PERMASALAN SEPUTAR I'TIKAF


بسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
SILSILAH MAJLIS ROMADHON


PERMASALAN SEPUTAR I'TIKAF
1    Pengertian I’tikaf.
Imam Al-Qurthubi rohimahulloh mengatakan:
وَالاِعْتِكَافُ فِي اللُّغَةِ : المُلَازَمَةُ يُقَالُ عَكَفَ عَلَى الشَّئْ ِإِذَا لاَزَمَهُ مُقْبِلًا عَلَيْهِ.
“ i’tikaf secara bahasa adalah: mulazamah, dikatakan (‘akafa) atas sesuatu apabila ia menetapi hal tersebut dengan fokus.”  [tafsir “Al-Qurthubi” (1/707)]
Secara syari’at, Asy-Syaikh Zayid Al-Wushobi mengatakan:
المَقَامُ في المَسْجِدِ مِنْ شَخْصٍ مَخْصُوصٍ عَلَى صِفَةٍ مَخْصُوصَةٍ.
“ Tinggal di masjid  yang di lakukan orang yang khusus dengan sifat yang khusus.”  [lihat “Miskul Khitam” (2/569)]

2    Nama lain dari I’tikaf
Jiwar adalah nama lain dari ‘itikaf, sebagaimana hadits
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصْغِي إِلَيَّ رَأْسَهُ وَهُوَ مُجَاوِرٌ فِي الْمَسْجِدِ فَأُرَجِّلُهُ وَأَنَا حَائِضٌ
Dari ‘Aisyah rodhiyaAllohu anha berkata: Nabi shollallohu alaihi wa  sallam meletakkan kepalanya kepadaku dalam keadaan beliau I’tikaf dalam masjid, maka akupun menyisirnya dalam keadaan aku haidh.” [HR. Al-Bukhori (no.2028)]

3    I’tikaf termasuk dari syari’at terdahulu
Alloh ta’ala berfirman:
وَعَهِدْنَا إِلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ أَنْ طَهِّرَا بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْعَاكِفِينَ
“ Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang i'tikaf, yang ruku' dan yang sujud.”  [QS.Al-Baqoroh:125]
فَاتَّخَذَتْ مِنْ دُونِهِمْ حِجَاباً
“Maka dia (Maryam) membuat tabir (penutup) dari mereka" [QS. Maryam]
كُلَّمَا دَخَلَ عَلَيْهَا زَكَرِيَّا الْمِحْرَابَ وَجَدَ عِنْدَهَا رِزْقاً
“Maka setiap kali Zakariya masuk menemuinya di Mihrob, dia mendapati makanan di sisinya.”
Syaikhul Islam rohimahulloh mengatakan:
وَلِأَنَّ مَرْيَمَ عَلَيْهَا السَّلاَمُ قَدْ أَخْبَرَ اللهُ سُبْحَانَهُ أَنَّهَا جَعَلَتْ مُحَرَّرَةً لَهُ، وَكَانَتْ مُقِيْمَةٌ فِي المَسْجِدِ الأَقْصَى فِي المِحْرَابِ، وَأَنَّهَا انْتَبَذَتْ مِنْ أَهْلِهَا مَكَانًا شَرْقِيًا فَاتَّخَذَتْ مِنْ دُونِهِمْ حِجَابًا، وَهَذَا اعْتِكَافُ فِي المَسْجِدِ وَاحْتِجَابِ فِيْهِ.
“ Karena Maryam alaihis salam telah Alloh kabarkan bahwa ia telah dijadikan seorang hamba yang mengabdi kepadaNya, dan ia dulunya tinggal menetap di masjid Aqsa di dalam Mihrob, dan ia mengasingkan diri dari  ke suatu tempat di sebelah timur, lalu ia memasang tabir yang melindunginya  dari mereka. Maka ini adalah I’tikaf di masjid serta membuat tabir padanya.”  [lihat “Syarhul Umdah” Syaikhul Islam (2/748)]

