"Metode Salaf dalam Mendidik Anak"

SAUDARAKU, MULAILAH  DARI DIRIMU SEBELUM ANAKMU.......
"Metode Salaf dalam Mendidik Anak"


Tidak syak bahwa orang tua adalah teladan bagi anak-anaknya. Maka kesholehan orang tua pun mempunyai andil besar dalam usaha untuk mewujudkan kesholehan anak. Oleh karena itu, ketika Maryam datang kepada kaumnya dengan membawa Isa yang masih bayi, dengan serentak mereka mengingkarinya. Hal ini dikarenakan bahwa orang tua Maryam adalah orang-orang yang sholeh yang terjauhkan dari perbuatan keji yang mereka sangkakan kepada Maryam.

Alloh w berfirman:
فَأَتَتۡ بِهِۦ قَوۡمَهَا تَحۡمِلُهُۥۖ قَالُواْ يَٰمَرۡيَمُ لَقَدۡ جِئۡتِ شَيۡ‍ٔٗا فَرِيّٗا ٢٧ يَٰٓأُخۡتَ هَٰرُونَ مَا كَانَ أَبُوكِ ٱمۡرَأَ سَوۡءٖ وَمَا كَانَتۡ أُمُّكِ بَغِيّٗا ٢٨ فَأَشَارَتۡ إِلَيۡهِۖ قَالُواْ كَيۡفَ نُكَلِّمُ مَن كَانَ فِي ٱلۡمَهۡدِ صَبِيّٗا ٢٩

“ Maka Maryam membawa anak itu kepada kaumnya dengan menggendongnya. Kaumnya berkata: "Hai Maryam, sesungguhnya kamu telah melakukan sesuatu yang amat mungkar. Hai saudara perempuan Harun, ayahmu sekali-kali bukanlah seorang yang jahat dan ibumu sekali-kali bukanlah seorang pezina." [QS. Maryam: 28-29]
Imam As-Sa’diy mengatakan dalam tafsir ayat ini: “Yang demikian itu (yakni sebab pengingkaran mereka terhadap Maryam) dikarenakan suatu keturunan pada mayoritasnya mengambil dari (orang tua) pada kesholehan maupun kebalikannya. [Tafsir As-Sa’diy: 492]
Diriwayatkan dari Abdulloh bin Buroidah, berkata: “Ayahku melihat manusia, sebagiannya lewat di depan sebagian yang lain yang sedang sholat, maka beliau berkata: “Engkau akan melihat anak-anak mereka apabila telah besar akan mengatakan: “Sesungguhnya kami dapati bapak-bapak kami perbuatannya demikian.” [Mushonnaf Ibni Abi Syaibah: 1/ 282-283]
Demikian pula dalam menuntut ilmu. Apabila orang tua ingin menjumpai anak-anak semangat dalam menuntut ilmu dan menjadi pengembannya, maka hendaknya dia pun menghiasi dirinya dengan perkara tersebut.
Al-Fudhoil bin ‘Iyadh berkata: “Malik bin Dinar melihat seorang laki-laki yang jelek sholatnya, maka beliaupun berkata: “Betapa kasihannya aku kepada keluarganya…”
Dikatakan kepada beliau: “Wahai Abu Yahya, orang tersebut jelek sholatnya, tapi engkau malah kasihan terhadap keluarganya?! Beliaupun menjawab: “Sesungguhnya dia adalah tetua mereka, dan darinyalah mereka belajar. (Kalau yang mengajari demikian keadaan sholatnya, maka bagaimana dengan keluarganya?!)” [Al-Hilyah: 2/ 383]
Telah kita lewati di depan bahwa Alloh memerintahkan kepada kita untuk menjaga diri-diri kita sebelum yang lainnya dari api neraka.

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ قُوٓاْ أَنفُسَكُمۡ وَأَهۡلِيكُمۡ نَارٗا ….٦

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka...” [At-Tahriim: 6]
Jangan sampai seseorang memerintahkan kepada anak kebaikan tapi malah membiarkan dirinya bergelimang dosa dan kemaksiatan.

Alloh telah berfirman:

۞أَتَأۡمُرُونَ ٱلنَّاسَ بِٱلۡبِرِّ وَتَنسَوۡنَ أَنفُسَكُمۡ وَأَنتُمۡ تَتۡلُونَ ٱلۡكِتَٰبَۚ أَفَلَا تَعۡقِلُونَ ٤٤
“Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaikan, sedang kamu melupakan diri (kewajiban)mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab? Tidaklah kamu itu berpikir?!” [QS. Al-Baqoroh: 44]
Sungguh, seorang yang demikian ini dikhawatirkan mendapatkan kemurkaan yang dahsyat dari Alloh, sebagaimana dalam firman Nya:

 يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفۡعَلُونَ ٢ كَبُرَ مَقۡتًا عِندَ ٱللَّهِ أَن تَقُولُواْ مَا لَا تَفۡعَلُونَ ٣
“Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan. Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” [As-Shoff: 2-3]
Ketahuilah, bahwa kesholehan orang tua merupakan sebab penjagaan Alloh terhadap keturunannya. Walaupun orang tua tersebut telah meninggal. Hal ini sebagaimana yang Alloh tunjukkan pada kisah perjalanan Nabi Musa bersama Nabi Khidhir ketika melewati sebuah tembok yang hampir roboh, maka merekapun segera memperbaikinya walau tanpa mendapat imbalan sedikitpun. Dan ketika Nabi Musa bertanya tentang sebab pendorong perbuatan tersebut, Nabi khidhir menjawab:

