INI ZAMAN LEMAH LEMBUT

Terkadang disaat kita melihat kemungkaran, maka hati pun terkadang menjadi panas, disaat itu lisan kita kurang terjaga, bahkan sebagian berdalih dengan rasa cemburunya terhadap agama. Bahkan tak jarang hal berakibat ditolaknya sebuah nasehat.

 

Perhatikan kisah seorang tabi'in Shilah bin Asyyam berikut ini.

 

Suatu hari Shilah berpapasan dengan seorang pemuda yang menyeret kainnya alias isbal. Maka para sahabatnya pun ingin menghardik pemuda tadi.

Maka Shilah pun berkata:

"Biar Aku yang mewakili kalian."

 

Kemudian Shilah memanggil pemuda tadi dan berkata:

"Wahai anak saudaraku, Aku ada keperluan sedikit denganmu."

 

Sang pemuda menjawab:

"Apa itu."

 

Shilah menjawab:

"Engkau mengangkat sarungmu."

 

Berkata sang pemuda:

"Iya, dengan senang hati." Maka dia pun mengangkat sarungnya.

 

Berkata Shilah kepada para sahabatnya:

"Ini lebih baik dari yang kalian ingin lakukan. Kalau kalian menghardiknya maka dia pun akan menghardik kalian."

 

[Al-Bidâyah wan Nihâyah (12/266)]

 

Kisah di atas mirip dengan kisah Rasulullah dengan seorang arab baduwi yang kencing di masjid.

 

Dan sikap lemah lembut dalam menasehati ini bukan hanya digunakan di zaman dahulu, bahkan ini lebih kita perlukan di zaman kita sekarang ini.

Simak ucapan Syeikh Ibnu Baz -semoga Allah merahmatinya- berikut:

 

"Dan Allah berkata kepada Nabi Musa dan Nabi Harun tatkala mengutus keduanya kepada Fir'aun:

 

فَقُولَا لَهُ ۥ  قَوْلًا لَّيِّنًا لَّعَلَّهُ ۥ  يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشٰى

 

"Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya (Fir'aun) dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan dia sadar atau takut."

(QS. Ta Ha:44)

 

[Jika kelemah lembutan ini diperintahkan untuk diberikan kepada Fir'aun yang mengaku sebagai Tuhan, maka bagaimana lagi dengan selain Fir'aun ?! admin.]

 

Berkata Nabi:

 

«ﺇﻥ اﻟﺮﻓﻖ ﻻ ﻳﻜﻮﻥ ﻓﻲ ﺷﻲء ﺇﻻ ﺯاﻧﻪ، ﻭﻻ ﻳﻨﺰﻉ ﻣﻦ ﺷﻲء ﺇﻻ ﺷﺎﻧﻪ»

 

"Sesungguhnya kelemah lembutan jika terdapat pada sesuatu maka pasti akan menghiasinya, dan jika dicabut dari sesuatu pasti akan mencacatinya."

 

Terlebih di zaman ini, sekarang adalah zaman kelemah lembutan, kesabaran, dan hikmah.

 

Bukan zaman kekasaran.

Kebanyakan orang sekarang di dalam kebodohan, kelalaian, dan lebih mementingkan dunia.

 

Maka kita harus bersabar dan berlemah lembut agar dakwah sampai kepada manusia dan agar mereka mengetahui.

 

Kita memohon kepada Allah agar semua mendapatkan hidayah.

