*HUKUM MELAFADZKAN NIAT*
:scroll: Abu Dâwud bertanya kepada Imam Ahmad bin Hanbal rohimahullôh:
يَقُولُ المُصَلّي قَبْلَ التَّكْبِيْرِ شَيْئاً؟ قَالَ: *لاَ*.
“Apakah Orang yang sholat mengucapkan sesuatu sebelum takbir? Beliau menjawab: *“Tidak.”* [lihat “Masâ’il Ahmad” (hal.31)]
:scroll: Ibnu Hâj rohimahullôh berkata:
« أَنَّ النِّيَّةَ لاَ يُجْهَرُ بِهَا فَهُوَ عَامٌ فِي الإِمَامِ وَالمَأْمُوْمِ وَالفَذِّ فَالجَهْرُ بِهَا بِدْعَةٌ عَلَى كُلِّ حَالٍ إِذْ أَنَّهُ لَمْ يَرَو أَنَّ النَّبِيَّ ( وَلاَ الخُلَفَاءُ وَلاَ الصَّحَابَةُ رِضْوَانُ اللهِ عَلَيْهِمْ أَجْمَعِيْنَ جَهَرُوا بِهَا فَلَمْ يَبْقَ إِلاَّ أَنْ يَكُونَ الجَهْرُ بِهَا بِدْعَةٌ.»
“Bahwasanya niat tidak di keraskan, dan ini umum, termasuk Imâm, makmum, orang sholat sendiri, dan mengeraskannya adalah bid’ah. Maka kesimpulannya tidak di riwayatkan bahwasanya Nabi shollallôhu ‘alaihi wa sallam dan tidak pula khulafa’ dan tidak pula shohabah g mengeraskannya, maka tidak tersisa perkara kecuali bahwasanya mengeraskannya adalah perkara bid’ah.”
:scroll: Abû ‘Abdillâh Muhammad bin Al-Qôsim At-Tûnisî Al-Mâlikî rohimahullôh berkata:
«النِّيَّةُ مِنْ أَعْمَالِ القُلُوبِ فَالجَهْرُ بِهَا بِدْعَةٌ مَعَ مَا فِي ذَلِكَ مِنَ التَّشْوِيْشِ عَلَى النَّاسِ»
*“Niat adalah termasuk dari amalan hati, dan mengeraskannya adalah bid’ah yang tercakup dari hal tersebut gangguan kepada manusia.”* [lihat “Ittibâ’ lâ Ibtidâ’” (1/109)]
:scroll: Imâm ‘Âla’uddîn Al-‘Athôr rohimahullôh berkata:
«وَرَفْعُ الصَّوْتِ بِالنِّيِّةِ مَعَ التَّشْوِيْشِ عَلَى المُصَلِّيْنَ حَرَامٌ إِجْمَاعاً وَمَعَ عَدَمِهِ بِدْعَةٌ قَبِيْحَةٌ فَإِنْ قَصَدَ بِهِ الرِّيَاء كَانَ حَرَاماً مِنْ وَجْهَيْنِ كَبِيْرَةٌ مِنَ الكَبَائِرِ وَالمُنْكَرُ عَلَى مَنْ قَالَ بِأَنَّ ذَلِكَ مِنَ السُّنَّةِ مُصِيْبٌ وَمُصَوِّبُهُ مُخْطِئٌ . وَنِسْبَتُهُ إِلَى دِيْنِ اللهِ اعْتِقَاداً كُفْرٌ وَغَيْرَ اعْتِقَادٍ مَعْصِيَةٌ» .
