FIQIH JENAZAH (2) Memandikan Jenazah


FIQIH JENAZAH (2) Memandikan Jenazah



بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله، وعلى آله وصحبه ومن والاه، أما بعد

Alhamdulillah, telah dibahas pada bagian pertama risalah ini tentang apa yang dilakukan oleh keluarga si mayit atau yang hadir ketika itu, baik pada saat menjelang kematian atau setelahnya disertai dengan hal-hal yang tidak diperkenankan untuk dilakukan, baik berupa kebid'ahan atau kemaksiatan yang sering dilakukan.

Pada bagian kedua ini, akan dibahas amalan selanjutnya yang wajib dilakukan dalam pengurusan jenazah yaitu tata cara memandikan jenazah. Semoga Alloh ta'ala memberikan petunjuk dan hidayah-Nya kepada kita semua.

Hukum memandikan jenazah

Ketika si mayit telah meninggal, maka wajib kifayah atas sebagian kaum muslimin untuk segera memandikannya (pendapat jumhur ulama). Adapun dalil tentang kewajiban memandikan jenazah terdapat dalam hadits-hadits yang banyak diantaranya:

Hadits Ibnu Abbas rodhiyallohu 'anhuma:

بينما رجل واقف بعرفة، إذ وقع عن راحلته فوقصته، أو قال: فأقعصته، فقال النبي صلى الله عليه وسلم: اغسلوه بماء وسدر...الحديث

"Ketika seseorang tengah melakukan wukuf di Arofah, tiba-tiba dia terjatuh dari hewan tunggangannya dan patah lehernya sehingga meninggal. Maka Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam berkata: "Mandikanlah ia dengan air campur sidr (bidara)…" 

(HR. Bukhori)

Hadits Ummu 'Athiyah rodhiyallohu 'anha:

دخل علينا النبي صلى الله عليه وسلم، ونحن نغسل ابنته (زينب)، فقال: اغسلنها ثلاثا، أو خمسا أو أكثر من ذلك، إن رأيتن ذلك...الحديث

"Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam memasuki tempat kami, sedangkan kami tengah memandikan jenazah anak beliau (yaitu Zainab). Maka beliau bersabda: "Mandikanlah dia dengan tiga atau lima atau lebih jika hal itu diperlukan…" 

(HR. Bukhori dan Muslim)

Cara memandikan jenazah

Secara umum, cara memandikan jenazah adalah seperti mandi junub berdasarkan kesepakatan ulama (ijma'). 

(Al Ijma', Ibnul Mundzir tahqiq Al Barudiy, no. 79; Al Mulakkhosh, hal. 20-21)

Hadits Ummu 'Athiyah rodhiyallohu 'anha yang diriwayatkan oleh Bukhori, Muslim dan selainnya termasuk hadits-hadits yang berisi pedoman tata cara memandikan jenazah secara terperinci. Beliau rodhiyallohu 'anha berkata:

دخل علينا النبي صلى الله عليه وسلم، ونحن نغسل ابنته (زينب)، فقال: اغسلنها ثلاثا، أو خمسا، أو أكثر من ذلك، إن رأيتن ذلك، قالت: قلت: وترا؟ قال: نعم، واجعلن في الاخرة كافورا أو شيئا من كافور، فإذا فرغتن فآذني، فلما فرغنا آذناه، فألقى إلينا حقوه، فقال: أشعرنها إياه -تعني إزاره-، قالت: ومشطناها ثلاثة قرون، -وفي رواية: نقضنه ثم غسلنه- فضفرنا شعرها ثلاثة أثلاث: قرنيها وناصيتها وألقيناها، قالت: وقال لنا: ابدأن بميامنها ومواضع الوضوء منها

"Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam memasuki tempat kami dan kami sedang memandikan jenazah anak beliau (yaitu Zainab). Maka beliau bersabda: "Mandikanlah dia tiga atau lima atau lebih jika hal itu diperlukan. Aku (Ummu 'Athiyah) bertanya: "Apakah jumlahnya ganjil?" Beliau menjawab: "Ya. Jadikanlah basuhan terakhir dicampur dengan kapur barus. Jika kalian telah selesai, maka panggil aku." Setelah kami selesai, kami panggil beliau. Maka Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam melemparkan sarung beliau kepada kami seraya berkata: "Pakaikan sarung itu padanya." Ummu 'Athiyah berkata: "Kami sisir rambutnya menjadi tiga bagian." Dalam riwayat lain: "Kami urai rambutnya, lalu kami cuci. Kemudian kami bagi menjadi tiga bagian, samping kanan-kiri dan satu bagian atasnya. Lalu kami letakkan ke belakang." Setelah itu beliau bersabda kepada kami: "Mulailah memandikannya dari bagian kanannya dahulu dan anggota wudhunya." 

(HR. Bukhori, Muslim, Abu Dawud, Nasa'i, Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad)

Berdasarkan hadits-hadits tersebut dan semisalnya, maka tata cara memandikan jenazah dapat disimpulkan sebagai berikut:

Langkah pertama: Persiapan air untuk memandikan jenazah dengan dicampur dengan daun sidr (bidara) atau penggantinya seperti sabun atau pembersih lainnya. Air yang dipakai untuk memandikan jenazah adalah air dengan suhu normal, tidak panas (pendapat jumhur ulama). Hal ini karena air yang panas akan melembekkan tubuh si mayit. Air hangat atau panas hanya digunakan jika diperlukan untuk menghilangkan kotoran yang sulit dibersihkan dengan air dingin. Demikian juga ketika Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam meminta shohabat untuk memandikan jenazah anak beliau, tidaklah memerintahkan untuk menggunakan air hangat atau panas. Hal ini menunjukkan bahwa mereka menggunakan air dengan suhu normal. Adapun jika cuaca atau suhu air terlalu dingin, maka dibolehkan untuk dihangatkan sampai mencapai suhu normal, sehingga tidak kedinginan. 

(Jami'ul Adillah, hal. 181 dan Fathul 'Allam: 2/280)

Masalah: Jika tidak didapatkan air untuk memandikan jenazah, atau tidak memungkinkan untuk memandikan atau mengguyurnya dengan air, karena khawatir hancur atau rusak jasadnya, seperti luka bakar dan sebagainya, maka disyariatkan untuk tayammum menurut salah satu pendapat ulama, karena tayammum tersebut sebagai pengganti bersuci dengan air.

Sebagian ulama yang lain berpendapat untuk tidak dilakukan tayammum jika tidak mungkin dimandikan, karena tidak ada dalil yang menunjukkan akan hal itu. Akan tetapi langsung dikafani. Tayammum hanyalah disyariatkan untuk bersuci bagi yang masih hidup, bukan untuk yang sudah mati. Demikian juga, syariat memandikan mayit tersebut bukan dalam rangka membersihkan atau mensucikan dari hadats, akan tetapi untuk kebersihan jasadnya. Oleh karena itu, Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam memerintahkan orang-orang yang memandikan jenazah untuk mencuci atau membasuhnya sebanyak tiga, lima atau tujuh kali. Sedangkan bersuci dari hadats itu tidak disyariatkan lebih dari tiga kali basuhan. Maka jika maksud memandikan tersebut adalah kebersihan jasad, maka tidak akan tercapai dengan dilakukannya tayammum. Sehingga pendapat yang lebih kuat adalah tidak dilakukannya tayammum (pendapat Ahmad dalam satu riwayat, Ats Tsauri, Malik, Asy Syaukani, Ibnu Utsaimin), wallohu a'lam. 

(As Sailul Jarror, hal. 211, Imam Asy Syaukani; Asy Syarhul Mumti': 5/297, Ibnu Utsaimin; Fathul 'Allam: 2/283; Miskul Khitam: 2/209; Al Mulakkhosh, hal.28-29)

Langkah kedua: Orang yang memandikannya memulai dengan membalut tangannya dengan suatu kain atau memakai kaos tangan untuk membersihkan kotoran si mayit dalam keadaan tertutup aurotnya dengan suatu kain penutup setelah baju si mayit yang dikenakan ketika kematiannya dilepaskan semuanya. Para ulama telah sepakat akan wajibnya hal ini. Simaklah hadits Aisyah rodhiyallohu 'anha berikut ini:

لما أرادوا غسل النبي صلى الله عليه وسلم قالوا: والله ما ندري أنجرد رسول الله صلى الله عليه وسلم من ثيابه كما نجرد موتانا أم نغسله وعليه ثيابه؟ فلما اختلفوا ألقى الله عليهم النوم حتى ما منهم رجل إلا وذقنه في صدره ثم كلمهم مكلم من ناحية البيت لا يدرون من هو: أن اغسلوا النبي صلى الله عليه وسلم وعليه ثيابه فقاموا إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم فغسلوه وعليه قميصه يصبون الماء فوق القميص ويدلكونه بالقميص دون أيديهم.

"Ketika mereka para sahabat ingin memandikan Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam, mereka mengatakan: "Demi Alloh… Kita tidak tahu, apakah kita akan melepas pakaian Rosululloh sebagaimana kita melepas pakaian mayit-mayit kita atau kita mandikan beliau dengan pakaiannya?" Ketika mereka berselisih, maka Alloh melemparkan rasa kantuk atas mereka, sehingga tidaklah ada seorangpun dari mereka melainkan janggutnya telah menempel di dadanya karena tertidur. Kemudian seolah-olah ada seseorang dari arah sisi rumah -tidak diketahui siapa dia- mengatakan kepada mereka: "Mandikanlah Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam dengan pakaiannya!" Maka mereka bangun dan bangkit menuju Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam dan memandikan beliau dengan gamisnya tanpa melepaskannya. Mereka menyiramkan air ke atas gamis tersebut, lalu mengurut atau mengusap badan beliau dengan gamis tersebut dengan tangan-tangan mereka." 

(HR. Abu Dawud, Ibnu Jarud dalam Al-Muntaqo, Al-Hakim, Al-Baihaqi, Ath-Thoyalisi dan Ahmad, dishohihkan oleh Imam Al-Albani dalam Ahkamul Janaiz, hal. 49)

Hadits tersebut menunjukkan bahwa apa yang dilakukan pada jenazah Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam dengan tidak dilepaskannya gamis beliau adalah merupakan kekhususan bagi beliau, tidak berlaku untuk selain beliau. 

(Fathul 'Allam: 2/278)

Adapun tujuan dari menutup badan si mayit dan membasuh dengan menggunakan kain atau kaos tangan adalah agar aurotnya tidak terlihat dan tidak tersentuh langsung oleh tangan orang yang memandikannya.

Batasan aurot laki-laki dan perempuan

Aurot seseorang adalah bagian tubuh yang harus ditutupi agar tidak terlihat oleh pandangan mata, baik ketika masih hidup ataupun setelah meninggalnya.

Aurot laki-laki adalah antara pusar dan lutut, yaitu mencakup kemaluan (qubul dan dubur) serta kedua paha, menurut pendapat yang kuat (pendapat jumhur ulama).

Ibnu Abdil Barr rohimahulloh dalam Al-Istidzkar (3/8) mengatakan: "Para ulama bersepakat bahwa melihat kemaluan seseorang baik yang masih hidup, maupun yang sudah meninggal itu harom, tidak boleh. Demikian juga tidak boleh menyentuh langsung aurot seseorang dengan tangan selain orang yang dihalalkan untuk menyentuhnya seperti suami istri dan sebagainya…" 

(Jami'ul Adillah, hal. 165)

Adapun kedua paha termasuk aurot, maka berdasarkan hadits:

القخد عورة

"Paha itu aurot." 

(HR. Ahmad dan selainnya dari sahabat Ibnu Abbas, Muhammad bin Jahsy dan Jarhad rodhiyallohu 'anhum, dihasankan oleh Imam Al-Albani dalam Al-Irwa', no. 269 dan Syaikhuna Yahya dalam Jami'ul Adillah, hal. 169)

Sedangkan aurot wanita muslimah di hadapan wanita muslimah lainnya adalah seluruh badannya kecuali bagian-bagian tubuh yang diletakkan padanya perhiasan wanita, seperti kepala, telinga, leher dan dada bagian atas (tempat kalung), lengan bawah (tempat gelang tangan) sampai sedikit di atas siku, telapak kaki dan betis bawah (tempat gelang kaki). 

(Talkhis Ahkamil Janaiz, hal. 30)

Adapun selain itu, maka merupakan aurot wanita yang harus ditutup di hadapan para wanita dan para mahromnya, sebagaimana dalam firman Alloh ta'ala:

ولا يبدين زينتهن إلا لبعولتهن أو آبائهن أو آباء بعولتهن أو أبنائهن أو أبناء بعولتهن أو إخوانهن أو بني إخوانهن أو بني أخواتهن أو نسائهن أو ما ملكت أيمانهن أو التابعين غير أولي الإربة من الرجال أو الطفل الذين لم يظهروا على عورات النساء

"Janganlah para wanita itu menampakkan perhiasannya yang tersembunyi (aurotnya) kecuali kepada suami mereka, karena suami itu boleh melihatnya dan tidak dibolehkan bagi selainnya. Diantara aurotnya yang lain, seperti wajah, leher, kedua tangan dan siku, maka boleh dilihat oleh ayahnya atau ayah suaminya atau anak laki-lakinya atau anak suaminya atau saudara laki-lakinya atau anak saudara laki-lakinya atau anak saudara perempuannya atau budak perempuannya yang muslimah, bukan yang kafir atau budak-budak laki-lakinya atau para pengikut dari laki-laki yang sudah tidak ada syahwat atau keinginan terhadap wanita, seperti laki-laki lemah akalnya (idiot) yang hanya menginginkan makan dan minum saja atau anak-anak kecil yang belum mengetahui perihal aurot wanita dan belum memiliki syahwat." 

(Tafsir Muyassar QS. An-Nuur: 31)

Masalah: Jika si mayit belum dikhitan, maka pendapat yang rojih (kuat) adalah tidak boleh dikhitan, karena akan memotong kulit si mayit dan akan membuka aurotnya tanpa hajah untuk itu. 

(Fathul 'Allam: 2/282)

Masalah: Apakah perlu dipotong kumis, bulu dan kukunya? Pendapat yang kuat adalah disunnahkan untuk memotong kumis, bulu ketiak dan kukunya jika diperlukan, karena ini merupakan sunnah fithroh dan membuat penampilan lebih bagus.

Adapun bulu kemaluan mayit, maka yang rojih adalah tidak dicukur, karena harus membuka aurotnya dan menyentuhnya pada perkara yang tidak darurat. Demikian juga bahwa hal tersebut tertutup tidaklah nampak dari luar, sehingga tidak perlu dihilangkan. Adapun atsar Sa'ad bin Abi Waqqosh rodhiyallohu 'anhu yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dan Abdurrozzaq dalam Mushonnaf keduanya, bahwasanya beliau pernah mencukur bulu kemaluan mayit, maka ini adalah atsar yang dho'if tidak shohih. Atsar tersebut diriwayatkan dari jalan perowi hadits bernama Abu Qilabah yang meriwayatkan dari Sa'ad bin Abi Waqqosh. Ini adalah sanad yang terputus, karena Abu Qilabah tidak pernah bertemu dengan Sa'ad. 

(Fathul 'Allam: 2/282-283)

Langkah ketiga: Sedikit merundukkan badan si mayit tidak sampai pada posisi duduk, karena posisi mendekati duduk termasuk menyakitkan si mayit. Kemudian mengurut bagian perutnya dengan lembut untuk mengeluarkan kotorannya agar tidak keluar setelah itu. Hal ini dilakukan jika diperlukan untuk itu. Jika tidak, maka tidak apa-apa untuk ditinggalkan. Tidak ada dalil syar'i yang menunjukkan disunnahkannya hal tersebut. 

(Jami'ul Adillah, hal. 183)

Langkah keempat: Setelah membersihkan kotoran, maka mulai mewudhukan si mayit seperti wudhunya ketika ingin mengerjakan sholat. Mulai dengan mencuci kedua telapak tangannya, mengusap gigi dan lubang hidungnya dengan lembut untuk membersihkannya dengan tidak memasukkan air ke dalam mulut dan hidung, karena berkumur dan istinsyaq (yaitu membersihkan bagian dalam hidung dengan memasukkan air ke dalam kedua lubang hidung dan mengeluarkannnya kembali) tidak bisa dilakukan untuk si mayit, akan tetapi cukup dengan mengusap lubang hidung dengan kain basah. Kemudian membasuh wajah, kedua tangan, mengusap kepala dan telinga, lalu membasuh kedua kaki sebagaimana yang dilakukan ketika berwudhu.

