_*NASEHAT UNTUK SEKIRANYA TIDAK MEMONDOKKAN ANAK SEBELUM MENCAPAI BALIGH*_




_*Telah Di Periksa Oleh Asy-Syaikh Abu Fairuz Abdurrohman Bin Soekojo Al Indonesiy حفظه الله تعالى*_


               بِسْمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْ


Telah sampai kepada kami beberapa persaksian ataupun keterangan terkait adanya sebagian markiz atau pondokan ahlussunnah di indonesia yang mana mereka itu di dapati menerima atau pernah menerima murid untuk mondok (diasramakan) di markiz mereka dalam keadaan si anak tersebut belum mencapai baligh (dewasa).

Maka pada kesempatan ini kami ingin membahas secara singkat terkait permasalah tersebut dengan harapan agar nantinya bisa menjadi bahan renungan bagi kita semua dalam rangka untuk mengedepankan sikap kehati²an, khususnya bagi setiap yang menisbatkan diri kepada salafiyyah (Ahlussunnah).


Akhi fillah barakallahu fiikum....


Perlu untuk di ketahui bersama bahwasanya syari'at islam sejatinya menghendaki atau menginginkan agar setiap anak yang belum mencapai baligh untuk tetap berada di bawah pengasuhan ibu kandungnya (tinggal bersama ibu kandungnya).

Adapun satu diantara hikmah dari perkara tersebut adalah agar si anak yang belum mencapai baligh tersebut bisa tetap memperoleh ataupun mendapatkan belaian kasih sayang dan juga perhatian dari ibu kandungnya secara langsung, setidaknya sampai si anak tersebut mencapai baligh (dewasa).

Dan tentunya hal itu adalah merupakan satu diantara bentuk rahmat Allah 'azza wajalla yang telah di tetapkan di dalam syariatNya yang mulia. Dan bahkan syariat sendiri mengancam dengan keras bagi siapa saja yang secara sengaja berusaha untuk memisahkan antara anak dengan ibu kandungnya.

Dari Abu ‘Abdirrahman Al Hubuliy, dari Abu Ayyub Radhiyyallahu'anhu, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam berkata,

ُ مَنْ فَرَّقَ بَيْنَ الْوَالِدَةِ وَوَلَدِهَا فَرَّقَ اللَّهُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ أَحِبَّتِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ


*“Barangsiapa memisahkan antara ibu dan anaknya, maka Allah akan memisahkan dia dan orang yang dicintainya kelak di hari kiamat.”*

(HR. Tirmidzi, beliau menyatakan bahwa hadits ini hasan ghorib dan Syaikh Al Albani menyatakan bahwa hadits tersebut hasan).

Hadits diatas bersifat umum, yaitu mencakup seluruh perbuatan yang sifatnya sengaja memisahkan antara anak dengan ibu kandungnya (tanpa keridhoan), yang tentunya hal itu adalah merupakan bentuk kezhaliman.

Dan ma'ruf di zaman dahulu kasus memisahkan antara seorang anak dengan ibu kandungnya biasa terjadi dalam kasus perbudakan, di mana terkadang di dapati adanya para pemilik budak yang sengaja menjual budak wanitanya secara terpisah dari anak kandungnya yang belum mencapai baligh, maka syariatpun melarang dan mengecam tindakan yang semacam itu.

Maka secara global dapat di pahami bahwasanya dalam hal ini syariat memang menginginkan atau menghendaki agar setiap anak yang belum mencapai baligh untuk tetap berada di bawah pengasuhan ibu kandungnya.

Dari shahabat Ubadah bin Shamit radhiyyallahu'anhu berkata,

نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم أن يفرق بين الأم وولدها . فقيل : يا رسول الله إلى متى ؟ قال :  حتى يبلغ الغلام ، وتحيض الجارية

*Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam melarang memisahkan antara ibu dan anaknya. Ada yang bertanya pada beliau, “Wahai Rasulullah, sampai kapan?”. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Sampai mencapai baligh bila laki-laki dan haidh bila perempuan,”.*

(HR. Al Hakim dalam Mustadroknya. Al Hakim berkata bahwa hadits tersebut sanadnya shahih dan tidak dikeluarkan oleh Bukhari-Muslim).


Meskipun hadits tersebut lebih menjurus terkait permasalahan hak asuh anak ketika terjadi suatu perceraian antara pasangan suami istri, akan tetapi makna dan cakupan dari hadits tersebut adalah bersifat global atau umum.

Yang mana pada intinya syariat islam menginginkan atau menghendaki agar setiap anak, baik itu anak laki² maupun anak perempuan agar tetap berada di bawah pengasuhan ibu kandungnya setidaknya sampai anak tersebut mencapai baligh bagi laki² dan telah mencapai haidh bagi perempuan.

Dan mafhumnya jika ayah kandung dari si anak itu sendiri tidak lebih berhak dari ibu kandungnya dalam hal hak asuh anak yang belum mencapai baligh, maka secara analoagy pihak² lain selain dari pada ayah kandung dari anak tersebut tentunya lebih tidak berhak lagi. Semisal para ustadz² pengasuh yang ada di pondokan/markiz atau pihak² selainnya.

Maka dari itu, selama ibu kandung dari si anak tersebut bukan seorang yang musyrik, kafir, murtad, ahlul bid'ah dan semacamnya, maka hendaknya kita semua membiarkan setiap anak yang belum mencapai baligh tersebut untuk tetap berada di bawah pengasuhan & pengawasan ibu kandungnya.

Dalam artian jangan buru² di titipkan atau di masukkan atau di terima untuk tinggal di asrama pondokan/markiz yang kemudian menyebabkan si anak tersebut terpisah dari ibu kandungnya (baik secara pengasuhan maupun pengawasan). Akan tetapi setidaknya kita menunggu sampai si anak tersebut mencapai baligh.

Adapun untuk sementara waktu si anak yang belum mencapai baligh tersebut bisa belajar agama melalui ta'lim yang ada di masjid sekitar kampungnya, yang memungkinkan bagi si anak untuk tetap pulang pergi setiap harinya dan juga di tambah dengan pengajaran agama dari kedua orang tuanya di rumah.

Oleh karena itu, bagi setiap orang tua yang malas untuk menuntut ilmu agama sehingga pada akhirnya menyebabkan mereka tidak mampu untuk mendidik anak²nya terkait perkara agama, maka berhati²lah!.
Sebab mereka kelak akan menanggung akibat dari kelalaiannya tersebut di hadapan Allah 'azza wajalla.

Dan bahkan Allâh 'Azza wajalla sendiri telah berwasiat kepada kita semua di dalam kitab Nya yang mulya :

قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا

*‘Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka!’*


Imam thabari rahimahullah berkata di dalam tafsirnya :

Perkataan Allah ta'ala

*" PELIHARALAH DIRIMU "*

Maksudnya :

*Hendaklah sebagian kamu mengajarkan kepada sebagian yang lainya perkara yang dengannya orang yang kamu ajari bisa menjaga diri dari neraka, menolak neraka darinya jika diamalkan. Yaitu ketaatan kepada Allâh dan lakukanlah ketaatan kepada Allâh*.


*" DAN KELUARGAMU DARI API NERAKA "*

Maksudnya :

*‘Ajarilah keluargamu dengan melakukan ketaatan kepada Allâh yang dengannya akan menjaga diri mereka dari neraka. Para ahli tafsir mengatakan seperti apa yang kami katakan ini*.
(Tafsir ath-Thabari, 23/491)


Dan dari shahabat ibnu umar radhiyyallahu'anhu sesungguhnya Nabi Shallahu 'alaihi wasallam berkata :

أَلاَ كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

*Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban atas apa yang dipimpinnya.*
(HR: Muslim)

Dan hakikat dari setiap laki² yang telah menikah adalah merupakan pemimpin bagi anak serta istrinya, maka hendaknya mereka berusaha untuk bersungguh² dalam menuntut ilmu agar bisa menjadi pemimpin yang baik bagi keluarganya, sebab kelak mereka akan di mintai pertanggung jawaban atas apa² yang di pimpinnya.

Wallahu ta'ala a'lam



Maka dari uraian singkat diatas kami ingin menghimbau kepada setiap markiz² Ahlussunnah di manapun mereka berada. Apabila mereka hendak menerima calon murid untuk di titipkan/di pondokan di markiz² mereka, yang mana apabila usia si calon murid tersebut masih berada di bawah usia 15 tahun.

Maka salah satu di antara perkara yang patut untuk di tanyakan kepada si wali murid adalah,

*APAKAH SUDAH MUNCUL TANDA² BALIGH PADA DIRI ANAK LAKI² ANTUM?*

atau semisal itu


Adapun terkait tanda² baligh bagi anak laki² itu sendiri maka para ulama' telah menjelaskan di antaranya :

● *Ihtilam* (mimpi basah). Hal ini berdasarkan (QS. Annur : 59). Sebagaimana yang di jelaskan oleh Syeikh Sa'di rahimahullah didalam tafsirnya dan juga Imam ibnu qudamah rahimahullah dalam ktabnya Al mughni.

● *Al inbaat* (Tumbuh Bulu kasar pada kemaluan). Hal ini berdasarkan hadist dari Shahabat Athiyyah Al Qurazhi
Radhiyyallahu'anhu yang di diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud, Tirmidzi, An Nasa'i dan Ibnu Majah rahimahumullah.

● *Telah genap mencapai usia 15 tahun*. Hal ini berdasarkan hadits dari Shahabat ibnu Umar Radhiyyallahu'anhu yang di sampaikan oleh Nafi' kepada khalifah Umar bin Abdul Aziz rahimahumullah. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh imam Bukhari & Muslim rahimahumullah di dalam shahihnya.


Oleh karenanya, jika memang telah muncul satu diantara tanda² baligh diatas maka silahkan pemilik markiz menerima si anak untuk tinggal di asrama pondokan atau markiz. Adapun sebaliknya jika belum muncul satu diantara tanda² baligh diatas maka sebaiknya jangan di terima terlebih dahulu, setidaknya sampai di dapati muncul satu diantara tanda² baligh tersebut.

Dan tentunya hal ini adalah dalam rangka untuk mengedapankan sikap kehati²an, yaitu: menghindari keumuman dari hadist Nabi shalallahu 'alaihi wasallam yang melarang untuk memisahkan antara anak dengan ibu kandungnya sebelum si anak tersebut mencapai baligh.

Wallahu ta'ala a'lam



Catatan :
Pada kesempatan ini kami menyertakan audio tanggapan dari Syeikh Abu fairuz حفظه الله تعالى terkait tulisan kami ini sebagai bentuk faidah tambahan yang saling melengkapi. Dan hal itu adalah berdasarkan pengalaman beliau ketika dahulu masih berada di markiz yaman.




Setiap kebenaran adalah datangnya dari Allah 'azza wajalla, dan setiap kekeliruan adalah datangnya dari kebodohan kami pribadi serta dari godaan syaitan yang terkutuk.



✍🏻 _*Ibnu Abdirrahman Hanif Indrapury*_

_*Berkata Syaikhuna Abu Fairuz hafidzahullah Berkaitan dengan Tulisan Nasehat Untuk Tidak Memondokkan Anak Sebelum Baligh*_

_*بسم الله الرحمن الرحيم*_
_*In sya Allah itu tulisan yang baik, nasehat yang baik, sudah pada tempat nya, bahkan ana tanyakan langsung kepada Syaikh Yahya di dammaj dulu , bagaimana dengan anak anak ini apakah memang mereka di wajibkan ada wali, padahal ini masalah laki-laki, bukan yang perempuan, yang perempuan lebih berat lagi urusan nya, tetapi yang laki laki, kata Syaikh Yahya yaitu selama belum baligh maka mereka hendaknya tetap memiliki wali di sini, karena terkait dengan pendidikan, terkait dengan pengawasan, terkait juga dengan Tarbiyah yang sangat detail, jangan sampai dia malah di bebaskan, karena boleh jadi akan rusak karena pergaulan, belum tentu orang yang di pondok semuanya adalah baik, ma'ruf yang seperti itu dan banyak kasus² di berbagai negara dan di berbagai pondok tatkala si anak itu di bebaskan mondok dalam keadaan tidak di sertai oleh wali nya*_

"Sesungguhnya orang-orang jenius mereka tidak merasakan aman dari empat perkara;


💡Berkata Imam Abdullah Bin Al Mubarok -Semoga Allah merohmati nya-:

"Sesungguhnya orang-orang jenius mereka tidak merasakan aman dari empat perkara;

- Dari dosa terdahulu, ia tidak mengetahui apa yang Robb -'Azza WaJalla- akan perbuat padanya

- Dari umur yang tersisa, ia tidak mengetahui apa yang terdapat padanya berupa kebinasaan

- Dari ketergelinciran hati -sesaat-, terkadang seseorang direnggut darinya agamanya tanpa ia sadari

- Dan dari karunia, yang terkadang seorang hamba dikaruniai, namun bisa jadi itu adalah tipu daya dan istidroj..

[ Dari Kitab: "Siyar A'lamin Nubala", (8/359) ].

💡 قال الإمام عبدالله بن المبارك

رحمه الله :

إن البصراء لا يأمنون من أربع :

ذنب قد مضى لا يدري ما
يصنع فيه الرب عز وجل. 

وعمر قد بقي لايدري ما فيه من الهلكة،

وزيغ قلب ساعة،
قد يسلب المرء دينه ولا يشعر

وفضل قد أعطى العبد لعله
مكر واستدراج...

سير أعلام النبلاء ( 8/359)



✍Faidah Dari Ummu Yusuf Marwah Al Ambooniyyah Istri Asy Syaikh Al Waalid Abu Ibrohim Muhammad Maani' حفظهما الله
Aden Yaman Selasa 16 Jumaadil Akhir 1444 / 10.1.2023

✍Diterjemahkan Oleh Al Ustadz Abu Sulaim Sulaiman Al Ambooniy حفظه الله


⏳TA'AWUN DAN BERSEMANGAT MEMBERI IFTHAR (HIDANGAN BUKA PUASA) KEPADA ORANG YANG BERPUASA.

نصـيـحـة للـنــساء:

Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam bersabda dari Zaid Bin Khalid Al_Juhany Radhiallahu Anhu:

من فطَّر صائمًا كان له مثلُ أجرِه ، غير أنه لا ينقُصُ من أجرِ الصائمِ شيءٌ

"Siapa yang memberi hidangan buka puasa untuk orang yang berpuasa, maka dia mendapatkan seperti pahalanya, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa itu."

📚 HR. At Tirmidzi no 807, Ibnu Majah no 1746, Imam Ahmad 5/182 dan
dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib no 1078, dan Shahih Al_Jami' 6415.

⭕BAGAIMANA UKURAN PORSI MEMBERI HIDANGAN BUKA PUASA SEHINGGA IA MENDAPATKAN PAHALA NYA ORANG BERPUASA SEBAGAIMANA DALAM HADITS ?

🖋️Berkata Imam As-Shon'aany rahimahullah :

( من فطر صائما ) أعطاه ما يفطر به ولو جرعة من ماء ( كان له مثل أجره ) أي مثل أجر صومه ( غير أنه لا ينقص ) مما يعطاه المفطر ( من أجر الصائم شيئا ) وينبغي للصائم قبول ما يعطاه أن يفطر به إعانة لأخيه على الآخرة وإجابته إن دعاه للعشاء.