*“Dan mengangkat suara ketika niat dengan menimbulkan gangguan kepada orang-orang yang sholat adalah harom dengan Ijma’*, bersamaan dengan tidak ada asalnya amalan tersebut adalah bid’ah yang jelek. Apabila di inginkan adalah Riya’, maka itu harom dan dari sisi lainnya adalah termasuk dari dosa besar. Dan barang siapa mengingkari bahwasanya hal itu termasuk dari sunnah adalah benar, dan yang membenarkannya adalah salah. Dan penisbatan amalan tersebut kepada agama Allôh dengan meyakininya adalah kufur dan kalau tidak menyakini (hal tersebut dari agama Allôh) adalah maksiat.” [lihat “Majmû Rosâ’il Kubro” (1/254)]
:scroll: Al-Qôdhî Jamâluddîn Abur Robî’ Sulaimân bin ‘Umar rohimahullôh berkata:
«وَأَمَّا الجَهْرُ بِهَا وَبِالقِرَاءَةِ خَلْفَ الإِمَامِ لَيْسَ مِنَ السُّنَّةِ بَلْ مَكْرُوْه . فَإِنْ حَصَلَ بِهِ تَشْوِيْش عَلَى المُصَلِّيْنَ فَحَرَامٌ ، وَمَنْ قاَلَ بِأَنَّ الجَهْرَ بِلَفْظِ النِّيِّةِ مِنَ السُّنَّةِ فَهُوَ مُخْطِىءٌ وَلاَ يَحِلُّ لَهُ وَلاَ لِغَيْرِهِ أَنْ يَقُولَ فِي دِيْنِ اللهِ تَعَالَى بِغَيْرِ عِلْمٍ»
*“Dan barang siapa yang mengeraskannya dan mengucapkannya di belakang Imâm, bukanlah merupakan sunnah bahkan makruh, dan apabila terjadi gangguan kepada orang sholat, maka (hal tersebut) harom.* Dan barang siapa yang mengatakan bahwasanya mengeraskan dengan melafadzkan niat termasuk dari sunnah, maka dia telah salah, dan tidak boleh baginya dan tidak pula lainnya untuk mengatakan dalam agama Allôh Ta’âla tanpa dengan ‘ilmu.” [lihat “Ittibâ’ lâ Ibtidâ’” (1/109)]
:scroll: Ibnu Rojab rohimahullôh berkata:
«النِيَّةُ هِيَ: قَصْدُ القَلْبِ وَلاَ يَجِبُ التَّلُفِّظِ بِمَا فِي القَلْبِ فِي شَيءٍ مِنَ العِبَادَاتِ»
”Niat adalah keinginan hati dan tidak wajib melafadzkan apa-apa yang di hati pada sesuatu dari Iabadah-ibadah.”
:scroll: Imâm Ibnu Abil ’Izz rohimahullôh berkata:
«فَإِنَّهُ لَمْ يَقُلْ أَحَد مِنَ الأَئِمَّةِ الأَرْبَعَةِ لاَ الشَّافِعِي وَلاَ غَيْرهُ بِاشْتِرَاطِ التَّلَفُّظِ بِالنِيِّةِ وَإِنَّمَا النِّيَّةُ مَحَلُّهَا القَلْبُ بِاتِّفَاقِهِمْ ...»
*”Dan tidak di nukilkan dari salah satu Imam yang empat, tidak pula Asy-Syâfi’î dan tidak pula lainnya dengan disyaratkannya niat, akan tetapi niat itu tempatnya di hati dengan kesepakatan mereka.”* [lihat “Al-Ittibâ’” (hal.62)]
:scroll: Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyyah rohimahullôh mengatakan
:
«وَالْجَهْرُ بِالنِّيَّةِ لَا يَجِبُ وَلَا يُسْتَحَبُّ بِاتِّفَاقِ الْمُسْلِمِينَ ؛ بَلْ الْجَاهِرُ بِالنِّيَّةِ مُبْتَدِعٌ مُخَالِفٌ لِلشَّرِيعَةِ، إذَا فَعَلَ ذَلِكَ مُعْتَقِدًا أَنَّهُ مِنْ الشَّرْعِ: فَهُوَ جَاهِلٌ ضَالٌّ، يَسْتَحِقُّ التَّعْزِيرَ، وَإِلَّا الْعُقُوبَةُ عَلَى ذَلِكَ، إذَا أَصَرَّ عَلَى ذَلِكَ بَعْدَ تَعْرِيفِهِ وَالْبَيَانِ لَهُ، لَا سِيَّمَا إذَا آذَى مَنْ إلَى جَانِبِهِ بِرَفْعِ صَوْتِهِ، أَوْ كَرَّرَ ذَلِكَ مَرَّةً بَعْدَ مَرَّةٍ، فَإِنَّهُ يَسْتَحِقُّ التَّعْزِيرَ الْبَلِيغَ عَلَى ذَلِكَ، وَلَمْ يَقُلْ أَحَدٌ مِنْ الْمُسْلِمِينَ: إنَّ صَلَاةَ الْجَاهِرِ بِالنِّيَّةِ أَفْضَلُ مِنْ صَلَاةِ الْخَافِتِ بِهَا، سَوَاءٌ كَانَ إمَامًا أَوْ مَأْمُومًا، أَوْ مُنْفَرِدًا»