Langkah kelima: Setelah diwudhukan, maka dimulai mencuci bagian kepala dengan menguraikan terlebih dahulu jalinan-jalinan rambut mayit perempuan yang ada dan mencucinya dengan baik serta menyisirnya. Kemudian menjalinnya kembali menjadi tiga jalinan lalu diletakkan di bagian belakang. Kemudian mencuci atau membasuh badannya dimulai dari bagian kanan tubuhnya, baik depan maupun belakang dengan memiringkan si mayit ke kiri dan sebaliknya memiringkan badannya ke kanan ketika mencuci bagian kiri badannya.

Langkah keenam: Disunnahkan untuk memandikannya sebanyak tiga kali atau lebih jika diperlukan. Adapun memandikannya sekali saja, maka hukumnya boleh dan sah dengan syarat telah mencakupi keseluruhan badannya, sebagaimana dalam hadits Ibnu Abbas rodhiyallohu 'anhu tersebut di atas. Hadits tersebut diucapkan pada haji wada' di akhir-akhir kehidupan Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam dan beliau tidak memerintahkan untuk memandikannya sebanyak tiga kali, sehingga hadits yang di dalamnya terdapat jumlah tiga kali ke atas menunjukkan bahwa hal itu tidak wajib, akan tetapi lebih utama. 

(Fathul 'Allam: 2/277)

Langkah ketujuh: Jumlah memandikannya atau membasuhnya adalah ganjil, yaitu tiga, lima dan tujuh kali. Adapun lebih dari tujuh, maka hanyalah terdapat pada satu atau dua riwayat yang telah dihukumi oleh para ulama sebagai riwayat yang keliru, karena bertentangan dengan banyak riwayat lainnya dalam Shohih Bukhori, Muslim dan selainnya yang menunjukkan bahwa yang terbanyak adalah tujuh kali basuhan. Juga tidak ada ulama yang berpendapat lebih dari tujuh. Sebagian ulama mengatakan bahwa lebih dari tujuh tersebut termasuk berlebihan (isrof) dalam menggunakan air dan sebagian mereka mengatakan bahwa hal itu dapat melembekkan tubuh si mayit karena terlalu banyak mencucinya. Maka hukumnya adalah makruh, kecuali jika masih diperlukan. Hal ini berdasarkan hadits Ummu 'Athiyah di atas. 

(Jami'ul Adillah, hal. 149-150 dan Fathul 'Allam: 2/279)

Langkah kedelapan: Mencampur air dengan kapur barus atau minyak wangi pada basuhan terakhir, kecuali bagi seorang yang sedang muhrim (berihrom). Tidak boleh memberikan wewangingan dalam memandikan seorang yang sedang muhrim tersebut. Hal ini sebagaimana dalam hadits Ibnu Abbas rodhiyallohu 'anhuma:

ولا تحنطوه -وفي رواية: ولا تطيبوه- ، ولا تخمروا رأسه ولا وجهه ، فإنه يبعث يوم القيامة ملبيا

"Jangan diberi wewangingan. Jangan pula ditutupi kepala dan wajahnya. Sesungguhnya ia akan dibangkitkan nanti dalam keadaan bertalbiyah." 

(HR. Bukhori tanpa tambahan riwayat dan Muslim dalam Shohih keduanya, Abu Nu'aim dalam Al-Mustakhroj, Al-Baihaqi dalam Sunannya)

Langkah kesembilan: Jika masih keluar kotorannya setelah selesai dimandikan sebanyak tujuh kali, maka tidak diwajibkan untuk mengulangi memandikannya, tetapi cukup dengan membersihkan tempat keluarnya kotoran tersebut dan mengulangi wudhunya. Hal ini karena kotoran (najis) yang keluar itu tidak membatalkan mandinya, sebagaimana seseorang yang telah mandi junub lalu berhadats kecil, maka hanya mengulangi wudhunya saja dan tidak mengulangi mandinya. Adapun jika belum mencapai tujuh kali, maka bisa dimandikan kembali hingga mencapai tujuh kali basuhan. 

(Fathul 'Allam: 2/280 dan Jami'ul Adillah, hal. 184)

Langkah kesepuluh: Setelah selesai membasuh seluruh badan si mayit, dibolehkan untuk mengeringkannya dengan kain atau handuk hingga kering sebelum dikafani agar tidak membasahi kain kafannya.

Hukum-hukum orang yang memandikan mayit

Beberapa permasalahan yang berkaitan dengan orang-orang yang memandikan jenazah adalah sebagai berikut:

Masalah: Hadits Ummu 'Athiyah di atas juga menunjukkan bahwa mayit laki-laki dimandikan oleh laki-laki dan mayit perempuan dimandikan oleh para perempuan, kecuali apa yang telah dikecualikan oleh syariat yaitu pasangan suami-istri, maka dibolehkan salah satunya untuk memandikan pasangannya berdasarkan hadits Aisyah rodhiyallohu 'anha, beliau berkata:

رجع إلي رسول الله صلى الله عليه وسلم من جنازة بالبقيع وأنا أجد صداعا في رأسي وأقول: وارأساه فقال: بل أنا وارأساه ما ضرك لو مت قبلي فغسلتك وكفنتك ثم صليت عليك ودفنتك

"Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam kembali dari menguburkan jenazah di Baqi', sedangkan aku menderita sakit kepala. Aku mengatakan: "Aduh, kepalaku!" Maka Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam mengatakan: "Bahkan aku yang sakit kepala, tidak ada yang merugikanmu jika engkau mati lebih dahulu sebelumku, lalu engkau kumandikan, kukafani, kemudian kusholati dan kukuburkan." 

(HR. Ahmad, Ad-Darimi, Ibnu Majah, Ad-Daruquthni, Al-Baihaqi dan Ibnu Hisyam dalam Ash-Shiroh, dihasankan oleh Imam Al-Albani dalam Ahkamul Janaiz, hal. 50)

Masalah: Yang paling berhak untuk memandikan jenazah adalah siapa yang diwasiati untuk itu. Jika tidak ada, maka dikedepankan yang paling dekat kekerabatannya dengan si mayit disertai dengan bimbingan seorang yang berilmu tentang sunnah memandikan jenazah. Dahulu yang memandikan Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam adalah dari kerabat beliau. Ali bin Abi Tholib rodhiyallohu 'anhu, anak paman serta menantu beliau berkata:

غسلت رسول الله صلى الله عليه وسلم فجعلت أنظر ما يكون من الميت فلم أر شيئا وكان طيبا حيا وميتا صلى الله عليه وسلم

"Aku memandikan Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam. Maka aku melihat apa yang terjadi pada jenazah beliau. Tidaklah aku menemukan sesuatu yang buruk. Jasad beliau tetap bagus, baik semasa hidupnya maupun setelah kematiannya." 

(HR. Ibnu Majah, Al-Hakim dan Al-Baihaqi, dishohihkan oleh Imam Al-Albaniy dalam Ahkamul Janaiz, hal. 50)

Jika si mayit laki-laki dan belum beristri, maka yang dikedepankan untuk memandikannya adalah ayahnya, kemudian kakeknya, kemudian anak laki-lakinya, kemudian cucu laki-lakinya, kemudian saudara laki-lakinya, kemudian keponakan laki-lakinya, kemudian pamannya, kemudian anak laki-laki pamannya. Jika si mayit perempuan dan belum bersuami, maka yang memandikannya adalah para wanita dari kerabat rahimnya, kemudian kerabat yang bukan rahimnya, kemudian para wanita lain selain kerabatnya. Adapun pihak kerabat, maka yang dikedepankan adalah ibu dan neneknya ke atas, kemudian anak perempuan dan cucunya ke bawah, kemudian bibinya, kemudian keponakan perempuannya.

Masalah: Seorang wanita boleh memandikan jenazah laki-laki dari mahromnya menurut pendapat jumhur ulama. Hal itu pada urutan terakhir, jika tidak ada yang memandikannya dari kalangan kerabat laki-laki, suami dan para laki-laki lainnya. Hukumnya sama seperti para laki-laki lainnya yang tidak ada hubungan rahim. 

(Fathul 'Allam: 2/303)

Masalah: Adapun jenazah yang sudah bersuami atau beristri, maka si istri boleh memandikan jenazah suaminya menurut kesepakatan ulama dan sebaliknya juga, si suami boleh memandikan jenazah istrinya menurut pendapat yang kuat. Hal tersebut berdasarkan hadits Aisyah rodhiyallohu 'anha tersebut di atas, beliau berkata:

ما ضرك لو مت قبلي فغسلتك وكفنتك ثم صليت عليك ودفنتك

"Tidak ada yang merugikanmu, jika engkau mati lebih dahulu sebelumku, lalu engkau kumandikan, kukafani, kemudian kusholati dan kukuburkan." 

(hadits shohih riwayat Ahmad dan selainnya)

Juga hadits Aisyah rodhiyallohu 'anha riwayat Ahmad dan selainnya dengan sanad yang hasan:

لو استقبلت من أمرى ما استدبرت ما غسله إلا نساؤه

"Seandainya aku mengetahui sebelumnya, maka tidaklah yang memandikan Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam melainkan para istri beliau." 

(Al-Irwa': 702 dan Fathul 'Allam: 2/298)

Masalah: Seorang laki-laki tidak diperbolehkan untuk memandikan jenazah wanita selain istrinya. Ini adalah pendapat kebanyakan para ulama, baik wanita itu mahrom baginya maupun bukan.

Adapun jika seorang laki-laki meninggal di antara para wanita yang bukan mahromnya dan tidak ada laki-laki lainnya dan sebaliknya, maka pendapat yang kuat adalah dimandikan dengan pakaiannya ketika meninggal. Hal ini seperti apa yang dilakukan sahabat terhadap Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam, tanpa membuka pakaiannya agar tidak terlihat aurotnya. Maka untuk selain beliau shollallohu 'alaihi wa sallam, dilakukan ketika darurat atau ada hajah yang mendesak. 

(Fathul 'Allam: 2/300)

Masalah: Seorang wanita boleh memandikan jenazah anak kecil laki-laki. Hal ini merupakan kesepakatan para ulama, sebagaimana dinukilkan oleh Ibnul Mundzir, An-Nawawi dan Ibnu Qudamah rohimahumulloh. Adapun perselisihan yang ada adalah penentuan sampai umur berapa jenazah anak tersebut, sehingga hal itu masih diperbolehkan. Pendapat yang kuat adalah bahwa hal itu diperbolehkan sebelum si anak tersebut terlihat menarik bagi lawan jenisnya, sebagaimana ini adalah madzhab Syafi'iyyah. Untuk seorang laki-laki, diperbolehkan juga memandikan jenazah anak kecil perempuan menurut pendapat jumhur ulama. Batasannya seperti apa yang tersebut di atas. Jika telah mencapai umur yang terlihat menarik bagi lawan jenisnya, maka tidak boleh memandikannya kecuali para wanita. 

(Fathul 'Allam: 2/301)

Masalah: Seorang laki-laki yang junub dan wanita yang sedang haidh diperbolehkan untuk memandikan jenazah. Tidak ada dalil yang melarangnya. Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda:

إن المؤمن لا ينجس

"Sesungguhnya mukmin itu tidak najis." 

(HR. Bukhori dan Muslim dari hadits Abu Huroiroh rodhiyallohu 'anhu)

Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam juga berkata kepada Aisyah rodhiyallohu 'anha:

إن حيضتك ليست في يدك

"Sesungguhnya haidhmu itu bukan pada tanganmu." 

(HR. Bukhori dan Muslim dari hadits Aisyah rodhiyallohu 'anha)

Dua hadits tersebut bisa dijadikan sebagai dalil tentang bolehnya seorang yang sedang berhadats besar seperti junub atau haidh untuk memandikan jenazah.

Masalah: Tidak disunnahkan bagi yang memandikan jenazah untuk mandi setelah selesai memandikan menurut pendapat yang kuat. Tidak ada hadits shohih dalam bab ini yang menunjukkan hal tersebut, sebagaimana dinyatakan oleh para Imam Ahli Hadits seperti Ibnul Mundzir dalam Al-Isyrof, Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni dan Ar-Rofi'iy sebagaimana dalam At-Talkhish karya Ibnu Hajar rohimahumulloh.

Adapun hadits Abu Huroiroh rodhiyallohu 'anhu, bahwasanya Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda:

من غسل ميتا فليغتسل ومن حمله فليتوضأ

"Siapa yang telah memandikan mayit, maka hendaknya ia mandi dan siapa yang telah mengangkatnya, hendaknya ia berwudhu." 

(HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Hibban, Ath-Thoyalisi dan Ahmad)

Maka ini adalah hadits dho'if, yang rojih adalah mauquf (dari ucapan Abu Huroiroh) sebagaimana yang dikuatkan oleh para Imam Ahli Hadits seperti Imam Bukhori, Abu Hatim, Al-Baihaqi dan selain mereka. Para Imam Ahli hadits yang juga mendho'ifkan hadits tersebut adalah Ahmad bin Hambal, Ali bin Al-Madini, Adz-Dzuhli, Ibnul Mundzir dan selain mereka. 

(Jami'ul Adillah, hal. 164 dan Fathul 'Allam: 1/244-245)

Permasalahan jenazah yang dimandikan

Beberapa permasalahan yang berkaitan dengan jenazah yang dimandikan adalah sebagai berikut:

Masalah: Jenazah yang meninggal dalam keadaan junub atau haidh, maka dimandikan sebagaimana jenazah-jenazah lainnya tanpa ada tambahan apapun. Ini adalah pendapat keseluruhan ulama, bahwa tidak dibedakan antara mayit yang meninggal dalam keadaan junub atau haidh dengan mayit-mayit lainnya dalam cara memandikannya. 

(Al-Ausath: 5/341 oleh Ibnul Mundzir sebagaimana ternukil dalam Jami'ul Adillah, hal. 182)

Masalah: Wajib memandikan atau mencuci seluruh bagian jenazah yang ada atau berhasil diketemukan meskipun kecil ukurannya, karena memandikannya hukumnya wajib pada seluruh jasadnya, termasuk pula pada bagian-bagiannya yang ada. Jika ada bagian tubuh yang diketemukan setelah itu, maka dimandikan atau dicuci juga dan demikianlah seterusnya. 

(Fatwa Lajnah Da'imah: 8/434; Al Mulakkhosh, hal. 34)

Masalah: Adapun jenazah yang telah dikuburkan sebelum dimandikan, maka dikeluarkan kembali untuk dimandikan selama belum berubah atau rusak. Ini adalah pendapat kebanyakan para ulama. Dalam hadits Jabir bin Abdillah rodhiyallohu 'anhu disebutkan:

أتى رسول الله صلى الله عليه وسلم عبد الله بن أبي بعد ما أدخل حفرته، فأمر به، فأخرج، فوضعه على ركبتيه ونفث عليه من ريقه، وألبسه قميصه

"Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam mendatangi mayit Abdulloh bin Ubaiy setelah dimasukkan ke dalam liang kuburannya. Lalu beliau memerintahkan jasadnya untuk dikeluarkan dan diletakkan di pangkuannya. Lalu beliau meludah kecil padanya dan memakaikan gamis beliau kepadanya." 

(HR. Bukhori dan Muslim)

Dalam hadits Jabir bin Abdillah rodhiyallohu 'anhu pula riwayat Bukhori, bahwa beliau mengeluarkan jenazah ayahnya yang terbunuh di medan jihad dan masih dikuburkan bersama seorang yang lainnya setelah enam belas bulan kemudian. Lalu dikuburkannya secara tersendiri.

Berdasarkan dua hadits di atas, maka tidak apa-apa mengeluarkan kembali mayit yang telah dikubur untuk dikafani atau dipindahkan ke tempat lainnya yang lebih baik. Demikian juga boleh mengeluarkan kembali jenazah yang telah dikubur dan belum dimandikan untuk dimandikan. 

(Jami'ul Adillah, hal. 186)

Masalah: Tidak disyariatkan untuk memandikan dan melepas pakaian yang melekat pada jenazah seseorang yang mati syahid di medan peperangan. Para ulama sepakat bahwa yang dilepas hanyalah senjata dan peluru yang disandang serta tamengnya (baju atau topi anti peluru) saja, sedangkan yang lain tidak dilepas. Hal ini ditunjukkan oleh hadits Jabir rodhiyallohu 'anhu, bahwasanya Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda:

ادفنوهم في دمائهم يعني يوم أحد ولم يغسلهم. وفي رواية فقال: أنا شهيد على هؤلاء لفوهم في دمائهم فإنه ليس جريح يجرح في الله إلا جاء وجرحه يوم القيامة يدمى لونه لون الدم وريحه ريح المسك وفي رواية: لا تغسلوهم فإن كل جرح يفوح مسكا يوم القيامة ولم يصل عليهم

"Kuburkanlah mereka -yaitu para syuhada' perang Uhud- dengan darah-darah mereka." Beliau tidaklah memandikan mereka. Dalam riwayat: "Aku bersaksi atas kesyahidan mereka. Tutupilah mereka beserta darah-darah mereka. Sesungguhnya bukanlah yang terluka di jalan Alloh itu, melainkan akan datang bersama lukanya yang mengucurkan darah pada hari kiamat. Warnanya warna darah dan baunya adalah aroma misik." Dalam riwayat lainnya: "Janganlah kalian memandikan mereka. Sesungguhnya setiap luka itu akan mengeluarkan aroma misik pada hari kiamat." Beliau tidak pula melakukan sholat jenazah terhadap mereka." 