 

[Majmu' Fatâwa (8/376)]

 

قال ابن كثير -رحمه الله-

ﻭﻣﺮ ﻋﻠﻴﻪ ﻓﺘﻰ ﻳﺠﺮ ﺛﻮﺑﻪ، ﻓﻬﻢ ﺃﺻﺤﺎﺑﻪ ﺃﻥ ﻳﺄﺧﺬﻭﻩ ﺑﺄﻟﺴﻨﺘﻬﻢ، ﻓﻘﺎﻝ: ﺩﻋﻮﻧﻲ ﺃﻛﻔﻜﻢ ﺃﻣﺮﻩ. ﺛﻢ ﺩﻋﺎﻩ ﻓﻘﺎﻝ: ﻳﺎﺑﻦ ﺃﺧﻰ، ﻟﻲ ﺇﻟﻴﻚ ﺣﺎﺟﺔ. ﻗﺎﻝ: ﻭﻣﺎ ﺣﺎﺟﺘﻚ؟ ﻗﺎﻝ: ﺃﻥ ﺗﺮﻓﻊ ﺇﺯاﺭﻙ. ﻗﺎﻝ: ﻧﻌﻢ، ﻭﻧﻌﻤﺖ ﻋﻴﻦ. ﻓﺮﻓﻊ ﺇﺯاﺭﻩ، ﻓﻘﺎﻝ ﺻﻠﺔ: ﻫﺬا ﺃﻣﺜﻞ ﻣﻤﺎ ﺃﺭﺩﺗﻢ، ﻟﻮ ﺷﺘﻤﺘﻤﻮﻩ ﻟﺸﺘﻤﻜﻢ.

 

[البداية والنهاية (١٢/٢٦٦)]

 

قال الإمام ابن باز -رحمه الله-:

"ﻭﻗﺎﻝ اﻟﻠﻪ ﻟﻤﻮﺳﻰ ﻭﻫﺎﺭﻭﻥ ﻟﻤﺎ ﺑﻌﺜﻬﻤﺎ ﺇﻟﻰ ﻓﺮﻋﻮﻥ:

{ﻓﻘﻮﻻ ﻟﻪ ﻗﻮﻻ ﻟﻴﻨﺎ ﻟﻌﻠﻪ ﻳﺘﺬﻛﺮ ﺃﻭ ﻳﺨﺸﻰ}

 

ﻭﻗﺎﻝ اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ: «ﺇﻥ اﻟﺮﻓﻖ ﻻ ﻳﻜﻮﻥ ﻓﻲ ﺷﻲء ﺇﻻ ﺯاﻧﻪ، ﻭﻻ ﻳﻨﺰﻉ ﻣﻦ ﺷﻲء ﺇﻻ ﺷﺎﻧﻪ» ، ﻭﻻ ﺳﻴﻤﺎ ﻓﻲ ﻫﺬا اﻟﻌﺼﺮ، ﻫﺬا اﻟﻌﺼﺮ ﻋﺼﺮ اﻟﺮﻓﻖ ﻭاﻟﺼﺒﺮ ﻭاﻟﺤﻜﻤﺔ، ﻭﻟﻴﺲ ﻋﺼﺮ اﻟﺸﺪﺓ.

اﻟﻨﺎﺱ ﺃﻛﺜﺮﻫﻢ ﻓﻲ ﺟﻬﻞ، ﻓﻲ ﻏﻔﻠﺔ إيثار للدنيا، ﻓﻼ ﺑﺪ ﻣﻦ اﻟﺼﺒﺮ، ﻭﻻ ﺑﺪ ﻣﻦ اﻟﺮﻓﻖ ﺣﺘﻰ ﺗﺼﻞ اﻟﺪﻋﻮﺓ، ﻭﺣﺘﻰ ﻳﺒﻠﻎ اﻟﻨﺎﺱ ﻭﺣﺘﻰ ﻳﻌﻠﻤﻮا. ﻭﻧﺴﺄﻝ اﻟﻠﻪ ﻟﻠﺠﻤﻴﻊ اﻟﻬﺪاﻳﺔ.

 

[مجموع فتاويه (٨/٣٧٦)]

 

Faedah Ilmiah

@masjidmuadz

Join Telegram: https://t.me/fawaaidassunnah

Penjelasan dari Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin Rohimahulloh tentang Pendapat Beliau Seputar Gambar/ Foto Makhluk Bernyawa

 Tatabbu’ ar-rukhosh” (mencari-cari keringanan) dari para ulama merupakan prinsip yang keliru dalam beragama. Bahkan bisa mengantarkan seseorang pada berbagai macam dosa dan penyimpangan.