*“Dan mengeraskan niat tidaklah wajib dan tidak pula mustahab dengan kesepakatan muslimin, bahkan mengeraskan niat adalah mubtad’i yang menyelisihi syari’at, apabila melakukan hal tersebut dengan meyakini bahwasanya hal itu dari syari’at, maka dia adalah Jâhil Mudhil (Orang bodoh yang sesat).* Pantas untuk di ta’zir kalau tidak di hukum tentang perbuatannya, apabila dia terus menerus tentang hal itu setelah pengertian dan penjelasan kepadanya, terlebih lagi apabila menganggu orang yang di sampingnya dengan mengeraskan suaranya atau mengulangi hal itu berkali-kali, maka dia itu pantas di ta’zir yang lebih di sebabkan hal tersebut. Dan tidak pernah dikatakan dari satu pun dari muslimin, bahwasanya sholat orang yang mengeraskan dengan niat lebih afdhol dari sholat orang yang melirihkannya, sama saja itu dia Imam, Makmum atau orang yang sholat sendiri.” [lihat “Al-Fatâwâ Al-Khubrô” (2/88)]
:scroll: Berkata juga rohimahullôh:
«بَل التَّلَّفُظُ بِالنِّيِّةِ نَقْصٌ فِي العَقْلِ وَالدِّيْنِ ، أَمَّا فِي الدِّيْنِ فَلِأَنَّهُ بِدْعَةٌ وَأَمَّا فِي العَقْلِ فَلِأَنَّهُ بِمَنْزِلَةِ مَنْ يُرِيْدُ يَأْكُلُ طَعَاماً فَيُقُولُ : نَوَيْتُ بِوَضْعِ يَدِي فِي هَذَا الإِنَاءِ أَنِي أُرِيْدُ آخُذُ مِنْهُ لُقْمَةً فَأَضَعُهَا فِي فَمِّي فَأَمْضَغهَا ثُمَّ اَبْلعهَا لَأَشْبَعَ . مِثْلُ القَائِلُ الَّذِي يَقُولُ : نَوَيْتُ أُصَلِّي فَرِيْضَةً هَذِهِ الصَّلاَةِ المَفْرُوْضَة عَلَيَّ حَاضِر الوَقْت أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ فِي جَمَاعَةٍ أَدَاءً لله تَعَالَى ، فَهَذَا كُلُّهُ حَمْقٌ وَجَهْلٌ وَذَلِكَ أَنَّ النِّيَّةَ تَتْبَعُ العِلْمِ ، فَمَتَى عَلِمَ العَبْدُ مَا يَفْعَلُهُ كَانَ قَدْ نَوَاهُ ضَرُوْرَة ، فَلاَ يَتَصَوَّر مَعَ وُجُودِ العِلْمِ بِالعَقْلِ أَنْ يَفْعَلَ بِلاَ نِيَّةٍ وَلاَ يُمْكِنُ مَعَ عَدَمِ العِلْمِ أَنْ تَحْصُلَ نِيَّةٌ.»
*”Bahkan melafadzkan niat adalah menunjukkan tentang kurangnya dalam akal dan agama.* Adapun dalam agama, di karenakan amalan tersebut adalah bid’ah, adapun dalam akal, karena dia seperti orang yang ingin makan suatu makan dia mengatakan: aku berniat untuk meletakkan tanganku pada wadah ini kemudian aku ingin mengambil dari wadah tersebut suatu suapan, kemudian aku letakkan di dalam mulutku serta menguyahnya, kemudian aku telan sampai kenyang. Contoh pula orang yang mengatakan: aku berniat untuk sholat wajib pada sholat yang di wajibkan kepadaku pada saat tiba waktunya, mengerjakan sebanyak empat raka’at pada jama’ah, untuk Allôh ta’âla. Maka semua ini adalah ketololan dan kebodohan, karena niat menghantarkan ’ilmu, maka kapan seseorang mengetahui apa yang dia lakukan, maka dia sudah berniat, dan tidak tergambarkan dengan adanya ’ilmu dengan akal untuk melakukan tanpa niat, dan tidak mungkin juga tanpa adanya ’ilmu terjadinya niat.” [lihat “Iqâmatid Dalîl ‘Ala Ibthôl Tahlîl” (2/243)]
:scroll: Berkata juga rohimahullôh:
»إِنَّ التَّلَفُّظَ بِالنِّيَّةِ لاَ يَجِبُ عِنْدَ أَحَدٍ مِنَ الأَئِمَّةِ«.
*“Sesungguhnya melafadzkan niat tidaklah wajib menurut salah satu pun dari para Imam-imam.”* [lihat “Majmû Fatâwa” (22/218)]
:scroll: Berkata juga rohimahullôh:
وَالنِّيَّةُ هِيَ القَصْدُ وَالإِرَادَةُ وَالقَصْدُ وَالإِرَادَةُ مَحَلَّهُمَا القَلْبُ دُوْنَ اللِسَّان بِاتِّفَاقِ العُقَلاَءِ.