4    Rukun I’tikaf
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rohimahulloh berkata:
الاعْتِكَافُ رُكْنُهُ كَمَا أَسْلَفْتُ لُزُومَ المَسْجِدِ لِطَاعَةِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ تَعَبُّداً لَهُ، وَتَقَرُّبًا إِلَيهِ، وَتَفَرُّغًا لِعِبَادَتِهِ.
“ I’tikaf rukunnya adalah sebagaimana telah aku sebuntukan (yaitu) menetapi masjid untuk ketaatan kepada Alloh azza wa jalla dengan (tujuan) beribadah kepadanya, serta mendekatkan diri kepadanya dan memfokuskan untuk beribadah kepadaNya" [lihat“Majmu’ Fatawa wa Rosa’il Al-Utsaimin” (20/162)]

5    Syarat I’tikaf
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rohimahulloh berkata:
وَأَمَّا شُرُوطُهُ فَهِيَ شُرُوطُ بَقِيَّةِ العِبَادَاتِ فَمِنْهَا: الإِسْلَامُ، وَالعَقلُ، وَيَصِحُّ مِنْ غَيرِ البَالِغِ، وَيَصِحُّ مِنَ الذَّكَرِ، وَمِنَ الأُنثَى، وَيَصِحُّ بِلَا صَومٍ، وَيَصِحُّ فِي كُلِّ مَسْجِدٍ.

“ Adapun syaratnya adalah syarat-syarat ibadah, yang diantaranya: Islam, berakal, sah dari seorang yang belum baligh, sah dari laki-laki, sah dari perempuan, sah tanpa disertai puasa dan sah pada setiap masjid.”  [lihat “Majmu’ Fatawa wa Rosa’il Al-Utsaimin” (20/162)]
Sebagian menambahkan syarat niat, Ibnu Hubairoh rohimahulloh mengatakan:
وَاتَّفَقُوا عَلَى أَنَّهُ لاَ يَصِحُّ إِلاَّ بِالنِّيَّةِ.
“ Mereka bersepakat bahwa hal tersebut tidaklah sah kecuali dengan niat.”  [lihat“Al-Ifshoh” (1/255)]

6    Hukum I’tikaf
Disyari’atkan dan mustahab dengan dalil dari Al-Qur’an, As-Sunnah dan Ijma’. Dan tidak diwajibkan kecuali dengan nadzar dengan Ijma’.
Alloh ta’ala berkata:
وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ.
“Janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam mesjid.”  [QS.Al-Baqoroh:187]
عَنِ ابْنِ عُمَرَ: أَنَّ النَّبِيَّ كَانَ يَعْتَكِفُ فِي العَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رمَضَانَ
Dari Ibnu ‘Umar rodhiyaAllohu anhuma: “Bahwasanya Nabi shollallohu alaihi wa sallam beri’tikaf pada 10 hari terakhir dari Romadhon.”  [HR. Al-Bukhori (no.2025) Muslim (no.1171)]
Dan hadits juga datang dari ‘Aisyah rodhiyaAllohu anha riwayat Al-Bukhori (no.2026) Muslim (no.1172).
Dan hadits datang juga dari Ubay bin Ka’ab rodhiyaAllohu anhu riwayat Abu Dawud (7/135) Ibnu Majah (1/526) dan hadits dishohihkan oleh Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wad’I rohimahulloh dalam “Al-Jami’us Shohih” (no.1513)]
Ibnul Mundzir rohimahulloh mengatakan:
وَأَجْمَعُوا عَلَى أَنَّ الاِعْتِكَافَ سُنَّةٌ لاَ يَجِبُ عَلَى النَّاسِ فَرْضًا إِلاَّ أَنْ يُوجِبَهُ المَرْءُ عَلَى نَفْسِهِ نَذَراً فَيَجِبُ عَلَيْهِ.
“ Mereka bersepakat bahwa I’tikaf adalah Sunnah, (dan) tidaklah wajib bagi seseorang menjadi kewajiban kecuali kalau ia mewajibkan atas dirinya dengan nadzar, maka hal itu wajib baginya.” [lihat “Al-Ijma’” (hal.53)]