 

Termasuk perkara yang banyak dijadikan ‘tameng’ oleh sebagian manusia untuk menutupi buruknya hawa nafsu yang ada pada dirinya seputar gambar makhluk bernyawa adalah pendapat yang dinisbahkan kepada Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin Rohimahulloh bahwa beliau membolehkan untuk menggambar makhluk bernyawa dengan alat fotografi secara mutlak. Sehingga merekapun dengan penuh gembira menyebarkankan hal ini tanpa mengindahkan batasan-batasan yang diinginkan oleh Syaikh. Tentunya ini merupakan kedzoliman atas beliau. Yang lebih ironisnya, hal ini juga dilakukan oleh orang-orang yang menisbahkan dirinya kepada “salafiyyah.” Wallohul Musta’an.

 

Padahal, kalau kita cermati penjelasan beliau tentang masalah ini, kita akan tahu bahwa kebolehan yang beliau pandang tersebut sangatlah sempit, tidak seperti yang disebarkan oleh kebanyakan manusia.

 

Berikut ini surat yang beliau tulis kepada salah seorang masyayikh yang menasehati beliau dalam masalah shuroh.

Semoga kita bisa memetik pelajaran darinya….

 

بسم الله الرحمن الرحيم

 

Dari Muhammad Ash-Sholeh Al-‘Utsaimin kepada saudaranya yang mulia: Asy-Syaikh…….Hafidzohullohu ta’ala, dan semoga Alloh menjadikannya termasuk hamba-hambaNya yang sholeh, dan termasuk wali-waliNya yang beriman dan bertaqwa, serta termasuk golongan-Nya yang berbahagia. Aamiin. Wa ba’du:

 

فقد وصلني كتابكم الذي تضمن السلام والنصيحة فعليكم السلام ورحمة الله وبركاته، وجزاكم الله عني على نصحتكم البالغة التي أسال الله تعالى أن ينفعني بها.

ولا ريب أن الطريقة التي سلكتموها في النصيحة هي الطريقة المثلى للتناصح بين الإخوان، ولا يؤمن أحدكم حتى يحب لأخيه ما يحب لنفسه. ولقد بلغت نصيحتكم مني مبلغاً كبيراً بما تضمنته من العبارات الواعظة والدعوات الصادقة ، أسأل الله أن يتقبلها ، وأن يكتب لكم مثلها .

 

Telah sampai kepadaku tulisan Anda yang terkandung di dalamnya; salam dan nasehat. (Maka saya jawab): “fa’alaikumussalam warohmatullohi wabarokatuh.” Semoga Alloh membalas Anda dengan kebaikan atas nasehat yang mendalam tersebut yang saya mengharap kepada Alloh agar Dia memberikan kemanfaatan kepadaku dengan sebabnya.

 

Tidak ada keraguan bahwa metode yang Anda tempuh dalam nasehat adalah metode yang sangat bagus untuk saling menasehati antar ikhwan. Sebab, manusia itu adalah tempat salah dan lupa. Dan seorang mukmin adalah cermin bagi saudaranya. Tidaklah seseorang beriman (dengan sempurna) sampai dia mencintai (kebaikan) untuk saudaranya sebagaimana dia mencintai (kebaikan tersebut) untuk dirinya sendiri.

 

Sungguh, nasehat Anda terasa begitu mendalam pada diri saya dikarenakan kandungan yang ada padanya berupa ungkapan-ungkapan nasehat dan doa-doa yang jujur. Saya berharap kepada Alloh agar menerima doa-doa tersebut dan menulis untuk Anda yang semisal dengannya.

 

وما أشرتم إليه -حفظكم الله- من تكرر جوابي على إباحة الصورة المأخوذة بالآلة:

فإني أفيدك أخي أنني لم أبح اتخاذ الصورة - والمراد صورة ما فيه روح من إنسان أو غيره - إلا ما دعت الضرورة أو الحاجة إليه ، كالتابعية ، والرخصة ، وإثبات الحقائق ونحوها.

وأما اتخاذ الصورة للتعظيم ، أو للذكرى ، أو للتمتع بالنظر إليها، أو التلذذ بها فإني لا أبيح ذلك ، سواء كان تمثالاً أو رقماً ، وسواء كان مرقوماً باليد أو بالآلة لعموم قول النبي صلى الله عليه وسلم : (( لا تدخل الملائكة بيتاً فيه صورة)).

وما زالت أفتي بذلك، وآمر من عنده صور للذكرى بإتلافها، وأشدد كثيراً إذا كانت الصورة صورة ميت.

 

Apa-apa yang telah Anda –hafidzokumulloh- isyaratkan berupa berulang-ulangnya jawaban saya atas pembolehan “shuroh” yang diambil dengan alat, maka sungguh saya beritahukan kepada Anda, wahai saudaraku, bahwa saya tidaklah membolehkan pengambilan “shuroh” (yang dimaksud dengan shuroh di sini adalah gambar segala sesuatu yang padanya ruh, baik itu manusia atau lainnya), kecuali perkara-perkara yang ada kedaruratan atau hajat padanya, seperti: KTP, Surat izin, dan bukti penetapan fakta serta yang semisalnya.

 

Adapun pengambilan “shuroh” untuk diagungkan atau kenangan atau untuk menikmatinya dengan melihat (shuroh-shuroh tersebut) atau bersenang-senang dengannya maka sesungguhnya SAYA TIDAKLAH MEMBOLEHKAN YANG DEMIKIAN ITU.

Baik itu berupa patung, atau lukisan.

Baik itu dilukis dengan tangan ataupun dengan alat, berdasarkan keumuman sabda Nabi –Shollallohu ‘alaihi wa sallam-

 

"لا تدخل الملائكة بيتاً فيه صورة "

 

Malaikat tidaklah akan masuk rumah yang ada padanya gambar makhluk bernyawa.”

 

Saya senantiasa berfatwa demikian dan saya perintahkan siapa saja yang memiliki gambar makhluk bernyawa yang ditujukan sebagai kenangan untuk menghancurkannya.

 

Dan saya banyak bersikap lebih keras lagi jika gambar/foto tersebut adalah gambar orang yang telah mati.

 

وأما تصوير ذوات الأرواح من إنسان أو غيره فلا ريب في تحريمه، وإنه من كبائر الذنوب، لثبوت لعن فاعله على لسان رسول الله صلى الله عليه وسلم

 وهذا ظاهر فيما إذا كان تمثالاً - أي مجسماً - أو كان باليد ،

أما إذا كان بالآلة الفورية التي تلتقط الصورة ولا يكون فيها أي عمل من الملتقط من تخطيط الوجه وتفصيل الجسم ونحوه، فإن التقطت الصورة لأجل الذكرى ونحوها من الأغراض التي لا تبيح اتخاذy الصورة فإن التقاطها بالآلة محرم تحريم الوسائل ، وإن التقطت الصورة للضرورة أو الحاجة فلا بأس بذلك.

هذا خلاصة رأيي في هذه المسألة ، فإن كان صواباً فمن الله وهو المان به ، وإن كان خطأ فمن قصوري أو تقصيري ، وأسأل الله أن يعفو عني منه ، وأن يهديني إلى الصواب.

 

Adapun menggambar makhluk bernyawa baik itu manusia atau selainnya, maka tidaklah ragu tentang keharamannya dan hal tersebut merupakan dosa besar, berdasarkan tetapnya laknat bagi pelakunya melalui lisan Rosululloh –shollallohu ‘alaihi wa sallam.

 

Hal ini jelas jika “shuroh” tersebut berupa patung -yaitu yang berjasad (tiga dimensi)-, atau jika “shuroh” itu dihasilkan dengan tangan.