“Niat adalah maksud dan keinginan. *Maksud dan keinginan tempat keduanya adalah di hati bukan di lisan dengan kesepakatan orang-orang yang berakal.”* [lihat “Majmû Fatâwa” (22/236)]
:scroll: Berkata juga rohimahullôh:
«وَالنِّيَةُ مَحَلُّهَا القَلْبُ بِاتِّفَاقِ العُلَمَاءِ فَإِنْ نَوَى بِقَلْبِهِ وَلَمْ يَتَكَلَّمْ بِلِسَانِهِ أَجْزَأَتْهُ النِّيَّةُ بِاتِّفَاقِهِمْ»
*“Dan niat tempatnya didalam hati dengan kesepakatan para ‘ulamâ,* kalaupun dia meniatkan dengan hatinya dan dia tidak mengucapkan dengan lisannya, maka yang dianggap adalah niat tersebut dengan kesepakatan mereka.” [lihat “Majmû Fatâwa” (18/262)]
:scroll: Berkata juga rohimahullôh:
«مَحَلُّ النِّيِّةِ القَلْبُ دُوْنَ اللِّسَانِ بِاتِّفَاقِ أَئِمَّة المُسْلِمِيْنَ فِي جَمِيْعِ العِبَادَاتِ.»
*”Tempatnya niat adalah di hati bukan lisan dengan kesepakatan para Imâm-Imâm muslimin dalam semua peribadatan.”* [lihat “Majmû Fatâwa” (22/217)]
:scroll: Ibnul Qoyyim rohimahullôh berkata:
«النِّيَّةُ عَمَلُ القَلْبِ.»
“Niat adalah amalan hati.” [lihat “Badâ’iul Fawâid” (3/192)]
:scroll: As-Suyuthî rohimahullôh berkata:
«مَحَلُّهَا القَلْبُ فِي كُلِّ مَوضِعٍ»
*“Tempatnya niat adalah hati pada setiap tempat.”* [lihat “Al-Asybâh wan Nadzô’ir” (hal.76)]
:scroll: Al-Qistholâni rohimahullôh mengatakan:
«وَبِالجُمْلَةِ فَلَمْ يُنْقَلْ أَحَدٌ أَنَّهُ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - تَلَفَّظَ بِالنِّيَّةِ وَلاَ عَلِمَ أَحَدًا مِنْ أَصْحَابِهِ التَّلَفُّظُ بِهَا وَلاَ أَقَرَّهُ عَلَى ذَلِكَ بَلِ المَنْقُولُ عَنْهُ فِي السُّنَّنِ أَنَّهُ قَالَ: «مِفْتَاحُ الصَّلاَةِ الطَّهُورُ وَتَحْرِيمُهَا التَّكْبِيْرُ وَتَحْلِيْلُهَا التَّسْلِيْمُ«.
وَفِي الصَّحِيْحَيْنِ أَنَّهُ - صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ - لَمَّا عَلَّمَ المُسِيءَ صَلاَتهُ قَالَ لَهُ: (إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلاَةِ فَكَبِّرْ ثُمَّ اقْرَأْ مَا تَيَسَّرَ مَعكَ مِنَ القُرْآنِ) فَلمْ يَأْمُرْهُ بِالتَّلَفُّظِ بِشَيءٍ قَبْلَ التَّكْبِيْرِ«.