7    I’tikaf selain bulan Romadhon
Ibnu ‘Abdil Barr rohimahulloh mengatakan:
وَالاِعْتِكَافُ هُوَ فِي العَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ سُنَّةٌ، وَفِي غَيْرِ رَمَضَانَ جَائِزٌ.
“ I’tikaf pada 10 hari terakhir Romadhon adalah Sunnah, dan pada selain Romadhon adalah boleh.” [lihat “Al-Kafiy” oleh Ibnu ‘Abdil Barr (1/352)]

8    Keutamaan I’tikaf
Abu Dawud rohimahulloh mengatakan:
قُلْتُ لِأَحْمَدَ تَعْرِفُ فِي فَضْلِ الاِعْتِكَافِ شَيْئًا؟ قَالَ: لاَ، إِلَّا شَيْئًا ضَعِيْفًا.
“ Aku katakan kepada Ahmad: Apakah engkau mengetahui sesuatu tentang keutamaan I’tikaf? Beliau menjawab: Tidak, kecuali sesuatu yang dho’if.”  [lihat “Masa’il Abi Dawud” (hal.96)]
Diantara hadits tentang keutamaan I’tikaf adalah apa yang diriwayatkan secara marfu’ dari Abud Darda’ rodhiyaAllohu anhu:
مَن اعْتَكَفَ لَيْلَةً كَانَ لَهُ كَأَجْرِ عُمْرَة، وَمَنْ اعْتَكَفَ لَيْلَتَيْنِ كَانَ لَهُ كَأَجْرِ عُمْرَتَيْن..
“ Barang siapa yang beri’tikaf semalam maka baginya pahala ‘umroh, dan barang siapa beri’tikafdua malam maka baginya pahala dua ‘umroh..”  [Syaikhul Islam dalam “Syarhul ‘Umdah” (2/712)]

9    Perkara yang mustahab bagi seorang beri’tikaf
. Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rohimahulloh berkata:
مُسْتَحَبَّاتُهُ أَنْ يَشْتَغِلَ الإِنْسَانُ بِطَاعَةِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ مِنْ قِرَاءَةِ القُرْآنِ وَالذِّكْرِ وَالصَّلاَةِ وَغَيْرِ ذَلِكَ، وَأَنْ لاَ يُضَيِّعَ وَقْتَهُ فِيْمَا لاَ فَائِدَةَ فِيْهِ، كمَا يَفْعَلُ بَعْضُ المُعْتَكِفِينَ تَجِدْهُ يَبْقَى فِي المَسْجِدِ يَأْتِيهِ النَّاسُ فِي كُلِّ وَقْتٍ يَتَحَدَّثُونَ إِلَيهِ وَيَقْطَعُ اعْتِكَافَهُ بِلاَ فَائِدَةٍ، وَأَمَّا التَّحَدُّثُ أَحْيَاناً مَعَ بَعْضِ النَّاسِ أَوْ بَعْضِ الأَهْلِ فَلاَ بَأْسَ بِهِ، لِمَا ثَبَتَ فِي الصَّحِيْحَينِ مِنْ فِعْلِ رَسُولِ الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِيْنَ كَانَتْ صَفِيَّةُ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا تَأْتِي إِلَيْهِ فَتَتَحَدَّثُ إِليهِ سَاعَةً ثُمَّ تَنْقَلِبُ إِلَى بَيْتِهَا.
“ Mustahabnya adalah seorang menyibukkan diri dengan ketaatan kepada Alloh azza wa jalla dari membaca Al-Qur’an, dzikir, sholat dan selainnya. Dan tidak menyia-nyiakan waktunya pada perkara yang tidak ada faedah padanya sebagaimana apa yang dilakukan sebagian orang-orang yang ber’itikaf engkau dapati mereka tinggal dimasjid, didatangi orang-orang pada setiap waktu ngobrol kepadanya dan menghabiskan I’tikafnya tanpa ada fedah. Adapun berbincang terkadang-kadang dengan sebagian orang atau dengan keluarga tidaklah mengapa, sebagaimana apa yang datang pada shohihain dari perbuatan Rosululloh ketika Shofiyah mendatanginya kemudian berbincang dengannya beberapa waktu kemudian kembali ke rumahnya.” [lihat“Majmu’ Fatawa wa Rosa’il Al-Utsaimin” (20/162)]