 

Adapun jika dengan “alat fauriyyah” (kamera langsung jadi) yang mengambil gambar/ foto tanpa ada padanya perbuatan sedikitpun dari pengambil foto yang berupa pelukisan wajah dan pembentukan tubuh serta yang semisal dengannya, maka apabila gambar/ foto tersebut diambil untuk kenang-kenangan dan yang semisalnya dari tujuan-tujuan yang “shuroh” tidak dibolehkan untuknya, maka sesungguhnya pengambilan gambar dengan alat (untuk tujuan seperti ini) diharamkan dengan pengharaman dari sisi wasilah.

 

Dan jika gambar/ foto diambil untuk sesuatu yang darurat atau suatu hajat maka tidaklah mengapa.

Inilah kesimpulan pendapat saya dalam masalah ini. Apabila benar maka asalnya dari Alloh dan Dialah yang memberi anugerah tersebut. Dan apabila salah maka berasal dari kelemahan dan kekurangan saya, dan saya meminta kepada Alloh agar memaafkan saya dan memberikan saya hidayah kepada kebenaran.

 

والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته.

 

[ 📚Sumber: Majmu’ Fatawa wa Rosail Ibni ‘Utsaimin: 2/ 287-289]

 

Saudara-saudaraku fillah, inilah penjelasan syaikh Ibnu ‘Utsaimin –Rohimahulloh yang menerangkan dan menegaskan pendapat beliau tentang masalah shuroh.

 

Terlepas dari pembahasan apakah pendapat beliau ini adalah pendapat yang kuat ataukah lemah, karena yang ingin saya tekankan di sini adalah kebenaran penisbatan suatu pendapat pada seorang ‘alim, sehingga seseorang tidak lagi semena-mena dalam menggunakannya sesuai hawa nafsu sendiri.

 

Dari penjelasan tersebut kita bisa menarik kesimpulan sebagai berikut:

 

1⃣ Bagusnya adab beliau dalam menerima nasehat dan dalam menjawab. Inilah yang hendaknya kita semua berusaha untuk meneladaninya.

 

2⃣ Beliau dengan tegas menyatakan bahwa semua gambar makhluk bernyawa, baik yang dua dimensi maupun tiga dimensi hukumnya haram. Tidaklah keluar dari keharaman ini kecuali dengan adanya hajat atau kedaruratan.

 

3⃣ Beliau membedakan hukum pada permasalahan menggambar (bukan hasil gambarnya)

👉🏽Jika dengan tangan maka jelas keharamannya.

👉🏽Jika dengan “alat fauriyyah”, yaitu sejenis kamera yang menghasilkan foto langsung jadi tanpa klise, yang dikenal dengan “kamera polaroid”, maka beliau berpendapat bahwa hal ini asalnya boleh. Dengan syarat bahwa gambar/ foto yang dihasilkan itu untuk sesuatu yang dibolehkan syareat.

Namun, jika untuk perkara-perkara yang penggunaan gambar padanya tidak dibolehkan syar’i seperti untuk kenang-kenangan dan hal-hal lain yang tidak ada hajat atau kedaruratan padanya, maka beliau menegaskan bahwa hukumnya haram, sebagaimana shuroh yang dibuat dengan tangan, walaupun jalan penetapan hukum haram ini berbeda.

 

‼Jadi, ada dua hal utama yang perlu digaris bawahi dari pendapat beliau ini:

 

1⃣Pertama:

Alat yang beliau bolehkan dalam masalah “menggambar” adalah kamera langsung jadi, bukan semua alat/ kamera. Hal ini sangat jelas kalau kita melihat alas an beliau pada fatwa-fatwa yang lain. Sebab beliau mengkiyaskannya dengan mesin fotokopi yang langsung menghasilkan foto/ salinan sesuatu yang di-copy-nya.

Adapun kamera yang tidak langsung jadi yang ada klise-nya, tidaklah foto itu bisa terwujud kecuali dengan usaha manusia yang berupa pencucian film.

 

2⃣Kedua:

Semua “shuroh” baik itu yang dihasilkan tangan maupun kamera jika tidak ada hajat atau darurat, menurut beliau adalah haram.

 

💥Inilah kesimpulan dari pendapat Asy-syaikh Ibnu ‘Utsaimin Rohimahulloh tentang masalah shuroh.

Dalam keadaan demikian, beliau dalam fatwanya yang lain menyatakan bahwa pendapat yang beliau pilih tersebut termasuk dalam perkara “syubhat” yang hendaknya seseorang mengambil langkah hati-hati, bukan malah bermudah-mudahan. Hal ini sebagaimana beliau katakan setelah menyebutkan khilaf tentang boleh dan tidaknya:

 

"والاحتياط الامتناع من ذلك، لأنه من المتشابهات، ومن اتقى الشبهات فقد استبرأ لـدينه وعرضه".

 

Dan yang hati-hatinya adalah menahan diri dari yang demikian itu (pembolehan memfoto dengan kamera) karena termasuk “mutasyabihat” (perkara-perkara yang masih diragukan halal atau haramnya). Dan siapa saja yang menjauhi perkara mut asyabihat maka sungguh dia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya.” [Majmu Fatawa: 12/ 312] 

 

Kemanakah orang-orang yang berlindung di balik fatwa beliau demi hawa nafsunya dari nasehat beliau yang bagus ini…??!!

WallohuMusta’an

 

 

✍🏼Oleh: Ust Abu Zakaria Irham Al-Jawi Waffaqohulloh

Joint Telegram :  https://t.me/fawaaidassunnah

DROPSHIP HALAL ?

 

📦 *DROPSHIP HALAL* ✔️

(edisi revisi)

 

*Tanya:*

السلام عليكم...

Nabi صلى الله عليه وسلم  melarang utk :

-> "menjual brg yg belum dimiliki"

(HR.Ahmad shahih al-albani)

-> " menjual brg yg belum berpindah dr pemilik asli brg (tempat kulak)"

(HR.Abu Dawud Hasan Al-albani)

-> "menjual apa yg tdk ada padamu"

(ashabussunnan kecuali abu dawud -isnad Shahih)

 

Bolehkah si fulan menjualkan suatu produk sbg wakil dari si alan (dgn seijin alan) yg mana alan ini statusnya juga sbg dropshiper (wakil dari si pemilik produk langsung)..?

Jadi fulan adalah dropshipernya alan, dan alan dropshipernya (wakilnya) dari si pemilik produk (pabrik atau distributornya).

 

Mohon jawabanya, yg nanti kami bagikan ke para ikhwah tsb, supaya mereka tenang dalam bermuamalah...

Jazaakallohu khoiro

 

*Dijawab oleh  Syaikh Abu Fairuz Abdurrohman Alqudsy, Aljawy al Indunisiy* hafidzhohulloh:

وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته.

Secara umum, dropshiper bukan sebagai pemilik barang, akan tetapi dia sebagai wakil dari pemilik, sedangkan taukil (perwakilan suatu hajat atau transaksi) adalah boleh.

 

Maka yang semacam ini tidak masuk dalam larangan (dlm hadits diatas -edt) tadi.

 

Dan wakil itu di dalam transaksi tidak boleh bergaya sebagai pemilik barang, bahkan dia bergerak sesuai dengan kesepakatan dia dg pemilik barang.

والله تعالى أعلم.

 

Adapun jika sang pemilik mengharuskan dropshiper tadi membayar barang yang diambil, sama saja kenyataannya barang itu telah terjual ke seorang pembeli ataukah belum, maka kasusnya menjadi lain, bukan lagi perwakilan, tapi barang tadi adalah milik dropshiper, dan dropshiper tadi adalah penjual barang yang menjadi miliknya (bukan wakil dari orang pertama). Dia tak boleh menjual barang tadi ke orang ketiga (pembeli) sampai dia (penjual kedua) memegang dan menguasai barang tadi. Dan setelah itu dia bebas menjual barang itu dg harga yang diinginkannya.

الله أعلم.