وَأَمَّا ٱلۡجِدَارُ فَكَانَ لِغُلَٰمَيۡنِ يَتِيمَيۡنِ فِي ٱلۡمَدِينَةِ وَكَانَ تَحۡتَهُۥ كَنزٞ لَّهُمَا وَكَانَ أَبُوهُمَا صَٰلِحٗا فَأَرَادَ رَبُّكَ أَن يَبۡلُغَآ أَشُدَّهُمَا وَيَسۡتَخۡرِجَا كَنزَهُمَا رَحۡمَةٗ مِّن رَّبِّكَۚ وَمَا فَعَلۡتُهُۥ عَنۡ أَمۡرِيۚ ذَٰلِكَ تَأۡوِيلُ مَا لَمۡ تَسۡطِع عَّلَيۡهِ صَبۡرٗا ٨٢
“Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang saleh, maka Robb-mu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Robb-mu; dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. Demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya." [QS. Al-Kahfi: 82]
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin berkata: “Maka sebagai bentuk kesyukuran Alloh kepada seorang bapak yang sholeh tersebut adalah dengan mengasihi anak-anaknya. Dan ini merupakan berkah dari kesholehan yang ada pada orang tua, sehingga Alloh menjaga anak-anaknya.” [Tafsir Al-‘Utsaimin- al Kahfi: 123]

Oleh:Abu Zakaria Irham,   

Diposting di group WA “ الأُخُوَّة الإسْلامِيَّة oleh Abu Jundi

*HUKUM MELAFADZKAN NIAT*


*HUKUM MELAFADZKAN NIAT*

:scroll: Abu Dâwud bertanya kepada Imam Ahmad bin Hanbal rohimahullôh:
يَقُولُ المُصَلّي قَبْلَ التَّكْبِيْرِ شَيْئاً؟ قَالَ: *لاَ*.
“Apakah Orang yang sholat mengucapkan sesuatu sebelum takbir? Beliau menjawab: *“Tidak.”* [lihat “Masâ’il Ahmad” (hal.31)]

:scroll: Ibnu Hâj rohimahullôh berkata:
« أَنَّ النِّيَّةَ لاَ يُجْهَرُ بِهَا فَهُوَ عَامٌ فِي الإِمَامِ وَالمَأْمُوْمِ وَالفَذِّ فَالجَهْرُ بِهَا بِدْعَةٌ عَلَى كُلِّ حَالٍ إِذْ أَنَّهُ لَمْ يَرَو أَنَّ النَّبِيَّ ( وَلاَ الخُلَفَاءُ وَلاَ الصَّحَابَةُ رِضْوَانُ اللهِ عَلَيْهِمْ أَجْمَعِيْنَ جَهَرُوا بِهَا فَلَمْ يَبْقَ إِلاَّ أَنْ يَكُونَ الجَهْرُ بِهَا بِدْعَةٌ.»
“Bahwasanya niat tidak di keraskan, dan ini umum, termasuk Imâm, makmum, orang sholat sendiri, dan mengeraskannya adalah bid’ah. Maka kesimpulannya tidak di riwayatkan bahwasanya Nabi shollallôhu ‘alaihi wa sallam dan tidak pula khulafa’ dan tidak pula shohabah g mengeraskannya, maka tidak tersisa perkara kecuali bahwasanya mengeraskannya adalah perkara bid’ah.”

:scroll: Abû ‘Abdillâh Muhammad bin Al-Qôsim At-Tûnisî Al-Mâlikî rohimahullôh berkata:
«النِّيَّةُ مِنْ أَعْمَالِ القُلُوبِ فَالجَهْرُ بِهَا بِدْعَةٌ مَعَ مَا فِي ذَلِكَ مِنَ التَّشْوِيْشِ عَلَى النَّاسِ»
*“Niat adalah termasuk dari amalan hati, dan mengeraskannya adalah bid’ah yang tercakup dari hal tersebut gangguan kepada manusia.”* [lihat “Ittibâ’ lâ Ibtidâ’” (1/109)]

:scroll: Imâm ‘Âla’uddîn Al-‘Athôr rohimahullôh berkata:
«وَرَفْعُ الصَّوْتِ بِالنِّيِّةِ مَعَ التَّشْوِيْشِ عَلَى المُصَلِّيْنَ حَرَامٌ إِجْمَاعاً وَمَعَ عَدَمِهِ بِدْعَةٌ قَبِيْحَةٌ فَإِنْ قَصَدَ بِهِ الرِّيَاء كَانَ حَرَاماً مِنْ وَجْهَيْنِ كَبِيْرَةٌ مِنَ الكَبَائِرِ وَالمُنْكَرُ عَلَى مَنْ قَالَ بِأَنَّ ذَلِكَ مِنَ السُّنَّةِ مُصِيْبٌ وَمُصَوِّبُهُ مُخْطِئٌ . وَنِسْبَتُهُ إِلَى دِيْنِ اللهِ اعْتِقَاداً كُفْرٌ وَغَيْرَ اعْتِقَادٍ مَعْصِيَةٌ» .
*“Dan mengangkat suara ketika niat dengan menimbulkan gangguan kepada orang-orang yang sholat adalah harom dengan Ijma’*, bersamaan dengan tidak ada asalnya amalan tersebut adalah bid’ah yang jelek. Apabila di inginkan adalah Riya’, maka itu harom dan dari sisi lainnya adalah termasuk dari dosa besar. Dan barang siapa mengingkari bahwasanya hal itu termasuk dari sunnah adalah benar, dan yang membenarkannya adalah salah. Dan penisbatan amalan tersebut kepada agama Allôh dengan meyakininya adalah kufur dan kalau tidak menyakini (hal tersebut dari agama Allôh) adalah maksiat.” [lihat “Majmû Rosâ’il Kubro” (1/254)]

