Hukum Menunda Pembayaran Hutang/Tidak Mau Membayar Hutang Karena Sudah Beda Pemahaman

HUKUM MENUNDA PEMBAYARAN HUTANG / TIDAK MAU MEMBAYAR HUTANG KARENA SUDAH BEDA PEMAHAMAN


Pertanyaan :


gimana hukumnya org yg menunda bayar hutang atau tdk mau membayar hutang krn org yg memberi hutang sudah beda pemahaman dan saling tidak senang lg antara kedua belah pihak. yg berhutang merasa tdk perlu melunasi hutangnya dgn alasan hanya akan membuat si pemberi hutang menjadi senang.

-------------------------


Jawaban dengan memohon pertolongan pada Allah ta'ala :


Itu haram. Itu menyerupai gaya Yahudi yang tidak mau membayar hutang kepada orang-orang Madinah setelah orang-orang Madinah masuk Islam.

Agama ini dibangun di atas dalil, bukan perasaan, kepuasan jiwa, ra'yu ataupun taqlid pada orang yang tidak ma'shum. 


Kita wajib tunduk pada Al Qur'an dan As Sunnah dengan pemahaman Salafush Shalih, sekalipun terasa berat, pahit dan menyelisihi perasaan. 


Orang yang menghutangi, dia itu telah berbuat ihsan kepada orang yang berhutang. 

Dan Allah dan Rasul-Nya telah mewajibkan membalas kebaikan dengan kebaikan. 


Dan Allah dan Rasul-Nya صلى الله عليه وسلم telah mewajibkan orang yang berhutang untuk membayar hutang saat dia sudah diberi kemampuan untuk membayar.

Dan Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم menamakan sikap menunda pembayaran hutang sebagai kezhaliman.


Bahkan Jibril عليه السلام telah mengabarkan bahwasanya orang yang mati syahid dosanya akan diampuni kecuali hutang. 


Dan dalil² yang ada menunjukkan bahwasanya Ahlul Jannah tidak akan diidzinkan masuk Surga sampai hutang² mereka kepada sesama manusia diselesaikan.


والله تعالى أعلم بالصواب.

➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖


(Dijawab Oleh : Asy Syaikh Abu Fairuz Abdurrahman bin Soekojo Al Qudsiy Al Jawiy Hafidzahullah )


Syafaa't

SYAFA'AT


Memberikan Syafa’at Dalam Kebaikan Itu Disyari’atkan


Pembahasan di atas adalah terkait dengan perbuatan meminta-minta atas nama dakwah, atau atas nama anak yatim dan sebagainya akan tetapi si pelakunya memang berniat untuk mengambil sebagian harta tadi untuk keuntungan dirinya sendiri. Hanya saja dia memakai nama dakwah atau anak yatim dan sebagainya untuk menggerakkan hati masyarakat.

 

Adapun jika pemerintah menuntut masyarakat untuk menunaikan zakat sebagaimana mestinya, dan pemerintah menunjuk beberapa orang sebagai petugas untuk mengurus zakat tadi, pengurus resmi tadi berhak mendapatkan bagian dari zakat tadi, yang pembagiannya sesuai dengan ijtihad pemerintah, dan masing-masing pihak melangkah dengan menaati syariat Alloh dan Rosul-Nya, bukan dengan hawa nafsu sendiri-sendiri.

 

Adapun syafa’at, yaitu seseorang berkata pada orang lain: “Bantulah orang-orang miskin, bantulah anak-anak yatim, bantulah para janda,” dan dia sendiri tidak mengambil keuntungan duniawi apa-apa, maka hal itu bukanlah perkara yang dilarang. Bahkan hal itu disyariatkan dan mendapatkan pahala yang banyak.

 

Alloh ta’ala berfirman:


﴿مَنْ يَشْفَعْ شَفَاعَةً حَسَنَةً يَكُنْ لَهُ نَصِيبٌ مِنْهَا وَمَنْ يَشْفَعْ شَفَاعَةً سَيِّئَةً يَكُنْ لَهُ كِفْلٌ مِنْهَا﴾.