10  Tujuan dari I’tikaf
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rohimahulloh berkata:
وَالمَقْصُودُ بِالاِعْتِكَافِ : انْقِطَاعُ الإِنْسَانِ عَنِ النَّاسِ لِيَتَفَرَّغْ لِطَاعَةِ اللهِ فِي مَسْجِدٍ مِنْ مَسَاجِدِهِ طَلَبًا لِفَضْلِهِ وَثَوَابِهِ وَإِدْرَاكِ لَيْلَةَ القَدْرِ ، وَلِذَلِكَ يَنْبَغِي لِلْمُعْتَكِفِ أَنْ يَشْتَغِلَ بِالذِّكْرِ وَالقِرَاءَةِ وَالصَّلاَةِ وَالعِبَادَةِ ، وَأَنْ يَتَجَنَّبَ مَا لَا يَعْنِيهِ مِنْ حَدِيْثِ الدُّنْيَا.
“ Dan maksud dari I’tikaf adalah seorang insan memutuskan diri dari manusia untuk menfokuskan untuk ketaatan kepada Alloh di masjid dari masjid-masjidNya dengan tujuan mencari keutamaan, pahala dan mendapatkan lailatul qodari, oleh karena itu seorang yang beriitikaf ia menyibukkan dengan dzikir, membaca Al-Qur’an, sholat dan Ibadah. Dan menjauhi apa yang tidak berguna dari perkara Dunia.”  [lihat “Majmu’ Fatawa wa Rosa’il Al-Utsaimin” (20/341)]

11  Apakah disyaratkan puasa ketika I’tikaf?
Tidak diharuskan puasa baginya kecuali apa yang diwajibkan oleh dirinya sendiri ketika nadzarnya. Dan ini adalah pendapat Asy-Syafi’i, Ishaq dan Ahmad.
عَنِ ابْنِ عُمَرَ: أَنَّ عُمَرَ قَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنِّي نَذَرْتُ فِي الجَاهِلِيَّةِ أَنْ أَعْتَكِفَ لَيْلَةً فِي المَسْجِدِ الحَرَامِ، قَالَ: «فَأَوْفِي بِنَذْرِكَ»
Dari Ibnu ‘Umar: Bahwasanya ‘Umar rodhiyaAllohu anhu berkata: Ya Rosululloh, aku bernadzar diwaktu Jahiliyyah untuk beri’tikaf semalam dimasjid Al-Harom, bersabda Nabi shollallohu alaihi wa sallam: “Tunaikanlah nadzarmu.”  [HR. Al-Bukhori (no.6625) Muslim (no.1656)]
Dan waktu malam bukanlah waktu puasa, kalau pun puasa adalah syarat, maka tidak sah I’tikafnya.