:scroll: Al-Qôdhî Jamâluddîn Abur Robî’ Sulaimân bin ‘Umar rohimahullôh berkata:
«وَأَمَّا الجَهْرُ بِهَا وَبِالقِرَاءَةِ خَلْفَ الإِمَامِ لَيْسَ مِنَ السُّنَّةِ بَلْ مَكْرُوْه . فَإِنْ حَصَلَ بِهِ تَشْوِيْش عَلَى المُصَلِّيْنَ فَحَرَامٌ ، وَمَنْ قاَلَ بِأَنَّ الجَهْرَ بِلَفْظِ النِّيِّةِ مِنَ السُّنَّةِ فَهُوَ مُخْطِىءٌ وَلاَ يَحِلُّ لَهُ وَلاَ لِغَيْرِهِ أَنْ يَقُولَ فِي دِيْنِ اللهِ تَعَالَى بِغَيْرِ عِلْمٍ»
*“Dan barang siapa yang mengeraskannya dan mengucapkannya di belakang Imâm, bukanlah merupakan sunnah bahkan makruh, dan apabila terjadi gangguan kepada orang sholat, maka (hal tersebut) harom.* Dan barang siapa yang mengatakan bahwasanya mengeraskan dengan melafadzkan niat termasuk dari sunnah, maka dia telah salah, dan tidak boleh baginya dan tidak pula lainnya untuk mengatakan dalam agama Allôh Ta’âla tanpa dengan ‘ilmu.” [lihat “Ittibâ’ lâ Ibtidâ’” (1/109)]

:scroll: Ibnu Rojab rohimahullôh berkata:
«النِيَّةُ هِيَ: قَصْدُ القَلْبِ وَلاَ يَجِبُ التَّلُفِّظِ بِمَا فِي القَلْبِ فِي شَيءٍ مِنَ العِبَادَاتِ»
”Niat adalah keinginan hati dan tidak wajib melafadzkan apa-apa yang di hati pada sesuatu dari Iabadah-ibadah.”

:scroll: Imâm Ibnu Abil ’Izz rohimahullôh berkata:
«فَإِنَّهُ لَمْ يَقُلْ أَحَد مِنَ الأَئِمَّةِ الأَرْبَعَةِ لاَ الشَّافِعِي وَلاَ غَيْرهُ بِاشْتِرَاطِ التَّلَفُّظِ بِالنِيِّةِ وَإِنَّمَا النِّيَّةُ مَحَلُّهَا القَلْبُ بِاتِّفَاقِهِمْ ...»
*”Dan tidak di nukilkan dari salah satu Imam yang empat, tidak pula Asy-Syâfi’î dan tidak pula lainnya dengan disyaratkannya niat, akan tetapi niat itu tempatnya di hati dengan kesepakatan mereka.”* [lihat “Al-Ittibâ’” (hal.62)]

:scroll: Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyyah rohimahullôh mengatakan

:
«وَالْجَهْرُ بِالنِّيَّةِ لَا يَجِبُ وَلَا يُسْتَحَبُّ بِاتِّفَاقِ الْمُسْلِمِينَ ؛ بَلْ الْجَاهِرُ بِالنِّيَّةِ مُبْتَدِعٌ مُخَالِفٌ لِلشَّرِيعَةِ، إذَا فَعَلَ ذَلِكَ مُعْتَقِدًا أَنَّهُ مِنْ الشَّرْعِ: فَهُوَ جَاهِلٌ ضَالٌّ، يَسْتَحِقُّ التَّعْزِيرَ، وَإِلَّا الْعُقُوبَةُ عَلَى ذَلِكَ، إذَا أَصَرَّ عَلَى ذَلِكَ بَعْدَ تَعْرِيفِهِ وَالْبَيَانِ لَهُ، لَا سِيَّمَا إذَا آذَى مَنْ إلَى جَانِبِهِ بِرَفْعِ صَوْتِهِ، أَوْ كَرَّرَ ذَلِكَ مَرَّةً بَعْدَ مَرَّةٍ، فَإِنَّهُ يَسْتَحِقُّ التَّعْزِيرَ الْبَلِيغَ عَلَى ذَلِكَ، وَلَمْ يَقُلْ أَحَدٌ مِنْ الْمُسْلِمِينَ: إنَّ صَلَاةَ الْجَاهِرِ بِالنِّيَّةِ أَفْضَلُ مِنْ صَلَاةِ الْخَافِتِ بِهَا، سَوَاءٌ كَانَ إمَامًا أَوْ مَأْمُومًا، أَوْ مُنْفَرِدًا»
*“Dan mengeraskan niat tidaklah wajib dan tidak pula mustahab dengan kesepakatan muslimin, bahkan mengeraskan niat adalah mubtad’i yang menyelisihi syari’at, apabila melakukan hal tersebut dengan meyakini bahwasanya hal itu dari syari’at, maka dia adalah Jâhil Mudhil (Orang bodoh yang sesat).* Pantas untuk di ta’zir kalau tidak di hukum tentang perbuatannya, apabila dia terus menerus tentang hal itu setelah pengertian dan penjelasan kepadanya, terlebih lagi apabila menganggu orang yang di sampingnya dengan mengeraskan suaranya atau mengulangi hal itu berkali-kali, maka dia itu pantas di ta’zir yang lebih di sebabkan hal tersebut. Dan tidak pernah dikatakan dari satu pun dari muslimin, bahwasanya sholat orang yang mengeraskan dengan niat lebih afdhol dari sholat orang yang melirihkannya, sama saja itu dia Imam, Makmum atau orang yang sholat sendiri.” [lihat “Al-Fatâwâ Al-Khubrô” (2/88)]