_________________

_*PERHATIAN*_

Artikel ("tentang alternatif² dropship dibawah ini -edt) sudah dibaca oleh Ustadz Nashrul Probolinggo, Ustadz Fuad Hasan Ngawi, Ustadz Abu Zakariya Irham Purworejo, Ustadz Abu Sholih Mushlih Madiun -hafidzhohumullloh- (dan tdk ada komentar dari mereka atas "alternatif²" dibawah ini -edt)

 

✔️ _*Alternatif Pertama:*_

Sebelum menjalankan sistem dropshipping, terlebih dahulu Anda menjalin kesepakatan kerjasama dengan supplier. Atas kerjasama ini Anda mendapatkan wewenang untuk turut memasarkan barang dagangannya. Atas partisipasi Anda, Anda berhak mendapatkan fee alias upah yang nominalnya telah disepakati bersama. Penentuan fee bisa saja dihitung berdasarkan waktu kerjasama. Atau berdasarkan jumlah barang yang telah Anda jual. Bila alternatif ini yang Anda pilih,  berarti Anda bersama supplier menjalin akad ju’alah (jual jasa). Ini salah satu model akad jual-beli jasa yang upahnya ditentukan sesuai hasil kerja, bukan waktu kerja.

 

✔️ _*Alternatif Kedua:*_

Anda dapat mengadakan kesepakatan dengan calon konsumen. Atas jasa Anda untuk pengadaan barang, Anda mensyaratkan imbalan dalam nominal tertentu. Dengan demikian, Anda menjalankan model usaha jual-beli jasa, atau semacam biro jasa pengadaan barang.

 

✔️ _*Alternatif Ketiga:*_

Anda dapat menggunakan skema akad salam. Dengan demikian, Anda berkewajiban menyebutkan berbagai kriteria barang kepada calon konsumen, baik dilengkapi dengan gambar barang atau tidak. Setelah ada calon konsumen yang berminat terhadap barang yang Anda tawarkan dengan harga yang disepakati, barulah Anda mengadakan barang. _*Skema (akad -edt) salam barangkali yang paling mendekati sistem dropshipping.*_ Walau demikian, perlu dicatat adanya dua hal penting yang mungkin membedakan di antara keduanya.

1 Dalam skema akad salam, calon konsumen harus membayar tunai alias lunas pada awal akad.

2 Semua risiko selama pengiriman barang hingga barang tiba di tangan konsumen menjadi tanggung jawab dropshipper, dan bukan supplier.

 

✔️ _*Alternatif Keempat:*_

Anda menggunakan skema akad murabahah lil ‘amiri bissyira’(pemesanan tidak mengikat). Yaitu ketika ada calon konsumen yang tertarik dengan barang yang Anda pasarkan, segera Anda mengadakan barang tersebut sebelum ada kesepakatan harga dengan calon pembeli. Setelah mendapatkan barang yang diinginkan, segera Anda mengirimkannya ke calon pembeli. Setiba barang di tempat calon pembeli, barulah Anda mengadakan negosiasi penjualan dengannya. Calon pembeli memiliki wewenang penuh untuk membeli atau mengurungkan rencananya.

 

💎 Sumber Faedah:

👉🏼 Yang *"Alternatif² dropship"* Admin terima dari Al Akh Andik Arifiyanto Lampung dari Al Akh Abu Ibrohim Tsani Nganjuk

👉🏼 Soal-Jawab ttg *"larangan dlm hadits diatas"*, Admin terima dari Al Akh Abu Abdirrohman Faishal Semarang, dgn redaksi soal dari Al Akh Abu Nabiylah Ahmad Mangkutana dan Al Akh Abu Jundi Ahmad Medan

Berhutang Atau Berniaga Lebih Baik Daripada Meminta-minta

Berhutang Atau Berniaga Lebih Baik Daripada Meminta-minta Ditulis oleh: Abu Fairuz Abdurrohman Al Qudsy Al Jawy Al Indonesy -semoga Alloh me...