(Barangsiapa yang memberikan buka kepada orang berpuasa) memberikan kepadanya sesuatu untuk dia berbuka walaupun hanya SATU TEGUK AIR, (baginya pahala semisal pahalanya), yaitu semisal pahala puasanya, (tanpa mengurangi) dari apa yang diberikan kepada orang yang berbuka, (dari pahala orang berpuasa sedikitpun) dan sepantasnya bagi orang berpuasa menerima apa yang diberikan kepadanya untuk dia berbuka dengannya sebagai bentuk pertolongan bagi saudaranya atas akhiratnya (sehingga ia mendapatkan pahala), dan memenuhi panggilannya jika dia mengundangnya untuk makan malam.

📚 At_Tanwiir Syarh Al Jaami'is Shoghiir/1/329

🖋️Berkata Imam Nawawi rahimahullah,

قَالَ الْمُتَوَلِّي فَإِنْ لَمْ يَقْدِرْ عَلَى عَشَائِهِ فَطَّرَهُ عَلَى تَمْرَةٍ أَوْ شَرْبَةِ مَاءٍ أَوْ لَبَنٍ 

"Al-Mutawalli mengatakan, jika seseorang tidak mampu memberi buka puasa dengan hidangan makan malam, maka dia bisa memberi buka dengan KURMA, AIR MINUM, ATAU SUSU."

📚Al-Majmu', 6/363

🖋️Al Allamah Ibnul Utsaimin mengatakan,

ولكن ظاهر الحديث : أن الإنسان لو فطر صائما ولو بتمرة واحدة فإنه له مثل أجره .

"Namun, zhahir hadis ini, seseorang memberi makan orang yang puasa, MESKIPUN SEBUTIR KURMA, maka dia mendapat semisal pahalanya."

📚 Syarh Riyadus_shalihin 5/315

🖋️Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baaz rahimahullah

Penanya :

هل يلزم الإشباع في أجر مَن فطَّر صائمًا؟

“Barangsiapa yang memberi hidangan berbuka kepada orang yang berpuasa, maka dia akan mendapatkan pahala semisal pahala puasanya, apakah hal ini harus sampai kenyang.
Apa pendapat anda dalam perkara ini?

Jawaban :

لا، الأحاديث تدل على أنه ما هو لازم الإشباع.

Tidak, hadits-hadits menunjukkan, bahwasanya TIDAK HARUS SAMPAI MENGENYANGKAN.

Penanya : Berarti bisa diperoleh pahalanya, walaupun tidak mengenyangkan?

Jawaban :

ولو ما أشبعه نعم

Iya , walaupun tidak mengenyangkan.

📚Fatawa Ad-Durus

Jangan menganggap kesempatan terbatasi dan peluang tertutup serta terhalangi demi mendapatkan keutamaan pahala orang yang berpuasa sebagaimana dalam hadits, karena dengan alasan ketidakmampuan kita dalam menyiapkan nasi dos dan kue yang beranekaragam dan sementara kemampuan kita sekedar hanya memberikan buka puasa dengan sebutir kurma atau satu gelas air minum ukuran kecil.

Apa yang kita sumbangkan berupa hidangan buka puasa besar atau kecil itu termasuk:

Dari kesempurnaan iman dan baiknya keislaman seseorang,

Sebagai dalil akan berbaik sangkanya ia kepada Allah dan tsiqah terhadapnya.

Sebagai bentuk menjalankan kesyukuran atas nikmat Allah Ta'ala,

Sebagai sebab mendapatkan kecintaan Allah dan kecintaan makhluk.

Sebagai bentuk antipati dan rasa kasihan untuk saling berbagi serta demi menutup hajat pada orang yang miskin dan orang yang butuh

Sebagai bentuk pensucian diri dengan mengeluarkan kekikiran dan kebakhilan dari jiwa.

Sebagai sebab keberkahan harta dan berkembangnya dan terjaganya seseorang dari segala musibah dan bala'

Sebagai jalan untuk sampai kesurga Allah.


⭕APAKAH YANG DIBERI HIDANGAN BUKA PUASA ITU HARUS ORANG MISKIN?

DAN TERMASUK SALAH SATU SUNNAH ISLAM ADALAH MEMBERI HIDANGAN BUKA PUASA PADA ORANG YANG MISKIN

🖋️Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:

إعانة الفقراء بالإطعام في شهر رمضان ؛ هو من سنن الإسلام ، فقد قال النبي ﷺ (من فطّر صائماً فله مثل أجره)

"Membantu kepada orang miskin dengan memberi makanan pada bulan ramadhan termasuk dari sunnah Islam,

Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda:

'Barang siapa memberi hidangan berbuka bagi seorang yang sedang berpuasa maka baginya pahala semisal pahala berpuasa.'

📚 Majmu' Fatawa 25/298

Bukan suatu keharusan hidangan buka puasa diberikan kepada orang yang miskin, tapi bisa juga diberikan orang yang mampu baik dari kerabat atau teman, maka ia akan mendapatkan keutamaan dari hadits tersebut, hanya saja lebih dianjurkan memberikan hidangan buka puasa bagi orang yang miskin.

🖋️ Al-'Allamah Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah menerangkan,

الحديث عام يعم الغني والفقير، والفرض والنفل، وفضل الله واسع سبحانه وتعالى

"Hadits di atas bersifat umum, mencakup orang yang berpuasa tersebut berkecukupan dan orang yang miskin, baik itu puasa wajib atau sunnah. Keutamaan Allah subhanahu wa ta'ala amat luas."

📚Majmu' Fatawa wa Maqalat, 25/207

🖋️Asy-Syaikh Muhammad al-'Utsaimin berkata,

ينبغي للإنسان أن يحرص على تفطير الصوام بقدر المستطاع لاسيما مع حاجة الصائمين وفقرهم أو حاجتهم لكونهم ليس في بيوتهم من يقوم بتجهيز الفطور لهم وما أشبه ذلك

"Sepantasnya bagi seseorang untuk bersemangat memberi hidangan berbuka bagi orang yang berpuasa sesuai dengan kemampuannya, terkhusus lagi orang orang yang berpuasa kondisinya butuh dan kehidupannya miskin, dikarenakan keberadaan mereka yang tidak ada menyiapkan buka puasa di rumah rumah mereka ataupun yang semisal itu.

📚Syarah Riyadhus_ Shalihin, 5/314

🖋️ Dan beliau rahimahullah juga berkata :

وينبغي لمَن عنده القدرة أن يحرص على تفطير الصُوَّام إما في المساجد، أو في أماكن أخرى؛ لأن مَن فطَّر صائمًا له مثل أجره، فإذا فطَّر الإنسان إخوانه الصائمين، فإن له مثل أجورهم، فينبغي أن ينتهز الفرصة مَن أغناه الله تعالى حتى ينال أجرًا كثيرًا.

Dan sepantasnya bagi siapa yang punya kemampuan untuk bersemangat memberikan hidangan buka puasa, sama saja di masjid masjid atau ditempat lain, karena siapa yang memberikan hidangan buka puasa, maka baginya pahala semisal pahalanya orang yang berpuasa, dan jika seseorang memberikan hidangan buka puasa pad a saudara saudaranya yang berpuasa, maka baginya semisal pahala mereka yang berpuasa. Dan sepantasnya siapa yang Allah berikan kecukupan padanya untuk bersemagat mengambil kesempatan dalam hal ini hingga ia mendapatkan pahala yang besar.

📚 As_sual Fish_shiyam hal 19_20.

والله اعلم بالصواب


Abu Hanan As-Suhaily

2 Sya'ban 1444 -22/2/2023


⏳BERBUKA PUASA DENGAN KURMA.

نصـيـحـة للـنــساء:


Datang hadits ari Salman bin 'Amir Adh_dhobbi radhialloohu 'anhu dari Nabi Shollallaahu 'alaihi wassallam ia berkata

إذا أفطر أحدكم فليفطر على التمر ، فإن لم يجد فليفطر على الماء فإنه طهور.

Dan jika salah seorang dari kalian ingin berbuka, maka hendaknya ia berbuka dengan kurma , dan jika ia tidak mendapatkan maka hendaknya ia berbuka dengan air, sebab air itu thahur (suci )(HR imam Ahmad 4/17, 18, 213 , Abu Dawud no 2355 , At_tirmidzi no 658 , Ibnu Majah 1699 , An _ Nasai dalam Al kubro 2/214-215 , Ibnu Hibban no 3515 , Al hakim 1/431 dan hadits ini dilemahkan oleh syaikh Al_Allamah  Al_Albani dalam Al' irwa 4/49-50, sebab dalam sanadnya terdapat seorang perawi yang maj'hulah yaitu ar_rabab bintu Ash_shulay'i .)

Dan juga datang hadits dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu, ia berkata :

ٍ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُفْطِرُ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّيَ عَلَى رُطَبَاتٍ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ رُطَبَاتٌ فَتُمَيْرَاتٌ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تُمَيْرَاتٌ حَسَا حَسَوَاتٍ مِنْ مَاءٍ

Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam selalu berbuka dengan ruthab / kurma basah sebelum shalat, jika beliau tidak mendapatinya, maka (beliau berbuka) dengan beberapa kurma kering dan jika tidak mendapatkan kurma kering, beliau berbuka dengan meneguk beberapa tegukan air (HR  At Tirmidzi 3/381 dan selainnya dan dihasankan oleh Syaikh Al Allamah Al_Muhaddits Muqbil Al wadi'i dalam Al_ Jami'  Ash_shohih mimma laysa fi Ash_Shohihain 2/470_471 no 1460 dan Imam Al_Albany dalam Irwaul Ghalil 4/45 no 922).

Akan tetapi disebutkan oleh ahli Ilmi beberapa illah/cacat yang menjadikan sebab kelemahan hadits tersebut :

▪️Abdur_razzaq Ash_Shan'any bersendirian dengan lafazd tersebut dari Ja'far Bin Sulaiman  Adh_Dhubai' dari Tsabit al_Bunani dari Anas Radhiyallahu Anhu.

Berkata Abu Zur'ah dan Abu Hatim, kami tidak mengetahui meriwayatkan hadits ini kecuali Abdur razzaq dan kami tidak mengetahui dari mana Abdur Razzaq datang dengan hadits ini. (Lihat Al_Ilal karya Ibnu Abi Hatim 1/224-225). 

Dan hadits tersebut disebutkan oleh Imam Adz_dzahabi dalam Al_Mizan (1/408) bahwa hadits tersebut dari perkara yang diingkari atas Ja'far Bin Sulaiman Adh_dhubai' .

▪️ Dan didalamnya terdapat gharobah, dan juga dari sisi Ja'far Bin Sulaiman Adh_Dhubai' bersendirian dengan konteks tersebut dari tsabit Al_Bunani dalam penyebutan kalimat ruthab (kurma basah) dan tidak ada seorang pun yang mengikuti atasnya dari sisi yang shahih.

🖋️ Berkata Syaikhuna Fathul Qadasi hafidzahullah Ta'ala dari apa yang kami tanyakan tentang hadits di atas :

شيخنا المقبل يتراجع عنه او ذكر فيه العلة

Syaikh kami Muqbil Al_Wadi'i taroju' dari menghasankan hadits tersebut atau beliau menyebutkan illah (cacat) pada hadits itu.

📚 Selesai penukilan

Dan telah datang hadits Anas dari jalan jalan lain dari Humaid Ath_thawil, Qatadah, Buraid Bin Abi Maryam, Ibnu Juraij dan selain mereka dengan tidak menyebutkan ruthab/kurma basah.

Dari Humaid Ath_thowil dari Anas, ia berkata:

ما رأيت النبي صلى الله عليه وسلم قط صلى صلاة المغرب حتى يفطر ولو كان على شربة ماء.

Aku tidak pernah melihat Nabi shalallahu alaihi wasallam sama sekali shalat magrib kecuali beliau telah berbuka walaupun dengan meminum air. (Dikeluarkan oleh Abu Ya'la 3792, Ibnu Hibban 3504 dan dishahihkan oleh Al_Albany dalam Shahih At_targhib 1/259).

Dan juga dari Buraid Bin Abi Maryam dari Anas Radhiyallahu Anhu :

كان يبدأ إذا أفطر بالتَّمرِ

Dan kebiasaannya rasulullah beliau memulai  jika berbuka dengan kurma"  (Dikeluarkan An_Nasai dalam As_sunan Al_Kubro no 3318, Ath_Thabrany dalam Al_Mu'jam Al_Awshat 5/348 no 5517, dan dishahihkan oleh Syaikh Al_Allamah Al_Albany dalam Shahih al_Jaami' no 4892) .

Dan hadits Anas di atas

كان يبدأ إذا أفطر بالتَّمرِ

Dan kebiasaannya rasulullah beliau memulai  jika berbuka dengan kurma"  (diriwayatkan Al_Firyabi dalam kitab Ash_shiyam 69, dengan sanad yang shahih).

⭕Kesimpulan dari hadits di atas :

Disunnahkan bagi seseorang yang berpuasa agar berbuka dengan kurma, jika tidak ada kurma maka berbuka dengan air.

Dan ini adalah madzhab asy_syafiiyyah dan kebanyakan dari kalangan Hanabilah dan Imam Asy_syairozi dalam Muhadzdzab menyatakan dengan tegas:

على استحباب الإفطار على التمر

akan disunnahkannya berbuka dengan kurma،

Berkata An_nawawi rahimahullah dalam syarhnya  :

مستحب ان يفطر على تمر فإن لم يجد فعلى الماء

Disunnahkan berbuka dengan kurma, jika tidak ada, maka dengan air.

📚 Lihat Al_Majmu' Syarh al_muhadzdzab 6/362, Al_Inshaf 331, Al_Mughni 3/175.

🖋️Syaikh Ibnu Shalih al-‘Utsaimin berkata :

فإن لم يجد رُطَبًا ولا تمرًا ولا ماء أفطر على ما تيسَّر من طعام أو شراب حلال، فإن لم يجد شيئًا نوى الإفطار بقلبه، ولا يَمصُّ إصبعه، أو يجمع ريقه ويبلعه، كما يفعل بعض العوام

“Jika seseorang tak mendapati kurma basah, tak juga kurma kering, bahkan tak ada air, maka hendaknya dia berbuka dengan makanan atau minuman halal yang mudah dia dapatkan. Namun jika dia masih tak mendapat apapun, maka hendaknya dia meniatkan di dalam hati bahwa dia telah berbuka, bukan dengan cara mengisap jari, atau mengumpulkan air liur dalam mulut kemudian menelannya seperti yang dilakukan sebagian orang awam.”

📚 Majmu’ Fatawa
20/261.

📒 Soal yang kami ajukan pada ulama Yaman .

[19/2 04:27] ابو حنان عثمان السندكاني: بعض الناس يقولون يقطر الإنسان على ما تيسر له من الطيبات حتى ولو على شربة ماء لأن الإفطار بالتمر يبلغ الى كونه سنة فالأدلة لم ثثبت_ ضعيفة_.

وجاء في الصحيحين عن عبد الله بن أبي أوفى أن النبي صلى الله عليه وسلم كان في سفر فلما غربت الشمس قال لأحد الصحابة انزل فاجدح لنا قال يا رسول الله إن عليك نهاراً قال انزل فاجدح لنا قال لو أمسيت فنزل فجدح لهم فشرب النبي صلى الله عليه وسلم.

الشاهد: 

إذأ افطر النبي صلى الله عليه وسلم على سويق او نحو ذلك ولم ينقل أنه أكل التمر .

هل يفهم من ذلك الحديث :  ليس من السنة ان يفطر بالتمر؟؟
[19/2 07:27] ابو حنان عثمان السندكاني: يا شيخنا

قد راينا فى الجامع الصحيح مما ليس فى الصحيحين ٢/٤٧٠ رقم ١٤٦٠ عن انس بن مالك قال كان رسول الله يفطر قبل ان يصلى على رطبات، فإن لم تكن رطبات فتميرات فإن لم تكن تميرات حسا حسوات من ماء

قال الشيخ المقبل الوادعى هو حديث حسن على شرط مسلم.

Sebagian orang mengatakan bahwa seseorang berbuka dengan apa yang mudah baginya dari makanan yang baik baik walaupun dengan meminum air, sebab berbuka dengan kurma yang keberadaannya sampai pada tingkat sunnah maka dalilnya lemah.

Dan telah datang dalam shahihain dari Abdullah Bin Abi Aufa bahwa

Kami bersama Rasulullah  dalam suatu perjalanan di bulan ramadhan, ketika tenggelam matahari,  (Rasulullah) bersabda  “ Ya Fulan, turun dan siapkan makanan buat kami (adonan gandum yang dicampur dengan air)”, Ia berkata, “YA Rasulullah hari masih siang”, ,  (Rasulullah) berkata “Turun dan siapkan bagi kami ”, maka ia turun dan menyiapkan makanan tersebut dan menghidangkanya, dan Nabi minum darinya kemudian beliau bersabda “ Jika telah hilang matahari, dari arah sini (barat), dan datang malam dari arah sini (timur), maka telah berbuka orang yang berpuasa.

Titik penekanannya:

Kalau begitu Nabi berbuka dengan adonan tepung gandum yang dicampur dengan air atau semisal itu dan tidak dinukil berbuka dengan makan kurma.

Apakah dipahami dari hadits tersebut, bukan merupakan sunnah berbuka dengan kurma ?

Dan telah datang dalam Al_Jam'i Ash_shahih mimma laysa fish_shahihain 2/470 no :  1460 dari Anas Bin Malik Radhiyallahu Anhu :

Bahwa rasulullah shalallahu alaihi wasallam berbuka sebelum shalat dengan ruthab (kurma basah), jika tidak ada, maka dengan beberapa kurma, jika tidak ada, maka dengan beberapa tegukan air. Dan Syaikh Muqbil Al_Wadi' rahimahullah menghasankan hadits tersebut.

🖋️ Jawaban Syaikhuna Hasan Bin Qasim hafidzahullah :

[19/2 08:08] الشيخ حسن بن قاسم الريمي:

هذه هي السنة ولايمنع ان يحصل خلاف ذلك حتى لايكون واجبا

Inilah yang merupakan sunnah (berbuka dengan kurma), dan tidak menghalangi didapatkan tidak seperti itu, sampai berbuka dengan kurma bukanlah hal yang wajib..

📚 Selesai penukilan

🖋️ Jawaban Syaikhuna Fathul Qadasy hafidzahullah tentang berbuka dengan kurma :

لا يقال ليس من السنة الفطر على التمر أوالرطب فإن هذا عند اكثر أهل العلم انه من السنة، لكن يقال لا يلزم، لا سيما لمن لم يجد الرطب او التمر ، يفطر على ما يتيسر له.

Tidak dikatakan (bahwa berbuka dengan ruthab atau kurma bukan dari sunnah), sebab kebanyakan dari para ahli ilmu mengatakan itu sunnah, hanya saja dikatakan tidak diharuskan, terkhusus lagi bagi orang yang tidak mendapatkan ruthab atau kurma, maka ia berbuka dengan apa yang mudah.

📚 Selesai penukilan.

والله اعلم بالصواب .

Abu Hanan As-Suhaily

2 Sya'ban 1444 -22/2/2023


⏳HUKUM ADZAN DI TELINGA BAYI YANG BARU LAHIR?

نصـيـحـة للـنــساء:


Sebagian ahli ilmi berpendapat disunnahkan adzan di telinga kanan, sedangkan iqamah di telinga kiri pada bayi yang baru lahir.

Pada permasalahan ini ada 3 hadits yang dijadikan sandaran :

▪️ hadits pertama:

Hadits Abi Raafi’ radhiyallahu ‘anhu, ia berkata;

رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ” أَذَّنَ فِي أُذُنَيِ الْحَسَنِ حِينَ وَلَدَتْهُ فَاطِمَةُ بِالصَّلَاةِ “

“Aku melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mengumandangkan adzan pada kedua telinga Hasan bin ‘Ali ketika Fatimah melahirkannya.” (HR Iman Ahmad, Abu Dawud dan At-Tirmidzi)

Pada sanadnya ada kelemahan yaitu hadits ini diriwayatkan melalui jalur  ‘Aashim bin ‘Ubaidillah, dia seorang perawi yang sangat dha’if (lemah).

🖋️ Berkata Ibnu Hajar rahimahullah :

ضعيف 

Lemah ( Taqribu Tahdzib 1/472)

🖋️Berkata Ibnu Khuzaimah :

لست أحتج به لسوء حفظه

Aku tak berhujjah dengannya karena ia buruk hapalannya. ( Tahdzibu Tahdzib 2/254)

🖋️Berkata Ibnu Hibban :

كان سيء الحفظ كثير الوهم فاحش الخطأ فترك من أجل كثرة خطئه

Dia buruk hapalannya, banyak wahmnya (kekeliruannya), fatal kesalahannya, maka tinggalkan ia karena sering banyak kesalahannya. (Ikmal Tahdzibul Kamal 7/108).

🖋️Berkata Abu Hatim Ar_Razi

منكر الحديث مضطرب الحديث ليس له حديث يعتمد عليه.

Haditsnya mungkar dan goncang dan tidak ada padanya hadits yang dijadikan sandaran. ( Al_Jarh Wa ta'dil Li Abi Hatim 6/347).

▪️ hadits kedua :

Dari Al-Husain bin Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ وُلِدَ لَهُ مَوْلُودٌ، فَأَذَّنَ فِي أُذُنِهِ الْيُمْنَى، وَأَقَامَ فِي أُذُنِهِ الْيُسْرَى، لَمْ يَضُرَّهُ أُمُّ الصِّبْيَانِ

“Barangsiapa dilahirkan seorang anak, kemudian dia kumandangkan adzan di telinga kanannya (bayi) dan iqamah di telinga kirinya, maka Ummu Shibyan (jin yang suka mengganggu anak kecil) tidak akan dapat membahayakannya.” (diriwayatkan Ibnu Sunny dalam kitabnya Amalul Yaum Wal lailah no 8619, Abu Ya,'la Al_Mushily dalam Musnadnya 6/180, Ibnu 'Adi dalam Al_Kamil 7/198)

Sanad hadits ini maudhu,  didalamnya ada perawi yang bernama :

Yahya Bin Alaa Al_Bajily Ar_Raaziy

🖋️ Berkata Imam Ahmad tentang rawi tersebut  :

كذاب، يضع الحديث

Pendusta, pemalsu hadist (Mizanul I'tidal 4/397.

Dan juga ada rawi bernama Marwan bin Saalim al-Ghifaari .

🖋️Berkata Daraquthni dan selainnya;
متروك

Ditinggalkan haditsnya.

Berkata Al_Hafifz

 متروك، ورماه الساجي وغيره بالوضع

Ditinggalkan haditsnya, dan As_Saji dan selainnya menuduh dia memalsukan hadits.

📚 Tahdzib Kamal 27/393, Mizanul I'tidal 4/90-91

▪️hadits ketiga :

Dari Ibnu Abbas Radhiallahu anhuma :

أن النبي -صلى الله عليه وآله وسلم- أذن في أذن الحسن بن علي يوم ولد؛ فأذن في أذنه اليمنى وأقام في أذنه اليسرى.

Bahwa Nabi shalallahu alaihi wasallam mengadzankan pada telinga kanan Hasan Bin 'ali pada hari kelahirannya dan Iqamah pada telinga kirinya (Diriwayatkan oleh Al_Baihaqi dalam Syuabul Iman)

Dan sanadnya maudhu, ada seorang rawi bernama Hasan Bin 'Amr dan ia didustakan.

🖋️ Berkata Syaikhuna Abu Hatim Yusuf Al_Jaizairy hafidzahullah (setelah menyebutkan 3 hadits di atas) :

فالخلاصة أنه لايثبت في ذلك شيء، وعليه؛ فلا يُشرع التأذين ولا الإقامة في أذن المولود عند ولادته

Maka kesimpulannya, bahwa tidak shahih pada perkara ini sedikit pun, sehingga tidak disyariatkan adzan dan Iqamah pada telinga bayi saat kelahirannya.
(https://t.me/youssefalgazairi/1163)

🖋️ Berkata Syaikhuna Al_Faqih Hasan Basy_Syuaib Hafidzahullah :

ما حال حديث الأذان في أذن المولود وهل هي سنه أم بدعه ؟

Bagaimana keadaan hadits adzan pada telinga bayi baru lahir? , apakah amalan tersebut hukumnya sunnah atau bid'ah ?

الإجابة :  حديث الأذان في أذن المولود ضعيف وعليه فيكون هذا العمل بدعة

وللتنبيه فإن الشيخ الألباني رحمه الله تراجع عن تصحيحه للحديث
وعليه فمن وقع نظره على الحديث في صحيح سنن الترمذي فلا ينسب للألباني صحة الحديث فإنه تراجع عنه في الضعيفة والله الموفق

Beliau menjawab :

Hadits adzan pada telinga bayi yang baru lahir adalah lemah, dan atas dasar ini, maka amalan tersebut adalah bid'ah..

Dan diingatkan, bahwa Syaikh Al_Albany rahimahullah beliau taroju' akan pentashihan hadits tersebut.

Atas dasar inilah, maka siapa yang telah melihat akan hadist tersebut dalam shahih sunan At_Tirmidzi, maka tidak boleh disandarkan lagi akan keshahihan hadits tersebut pada Syaikh Al_Albany, dan beliau telah taroju' dari hadist tersebut dalam Adh_dhaifah.(bisa dilihat Al_Silsislah Adh_dhaifah 321, tambahan pent')

📚 Lihat fatwa beliau dalam telegram.

والله اعلم بالصواب .

Abu Hanan As-Suhaily

29 Rajab 1444 -20/2/2023

⏳ APAKAH DI SYARATKAN BAGI ORANG YANG INGIN MENGHAJIKAN ORANG LAIN, IA TELAH HAJI TERLEBIH DAHULU ATAS DIRINYA SENDIRI?

نصـيـحـة للـنــساء:

Telah datang hadits dalam masalah ini :
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas Radhiallahu Anhuma :
ان النبي صلى الله عليه و سلم سمع رجلا يقول : لبيك عن شبرمة ، قال : من شبرمة ؟ قال : أخ لى أو قريب لى ، قال : حججت عن نفسك ؟ قال : لا ، قال : حج عن نفسك ، ثم حج عن شبرمة    
                                             
bahwa Nabi   shallallahu 'alaihi wasallam  mendengar seorang laki-laki mengatakan : " aku sambut seruan-Mu -untuk haji- atas nama Syubrumah, Rasulullah – shallallahu 'alaihi wasallam   bertanya : siapakah Syubrumah ? laki-laki tersebut menjawab : saudaraku atau kerabatku, Rasulullah  shallallahu 'alaihi wasallam bertanya : sudahkah engkau pernah berhaji untuk dirimu sendiri ?, laki-laki itupun menjawab : belum, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam  bersabda : " Hajilah atas dirimu sendiri terlebih dahulu, kemudian setelah itu hajikanlah Syubrumah

(HR Abu Dawud 1811, Ibnu Majah 2903, Ibnu Hibban 862, dan berkata Imam Al_Baihaqi bahwa sanadnya shahih sebagaimana dalam As_sunan al_Kubro 4/336, Ibnul Qoththan menguatkan hukumnya rafa' dan dishahihkan Ibnu Hajar secara marfu' dalam At_Talkhis Al_habir 2/223_224 dan Ibnul mulaqqin mengatakan : sanadnya shahih atas syarat imam Muslim dalam Al_Badr Al_Munir 1/345 dan juga dishahihkan oleh Imam Asy_Syaukany lihat dalam at_taudhihul Ahkam 4/36 dan juga dishahihkan oleh Al_Albany rahimahullah dalam Irwaul Ghalil 4/171 no 994) .

🖋️ Berkata Imam Ash_shan'any rahimahullah :

قال ابن تيمية: إن أحمد حكم في رواية ابنه صالح عنه أنه مرفوع، فيكون قد اطلع على ثقة من رفعه، قال: وقد رفعه جماعة على أنه وإن كان موقوفًا فليس لابن عباس فيه مخالف. اهـ.

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dan Imam Ahmad menghukumi pada riwayat anaknya Shalih darinya bahwa hadits tersebut marfu', ini menunjukkan bahwa beliau telah menelaah atas ketsiqahan yang merafa'kannya. Ia berkata sekelompok jama'ah telah merafa'kannya, dan hadits tersebut walaupun mauquf, akan tetapi tidak ada seorang pun yang menyelisihi Ibnu Abbas.

📚 Lihat Subulus_salam.
 
Ada beberapa pendapat ulama dalam masalah ini ;

▪️ Pertama :

Tidak disyaratkan akan hal itu dan boleh bagi siapa yang belum haji atas dirinya, ia menghajikan orang lain, dan ini adalah pendapat Al-Hasan, An-Nakhaiy, imam Malik, abu Hanifah

▪️kedua :

Boleh menghajikan orang lain, dengan syarat yang menghajikan adalah orang yang miskin, tidak mampu atasnya haji.

Dan ini pendapat imam At_Tsauri .

Dan ini yang juga dikuatkan oleh Syaikh Al_Allamah Al_Utsaimin rahimahullah :

فإن كان لا يلزمه الحج ، كرجل فقير ، أعطاه شخصًا مالا يحج به عنه فهل يجوز أن يحج؟
الجواب: نعم، نعم يجوز لأن هذا الرجل لا يجب عليه الحج، فالله عز وجل يقول: (( ولله على الناس حج البيت من استطاع إليه سبيلا )) ، وهذا الرجل الآن لا يستطيع إليه السبيل لأنه ليس عنده مال ، فيجوز أن يحج عن غيره

Maka jika ia tidak diharuskan haji seperti orang yang miskin, di mana ada seseorang yang memberikan harta padanya untuk menghajikan selainnya, apakah boleh ia menghajikan?

Beliau menjawab, ia boleh, sebab lelaki tersebut tidak mampu atasnya haji, dan Allah telah berfirman: ( mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.) Dan lelaki tersebut sekarang tidak mampu menunaikan ibadah haji karena tidak punya harta, maka ia boleh menghajikan atas selainnya.

📚 Syarh Bulughul maram 3/315_316

▪️ketiga :

Disyaratkan akan hal itu jika ia melakukan menghajikan atas orang lain, ia telah haji sebelumnya dan jika tidak seperti itu, maka ibadah haji tersebut berubah dan beralih untuk dirinya sendiri, sama saja ia orang yang mampu atau tidak untuk haji dan ini adalah madzhab Imam Ahmad dan Al-Auzai, Asy_Syafi'.

🖋️Dan imam Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan:

ومن حج عن غيره ولم يكن حج عن نفسه رد ما أخذ وكانت الحجة عن نفسه لما روى ابن عباس رضى الله عنهما.

Dan siapa yang menghajikan atas selainnya dan ia belum pernah sebelumnya untuk dirinya, maka ia kembalikan apa yang ia telah ambil dan hajinya untuk dirinya sendiri, berdalilkan apa yang telah diriwayatkan Ibnu Abbas.