:scroll: Berkata juga rohimahullôh:
«بَل التَّلَّفُظُ بِالنِّيِّةِ نَقْصٌ فِي العَقْلِ وَالدِّيْنِ ، أَمَّا فِي الدِّيْنِ فَلِأَنَّهُ بِدْعَةٌ وَأَمَّا فِي العَقْلِ فَلِأَنَّهُ بِمَنْزِلَةِ مَنْ يُرِيْدُ يَأْكُلُ طَعَاماً فَيُقُولُ : نَوَيْتُ بِوَضْعِ يَدِي فِي هَذَا الإِنَاءِ أَنِي أُرِيْدُ آخُذُ مِنْهُ لُقْمَةً فَأَضَعُهَا فِي فَمِّي فَأَمْضَغهَا ثُمَّ اَبْلعهَا لَأَشْبَعَ . مِثْلُ القَائِلُ الَّذِي يَقُولُ : نَوَيْتُ أُصَلِّي فَرِيْضَةً هَذِهِ الصَّلاَةِ المَفْرُوْضَة عَلَيَّ حَاضِر الوَقْت أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ فِي جَمَاعَةٍ أَدَاءً لله تَعَالَى ، فَهَذَا كُلُّهُ حَمْقٌ وَجَهْلٌ وَذَلِكَ أَنَّ النِّيَّةَ تَتْبَعُ العِلْمِ ، فَمَتَى عَلِمَ العَبْدُ مَا يَفْعَلُهُ كَانَ قَدْ نَوَاهُ ضَرُوْرَة ، فَلاَ يَتَصَوَّر مَعَ وُجُودِ العِلْمِ بِالعَقْلِ أَنْ يَفْعَلَ بِلاَ نِيَّةٍ وَلاَ يُمْكِنُ مَعَ عَدَمِ العِلْمِ أَنْ تَحْصُلَ نِيَّةٌ.»
*”Bahkan melafadzkan niat adalah menunjukkan tentang kurangnya dalam akal dan agama.* Adapun dalam agama, di karenakan amalan tersebut adalah bid’ah, adapun dalam akal, karena dia seperti orang yang ingin makan suatu makan dia mengatakan: aku berniat untuk meletakkan tanganku pada wadah ini kemudian aku ingin mengambil dari wadah tersebut suatu suapan, kemudian aku letakkan di dalam mulutku serta menguyahnya, kemudian aku telan sampai kenyang. Contoh pula orang yang mengatakan: aku berniat untuk sholat wajib pada sholat yang di wajibkan kepadaku pada saat tiba waktunya, mengerjakan sebanyak empat raka’at pada jama’ah, untuk Allôh ta’âla. Maka semua ini adalah ketololan dan kebodohan, karena niat menghantarkan ’ilmu, maka kapan seseorang mengetahui apa yang dia lakukan, maka dia sudah berniat, dan tidak tergambarkan dengan adanya ’ilmu dengan akal untuk melakukan tanpa niat, dan tidak mungkin juga tanpa adanya ’ilmu terjadinya niat.” [lihat “Iqâmatid Dalîl ‘Ala Ibthôl Tahlîl” (2/243)]

:scroll: Berkata juga rohimahullôh:
»إِنَّ التَّلَفُّظَ بِالنِّيَّةِ لاَ يَجِبُ عِنْدَ أَحَدٍ مِنَ الأَئِمَّةِ«.
*“Sesungguhnya melafadzkan niat tidaklah wajib menurut salah satu pun dari para Imam-imam.”* [lihat “Majmû Fatâwa” (22/218)]

:scroll: Berkata juga rohimahullôh:
وَالنِّيَّةُ هِيَ القَصْدُ وَالإِرَادَةُ وَالقَصْدُ وَالإِرَادَةُ مَحَلَّهُمَا القَلْبُ دُوْنَ اللِسَّان بِاتِّفَاقِ العُقَلاَءِ.
“Niat adalah maksud dan keinginan. *Maksud dan keinginan tempat keduanya adalah di hati bukan di lisan dengan kesepakatan orang-orang yang berakal.”* [lihat “Majmû Fatâwa” (22/236)]

:scroll: Berkata juga rohimahullôh:
«وَالنِّيَةُ مَحَلُّهَا القَلْبُ بِاتِّفَاقِ العُلَمَاءِ فَإِنْ نَوَى بِقَلْبِهِ وَلَمْ يَتَكَلَّمْ بِلِسَانِهِ أَجْزَأَتْهُ النِّيَّةُ بِاتِّفَاقِهِمْ»
*“Dan niat tempatnya didalam hati dengan kesepakatan para ‘ulamâ,* kalaupun dia meniatkan dengan hatinya dan dia tidak mengucapkan dengan lisannya, maka yang dianggap adalah niat tersebut dengan kesepakatan mereka.” [lihat “Majmû Fatâwa” (18/262)]

:scroll: Berkata juga rohimahullôh:
«مَحَلُّ النِّيِّةِ القَلْبُ دُوْنَ اللِّسَانِ بِاتِّفَاقِ أَئِمَّة المُسْلِمِيْنَ فِي جَمِيْعِ العِبَادَاتِ.»
*”Tempatnya niat adalah di hati bukan lisan dengan kesepakatan para Imâm-Imâm muslimin dalam semua peribadatan.”* [lihat “Majmû Fatâwa” (22/217)]

:scroll: Ibnul Qoyyim rohimahullôh berkata:
«النِّيَّةُ عَمَلُ القَلْبِ.»
“Niat adalah amalan hati.” [lihat “Badâ’iul Fawâid” (3/192)]

:scroll: As-Suyuthî rohimahullôh berkata:
«مَحَلُّهَا القَلْبُ فِي كُلِّ مَوضِعٍ»
*“Tempatnya niat adalah hati pada setiap tempat.”* [lihat “Al-Asybâh wan Nadzô’ir” (hal.76)]

:scroll: Al-Qistholâni rohimahullôh mengatakan:
«وَبِالجُمْلَةِ فَلَمْ يُنْقَلْ أَحَدٌ أَنَّهُ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - تَلَفَّظَ بِالنِّيَّةِ وَلاَ عَلِمَ أَحَدًا مِنْ أَصْحَابِهِ التَّلَفُّظُ بِهَا وَلاَ أَقَرَّهُ عَلَى ذَلِكَ بَلِ المَنْقُولُ عَنْهُ فِي السُّنَّنِ أَنَّهُ قَالَ: «مِفْتَاحُ الصَّلاَةِ الطَّهُورُ وَتَحْرِيمُهَا التَّكْبِيْرُ وَتَحْلِيْلُهَا التَّسْلِيْمُ«.
وَفِي الصَّحِيْحَيْنِ أَنَّهُ - صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ - لَمَّا عَلَّمَ المُسِيءَ صَلاَتهُ قَالَ لَهُ: (إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلاَةِ فَكَبِّرْ ثُمَّ اقْرَأْ مَا تَيَسَّرَ مَعكَ مِنَ القُرْآنِ) فَلمْ يَأْمُرْهُ بِالتَّلَفُّظِ بِشَيءٍ قَبْلَ التَّكْبِيْرِ«.
*“Secara umum,

tidaklah dinukilkan satu pun bahwasanya Nabi shollallôhu ‘alaihi wa sallam melafadzkan niat, dan tidak pula seorang pun dari shohabatnya melafadzkan niat, dan tidak pula diikrarkan untuk hal tersebut*, bahkan yang ternukilkan dari Nabi dalam sunnahnya adalah sabdanya: _*”Kuncinya sholat adalah bersuci, pengharomannya adalah takbir dan penghalalalnnya adalah salam.”*_
Dalam shohihain bahwasanya Nabi shollallôhu ‘alaihi wa sallam ketika mengajarkan orang yang jelek sholatnya dengan sabdanya: _*“Apabila engkau berdiri mengerjakan sholat maka bertakbirlah kemudian membaca apa yang dimudahkan untukmu dari Al-Qur’an.”*_, maka Nabi tidaklah memerintahkan untuk melafadzkan dengan sesuatu sebelum takbir.” [lihat “Al-Mawâhib Al-Laduniyyah” (4/72)]

:scroll: Asy-Syaikh Ibnu Bâz rohimahullôh berkata:
«التَّلُفّظ بِالنِّيِّةِ بِدْعَةٌ ، وَالجَهْرُ بِذَلِكَ أَشَدُّ فِي الإِثْمِ ، وَإِنَّمَا السُّنَّةُ النِّيَّة بِالقَلْبِ ؛ لِأَنَّ اللهَ سُبْحَانَهُ يَعْلَمُ السِّرَّ وَأَخْفَى ، وَهُوَ القَائِلُ عَزَّ وَجَلَّ ﴿قُلْ أَتُعَلِّمُونَ اللهَ بِدِينِكُمْ وَاللهُ يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ ﴾ . وَلَمْ يَثْبُتْ عَنِ النَّبِيِّ ` وَلاَ عَنْ أَحَدٍ مِنْ أَصْحَابِهِ ، وَلاَ عَنِ الأَئِمَّةِ المَتْبُوعِيْنَ التَّلُفّظ بِالنِّيَّةِ ، فَعُلِمَ بِذَلِكَ أَنَّهُ غَيْر مَشْرُوْعٍ ، بَلْ مِنَ البِدَعِ المُحْدَثَةِ . واللهُ وَلِيُّ التَّوْفِيْقِ»
*”Melafadzkan dengan niat adalah bid’ah, dan mengeraskannya lebih besar dosanya, sesungguhnya yang sunnah, niatnya di dalam hati.* Karena Allôh mengetahui apa yang tidak nampak maupun yang nampak, Dia-lah yang mengatakan: Katakanlah kepada mereka: Apakah kamu memberitahukan kepada Allôh agamamu, padahal Allôh mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Tidak tidak pasti dari Nabi ` dan tidak pula dari salah satu shohabatnya, dan tidak pula dari Imam-Imam yang di ikuti tentang melafadzkan niat, maka di kethui dengannya bahwasanya hal itu tidak di syari’atkan, bahkan termasuk bid’ah yang di ada-adakan. Wa Allôh waliyyut taufiq.” [lihat “Fatâwâ Islâmiyyah” (1/478)]

:scroll: Asy-Syaikh Ibnu ’Utsaimîn rohimahullôh berkata:
«وَاعْلَمْ أَنَّ النِّيَّة مَحَلُّهَا القَلْبُ، وَلِهَذَا قَالَ الرَّسُولُ `: «إنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى»، فَلَيْسَتْ مِن أَعْمَالِ الجَوَارِحِ، وَلِهَذَا نَقُولُ: إِنَّ التَّلُفُّظَ بِهَا بِدْعَةٌ، فَلاَ يُسَنُّ لِلْإِنْسَانِ إِذَا أَرَادَ عِبَادَةً أَنْ يَقُولَ: اللَّهُمَّ إِنِّي نَوَيْتُ كَذَا؛ أَوْ أَرَدْتُّ كَذَا، لاَ جَهْراً وَلاَ سِرًّا؛ لِأَنَّ هَذَا لَمْ يُنْقَلْ عَنْ رَسُولِ اللهِ `، وَلِأَنَّ اللهَ تَعَالَى يَعْلَمُ مَا فِي القُلُوبِ، فَلاَ حَاجَةَ أَنْ تُنْطَقَ بِلِسَانِكَ لِيُعْلَم مَا فِي قَلْبِكَ، فَهَذَا لَيْسَ بِذِكْرٍ حَتَّى يُنْطَق فِيْهِ بِاللِّسَانِ، وَإنَّمَا هِيَ نِيَّةٌ مَحَلُّهَا القَلْبُ»،
”Dan ketahuilah bahwasanya niat tempatnya adalah di hati, oleh karena itu Rosûl ` bersabda: Sesungguhnya segala amalan tergantung niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan apa yang dia inginkan. *Maka niat bukanlah dari amalan badan, maka oleh karena itu kami katakan bahwasanya melafadzkan niat adalah bid’ah*, dan tidak pula di sunnahkan bagi seseorang apabila ingin melakukan suatu ’ibadah untuk mengucapkan: Ya Allôh aku meniatkan begini, atau aku ingin begitu, tidak pula mengeraskan atau tidak pula melirihkan. Karena hal ini tidak di nukilkan dari Nabi `, dan karena Allôh mengetahui apa-apa yang di dalam hati, maka tidak di butuhkan untuk mengucapkan dengan lesanmu, karena sudah di ketahui apa yang ada di hatimu. Dan hal ini tidaklah dzikir yang sampai diucapkan oleh lesan, akan tetapi dia adalah niat yang tempatnya di dalam hati.” [Lihat ”Asy-Syarhul Mumti’ (2/130)].

:bookmark: Akhukum: Abu Muhammad Fuad Hasan.

PENTINGNYA MEMPELAJARI AQIDAH YANG BENAR

 باسم الله
PENTINGNYA MEMPELAJARI AQIDAH YANG BENAR


Saudaraku kaum muslimin, berikut ini adalah pembahasan materi aqidah Islam secara sederhana yang dikemas dalam bentuk tanya jawab, agar lebih mudah untuk dipahami, khususnya oleh kebanyakan kaum muslimin yang baru semangat untuk mempelajari dasar-dasar pengetahuan tentang aqidah Islam yang benar. Insya Alloh pembahasan materi aqidah ini, akan kita bahas secara berkala dan berkesinambungan. Semoga Alloh Ta’ala senantiasa memudahkannya.

1. Tanya : “Apa yang dimaksud dengan aqidah itu ?”
Jawab :
Secara bahasa, aqidah diambil dari kata “aqd”, yang artinya ikatan. Sehingga kalau dikatakan : “Saya beri’tiqod begini”, maka maksudnya saya mengikatkan hati saya terhadap sesuatu tersebut. Jadi, aqidah itu adalah sesuatu yang berkaitan dengan keyakinan di hati seseorang. Dan aqidah itu termasuk amalan hati, yang berupa keyakinan dan pembenaran hati terhadap sesuatu.
Adapun aqidah dalam pengertian menurut syari’at, adalah keimanan terhadap pokok-pokok keyakinan agama Islam ini, yang berupa Rukun-Rukun Islam yang enam perkara itu. (lihat : Aqidatut Tauhid (hal. 8), karya Syaikh Sholih Al-Fauzan hafidzhohulloh)
2. Tanya : “Apa yang dimaksud dengan aqidah yang benar itu ?”
Jawab :
Aqidah yang benar itu adalah aqidah yang berisi ajakan/dakwah agar beribadah itu hanyalah kepada Alloh Ta’ala saja, dan memurnikan semua ibadah hanyalah untuk Alloh Subhanahu wa Ta’ala. Aqidah yang benar adalah juga aqidah yang murni dan bersih dari segala kotorannya, yaitu kesyirikan dan kekufuran. Aqidah seperti inilah inti dari dakwahnya seluruh Nabi dan Rosul (utusan) Alloh.
Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ فَمِنْهُمْ مَنْ هَدَى اللَّهُ وَمِنْهُمْ مَنْ حَقَّتْ عَلَيْهِ الضَّلالَةُ فَسِيرُوا فِي الأرْضِ فَانْظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِينَ (٣٦)
“Dan sungguh Kami telah mengutus pada tiap-tiap umat itu seorang Rosul (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut“. Maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu dimuka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul).” (QS An-Nahl : 36)
Alloh Ta’ala juga berfirman :
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لا إِلَهَ إِلا أَنَا فَاعْبُدُونِ (٢٥)
“Dan Kami tidak mengutus seorang Rasulpun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya: “Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku“. (QS Al-Anbiya’ : 25)
Alloh Ta’ala juga berfirman tentang dakwah para Rosul semuanya, yang mana mereka berkata kepada kaumnya :
يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ إِنِّي أَخَافُ عَلَيْكُمْ عَذَابَ يَوْمٍ عَظِيمٍ (٥٩)
“Wahai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tak ada sesembahan (yang benar) bagimu selain Dia.” Sesungguhnya (kalau kamu tidak menyembah Allah), aku takut kamu akan ditimpa azab hari yang besar (yakni kiamat).” (QS Al-A’rof : 59, 65, 73 dan 85)
Itulah dakwah dan ajakan segenap para Nabi dan Rosul kepada umat manusia, dan inilah aqidah yang benar. Disamping itu, aqidah yang benar merupakan pondasi agama seseorang, dan juga merupakan syarat sahnya (diterimanya) suatu amalan.
Sebagaimana dijelaskan dalam firman Alloh Ta’ala :
وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ (٦٥)
“Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu (wahai Nabi Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam) dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu : “Jika kamu mempersekutukan (Alloh), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.” (QS Az-Zumar : 65)
Alloh Ta’ala juga berfirman :
وَلَوْ أَشْرَكُوا لَحَبِطَ عَنْهُمْ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ (٨٨)
“Seandainya mereka mempersekutukan (Alloh), niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan.” (QS Al-An’am : 88)
Alloh ta’ala juga berfirman :
فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلا صَالِحًا وَلا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا (١١٠)
“Barangsiapa mengharapkan perjumpaan dengan Robb-nya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan dengan sesuatu apapun dalam beribadat kepada Robb-nya.” (QS Al-Kahfi : 110)
Ayat-ayat tersebut menunjukkan, aqidah yang benar (yang bersih dari kesyirikan), menentukan diterimanya suatu amalan. Sedangkan aqidah yang tidak benar/bathil (yakni yang dikotori oleh kesyirikan dan kekufuran), menjadikan amalan seseorang sia-sia dan tidak akan diterima oleh Alloh Ta’ala.
3. Tanya : “Apa sumber rujukan Aqidah yang benar itu ?”
Jawab :
Mengingat bahwa aqidah itu termasuk perkara Tauqifiyyah (yakni sesuatu yang tidak bisa ditetapkan kecuali dengan dalil-dalil syar’i), oleh karena itulah sumber-sumber rujukannya hanya terbatas kepada apa yang telah ditetapkan di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Jadi, apa yang ditetapkan oleh keduanya, maka kita wajib mengimaninya, meyakininya dan beramal dengannya. Sedangkan apa yang tidak ditetapkan oleh keduanya, maka kitapun tidak mengimaninya, dan hendaknya menafikannya (meniadakannya) dari Alloh Ta’ala.
Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
اتَّبِعُوا مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ وَلا تَتَّبِعُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ قَلِيلا مَا تَذَكَّرُونَ (٣)
“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Robb-mu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya).” (QS Al-A’rof : 3)
Alloh Ta’ala juga berfirman :
أَوَلَمْ يَكْفِهِمْ أَنَّا أَنْزَلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ يُتْلَى عَلَيْهِمْ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَرَحْمَةً وَذِكْرَى لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ (٥١)
“Apakah tidak cukup bagi mereka bahwasannya Kami telah menurunkan kepadamu Al-Kitab (yakni Al Quran) sedang dia dibacakan kepada mereka ?. Sesungguhnya di dalam (Al Quran) itu benar-benar terdapat rahmat yang besar dan pelajaran bagi orang-orang yang beriman.” (QS Al-Ankabut : 51)
Alloh Ta’ala juga menegaskan :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا (٥٩)
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia (hukumnya) kepada Allah (yakni kepada Al Quran) dan Rasul (yakni sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS An-Nisa’ : 59)
4. Tanya : “Bagaimana cara memahami dan mengamalkan Al-Qur’an dan As-Sunnah yang benar, agar bisa melahirkan pula aqidah yang benar ?”
Jawab :
Memahaminya dan mengamalkannya itu hendaknya sebagaimana apa yang dipahami dan diamalkan oleh para Salafus Sholih, yakni para pendahulu kita dalam beragama Islam ini, yang pada mereka terdapat kesholihan dan banyak keutamaannya.
Lalu, siapakah yang dimaksud dengan salafus Sholih itu ?
Lajnah Ad-Daimah (Lembaga Tetap untuk Urusan Fatwa Kerajaan Saudi Arabia) pernah ditanya tentang apa itu As-Salafiyyah, maka mereka menjelaskan sebagai berikut : “(Istilah) As-Salafiyyah, adalah nisbah (disandarkan) pada kata As-Salaf, mereka itu adalah para Sahabat Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam dan A’immatul Huda (para imam-iman kaum muslimin yang memberikan petunjuk dengan benar kepada umat manusia), mereka adalah yang termasuk orang-orang yang hidup pada masa generasi yang utama – semoga Alloh Ta’ala meridhoi mereka semuanya, yang mana Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam telah menyaksikan kebaikan/keutamaan mereka, sebagaimana dalam sabda beliau :
خير الناس قرني, ثم الذين يلونهم, ثم الذين يلونهم
“Sebaik-baik manusia adalah generasiku (yakni orang-orang yang hidup di jamanku), kemudian (generasi) setelah mereka, kemudian (generasi) setelah mereka….” (HR Imam Ahmad, Al-Bukhori dan Muslim)
(lihat : Fatawa Lajnah Ad-Daimah lil Buhuts Al-‘Ilmiyyah (2/165-166) no. 1361)
As-Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baaz rohimahulloh juga pernah menjelaskan : “Sesungguhnya As-Salaf itu adalah mereka yang hidup pada masa generasi yang utama….”
(lihat : Ta’liq As-Syaikh Hamd bin Abdil Muhsin At-Tuwaijiry pada kitab Al-Aqidah Al-Hamuwiyyah (hal. 203), lihat pula Irsyadul Bariyyah (hal. 17), karya As-Syaikh Abu Abdis Salam Hasan bin Qosim Ar-Roimy hafidzhohulloh)
Jadi, yang dimaksud dengan para Salafus Sholih disini adalah tiga generasi pertama dalam Islam, yakni :
Para Sahabat Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam, yakni orang-orang yang hidup sejaman dengan Nabi, bertemu dengan beliau, beriman terhadap agama yang beliau bawa, serta mati dalam keadaan mukmin.
Para Tabi’in, yaitu orang-orang yang “mengikuti” para Sahabat Rosululloh, yakni orang-orang yang hidup sejaman dengan sahabat, belajar dan mengambil agama ini dari mereka, dan mati dalam keadaan mukmin.
Para Tabi’ut Tabi’in, yakni orang-orang yang “mengikuti” para Tabi’in, yakni orang-orang yang hidup sejaman dengan Tabi’in, belajar dan mengambil agama ini dari mereka, dan mati dalam keadaan mukmin.
Lalu, apa kebaikan dan keutamaan mereka ?