(HR. Bukhori, Abu Dawud, An-Nasa'i, At-Tirmidzi, Ibnu Majah dan selain mereka, dishohihkan oleh Al-Albaniy dalam Ahkamul Janaiz, hal. 54 dan Fathul 'Allam: 2/288-289)

Masalah: Jenazah orang kafir tidak dimandikan oleh kaum muslimin menurut pendapat yang kuat (pendapat Ahmad dan Malik).

Ketika perang Badar, terbunuhlah puluhan orang-orang kafir Quraisy. Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam memerintahkan untuk langsung menguburkan mereka di salah satu sumur dari sumur-sumur Badar dan tidak memandikan mereka, sebagaimana dalam riwayat Bukhori dan Muslim dari hadits Abu Tholhah rodhiyallohu 'anhu. 

(Fathul 'Allam: 2/302)

Tidak ada dalil yang shohih tentang seorang muslim memandikan mayit kafir, akan tetapi langsung dikuburkan jasadnya jika tidak ada yang mengurusinya berdasarkan dalil yang ada, supaya tidak mengganggu kaum muslimin dengan bau busuknya. 

(Jami'ul Adillah, hal. 162)

Demikian juga, tidak sah jika jenazah seorang muslim dimandikan oleh orang kafir menurut pendapat yang kuat (pendapat Ahmad dan Hanabilah). Hal ini karena memandikan jenazah merupakan amalan ibadah yang membutuhkan niat di dalamnya dan seorang kafir bukanlah ahlinya, sehingga tidak berhak untuk itu. Maka, meskipun jenazah muslim telah dimandikan oleh seorang kafir, masih harus dimandikan lagi oleh kaum muslimin. Wallohu ta'ala a'lam. 

(Fathul 'Allam: 2/302)

Hal-hal yang perlu diperhatikan oleh orang yang memandikan jenazah

Bagi yang memandikan jenazah hendaknya memenuhi dua persyaratan agar mendapatkan pahala yang besar dan keutamaan di sisi Alloh ta'ala:

Pertama: Hendaknya dengan amalan itu dia mengharapkan wajah Alloh, tidak menginginkan sesuatu dari perkara dunia. Telah tetap dalam syariat bahwa Alloh ta'ala tidaklah menerima suatu amalan ibadah, kecuali dengan keikhlasan hanya kepada Alloh semata. Alloh ta'ala berfirman:

قل إنما أنا بشر مثلكم يوحى إلي أنما إلهكم إله واحد فمن كان يرجو لقاء ربه فليعمل عملا صالحا ولا يشرك بعبادة ربه أحدا

"Katakanlah -wahai Rosul- kepada orang-orang musyrikin itu: "Aku hanyalah manusia biasa seperti kalian yang telah diwahyukan kepadaku dari Robbku bahwasanya sesembahan kalian yang haq itu hanyalah satu (Alloh ta'ala). Maka siapa yang takut terhadap adzab Robbnya dan mengharapkan pahala dari-Nya pada hari pertemuan dengan-Nya (hari kiamat), maka hendaknya melakukan amalan sholeh untuk Robbnya sesuai dengan syariat-Nya dan tidaklah menyekutukan-Nya dalam ibadah dengan siapapun selain-Nya (ikhlas)." 

(Tafsir Muyassar QS. Al-Kahfi: 110)

Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda:

إنما الأعمال بالنيات وإنما لكل امرئ ما نوى فمن كانت هجرته إلى الله ورسوله فهجرته إلى الله ورسوله ومن كانت هجرته إلى دنيا يصيبها أو امرأة ينكحها فهجرته إلى ما هاجر إليه

"Hanyalah suatu amalan itu sesuai dengan niatnya. Setiap orang hanyalah akan mendapatkan apa yang ia niatkan. Siapa yang hijrohnya (ibadahnya) untuk Alloh dan Rosul-Nya (ikhlas), maka hijrohnya (ibadahnya) kepada Alloh dan Rosul-Nya (yaitu mendapatkan ganjaran dari Alloh) dan siapa yang hijrohnya untuk mendapatkan dunia atau wanita yang ingin ia nikahi, maka hijrohnya akan mendapatkan apa yang sesuai dengan tujuan yang diniatkannya." 

(HR. Bukhori dan Muslim dari hadits Umar rodhiyallohu 'anhu)

Kedua: Menutupi dan tidak menyebarkan atau membicarakan aib dan hal-hal tidak disukai yang terdapat pada si mayit. Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda:

من غسل مسلما فكتم عليه غفر له الله أربعين مرة

"Siapa yang memandikan jenazah muslim dan menutupi aib yang ada padanya, maka Alloh akan mengampuninya sebanyak empat puluh kali." 

(HR. Al-Hakim, Al-Baihaqiy dari hadits Abu Rofi' rodhiyallohu 'anhu, dishohihkan oleh Imam Al-Albaniy dalam Ahkamul Janaiz, hal. 51)

Demikian juga berdasarkan keumuman hadits Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam:

وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا، سَتَرَهُ اللهُ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ

"Siapa yang menutupi aib seorang muslim, maka Alloh akan menutupi aibnya baik di dunia maupun di akherat." 

(HR. Muslim dari Abu Huroiroh rodhiyallohu 'anhu)

Adapun jika si mayit tersebut semasa hidupnya adalah seorang yang tercela dalam agama dan sunnah, masyhur atau dikenal sebagai mubtadi' (ahli bid'ah), maka diperbolehkan bahkan disunnahkan untuk membicarakan dan menampakkan kejelekannya dalam rangka memperingatkan umat dari kebid'ahannya. Ini adalah perkara yang pasti dan tidak ditinggalkan, karena jika manusia mengetahui akan akhir hayatnya yang jelek, maka mereka akan lari menghindar dari jalan dan manhajnya. Sebaliknya, hendaknya tidak ditampakkan apa yang ada pada dirinya berupa jasa-jasa dan kebaikan-kebaikan, agar tidak ada orang yang tertipu dan terpengaruh dengannya sehingga mengikuti jalan kebid'ahannya. Dengan demikian, tertutuplah jalan-jalan yang mengantarkan seseorang kepada fitnah kebid'ahan dan kesesatan. 

(Al Majmu': 5/139, Imam Nawawi; Al Mughni: 2/456, Ibnu Qudamah; Al Inshof: 2/506, Al Mardawiy; Asy Syarhul Mumti': 5/376-377; Al Mulakkhosh, hal. 27-28)

Bid'ah-bid'ah terlarang dalam hal memandikan jenazah

Beberapa kebid'ahan yang sering dilakukan dalam acara memandikan jenazah:

Pertama: Meletakkan roti atau makanan dan secangkir air di tempat si mayit dimandikan selama tiga malam setelah kematiannya.

Kedua: Menyalakan lentera atau lampu minyak di tempat si mayit dimandikan selama tiga malam mulai dari terbenamnya matahari sampai waktu terbitnya. Sebagian mereka membiarkannya sampai tujuh harinya atau lebih di tempat itu.

Ketiga: Mengucapkan dzikir-dzikir tertentu dan mengeraskannya ketika mencuci atau membasuh setiap anggota tubuh si mayit.

Keempat: Membiarkan rambut mayit terurai di antara kedua susunya. 

(Ahkamul Janaiz, hal. 247)

Semoga Alloh ta'ala memberikan petunjuk dan taufiq-Nya kepada kaum muslimin seluruhnya, sehingga dapat menjalankan agama mereka dengan baik, sesuai dengan sunnah Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam dan menjauhkan diri-diri mereka dari kesesatan berupa kebid'ahan-kebid'ahan dalam agama yang diada-adakan.

Demikianlah pembahasan bagian kedua dari hukum-hukum penyelenggaraan jenazah ini. Insyaalloh, akan diteruskan pada pembahasan bagian ketiga yaitu tata cara mengkafani jenazah.

Wallohu ta'ala a'lam bish showab, walhamdulillahi Robbil 'alamin.

Ditulis: Mushlih Abu Sholeh Al-Madiuniy -waffaqohulloh- (rev. 16 Muharrom 1436)

Pustaka:
- At-Tafsir Al-Muyassar, karya kumpulan ulama tafsir Saudi Arabia dengan pengantar Syaikh Sholeh bin Abdul 'Aziz Alus-Syaikh waffaqohulloh, cet. ke-2 Ad-Darul 'Alamiyyah 1430H.
- Ahkamul Janaiz wa Bida'uha, karya Imam Al-Albaniy rohimahulloh, cet. ke-4 Al-Maktabul Islamiy 1406H.
- Talkhis Ahkamil Janaiz, karya Imam Al-Albaniy rohimahulloh, cet. ke-3 Maktabah Al-Ma'arif.
- Jami'ul Adillah wat Tarjihat fii Ahkamil Amwat, oleh Syaikh Yahya bin Ali Al-Hajuriy, cet. pertama Maktabah Shon'a Al-Atsariyah, tahun 1427H.
- Fathul 'Allam fii Dirosati Ahaditsi Bulughil Marom (jilid 2 Kitab Janaiz), oleh Syaikh Muhammad bin Hizam Al-Ba'daniy, cet. pertama Maktabah Ibnu Taimiyah 1432H.
- Mulakkhosh Ahkamil Jana'iz, oleh Syaikh Abdulloh Al Iryani, cet. 1 Darul Atsar Shon'a, th. 1430.
- As Sailul Jarror Al Mutadaffiq 'Ala Hada'iqil Azhar, karya Imam Asy Syaukani, cet. 1 Dar Ibnu Hazm.
- Asy Syarhul Mumti' 'Ala Zadil Mustaqni', karya Syaikh Ibnu 'Utsaimin, cet. 1 Dar Ibnul Jauzi, th. 1428.




╭─┅─═ঊঊঈ═─┅─╮
      SEBARKANLAH
      ENGKAU AKAN
      MENDAPATKAN
         PAHALANYA
╰─┅─═ঊঊঈ═─┅─╯

🅹🅾🅸🅽 🅲🅷🅰🅽🅽🅴🅻 🆃🅴🅻🅴🅶🆁🅰🅼

FIQIH JENAZAH (3) Mengafani Jenazah

FIQIH JENAZAH (3) Mengafani Jenazah



بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن واله وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له وأشهد أن محمدا عبده ورسوله، أما بعد

Alhamdulillah, pada bagian ketiga dari fiqih jenazah ini akan dibahas tentang hukum-hukum mengafani jenazah. Nah, setelah selesai memandikan jenazah, maka wajib untuk mengafaninya berdasarkan kesepakatan ulama (ijma'). 

(Al Majmu': 5/146, An Nawawi; Al Mughni: 2/335, Ibnu Qudamah; Syarhus Sunnah: 5/320; Al Baghowi sebagaimana dalam Jami'ul Adillah, hal. 208)

Dalil yang menunjukkan akan hal ini diantaranya adalah perintah Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam dalam hadits kisah seorang muhrim yang terjatuh dari ontanya:


بينما رجل واقف بعرفة، إذ وقع عن راحلته فوقصته، أو قال: فأقعصته، فقال النبي صلى الله عليه وسلم: اغسلوه بماء وسدر، وكفنوه.. الحديث

"Ketika seseorang tengah melakukan wukuf di Arofah, tiba-tiba dia terjatuh dari hewan tunggangannya dan patah lehernya sehingga meninggal. Maka Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam berkata: "Mandikanlah ia dengan air campur sidr (bidara), lalu kafanilah…!" 

(HR. Bukhori dan Muslim dari Ibnu Abbas rodhiyallohu 'anhuma)

Keutamaan mengafani jenazah

Mengafani jenazah merupakan suatu amalan yang besar keutamaannya bagi yang melakukannya dengan ikhlash dan mengharap wajah Alloh ta'ala. Keutamaan tersebut adalah apa yang disebutkan oleh Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam dalam sabda beliau:

ومن كفنه كساه الله يوم القيامة من سندس واستبرق الجنة

"Siapa yang mengafani jenazah, maka Alloh akan memberinya pakaian pada hari kiamat dengan pakaian dari sutra, baik yang tipis maupun tebal berasal dari jannah (surga)." 

(HR. Al Hakim, Baihaqi dari Abu Rofi' rodhiyallohu 'anhu, dishohihkan oleh Al Albani dalam Ahkamul Jana'iz, hal. 51)

Pengadaan kain kafan

Pengadaan kain kafan atau biayanya diambilkan dari harta pribadi si mayit, meskipun ia belum berpesan kepada siapapun sebelum kematiannya dan ini lebih dikedepankan daripada ahli waris menurut kesepakatan ahli ilmu. Jika si mayit tidak meninggalkan harta sama sekali, maka ditanggung oleh walinya yang mengurusi nafkahnya. Jika tidak ada, maka ditanggung oleh baitul mal (pemerintah) jika memungkinkan. Jika tidak bisa, maka ditanggung oleh seluruh kerabatnya dan kaum muslimin di daerah tersebut. 

(Al I'lam: 4/420; Ibnul Mulaqqin; Syarhus Sunnah: 5/320, Al Baghowi sebagaimana dalam Jami'ul Adillah, hal. 210; Syarh Shohih Muslim, no. 941, An Nawawi sebagaimana dalam Miskul Khitam: 2/193)

Hal ini berdasarkan hadits Khobbab bin Al-Arots rodhiyallohu 'anhu, beliau berkata:

هاجرنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم في سبيل الله، نبتغي وجه الله، فوجب أجرنا على الله، فمنا من مضى لم يأكل من أجره شيئا، منهم مصعب بن عمير، قتل يوم أحد، فلم يوجد له شئ، -وفي رواية: ولم يترك- إلا نمرة، فكنا إذا وضعناها على رأسه خرجت رجلاه، وإذا وضعناها على رجليه خرج رأسه، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ضعوها مما يلي رأسه -وفي رواية: غطوا بها رأسه-، واجعلوا على رجليه الاذخر، ومنا من أينعت له ثمرته فهو يهدبها، أي: يجتنيها

"Kami berhijrah bersama Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam di jalan Alloh dengan mengharap wajah Alloh. Maka telah tetap ganjaran kami di sisi Alloh (baik duniawi berupa harta rampasan perang maupun ukhrowi). Sebagian dari kami ada yang telah meninggal tanpa menikmati ganjarannya di dunia sama sekali. Di antara mereka adalah Mush'ab bin Umair yang terbunuh pada perang Uhud. Tidak meninggalkan apapun, kecuali selembar kain baju. Jika kami tutupkan pada kepalanya, terbukalah kedua kakinya. Jika kami tutupkan pada kedua kakinya, maka terbukalah kepalanya. Maka Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam memerintahkan: "Tutupilah kepalanya dengan kain dan tutupilah kakinya dengan tumbuhan idzkhir." Di antara kami ada yang telah menikmati buahnya (berupa kenikmatan duniawi berupa kemenangan dan ghonimah), sedangkan dia tidak mendapatkannya (akan tetapi mendapatkan ganjaran yang penuh di akhirat)." 

(HR. Bukhori, Muslim dan selain mereka)

Sabda Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam:

من ترك دينا أو ضياعا فعلي وإلي

"Siapa yang meninggalkan hutang atau anak-anak, maka itu adalah tanggunganku (beliau sebagai pemimpin kaum muslimin)." 

(HR. Muslim dari Jabir rodhiyallohu 'anhu)

Alloh ta'ala berfirman:

وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ

"Kaum mukminin dan mukminat terhadap Alloh dan Rosul-Nya itu sebagian mereka sebagai penolong sebagian lainnya." (Tafsir Muyassar QS. At Taubah: 71)

Masalah: Diperbolehkan bagi seseorang sebelum meninggal untuk mempersiapkan kain kafannya untuk digunakan ketika ia meninggal dunia nanti. Hal ini ditunjukkan oleh hadits Sahl rodhiyallohu 'anhu:

"Bahwasanya salah seorang sahabat Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam melihat sarung bagus yang sedang beliau kenakan. Lalu ia mengatakan: "Alangkah bagusnya sarung ini! Berikanlah kepadaku." Para sahabat lainnya berkata kepadanya: "Bagaimana kau ini, Nabi sedang perlu untuk memakainya, lalu kau memintanya?! Padahal engkau tahu bahwa beliau tidak menolak orang yang meminta." Ia berkata: "Demi Alloh, sungguh tidaklah aku memintanya untuk kupakai, akan tetapi untuk kujadikan sebagai kain kafanku nanti." Sahl berkata: "Jadilah sarung itu sebagai kain kafannya." 

(HR. Bukhori, no. 1277)

Sifat kain kafan

Hendaknya disediakan kain kafan yang lebar untuk menutupi seluruh badannya. Hal ini sebagaimana ditunjukkan oleh hadits Jabir bin Abdillah rodhiyallohu 'anhu:

أن النبي صلى الله عليه وسلم خطب يوما فذ كر رجلا من أصحابه قبض فكفن غير طائل، وقبر ليلا، فزجر النبي صلى الله عليه وسلم أن يقبر الرجل بالليل حتى يصلى عليه إلا أن يضطر إنسان إلى ذلك، وقال النبي صلى الله عليه وسلم: إذا كفن أحدكم أخاه فليحسن كفنه إن استطاع

"Bahwasanya Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam suatu hari berkhutbah dan menyebutkan seseorang dari sahabat beliau yang telah meninggal, lalu dikafani dengan kain yang sempit dan dikuburkan pada malam hari. Maka Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam menegurnya untuk tidak menguburkannya malam-malam sampai disholatkan, kecuali jika dalam keadaan darurat. Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda: "Jika salah seorang dari kalian mengafani saudaranya, maka hendaknya membaguskan kafannya jika memungkinkan." 

(HR. Muslim, Ibnul Jarud, Abu Dawud, Ahmad dan selainnya)

Para ulama mengatakan bahwa yang dimaksud dengan membaguskan kain kafan adalah berkaitan dengan kebersihannya, ketebalan dan bisa menutupi seluruh badan dengan sempurna serta pertengahan dari segi kualitasnya. Bukanlah yang dimaksud di situ adalah berlebih-lebihan dalam harga dan kualitasnya. Sebagian ulama (An-Nawawi) mengatakan bahwa jenis kain kafan disyaratkan sesuai dengan apa yang biasa dikenakannya semasa hidupnya, tidak boleh lebih bagus dan tidak boleh lebih rendah kualitasnya. Akan tetapi syarat ini tidaklah benar, karena tidak ada dalil yang mendukungnya. (Ahkamul Janaiz, hal. 58-59)

Kain kafan terlalu sempit

Jika tidak diketemukan kain kafan yang bisa menutup seluruh badannya, maka ditutup bagian kepalanya dan seterusnya. Sedangkan bagian yang masih terbuka, seperti kaki, maka bisa ditutup dengan sesuatu yang lain seperti daun-daunan, tetumbuhan dan sebagainya. Hal ini sebagaimana dalam hadits Khobbab bin Arot pada kisah Mush'ab bin Umair tersebut di atas, juga hadits Harits bin Midhrob berikut ini:

دخلت على خباب وقد اكتوى في بطنه سبعا، فقال لولا أني سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: لا يتمنين أحدكم الموت لتمنيته، ولقد رأيتني مع رسول الله صلى الله عليه وسلم لا أملك درهما، وإن في جانب بيتي الان لاربعين ألف درهم! ثم أتى بكفنه، فبلما رآه بكى وقال: ولكن حمزة لم يوجد له كفن إلا بردة ملحاء، إذا جعلت على رأسه قلصت عن قدميه، وإذا جعلت على قدميه قلصت عن رأسه، وجعل على قدميه الاذخر.

"Aku menjenguk Khobbab ketika sakit yang telah dicos besi panas di bagian perutnya sebanyak tujuh tempat (pengobatan dengan besi panas). Lalu dia berkata: "Kalaulah aku tidak mendengar Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda: "Janganlah seseorang dari kalian berangan-angan untuk mati," niscaya aku ingin mati saja karena penyakitku ini." Sungguh aku telah bersama Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam dalam keadaan aku tidak punya harta. Sedangkan sekarang, sungguh di sisi rumahku terdapat empat puluh ribu dirham." Kemudian didatangkan kain kafannya yang bagus. Ketika melihatnya, maka ia menangis dan mengatakan: "Akan tetapi Hamzah tidak ditemukan untuknya kain kafan, kecuali kain burdah bergaris. Jika ditutupkan di kepalanya, maka kakinya tersingkap dan jika ditutupkan di kakinya, maka kepalanya tersingkap. Maka ditutupkanlah pada kepalanya, sedangkan kakinya ditutup dengan idzkhir (sejenis rerumputan yang harum baunya)." (HR. Ahmad, dishohihkan oleh Syaikh Al-Albani rohimahulloh dalam Ahkamul Janaiz, hal. 59)

Jika kain kafan yang ditemukan lebih kecil dari itu, maka diutamakan untuk menutupi aurotnya, sedangkan bagian badan lainnya bisa ditutup dengan idzkhir. Jika tidak ada kain sama sekali, maka seluruh badan ditutup dengan idzkhir dan semacamnya dan ini lebih dikedepankan daripada menggunakan baju wanita, karena terdapat larangan seorang laki-laki memakai pakaian wanita dan sebaliknya. 

(Jami'ul Adillah, hal. 242)

Keterbatasan kain kafan

Jika kain kafan sedikit jumlahnya, sedangkan jenazah lebih banyak, maka diperbolehkan satu kain kafan untuk beberapa jenazah. Dikedepankan jenazah yang paling banyak hafalan Qur'annya ke arah kiblat. Hal ini ditunjukkan oleh hadits Anas rodhiyallohu 'anhu tentang kisah perang Uhud, beliau berkata:

وكثرت القتلى، وقلت الثياب، قال: وكان يجمع الثلاثة والاثنين في قبر واحد، ويسأل أيهم أكثر قرآنا، فيقدم في اللحد، وكفن الرجلين والثلاثة في الثوب الواحد

"Ketika itu banyak yang terbunuh sedangkan kain kafan sedikit jumlahnya. Beliau shollallohu 'alaihi wa sallam mengumpulkan dua atau tiga jenazah dalam satu kuburan dan menanyakan siapa yang paling banyak hafalan Al Qurannya untuk dikedepankan di dalam liang lahad. Beliau juga mengafani dua dan tiga jenazah dengan satu kain kafan." 

(HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Sa'ad, Al Hakim, Al Baihaqi, Ahmad. Dihasankan oleh Al- Albaniy rohimahulloh)

Makna hadits tersebut adalah bahwasanya Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam membagi-bagi satu kain kafan untuk beberapa orang (jamaah), maka setiap orang dikafani dengan potongan atau sebagian kain karena keadaan darurat, meskipun kain tersebut tidak dapat membungkus seluruh badannya. Hal ini ditunjukkan oleh kelengkapan hadits, bahwa beliau menanyakan siapa yang terbanyak hafalan Qurannya untuk dikedepankan di liang lahad (setelah mereka dibungkus). Sekiranya mereka dibungkus bersama dalam selembar kain, maka tentunya beliau bertanya sebelumnya agar tidak melepas kain kafan lagi dan membungkusnya kembali. Tafsir hadits inilah yang benar. Adapun pendapat yang mengatakan bahwa itu sesuai dhohirnya, yaitu beberapa jenazah dibungkus menjadi satu dengan satu kain, maka ini adalah keliru dan tidak sesuai dengan konteks kisahnya. 

(Ahkamul Jana'iz, hal. 60)

Sunnah-sunnah berkaitan dengan kain kafan

Pertama: Disunnahkan untuk memilih kain kafan yang berwarna putih, sebagaimana sabda Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam:

البسوا من ثيابكم البياض، فانها خير ثيابكم، وكفنوا فيها

"Pakailah dari pakaianmu yang berwarna putih, karena sungguh ia adalah sebaik-baik pakaianmu dan kafanilah dengannya." 

(HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah, Baihaqi, Ahmad dari hadits Ibnu 'Abbas rodhiyallohu 'anhuma, dishohihkan oleh Al Albani rohimahulloh)

Kedua: Disunnahkan pula untuk menggunakan kain kafan sebanyak tiga lembar dan yang wajib adalah selembar kain yang menutup seluruh badan. 

(Jami'ul Adillah, hal. 209)

Hal ini sebagaimana dalam hadits 'Aisyah rodhiyallohu 'anha, beliau berkata:

إن رسول الله صلى الله عليه وسلم كفن في ثلاثة أثواب يمانية بيض سحولية، من كرسف، ليس فيهن قميص، ولا عمامة أدرج فيها إدراجا

"Sesungguhnya Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam dikafani dengan tiga buah (lembar) kain buatan daerah Sahuliyah (arah propinsi Ibb sekarang) Yaman berwarna putih bersih dari bahan katun, bukan berupa baju gamis dan bukan pula 'imamah. Akan tetapi dimasukkan ke dalamnya begitu saja." 

(HR. Bukhori, Muslim, Ashhabus Sunan, Ibnul Jarud, Baihaqi, Ahmad)

Ini adalah pendapat yang kuat (pendapat jumhur ulama), bahwa sunnahnya dibungkus dengan tiga lembar kain kafan saja tanpa memakai gamis (baju panjang) dan tidak pula 'imamah (penutup kepala). Imam Bukhori memberikan sebuah bab dalam Shohihnya pada hadits no. 1273: "Bab Kain Kafan Tanpa Gamis dan 'Imamah." Adapun hadits Ibnu 'Abbas rodhiyallohu 'anhuma riwayat Abu Dawud, bahwasanya Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam dikafani dengan tiga buah baju: baju gamis yang dipakai ketika meninggalnya, baju atas dan bawah, maka ini adalah hadits dho'if (lemah) tidak sah untuk dijadikan sebagai dalil yang memalingkan riwayat-riwayat yang shohih. 

(Jami'ul Adillah, hal. 197)

Sejumlah atsar shohih dari Aisyah rodhiyallohu 'anha menunjukkan pula pendapat jumhur ulama, bahwasanya telah dikatakan kepada Aisyah bahwasanya Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam dikafani dengan tiga baju (dua baju hullah dan satu baju burdah), maka beliau rodhiyallohu 'anha mengatakan:

قد أتى بالبرد, ولكنهم ردوه ولم يكفنوه فيه

"Telah diberikan sebuah baju burdah, akan tetapi mereka menolaknya dan tidak mengafani beliau dengan baju itu." 

(HR. Muslim)

Masalah: Diharomkan mengafani mayit laki-laki dengan kain sutra, sedangkan selainnya seperti katun, wol, linen, bulu dan sebagainya yang diperbolehkan untuk dipakai ketika hidupnya, maka ini diperbolehkan pula untuk digunakan sebagai kain kafannya. Adapun mayit perempuan, maka mengafaninya dengan kain sutra hukumnya makruh, karena hal itu termasuk berlebihan dan mirip dengan menyia-nyiakan harta. Berbeda halnya jika dipakai semasa hidupnya, maka hal itu termasuk perhiasan di mata suaminya. 

(Al Majmu': 5/153, An Nawawi sebagaimana dalam Jami'ul Adillah, hal. 209)

Ketiga: Disunnahkan pula pada salah satu kain kafan -jika tersedia- untuk menggunakan kain bergaris, berdasarkan sabda Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam:

إذا توفي أحدكم فوجد شيئا، فليكفن في ثوب حبرة

"Jika salah seorang di antara kalian meninggal dunia dan ia termasuk orang yang mampu, maka kafanilah ia dengan kain bergaris." 

(HR. Abu Dawud, dishohihkan oleh Al Albaniy rohimahulloh)

Hadits ini tidaklah bertentangan dengan hadits pertama tersebut di atas tentang kain berwarna putih, karena bisa didudukkan atau dikumpulkan antara satu dengan lainnya, sehingga kedua hadits tersebut bisa diamalkan secara bersamaan, yaitu bahwa kain kafan tersebut disunnahkan berwarna putih bergaris, jika hanya memakai satu kain. Jika menggunakan lebih dari satu lembar kain, maka salah satunya berwarna putih bergaris, sedangkan yang lainnya berwarna putih bersih (polos). 

(Ahkamul Janaiz, hal. 63-64)

Keempat: Disunnahkan untuk mengharumkan mayit dan kain kafannya (selain yang meninggal ketika ihrom), baik dengan menggunakan dupa pengharum atau bahan pengharum lainnya sebanyak tiga kali, berdasarkan hadits Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam:

إذا جمرتم الميت، فأجمروه ثلاثا

"Jika kalian mengharumkan mayit, maka lakukanlah sebanyak tiga kali." 

(HR. Ahmad, Ibnu Abi Syaibah, Ibnu Hibban, Al Hakim, Baihaqi dari hadits Jabir rodhiyallohu 'anhu, dishohihkan oleh Al Albaniy rohimahulloh)

Ibnul Mundzir rohimahulloh dalam Al Autsath (no. 879) mengatakan: "Seluruh ulama yang telah diketahui dan dihafal dari mereka menyatakan disunnahkannya untuk mengharumkan kain kafan mayit." 

(Al Mulakkhosh, hal. 39)

Yang dilarang pada kain kafan

Tidak diperbolehkan bermewah-mewahan dan berlebihan dalam kain kafan. Demikian juga tidak lebih dari tiga lembar kain, karena tidak sesuai dengan sunnah dan orang yang masih hidup lebih pantas untuk mengenakannya serta hal ini termasuk menyia-nyiakan harta. Kalaulah bukan karena syariat telah menunjukkan tiga lembar kain kafan, maka hal itu pun termasuk menyia-nyiakan harta, karena tidak bermanfaat bagi si mayit di kuburannya dan juga tidak kembali kemanfaatannya kepada yang masih hidup. Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda:

إن الله كره لكم ثلاثا قيل وقال، وإضاعة المال، وكثرة السؤال

"Sesungguhnya Alloh membenci tiga hal: katanya dan katanya (berita yang tak jelas kebenarannya), menyia-nyiakan harta dan banyak tanya yang tidak bermanfaat." 

(HR. Bukhori, Muslim, Ahmad dari hadits Al Mughiroh bin Syu'bah rodhiyallohu 'anhu)

Adapun hadits yang menunjukkan bahwa Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam dikafani dengan tujuh lembar kain, maka itu adalah tidak shohih dan termasuk hadits mungkar, sebagaimana yang telah diterangkan oleh Imam Az Zaila'iy dalam Nashbur Royah (2/261-262). 

(Ahkamul Jana'iz, hal. 64)

Tata cara mengafani mayit

Secara global, cara mengafani mayit adalah dengan memasukkan mayit tersebut ke dalam kain kafannya. Adapun langkah-langkahnya secara lebih rinci adalah sebagai berikut:

Pertama: Bentangkan kain kafan pertama, yaitu yang paling tebal dan lebar agar terlihat bagus di luarnya. Kemudian dibubuhi kapur barus. Lalu bentangkan kain kedua di atasnya dan dibubuhi kapur barus dan sebagainya. Kemudian dibentangkan kain ketiga di atasnya.

Kedua: Mayit diangkat dalam keadaan tertutup, lalu diletakkan di atas kain kafan yang telah dibentangkan tersebut dengan posisi telentang agar lebih mudah untuk dibungkus kain kafan.

Ketiga: Jasad si mayit diolesi minyak wangi pada bagian-bagian wajah dan anggota sujud serta lipatan-lipatan tubuhnya seperti ketiak, pusar dan sebagainya.

Keempat: Melipatkan ujung kain yang menempel pada jasad mayit (kain ketiga) yang berada di sisi sebelah kanan mayit menuju ke sisi sebelah kiri. Sisa kain disisipkan atau dimasukkan ke bawah tubuh mayit sebelah kiri. Hal ini agar tidak mudah terlepas nantinya ketika diturunkan miring ke kanan di liang lahad.

Kelima: Melipatkan kain yang di sebelah kiri jasad ke sebelah kanan sampai jasad terbungkus dengan kain.

Keenam: Demikian juga pada lembaran-lembaran kain kafan berikutnya sampai jasad mayit terbungkus dengan tiga lembar kain kafan dengan sempurna.

Ketujuh: Ujung-ujung kain di bagian kepala dan kaki dilebihkan untuk diikatkan tanpa merobek kain kafan, agar bungkusan mayit tidak terlepas ketika dibawa. 

(Al Mughni: 3/384; Ibnu Qudamah sebagaimana dalam Fathul 'Allam: 2/285; Miskul Khitam: 2/195)

Masalah: 

Tidak ada ketentuan jumlah tertentu untuk ikatan pada kain kafan. Yang terpenting adalah menjaga agar kafan tidak terlepas ketika jenazah dibawa dan diletakkan ke dalam liang lahadnya. Setelah jenazah diletakkan di liang lahadnya, maka ikatan-ikatan tersebut dilepas, karena sudah tidak diperlukan lagi. 

(Majmu' Fatawa Ibnu 'Utsaimin: 17/95; Al Mulakhhosh Al Fiqhi: 1/305; Fatawa Al Lajnah Daimah: 8/362 sebagaimana dalam Al Mulakkhosh, hal. 37)

Masalah: 

Diperbolehkan untuk meletakkan jasad mayit yang banyak mengalami luka-luka dan mengeluarkan darah di dalam kantong mayat plastik sebelum dikafani, agar darahnya tidak membasahi kain kafannya. 

(Fatawa Thoharoh wa Sholah: 2/278, Ibnu Bazz sebagaimana dalam Al Mulakhhosh, hal. 42)

Cara mengafani mayit perempuan

Penyelenggaraan kain kafan untuk mayit perempuan disunnahkan sama seperti mayit laki-laki, karena tidak ada dalil yang membedakan antara keduanya. Adapun hadits Laila binti Qonif Ats Tsaqofiyah bahwasanya ia mengafani anak perempuan beliau shollallohu 'alaihi wa sallam dengan lima lembar kain kafan, maka itu tidaklah shohih sanadnya. Dalam sanadnya terdapat perowi majhul (tidak dikenal) yang bernama Nuh bin Hakim Ats Tsaqofi, sebagaimana yang diterangkan oleh Al Hafidz Ibnu Hajar, Imam Az Zaila'iy dalam Nashbur Royah (2/258) dan ulama hadits lainnya. 


(Ahkamul Jana'iz, hal. 65; Jami'ul Adillah, hal. 216-218)

Mengafani muhrim

Adapun seorang yang muhrim (berpakaian ihrom), ketika meninggal di tengah-tengah ihromnya, maka dikafani dengan pakaian ihrom yang dikenakannya ketika meninggal. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam, sebagaimana dalam kisah seorang muhrim tersebut di atas yang jatuh dari ontanya lalu meninggal:

وكفنوه في ثوبيه اللذين أحرم فيهما

"Kafanilah ia dengan dua pakaian ihrom yang sedang dikenakannya." 

(HR. An Nasa'i dan Ath Thobroni dari hadits Ibnu 'Abbas rodhiyallohu 'anhuma, dishohihkan oleh Al Albaniy rohimahulloh)

Masalah: 
Seorang muhrim laki-laki, wajah dan kepalanya tidak ditutupi kain. Yang ditutupi adalah wajah muhrim perempuan (muhrimah), karena itu termasuk aurotnya. Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda berkaitan dengan muhrim laki-laki:

ولا تخمروا رأسه (ولا وجهه)، فإنه يبعث يوم القيامة ملبيا

"Janganlah kalian tutup kepalanya dan juga wajahnya. Sesungguhnya ia akan dibangkitkan nanti pada hari kiamat dalam keadaan bertalbiyah." (HR. Bukhori, Muslim, Baihaqi dan Abu Nu'aim dalam Al Mustakhroj dari Ibnu 'Abbas rodhiyallohu 'anhuma)

Mengafani syuhada' perang melawan kaum kafir

Tidak boleh melepas baju yang dikenakan oleh seorang yang mati syahid dalam medan jihad melawan kaum kafir ketika terbunuh, akan tetapi dikuburkan sekalian bersama jasadnya. Hal ini berdasarkan sabda Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam:

زملوهم في ثيابهم

"Selimutilah atau bungkuslah dengan baju-baju mereka." 

(HR. Ahmad dari Abdulloh bin Tsa'labah rodhiyallohu 'anhu. Hadits ini shohih sebagaimana dalam tahqiq Musnad Ahmad: 39/62)

Disunnahkan pula mengafaninya dengan selembar kain atau lebih di atas baju yang ia pakai, sebagaimana yang dilakukan oleh Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam terhadap Mush'ab bin 'Umair dan Hamzah bin Abdul Muttholib rodhiyallohu 'anhuma.

Adapun syuhada' lainnya selain jihad fii sabilillah melawan orang kafir, seperti yang meningal karena wabah penyakit, sakit perut, tenggelam dan tertimpa reruntuhan, maka dimandikan, dikafani dan disholati sebagaimana jenazah lainnya. 

(Jami'ul Adillah, hal. 234)

Bid'ah-bid'ah dalam mengafani mayit

Beberapa kebid'ahan yang ditemukan dalam mengafani mayit adalah sebagai berikut:

Pertama: Merias jenazah sebelum dikafani.

Kedua: Keyakinan sebagian orang bahwa mayit-mayit akan saling membanggakan diri-diri mereka dengan bagusnya kain kafan di kuburan mereka. Siapa yang kain kafannya kurang bagus, maka yang lainnya akan mencela dan mengejeknya karena itu. Terdapat beberapa riwayat tentang hal itu dalam hadits-hadits yang lemah diantaranya adalah hadits Jabir:

أحسنوا كفن موتاكم فإنهم يتباهون ويتزاورون بها في قبورهم

"Perbaguslah kain kafan mayit kalian. Sesungguhnya mereka akan saling membanggakan diri dan berkunjung dengannya di kuburan mereka."

Hadits ini diriwayatkan oleh Ad Dailamiy dan Imam Al Albaniy rohimahulloh menerangkan bahwa di dalam sanadnya terdapat para perawi yang tidak dikenal. Yang semisal dengan itu pula terdapat dua hadits yang disebutkan oleh Ibnul Jauzi dalam Al Maudhu'at (kumpulan hadits-hadits palsu). 

(Ahkamul Jana'iz, hal. 248)

Ketiga: Menuliskan doa-doa pada kain kafan.

Keempat: Menuliskan nama si mayit dan bahwasanya ia telah bersyahadat dengan dua kalimat syahadat serta menuliskan nama-nama ahli bait 'alaihimus salam dengan dibubuhi tanah kuburan Husain 'alaihis salam jika ada dan diletakkan dalam kain kafan. Bid'ah ini dilakukan oleh Al Imamiyah, sebagaimana disebutkan dalam Miftahul Karomah (1/455-456). 


Wallohu ta'ala a'lam bish showab.

Demikianlah pembahasan tata cara mengafani jenazah pada kali ini, insyaalloh akan diteruskan dengan pembahasan berikutnya yaitu hukum-hukum yang berkaitan dengan mengusung dan mengiring jenazah ke pemakaman.

Wabillahit taufiq, walhamdulillahi Robbil 'alamin.

Ditulis: Mushlih Abu Sholeh Al Madiuniy -'afallohu 'anhu- (19 Muharrom 1436)

Maroji':
- Ahkamul Jana'iz wa Bida'uha, karya Imam Al Albaniy rohimahulloh, cet. 4 Al Maktabul Islamiy, th. 1406.
- Jami'ul Adillah wat Tarjihat fii Ahkamil Amwat, oleh Syaikh Yahya Al Hajuri, cet. 1 Maktabah Shon'a Al Atsatiyah, th. 1427.
- Mulakkhosh Ahkamil Jana'iz, oleh Syaikh Abdulloh Al Iryani, cet. 1 Darul Atsar, th 1430.
- Fathul 'Allam fii Dirosati Ahadits Bulughil Marom, oleh Syaikh Muhammad bin Hizam Al Ba'dani, cet. 1 Dar Al 'Ashimah, th. 1434.
- Miskul Khitam Syarh 'Umdatil Ahkam, oleh Syaikh Zayid bin Hasan Al Wushobi, cet. 1 Maktabah Al Falah, th. 1434.






🅹🅾🅸🅽 🅲🅷🅰🅽🅽🅴🅻 🆃🅴🅻🅴🅶🆁🅰🅼

FIQIH JENAZAH (4) Mengusung & Mengikuti Jenazah

FIQIH JENAZAH (4) Mengusung & Mengikuti Jenazah



بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله وكفى والصلاة والسلام على عباده الذين اصطفى، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له وأشهد أن محمدا عبده ورسوله، أما بعد

Setelah jenazah selesai dimandikan dan dikafani dengan sempurna, maka wajib (fardhu kifayah) atas yang masih hidup untuk mengusung dan mengantar jenazah muslim tersebut menuju musholla jenazah untuk disholatkan. Hal ini termasuk haknya yang wajib dipenuhi oleh kaum muslimin, karena merupakan kelaziman dalam proses pemakamannya yang tidak hanya dipikul oleh kerabat si mayit semata. Terutama jika mereka memerlukan pertolongan untuk mengusung, menggali kuburan dan memakamkannya, maka hal ini lazim atas kaum muslimin untuk membantu kerabat mayit tersebut. Tidaklah disyariatkan untuk mengikuti jenazah itu, melainkan untuk saling ta'awun (tolong-menolong) dalam mengurusi jenazah muslim. 

(Ahkamul Jana'iz, hal. 66; Jami'ul adillah, hal. 246)

Diantara dalil yang menunjukkan hal itu adalah hadits Baro' bin 'Azib rodhiyallohu 'anhu, bahwasanya beliau berkata:

أمرنا النبي صلى الله عليه وسلم بسبع ونهانا عن سبع، أمرنا باتباع الجنائز ... الحديث

"Kami diperintahkan oleh Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam dengan tujuh kewajiban dan melarang kami dari tujuh larangan. Kami diperintahkan untuk mengikuti jenazah, … al hadits." 

(HR. Bukhori dan Muslim)

Juga ini merupakan hak muslim yang wajib dipenuhi oleh muslim yang lain, sebagaimana dalam hadits Abu Huroiroh rodhiyallohu 'anhu, bahwasanya Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda:

حق المسلم (وفي رواية: يجب المسلم على أخيه) خمس: رد السلام، وعيادة المريض، واتباع الجنائز، وإجابة الدعوة، وتشميت العاطس

"Hak seorang muslim -dalam riwayat: "Kewajiban atas seorang muslim terhadap saudaranya.."- ada lima: membalas salam, menjenguk yang sakit, mengantar jenazahnya, menghadiri undangannya dan menjawabnya jika bersin." 

(HR. Bukhori dan Muslim)

Pengusung jenazah

Hal ini merupakan amalan khusus laki-laki dan bukan perempuan menurut kesepakatan para ulama. Tidaklah mengusung jenazah tersebut, melainkan para laki-laki, meskipun mayitnya adalah perempuan. Hal itu karena para laki-laki lebih kuat daripada wanita yang bisa tersingkap aurotnya ketika membawanya. 

(Syarah Muslim, An Nawawi sebagaimana dalam Jami'ul Adillah, hal. 252)

Demikian juga dengan melihat kelemahan jiwa-jiwa perempuan ketika menyaksikan jenazah secara umum, maka terlebih lagi jika memikulnya, dikhawatirkan akan muncul perkara-perkara yang terlarang seperti ikhtilath (bercampur dengan laki-laki), berteriak-teriak atau meronta-ronta karena bersedih dan sebagainya berupa fitnah-fitnah. 

(Mulakhosh Ahkamil Jana'iz, hal. 43)

Tata cara mengusung jenazah

Tata cara mengusung jenazah menurut sunnah adalah dengan memikulnya di atas pundak-pundak manusia. Adapun jika si mayit masih anak-anak (balita), maka cukuplah dibopong oleh seseorang dengan dua belah tangannya di depan dada.

Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda:

أسرعوا بالجنازة فإن تك صالحة فخير تقدمونها، وإن تكن غير ذلك فشر تضعونه عن رقابكم

"Percepatlah dalam mengusung jenazah. Jika ia adalah seorang yang sholeh, maka itu adalah kebaikan yang kalian kedepankan. Jika ia seorang yang bukan sholeh, maka itu adalah kejelekan yang segera diletakkan dari pundak-pundak kalian." 

(HR. Bukhori, Muslim dan selainnya dari Abu Huroiroh rodhiyallohu 'anhu)

Sabda beliau juga:

إذا وضعت الجنازة، واحتملها الرجال على أعناقهم، فإن كانت صالحة قالت: قدموني قدموني، وإن كانت غير صالحة قالت: يا ويلها أين يذهبون بها؟! يسمع صوتها كل شئ إلا الانسان، ولو سمعه لصعق

"Ketika jenazah diletakkan dan dipikul di atas pundak-pundak para laki-laki pengusungnya, jika ia seorang yang sholeh, maka akan mengatakan: "Kedepankan aku, kedepankan aku!" Jika ia tidak sholeh, maka ia mengatakan: "Aduh celaka, kemana ia akan kalian bawa pergi?!" Suaranya akan didengar oleh semuanya, kecuali manusia. Jika manusia mendengarnya, niscaya ia akan jatuh pingsan." 

(HR. Bukhori, Nasa'i, Baihaqi dan Ahmad dari Abu Sa'id Al Khudri rodhiyallohu 'anhu)

Mempercepat langkah ketika mengusung jenazah

Disyariatkan untuk mempercepat langkah ketika mengiring jenazah tanpa berlari, karena dikhawatirkan jenazah akan terguncang-guncang dengan keras sehingga terlepas kain kafannya dan tersingkap sebagian dari tubuhnya atau terjatuh dari usungannya dan sebagainya.

Hikmah disyariatkan untuk mempercepat langkah tersebut adalah sebagaimana yang telah disebutkan oleh Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam dalam sabda beliau tersebut di atas:

أسرعوا بالجنازة فإن تك صالحة فخير تقدمونها، وإن تكن غير ذلك فشر تضعونه عن رقابكم

"Percepatlah dalam mengusung jenazah. Jika ia adalah seorang yang sholeh, maka itu adalah kebaikan yang kalian kedepankan. Jika ia seorang yang bukan sholeh, maka itu adalah kejelekan yang segera diletakkan dari pundak-pundak kalian." 

(HR. Bukhori, Muslim dan selainnya dari Abu Huroiroh rodhiyallohu 'anhu)

Sabda beliau juga:

إذا وضعت الجنازة، واحتملها الرجال على أعناقهم، فإن كانت صالحة قالت: قدموني قدموني، وإن كانت غير صالحة قالت: يا ويلها أين يذهبون بها؟! يسمع صوتها كل شئ إلا الانسان، ولو سمعه لصعق

"Ketika jenazah diletakkan dan dipikul di atas pundak-pundak para laki-laki pengusungnya, jika ia seorang yang sholeh, maka akan mengatakan: "Kedepankan aku, kedepankan aku!" Jika ia tidak sholeh, maka ia mengatakan: "Aduh celaka, kemana ia akan kalian bawa pergi?!" Suaranya akan didengar oleh semuanya, kecuali manusia. Jika manusia mendengarnya, niscaya ia akan jatuh pingsan." 

(HR. Bukhori, Nasa'i, Baihaqi dan Ahmad dari Abu Sa'id Al Khudri rodhiyallohu 'anhu)

Adapun mempercepat langkah tanpa berlari ketika mengantar jenazah, maka ditunjukkan oleh hadits Abu Bakroh rodhiyallohu 'anhu dalam kisah Abdurrohman bin Jausyan rohimahulloh:

شَهِدْتُ جَنَازَةَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ سَمُرَةَ وَخَرَجَ زِيَادٌ يَمْشِي بَيْنَ يَدَيْ السَّرِيرِ فَجَعَلَ رِجَالٌ مِنْ أَهْلِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ وَمَوَالِيهِمْ يَسْتَقْبِلُونَ السَّرِيرَ وَيَمْشُونَ عَلَى أَعْقَابِهِمْ وَيَقُولُونَ رُوَيْدًا رُوَيْدًا بَارَكَ اللَّهُ فِيكُمْ فَكَانُوا يَدِبُّونَ دَبِيبًا حَتَّى إِذَا كُنَّا بِبَعْضِ طَرِيقِ الْمِرْبَدِ لَحِقَنَا أَبُو بَكْرَةَ عَلَى بَغْلَةٍ فَلَمَّا رَأَى الَّذِي يَصْنَعُونَ حَمَلَ عَلَيْهِمْ بِبَغْلَتِهِ وَأَهْوَى إِلَيْهِمْ بِالسَّوْطِ وَقَالَ خَلُّوا فَوَالَّذِي أَكْرَمَ وَجْهَ أَبِي الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَقَدْ رَأَيْتُنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَإِنَّا لَنَكَادُ نَرْمُلُ بِهَا رَمَلًا فَانْبَسَطَ الْقَوْمُ

"Aku menyaksikan jenazah Abdurrohman bin Samuroh dan Ziyad keluar dan berjalan di depan usungan jenazah. Kemudian para laki-laki dari kerabat Abdurrohman dan para mawali (budak-budak) mereka mulai mengangkat usungan dan berjalan kaki dan mereka mengatakan: "Pelan-pelan, barokallohu fikum." Mereka berjalan sangat pelan bagaikan merangkak. Sampai ketika kami melewati jalan tempat penambatan onta dan hewan ternak, maka Abu Bakroh bergabung bersama kami sambil mengendarai baghl (hewan tunggangan hasil peranakan kuda dan keledai). Ketika Abu Bakroh melihat apa yang mereka lakukan, maka beliau mendekati mereka dengan tunggangannya dan mengisyaratkan kepada mereka dengan cemetinya sambil berseru: "Biarkanlah -demi Dzat yang memuliakan wajah Abul Qosim (Rosululloh) shollallohu 'alaihi wa sallam-, sungguh aku telah melihat para sahabat bersama Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam hampir-hampir berlari-lari kecil ketika mengusung jenazah." Maka mereka mulai bersemangat (setelah mendengar hal itu)." 

(HR. An Nasa'i, dishohihkan oleh Al Albani dalam Ahkamul Jana'iz, hal. 72 dan Syaikhuna Al Hajuriy menghasankannya dalam Jami'ul Adillah, hal. 255)

Ibnul Qoyyim rohimahulloh mengatakan dalam Zadul Ma'ad (1/498): "Adapun rangkakan orang-orang sekarang selangkah demi selangkah, maka itu adalah bid'ah yang dibenci dan menyelisihi sunnah serta mengandung penyerupaan terhadap ahli kitab Yahudi." 

(Ahkamul Jana'iz, hal. 73)

Dua langkah dalam mengikuti jenazah

Mengikuti jenazah mempunyai dua langkah dalam sunnah:

Pertama: Mengikutinya dari rumah keluarganya sampai disholatkan.

Kedua: Mengikutinya dari rumah keluarganya sampai selesai proses pemakaman.

Keduanya pernah dilakukan oleh Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam. Abu Sa'id Al Khudriy rodhiyallohu 'anhu meriwayatkan:

كُنَّا مُقَدَّمَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (يعني المدينة) إِذَا حُضِرَ مِنَّا الْمَيِّتُ آذَنَّا النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَحَضَرَهُ وَاسْتَغْفَرَ لَهُ حَتَّى إِذَا قُبِضَ انْصَرَفَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَمَنْ مَعَهُ حَتَّى يُدْفَنَ، وَرُبَّمَا طَالَ حَبْسُ ذَلِكَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَلَمَّا خَشِينَا مَشَقَّةَ ذَلِكَ عَلَيْهِ قَالَ بَعْضُ الْقَوْمِ لِبَعْضٍ: لَوْ كُنَّا لَا نُؤْذِنُ النَّبِيَّ بِأَحَدٍ حَتَّى يُقْبَضَ، فَإِذَا قُبِضَ آذَنَّاهُ، فَلَمْ يَكُنْ عَلَيْهِ فِي ذَلِكَ مَشَقَّةٌ وَلَا حَبْسٌ، فَفَعَلْنَا ذَلِكَ وَكُنَّا نُؤْذِنُهُ بِالْمَيِّتِ بَعْدَ أَنْ يَمُوتَ فَيَأْتِيهِ فَيُصَلِّي عَلَيْهِ، فَرُبَّمَا انْصَرَفَ، وَرُبَّمَا مَكَثَ حَتَّى يُدْفَنَ الْمَيِّتُ، فَكُنَّا عَلَى ذَلِكَ حِينًا، ثُمَّ قُلْنَا لَوْ لَمْ يَشْخَصِ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَحَمَلْنَا جَنَازَتَنَا إِلَيْهِ حَتَّى يُصَلِّيَ عَلَيْهِ عِنْدَ بَيْتِهِ لَكَانَ ذَلِكَ أَوْفَقَ بِهِ، فَفَعَلْنَا فَكَانَ ذَلِكَ الْأَمْرُ إِلَى الْيَوْمِ

"Kami dahulu -ketika awal-awal kedatangan Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam di Madinah-, jika ada seseorang dari kami menjelang kematiannya, maka kami memberitahukannya kepada beliau. Sehingga beliau mendatanginya dan memintakan ampunan Alloh untuknya. Sampai jika ia meninggal, maka beliau dan yang bersama beliau pun beranjak mengikutinya sampai dimakamkan. Terkadang memakan waktu yang lama atas Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam ketika itu. Ketika kami khawatir kalau beliau merasa keberatan, maka kami mengatakan kepada sebagian lainnya: "Sekiranya kita tidak memberitahukan Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam jika ada seseorang menjelang kematiannya sampai ia meninggal. Barulah setelah itu kita beritahukan kepada beliau, maka beliau tidak akan lama tertahan dan merasa keberatan." Maka kami melakukan yang demikian itu. Kami beritahukan kepada beliau ketika telah meninggal dan beliau datang untuk menyolatkannya, lalu beliau pergi. Terkadang beliau tetap menyertai sampai selesai pemakaman. Demikianlah keadaan kami ketika itu. Kemudian kami membicarakan, "Sekiranya beliau tidak usah datang menghadirinya. Kita bawa jenazah kita kepada beliau, lalu disholatkan di rumah beliau, maka tentunya itu lebih baik." Maka kami pun melakukan hal itu sampai hari ini." 

(HR. Ibnu Hibban, Al Hakim dan selainnya, dishohihkan oleh Al Albani dalam Ahkamul Jana'iz, hal. 67)

Mana yang lebih afdhol?

Tidak ragu lagi, bahwa langkah kedualah yang lebih utama daripada pertama. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam:

من شهد الجنازة (من بيتها)، (وفي رواية من ابتع جنازة مسلم إيمانا واحتسابا) حتى يصلى عليها فله قيراط، ومن شهد ها حتى تدفن، (وفي الرواية الاخرى: يفرغ منها) فله قيراطان (من الاجر)، قيل: (يارسول الله) وما القيراطان؟ قال: مثل الجبلين العظيمين -وفي الرواية الاخرى: كل قيراط مثل أحد

"Siapa yang menghadiri jenazah di rumahnya -dalam riwayat: 

"Siapa yang mengikuti jenazah muslim dengan keimanan dan mengharap pahala Alloh,"- sampai disholatkan, maka baginya pahala satu qiroth. Siapa yang menghadirinya sampai dimakamkan -dalam riwayat: "Sampai selesai pemakaman,"- maka baginya pahala dua qiroth." Ditanyakan kepada beliau: "Wahai Rosululloh, apa dua qiroth itu?" Beliau menjawab: "Seperti dua gunung besar." Dalam riwayat: "Setiap qiroth itu seperti gunung Uhud." (HR. Bukhori, Muslim, Abu Dawud, Nasa'i, Tirmidzi, Ahmad dan selain mereka dari Abu Huroiroh rodhiyallohu 'anhu. Juga telah datang dari Abdulloh bin Al Mughoffal riwayat Nasa'i tercantum dalam Al Jami'us Shohih, karya Imam Al Wadi'i: 2/250)

Dalam riwayat lain dari Abu Huroiroh rodhiyallohu 'anhu terdapat tambahan yang bermanfaat untuk disebutkan di sini:

وكان ابن عمر يصلي عليها، ثم ينصرف، فلما بلغه حديث أبي هريرة قال: أكثر علينا أبو هريرة، -وفي رواية: فتعاظمه-، فأرسل خبابا إلى عائشة يسألها عن قول أبي هريرة ثم يرجع إليه فيخبره ما قالت، وأخذ ابن عمر قبضة من حصى المسجد يقلبها في يده حتي رجع إليه الرسول، فقال: قالت عائشة: صدق أبو هريرة، فضرب ابن عمر بالحصى الذي كان في يده الارض ثم قال: لقد فرطنا في قراريط كثيرة، فبلغ ذلك أبا هريرة فقال: إنه لم يكن يشغلني عن رسول الله صلى الله عليه وسلم صفقة السوق، ولا غرس الودي، إنما كنت ألزم النبي صلى الله عليه وسلم لكلمة يعلمنيها، وللقمة يطعمنيها، فقال له ابن عمر: أنت يا أبا هريرة كنت ألزمنا لرسول الله صلى الله عليه وسلم وأعلمنا بحديثه

"Dahulu Ibnu Umar menyolatkan jenazah, kemudian pergi. Setelah sampai kepadanya hadits Abu Huroiroh tentang keutamaan mengikuti jenazah sampai selesai dikuburkan, maka ia berkata: "Abu Huroiroh telah berlebihan." Dalam riwayat: "Maka ia mengingkarinya." Lalu Ibnu Umar mengutus Khobbab kepada Aisyah untuk menanyakan ucapan Abu Huroiroh tersebut, kemudian kembali untuk mengabarkan apa yang ia katakan. Maka Ibnu Umar mengambil segenggam pasir masjid dan membolak-balikkannya di tangannya sampai datang utusannya. Setelah datang, maka ia berkata: "'Aisyah berkata: "Benar apa yang dikatakan Abu Huroiroh." Mendengar hal itu, maka Ibnu Umar melemparkan pasir yang ada ditangannya itu ke tanah seraya berkata: "Sungguh kita telah menyia-nyiakan banyak qiroth." Ketika Abu Huroiroh mendengar hal itu, maka ia berkata: "Itu karena aku tidak tersibukkan oleh jual beli di pasar dan juga cocok tanam bibit kurma dari mendengarkan hadits Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam. Aku hanyalah menetapi majelis Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam untuk mendengarkan kalimat yang beliau ajarkan dan sesuap makanan yang beliau berikan kepadaku." Maka Ibnu 'Umar berkata kepadanya: "Engkau -wahai Abu Huroiroh- adalah orang yang paling menetapi Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam dan yang paling mengetahui hadits beliau." 

(HR. Muslim dan riwayat tambahan dari Bukhori, Ahmad, Thoyalisi, Tirmidzi dengan sanad shohih sebagaimana dalam Ahkamul Jana'iz, hal. 69)

Hukum mengikuti jenazah bagi wanita

Imam An Nawawi rohimahulloh menukilkan kesepakatan ulama bahwasanya mengikuti jenazah tersebut hanyalah wajib atas laki-laki, bukan perempuan. 

(Syarah Shohih Muslim; Mulakhosh, hal. 46)

Demikian juga keutamaan mengikuti jenazah tersebut di atas hanyalah diperuntukkan bagi muslim laki-laki. Adapun bagi para wanita muslimah, maka terdapat larangan tanzih (hukumnya makruh) dari Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam untuk itu, sehingga amalan tersebut dimakruhkan bagi mereka, sedangkan keutamaan tersebut menunjukkan bahwa amalan tersebut mustahab (lawan dari makruh) dan keduanya tidaklah berkumpul menjadi satu. 

(Fathul Bari: 3/173; Mulakhosh, hal. 48)

Ummu 'Athiyyah rodhiyallohu 'anha mengatakan:

كنا ننهى -وفي رواية: نهانا رسول الله صلى الله عليه وسلم- عن اتباع الجنائز، ولم يعزم علينا

"Kami dilarang -dalam riwayat: "Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam melarang kami"- untuk mengikuti jenazah dan beliau tidak menekankannya atas kami (tidak seperti perkara harom)." 

(HR. Bukhori, Muslim, Al Isma'iliy dan selain mereka)

Posisi seseorang ketika mengikuti jenazah

Seseorang dibolehkan untuk mengikuti jenazah, baik dengan berjalan di depannya maupun belakangnya, di sebelah kanannya maupun sebelah kirinya, berdekatan dengan jenazah tersebut. Adapun yang berkendaraan, maka berada di belakangnya, sebagaimana sabda Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam:

الراكب يسير خلف الجنازة، والماشي حيث شاء منها، خلفها وأمامها، وعن يمينها، وعن يسارها، قريبا منها

"Seseorang yang berkendaraan berada di belakang jenazah. Sedangkan yang berjalan kaki, maka sekehendaknya, di belakang atau depannya, di sebelah kanan atau kirinya berdekatan dengan jenazah tersebut." 

(HR. Abu Dawud, Nasa'i, Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad, Baihaqi dan selain mereka, dari Mughiroh bin Syu'bah rodhiyallohu 'anhu, dishohihkan Al Albani dalam Ahkamul Jana'iz, hal. 73)

Berjalan di depan dan di belakang jenazah ketika mengikutinya telah dilakukan oleh Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam, sebagaimana ucapan Anas bin Malik rodhiyallohu 'anhu:

أن رسول الله صلى الله عليه وسلم وأبا بكر وعمر كانوا يمشون أمام الجنازة وخلفها

"Bahwasanya Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam, Abu Bakar dan Umar dahulu berjalan di depan jenazah dan di belakangnya ketika mengikutinya." 

(HR. Thohawi, dishohihkan oleh Al Albani dalam Ahkamul Jana'iz, hal. 74)

Akan tetapi yang lebih utama adalah berjalan di belakangnya, karena hal ini dipahami dari sabda Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam: "Mengikuti jenazah," sebagaimana dalam hadits hak-hak muslim di atas. 

(Ahkamul Jana'iz, hal. 74)

Berkendaraan ketika mengikuti jenazah

Diperbolehkan bagi yang mengikuti jenazah untuk berkendaraan, akan tetapi disyaratkan untuk berjalan di belakangnya, sebagaimana sabda Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam dalam hadits Mughiroh bin Syu'bah rodhiyallohu 'anhu di atas:

الراكب يسير خلف الجنازة .. الحديث

"Seseorang yang berkendaraan berada di belakang jenazah…"

Akan tetapi yang lebih utama (afdhol) adalah mengikuti jenazah dengan berjalan kaki, karena itulah yang nampak dari perbuatan Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam. Tidak pernah diriwayatkan bahwa beliau berkendaraan ketika mengikuti jenazah. Bahkan Tsauban rodhiyallohu 'anhu berkata:

إن رسول الله صلى الله عليه وسلم أتي بدابة وهو مع الجنازة فأبى أن يركبها، فلما انصرف أتي بدابة فركب، فقيل له؟ فقال: إن الملائكة كانت تمشي فلم أكن لأركب وهم يمشون، فلما ذهبوا ركبت

"Sesungguhnya Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam ketika mengikuti jenazah, didatangkan kepada beliau hewan tunggangan dan beliau menolak untuk menaikinya. Setelah selesai dan didatangkan kembali hewan tunggangannya, lalu beliau menaikinya. Ketika ditanyakan kepada beliau, maka jawab beliau: "Sesungguhnya para malaikat tadi berjalan kaki, maka tidaklah aku menaiki kendaraan sedangkan mereka berjalan kaki. Setelah mereka pergi, barulah aku naik kendaraan." 

(HR. Abu Dawud, Al Hakim, Baihaqi, dishohihkan oleh Al Albani dalam Ahkamul Jana'iz, hal. 75)

Adapun berkendaraan setelah selesai mengikuti jenazah, maka hal itu dibolehkan tanpa ada masalah, sebagaimana ditunjukkan oleh hadits Tsauban di atas.

Demikian juga pada hadits Jabir bin Samuroh rodhiyallohu 'anhu, bahwasanya Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam menyolati Ibnu Dahdah bersama kami. Dalam riwayat: "Beliau mengikuti jenazah Ibnu Dahdah dengan berjalan kaki." Kemudian setelah itu didatangkan seekor kuda tak berpelana dan diikat oleh seseorang. Lalu beliau menaikinya ketika beranjak pergi. Kuda itu mulai melompat dan berjalan perlahan dan kami mengikuti berjalan di belakang beliau -dalam riwayat: "...di sekitar beliau."- Seorang laki-laki dari kaum itu berkata: "Sesungguhnya Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda:

كم من عذق معلق أو مدلى في الجنة لابن الدحداح

"Betapa banyaknya tandan anggur yang tergantung dan berjuntai di jannah (surga) untuk Ibnu Dahdah." 

(HR. Muslim, Abu Dawud, Nasa'i, Tirmidzi, Ahmad, Baihaqi dan Thoyalisi)

Janganlah menyelisihi syariat!

Ketika mengikuti jenazah, dilarang untuk melakukan perkara-perkara yang menyelisihi syariat, baik berupa kemaksiatan, kebid'ahan maupun penyerupaan terhadap kaum kafir.

Selayang pandang tentang larangan menyerupai kaum kafir

Menyerupai dan mengekor terhadap kaum kafir merupakan perkara yang dilarang dalam syariat Islam, sedangkan menyelisihi mereka merupakan perkara yang disyariatkan dan diperintahkan, baik yang berkaitan dengan peribadatan-peribadatan, pakaian-pakaian maupun adat-istiadat khas mereka.