12  Disyaratkan I’tikaf di Masjid.
Al-Qurthubi rohimahulloh mengatakan:
أَجْمَعَ العُلَمَاءُ عَلَى أَنَّ الاِعْتِكَافَ لاَ يَكُونُ إِلاَّ فِي مَسْجِدٍ.
“ Para ‘Ulama sepakat bahwa I’tikaf tidaklah dilakukan kecuali di masjid.”  [lihat“Tafsir Al-Qurthubi” (1/707)]
Ibnu Rusyd rohimahulloh mengatakan:
وَقَدْ اتَّفَقَ العُلَمَاءُ عَلَى مَشْرُوطِيَّةِ المَسْجِدِ لِلاعْتِكَافِ، إِلاَّ مُحَمَّدُ بْنِ عُمَرَ بْنِ لُبَابَةَ فَأَجاَزَهُ فِي كُلِّ مَكَانٍ.
“ Para ‘Ulama telah sepakat tentang disyaratkannya masjid untuk I’tikaf kecuali Muhammad bin ‘Umar bin Lubabah, yang ia membolehkan pada setiap tempat.”  [lihat “Bidayatul Mujtahid” (1/312)]
Ibnu Qudamah rohimahulloh berkata:
وَلاَ يَصِحُّ الاِعْتِكَافُ فِي غَيْرِ مَسْجِدٍ إِذَا كَانَ المُعْتَكِفُ رَجُلًا لاَ نَعْلَمُ فِي هَذَا بَيْنَ أَهْلِ العِلْمِ خِلَافًا.
“ Tidaklah sah I’tikaf diselain masjid, apabila yang ber’itikaf adalah laki-laki. Dan kami tidak mengetahui perselisihan diantara Ahlul ‘Ilmi pada permasalahan ini.”  [lihat Al-Mughni (3/67)]

13  I’tikaf di Masjid yang ditegakkan padanya sholat Jama’ah
Syaikhuna Zayid Al-Wushobi wafaqohulloh mengatakan:
الصَّوَابُ: أَنَّهُ لاَ يَعْتِكِفُ إِلاَّ فِي مَسْجِدٍ تُقَامُ فِيْهِ صَلَواتٌ، لِأَنَّ الخُروجَ لِكُلِّ صَلاَةٍ إِلَى مَسْجِدٍ تُقَامُ فِيْهِ الجَمَاعَةُ مُنَافٍ لِلإِعْتِكَافِ.
Dan yang benar adalah hendaknya seorang tidaklah beri’tikaf kecuali di masjid yang di ditegakkan padanya sholat berjama’ah. Karena keluar pada setiap sholat ke masjid yang ditegakkan padanya sholat jama’ah mengurangi ibadah Itikaf tersebut.”  [lihat “Miskul Khitam” (2/575)]

14  Bolehnya keluar untuk buang hajat ketika I’tikaf
Ibnul Mundzir rohimahulloh mengatakan:
وَأَجْمَعُوا عَلَى أَنَّ لِلْمُعْتَكِفِ أَنْ يَخْرُجَ عَنْ مُعْتَكِفِهِ لِلغَائِطِ وَالبَولِ.
“ Para Ahlul Ilmi bersepakat bahwa boleh bagi seorang yang beri’tikaf untuk keluar dari tempat I’tikafnya untuk buang air besar dan kencing.” [lihat “Al-Ijma” (hal.54)]
Ibnu Hubairoh mengatakan:
وَأَجْمَعُوا عَلى أَنْ يجُوزَ لِلإِنْسَانِ الخُرُوجُ إِلَى مَا لاَبُدَّ مِنْهُ كَحَاجَةِ الإِنْسَانِ ...
“ Dan mereka juga bersepakat bahwa boleh bagi seorang insan keluar untuk perkara yang harus dia lakukan seperti (menunaikan) hajat seorang insan.”  [lihat “Al-Ifshoh” (1/259)]
Adapun keluarnya orang yang beri’tikaf selain dari dua hal yang telah tersebut diatas, telah berkata Ibnu Qudamah rohimahulloh: “Apabila kebutuhan makan dan minum yang tidak ada yang mengantarkannya, maka boleh baginya untuk keluar dari masjid apabila dibutuhkan hal tersebut..” [LihatAl-Mughni (3/68)]
Adapun kalau dia keluar dari masjid tanpa ada keperluan, maka yang demikian membatalkan i’tikafnya walaupun sebentar. Dan ini adalah pendapat Malik, Asy-Syafi’i, Ahmad dan Abu Hanifah. Dan pendapat yang dikuatkan oleh Asy-Syaikh Muhammad Hizam.  [Lihat Al-Mughni (3/69-70) Ithaful Anam (hal.236)]