Tentang hal ini, banyak dijelaskan oleh Alloh Ta’ala dalam Al-Qur’an, diantaranya :
1. Mereka adalah As-Sabiqunal Awwalun (orang-orang yang pertama kali dan terdepan dalam keimanan dan keislaman), dan mereka adalah orang-orang yang diridhoi oleh Alloh Ta’ala, sebagaimana dijekaskan dalam firman alloh Ta’ala :
وَالسَّابِقُونَ الأوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالأنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الأنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ (١٠٠)
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah, dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya, mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.” (QS At-Taubah : 100)
2. Jalan hidup mereka (dalam memahami dan Al-Qur’an dan As-Sunnah), adalah jalan yang paling layak untuk ditempuh generasi setelahnya. Siapa saja yang berpaling dari jalan yang mereka tempuh, pasti akan tersesat. Sebagaimana dijelaskan dalam firman-Nya :
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا (١١٥)
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu, dan Kami masukkan ia ke dalam jahannam, dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS An-Nisa’ 115)
3. Beriman seperti keimanan mereka, adalah jalan untuk mendapatkan hidayah dari Alloh Ta’ala, sedangkan enggan untuk beriman dengan keimanan mereka, akan menimbulkan perpecahan dan berbagai kesesatan. Sebagaimana diterangkan dalam firman-Nya :
فَإِنْ آمَنُوا بِمِثْلِ مَا آمَنْتُمْ بِهِ فَقَدِ اهْتَدَوْا وَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا هُمْ فِي شِقَاقٍ فَسَيَكْفِيكَهُمُ اللَّهُ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ (١٣٧)
“Maka jika mereka beriman kepada apa yang kamu telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk. Dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (dengan kamu). Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS Al-Baqoroh : 137)
4. Mengingat keutamaan mereka yang sangat banyak itulah, Alloh Ta’ala memerintahkan kita untuk mendoakan kebaikan pada mereka, dan tidak boleh memiliki kebencian sedikitpun di hati kita terhadap mereka. Sebagaimana hal itu dijelaskan dalam firman-Nya :
وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلإخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالإيمَانِ وَلا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ (١٠)
“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: “Ya Rabb Kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami. Dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (QS Al-Hasyr : 10)
Dan masih banyak dalil-dalil lainnya yang menjelaskan keutamaan mereka. (lihat Irsyadul Bariyyah, hal. 36-39)
Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam juga banyak memuji mereka, sebagaimana dalam sabda beliau : “Sebaik-baik manusia adalah generasiku (yakni orang-orang yang hidup di jamanku), kemudian (generasi) setelah mereka, kemudian (generasi) setelah mereka….” (HR Imam Ahmad, Al-Bukhori dan Muslim)
Mengingat keutamaan yang banyak seperti tersebut di atas dan masih banyak yang lainnya, tentunya sangat layak bagi kita untuk meneladani jalan hidup mereka, terutama ilmu dan pemahaman mereka, dan juga cara mereka dalam mengamalkan agama ini. Termasuk dalam hal ini cara dalam memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah, serta cara mengamalkannya.
Al-Imam Al-Auza’i rohimahulloh pernah mengatakan : “Wajib atas kalian untuk mengikuti jejak para ulama Salaf, meskipun (kebanyakan) manusia menjauhimu. Dan berhati-hatilah dari pendapat-pendapat akal manusia, meskipun mereka menghias-hiasi (memperindah) perkataannya terhadapmu.” (Syarh Aqidah At-Thohawiyyah, hal. 24)
Karena itu pula, Al-Imam Ibnu Katsir rohimahulloh, ketika menjelaskan dan menafsirkan firman Alloh Ta’ala dalam QS Al-Ahqof : 11, diantaranya beliau mengatakan : “Adapun Ahlus Sunnah wal Jama’ah, mereka mengatakan : “Setiap ucapan dan perbuatan (yang terkait dalam masalah ibadah, edt.) yang tidak tsabit dari para Sahabat rodhiyallohu ‘anhum, maka itu adalah bid’ah. Karena sesungguhnya, seandainya pada sesuatu itu (dalam masalah ibadah) ada kebaikan, tentu mereka akan mendahului kita (dalam mengamalkannya). Karena sesungguhnya mereka tidaklah meninggalkan satu pun perangai dari berbagai perangai kebaikan, kecuali mereka adalah orang-orang yang paling bersegera/paling cepat dalam melakukannya.” (Tafsir Al-Qur’anul Adzim, 4/200 )
Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqolani rohimahulloh menyatakan : “Maka kebahagiaanlah bagi orang yang berpegang teguh dengan apa yang ditempuh para ulama Salaf, dan menjauhi apa-apa yang diada-adakan/dibuat-buat oleh kholaf (orang-orang belakangan).” (Fathul Bari, 13/253)
As-Syaikh Al-‘Allamah Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rohimahulloh juga pernah menyatakan : “Jalan yang benar untuk menuju Islam adalah jalannya para Salaf, (yaitu) orang-orang yang beribadah kepada Alloh di atas bashiroh (ilmu dan hujjah yang kokoh), yang tidak ada di dalamnya jidal-nya (berdebatnya) orang-orang Mu’tazilah dan tidak ada ghuluw-nya (sikap berlebih-lebihan/melampaui batas) orang-orang Syi’ah dan Shufiyyah. Tetapi jalan mereka itu (hanyalah) Al-Qur’an dan As-Sunnah.” Lalu beliau membawakan dalil :
اتَّبِعُوا مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ وَلا تَتَّبِعُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ قَلِيلا مَا تَذَكَّرُونَ (٣)
“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Robb-mu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selainnya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya).” (QS Al-A’rof : 3) (lihat : Tuhfatul Mujib, hal. 217)
Demikianlah. Kesimpulannya, cara yang benar dalam memahami dan mengamalkan Al-Qur’an dan As-Sunnah, adalah dengan mengikuti cara para Salafus Sholih dalam memahami dan mengamalkan Al-Qur’an dan As-Sunnah tersebut.
Selama ini telah terbukti, jalan hidup yang mereka tempuh adalah jalan yang terbaik, baik dalam masalah aqidah, ibadah, akhlak, mu’amalah dan sebagainya. Maka meneladani jalan hidup mereka, adalah jalan keselamatan dari berbagai penyimpangan dan kesesatan.
Maka benar pula apa yang pernah disampaikan oleh seorang Sahabat Rosululloh yang mulia, yaitu Ibnu Mas’ud rodhiyallohu ‘anhu, beliau menyatakan : “Barangsiapa ingin mengambil sunnah/contoh/teladan, maka ambillah sunnah-nya orang yang telah mati (maksudnya adalah para sahabat Nabi, edt.). Karena sesungguhnya orang yang masih hidup itu tidaklah aman dari fitnah (ujian/cobaan, yang dengannya bisa saja seseorang menjadi menyimpang, edt.). Mereka itulah para Sahabat Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam (yang patut diteledani). Mereka adalah yang paling utamanya (afdhol-nya) umat ini, paling baik hatinya, paling dalam ilmunya, dan paling sedikit pembebanan dirinya (yakni tidak suka membebani diri/memberat-beratkan diri dengan sesuatu yang tidak ada asalnya dalam agama ini, edt.)…..” (Syarh Al-Aqidah Ath-Thohawiyyah, hal. 432) Wallohu a’lam bis showab.
(Penyusun : Abu Abdirrohman Yoyok WN Sby)

Berhutang Atau Berniaga Lebih Baik Daripada Meminta-minta

Berhutang Atau Berniaga Lebih Baik Daripada Meminta-minta Ditulis oleh: Abu Fairuz Abdurrohman Al Qudsy Al Jawy Al Indonesy -semoga Alloh me...