🖋️Berkata Imam Abu Thayyib rahimahullah:

وَظَاهِر الْحَدِيث أَنَّهُ لَا يَجُوز لِمَنْ لَمْ يَحُجّ عَنْ نَفْسه أَنْ يَحُجّ عَنْ غَيْره وَسَوَاء كَانَ مُسْتَطِيعًا أَوْ غَيْر مُسْتَطِيع لِأَنَّ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَآله وَسَلَّمَ لَمْ يَسْتَفْصِل هَذَا الرَّجُل الَّذِي سَمِعَهُ يُلَبِّي عَنْ شُبْرُمَةَ ، وَهُوَ يَنْزِل مَنْزِلَة الْعُمُوم ،

Menurut zhahir hadits ini, bahwa tidak dibolehkan orang yang belum menunaikan haji untuk dirinya sendiri, ia menghajikan untuk orang lain. Sama saja, apakah ia mampu atau tidak mampu, sebab Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak merinci keadaan laki-laki (itu tidak mampu atau mampu haji) yang telah beliau mendengarkan ia berkata ' aku sambut seruan Mu untuk haji atas nama syubrumah, sehingga hal itu menunjukkan keadaan yang umum,

📚Aunul Ma’bud, 5/174

Dan ini yang dikuatkan oleh Syaikh Shalih Al_Fauzan hafidzahullah :

فدل على ان من شرط صحة النيابة عن الغير ان يكون النائب قد حج عن نفسه اولا وان من حج عن غيره قبل ان يحج عن نفسه لا تصح نيابته

Maka hadits tersebut menunjukkan akan syarat sahnya menggantikan haji atas selainnya, dimana yang menggantikan awal kalinya ia telah haji atas dirinya, dan siapa yang menggantikan haji atas selainnya sebelum ia haji, maka tidak sah haji untuk orang yang diwakilkan.

📚Lihat Tashil Al_mam 3/304

▪️ Ke empat.

Dipersyaratkan akan hal itu, jika ia melakukannya maka hajinya batal.

⭕Sebagai kesimpulan:

Pendapat yang kuat adalah pendapat yang ke tiga .

Dan ini juga disebutkan dalam Fatwa Al-Lajnah AD-Daimah

لا يجوز للإنسان أن يحج عن غيره قبل حجه عن نفسه

“Tidak bolehseseorang menghajikan orang lain sebelum ia sendiri melakukan haji untuk dirinya.”

📚Fatwa Al-Lajnah 11/50

Dan permasalahan ini  juga kami tanyakan pada ulama Yaman.

[18/2 19:37] ابو حنان عثمان السندكاني: السلام عليكم ورحمة الله وبركاتة

احسن الله اليك يا شيخنا
هل يشترط في الرجل يحج عن غيره ان يكون قد حج عن نفسه :
علما ان ذاك الرجل فقير لا يستطيع إليه السبيل لكن الشخص يعطيه مالا يحج عن ابيه المتوفى؟؟

جزاك الله خيرا

Assalamualaikum warahmatullahi wa barakatuh .

Ahsanallahu ilaika ya syaikhana .

Apakah disyaratkan bagi seorang lelaki untuk menghajikan atas selain, ia telah haji atas dirinya sendiri terlebih dahulu, dan perlu diketahui : bahwa lelaki tersebut orang yang miskin yang tidak mampu haji, akan tetapi ada orang yang memberikannya uang untuk menghajikan atas nama bapaknya yang telah meninggal?

🖋️ Jawaban Syaikhuna Hasan Bin Qasim hafidzahullah :

[18/2 19:40] الشيخ حسن بن قاسم الريمي: وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته

هذا هو القول الصحيح ، ان الذي يحج عن غيره لابد ان يحج عن نفسه

Wa Alaikum salam warahmatullahi wa barakatuh.

Inilah pendapat yang shahih, bahwa yang menghajikan atas selainnya, harus ia telah haji atas dirinya sendiri terlebih dahulu.

📚 Selesai penukilan.

Dan ini juga yang dikuatkan oleh Syaikhuna Hasan Basy_syuaib Hafidzahullah dalam fatwa beliau.

⭕ Kemudian hukum bagi siapa yang ingin menggantikan haji pada orang lain, ia harus telah haji atas dirinya sendiri, maka ini  juga berlaku bagi yang menggantikan ibadah umrah atas orang lain.

📒Soal yang kami tanyakan pada ulama Yaman.

[18/2 19:44] ابو حنان عثمان السندكاني:
هل هذا الحكم أيضا يشمل لمن اراد أن ينوب عن غيره فى العمرة؟

Assalamualaikum warahmatullahi wa barakaatih.
Apakah hukum ini juga mencakup bagi siapa saja yang ingin menggantikan dari selainnya dalam ibadah umrah?

🖋️ jawaban Syaikhuna Hasan Bin Qasim hafidzahullah :

[18/2 19:48] الشيخ حسن بن قاسم الريمي : نعم ، يكون قد اعتمر عن نفسه اولا ثم يعتمر عن غيره

Iya,  ia terlebih dahulu telah umrah atas dirinya sendiri,  kemudian ia mengumrahkan atas orang lain.

📚 Selesai penukilan.

✍🏻 Di susun oleh :

Abu Hanan As-Suhaily

28 Rajab 1444 -19

HENDAKNYA MENGEMBALIKAN PERMASALAHAN SEPUTAR TASHWIR/SHURAH KEPADA PEMAHAMAN PARA SHAHABAT


_*(Disertai sedikit kritikan kepada Ust. Abu Ubaid Al bughisy terkait permasalahan shurah)*_
 

_*Telah di periksa oleh Al Ustadz Abu Abdirrohman Shiddiq Al Bughisi حفظه الله تعالى*_ 


            بِسْمِ ٱللَّٰهِ ٱلرَّحْمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ

Alhamdulillah atas seizin-Nya kami telah berusaha semampu kami untuk menelaah beberapa risalah² yang mengetengahkan tentang perdebatan di antara para Ulama' seputar permasalah Tashwir/Shurah.

Maka kami pun mendapati setidaknya ada dua puluhan lebih hadits² yang di dalamnya menyinggung permasalahan seputar tashwir/shurah dengan berbagai macam redaksi (matan). Sehingga hal inipun tak pelak menyebabkan munculnya berbagai pendapat dan juga perdebatan diantara para Ulama' sejak di zaman mutaqaddimin hingga ulama' mutakhirin.

Maka kami pun berkesimpulan bahwa satu²nya jalan bagi kita (Ahlussunnah) di dalam menyikapi permasalahan seputar tashwir/shurah ini adalah dengan mengembalikan perkara tersebut sesuai dengan apa² yang di pahami oleh para shahabat Radhiyyallahu'anhum ajma'in sebagai generasi terbaik umat ini.

Karena jika tidak begitu, maka akan kita dapati ada begitu banyak pendapat² dan juga perdebatan² tanpa hujung dari setiap generasi ke generasi bahkan sampai hari ini terkait permasalahan shurah (gambar bernyawa) yang pada ahirnya hanya akan membuat kita bingung. 

Hal ini dikarenakan bahwasanya setiap pihak yang terlibat perdebatan terkait permasalah shurah ini pada umumnya masing² mereka juga memiliki argument sesuai dengan apa² yang mereka pahami berdasarkan dalil² yang ada. 

Oleh karenanya dengan mengembalikan perkara ini kepada pemahaman para shahabat tentunya hal itu akan menjadi lebih sederhana dan In Syaa Allah lebih selamat. Mengingat para shahabat merupakan satu² nya generasi yang pernah hidup bersama Rasulullah Sallalahu ‘Alaihi wa Sallam. 

Terlebih lagi perdebatan & perselisihan terkait tentang permasalahan shurah (gambar makhluk bernyawa) ini baru mulai marak terjadi di zaman para Tabi'in dan generasi setelahnya.


Maka dari itu, pada kesempatan ini kami akan coba mengetengahkan beberapa atsar para shahabat dan juga atsar yang menjelaskan tentang pendapat para shahabat tentang seputar permasalahan shurah (gambar bernyawa) agar sekiranya bisa menjadi pembelajaran bagi kita semua. 


*🔹 Pembahasan Pertama*

Shahabat berpendapat bahwa Tashwir/Shurah adalah meliputi sesuatu yang memiliki bayangan seperti patung bernyawa dan sejenisnya ataupun yang tidak memilki bayangan seperti gambar/lukisan bernyawa dan sejenisnya.

Imam Ibnu Baththal rahimahullah berkata: 

*”Bahwa Abu Hurairah Radhiyyallahu'anhu memahaminya (tashwir/shurah) meliputi yang mempunyai bayangan dan juga yang tidak, serta hal ini adalah pengingkaran terhadap gambar yang di dinding.”*
(Fathul Bari Syarh Shahih Bukhari 11/585)

Imam Nawawwi rahimahullah termasuk di antara Ulama' yang mengkritik keras siapa saja yang berpendapat bahwa larangan shurah itu hanya sebatas yang memiliki bayangan saja, dalam artian mereka kemudian memperbolehkan shurah yang tidak memiliki bayangan seperti gambar/lukisan bernyawa yang terdapat pada tirai, dinding dan sejenisnya. 

Bahkan didalam kitabnya Syarh Shahih Muslim beliau dengan tegas menyatakan bahwa pihak² yang berpendapat semacam itu telah mengikuti Mazhab Bathil dan itu mulai muncul sejak di era Tabi'in.

Wallahu ta'ala a'lam


🔹 *Pembahasan Kedua*

Para shahabat setidaknya telah memaparkan tiga solusi ataupun tata cara di dalam menyikapi shurah (gambar bernyawa), yang mana kesemuanya itu di sandaran pada cara praktek Rasulullah Sallalahu ‘Alaihi wa Sallam diantaranya :

*▪️Dengan cara dimusnahkan/di hancurkan*

عَنْ أَبِى الْهَيَّاجِ الأَسَدِىِّ قَالَ قَالَ لِى عَلِىُّ بْنُ أَبِى طَالِبٍ أَلاَّ أَبْعَثُكَ عَلَى مَا بَعَثَنِى عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ لاَ تَدَعَ تِمْثَالاً إِلاَّ طَمَسْتَهُ وَلاَ قَبْرًا مُشْرِفًا إِلاَّ سَوَّيْتَهُ

Dari Abul Hayyaj Al Asadi rahimahullah, ia berkata,

*‘Ali bin Abi Tholib radhiyyallahu'anhu berkata kepadaku, “Sungguh aku mengutusmu dengan sesuatu yang Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- pernah mengutusku dengan perintah tersebut. Yaitu jangan engkau biarkan patung/gambar melainkan engkau musnahkan/hancurkan dan jangan biarkan kubur tinggi dari tanah melainkan engkau ratakan.”*
(HR. Muslim).


Catatan :

Dalam riwayat lain kata *Timstal* di sebutkan dengan redaksi kata *Shuurah*. 

Adapun makna kata *Timtsal* yang terdapat pada atsar diatas bukan hanya sekedar di pahami sebagai patung yang terbuat dari batu, tanah, kaca dan selainya. Akan tetapi hal itu juga mencakup gambar² patung yang terdapat pada kain, dinding dan selainya. Penafsiran tersebut bisa dipahami sesuai dengan konteks hadits riwayat Ahmad, Abdurrazaq dan Al Baghawi.

:إِنَّ فِى اْلبَيْتِ سَتْرًا فِى اْلحَائِطِ فِيْهِ تَمَاثِيْلُ ....

*Sesungguhnya di dalam rumah ada kain di dinding yang di dalamnya ada patung² (tamatsil)....*

Maksudnya adalah kain di dinding yang terdapat padanya gambar patung² bernyawa.

Ini artinya kata Timtsal/tamatsil bisa meliputi patung dan juga gambar² patung bernyawa. Baik itu yang memiliki bayangan maupun yang tidak memilki bayangan dan kesemuanya diperintahkan oleh shahabat Ali untuk di hancurkan/di musnahkan. 

Dan sebagaimana yang telah kami jelaskan sebelumnya bahwa para salaf memahami Shurah ataupun timtsal adalah meliputi sesuatu yang memilki bayangan (patung bernyawa) dan juga yang tidak memiliki bayangan (gambar bernyawa). 

Maka maksud kata *Thoms* pada hadits diatas, baik itu dengan redaksi kata Timtsal maupun Shurah adalah lebih mengarah kepada perintah untuk *dihancurkan* atau *dimusnahkan*, dan bukan sebatas di maknai *dihapus*. 

Karena makna kata *Hancurkan* atau *Musnahkan* tersebut lebih luas cakupannya karena bisa diterapkan baik itu pada patung bernyawa maupun gambar/lukisan bernyawa. Adapun memaknai kata Thoms pada atsar tersebut sebatas dengan makna *Hapus*. Maka hal itu terlalu sempit karena sudah pasti tidak akan bisa di terapkan pada benda² seperti patung bernyawa yang terbuat dari batu, tanah, kaca, dll. 

Dan apa yang mau di hapus pada benda² semacam itu (patung) !!!!

Karena sekali lagi kami nyatakan bahwa kata Timtsal maupun Shurah yang terdapat pada hadits shahabat Ali radhiyyallahu'anhu tersebut adalah meliput seluruh yang memiliki bayangan (patung bernyawa) maupun yang tidak memilki bayangan (gambar/lukisan bernyawa).

Maka makna yang lebih tepat dari kata *Thoms* pada hadits diatas adalah perintah agar setiap Timtsal ataupun Shurah itu dihancurkan atau dimusnahkan.

Wallahu ta'ala a'lam


*▪️Dengan cara di potong kepalanya* 

Dari shahabat Abdullah ibnu Abbas radhiyyallahu'anhu,

الصُّورَةُ الرَّأْسُ، فَإِذَا قُطِعَ الرَّأْسُ فَلَيْسَ بِصُورَةٍ

*Inti dari shurah adalah kepalanya, jika kepalanya dipotong, maka ia bukan shurah”*

Atsar diatas memang di perdebatkan oleh kalangan para Ulama', sebagian pihak menyatakan Marfu' (disandarkan kepada Rasulullah), sebagian pihak menyatakan Mauquf (ucapan shahabat Ibnu Abbas) dan sebagian pihak menyatakan maqtu' (ucapan tabi'in ikrimah maula bin Abbas).

Adapun dalam hal ini kami condong bahwa hadits ini adalah mauquf (ucapan shahabat ibnu abbas radhiyallahu'anhu) yang kemudian belakangan juga di ucapkan oleh imam ikrimah rahimahullah. Namun kami juga tidak mengingkari pihak² yang berpendapat marfu' karena kemungkinan itu tetap ada.

Dan meskipun hadits tersebut berstatus mauquf akan tetapi atsar tersebut bisa di jadikan hujjah mengingat shahabat ibnu Abbas radhiyyallahu'anhu merupakan seorang 'alim dari kalangan Shahabat yang pernah di doakan oleh Rasululllah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,

اللّهُمَّ فَقِّهْهُ فِي الدِّينِ، وَعَلِّمْهُ التَّأْوِيلَ

*Ya Allah berikanlah pemahaman agama yang mendalam terhadap dia (ibnu abbas) dan ajarkanlah kepadanya takwil (tafsir al-Qur’an)*
(HR. Ahmad dengan sanad hasan)

Sehingga ucapan beliau tersebut bisa menjadi hujjah bagi kita dalam hal memahami dan menyikapi masalah shurah (gambar bernyawa) ini. 

Wallahu ta'ala a'lam

*▪️Dengan cara di hinakan (di jadikan hamparan yang di injak)*


Dari imam Ubaidullah bin Abdillah rahimahullah:

أَنَّهُ دَخَلَ عَلَى أَبِي طَلْحَةَ الْأَنْصَارِيِّ يَعُودُهُ قَالَ فَوَجَدْنَا عِنْدَهُ سَهْلَ بْنَ حُنَيْفٍ قَالَ فَدَعَا أَبُو طَلْحَةَ إِنْسَانًا فَنَزَعَ نَمَطًا تَحْتَهُ فَقَالَ لَهُ سَهْلُ بْنُ حُنَيْفٍ لِمَ تَنْتَزِعُهُ قَالَ لِأَنَّ فِيهِ تَصَاوِيرَ وَقَدْ قَالَ فِيهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا قَدْ عَلِمْتَ قَالَ سَهْلٌ أَوَلَمْ يَقُلْ إِلَّا مَا كَانَ رَقْمًا فِي ثَوْبٍ قَالَ بَلَى وَلَكِنَّهُ أَطْيَبُ لِنَفْسِي

*Bahwa beliau memasuki rumah Abu Thalhah al-Anshari Radhiyyallahu'anhu untuk menjenguk beliau. Kemudian Ubaidullah menemukan Sahl bin Hunaif radhiyyallahu'anhu di sisi Thalhah. Kemudian Abu Thalhah memanggil seseorang untuk agar mencabut alas tirai di bawah beliau. Maka Sahl bin Hunaif bertanya kepada beliau: “Mengapa kamu mencabutnya?” Abu Thalhah menjawab: “Karena didalamnya (alas tersebut) terdapat gambar bernyawa dan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah berkata sebagaimana yang telah kamu ketahui.” Sahl bertanya: “Bukankah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berkata: “Kecuali lukisan di pakaian?” Abu Thalhah menjawab: “Benar, tetapi ini lebih menyenangkan diriku.”* 
(HR. Ahmad, Malik, Nasa'i dan Tirmidzi rahimahumullah dan beliau berkata hadits hasan shahih. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Muqbil rahimahullah dalam Shahihul Musnad mimma Laisa fish Shahihain).

Atsar di atas sebagai bentuk penafsiran atas ucapan Rasulullah *"KECUALI LUKISAN DI PAKAIAN"* yang terdapat pada hadits riwayat imam bukhari, muslim dan selainya.
Maka pengecualian yang di pahami oleh para shahabat dalam hal ini adalah jenis kain bergambar yang sifatnya untuk di hinakan (di jadikan alas/hamparan yang di injak). Bukan jenis dari kain bergambar yang sifatnya dipakai di tubuh (baju) atau kain bergambar yang sifatnya di pajang di dinding, jendela, pintu dan semisalnya. 

Dan hal itu sejalan dengan hadits dari Shahabat Abu Hurairah radhiyallahu anhu, dimana beliau berkata:

اسْتَأْذَنَ جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلَامُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: «ادْخُلْ» فَقَالَ: كَيْفَ أَدْخُلُ وَفِي بَيْتِكَ سِتْرٌ فِيهِ تَصَاوِيرُ، فَإِمَّا أَنْ تُقْطَعَ رُءُوسُهَا، أَوْ تُجْعَلَ بِسَاطًا يُوطَأُ فَإِنَّا مَعْشَرَ الْمَلَائِكَةِ لَا نَدْخُلُ بَيْتًا فِيهِ تَصَاوِيرُ

*"Suatu ketika Jibril alaihissalam meminta ijin kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam, maka beliau berkata: “Silakan masuk.” Jibril berkata: “Bagaimana aku masuk sedangkan di rumahmu terdapat tirai yang terdapat gambar yang bernyawa? Maka potonglah kepala gambar tersebut atau jadikan (tirai bergambar tersebut) alas/hamparan yang di injak, karena kami (para malaikat) tidak akan memasuki rumah yang di dalamnya terdapat gambar yang bernyawa.”*
(HR. Nasa'i dan dishahihkan oleh Syeikh Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan an-Nasa'i)  

Dan selain itu, ada terdapat banyak persaksian atau pernyataan dari para kalangan imam tabi'in seperti :

imam Salim bin Abdullah bin Umar rahimahullah (anak dari shahabat ibnu umar)

Imam Ikrimah rahimahullah (maula Ibnu Abbas yang sekaligus juga murid beliau)

Imam said bin jubair rahimahullah (murid dari shahabat ibnu abbas) 

dan selainya.

Yang intinya para imam tabi'in tersebut menyatakan bahwasanya para shahabat Radhiyyallahu'anhum ajma'in membenci gambar bernyawa yang sifatnya terpajang (di tirai, dinding, dll) dan tidak mempermasalahkan gambar bernyawa yang di injak (dalam artian di hinakan). 

Dan riwayat² tersebut bisa di temukan pada kitab Mushannaf karya imam Abu bakr ibnu abi syaibah rahimahullah. Karena beliau merupakan ulama' yang paling hafal terkait hadits² maqthu' (hadits yang di sandaran pada para tabi'in).

Dan imam Nawawwi rahimahullah juga menukilkan pendapat jumhur shahabat & tabi'in akan bolehnya pemanfaatan kain yang terdapat padanya gambar bernyawa yang sifatnya untuk di hinakan (di jadikan hamparan yang di injak).

Yang kemudian pendapat tersebut juga di ambil dalam mazhab para ulama setelahnya seperti Tsaury, Malik, Abu hanifah, Syafi'i dan selainya. 

Silahkan merujuk pada kitab beliau Syarh Shahih Muslim 14/81, dan selain itu penukilan Imam Nawawi rahimahullah tersebut juga di ketengahkan oleh Syeikh Shalih Utsaimin rahimahullah dalam kitab beliau Majmu' Fatawa wa Rasail 2/254.


_*Tambahan Faedah dari Al Ustadz Abu Abdirrohman Shiddiq Al Bughisi حفظه الله تعالى :*_

Akan tetapi berkaitan ucapan Nabi shalallahu alaihi wa salam :

[إلا رقما في الثوب]

*"Kecuali Tulisan di pakaian"*

Al hafidz ibnu Hajar rahimahullah berkata dalam syarah hadits tersebut :

قال النووي: يجمع بين الأحاديث بأن المراد باستثناء الرقم في الثوب ما كانت الصورة فيه من غير ذوات الأرواح كصورة الشجر ونحوها. انتهى،

Imam An Nawawiy rahimahullah berkata:

 *"Dipadukan antara hadits-hadits bahwasanya pengecualian "tulisan/ukiran di pakaian" adalah yang gambar padanya bukan gambar bernyawa, seperti gambar pohon dan semisalnya*.

Syaikh Muqbil rahimahullah berkata setelah mendatangkan hadits:

وقال الإمام أحمد رحمه الله (٨٠٦٥): حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ ، أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ ، عَنْ مُجَاهِدٍ ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، أَنَّ جِبْرِيلَ عَلَيْهِ السَّلَامُ، جَاءَ فَسَلَّمَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَعَرَفَ صَوْتَهُ، فَقَالَ : " ادْخُلْ ". فَقَالَ : إِنَّ فِي الْبَيْتِ سِتْرًا فِي الْحَائِطِ فِيهِ تَمَاثِيلُ، فَاقْطَعُوا رُءُوسَهَا وَاجْعَلُوهُ بِسَاطًا، أَوْ وَسَائِدَ، فَأَوْطِئُوهُ ؛ فَإِنَّا لَا نَدْخُلُ بَيْتًا فِيهِ تَمَاثِيلُ.

*"Dan berkata Imam Ahmad rahimahullah (8065): Telah menceritakan kepada 'Abdurrozzaq, telah mengabarkan kepada kami Ma'mar, dari Abi Ishaq, dari Mujahid, dari Abu Hurairah, bahwasanya Jibril 'alaihis salam datang memberi salam kepada Nabi shalallahu alaihi wa salam, beliaupun mengenal suaranya, Maka Nabi shalallahu alaihi wa salam berkata: "Masuklah". Maka Jibril berkata: "Sesungguhnya dirumah adalah tabir di dinding padanya gambar, maka potonglah kepala-kepalanya dan jadikanlah hamparan, atau bantal-bantal, maka injaklah, karena sesungguhnya kami (para Malaikat) tidak akan masuk rumah padanya gambar-gambar.* 

Pada ucapannya: "Maka potonglah kepala-kepalanya"

Syaikh Muqbil rahimahullah mengatakan:

أي: حتى تصير كالشجرة كما في الأحاديث الأخرى، وفيه دليل على أن الصور الممتهنة لا بد أن تكون قد قطعت رؤوسها حتى تكون كالشجرة، فخرجت عن منظر الصورة ، ودليل آخر أن النبي ﷺ أبي أن يدخل حجرة عائشة لما رأى فيها نمرقتين، أي:
وسادتين، فيها تصاویر حتى هتكتا.

_*Yaitu: hingga menjadi seperti pohon sebagaimana pada hadits-hadits lain, dan padanya dalil bahwasanya gambar-gambar yang dihinakan mesti telah terpotong kepalanya hingga menjadi seperti pohon, hingga keluar dari penampilan gambar (yang terlarang -pent). Dan dalil yang lain, bahwasanya Nabi shalallahu alaihi wa salam enggan masuk ke kamar 'Aisyah manakala melihat padanya dua numruqoh yaitu dua bantal, padanya gambar bernyawa hingga keduanya di sobek.*_

("Hukmu Tashwir" karya Syaikh Muqbil rahimahullah, hal. 47).

_*Selesai tambahan faedah dari Al Ustadz Abu Abdirrohman Shiddiq Al Bughisi حفظه الله تعالى*_ 


Maka sebagai bentuk sikap kehati²an serta menghindari munculnya fitnah maka sebaiknya kita (ahlussunnah) menyingkirkan atau berlepas diri dari setiap jenis shurah (gambar bernyawa) meskipun itu gambar bernyawa yang sifatnya untuk di hinakan (dijadikan alas/hamparan yang di injak). 

_*Dan ini merupakan sikap yang di pilih oleh sebagian shahabat seperti Abu hurairah radhiyallahu'anhu dan selainnya. Dan kami pribadi lebih condong dengan apa yang shahabat Abu hurairah pilih dalam menyikapi permasalahan shurah ini dalam rangka sikap kehati²an.

Wallahu ta'ala a'lam



*🔹PEMBAHASAN KETIGA* 

Perlu untuk di ketahui bersama bahwa tidak semua perbedaan pendapat para Ulama' terkait masalah shurah (gambar bernyawa) itu teranggap (mu'tabar ) disisi ahlussunnah, maka hendaknya kita berhati² dalam masalah ini.

Dan diantara pendapat yang tidak teranggap (mu'tabar) disisi Ahlussunnah adalah seperti pendapat yang menyatakan bahwa shurah itu hanya sebatas yang memiliki bayangan saja, seperti patung dan sejenisnya. Adapun yang tidak memiliki bayangan (gambar/lukisan bernyawa) tidak termasuk didalam larangan tersebut.

Maka pendapat inilah yang oleh imam Nawawwi rahimahullah di anggap sebagai mazhab bathil.

Adapun tanggapan kami terkait kasus perseteruan antara Ust. Shiddiq dan Ust. Abu ubaid terkait permasalahan shurah (gambar bernyawa) yang terjadi belakangan ini.

Dan apabila Ust. Abu Ubaid dalam hal ini benar berpendapat atau mengambil pendapat yang menyatakan bahwa menghapus wajah (tanpa perlu menghilangkan/menghancurkan kepalanya) setelah kepala itu terpotong sudah cukup untuk menggugurkan hukum shurah (gambar bernyawa) yang sifatnya terpajang baik pada tirai, dinding, pintu, dll. Ataupun yang terpampang pada layar komputer atau HP, sosial media, buku, brosur, katalog, dan lainya . 

Jika hal itu yang beliau maksudkan dengan hanya cukup menghapus wajah dan tanpa perlu menghilangkan/menghancurkan kepalanya setelah terpotong , maka jelas dalam hal ini Ust. Abu Ubaid berpendapat atau mengambil pendapat yang keliru, atau minimalnya pendapat tesebut sangat lemah sekali sehingga tidak pantas untuk di ambil atau di pertahankan apalagi sampai dibela² oleh orang yang mengaku dirinya tulus mengikuti para salaf (salafy). 

Terlebih lagi pendapat tersebut (menghapus wajah) memang tidak di bangun diatas dasar pemahaman para Shahabat. Dan bagaimana mungkin Ust. Abu ubaid ini rela berbalik arah dengan meninggalkan ucapan Shahabat ibnu abbas radhiyyallahu'anhu terkait masalah Shurah (gambar bernyawa) dan lebih memilih pendapat yang tidak memilki salaf dalam permasalahan ini. Allahul musta'an 

Sehingga nampaklah bagi kami bahwasanya dalam perseteruan ini Ust. Abu ubaid berada di pihak yang salah/keliru. Dan semoga beliau mau rujuk dari kekeliruannya tersebut.

Dan apabila ternyata Ust. Abu ubaid tetap saja pada pendiriannya tersebut dalam keadaan telah di tegakan padanya hujjah maka beliau berhak untuk disebut sebagai Ahlul ahwa (pengekor hawa nafsu) atau bermaksiat dengan sebab telah menyelisihi pemahaman para shahabat didalam memahami dan menyikapi masalah shurah (gambar bernyawa) ini.

Wallahu ta'ala a'lam


Berikut ini Bantahan dari Syaikh Al Albani Rahimahullah atas pendapat Ust Abu Ubaid yang mana beliau sendiri yang menterjemahkannya tetapi Sekarang telah terfitnah lebih memilih pendapat yang tidak benar :


⚠️ _*Penting ...!!*_

_Gambar yang terlarang itu adalah kepala secara utuh bukan wajah saja..._

_*Sebagian orang menganggap bahwa gambar bernyawa apabila telah menghapus wajahnya atau mata nya maka bukan lagi gambar yang terlarang, dan ini salah...*_ 

💍 _*Syaikh Al AlBani rahimahullah ditanya:*_

Pertanyaan:

شيخنا فيه حديث ( الصورة الرأس فإذا قطع الرأس فلا صورة ) 

هذا يدخل في طمس الوجه إذا توفر هناك صورة أو تمثال لو افترضنا في البيت هل يجوز طمس الوجه وهذا يكفي؟

Syaikh kami, ada hadits "Gambar itu adalah kepala, apabila dipotong maka bukan gambar"

Apakah masuk dalamnya menghapus wajah, apabila disana ada gambar atau patung seandainya ada dirumah, apakah boleh menghapus wajah dan itu cukup?! 

•Syaikh :

 مش الوجه الرأس, لأن قولك الوجه بقاء الرأس وطمس الوجه والحديث يقول ( الصورة الرأس ) أي إذا قطع الرأس وبقي بقية الجسم صار كهيئة الشجرة كما جاء في الحديث الصحيح فلا بد من الاستغناء عن رأس الصورة كُلا.

_*bukan wajah, kepala.*_

Kamu katakan wajah, tersisa kepala dan terhapus wajah. 

Dan hadits mengatakan "gambar itu kepala...."

Yaitu apabila kepala diputus dan tersisa badannya maka bagaikan pohon, sebagaimana datang dalam hadits yang shahih. 

_*maka mesti kepala gambar seluruhnya.*_

📼 سلسلة الهدى والنور - شريط : 902


Setiap kebenaran adalah datangnya dari Allah 'azza wajalla dan setiap kekeliruan adalah datangnya dari kebodohan kami pribadi serta dari godaan syaithan yang terkutuk.



✍🏻 *Ibnu Abdirrahman Hanif Indrapury*

_*FATWA SYAIKH AL 'UTSAIMIN SEPUTAR MEMOTONG KEPALA*_

ﻭﺃﻣﺎ ﺳﺆاﻟﻜﻢ ﻋﻦ اﻟﺼﻮﺭﺓ اﻟﺘﻲ ﺗﻤﺜﻞ اﻟﻮﺟﻪ ﻭﺃﻋﻠﻰ اﻟﺠﺴﻢ، ﻓﺈﻥ ﺣﺪﻳﺚ ﺃﺑﻲ ﻫﺮﻳﺮﺓ اﻟﺬﻱ ﺃﺷﺮﻧﺎ ﺇﻟﻴﻪ ﻳﺪﻝ ﻋﻠﻰ ﺃﻧﻪ ﻻ ﺑﺪ ﻣﻦ ﻗﻄﻊ اﻟﺮﺃﺱ ﻭﻓﺼﻠﻪ ﻓﺼﻼ ﺗﺎﻣﺎ ﻋﻦ ﺑﻘﻴﺔ اﻟﺠﺴﻢ، ﻓﺄﻣﺎ ﺇﺫا ﺟﻤﻊ ﺇﻟﻰ اﻟﺼﺪﺭ ﻓﻤﺎ ﻫﻮ ﺇﻻ ﺭﺟﻞ ﺟﺎﻟﺲ, ﺑﺨﻼﻑ ﻣﺎ ﺇﺫا ﺃﺑﻴﻦ اﻟﺮﺃﺱ ﺇﺑﺎﻧﺔ ﻛﺎﻣﻠﺔ ﻋﻦ اﻟﺠﺴﻢ، ﻭﻟﻬﺬا ﻗﺎﻝ اﻹﻣﺎﻡ ﺃﺣﻤﺪ -ﺭﺣﻤﻪ اﻟﻠﻪ-: اﻟﺼﻮﺭﺓ اﻟﺮﺃﺱ. ﻭﻛﺎﻥ ﺇﺫا ﺃﺭاﺩ ﻃﻤﺲ اﻟﺼﻮﺭﺓ ﺣﻚ ﺭﺃﺳﻬﺎ, ﻭﺭﻭﻱ ﻋﻦ اﺑﻦ ﻋﺒﺎﺱ ﺭﺿﻲ اﻟﻠﻪ ﻋﻨﻬﻤﺎ ﺃﻧﻪ ﻗﺎﻝ: اﻟﺼﻮﺭﺓ اﻟﺮﺃﺱ ﻓﺈﺫا ﻗﻄﻊ اﻟﺮﺃﺱ ﻓﻠﻴﺲ ﻫﻮ ﺻﻮﺭﺓ. ﻓﺘﻬﺎﻭﻥ ﺑﻌﺾ اﻟﻨﺎﺱ ﻓﻲ ﺫﻟﻚ ﻣﻤﺎ ﻳﺠﺐ اﻟﺤﺬﺭ ﻣﻨﻪ.
ﻧﺴﺄﻝ اﻟﻠﻪ ﻟﻨﺎ ﻭﻟﻜﻢ ﻭﻹﺧﻮاﻧﻨﺎ اﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ اﻟﺴﻼﻣﺔ ﻭاﻟﻌﺎﻓﻴﺔ ﻣﻤﺎ ﻻ ﺗﺤﻤﺪ ﻋﻘﺒﺎﻩ ﺇﻧﻪ ﺟﻮاﺩ ﻛﺮﻳﻢ.


_*FATWA SYAIKH AL 'UTSAIMIN  SEPUTAR MEMOTONG KEPALA*_

Adapun pertanyaan kalian tentang gambar yang berupa wajah dan di atas tubuh, maka hadits Abu Hurairah yang kami isyaratkan kepadanya (tentang perintah Jibril alaihis salam memotong kepala -pent) menunjukkan MESTI MEMOTONG KEPALA dan MEMISAHKANNYA secara sempurna dari sisa badan,

Adapun apabila disatukan sampai dada maka dia itu tidak lain melainkan seseorang yang duduk

BERBEDA apabila dipisahkan kepala dengan pemisahan yang sempurna dari jasad,

Karena itu Imam Ahmad rahimahullah mengatakan: "Gambar itu adalah kepala".

Dan dahulu apabila beliau ingin menthoms gambar beliau menggosok kepalanya

Dan diriwayatkan dari Ibnu 'Abbas rhadiyallahu 'anhuma bahwasanya beliau berkata: "Gambar itu adalah kepala apabila kepala telah terpotong maka bukanlah dia gambar.

Maka BERGAMPANG-GAMPANGANNYA sebagian orang dalam perkara itu termasuk yang mesti waspada darinya.

Kami memohon kepada Allah untuk kami dan kalian serta saudara2 kita kaum muslimin keselamatan dan 'aafiyah dari apa-apa yang tidak terpuji kesudahannya sesungguhnya Dia itu maha Pemurah lagi Mulia.

Sumber: Majmu' Fatawa wa Rosail Syaikh Al 'Utsaimin 12/317


_*Di terjemahkan Oleh :*_
🖊️  _*Al Ustadz Abu Abdirrohman Shiddiq Al Bughissy حفظه الله تعالى*_



wajah tidak di tutup ketika tawaf..

Assalaamu 'alaikum ustadz

Afwan anaa mau brtanya, gmna mmbantah syubhat bahwa cadar tidak wajib, karena salah satu rangkaian haji, wajah tidak boleh ditutup, sekiranya wajib bercandar kenapa ada perintah wajah jgn d tutup?

Baarakallahu fiyk

بسم الله الرحمن الرحيم

وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وبعد:

Nabi ﷺ berkata:

" لَا تَلْبَسُوا الْقَمِيصَ، وَلَا السَّرَاوِيلَاتِ، وَلَا الْعَمَائِمَ، وَلَا الْبَرَانِسَ ، إِلَّا أَنْ يَكُونَ أَحَدٌ لَيْسَتْ لَهُ نَعْلَانِ فَلْيَلْبَسِ الْخُفَّيْنِ، وَلْيَقْطَعْ أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ، وَلَا تَلْبَسُوا شَيْئًا مَسَّهُ زَعْفَرَانٌ، وَلَا الْوَرْسُ، وَلَا تَنْتَقِبِ الْمَرْأَةُ الْمُحْرِمَةُ، وَلَا تَلْبَسِ الْقُفَّازَيْنِ

Janganlah kalian (muhrim) mengenakan baju, celana, sorban, mantel (pakaian yang menutupi kepala) kecuali seseorang yang tidak memiliki sandal, hendaklah dia mengenakan sepatu tapi dipotongnya hingga berada dibawah mata kaki dan jangan pula kalian memakai pakaian yang diberi minyak wangi atau wewangian dari daun tumbuhan.

Dan wanita yang sedang ihram tidak boleh memakai niqab (penutup wajah) dan sarung tangan. HR. Al Bukhari

••• Larangan wanita muhrimah menggunakan niqab (cadar) bukan berarti dia boleh membuka wajahnya didepan orang yang bukan mahram nya...

~ *Sebab Nabi ﷺ tidak memerintahkan wanita yang ihram untuk membuka wajahnya*,

~ *hanya melarang menggunakan niqab* ...

Maka hendaklah difahami perkara ini dengan baik.

•• Sehingga seorang wanita saat ihram tetap menutup wajahnya dengan selain niqab dihadapan yang bukan mahramnya

▪️Aisyah radhiyallahu anha berkata :

كَانَ الرُّكْبَانُ يَمُرُّونَ بِنَا وَنَحْنُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُحْرِمَاتٌ فَإِذَا حَاذَوْا بِنَا سَدَلَتْ إِحْدَانَا جِلْبَابَهَا مِنْ رَأْسِهَا عَلَى وَجْهِهَا فَإِذَا جَاوَزُونَا كَشَفْنَاهُ

Dahulu orang-orang yang berkendaraan melewati Kami sementara Kami sedang berihram bersama Rasulullah ﷺ kemudian apabila mereka dekat dengan Kami maka salah seorang diantara Kami menutupkan jilbabnya dari kepala ke wajahnya, kemudian apabila mereka telah melewati Kami maka Kami membukanya.

HR. Abu Dawud dan dihasankan oleh Syaikh Al Albaani rahimahullah

▪️ Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:

فلها أن تغطى وجهها ويديها ، لكن بغير اللباس المصنوع بقدر العضو ، كما أن الرجل لا يلبس السراويل ، ويلبس الإزار ".

Boleh bagi nya (wanita ihram) menutup wajahnya dan kedua tangannya, akan tetapi bukan dengan kain yang dibuat dengan kadar anggota badan.

Sebagaimana laki-laki tidak boleh pakai sirwal(celana) dan memakai sarung.

📚  "مجموع الفتاوى" (22/120).

▪️ Kemudian larangan menggunakan niqab bagi wanita yang sementara ihram adalah dalil yang sangat jelas bahwa kebiasaan para wanita muslimah adalah menggunakan penutup wajah yang disebut niqab,

oleh karena itu Nabi ﷺ melarang para wanita menggunakan niqab saat ihram, bukan perintah membuka wajah.

Sebagaimana kebiasaan para pria menggunakan celana, maka Nabi ﷺ melarang para pria menggunakan celana  saat ihram, bukan berarti mereka diperintahkan untuk membuka auratnya.

✔️ Dan disana masih banyak dalil-dalil lainnya yang menunjukkan wajibnya seorang wanita untuk menutup wajah mereka didepan yang bukan mahram nya...

Untuk lebih lengkapnya silahkan download audio dan mendengarkan kajian seputar hukum hijab di link berikut ini :


Barakallah fiikum

⚠️ HUKUMAN BAGI ORANG YANG MENINGGALKAN KEBENARAN❗

💠 بسم الله الرحمن الرحيم 💠

💎 MUTIARA FAIDAH ILMIYYAH 💎

Apabila datang kepada kita suatu kebenaran maka wajib atas kita menerima dan mengikutinya, serta tidak boleh menolak dan menentangnya.

Barangsiapa yang meninggalkan kebenaran dan menentangnya maka dia pastilah akan mengikuti kebathilan sehingga dia menjadi tersesat dan semakin bertambah jauh dari kebenaran.

Di antara dalil yang menunjukkan kepada hal ini adalah:

1️⃣ QS Ash Shoff Ayat 5:

فَلَمَّا زَاغُوۤا۟ أَزَاغَ ٱللَّهُ قُلُوبَهُمۡۚ وَٱللَّهُ لَا یَهۡدِی ٱلۡقَوۡمَ ٱلۡفَـٰسِقِینَ

"Maka ketika mereka berpaling (dari kebenaran), Allah memalingkan hati mereka. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasiq."

2️⃣ QS Al Baqoroh Ayat 10:

فِی قُلُوبِهِم مَّرَضࣱ فَزَادَهُمُ ٱللَّهُ مَرَضࣰاۖ

"Dalam hati mereka ada penyakit, lalu Allah menambah penyakitnya itu."

3️⃣ QS An Nisa' Ayat 115:

وَمَن یُشَاقِقِ ٱلرَّسُولَ مِنۢ بَعۡدِ مَا تَبَیَّنَ لَهُ ٱلۡهُدَىٰ وَیَتَّبِعۡ غَیۡرَ سَبِیلِ ٱلۡمُؤۡمِنِینَ نُوَلِّهِۦ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصۡلِهِۦ جَهَنَّمَۖ وَسَاۤءَتۡ مَصِیرًا

"Dan barang siapa menentang Rasul (Muhammad) setelah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan dia dalam kesesatan yang telah dilakukannya itu dan akan Kami masukkan dia ke dalam neraka Jahannam, dan itu seburuk-buruk tempat kembali."

4️⃣ Hadits Nabi صلى الله عليه وسلم:

وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ ؛ فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُورِ،

"Jauhilah oleh kalian perbuatan dusta. Sesungguhnya perbuatan dusta membawa kepada perbuatan-perbuatan dosa (lainnya)."

[HR Muslim no. 2607]

🔹➖🔹➖🔹➖🔹➖🔹➖🔹

💡 Al Hafizh Ibnu Katsir رحمه الله menerangkan makna ayat ke-5 dari surat Ash Shoff:

أَيْ: فَلَمَّا عَدَلُوا عَنِ اتِّبَاعِ الْحَقِّ مَعَ عِلْمِهِمْ بِهِ، أَزَاغَ اللَّهُ قُلُوبَهُمْ عَنِ الْهُدَى، وَأَسْكَنَهَا الشَّكَّ وَالْحَيْرَةَ وَالْخُذْلَانَ

"Yaitu: tatkala mereka berpaling dari mengikuti kebenaran padahal mereka mengetahui kebenaran itu, maka Allah akan memalingkan hati-hati mereka dari petunjuk, dan menempatkan di dalamnya keraguan, kebingungan, dan tidak mendapatkan bimbingan."

[Tafsirul Qur'anil 'Azhimi]

💡 Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa'diy رحمه الله berkata:

ولهذا قال: ﴿فَلَمَّا زَاغُوا﴾ أي: انصرفوا عن الحق بقصدهم ﴿أَزَاغَ اللَّهُ قُلُوبَهُمْ﴾ عقوبة لهم على زيغهم الذي اختاروه لأنفسهم ورضوه لها، ولم يوفقهم الله للهدى، لأنهم لا يليق بهم الخير، ولا يصلحون إلا للشر

"Oleh karena inilah Allah mengatakan -yang artinya- [Maka tatkala mereka berpaling] yaitu mereka berpaling dari kebenaran secara sengaja, [Allah memalingkan hati-hati mereka] sebagai hukuman bagi mereka atas keberpalingan mereka yang mereka pilih untuk diri-diri mereka sendiri dan mereka ridhoi. Allah tidak membimbing mereka kepada petunjuk karena kebaikan tidak pantas bagi mereka. Tidak pantas bagi mereka kecuali kejelekan."

[Taisirul Karimir Rahman: QS Ash Shoff: 5]

💡 Syaikh Sholih bin Fauzan Al Fauzan حفظه الله berkata:

كل من ترك الحق فإنه يبتلى بالباطل

"Setiap orang yang meninggalkan kebenaran maka sesungguhnya dia akan diuji dengan (mengikuti) kebatilan."

[Syarhu Masailil Jahiliyyah h. 94]

وبالله التوفيق والحمد لله.

🔻🔻🔻🔻🔻🔻🔻🔻🔻🔻

📱 Saluran kajian dan faidah Ustadz Abu Ahmad Al Asyi حفظه الله : 

🔷️〰️🔷️〰️🔷️〰️🔷️〰️🔷️〰️🔷️〰️🔷️

TENTANG AMALAN HATI, ALLAH YANG PALING TAHU


Pertanyaan :
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته.
Afwan mengganggu syaikh .
Apakah termasuk tassawul atau tidak .. seseorang yg memiliki sifat penginya nyari yg gratisan (mengaharap bantuan dr sodara/temanya) .
Padahal seseorang itu mempunyai kemampuan dlm segi ekonomi ..
--------------------

Jawaban dengan memohon pertolongan pada Allah ta'ala :

وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته.

Jika tidak sampai diucapkan atau yang seperti itu, maka in sya Allah tidak sampai dikatakan meminta-minta.

Sedang amalan hati; maka Allah Tahu siapakah yang bergantung kepada-Nya, dan siapakah yang di dalam jiwanya ada ketergantungan pada makhluk.
Amalan hati sangat berpengaruh pada kadar pahala dan dosa.

والله تعالى أعلم بالصواب
➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖

(Dijawab Oleh : Asy Syaikh Abu Fairuz Abdurrahman bin Soekojo Al Qudsiy Al Jawiy Hafidzahullah )

Sabtu, 20 Rajab 1444 / 11-02-2023


HUKUM MANJAHR-KAN ZIKIR SETELAH SHOLAT


Pertanyaan :

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Afwan Syaikh. Ana mau bertanya. Apa hukum menjahr-kan dzikir setelah shalat wajib? Mohon faidahnya Syaikhuna.

بارك الله فيكم
----------------------

Jawaban dengan memohon pertolongan pada Allah ta'ala :

وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته.

Yang dicontohkan Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم mengeraskannya, seperti takbir seusai salam maka dikeraskan.

Yaitu hadits Ibnu Abbas رضي الله عنهما :

ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ كُنْتُ أَعْرِفُ انْقِضَاءَ صَلَاةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالتَّكْبِيرِ

Ibnu 'Abbas radhiallahu'anhuma berkata, "Aku mengetahui selesainya salat Nabi ﷺ dari suara takbir." (HR. Al Bukhariy).

Dan yang tidak dicontohkan demikian maka kembali pada hukum asal, yaitu dilirihkan, sebagaimana dalam firman Allah ta'ala :

واذكر ربك في نفسك تضرعا وخفية.

"Dan sebutlah Rabbmu di dalam dirimu sendiri dengan menundukkan diri dan lirih."

والله تعالى أعلم بالصواب.
➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖

(Dijawab Oleh : Asy Syaikh Abu Fairuz Abdurrahman bin Soekojo Al Qudsiy Al Jawiy Hafidzahullah )

Ju
m'at, 27 Rajab 1444 / 17-02-2023


APAKAH MASIH WAJIB SHOLAT DI MASJID SESEORANG YANG MEMPUNYAI PENYAKIT MENULAR?


Pertanyaan :

Bismillaah afwan ya syaikh ana izin bertnyk ..apakah msih wajib sholt di mesjid seorng yang mempunyai penyakit menular seprti mata gatal dan lain2 .??
Barokalloohu fiik ..
----------------------

Jawaban dengan memohon pertolongan pada Allah ta'ala :

Afwan ana terlambat menjawab.

Jika sangat dikhawatirkan menulari orang lain, maka dia boleh untuk tidak sholat di masjid, sebagaimana difatwakan oleh sebagian ulama, berdasarkan beberapa dalil shahih.

والله تعالى أعلم بالصواب
➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖

(Dijawab Oleh : Asy Syaikh Abu Fairuz Abdurrahman bin Soekojo Al Qudsiy Al Jawiy Hafidzahullah )

Jum'at, 27 Rajab 1444 / 17-02-2023


APAKAH WANITA YANG SEDANG KONTRAKSI MELAHIRKAN MASIH DISYARIATKAN UNTUK SHOLAT WAJIB?


Pertanyaan :
bismillaah
'afwan ya syaikh ana mau bertanya... Apakah wanita yg sdg kontraksi melahirkan msih disyari'atkan utk sholat wajib ketika dtg waktuny?
Baarokalloohu fiik.
--------------------

Jawaban dengan memohon pertolongan pada Allah ta'ala :

Ya, masih disyariatkan, selama akal masih ada, namun jika situasinya sangat menyusahkan maka boleh dijama', atau diqadha tatkala keadaan telah lebih longgar.

والله تعالى أعلم بالصواب.
➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖

(Dijawab Oleh : Asy Syaikh Abu Fairuz Abdurrahman bin Soekojo Al Qudsiy Al Jawiy Hafidzahullah )

Jum'at, 27 Rajab 1444 / 17-02-2023


⏳JIKA SESEORANG MASUK MASJID SEMENTARA MUADZDZIN MENGUMANDANGKAN ADZAN JUM'AT, APA YANG HARUS DILAKUKAN ?


Soal :

Apakah lebih Afdhal shalat tahiyatul masjid, ketika muadzdzin adzan shalat Jum'at ataukah menunggu hingga selesai adzan dulu ?
____

Ada 2 pendapat ulama dalam hal ini.

▪️ pendapat pertama:

ia segera shalat tahiyatul masjid.

Dengan maksud agar ia konsentrasi mendengarkan khutbah Jum'at, karena mendengarkan khutbah Jum'at hukumnya wajib, sementara menjawab panggilan muadzdzin hukumnya sunnah.

🖋️Berkata Syaikh Al_'Utsaimiin rahimahullah :

إذا دخلت والمؤذن يؤذن لصلاة الجمعة ، بادر بتحية المسجد ، ولا تنتظر انتهاء المؤذن ؛ لأن تفرغك لسماع الخطبة أولى من متابعتك للمؤذن ؛ حيث إن استماع الخطبة واجب، وإجابة المؤذن غير واجبة. واما إذا كان الأذان لغبر صلاة الجمعة، فالأفضل ان تبقي قائما حتى تجيب المؤذن وتدعو بالدعاء المعروف بعد الأذان...ثم بعد ذلك تأتي بتحية المسجد

Jika kami masuk (masjid) dalam keadaan muadzdzin sedang adzan untuk jum'at, bersegeralah untuk sholat tahiyyatul masjid dan jangan menunggu selesainya muadzdzin, karena konsentrasi untuk mendengar khutbah lebih utama dari pada mengikuti muadzdzin, dari sisi mendengarkan khutbah wajib sedangkan menjawab panggilan muadzdzin tidak wajib.

Adapun jika selain dari adzan untuk shalat jum'at, maka yang afdhalnya ia tetap berdiri menjawab panggilan muadzdzin dan berdoa dengan doa yang m'aruf setelah adzan, kemudian setelah itu ia melakukan tahitayatul masjid.

📚Al-Fataawaa 14/295

▪️ pendapat kedua :

Ia menunggu hingga selesai adzan

🖋️ Berkata Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baaz rahimahullah :

هذا هو الأفضل، أن يسمع الأذان، ويجيب المؤذن، ثم يصلي ركعتين، ولا يمنعه ذلك من سماع الخطبة؛ لأن صلاة الركعتين أمر خفيف، وقتها خفيف، في إمكانه أن يصليها، والخطيب لم ينته من مقدمة الخطبة.  ... كونه يجمع بين السنتين: سنة إجابة المؤذن، وسنة تحية المسجد، فهذا هو الأفضل،

Yang afdhalnya ia mendengarkan adzan dan menjawab panggilan muadzdzin, kemudian shalat 2 raka'at dan hal itu tidaklah menghalanginya dari mendengarkan khutbah, karena shalat 2 raka'at tahiyatul masjid, perkara yang ringan dan waktunya singkat yang memungkinkan ia shalat, sementara khatib belum selesai dari pembukaan khutbah.

Karena mengumpul dua sunnah: Sunnah menjawab muadzdzin dan sunnah tahiyatul masjid sunnah (beliau rahimahullah menganggap hukum tahiyatul masjid Sunnah, pent' ) maka ini yang afdhal.

📚 Fatawa Nur 'ala Darb..

▪️Sebagai kesimpulan :

Pendapat yang kuat adalah ia langsung mengerjakan shalat. Karena mendengarkan khutbah itu sendiri hukumnya wajib dan shalat tahiyatul masjid hukumnya wajib, sehingga lebih utama mengedepankan perkara yang wajib.

Dan ini yang dikuatkan oleh Syaikh Al_Allamah Al_Bany rahimahullah ;

 فما ينبغي أن ينتظر ليفرغ المؤذن من أذانه ثم يشرع في التحية ، لماذا ؟ لأن إجابة مؤذن هو أمر مستحب ، والتحية واجبة ، والإصغاء إلى الخطيب أيضًا واجب 

Maka tak sepantasnya untuk menunggu selesainya muadzdzin dari adzannya, kemudian ia memulai shalat tahiyatul masjid, kenapa?

Karena menjawab muadzdzin adalah perkara sunnah dan shalat tahiyatul Masjid hukumnya wajib' dan mendengarkan dengan saksama khutbah hukumnya juga wajib.

📚 Silsilah Al_Huda wa Nur 15/490

Dan pendapat ini yang juga dikuatkan syaikhuna Hasan Basy_Syuaib hafidzahullah :

الأفضل أن تعجل بصلاة ركعتي تحية المسجد حتى تدرك سماع الخطبة

Yang Afdhal adalah ia bersegera shalat tahiyatul masjid 2 raka'at supaya dapat mendengarkan khutbah.

📚 Fatawa beliau dalam telegram.

✍ Abu Hanan As-Suhaily

27 Rajab 1444 -18/2/2023


⏳ APAKAH BENAR UNGKAPAN KEBANYAKAN ORANG YANG MENGATAKAN SUNNAHNYA MEMINUM AIR ZAM ZAM DALAM KEADAAN BERDIRI?

نصـيـحـة للـنــساء:
Mereka berdalilkan dengan hadits Muslim bahwa rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam minum air zam-zam dalam keadaan berdiri.

Dan juga sisi pengkhususannya bahwa yang dituntut pada air zam-zam adalah at-tadhallu' (meminumnya dengan banyak sampai puas hingga memenuhi lambung dan rongga tulang tulang rusuk) dengan sampainya keberkahan pada semua tulang, maka jika ia meminum dalam keadaan berdiri maka ini lebih memungkinkan seseorang untuk segar dan puas, dan maksud syari'at adalah seseorang merasa puas dengan air zamzam.
________

📒Soal di atas kami ajukan pada ulama Yaman 

[14/1 15:37] ابو حنان عثمان السندكاني: السلام عليكم ورحمة الله وبركاتة

احسن الله إليك يا شيخنا 

هل الصحيح بعض الناس يقولون أن شرب ماء زمزم قائما مستحب؟

بالدليل كما فى صحيح مسلم ان النبي صلى الله عليه وسلم شرب ماء زمزم قائما.

ووجه التخصيص أن المطلوب فى ماء زمزم التضلع بوصول بركته الى جميع الأعضاء، فاذا شرب قائما كان أمكن فى الري ومقصود الشرع أن يرتوى الإنسان من ماء زمزم؟؟؟

Assalamualaikum warahmatullahi wa barakatuh.

Ahsanallahu Ilakika Ya syaikhana .

Apakah shahih sebagian manusia mengatakan minum air zamzam dalam keadaan berdiri itu disunnahkan?

Dengan dalil sebagaimana dalam shahih Muslim bahwa rasulullah shalallahu alaihi wasallam minum air zamzam dalam keadaan berdiri.

Dan sisi pengkhususan bahwa yang dituntut pada air zam-zam adalah at-tadhallu' (meminumnya dengan banyak sampai puas hingga memenuhi lambung dan rongga tulang tulang rusuk) dengan sampainya keberkahan pada semua tulang, maka jika ia meminum dalam keadaan berdiri maka ini lebih memungkinkan untuk segar dan puas, dan maksud syari'at adalah seseorang merasa puas dengan air zamzam?

🖋️ Jawaban Syaikh kami Thariq Al-Ba'dany hafidzahullah : 

[15/1 02:12] الشيخ طارق: وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته .

شرب زمزم خاص بمورده قيل لوجود الزحام ويستحب الشرب جالسا منه ومن غيره والله اعلم

Wa Alaikum salam warahmatullahi wa barakatuh.

Minum air zam zam berdiri apalagi khusus di tempat sumbernya air, itu karena padatnya manusia dan hukumnya disunnahkan minum dalam keadaan duduk, baik dari air zamzam dan air selainnya. Wallahu A'lam

🖋️ Jawaban Syaikh kami Abdul Ghani Al-Umary hafidzahullah ;

وعليكم السلام ورحمة الله وبركاتة.

لا، شربه جالسا أفضل ولو شربته قائما يجوز لكن الأفضل أن تكون جالسا أفضل للأدلة غير هذا.

Wa Alaikum salam warahmatullahi wa barakatuh.
 
Tidak disunnahkan, meminum air zamzam lebih afdal dalam keadaan duduk, dan seandainya kamu meminumnya dalam keadaan berdiri, maka itu boleh, akan tetapi kamu minum dalam keadaan duduk itu lebih afdhal karena dalil dalil selain ini (yang disebutkan penanya)

📚 Selesai penukilan

Tambahan penjelasan :

•Telah datang hadits-hadits dari Nabi _shallallaahu 'alaihi wa sallam_ tentang larangam minum berdiri.

Diantaranya : apa yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, dari Anas dan dari Abi Sa'id al Khudry

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَجَرَ ( في لفظ : نَهَى) عَنْ الشُّرْبِ قَائِمًا .

 Bahwasanya Nabi _shallallaahu 'alaihi wa sallam_ melarang minum berdiri.

• Dan juga telah datang hadits-hadits yang lain, bahwasanya Nabi _shallallaahu 'alaihi wa sallam_ minum berdiri.


Diantaranya adalah apa yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Imam Muslim dari sahabat Ibnu Abbas _radhiyallahu ta'ala anhuma_ 

سَقَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ زَمْزَمَ فَشَرِبَ وَهُوَ قَائِمٌ .

Saya memberi minum kepada Rasulullaah _shallallaahu 'alaihi wa sallam_ dari air zam-zam. Maka beliau meminumnya dalam keadaan berdiri. 

Dan diriwayatkan oleh imam Bukhari dari Ali bin Abi thalib :

أنه شَرِبَ قَائِمًا ثم قَالَ : إِنَّ نَاسًا يَكْرَهُ أَحَدُهُمْ أَنْ يَشْرَبَ وَهُوَ قَائِمٌ ، وَإِنِّي رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَعَلَ كَمَا رَأَيْتُمُونِي فَعَلْتُ .

Dan telah diriwayatkan imam Ahmad dengan sanad yang shahih bahwa : 

أَنَّ عَلِيَّ بْنَ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ شَرِبَ قَائِمًا ، فَنَظَرَ إِلَيْهِ النَّاسُ كَأَنَّهُمْ أَنْكَرُوهُ فَقَالَ : مَا تَنْظُرُونَ ! إِنْ أَشْرَبْ قَائِمًا فَقَدْ رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَشْرَبُ قَائِمًا ، وَإِنْ أَشْرَبْ قَاعِدًا فَقَدْ رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَشْرَبُ قَاعِدًا 

Bahwa Ali Radhiyallahu Anhu minum dalam keadaan berdiri, maka manusia pun melihatnya, seakan-akan mereka mengingkarinya.

Maka Ali Radhiyallahu Anhu mengatakan: 

Apa yang kalian lihat ?

Jika aku minum berdiri maka aku telah melihat rasulullah shalallahu alaihi wa sallam minum dalam keadaan berdiri, dan jika aku minum dalam keadaan duduk, maka sungguh aku telah melihat Nabi shalallahu alaihi wasallam minum dalam keadaan duduk.

Dan telah diriwayatkan oleh Imam At-tirmidzi dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albany .

كُنَّا نَأْكُلُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَنَحْنُ نَمْشِي ، وَنَشْرَبُ وَنَحْنُ قِيَامٌ .

Kami dahulu pernah makan di masa Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- sambil berjalan dan kami minum sambil berdiri.”

📌Dan sepakat para ulama antara hadits-hadits yang nenyebutkan tentang larangan minum berdiri, bukan menunjukkan keharoman. *Dan yang afdhol adalah minum dalam keadaan duduk.* dan hadits-hadits tentang Nabi _shallallaahu 'alaihi wa sallam_ minum dalam keadaan berdiri menunjukkan bolehnya hal tersebut.