*“Secara umum,
tidaklah dinukilkan satu pun bahwasanya Nabi shollallôhu ‘alaihi wa sallam melafadzkan niat, dan tidak pula seorang pun dari shohabatnya melafadzkan niat, dan tidak pula diikrarkan untuk hal tersebut*, bahkan yang ternukilkan dari Nabi dalam sunnahnya adalah sabdanya: _*”Kuncinya sholat adalah bersuci, pengharomannya adalah takbir dan penghalalalnnya adalah salam.”*_
Dalam shohihain bahwasanya Nabi shollallôhu ‘alaihi wa sallam ketika mengajarkan orang yang jelek sholatnya dengan sabdanya: _*“Apabila engkau berdiri mengerjakan sholat maka bertakbirlah kemudian membaca apa yang dimudahkan untukmu dari Al-Qur’an.”*_, maka Nabi tidaklah memerintahkan untuk melafadzkan dengan sesuatu sebelum takbir.” [lihat “Al-Mawâhib Al-Laduniyyah” (4/72)]
:scroll: Asy-Syaikh Ibnu Bâz rohimahullôh berkata:
«التَّلُفّظ بِالنِّيِّةِ بِدْعَةٌ ، وَالجَهْرُ بِذَلِكَ أَشَدُّ فِي الإِثْمِ ، وَإِنَّمَا السُّنَّةُ النِّيَّة بِالقَلْبِ ؛ لِأَنَّ اللهَ سُبْحَانَهُ يَعْلَمُ السِّرَّ وَأَخْفَى ، وَهُوَ القَائِلُ عَزَّ وَجَلَّ ﴿قُلْ أَتُعَلِّمُونَ اللهَ بِدِينِكُمْ وَاللهُ يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ ﴾ . وَلَمْ يَثْبُتْ عَنِ النَّبِيِّ ` وَلاَ عَنْ أَحَدٍ مِنْ أَصْحَابِهِ ، وَلاَ عَنِ الأَئِمَّةِ المَتْبُوعِيْنَ التَّلُفّظ بِالنِّيَّةِ ، فَعُلِمَ بِذَلِكَ أَنَّهُ غَيْر مَشْرُوْعٍ ، بَلْ مِنَ البِدَعِ المُحْدَثَةِ . واللهُ وَلِيُّ التَّوْفِيْقِ»
*”Melafadzkan dengan niat adalah bid’ah, dan mengeraskannya lebih besar dosanya, sesungguhnya yang sunnah, niatnya di dalam hati.* Karena Allôh mengetahui apa yang tidak nampak maupun yang nampak, Dia-lah yang mengatakan: Katakanlah kepada mereka: Apakah kamu memberitahukan kepada Allôh agamamu, padahal Allôh mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Tidak tidak pasti dari Nabi ` dan tidak pula dari salah satu shohabatnya, dan tidak pula dari Imam-Imam yang di ikuti tentang melafadzkan niat, maka di kethui dengannya bahwasanya hal itu tidak di syari’atkan, bahkan termasuk bid’ah yang di ada-adakan. Wa Allôh waliyyut taufiq.” [lihat “Fatâwâ Islâmiyyah” (1/478)]
:scroll: Asy-Syaikh Ibnu ’Utsaimîn rohimahullôh berkata:
«وَاعْلَمْ أَنَّ النِّيَّة مَحَلُّهَا القَلْبُ، وَلِهَذَا قَالَ الرَّسُولُ `: «إنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى»، فَلَيْسَتْ مِن أَعْمَالِ الجَوَارِحِ، وَلِهَذَا نَقُولُ: إِنَّ التَّلُفُّظَ بِهَا بِدْعَةٌ، فَلاَ يُسَنُّ لِلْإِنْسَانِ إِذَا أَرَادَ عِبَادَةً أَنْ يَقُولَ: اللَّهُمَّ إِنِّي نَوَيْتُ كَذَا؛ أَوْ أَرَدْتُّ كَذَا، لاَ جَهْراً وَلاَ سِرًّا؛ لِأَنَّ هَذَا لَمْ يُنْقَلْ عَنْ رَسُولِ اللهِ `، وَلِأَنَّ اللهَ تَعَالَى يَعْلَمُ مَا فِي القُلُوبِ، فَلاَ حَاجَةَ أَنْ تُنْطَقَ بِلِسَانِكَ لِيُعْلَم مَا فِي قَلْبِكَ، فَهَذَا لَيْسَ بِذِكْرٍ حَتَّى يُنْطَق فِيْهِ بِاللِّسَانِ، وَإنَّمَا هِيَ نِيَّةٌ مَحَلُّهَا القَلْبُ»،
”Dan ketahuilah bahwasanya niat tempatnya adalah di hati, oleh karena itu Rosûl ` bersabda: Sesungguhnya segala amalan tergantung niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan apa yang dia inginkan. *Maka niat bukanlah dari amalan badan, maka oleh karena itu kami katakan bahwasanya melafadzkan niat adalah bid’ah*, dan tidak pula di sunnahkan bagi seseorang apabila ingin melakukan suatu ’ibadah untuk mengucapkan: Ya Allôh aku meniatkan begini, atau aku ingin begitu, tidak pula mengeraskan atau tidak pula melirihkan. Karena hal ini tidak di nukilkan dari Nabi `, dan karena Allôh mengetahui apa-apa yang di dalam hati, maka tidak di butuhkan untuk mengucapkan dengan lesanmu, karena sudah di ketahui apa yang ada di hatimu. Dan hal ini tidaklah dzikir yang sampai diucapkan oleh lesan, akan tetapi dia adalah niat yang tempatnya di dalam hati.” [Lihat ”Asy-Syarhul Mumti’ (2/130)].
:bookmark: Akhukum: Abu Muhammad Fuad Hasan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar