“Tatabbu’ ar-rukhosh” (mencari-cari keringanan) dari para ulama merupakan prinsip yang keliru dalam beragama. Bahkan bisa mengantarkan seseorang pada berbagai macam dosa dan penyimpangan.
Termasuk perkara yang banyak dijadikan ‘tameng’ oleh
sebagian manusia untuk menutupi buruknya hawa nafsu yang ada pada dirinya
seputar gambar makhluk bernyawa adalah pendapat yang dinisbahkan kepada
Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin Rohimahulloh bahwa beliau membolehkan untuk menggambar
makhluk bernyawa dengan alat fotografi secara mutlak. Sehingga merekapun dengan
penuh gembira menyebarkankan hal ini tanpa mengindahkan batasan-batasan yang
diinginkan oleh Syaikh. Tentunya ini merupakan kedzoliman atas beliau. Yang
lebih ironisnya, hal ini juga dilakukan oleh orang-orang yang menisbahkan
dirinya kepada “salafiyyah.” Wallohul Musta’an.
Padahal, kalau kita cermati penjelasan beliau tentang
masalah ini, kita akan tahu bahwa kebolehan yang beliau pandang tersebut
sangatlah sempit, tidak seperti yang disebarkan oleh kebanyakan manusia.
Berikut ini surat yang beliau tulis kepada salah seorang
masyayikh yang menasehati beliau dalam masalah shuroh.
Semoga kita bisa memetik pelajaran darinya….
بسم الله الرحمن الرحيم
Dari Muhammad Ash-Sholeh Al-‘Utsaimin kepada saudaranya yang
mulia: Asy-Syaikh…….Hafidzohullohu ta’ala, dan semoga Alloh menjadikannya
termasuk hamba-hambaNya yang sholeh, dan termasuk wali-waliNya yang beriman dan
bertaqwa, serta termasuk golongan-Nya yang berbahagia. Aamiin. Wa ba’du:
فقد وصلني كتابكم الذي تضمن السلام
والنصيحة فعليكم السلام ورحمة الله وبركاته، وجزاكم الله عني على نصحتكم البالغة
التي أسال الله تعالى أن ينفعني بها.
ولا ريب أن الطريقة التي سلكتموها في
النصيحة هي الطريقة المثلى للتناصح بين الإخوان، ولا يؤمن أحدكم حتى يحب لأخيه ما
يحب لنفسه. ولقد بلغت نصيحتكم مني مبلغاً كبيراً بما تضمنته من العبارات الواعظة
والدعوات الصادقة ، أسأل الله أن يتقبلها ، وأن يكتب لكم مثلها
.
Telah sampai kepadaku tulisan Anda yang terkandung di
dalamnya; salam dan nasehat. (Maka saya jawab): “fa’alaikumussalam
warohmatullohi wabarokatuh.” Semoga Alloh membalas Anda dengan kebaikan atas
nasehat yang mendalam tersebut yang saya mengharap kepada Alloh agar Dia
memberikan kemanfaatan kepadaku dengan sebabnya.
Tidak ada keraguan bahwa metode yang Anda tempuh dalam
nasehat adalah metode yang sangat bagus untuk saling menasehati antar ikhwan.
Sebab, manusia itu adalah tempat salah dan lupa. Dan seorang mukmin adalah
cermin bagi saudaranya. Tidaklah seseorang beriman (dengan sempurna) sampai dia
mencintai (kebaikan) untuk saudaranya sebagaimana dia mencintai (kebaikan
tersebut) untuk dirinya sendiri.
Sungguh, nasehat Anda terasa begitu mendalam pada diri saya
dikarenakan kandungan yang ada padanya berupa ungkapan-ungkapan nasehat dan
doa-doa yang jujur. Saya berharap kepada Alloh agar menerima doa-doa tersebut
dan menulis untuk Anda yang semisal dengannya.
وما أشرتم إليه -حفظكم الله- من تكرر
جوابي على إباحة الصورة المأخوذة بالآلة:
فإني أفيدك أخي أنني لم أبح اتخاذ
الصورة - والمراد صورة ما فيه روح من إنسان أو غيره - إلا ما دعت الضرورة أو
الحاجة إليه ، كالتابعية ، والرخصة ، وإثبات الحقائق ونحوها.
وأما اتخاذ الصورة للتعظيم ، أو للذكرى
، أو للتمتع بالنظر إليها، أو التلذذ بها فإني لا أبيح ذلك ، سواء كان تمثالاً أو
رقماً ، وسواء كان مرقوماً باليد أو بالآلة لعموم قول النبي صلى الله عليه وسلم :
(( لا تدخل الملائكة بيتاً فيه صورة)).
وما زالت أفتي بذلك، وآمر من عنده صور
للذكرى بإتلافها، وأشدد كثيراً إذا كانت الصورة صورة ميت.
Apa-apa yang telah Anda –hafidzokumulloh- isyaratkan berupa
berulang-ulangnya jawaban saya atas pembolehan “shuroh” yang diambil dengan
alat, maka sungguh saya beritahukan kepada Anda, wahai saudaraku, bahwa saya
tidaklah membolehkan pengambilan “shuroh” (yang dimaksud dengan shuroh di sini
adalah gambar segala sesuatu yang padanya ruh, baik itu manusia atau lainnya),
kecuali perkara-perkara yang ada kedaruratan atau hajat padanya, seperti: KTP,
Surat izin, dan bukti penetapan fakta serta yang semisalnya.
Adapun pengambilan “shuroh” untuk diagungkan atau kenangan
atau untuk menikmatinya dengan melihat (shuroh-shuroh tersebut) atau
bersenang-senang dengannya maka sesungguhnya SAYA TIDAKLAH MEMBOLEHKAN YANG
DEMIKIAN ITU.
Baik itu berupa patung, atau lukisan.
Baik itu dilukis dengan tangan ataupun dengan alat,
berdasarkan keumuman sabda Nabi –Shollallohu ‘alaihi wa sallam-
"لا تدخل الملائكة بيتاً فيه صورة
"
“Malaikat tidaklah akan masuk rumah
yang ada padanya gambar makhluk bernyawa.”
Saya senantiasa berfatwa demikian dan saya perintahkan siapa
saja yang memiliki gambar makhluk bernyawa yang ditujukan sebagai kenangan
untuk menghancurkannya.
Dan saya banyak bersikap lebih keras lagi jika gambar/foto
tersebut adalah gambar orang yang telah mati.
وأما تصوير ذوات الأرواح من إنسان أو
غيره فلا ريب في تحريمه، وإنه من كبائر الذنوب، لثبوت لعن فاعله على لسان رسول
الله صلى الله عليه وسلم
وهذا ظاهر فيما إذا كان تمثالاً - أي مجسماً - أو كان باليد ،
أما إذا كان بالآلة الفورية التي تلتقط
الصورة ولا يكون فيها أي عمل من الملتقط من تخطيط الوجه وتفصيل الجسم ونحوه، فإن
التقطت الصورة لأجل الذكرى ونحوها من الأغراض التي لا تبيح اتخاذy الصورة فإن التقاطها بالآلة محرم تحريم الوسائل
، وإن التقطت الصورة للضرورة أو الحاجة فلا بأس بذلك.
هذا خلاصة رأيي في هذه المسألة ، فإن
كان صواباً فمن الله وهو المان به ، وإن كان خطأ فمن قصوري أو تقصيري ، وأسأل الله
أن يعفو عني منه ، وأن يهديني إلى الصواب.
Adapun menggambar makhluk bernyawa baik itu manusia atau
selainnya, maka tidaklah ragu tentang keharamannya dan hal tersebut merupakan
dosa besar, berdasarkan tetapnya laknat bagi pelakunya melalui lisan Rosululloh
–shollallohu ‘alaihi wa sallam.
Hal ini jelas jika “shuroh” tersebut berupa patung -yaitu
yang berjasad (tiga dimensi)-, atau jika “shuroh” itu dihasilkan dengan tangan.
Adapun jika dengan “alat fauriyyah” (kamera langsung jadi)
yang mengambil gambar/ foto tanpa ada padanya perbuatan sedikitpun dari
pengambil foto yang berupa pelukisan wajah dan pembentukan tubuh serta yang
semisal dengannya, maka apabila gambar/ foto tersebut diambil untuk
kenang-kenangan dan yang semisalnya dari tujuan-tujuan yang “shuroh” tidak
dibolehkan untuknya, maka sesungguhnya pengambilan gambar dengan alat (untuk
tujuan seperti ini) diharamkan dengan pengharaman dari sisi wasilah.
Dan jika gambar/ foto diambil untuk sesuatu yang darurat
atau suatu hajat maka tidaklah mengapa.
Inilah kesimpulan pendapat saya dalam masalah ini. Apabila
benar maka asalnya dari Alloh dan Dialah yang memberi anugerah tersebut. Dan
apabila salah maka berasal dari kelemahan dan kekurangan saya, dan saya meminta
kepada Alloh agar memaafkan saya dan memberikan saya hidayah kepada kebenaran.
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته.
[ 📚Sumber: Majmu’ Fatawa wa
Rosail Ibni ‘Utsaimin: 2/ 287-289]
Saudara-saudaraku fillah, inilah penjelasan syaikh Ibnu
‘Utsaimin –Rohimahulloh yang menerangkan dan menegaskan pendapat beliau tentang
masalah shuroh.
Terlepas dari pembahasan apakah pendapat beliau ini adalah
pendapat yang kuat ataukah lemah, karena yang ingin saya tekankan di sini
adalah kebenaran penisbatan suatu pendapat pada seorang ‘alim, sehingga
seseorang tidak lagi semena-mena dalam menggunakannya sesuai hawa nafsu
sendiri.
Dari penjelasan tersebut kita bisa menarik kesimpulan
sebagai berikut:
1⃣
Bagusnya adab beliau dalam menerima nasehat dan dalam menjawab. Inilah yang
hendaknya kita semua berusaha untuk meneladaninya.
2⃣
Beliau dengan tegas menyatakan bahwa semua gambar makhluk bernyawa, baik yang
dua dimensi maupun tiga dimensi hukumnya haram. Tidaklah keluar dari keharaman
ini kecuali dengan adanya hajat atau kedaruratan.
3⃣
Beliau membedakan hukum pada permasalahan “menggambar” (bukan hasil gambarnya)
👉🏽Jika dengan
tangan maka jelas keharamannya.
👉🏽Jika dengan
“alat fauriyyah”, yaitu sejenis kamera yang menghasilkan foto langsung jadi
tanpa klise, yang dikenal dengan “kamera polaroid”, maka beliau berpendapat
bahwa hal ini asalnya boleh. Dengan syarat bahwa gambar/ foto yang dihasilkan
itu untuk sesuatu yang dibolehkan syareat.
Namun, jika untuk perkara-perkara yang penggunaan gambar
padanya tidak dibolehkan syar’i seperti untuk kenang-kenangan dan hal-hal lain
yang tidak ada hajat atau kedaruratan padanya, maka beliau menegaskan bahwa
hukumnya haram, sebagaimana shuroh yang dibuat dengan tangan, walaupun jalan
penetapan hukum haram ini berbeda.
‼Jadi, ada dua hal utama yang perlu digaris bawahi dari
pendapat beliau ini:
1⃣Pertama:
Alat yang beliau bolehkan dalam masalah “menggambar” adalah
kamera langsung jadi, bukan semua alat/ kamera. Hal ini sangat jelas kalau kita
melihat alas an beliau pada fatwa-fatwa yang lain. Sebab beliau mengkiyaskannya
dengan mesin fotokopi yang langsung menghasilkan foto/ salinan sesuatu yang
di-copy-nya.
Adapun kamera yang tidak langsung jadi yang ada klise-nya,
tidaklah foto itu bisa terwujud kecuali dengan usaha manusia yang berupa
pencucian film.
2⃣Kedua:
Semua “shuroh” baik itu yang dihasilkan tangan maupun kamera
jika tidak ada hajat atau darurat, menurut beliau adalah haram.
💥Inilah kesimpulan dari
pendapat Asy-syaikh Ibnu ‘Utsaimin Rohimahulloh tentang masalah shuroh.
Dalam keadaan demikian, beliau dalam fatwanya yang lain
menyatakan bahwa pendapat yang beliau pilih tersebut termasuk dalam perkara
“syubhat” yang hendaknya seseorang mengambil langkah hati-hati, bukan malah
bermudah-mudahan. Hal ini sebagaimana beliau katakan setelah menyebutkan khilaf
tentang boleh dan tidaknya:
"والاحتياط الامتناع من ذلك، لأنه من
المتشابهات، ومن اتقى الشبهات فقد استبرأ لـدينه وعرضه".
“Dan yang hati-hatinya adalah
menahan diri dari yang demikian itu (pembolehan memfoto dengan kamera) karena
termasuk “mutasyabihat” (perkara-perkara yang masih diragukan halal atau
haramnya). Dan siapa saja yang menjauhi perkara mut asyabihat maka sungguh dia
telah menyelamatkan agama dan kehormatannya.” [Majmu Fatawa: 12/ 312]
Kemanakah orang-orang yang berlindung di balik fatwa beliau
demi hawa nafsunya dari nasehat beliau yang bagus ini…??!!
WallohuMusta’an
✍🏼Oleh: Ust Abu Zakaria
Irham Al-Jawi Waffaqohulloh
Joint Telegram : https://t.me/fawaaidassunnah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar