Ustadz ada titipan pertanyaan dr ikhwah dsni

Afwan akhi, mama ana mendaftar haji awalnya sama kakek ana.. Tp qadarAllah kakek ana sdh meninggal, jd kalo misal tahun depan ma2 ana kena giliran otomatis berangkat nya sendirian dan kalo disuruh mahramnya harus mendampingi ana atau keluarga yg lain blom ada biayanya dan blom ada mendaftar jua, apa hukumnya akhi? Ma2 ana tdk boleh berangkat kah berarti walaupun sdh dpt giliran misal?

*JAWABAN :*

بسم الله الرحمن الرحيم


الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وبعد:

Allah ﷻ berkata :

وَلِلَّهِ عَلَى ٱلنَّاسِ حِجُّ ٱلۡبَیۡتِ مَنِ ٱسۡتَطَاعَ إِلَیۡهِ سَبِیلࣰاۚ وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ ٱللَّهَ غَنِیٌّ عَنِ ٱلۡعَـٰلَمِینَ

Dan (di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, yaitu bagi orang-orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana.Barang siapa mengingkari (kewajiban) haji, maka ketahuilah bahwa Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari seluruh alam [Surat Ali 'Imran: 97]

Ayat ini adalah diantara dalil yang menunjukkan tentang wajibnya haji.

Para ulama telah menyebutkan syarat-syarat seseorang wajib menunaikan ibadah yang agung ini, dan apabila syarat tersebut tidak terpenuhi maka belum ada kewajiban haji bagi nya.

Syarat-syarat itu sebagai berikut:

1️⃣ Islam, Allah berkata :

وَمَا مَنَعَهُمۡ أَن تُقۡبَلَ مِنۡهُمۡ نَفَقَـٰتُهُمۡ إِلَّاۤ أَنَّهُمۡ كَفَرُوا۟ بِٱللَّهِ وَبِرَسُولِهِۦ

Dan yang menghalang-halangi infak mereka untuk diterima adalah karena mereka kafir (ingkar) kepada Allah dan Rasul-Nya [Surat At-Taubah: 54]

2️⃣ & 3️⃣ Baligh dan berakal, Nabi ﷺ berkata:

رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثَةٍ عَنْ الْمَجْنُونِ الْمَغْلُوبِ عَلَى عَقْلِهِ حَتَّى يَفِيقَ وَعَنْ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنْ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ

Pena pencatat amal itu diangkat dari tiga golongan; orang gila hingga ia waras, orang tidur hingga ia terbangun dan anak kecil hingga bermimpi basah(baligh). HR. Abu Dawud dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu.

• seorang yang belum baligh (Anak-anak) tidak wajib berhaji, akan tetapi apabila ia berhaji maka hajinya sah dan ia mendapat pahala,

~ Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma beliau berkata:

رَفَعَتْ امْرَأَةٌ صَبِيًّا لَهَا فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلِهَذَا حَجٌّ قَالَ نَعَمْ وَلَكِ أَجْرٌ

Ada seorang wanita yang  mengangkat anak kecilnya lalu bertanya,

"Wahai Rasulullah, apakah anak kecil ini juga bisa menunaikan haji.

" Beliau menjawab: "Ya, dan kamu juga mendapatkan pahala."

4️⃣. Merdeka, seorang budak tidaklah wajib berhaji sebab ia tersibukkan dengan kewajibannya terhadap tuan nya.

5️⃣. Mampu

Dan mampu yang dimaksud disini adalah kemampuan dari sisi fisik dan harta,

berdasarkan ayat pertama diatas.

▪️ Adapun mampu secara fisik yaitu sehat jasmani, dan mampu memikul beban safar ke Baitullah.

▪️Adapun kemampuan harta,  maka ia memiliki harta yang dengannya ia sampai Baitullah  pulang pergi, dan harta untuk memenuhi kebutuhan siapa yang wajib ia nafkahi selama perjalanannya. (Seperti Nafkah untuk anak isterinya yang ditinggalkan nya)

📝 *Orang yang mampu harta namun tidak mampu fisik.*

• apabila ia menderita penyakit yang diharapkan kesembuhannya, maka kewajiban haji berlaku saat dia sudah sembuh dari sakitnya itu.

•• namun apabila ia menderita penyakit permanen atau lanjut usia, sementara dia memiliki harta untuk berhaji, maka hendaklah ia mengeluarkan hartanya untuk seseorang melakukan haji untuknya walaupun dengan upah _sebaiknya diberi kepada seseorang yang telah berhaji_.

~ Berdasarkan hadits Ibnu Abbas radhiallahu anhuma, beliau menceritakan tentang seorang wanita yang bertanya kepada Rasulullah ﷺ dan berkata:

يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ فَرِيضَةَ اللَّهِ عَلَى عِبَادِهِ فِي الْحَجِّ أَدْرَكَتْ أَبِي شَيْخًا كَبِيرًا لَا يَثْبُتُ عَلَى الرَّاحِلَةِ أَفَأَحُجُّ عَنْهُ


Wahai Rasulullah, sesungguhnya kewajiban dari Allah untuk berhaji bagi hamba-hambaNya datang saat bapakku sudah tua renta dan dia tidak akan kuat menempuh perjalanannya. Apakah aku boleh menghajikan atas namanya?".

Beliau menjawab: "Ya". HR. Al Bukhari

▪️ Adapun seorang wanita, maka selain syarat mampu fisik dan harta, juga dipersyaratkan baginya disertai oleh mahram nya atau suami nya, apabila tidak ada maka belum ada kewajiban atasnya,

• berdasarkan hadits Abdullah bin Abbas radhiallahu anhuma beliau berkata, Rasulullah ﷺ berkata:

لَا يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ وَلَا تُسَافِرَنَّ امْرَأَةٌ إِلَّا وَمَعَهَا مَحْرَمٌ فَقَامَ رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ اكْتُتِبْتُ فِي غَزْوَةِ كَذَا وَكَذَا وَخَرَجَتْ امْرَأَتِي حَاجَّةً قَالَ اذْهَبْ فَحُجَّ مَعَ امْرَأَتِكَ

Janganlah sekali-kali seorang laki-laki berkholwat (berduaan) dengan seorang wanita dan janganlah sekali-kali seorang wanita bepergian kecuali bersama mahramnya".

Lalu ada seorang laki-laki yang bangkit seraya berkata:

"Wahai Rasulullah, aku telah mendaftarkan diriku untuk mengikuti suatu peperangan sedangkan isteriku pergi menunaikan haji".

Maka Beliau bersabda:

"Tunaikanlah haji bersama isterimu". HR. Al Bukhari dan Muslim.

🔸 Berdasarkan hal ini, maka ibu saudara belum boleh berangkat dan belum wajib berhaji sekalipun sudah dapat giliran, kecuali bersama dengan walinya/mahramnya.

⚠️ Sebagian wanita bergampang-gampangan dalam hal ini, dan ia safar tuk haji atau umrah tanpa disertai oleh mahramnya atau bersama yang bukan mahramnya atau bersama sekelompok wanita,  dan semua ini haram.

*Dan dikhawatirkan haji atau umrahnya tidak mabrur.*

*Sebab haji mabrur itu adalah haji yang tidak tercampur dengan dosa.*

*Sementara wanita itu berdosa dalam safarnya itu hingga dia pulang*. Allahul Musta'an

✏️ Tapi berdasarkan data dan informasi yang sampai ke saya _barakallah fiikum_ seseorang  yang telah mendaftar haji kemudian meninggal dunia atau sakit permanen maka bisa digantikan oleh ahli warisnya.

Maka coba di proses, jika benar seperti itu dan masih mendapatkan pelayanan, semoga saudara bisa berhaji bersama dengan ibu nya.

Barakallah fiikum



✍️ *Faedah dari Al Ustadz Abu Ubaiyd Fadhliy Al Bughisi حفظه الله تعالى di Majmu'ah روضة الطالبين منكوتانا*





╭─┅─═ঊঊঈ═─┅─╮ 
       SEBARKANLAH 
       ENGKAU AKAN 
       MENDAPATKAN 
           PAHALANYA 
╰─┅─═ঊঊঈ═─┅─╯ 

 🅹🅾🅸🅽 🅲🅷🅰🅽🅽🅴🅻 🆃🅴🅻🅴🅶🆁🅰🅼 
📡 https://t.me/fawaaidassunnah

Web : https://bit.ly/Fawaaidassunnah 


#faedah #haji #mahrom

Hukum Terlambatnya Makmum Dari Mengikuti Imam Dalam Sholat

Disusun Oleh Al Faqir Ilallohi ta’ala:
Abu Fairuz Abdurrohman bin Soekojo ‘afallohu ‘anhu di Yaman

بسم الله الرحمن الرحيم

Pengantar Penulis

:الحمد لله وأشهد أن لا إله إلا الله وأن محمدا عبده ورسوله صلى الله عليه وآله وسلم، أما بعد

Sesungguhnya ada pertanyaan yang isinya adalah:
Apa hukum terlambatnya makmum dari mengikuti imam dalam satu rukun atau lebih dalam sholat mereka?

Maka dengan memohon pertolongan pada Alloh saya menjawab:

Sesungguhnya para ulama memiliki beberapa pendapat dalam masalah ini. Dan saya akan menyebutkan yang nampak paling kuat. Barangsiapa memilih pendapat yang lain karena lebih kuat baginya, dipersilakan.

Sesungguhnya dalam masalah ini ada perincian. Jika si makmum tertinggal dari imamnya dalam satu rukun atau lebih di dalamnya sholatnya karena suatu udzur, maka hendaknya dia segera menyempurnakan rukun-rukun yang tertinggal tadi, sampai dia berhasil menyusul sang imam.

Manshur Al Bahutiy Al Hanbaliy rohimahulloh berkata: “Dan jika makmum tertinggal satu rukun dari imamnya tanpa udzur, maka hukumnya sebagaimana telah tersebut di muka dia tertinggal satu ruku’ tanpa udzur, batallah sholatnya. Tapi jika tidak demikian, yaitu dia tertinggal satu rukun karena udzur berupa mengantuk atau lupa atau berdesak-desakannya jamaah (sehingga dia susah untuk ruku’ dan sebagainya sehingga tertinggal), jika dia mengerjakan rukun yang tertinggal tadi dan dia menyusul sang imam, rekaatnya tadi sudah sah. Dan itu memang harus dia kerjakan, jika memungkinkan baginya untuk mengejar sang imam tanpa melakukan perkara yang terlarang (tanpa meninggalkan satu rukunpun).” 

(“Syarh Muntahal Irodat”/1/hal. 266).

Al Khothib Muhammad bin Ahmad Asy Syarbiniy Asy Syafi’iy rohimahulloh berkata: “Adapun jika dia tertinggal kurang dari satu rukun, seperti: sang imam ruku’ duluan sebelum makmum, lalu sang makmum menyusulnya sebelum imam mengangkat kepalanya dari ruku’, atau sang makmum tertinggal satu rukun karena suatu udzur, maka tidaklah sholatnya itu batal. Ini pasti.” 

(“Mughnil Muhtaj Ila Ma’rifati Ma’ani Alfazhil Minhaj”/1/hal. 506).

Tapi jika si makmum tertinggal dari sang imam karena udzur, dan dia mampu untuk menunaikan rukun-rukun yang luput, tapi dia tidak melakukannya dan bahkan dia bersegera untuk mengikuti sang imam dengan masuk ke rukun yang sang imam ada di dalamnya, maka sholatnya sah, tapi rekaat cacat dari sang makmum tadi batal karena dia belum menunaikan rukun-rukun yang tertinggal tadi. Maka dia harus bangkit untuk membayar rekaat yang tidak teranggap tadi.

Manshur Al Bahutiy Al Hanbaliy rohimahulloh berkata: “Dan jika tidak demikian, yaitu dia tidak menunaikan rukun yang tertinggal tadi tapi dia langsung menyusul sang imam, karena tidak memungkinkan baginya untuk itu, maka rekaatnya yang dia tertinggal dalam rukun itu tadi, tidak teranggap, maka dia harus membayar rekaat tersebut dengan mendatangkan gantinya (menambah satu rekaat).” 

(“Syarh Muntahal Irodat”/1/hal. 266).

Dan jika si makmum tertinggal dari imamnya dengan sengaja dalam satu rukun, lalu dia menyusul sang imam sebelum sang imam berpindah ke rukun yang berikutnya, sholat si makmum sah, tapi makruh atau dosa karena dia menyelisihi perintah Nabi shollallohu ‘alaihi waalihi wasallam untuk mengikuti imam tanpa penundaan.

Dari Anas bin Malik rodhiyallohu ‘anhu : dari Rosululloh shollallohu ‘alaihi waalihi wasallam yang bersabda:

«إنما جعل الإمام ليؤتم به، فإذا كبر فكبروا، وإذا ركع فاركعوا، وإذا سجد فاسجدوا، وإن صلى قائما فصلوا قياما». (أخرجه البخاري (378) ومسلم (411))

“Hanyalah imam itu dijadikan untuk diikuti. Maka jika dia bertakbir, maka bertakbirlah kalian, dan jika dia ruku’ maka ruku’lah kalian, dan jika dia sujud maka sujudlah kalian, dan jika dia sholat berdiri, maka sholatlah dengan berdiri.” 

(HR. Al Bukhoriy (378) dan Muslim (411)).

Dan huruf Fa (ف) menunjukkan menyusulnya amalan yang berikutnya dengan tanpa penundaan, sebagaimana ucapan Al Imam Ibnu Malik rohimahulloh: “Huruf Fa itu menunjukkan urutan perbuatan secara bersambung.”

Al Hasan bin Qosim Al Mishriy rohimahulloh berkata: “Yaitu: tanpa penundaan. Maka Fa itu untuk menunjukkan menyusulnya amalan yang berikutnya. Dan ini adalah pendapat mayoritas ulama.” 

(“Taudhihul Maqoshid Wal Masalik Bi Syarh Alfiyyah Ibni Malik”/2/hal. 998).

Al Imam Ibnu Baz rohimahulloh berkata: Maka yang wajib bagi makmum adalah mengikut imam secara beruntun. Jika suatu imam telah berhenti (berhenti takbir, misalkan), maka makmum bersegera mengikutinya, berdasarkan sabda Nabi shollallohu ‘alaihi waalihi wasallam:

«إنما جعل الإمام ليؤتم به، فلا تختلفوا عليه، فإذا كبر فكبروا، ولا تكبروا حتى يكبر، وإذا ركع فاركعوا، ولا تركعوا حتى يركع، وإذا قال: سمع الله لمن حمده. فقولوا: ربنا ولك الحمد. وإذا سجد فاسجدوا، ولا تسجدوا حتى يسجد»

“Hanyalah imam itu dijadikan untuk diikuti. Maka janganlah kalian berselisih terhadapnya. Maka jika dia bertakbir, maka bertakbirlah kalian, dan jika dia ruku’ maka ruku’lah kalian, dan janganlah kalian ruku’ sampai dia ruku’. Dan jika dia berkata: “Sami’allohu liman hamidah” maka ucapkanlah: “Robbana walakal hamd.” Dan jika dia sujud maka sujudlah kalian, dan janganlah kalian sujud sampai dia sujud.”

Maka sabda beliau: “Maka jika dia bertakbir, maka bertakbirlah kalian, dan jika dia ruku’ maka ruku’lah kalian” dan seterusnya, maknanya adalah mengikuti imam secara beruntun, karena huruf Fa pada ucapan beliau (فكبروا) “Maka bertakbirlah” menurut para ulama maknanya adalah mengikuti imam secara beruntun, tanpa ditunda-tunda. Akan tetapi janganlah dia ruku’ sampai suara takbir imam itu berhenti. Demikian pula dia jangan mengangkat kepala sampai suara tasmi’ imam itu berhenti. Demikian pula dia jangan sujud sampai imam berhenti bertakbir, setelah suara takbir imam itu berhenti. Lalu barulah dia mengikuti sang imam. Demikian caranya.”

-sampai pada ucapan beliau:-

“Yang penting adalah si makmum bersungguh-sungguh mengikuti imam tanpa menunda-nunda. Jika dia menunda sedikit, maka itu tidak membahayakannya selama dia masih mengikutinya, ruku’ bersamanya, sujud bersamanya, itu tidak membahayakannya. Demikian pula jika dia menunda sebentar ketika salam, hal itu tidak membahayakannya. Hanya saja yang disunnahkan adalah: dia bersegera, jika imam ruku’ maka makmum ruku’ dan jika imam takbir, makmum takbir. Secara bersambung, tanpa bersamaan dengan imam, dan tanpa mendahuluinya, tapi melakukan itu setelah amalan sang imam secara beruntun.”

(selesai dari “Fatawa Nur ‘Alad Darb”/Ibnu Baz/12/hal. 360-361).

Dan jika si makmum tertinggal dari imamnya secara sengaja sebanyak satu rukun atau lebih, sholatnya batal menurut pendapat yang benar, karena orang ini sengaja membikin cacat dalam jama’ah sholat. Manshur Al Bahutiy Al Hanbaliy rohimahulloh berkata: “Dan jika makmum tertinggal dari sang imam tanpa udzur sebanyak dua rukun, batallah sholatnya karena dia meninggalkan keharusan mengikuti imam tanpa udzur, mirip dengan memutuskan sholat. Jika dia tertinggal dua rukun karena suatu udzur seperti mengantuk atau lupa atau berdesak-desakannya jamaah (sehingga dia susah untuk ruku’ dan sebagainya sehingga tertinggal), sholatnya tidak batal kaena udzur tadi. Tapi dia harus mengerjakan rukun yang tertinggal tadi dan menyusul imamnya jika aman dari ketertinggalan dari rukun yang berikutnya lagi. Jika makmum yang udzur tadi tidak mengerjakan rukun yang tertinggal tersebut padahal dia aman dari ketertinggalan dari rekaat yang berikutnya lagi andaikata dia mengerjakan rukun yang tertinggal, maka batallah sholatnya. Jika tidak demikian, yaitu dia (langsung mengikuti imam karena) khawatir jika dia mengerjakan rukun yang tertinggal akibatnya dia akan ketinggalan rekaat yang berikutnya lagi, maka rekaat yang di situ dia tertinggal dari mengerjakan rukun-rukun tadi menjadi batal, dan rekaat yang berikutnya menjadi penggantinya, dia membangun sholatnya dengan urutan semacam tadi, lalu jika imam mengucapkan salam, sang makmum tadi bangkit untuk menyempurnakan rekaat yang kurang tadi.” 

(“Syarh Muntahal Irodat”/1/hal. 266).

Dan jika si makmum tertinggal dari imamnya secara sengaja sebanyak satu rukun atau lebih, sholatnya batal menurut pendapat yang benar, karena orang ini sengaja membikin cacat dalam jama’ah sholat.
Manshur Al Bahutiy Al Hanbaliy rohimahulloh berkata: “Dan jika makmum tertinggal dari sang imam tanpa udzur sebanyak dua rukun, batallah sholatnya karena dia meninggalkan keharusan mengikuti imam tanpa udzur, mirip dengan memutuskan sholat. Jika dia tertinggal dua rukun karena suatu udzur seperti mengantuk atau lupa atau berdesak-desakannya jamaah (sehingga dia susah untuk ruku’ dan sebagainya sehingga tertinggal), sholatnya tidak batal kaena udzur tadi. Tapi dia harus mengerjakan rukun yang tertinggal tadi dan menyusul imamnya jika aman dari ketertinggalan dari rukun yang berikutnya lagi. Jika makmum yang udzur tadi tidak mengerjakan rukun yang tertinggal tersebut padahal dia aman dari ketertinggalan dari rekaat yang berikutnya lagi andaikata dia mengerjakan rukun yang tertinggal, maka batallah sholatnya. Jika tidak demikian, yaitu dia (langsung mengikuti imam karena) khawatir jika dia mengerjakan rukun yang tertinggal akibatnya dia akan ketinggalan rekaat yang berikutnya lagi, maka rekaat yang di situ dia tertinggal dari mengerjakan rukun-rukun tadi menjadi batal, dan rekaat yang berikutnya menjadi penggantinya, dia membangun sholatnya dengan urutan semacam tadi, lalu jika imam mengucapkan salam, sang makmum tadi bangkit untuk menyempurnakan rekaat yang kurang tadi.” 

(“Syarh Muntahal Irodat”/1/hal. 266).

Al Khothib Muhammad bin Ahmad Asy Syarbiniy Asy Syafi’iy rohimahulloh berkata: “…Atau dia tertinggal dalam dua rukun yang sifatnya adalah amalan anggota badan, misalnya sang imam telah selesai dalam dua rukun, tapi si makmum ini masih belum masuk ke dalam dua rukun itu. Misalnya adalah: sang imam memulai masuk ke sujud, sementara si makmum masih berdiri membaca Al fatihah. Jika si makmum tidak punya udzur, misalkan: dia tertinggal membaca surat atau tasbih ruku’ dan sujud, batallah sholatnya karena banyaknya penyelisihan dia terhadap imam (tanpa udzur), sama saja apakah dua rukun tadi panjang ataukah pendek.” 

(“Mughnil Muhtaj Ila Ma’rifati Ma’ani Alfazhil Minhaj”/1/hal. 506).

Al Imam Ibnu Utsaimin rohimahulloh berkata: “Adapun ketertinggalan dari imam itu terbagi menjadi dua macam:

Yang pertama: Dia berhasil mendapati sang imam di dalam rukun yang dia tertinggal oleh sang imam. Maka sholatnya itu sah. Misalnya: dia tertinggal dari sang imam di dalam sujud, tapi dia bisa bersujud juga sebelum sang imam mengangkat kepalanya. Maka sholatnya sah. Tapi ketertinggalannya tadi menyelisihi sunnah, karena yang disunnahkan adalah: bersegera mengikuti imam.

Yang kedua: dia tidak bisa menyusul imam dalam rukun tadi, di mana sang imam meninggalkan rukun tadi sebelum sang makmum sampai ke rukun itu. Jika hal itu terjadi karena udzur, hendaknya sang makmum segera menjalankan rukun yang tertinggal tadi. Kecuali jika sampai sang imamnya mencapai tempat tertinggalnya si makmum, maka dia hendaknya dia tetap bersama sang imam (jangan membayar dulu ketertinggalannya), dan jadilah dia punya “rekaat tempelan” (dia baru punya satu rekaat, sementara imamnya punya dua rekaat).

Contohnya adalah: 

makmum tidak mendengar takbir imamnya untuk ruku’. Makanakala si imam berkata” “Sami’allohu liman hamidah” ketika itulah sang makmum mendengarnya dan mengejar sang imam. Tapi imamnya belum mencapai tempat tertinggalnya si makmum (belum masuk ke rekaat yang berikutnya lagi).

Contoh yang lain: 

makmum tidak mendengar takbir imamnya untuk ruku’ di rekaat pertama, sehingga si makmum masih terus berdiri hingga imamnya bangkit lagi ke rekaat kedua. Maka ketika itu dia bersama imamnya masih bersama imamnya, tapi rekaat kedua imamnya adalah rekaat pertama si makmum. Dan jadilah rekaat makmum gabungan dari dua rekaat imamnya: rekaat pertama dan kedua, karena imamnya telah mencapai tempat tertinggalnya si makmum.

Dan jika ketertinggalan dia dari imamnya itu bukan karena udzur, maka hal itu seperti kasus terdahulu dengan perincian yang telah lewat. Dan tidaklah tersamarkan bahwasanya yang benar adalah bahwasanya sholatnya itu batal jika dia tertinggal satu rukun atau lebih tanpa udzur. Sama saja apakah rukunnya tadi adalah ruku’ ataukah yang lainnya. Wallohu a’lam.

(selesai dari “Majmu’ fatawa Wa Rosail Al ‘Utsaimin”/15/hal. 114-115).

Dan bagaimana jika keterlambatan si makmum dari imamnya itu dikarenakan dia menyempurnakan Al Fatihah?

Al Imam Ibnu Baz rohimahulloh ditanya: sebagian orang memperpanjang bacaan Al Fatihah, akibatnya saat imam ruku’ si makmum masih terus berdiri membaca Al Fatihah. Dan ketika si imam bangkit dari ruku’, mulailah si makmum ruku’. Dan telah luput darinya ruku’ bersama imam. Apa hukum sholat mereka?

Maka beliau rohimahulloh menjawab: “Itu tidak boleh. Wajib bagi makmum jika imamnya ruku’ untuk dirinya ruku’ juga, berdasarkan sabda Nabi shollallohu’alaihi wasallam:

وإذا ركع فاركعوا، وإذا سجد فاسجدوا». (أخرجه البخاري (378) ومسلم (411)

“Hanyalah imam itu dijadikan untuk diikuti. Maka jika dia bertakbir, maka bertakbirlah kalian, dan jika dia ruku’ maka ruku’lah kalian, dan jika dia sujud maka sujudlah kalian.” (HR. Al Bukhoriy (378) dan Muslim (411)).

Maka jika imamnya ruku’, telah gugurlah dari sang makmum sisa kewajiban untuk membaca Al Fatihah, sebagaimana jika dirinya datang dalam keadaan sang imam ruku’ maka dia harus ruku’ bersama imam, dan gugurlah darinya kewajiban Al Fatihah. Ini berdasarkan hadits Abi Bakroh dalam Shohihul Bukhoriy rohimahulloh, bahwasanya Abu Bakroh rodhiyallohu ‘anh datang dalam keadaan imam ruku’ –Nabi ‘alaihish sholatu wassalam ruku’-, maka diapun ruku’ sebelum sampai ke shof, lalu dia masuk ke dalam shof. Manakala Nabi shollallohu’alaihi wasallam mengucapkan salam, beliau bersabda padanya:

«زادك الله حرصا، ولا تعد»

“Semoga Alloh menambahimu semangat. Dan janganlah engkau ulangi hal itu.”
Dan beliau tidak memerintahkan dia untuk membayar sholat. Maka yang demikian itu menunjukkan sahnya sholat dia, karena dia mendapatkan udzur, karena manakala telah luput darinya kesempatan berdiri, gugurlah darinya kewajiban Al Fatihah.
Dan demikianlah makmum jika sang imam telah ruku sebelum si makmum menyempurnakan Al Fatihah, hendaknya si makmum ruku’ bersama imamnya dan telah gugur darinya kewajiban sisa bacaan Al Fatihah. Dan dia harus memperhatikan yang demikian itu saat dia berdiri agar dia bisa membaca Al Fatihah (dengan sempurna) sebelum ruku’nya sang imam. Hendaknya dia memulai bacaan Al Fatihah di awal rekaat sehingga dia bisa membacanya sebelum imamnya ruku’, dan janganlah dia meremehkan masalah ini.”

(selesai dari “Fatawa Nur ‘Alad Darb Ibni Baz”/12/hal. 363-365).

Al Imam Ibnu Utsaimin rohimahulloh ditanya: apa hukum orang yang meninggalkan Al Fatihah di sebagian rekaat karena lupa? Dan Apa hukumnya jika dia mendapati imam sedang ruku’? dan jika orang yang sholat itu meninggalkan Fatihah dengan sengaja, apa hukumnya? Dan apa hukum orang yang sholat empat rekaat bersama jama’ah sejak awal sholat, manakala sang imam salam orang ini berdiri dan mengadakan rekaat kelima, manakala sang imam menanyakan hal itu kepadanya dia menjawab: “Karena saya di rekaat ketiga belum sempat membaca Al Fatihah, maka saya mendatangkan rekaat kelima sebagai ganti darinya”? Maka beliau menjawab: Jawaban untuk masalah yang pertama: jika si makmum meninggalkan Al Fatihah karena lupa di sebagian rekaat sholat, jika kita berkata bahwasanya bacaan tadi sunnah saja untuk makmum sebagaimana madzhab Hanabilah, maka dia tidak perlu mengulang rekaat yang di situ dia meninggalkan Al Fatihah. Tapi jika kita mengatakan bahwasanya bacaan Al Fatihah adalah rukun, dan itulah yang benar, dia wajib mengulang kembali rekaatnya sebagaimana jika dia sendirinya atau sebagai imam. Adapun jika dia mendapati sang imam sedang ruku’, maka kewajiban membaca Al Fatihah itu gugur darinya ketika itu, karena tempat bacaan Al Fatihah adalah saat berdiri, sementara kewajiban berdiri telah gugur darinya saat itu dalam rangkan menjalankan kewajiban untuk mengikuti imam. Maka gugur pula kewajiban bacaan Al Fatihah dengan luputnya tempat bacaan tadi.