💡Berkata Imam Annawawi _rahimahullaah_

"لَيْسَ فِي هَذِهِ الأَحَادِيث بِحَمْدِ اللَّه تَعَالَى إِشْكَال , وَلا فِيهَا ضَعْف , بَلْ كُلّهَا صَحِيحَة , وَالصَّوَاب فِيهَا أَنَّ النَّهْي فِيهَا مَحْمُول عَلَى كَرَاهَة التَّنْزِيه . وَأَمَّا شُرْبه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَائِمًا فَبَيَان لِلْجَوَازِ , فَلا إِشْكَال وَلا تَعَارُض , وَهَذَا الَّذِي ذَكَرْنَاهُ يَتَعَيَّن الْمَصِير إِلَيْهِ .

فَإِنْ قِيلَ : كَيْف يَكُون الشُّرْب قَائِمًا مَكْرُوهًا وَقَدْ فَعَلَهُ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ؟

فَالْجَوَاب : أَنَّ فِعْله صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ بَيَانًا لِلْجَوَازِ لا يَكُون مَكْرُوهًا , بَلْ الْبَيَان وَاجِب عَلَيْهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ , فَكَيْف يَكُون مَكْرُوهًا وَقَدْ ثَبَتَ عَنْهُ أَنَّهُ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّأَ مَرَّة مَرَّة وَطَافَ عَلَى بَعِير مَعَ أَنَّ الإِجْمَاع عَلَى أَنَّ الْوُضُوء ثَلاثًا وَالطَّوَاف مَاشِيًا أَكْمَل , وَنَظَائِر هَذَا غَيْر مُنْحَصِرَة , فَكَانَ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُنَبِّه عَلَى جَوَاز الشَّيْء مَرَّة أَوْ مَرَّات , وَيُوَاظِب عَلَى الأَفْضَل مِنْهُ, وَهَكَذَا كَانَ أَكْثَر وُضُوئِهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَلاث ثَلاثًا , وَأَكْثَر طَوَافه مَاشِيًا , وَأَكْثَر شُرْبه جَالِسًا ، وَهَذَا وَاضِح لا يَتَشَكَّك فِيهِ . وَاللَّهُ أَعْلَم" اهـ .

Tidak ada pada hadits-hadits tersebut,_ dengan memuji kepada Allooh_ ada padanya isykal (permasalahan) dan tidak ada padanya kedhoifan bahkan seluruh hadits-hadits menunjukkan shohih dan yang benar pada hadits-hadits tersebut bahwasanya larangan minum berdiri itu dibawa hukumnya kepada makruh. Dan adapun minumnya Nabi _shallallaahu 'alaihi wa sallam_ dalam keadaan berdiri itu menjelaskan tentang bolehnya hal tersebut. Tidak ada permasalahan dan pertentangan dan inilah yang kita telah sebutkan dan kita berjalan diatasnya.

❔Jika ada yang mengatakan bagaimana bisa minum dalam keadaan berdiri hukumnya makruh, sementara Nabi _shallalaahu 'alaini wa sallam_ melakukan hal tersebut?

❕Maka jawabannya,

Adapun perbuatan Nabi _shallalaahu 'alaihi wa sallam_ jika hal tersebut dilakukan dalam rangka penjelasan akan bolehnya (minum berdiri) maka hal tersebut tidak menjadi makruh pada diri Nabi _shallallaahu 'alaihi wa sallam,_ bahkan penjelasan akan bolehnya minum berdiri adalah wajib atas Nabi _shallallaahu 'alaihi wa sallam_ untuk menjelaskannya. 

Maka bagaimana mungkin hal tersebut menjadi makruh bagi Nabi _shallallaahu 'alaihi wa sallam_ dan telah shohih bahwa Nabi _shallallaah 'alaihi wa sallam_ itu berwudhu satu kali satu kali dan juga Nabi thawaf di ka'bah diatas kendaraannya.

Bersamaan dengan itu bahwasanya Ijma' (kesepakatan para ulama) bahwasanya berwudhu tiga kali tiga kali. Dan thawaf dengan berjalan kaki. Itu lebih afdhol dan sempurna. 

Dan yang semisal ini sangat banyak tanpa terbatas. Maka Nabi _shallallaahu 'alaihi wa sallam_ menjelaskan akan bolehnya sesuatu kadang sekali dan lebih dalam berwudhu untuk setiap anggota wudhu, akan tetapi Nabi _shallallaahu 'alaihi wa sallam_ terus menerus melakukan apa yang lebih afdhol darinya (berwudhu tiga kali tiga kali) 

Dan demikianlah kebanyakan wudhu Nabi _shallallaahu 'alaihi wa sallam_ tiga kali tiga kali. Dan kebanyakan thawafnya dengan berjalan kaki. Dan kebanyakan minumnya dalam keadaan duduk.
Dan ini yang sangat jelas, tidak ada keraguan didalamnya.

Wallahu a'lam.

📚Syarah Shahih Muslim 13/195

Al-Maziri rahimahullah mengatakan: 

اِخْتَلَفَ النَّاس فِي هَذَا ، فَذَهَبَ الْجُمْهُور إِلَى الْجَوَاز ، وَكَرِهَهُ قَوْم

“Para ulama berselisih pendapat tentang masalah ini. Jumhur (mayoritas) ulama berpendapat boleh (makan dan minum sambil berdiri). Sebagian lainnya menyatakan makruh .” 

📚Lihat Fathul Bari, 10/ 82

Dan sebagian ulama menyebutkan beberapa udzur dan alasan yang menyebabkan rasulullah minum air zamzam dalam keadaan berdiri : 

وقد كان لعذر ويحمل على أنه لم يجد موضعا للقعود لإزدحام الناس على ماء زمزم وبتلال المكان وقيل أن شرب من ماء زمزم من غير قيام يشق لارتفاع ما عليها من الحائط ولأن الناس كانوا ينظرون إليه ليتقتدوا به فى نسكهم فكان القعود والطمانينة مع هذا كله كالمتعذر

Dan beliau shalallahu alaihi wasallam melakukan minum berdiri karena suatu udzur, dan kemungkinan beliau tidak mendapatkan tempat untuk duduk karena padatnya manusia pada sumur zam-zam dan basahnya tempat tersebut, sebagian ulama mengatakan : minum air zamzam tanpa dengan berdiri, maka ini akan sulit dikarenakan tingginya dinding yang mengelilingi air zamzam, dan orang orang ( pada waktu haji dan umrah beliau) ingin melihat rasulullah shalallahu alaihi wa sallam, agar mereka bisa mencontohi beliau dalam ibadah manasik mereka. Maka untuk minum dalam keadaan duduk dan tenang, bersamaan dengan semua apa yang telah disebutkan (berupa alasan rasulullah minum berdiri) itu seperti orang yang terhalangi dan sulit melakukannya (minum sambil duduk)

📚 Lihat Umdatul Qari 9/278, Kasyful Musykil 3/184, Syarh Sunan An-Nasai Lis-suyuti 5/237, Faidhul Qadir 6/440, Mirqatul Mafatih 8/164, Hasyiah As-sundi 5/237, Syarah Sunan Ibnu Majah 1/244.

Dan ini juga dijelaskan oleh Imam Ibnul Qayyim rahimahullah, beliau berkata,

أن النهي للكراهة التنزيهية، وإن فعله صلى الله عليه وسلم بيان للجواز عند الحاجة

“Larangan hadits tersebut menunjukkan karohah at-tanzih (makruh).
Sesungguhnya perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam minum berdiri menunjukkan bolehnya ketika ada hajat.” 

📚Lihat Zaadul Ma’ad 1/149, 4/229

Dan apabila ada hajat untuk minum berdiri, maka dibolehkan dan hukum makruh hilang.

Dan kaidah fikih :

الكَرَاهَةُ تَزُوْلُ بِالحَاجَةِ

“Sesuatu yang hukumnya makruh menjadi hilang (hukumnya) karena ada hajat (kebutuhan).”

🖋️Dan Syaikhul Islam di tanya tentang makan dan minum berdiri, apakah halal, haram atau makruh ?

Beliau menjawab : 

أما مع العذر فلا باس، فقد ثبت أن النبي شرب من ماء زمزم وهو قائم فإن الموضع لم يكن موضع قعود، وأما مع عدم الحاجة فيكره لأنه ثبت أن النبي صلى الله عليه وسلم نهى عنه وبهذا التفصيل يحصل الجمع بين النصوص.

"Adapun tanpa udzur, Mala tidak mengapa, telah shahih bahwa rasulullah minum air zamzam dalam keadaan berdiri, sebab tempat waktu itu bukan tempat untuk duduk. Adapun minum berdiri tanpa ada hajat, maka di 
makruhkan, sebab Nabi shalallahu alaihi wasallam melarang dari minum berdiri, dan inilah rincian yang dengannya terwujud kompromi antara dalil dalil.

📚 Majmu fatawa 32/211

Dan beliau juga berfatwa : 

ويكره الأكل والشرب قائما لغير حاجة " انتهى .

Dimakhruhkan makan dan minum berdiri tanpa ada hajat.

📚 Fatawa Al-Kubro 5/477

Dan telah datang fatwa lajnah daaimah :

"الأصل أن يشرب الإنسان قاعداً ، وهو الأفضل ، وله أن يشرب قائماً ، وقد فعل النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الأمرين للدلالة على أن الأمر في ذلك واسع" اهـ .

Bahwasanya asal seseorang itu minum dalam keadaan duduk dan boleh baginya untuk minum dalam keadaan berdiri. Dan Nabi _shallallaahu 'alaihi wa sallam_ telah melakukan 2 perkara tersebut. Dan ini menunjukkan bahwasanya pada perkara tersebut terdapat keluasan.

📚 Fatawa Lajnah Daaimah 22/33

🖋️ Dan ini juga yang difatwakan oleh Syaikh Al-Utsaimin rahimahullah :

 الشرب قاعداً افضل بلا شك، 
 بل يكره الشرب قائماً إلا لحاجة؛ دليل ذلك أن النبي صلى الله عليه وعلى آله وسلم: 
«نهى أن يشرب الرجل قائماً».
 كذلك أيضاً إذا كان المكان ضيقاً لا يمكن أن يجلس فليشرب قائماً؛ لأن النبي صلى الله عليه وعلى آله وسلم شرب من زمزم وهو قائم. أما في حالة السعة فليشرب وهو قاعداً. 

Minum dalam keadaan duduk lebih afdhal, tanpa diragukan lagi. Bahkan dimakruhkan minum berdiri kecuali kalau ada hajat, dan dalil akan hal tersebut: bahwa rasulullah shalallahu alaihi wasallam melarang seorang lelaki minum berdiri....

Demikian pula jika ditempat tersebut sempit, yang tidak memungkinkan duduk, hendaknya ia minum berdiri. Sebab Nabi shalallahu minum air zamzam dalam keadaan berdiri. Adapun dalam keadaan longgar, maka hendaknya ia minum dalam keadaan duduk.

📚 Nur 'Ala Darb 367

Dan pendapat ini juga dikuatkan oleh Imam Ibnu Baz rahimahullah : 

الأحاديث الواردة في هذا صحيحة جاء عن النبي ﷺ النهي عن الشرب قائمًا والأكل مثل ذلك، وجاء عنه ﷺ أنه شرب قائمًا، فالأمر في هذا واسع وكلها صحيحة، والحمد لله، فالنهي عن ذلك للكراهة، فإذا احتاج الإنسان إلى الأكل واقفًا أو إلى الشرب واقفًا فلا حرج، وقد ثبت عن النبي ﷺ أنه شرب قاعدًا وقائمًا، فإذا احتاج الإنسان إلى ذلك فلا حرج أن يأكل قائمًا وأن يشرب قائمًا، وإن جلس فهو أفضل وأحسن، 

Hadits-hadits yang datang dalam masalah ini shahih. 

Datang riwayat dari Nabi shalallahu alaihi wasallam akan larangan minum berdiri dan makan demikian juga. Dan juga datang hadits kalau beliau minum sambil berdiri. Maka perkara ini ada kelapangan, semuanya shahih.

Dan larangan makan berdiri itu bermakna makruh. Jika seorang membutuhkan untuk makan berdiri atau minum sambil berdiri maka tidak mengapa dan telah shahih dari beliau bahwa beliau pernah minum sambil duduk dan sambil berdiri. 

Apabila seorang membutuhkan hal itu, maka tidak mengapa makan atau minum sambil berdiri. Dan jika dia duduk maka itu lebih afdhal dan lebih baik.

📚Majmu Al-Fatawa 25/275

Jadi meminum air zamzam walaupun dimudahkan pada hari ini baik di Masjidil Haram atau Masjid Nabawi, hanya saja di tempat tersebut seringnya basah dengan air, tempatnya sempit karena padatnya manusia, yang kadang hal itu menyulitkan untuk duduk, terkhusus lagi saat waktu haji dan waktu umrah ramadhan. Adapun jika dimudahkan untuk minum dalam keadaan duduk, maka itu lebih utama dan afdhal.

Kesimpulannya bahwa sunnah dalam minum dari zamzam adalah duduk dengan dalil umum dari hadits-hadits yang melarang minum sambil berdiri kecuali karena suatu keperluan mendesak dan kebutuhan, dan ini dikuatkan dengan apa yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari 

Dari Asy-Sya'biy bahwa : 

أَنَّ ابْنَ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا حَدَّثَهُ قَالَ سَقَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ زَمْزَمَ فَشَرِبَ وَهُوَ قَائِمٌ قَالَ عَاصِمٌ فَحَلَفَ عِكْرِمَةُ مَا كَانَ يَوْمَئِذٍ إِلَّا عَلَى بَعِيرٍ

Ibnu 'Abbas radliallahu 'anhuma menceritakan kepadanya, dia berkata: "Aku memberi minum Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam dengan air zamzam. Maka Beliau meminumnya sambil berdiri". Berkata, 'Ashim: 'Ikrimah bersumpah bahwa saat itu Beliau shalallahu alaihi wasallam tidak lain kecuali berada diatas untanya. (HR Bukhari 2/167)

Jadi bukanlah seperti yang dipahami sebagian orang bahwasanya termasuk dari sunnah adalah meminum air zamzam dengan berdiri.

Jadi hukum minum air zamzam berdiri adalah makruh dan boleh dilakukan dalam keadaan berdiri jika ada hajat (kebutuhan), misalnya sulit untuk duduk, atau keadaan lainnya yang tidak memungkinkan duduk sebagaimana yang telah lewat penjelasannya.

Wallahu A'lam 

Di susun : 

Abu Hanan As_suhaily.

22 Jumadil Tsani 1444 -15/1/20



╭─┅─═ঊঊঈ═─┅─╮ 
       SEBARKANLAH 
       ENGKAU AKAN 
       MENDAPATKAN 
           PAHALANYA 
╰─┅─═ঊঊঈ═─┅─╯ 

 🅹🅾🅸🅽 🅲🅷🅰🅽🅽🅴🅻 🆃🅴🅻🅴🅶🆁🅰🅼 
📡 https://t.me/fawaaidassunnah

Web : https://bit.ly/Fawaaidassunnah 

_*NASEHAT UNTUK SEKIRANYA TIDAK MEMONDOKKAN ANAK SEBELUM MENCAPAI BALIGH*_

_*Telah Di Periksa Oleh Asy-Syaikh Abu Fairuz Abdurrohman Bin Soekojo Al Indonesiy حفظه الله تعالى*_                بِسْمِ اللّهِ الرَّحْمَن...