Alloh ta'ala berfirman:

ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَى شَرِيعَةٍ مِنَ الْأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَ الَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ

"Kemudian Kami jadikan engkau -wahai Rosul- di atas manhaj (metode) agama yang jelas, maka ikutilah syariat yang telah dijadikan bagimu itu dan janganlah engkau mengikuti hawa-hawa nafsu orang-orang yang jahil terhadap syariat Alloh serta tidak mengetahui al haq." 

(Tafsir Muyassar QS. Al Jatsiyah: 18)

Dalam ayat ini terdapat petunjuk yang agung tentang kesempurnaan agama ini serta kemuliaannya serta wajibnya untuk taat terhadap hukum-hukumnya dan tidak condong mengikuti hawa nafsu kaum kafir serta menyimpang.

Syaikhul Islam rohimahulloh berkata: "Masuk di dalam golongan orang-orang yang tidak mengetahui (jahil) terhadap syariat Alloh dan al haq -dalam ayat tersebut- adalah setiap orang yang menyelisihi syariat-Nya. Sedangkan yang dimaksud dengan hawa-hawa nafsu mereka adalah apa yang mereka cenderungi dan sukai serta apa yang diperbuat oleh kaum musyrikin dari jalan mereka yang nampak, yang termasuk ajaran agama mereka yang batil serta perkara-perkara yang mengikutinya. Perbuatan menyerupai hal-hal itu termasuk mengikuti hawa-hawa nafsu mereka. Oleh karena itu, kaum kafir merasa senang dengan penyerupaan kaum muslimin dalam beberapa perkara mereka serta mereka bergembira dan menginginkan sekiranya mereka bisa menggunakan biaya yang besar demi terwujudnya hal itu." 

(Al Iqtidho', hal. 8 sebagaimana dalam Jilbab, hal. 162)

Alloh ta'ala berfirman:

أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ آَمَنُوا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللَّهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ الْحَقِّ وَلَا يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمُ الْأَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ فَاسِقُونَ

"Bukankah telah tiba waktunya bagi orang-orang yang membenarkan Alloh dan Rosul-Nya serta mengikuti petunjuk-Nya untuk melunakkan hati-hati mereka ketika mengingat Alloh (berdzikir) dan mendengarkan Al Quran. Janganlah mereka keras hatinya seperti orang-orang yang diberi al kitab sebelum mereka (Yahudi dan Nasrani) yang telah berlalu atas mereka zaman yang panjang dan mereka mengubah-ubah firman Alloh, sehingga keraslah hati mereka dan kebanyakan dari mereka telah keluar dari ketaatan kepada Alloh." 

(Tafsir Muyassar QS. Al Hadid: 16)

Dalam ayat ini terdapat himbauan untuk melembutkan hati dan khusyu' kepada Alloh subhanahu wa ta'ala ketika mendengarkan apa yang telah diturunkan oleh-Nya berupa Al Kitab dan Al Hikmah (As Sunnah) serta peringatan dari sikap menyerupai kaum Yahudi dan Nasrani dalam kekerasan hati mereka dan keluarnya mereka dari ketaatan kepada Alloh ta'ala.

Syaikhul Islam rohimahulloh berkata: "(Dalam ayat ini terdapat) larangan mutlak untuk menyerupai mereka secara umum dan terdapat larangan khusus untuk menyerupai mereka dalam kekerasan hati. Kekerasan hati tersebut merupakan buah dari perbuatan-perbuatan kemaksiatan." 

(Al Iqtidho', hal. 43, sebagaimana dalam Jilbab, hal. 163)

Ibnu Katsir rohimahulloh berkata: "Oleh karena itu, Alloh melarang kaum mukminin untuk menyerupai mereka pada segala perkara mereka, baik yang pokok maupun yang cabang." 

(Tafsir Ibnu Katsir pada ayat tersebut)

Dari beberapa ayat tersebut telah nampak bahwa meninggalkan jalan atau petunjuk kaum kafir dan menyerupai mereka dalam perbuatan-perbuatan, ucapan-ucapan dan hawa-hawa nafsu mereka merupakan salah satu tujuan pokok diturunkannya Al Quran Al Karim. Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam telah menjelaskan hal tersebut secara terperinci kepada umat beliau serta mewujudkannya pada banyak hal dari praktek-praktek syariat dalam kehidupan. Sampai-sampai hal ini diketahui oleh kaum Yahudi yang ketika itu berada di Madinah dan mereka merasakan bahwasanya beliau shollallohu 'alaihi wa sallam menginginkan untuk menyelisihi mereka di segala perkara khas mereka, sebagaimana telah diriwayatkan oleh Anas bin Malik rodhiyallohu 'anhu:

إن اليهود كانوا إذا حاضت المرأة فيهم لم يؤاكلوها ولم يجامعوها في البيوت، فسأل أصحاب النبي -صلى الله عليه وسلم- النبي -صلى الله عليه وسلم-، فأنزل الله تعالى: {وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ} إلى آخر الآية، فقال رسول الله -صلى الله عليه وسلم: (اصنعوا كل شيء إلا النكاح)، فبلغ ذلك اليهود فقالوا: ما يريد هذا الرجل أن يدع من أمرنا شيئًا إلا خالفنا فيه

"Sesungguhnya orang Yahudi itu jika istrinya sedang haid, tidak mau makan bersamanya dan tidak menempatkannya di rumah-rumah. Lalu para sahabat Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam bertanya kepada beliau tentang hal itu. Maka turunlah firman Alloh:

وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ

"Mereka bertanya kepadamu tentang haid -yaitu darah yang biasa mengalir dari rahim wanita pada waktu-waktu tertentu-. Katakanlah kepada mereka -wahai Nabi-: "Itu adalah kotoran yang membahayakan bagi siapa yang mendekatinya, maka jauhilah menyetubuhi wanita selama masa haidnya sampai berhentinya darah tersebut. Setelah darah haid berhenti dan mandi besar, maka pergaulilah mereka di tempat yang telah dihalalkan Alloh untuk kalian -yaitu qubul bukan dubur-. Sesungguhnya Alloh mencintai hamba-hamba-Nya yang banyak beristighfar dan bertaubat serta mencintai mereka yang mensucikan diri dengan menjauhi perbuatan-perbuatan keji dan kotor." 

(Tafsir Muyassar QS. Al Baqoroh: 222)

Maka Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda:

اصنعوا كل شيء إلا النكاح

"Lakukanlah apa saja padanya, kecuali nikah (jima')."

Ketika ucapan beliau tersebut sampai kepada orang-orang Yahudi, maka mereka mengatakan: "Orang ini tidaklah ingin membiarkan apapun dari urusan kita, melainkan ia menyelisihi kita di dalamnya." 

(HR. Muslim)

Hadits ini menunjukkan betapa banyaknya apa yang disyariatkan Alloh kepada Nabi-Nya berupa penyelisihan terhadap kaum Yahudi, bahkan penyelisihan terhadap segala perkara khas mereka, sebagaimana komentar mereka dalam hadits tersebut.

Kemudian, penyelisihan terhadap kaum kafir tersebut terkadang terdapat pada asal hukum perbuatannya dan terkadang pada sifat perbuatan tersebut. Seperti perbuatan menjauhi wanita haid, maka hal ini bukan menyelisihi mereka dalam asal hukumnya, akan tetapi hanya pada sifatnya, yaitu Alloh ta'ala mensyariatkan atau membolehkan untuk mendekati istri yang sedang haid selain pada tempat keluarnya darah haid. Hal ini dapat menimbulkan kebencian Yahudi yang sangat…" 

(Al Iqtidho', sebagaimana dalam Jilbab, hal. 166)

Adapun dalam as sunnah yang menunjukkan larangan penyerupaan (tasyabbuh) terhadap kaum kafir, diantaranya adalah pada hadits Abdulloh bin Umar rodhiyallohu 'anhuma, bahwasanya Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda:

بعثت بين يدي الساعة بالسيف حتى يعبدَ الله وحده لا شريك له، وجعل رزقي تحت ظل رمحي وجعل الذلة والصغار على من خالف أمري ومن تشبه بقوم فهو منهم

"Aku telah diutus menjelang hari kiamat dengan pedang, sampai Allohlah satu-satunya yang disembah dan tidak dipersekutukan dengan apapun. Dia telah menjadikan rezkiku berada di bawah bayangan tombakku serta menjadikan kehinaan itu atas siapa yang menyelisihi perintahku. Siapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia adalah bagian dari mereka." 

(HR. Ahmad, dihasankan oleh Al Albani dalam Jilbab, hal. 203)

Menyelisihi kaum kafir dan tidak menyerupai mereka merupakan salah satu dari tujuan syariat Islam yang tinggi. Wajib atas setiap muslim -baik laki-laki maupun perempuan- untuk memperhatikan hal tersebut pada segala urusannya, termasuk pada perkara penyelenggaraan jenazah ini.

Sebagian manusia menyangka bahwa penyelisihan ini hanyalah perkara peribadatan semata tanpa dipahami makna atau hikmah yang terkandung padanya. Hikmah dan maknanya sangatlah jelas. Telah ditetapkan oleh para ulama peneliti bahwasanya di sana terdapat keterikatan yang kuat antara sesuatu yang nampak dan yang bersifat batin (tidak nampak). Keduanya saling mempengaruhi satu sama lainnya. Jika salah satunya baik, maka baiklah yang lainnya dan sebaliknya jika jelek, maka jelek pulalah selainnya. Meskipun hal itu terkadang tidak dirasakan oleh seseorang pada dirinya sendiri, akan tetapi dapat terlihat pada selainnya. 

(Jilbab, hal. 207)

Hukum bersuara keras dan membawa api

Diantara perkara yang dilarang ketika mengantar jenazah adalah seperti menangis dengan suara keras, membawa dupa wangi atau bakar-bakar sesuatu dan sebagainya. Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda:

لا تتبع الجنازة بصوت ولا نار

"Janganlah kalian mengikuti jenazah dengan suara keras dan membawa api." 

(HR. Abu Dawud, Ahmad. Pada sanadnya terdapat kelemahan, akan tetapi dikuatkan dengan riwayat-riwayat lain dan atsar-atsar mauquf dari beberapa shohabat)

Riwayat-riwayat penguat hadits tersebut diriwayatkan dari Jabir dari Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam, bahwasanya beliau melarang mengikuti mayit dengan suara keras dan api. 

(HR. Abu Ya'la)

Juga dari Ibnu Umar, beliau berkata: "Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam melarang mengikuti jenazah dengan membunyikan sirine." 

(HR. Ibnu Majah, Ahmad dengan sanad hasan dari dua jalan; Ahkamul Jana'iz, hal. 70)

Juga dari Abu Musa rodhiyallohu 'anhu tentang wasiat larangan membawa obor ketika mengiring jenazahnya. 

(HR. Ahmad, Baihaqi dengan sanad hasan; Ahkamul jana'iz, hal. 17)

Demikian juga atsar 'Amr bin Ash rodhiyallohu 'anhu, beliau berkata dalam wasiatnya: "Jika aku mati, maka janganlah engkau menyertaiku dengan niyahah (ratapan) dan api." 

(HR. Muslim, Ahmad)

Juga atsar Abu Huroiroh rodhiyallohu 'anhu menjelang kematiannya: "Janganlah kalian dirikan untukku tenda (untuk berkabung) dan janganlah kalian mengiringku dengan membawa obor -dalam riwayat: api-." 

(HR. Ahmad dengan sanad shohih; Ahkamul Jana'iz, hal. 70)

Ibnu Abdil Barr rohimahulloh berkata: "Aku tidak mengetahui atau menemui para ulama berselisih pendapat akan dibencinya perkara ini." 

(Al Istidzkar: 3/24)

Ibnu Qudamah rohimahulloh berkata: "Dibenci mengiringi jenazah dengan membawa api." 

(Al Mughni: 2/360, no. 1540)

Ibnul Mundzir rohimahulloh berkata: "Hal itu dibenci oleh semua ulama yang telah kami hafal pendapat-pendapat mereka." Lalu beliau berkata: "Jika jenazah dikuburkan malam hari dan memerlukan pencahayaan, maka hal itu tidak apa-apa. Membawa api yang berasap itu ketika mengiring jenazah tanpa keperluan (hajah), merupakan perbuatan kaum jahiliyah." 

('Aunul Ma'bud Syarh Sunan Abi Dawud, hadits no. 3169)

Syaikhuna Yahya Al Hajuriy hafidzohulloh mengatakan: 

"Hal yang mendukung ucapan Ibnul Mundzir tersebut, bahwasanya tidak apa-apa membawa penerangan (di malam hari) jika diperlukan ketika mengiring jenazah adalah apa yang telah dikeluarkan oleh Abu Dawud (no. 3162) pada Kitab Jenazah, bab Penguburan Pada Malam Hari dari hadits Jabir bin Abdillah rodhiyallohu 'anhu, beliau berkata: "Ketika itu orang-orang melihat api di kuburan, lalu mereka mendatanginya. Ternyata Rosululloh sholallohu 'alaihi wa sallam berada di liang kuburan dan beliau berkata:

ناولوني صاحبكم

"Berikan sini (jenazah) sahabat kalian!"

Ternyata dia adalah orang yang dulunya pernah mengangkat suaranya ketika berdzikir." 

(Sanadnya hasan; Jami'ul Adillah, hal. 261)

Demikian pula dilarang mengangkat suara dengan dzikir, istighfar, tahlil dan sebagainya di depan jenazah ketika mengikutinya, karena hal ini termasuk kebid'ahan.

Qois bin 'Ubad rohimahulloh berkata:

كان أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم يكرهون رفع الصوت عند الجنائز

"Dahulu para sahabat Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam membenci mengangkat suara ketika mengikuti jenazah." 

(HR. Baihaqi, diriwayatkan oleh para perowi yang terpercaya, sebagaimana dalam Ahkamul Jana'iz, hal. 71)

Hal itu termasuk perbuatan menyerupai Nashoro, karena mereka mengangkat suara dengan melantunkan injil-injil dan dzikir-dzikir mereka dengan suara sedih.

Imam An Nawawi rohimahulloh berkata dalam kitab Al Adzkar: 

"Ketahuilah bahwa yang benar dan dilakukan oleh salaf rodhiyallohu 'anhum adalah berdiam ketika mengikuti jenazah, tidak mengangkat suara dengan bacaan apapun, baik berupa dzikir maupun selainnya. Hikmahnya jelas, yaitu bahwasanya dengan demikian pikiran menjadi lebih tenang dan terfokus pada hal-hal yang berkaitan dengan jenazah dan itu sesuatu yang diperlukan ketika itu. Ini adalah yang haq, janganlah tertipu dengan banyaknya orang yang menyelisihinya.

Abu 'Ali Al Fudhoil bin 'Iyadz rohimahulloh mengatakan:

إلزم طرق الهدي ولا يضرك قلة السالكين، وإياك وطرق الضلالة ولا تغتر بكثرة الهالكين

"Tetapilah jalan-jalan hidayah, tidak merugikan kalian sedikitnya orang yang melaluinya. Hati-hatilah dari jalan-jalan kesesatan dan janganlah tertipu dengan banyaknya orang yang binasa."

Telah diriwayatkan kepada kami dalam Sunan Baihaqi apa yang sesuai dengan yang kukatakan (yaitu ucapan Qois bin 'Ubad di atas). Adapun apa yang dilakukan oleh orang-orang jahil di Damaskus dan selainnya berupa bacaan ketika mengikuti jenazah dengan suara panjang (dilantunkan) dengan mengeluarkan kalam dari tempatnya, maka itu adalah harom hukumnya menurut ijma' (kesepakatan) ulama."

Yang lebih buruk dari itu, jika diiringi dengan lantunan alat-alat musik di depan jenazah dengan nada-nada sedih, sebagaimana yang dilakukan di beberapa negeri Islam dalam rangka mengekor kaum kafir. Wallohul musta'an

(Ahkamul Jana'iz, hal. 71)

Hukum meletakkan jenazah di atas kendaraan

Adapun meletakkan jenazah di atas kendaraan -seperti kereta, mobil jenazah dan sebagainya- ketika mengantarkannya tanpa adanya udzur -seperti jarak kuburan yang terlalu jauh, adanya angin kencang, hujan deras, rasa rakut (tidak aman) dan sebagainya-, serta mengikutinya dalam kendaraan bersama dengan jenazahnya, maka yang seperti ini tidaklah sama sekali disyariatkan. 

(Miskul Khitam: 2/223)

Hal ini dikarenakan oleh beberapa hal:

Pertama: Hal itu termasuk perbuatan menyerupai adat kaum kafir dan kita tidak boleh untuk mengikutinya menurut syariat dan diperintahkan untuk menyelisihi mereka.

Kedua: Menaikkan jenazah di atas kendaraan tersebut merupakan kebid'ahan dalam ibadah, bersamaan dengan penyelisihannya terhadap sunnah amalan dalam mengusung jenazah.