“Barangsiapa memberikan suatu syafaat yang baik, dia akan mendapatkan bagian dari pahala syafaat tadi. Dan barangsiapa memberikan suatu syafaat yang jelek, dia akan mendapatkan bagian dari dosa syafaat tadi.” (QS. An Nisa: 85).

 

Al Imam Ibnu Katsir rohimahulloh berkata:

 “Firman-Nya: “Barangsiapa memberikan suatu syafaat yang baik, dia akan mendapatkan bagian dari pahala syafaat tadi.” Yaitu: Barangsiapa berupaya melakukan suatu perkara yang mengakibatkan kebaikan, maka dia mendapatkan bagian dari pahala kebaikan tadi. “Dan barangsiapa memberikan suatu syafaat yang jelek, dia akan mendapatkan bagian dari dosa syafaat tadi.” Yaitu: maka dia mendapatkan bagian dari dosa dari perkara yang timbul sebagai akibat dari upaya dan niatnya tadi.” (“Tafsirul Qur’anil ‘Azhim”/2/hal. 368).

 

Dari Abu Musa Al Asy’ariy rodhiyallohu ‘anh yang berkata:


كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا جاءه السائل أو طلبت إليه حاجة قال: «اشفعوا تؤجروا ويقضي الله على لسان نبيه صلى الله عليه وسلم ما شاء».


“Dulu Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam jika didatangi oleh orang yang meminta, atau beliau dimintai suatu keperluan, beliau bersabda (pada para Shohabat): “Berikanlah syafaat, niscaya kalian akan mendapatkan pahala. Dan Alloh akan memberikan keputusan sekehendak-Nya melalui lisan Nabi-Nya shollallohu ‘alaihi wasallam.” (HR. Al Bukhoriy (1432) dan Muslim (2627)).

 

Dan dari Wahb bin Munabbih, dari saudaranya yang berkata:


عن معاوية : اشفعوا تؤجروا فإني لأريد الأمر فأؤخره كيما تشفعوا فتؤجروا فإن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال: «اشفعوا تؤجروا». 


“Dari Mu’awiyah yang berkata: “Berikanlah syafaat, niscaya kalian akan mendapatkan pahala, karena sesungguhnya terkadang aku menginginkan suatu perkara, lalu aku menundanya agar kalian memberikan syafaat, lalu kalian mendapatkan pahala, karena sesungguhnya Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam bersabda: “Berikanlah syafaat, niscaya kalian akan mendapatkan pahala.” (HR. Abu Dawud (5132)/shohih).

 

Al Hafizh Ibnu Hajar rohimahulloh berkata: “Yaitu: jika orang yang berhajat itu menyampaikan hajatnya kepadaku, maka hendaknya kalian memberikan syafaat untuknya kepadaku, karena sesungguhnya jika kalian memberikan syafaat, kalian akan mendapatkan pahala, sama saja apakah syafaat kalian diterima ataukah tidak. Dan Alloh akan memperjalankan melalui lidah Nabi-Nya apa yang Dia kehendaki. Yaitu: sebagai bagian dari ketentuan dipenuhinya hajat tadi ataukah tidak. Yaitu: jika aku memenuhinya ataupun aku tidak memenuhinya dengan taqdir dan ketetapan Alloh ta’ala.” (“Fathul Bari”/10/hal. 451).


Dan hadits perintah Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam di hari ‘Id agar para wanita itu bershodaqoh, itu juga bagian dari syafaat, bukan dalil yang mendukung para pemburu harta untuk meraup harta umat, lalu mengambil sebagiannya untuk kepentingan sendiri.

 

Oleh karena itulah maka Ibnu Baththol rohimahulloh memasukkan itu dalam bidang syafa’at. Beliau rohimahulloh berkata dalam syaroh hadits tersebut: “Syafa’at dalam shodaqoh dan seluruh perbuatan kebajikan itu sangat dianjurkan dan didorong. Apakah engkau tidak melihat sabda Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam: “Berikanlah syafaat, niscaya kalian akan mendapatkan pahala.” Maka beliau mendorong umat beliau untuk berupaya memenuhi keperluan-keperluan manusia, dan beliau menjanjikan pahala atas perbuatan tadi. Dan sabda beliau shollallohu ‘alaihi wasallam: “Dan Alloh akan memberikan keputusan sekehendak-Nya melalui lisan Nabi-Nya shollallohu ‘alaihi wasallam” itu menunjukkan bahwasanya orang yang berupaya memberikan syafaat itu akan mendapatkan pahala dalam semua keadaannya sekalipun upayanya tadi gagal dan tidak berhasil. Dan Nabi shollalohu ‘alaihi wasallam telah bersabda:


«الله فى عون العبد ما كان العبد فى عون أخيه» .


“Alloh itu selalu menolong sang hamba, selama sang hamba tadi menolong saudaranya.”

(selesai dari “Syarh Shohihil Bukhoriy”/Ibnu Baththol/12/hal. 214).

---------------


( “At Takassub Wal Istidan Khoirun Min Mas’alatil Insan” | “Berhutang Atau Bekerja Lebih Baik Daripada Meminta-minta” | Asy Syaikh Abu Fairuz Abdurrohman bin Soekojo Al Jawiy حفظه الله)

------------------------------------

Ditulis Oleh :

Asy Syaikh Abu Fairuz Abdurrohman bin Soekojo Al Qudsiy Al Jawiy حفظه الله




Apa manfaat bagimu gelar doktor, sementara engkau bodoh terhadap syariat Allah

Dia memiliki gelar doktor akan tetapi dia tidak memahami (ilmu agama) sedikitpun!

Berkata As-Syaikh Al-Muhaddits Muqbil bin Haady Al-Waadi'iy -rohimahullooh-:
Maka berapa banyak dari seseorang yang memiliki gelar doktor di dalam fiqh islaamy sedangkan dia tidak memahami apapun! Dan berapa banyak dari seseorang memiliki gelar doktor di dalam hadiits, sedangkan dia tidak memahami hadiits! Maka gelar2 ini mengantarkan banyak dari manusia kepada kedudukan2 yang mereka tidak berhak, dan apa manfaat bagimu gelar doktor sedangkan engkau bodoh dengan syari'at Allooh?!

[Al-Makhroj Minal Fitnah/hal 193].

Inilah tolak ukur para salaf dalam menilai seseorang berdasarkan kekuatan ilmu dan amalnya, ketika sesuatu yang terpenting bagi mereka adalah pengakuan Allooh, maka Allooh menjadikan pengakuan makhluuq bagi mereka, akan tetapi di masa kini tolak ukur sebagian pengaku salafy yang pada hakekatnya kholafy telah menyimpang dari tolak ukur para salaf kepada tolak ukur awam manusia, yaitu pentingnya gelar2 tersebut melebihi keilmuan, bahkan karena ambisi ingin diakui diantara mereka membubuhkan gelar2 pendidikan dunia mereka yang tidak ada sangkut pautnya dengan agama, setelah sebelumnya dia tinggalkan jauh2, demi Allooh mereka hanyalah manusia yang menyukai nafkh (tiupan2 yang membesarkan) pamor mereka, walloohul musta'aan.

[Ahad, 24 Robii'ul Aakhir 1444/20-11-2022, di Baitul Ilmis Salafy Ceweng Jombang].

Berhutang Atau Berniaga Lebih Baik Daripada Meminta-minta

Berhutang Atau Berniaga Lebih Baik Daripada Meminta-minta Ditulis oleh: Abu Fairuz Abdurrohman Al Qudsy Al Jawy Al Indonesy -semoga Alloh me...