(kita masuk ke jawaban Syaikh Ibnu Baz) Beliau rohimahulloh menjawab: jika si makmum mengantuk dan masih terus dalam posisi duduknya sampai sang imam ruku’, dia harus bangkit dan ruku’ bersama imam. Jika imam mendahuluinya, dia harus ruku’ sampai bisa menyusul sang imam, sujud bersamanya. Ruku’ lalu bangkit dari ruku, lalu menyusul sang imam. Sholatnya tetap sah jika kantuknya itu sedikit dan tidak menghilangkan fungsi indera perasanya. Dia masih punya sebagian kesadaran, masih agak terjaga, hanya saja dia tidak sadar untuk bertakbir. Dia tidak tenggelam dalam tidur. Adapun jika dia tenggelam dalam tidurnya, maka sholatnya batal. Yaitu: dia wajib mengulang sholatnya dari awalnya, karena tidur itu membatalkan wudhu jika sampai meneggelamkan kesadarannya. Adapun jika mengantuk saja, yaitu tidur ringan, tidak sampai menenggelamkannya, maka dia harus segera mengejar sang imam, dan telah gugur darinya kewajiban Al Fatihah, karena dia dalam kondisi tadi tidak sengaja meninggalkan Al Fatihah, hanya saja dia diserang oleh tidur.” 

(selesai dari “Fatawa Nur ‘Alad Darb”/Ibnu Baz/12/hal. 365-366).

Bagaimana jika si makmum tertinggal dari imam disebabkan oleh amalan mustahab, semisal: duduk istirahat? Ketahuilah bahwasanya mengikuti gerakan imam itu wajib, sementara duduk istirahat itu mustahab. Maka jika imam bangkit dan tidak duduk istirahat –sang imam meninggalkan salah satu amalan mustahab- maka makmum sebaiknya duduk istirahat sebentar jika memungkinkan untuk mengamalkan sunnah tadi. Tapi jika dia khawatir duduknya tadi menyebabkan dirinya banyak tertinggal dari sang imam, dia harus segera berdiri dan mengejar imamnya, karena yang demikian itu lebih utama daripada duduk istirahat. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rohimahulloh berkata tentang masalah ini: “Pendapat yang terkuat adalah: bahwasanya mengikuti imam itu lebih utama daripada tertinggal karena mengerjakan amalan mustahab.” 

(“Majmu’ul Fatawa”/22/hal. 452).

والله تعالى أعلم بالصواب، والحمد لله رب العالمين

Shon’a 16 Jumadal Ula 1436 H

╭─┅─═ঊঊঈ═─┅─╮ 

       SEBARKANLAH 
       ENGKAU AKAN 
       MENDAPATKAN 
           PAHALANYA 
╰─┅─═ঊঊঈ═─┅─╯ 

 🅹🅾🅸🅽 🅲🅷🅰🅽🅽🅴🅻 🆃🅴🅻🅴🅶🆁🅰🅼 

Berhutang Atau Berniaga Lebih Baik Daripada Meminta-minta

Berhutang Atau Berniaga Lebih Baik Daripada Meminta-minta Ditulis oleh: Abu Fairuz Abdurrohman Al Qudsy Al Jawy Al Indonesy -semoga Alloh me...