Ketiga: Hal itu melalaikan atau melewatkan tujuan dan hikmah dari mengusung jenazah, yaitu dalam rangka mengingat akhirat, sebagaimana telah disabdakan oleh Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam dalam hadits tersebut di atas.

Merupakan sesuatu yang tidak samar lagi, bahwa dengan membawa jenazah di atas pundak-pundak dan disaksikan oleh orang-orang ketika berada di atas kepala-kepala mereka itu lebih mendorong kepada terwujudnya peringatan akan kematian daripada dengan meletakkannya di atas kendaraan. Tidaklah berlebihan jika dikatakan, bahwa sesungguhnya sesuatu yang mendorong kaum kafir untuk meletakkannya di atas kendaraan adalah rasa ketakutan mereka terhadap kematian dan hal-hal yang mengingatkan kepadanya, disebabkan kecintaan mereka terhadap dunia dan kufurnya mereka terhadap hari akhir. 

(Ahkamul Jana'iz, hal. 77)

Keempat: Hal itu merupakan penyebab yang kuat sedikitnya para pengiring jenazah dan lemahnya keinginan manusia untuk mendapatkan pahala yang besar, sebagaimana tersebut di atas, karena tidak semua orang mampu untuk menyewa kendaraan guna mengantar jenazah menuju pemakamannya.

Kelima: Bentuk pengantaran jenazah tersebut tidaklah sesuai dengan apa yang dikenal dalam syariat yang suci untuk menjauhkan diri dari upacara-upacara resmi, terutama berkaitan dengan perkara kematian seperti ini.

Hukum berdiri untuk jenazah

Berdiri untuk menyambut jenazah telah dihapus pensyariatannya. Sikap berdiri tersebut ada dua macam:

Pertama: Berdirinya seseorang yang pada mulanya duduk ketika lewatnya jenazah.

Kedua: Berdirinya pengiring jenazah ketika telah sampai di pemakaman dan tidak duduk sampai jenazah diletakkan di tanah.

Keduanya telah dihapuskan sunnahnya, berdasarkan hadits Ali rodhiyallohu 'anhu, bahwasanya beliau berkata:

قام رسول الله صلى الله عليه وسلم للجنازة فقمنا، ثم جلس فجلسنا

"Dahulunya Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam berdiri untuk jenazah, maka kami pun berdiri untuknya. Kemudian setelahnya beliau duduk (tidak berdiri untuk jenazah) dan kami pun ikut duduk." 

(HR. Muslim dan selainnya)

Dalam lafal lainnya beliau berkata:

كان يقوم في الجنائز، ثم جلس بعد

"Dahulu beliau shollallohu 'alaihi wa sallam berdiri untuk jenazah, kemudian setelah itu beliau duduk (tidak berdiri untuknya)." 

(HR. Abu Dawud dan selainnya)

Dalam riwayat lainnya, beliau berkata:

كان رسول الله صلى الله عليه وسلم أمرنا بالقيام في الجنازة، ثم جلس بعد ذلك، وأمرنا بالجلوس

"Dahulu Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk berdiri ketika ada jenazah. Kemudian beliau duduk setelah itu dan memerintahkan kami untuk duduk." 

(HR. Asy Syafi'i, Ahmad dan Ath Thohawi)

Dalam riwayat Ibnu Hibban dan Baihaqi, beliau berkata:

قام رسول الله صلى الله عليه وسلم مع الجنائز حتى توضع، وقام الناس معه، ثم قعد بعد ذلك، وأمر هم بالقعود

"Dahulu Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam berdiri bersamaan dengan jenazah sampai diletakkan dan manusia ikut berdiri bersama beliau. Kemudian beliau duduk setelah itu dan memerintahkan untuk duduk."

Dalam riwayat Isma'il bin Mas'ud bin Al Hakam Az Zuroqi dari ayahnya, bahwasanya dia berkata:

شهدت جنازة بالعراق، فرأيت رجالا قياما ينتظرون أن توضع، ورأيت علي بن أبي طالب رضي الله عنه يشير إليهم أن اجلسوا، فإن النبي صلى الله عليه وسلم قد أمرنا بالجلوس بعد القيام

"Ketika aku menyaksikan jenazah di Irak, aku melihat orang-orang berdiri menunggu jenazah itu diletakkan. Aku melihat Ali bin Abi Tholib rodhiyallohu 'anhu mengisyaratkan kepada mereka untuk duduk. Sesungguhnya Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam telah memerintahkan kita untuk duduk setelah sebelumnya berdiri." 

(HR. Ath Thohawi, dihasankan oleh Al Albani dalam Ahkamul Jana'iz, hal. 78)

Lafal hadits ini dan sebelumnya telah jelas menunjukkan bahwa berdiri untuk jenazah sampai diletakkan itu telah dihapus pensyariatannya dan sekarang menjadi sesuatu yang tidak disyariatkan untuk dilakukan kembali. 

(Ahkamul Jana'iz, hal. 78; Jami'ul Adillah, hal. 258; Mulakhosh, hal. 51-52)

Hukum mengirim atau memindahkan jenazah ke daerah atau negeri lain

Para ulama berbeda pendapat dalam masalah memindahkan atau mengangkut jenazah sebelum dikuburkan ke daerah atau negeri lain.

Pendapat pertama, bahwasanya hal itu makruh (pendapat 'Aisyah dengan sanad yang terdapat kelemahan di dalamnya, Al 'Auza'i, Ibnul Mundzir dan sebagian Syafi'iyah, juga pendapat Muhammad bin Hasan dari Hanafiyah jika jaraknya lebih dari satu atau dua mil) atau harom (pendapat An Nawawi dan sebagian Syafi'iyah). Mereka mengatakan bahwa syariat memerintahkan kita untuk mempercepat penguburan. Sedangkan memindahkan ke daerah lain dapat memperlambat proses tersebut dan manfaatnya tidak begitu besar, sehingga hukumnya makruh. Demikian juga memindahkannya ke daerah lain akan beresiko berubah atau rusaknya jasad mayit, sedangkan segera menguburkannya di tempat meninggalnya dapat terhindarkan dari hal itu dan juga memperkecil biayanya.

Pendapat kedua, bahwasanya hal itu boleh, akan tetapi harus terhindarkan dari kerusakan jasad mayit, mengandung kemaslahatan atau dengan tujuan yang dibenarkan (pendapat sebagian besar Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah). Sebagian Syafi'iyah membolehkan jika dipindah ke tempat yang lebih afdhol dan dekat, seperti dekat Mekkah, Madinah atau Baitul Maqdis. Menurut Malikiyah juga, dibolehkan jika untuk dikuburkan di dekat keluarga dan kerabatnya. Mereka mengatakan bahwa hukum asal memindahkan jenazah ke daerah lain itu tidak dilarang. Tidak ada dalil shohih yang melarang hal itu. 

(Fathul 'Allam: 2/334-335; Miskul Khitam: 2/224; Ahkamul Maqobir, hal. 246-250)

Kesimpulan dari masalah ini, bahwasanya hukum memindahkan jenazah untuk dikuburkan ke daerah lain tersebut sesuai dengan keadaan dan tempatnya. Hukumnya harom, jika hal itu menyebabkan rusak atau berubahnya jasad mayit, meskipun dia telah berwasiat untuk itu. Hukumnya wajib, jika pada kondisi darurat, seperti meninggal di daerah musuh dan kemungkinan untuk dirusak jasadnya oleh mereka. Hukumnya boleh, jika di sana terdapat tujuan yang dibenarkan dan adanya maslahat untuk itu serta tidak terjatuh pada hal terlarang dan tidak memberatkan yang hidup atau walinya. Sebaliknya, jika tidak ada hajah atau tujuan yang dibenarkan dan tidak adanya maslahat serta jika hal itu memberatkan bagi siapa yang mengurusinya, maka hendaknya dikuburkan dimana ia meninggal, tidak dibawa ke daerah lain, dikarenakan yang demikian itu akan menunda waktu proses penguburan jenazah yang hal ini bertentangan dengan perintah syariat untuk menyegerakan penguburan jenazah sebagaimana yang telah diterangkan di atas. Wallohu a'lam. 

(Miskul Khitam: 2/224; Ahkamul Maqobir, hal. 251)

Memindahkan jenazah muslim yang meninggal di negeri kafir untuk dikuburkan di negeri Islam diperbolehkan oleh para ulama. 

(Fatwa Lajnah Da'imah, pimpinan Syaikh Ibnu Bazz rohimahulloh: 8/451; Fathul 'Allam: 2/335)

Beberapa kebid'ahan ketika mengantar jenazah

Diantara kebid'ahan yang dijumpai ketika mengantarkan jenazah adalah sebagai berikut:

1- Mengantarkan jenazah ke tempat-tempat yang jauh sekali untuk dikuburkan di dekat kuburan orang sholeh seperti ahli bait dan sebagainya.

2- Membawa bendera-bendera atau payung di atas jenazah.

3- Meletakkan 'imamah dan sebagainya di atas kayu keranda dengan tujuan untuk menunjukkan kepribadian si mayit.

4- Membawa rangkaian bunga dan foto mayit di depan jenazahnya.

5- Menyembelih domba di bawah pintu rumah mayit ketika keluar menuju pemakaman dan keyakinan sebagian mereka bahwa jika tidak dilakukan, maka akan mati tiga orang dari ahli bait (keluarganya) menyusul si mayit.

6- Membawa roti (makanan) dan domba (kambing) di depan iringan jenazah dan menyembelihnya setelah pemakaman untuk disebarkan bersama rotinya.

7- Keyakinan sebagian orang bahwa jenazah yang sholeh itu akan terasa ringan dipikul dan cepat jalannya.

8- Mengkhususkan untuk bershodaqoh bersamaan dengan mengantar jenazah, diantaranya dengan membagi-bagikan minuman dan sebagainya di perjalanan.

9- Ketika memulai mengangkat jenazah, selalu mengangkatnya mulai dari sebelah kanannya dahulu.

10- Memikul jenazah dengan memulai melangkah sebanyak sepuluh langkah oleh setiap orang yang memikulnya pada sisinya yang empat. Mereka berdalil dengan hadits yang tidak shohih, bahkan lemah sekali atau palsu:

من حمل جنازة أربعين خطوة كفرت عنه أربعين كبيرة

"Siapa yang memikul jenazah sebanyak empat puluh langkah, maka akan diampuni dosanya sebanyak empat puluh dosa besar."

Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Bakar An Najad (Hasyiyah Syarhul Maniyyah: 1/833). Dalam sanadnya terdapat perowi bernama Ali bin Abi Saroh -dho'if- dan hadits ini termasuk riwayat yang diingkari darinya, sebagaimana kata Imam Adz Dzahabi. Syaikh Al Albani rohimahulloh memasukkan hadits ini ke dalam kumpulan hadits-hadits palsu yang terdapat dalam Al Jami'ush Shoghir. Bersamaan dengan itu, hadits ini tidaklah menunjukkan atas perbuatan kebid'ahan yang mereka adakan tersebut. 

(Ahkamul Jana'iz, hal. 249)

11- Memperlambat berjalan ketika mengantarkan jenazah.

12- Berkerumun dan berdesak-desakan di sekitar keranda. Akan tetapi hendaknya jika ada kesempatan untuk memikul, maka silahkan ia memikul dan jika tidak, maka tidak berdesakan dan menyakiti lainnya.

13- Tidak mau mendekati jenazah.

14- Berbuat gaduh dan tidak tenang ketika mengantar jenazah.

15- Mengeraskan dzikir, bacaan Al Quran atau syair-syair burdah dan sebagainya.

16- Berdzikir di belakang jenazah dengan lafdzul jalalah, burdah, dala'il ataupun asma'ul husna.

17- Mengucapkan di belakang jenazah: "Allohu akbar, Allohu akbar, asyhadu annalloha yuhyii wa yumiit, wa huwa hayyun laa yamuut, subhaana man ta'azzaza bil qudroh wal baqoo' wa qohril 'ibaad bil maut wal fanaa'." (Alloh maha besar, Alloh maha besar, akau bersaksi bahwa Alloh yang menghidupkan dan mematikan dan Dia maha hidup tidak mati, maha suci Dzat yang maha kuat dengan kekuasaan dan kekekalan serta mengalahkan para hamba dengan kematian dan kehancuran).

18- Berseru di belakang jenazah dengan mengucapkan: "Istaghfiruu lahuu, yaghfirullohu lakum," (Mintakan ampunan untuknya, maka Alloh akan mengampuni dosamu!) dan sebagainya.

19- Berseru dengan lafal, "Al Fatihah!" ketika melewati kuburan seorang yang sholeh dan juga ketika di perempatan, pertigaan atau persimpangan jalan.

20- Ucapan seseorang yang menyaksikan jenazah, "Alhamdulillahilladzii lam yaj'alnii minas sawaadil mukhtarom." (Segala puji bagi Alloh yang tidak menjadikanku termasuk orang yang binasa).

21- Keyakinan sebagian mereka bahwa jenazah yang sholeh akan berhenti di sisi kuburan seorang wali ketika melewatinya, meskipun tidak dikehendaki oleh para pengusungnya.

22- Ucapan ketika melihat jenazah, "Hadza maa wa'adanallohu wa rosuluhu, wa shodaqollohu wa rosuluhu, Allohumma zidnaa imaanan wa taslimaa." (Inilah yang telah Alloh dan Rosul-Nya janjikan dan benarlah Alloh dan Rosul-Nya, ya Alloh, tambahkanlah kepada kami keimanan dan penerimaan).

23- Mengikuti jenazah dengan membawa pembakaran dupa.

24- Thowaf (berjalan mengelilingkan) jenazah di sekeliling kuburan.

25- Mengelilingkan jenazah di ka'bah (thowaf) sebanyak tujuh kali.

26- Pengumuman akan adanya jenazah di pintu-pintu masjid.

27- Meratapi dan menyebut-nyebut kebaikan jenazah ketika mendatanginya di masjid sebelum menyolatinya atau setelahnya dan juga sebelum diangkat atau setelah pemakamannya di kuburan.

28- Selalu membawa jenazah di atas kendaraan dan mengiringnya dengan kendaraan-kendaraan.

29- Membawa sebagian jenazah di atas gerobak meriam. (Ahkamul Jana'iz, hal 248-251)

Demikianlah pembahasan hukum-hukum syariat Islam dalam mengusung dan mengantarkan jenazah. Insyaalloh akan diteruskan dengan pembahasan selanjutnya, yaitu tata cara sholat jenazah sesuai sunnah. Semoga dapat bermanfaat dan menjadi amalan sholeh bagi kita semuanya.

Wabillahit taufiq wal hidayah, wal hamdulillahi Robbil 'alamin.

Ditulis: Mushlih Abu Sholeh Al Madiuniy -waffaqohulloh- (21 Robi'ul Awwal 1436)

Maroji':
- Ahkamul Jana'iz wa Bida'uha, karya Imam Al Albani rohimahulloh, cet. 4 Maktabul Islami, 1406.
- Jami'ul Adillah wat Tarjihat fii Ahkamil Amwat, oleh Syaikh Yahya bin Ali Al Hajuri, cet. 1 Maktabah Shon'a Al Atsariyah, 1427.
- Mulakhosh Ahkamil Jana'iz, oleh Syaikh Abdulloh bin Ahmad Al Iryani, cet. 1 Darul Atsar, 1430.
- Jilbab Al Mar'ah Al Muslimah, karya Imam Al Albani rohimahulloh, cet. 3 Darus Salam, 1423.
- Fathul 'Allam fii Dirosati Ahadits Bulughil Marom, oleh Syaikh Muhammad bin Hizam Al Ba'dani, cet. 1 Dar Al 'Ashimah, 1434.
- Miskul Khitam Syarh 'Umdatil Ahkam, oleh Syaikh Zayid bin Hasan Al Wushobi, cet. 1 Maktabah Al Falah, 1434.
- Ahkamul Maqobir fi Asy Syari'ah Al Islamiyah, oleh Dr. Abdulloh bin Umar As Suhaibaniy, cet. 3 Dar Ibnul Jauzi, 1433.



🅹🅾🅸🅽 🅲🅷🅰🅽🅽🅴🅻 🆃🅴🅻🅴🅶🆁🅰🅼

_*NASEHAT UNTUK SEKIRANYA TIDAK MEMONDOKKAN ANAK SEBELUM MENCAPAI BALIGH*_

_*Telah Di Periksa Oleh Asy-Syaikh Abu Fairuz Abdurrohman Bin Soekojo Al Indonesiy حفظه الله تعالى*_                بِسْمِ اللّهِ الرَّحْمَن...