Dan kalaupun seseorang jual beli di masjid dalam keadaan dia beri’tikaf, maka dia berdosa akan tidak ada dalil tentang batal i’tikafnya.  [Lihat Ithaful Anam (hal.234)]

15  Perkara yang pembatal ibadah i’tikaf

PERTAMA:  Jima’
Ibnul Mundzir rohimahulloh mengatakan:
وَأَجْمَعُوا عَلَى أَنَّ مَنْ جَامَعَ امْرَأَتَهُ وَهُوَ مُعْتَكِفٌ عَامِدًا لِذَلِكَ فِي فَرْجِهَا أَنَّهُ يُفْسِدُ اعْتِكَافَهُ.
“ Ahlul ilmi juga bersepakat bahwa barang siapa menjima’I istrinya dalam keadaan ia I’tikaf dengan sengaja untuk itu di kemaluannya, (maka) hal itu merusak I’tikafnya.”  [lihat“Al-Ijma’” (hal.54)]
Ibnu Hazm rohimahulloh mengatakan:
وَاتَّفَقُوا أَنَّ الوَطْءَ يُفْسِدُ الاِعْتِكَافِ.
“Ahlul Ilmi bersepakat bahwa bersetubuh merusak I’tikaf.”  [lihat “Marotibul Ijma’” (hal 41)]

KEDUA: Mabuk.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى.
“ Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mendekati sholat dalam keadaan kalian mabuk.” [QS.An-Nisa’:43]
Ini adalah pendapat Jumhur Ahlul ‘Ilmi.
 Asy-Syafi’I rohimahulloh mengatakan:
وَإِذَا أَسْكَرَ المُعْتَكِفُ لَيلًا أَوْ نَهَارًا، أَفْسَدَ اعْتِكَافُهُ.
“Apabila (seorang) mabuk pada waktu malam maupun siang, maka telah rusak (ibadah) I’tikafnya.”  [lihat “Al-Umm” (2/266)]

KETIGA:  Bersentuhan yang disertai dengan syahwat.
Ibnul Abdil Barr rohimahulloh mengatakan:
أَجْمَعَ العُلَمَاءُ أَنَّ المُعْتَكِفَ لاَ يُبَاشِرُ وَلاَ يُقَبِّلُ.
“Para ‘Ulama telah bersepakat bahwa seorang yang beri’tikaf tidaklah bersentuhan dan tidak pula mencium.”  [lihat “At-Tamhid” (8/331)]

KEEMPAT:  Pulang ke rumah tanpa ada kebutuhan.
Ibnul Abdil Barr rohimahulloh mengatakan:
وَأَجْمَعُوا أَنَّ المُعْتَكِفَ لاَ يَدْخُلُ بَيْتًا وَلاَ يَسْتَظِلُّ بِسَقْفٍ إِلاَّ ( فِي ) المَسْجِدِ الَّذِي يَعْتَكِفُ فِيْهِ أَو يَدْخُلُ لِحَاجَةِ الإِنْسَانِ.
“ Dan mereka juga bersepakat bahwa seorang yang beri’tikaf tidaklah masuk rumah dan tidak pula berteduh di atap kecuali di masjid yang ia beri’tikaf padanya atau untuk ia masuk (kerumah) untuk menunaikan hajat manusia.”  [lihat “At-Tamhid” (8/331)]

16  Hal-hal yang diperbolehkan bagi orang beri’tikaf

✅ PERTAMA👇: Bersentuhan dengan istri tanpa disertai syahwat.

Ibnu Qudamah rohimahulloh mengatakan:

فَأَمَّا المُبَاشَرَةُ دُوْنَ الفَرْجِ فَإِنْ كَانَتْ لِغَيْرِ شَهْوَةٍ فَلَا بَأْسَ بِهَا مِثْلُ أَنْ تَغْسِلَ رَأسَهُ أَوْ تُفَلِّيْهِ أَوْ تَنَاوُلُهُ شَيْئًا [ لِأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَ سَلَّمَ كَانَ يُدْنِي رَأْسَهُ إِلَى عَائِشَةَ وَهُوَ مُعْتَكِفٌ فَتُرَجِّلُهُ].

“Adapun mubasyaroh (bersentuhan) selain di kemaluan, apaila tanpa disertai syahwat maka tidaklah mengapa, semisal ia membasuh kepalanya, menggulung atau memberikan sesuatu. Karena Nabi shollallohu alaihi wa sallam dahulu mendekatkan kepalanya kepada Aisyah dalam keadaan beliau beri’tikaf kemudian disisir rambutnya.”
[lihat📕“Al-Mughni” (3/199)]

✅ KEDUA👇:
Naik ke atap masjid.

Ibnu Qudamah rohimahulloh mengatakan:

وَيُجُوزُ لِلْمُعْتَكِفِ صُعُودُ سَطْحَ المَسْجِدِ لِأَنَّهُ مِنْ جُمْلَتِهِ وَلِهَذَا يُمْنَعُ الجنُب مِنَ البَثِّ فِيْهِ وَهَذَا قَوْلُ أَبِي حَنِيْفَةَ وَماَلِكٍ وَالشَّافِعِي وَلاَ نَعْلَمُ فِيْهِ مُخَالِفًا وَيَجُوزُ أَنْ يَبِيْتَ فِيْهِ.

“Diperbolehkan bagi orang yang beri’tikaf untuk naik ke atap masjid karena hal itu termasuk dari bagian masjid, oleh karena itulah dilarang bagi orang yang junub untuk tinggal disitu. Dan ini adalah pendapat Abu Hanifah, Malik dan Asy-Syafi’i. dan kami tidaklah mengetahui ada yang menyelisihi, dan boleh baginya untuk bermalam disitu.”
[lihat📕“Al-Mughni” (3/197)]

✅ KETIGA👇:
Menunaikan suatu perkara yang tidak mungkin dilaksanakan di masjid.

Ibnu Qudamah rohimahulloh mengatakan:

وُكُلُّ مَا لاَ بُدَّ لَهُ مِنْهُ وَلاَ يُمْكِنُ فِعْلُهُ فِي المَسْجِدِ فَلَهُ الخُرُوجُ إِلَيهِ وَلاَ يُفْسِدُ اعْتِكَافُهُ وَهُوَ عَلَيْهِ مَا لَمْ يَطُلْ.

“Setiap sesuatu yang harus ia lakukan, dan tidak mungkin dilakukan di masjid maka boleh baginya untuk keluar untuk melaksanakan hal tersebut, dan tidaklah merusak I’tikafnya dalam keadaan ia tidak berlama-lama dalam hal tersebut.”
[lihat📘“Al-Mughni” (3/192)]

✅ KEEMPAT👇:
Meletakkan hidangan makan dan mencuci tangan di masjid.

Asy-Syafi’I rohimahulloh mengatakan:

وَلاَ بَأْسَ بِوَضْعِ المَائِدَةِ فِي المَسْجِدِ وَغَسْلِ اليَدَينِ فِي المَسْجِدِ فِي الطَّسْتِ.

“Tidak mengapa bagi seorang untuk meletakkan hidangan makanan di masjid, mencuci kedua tangan di masjid dilakukan di dalam wadah.”
[lihat📓“Al-Umm” (2/267)]

✅ KELIMA👇:
Boleh memakai wewangian bagi seorang yang beri’tikaf.

An-Nawawi rohimahulloh mengatakan:

يَجُوزُ لَهُمَا مِنَ اللِّبَاسِ وَالطِّيْبِ وَالمَأكُولِ مَا كَانَ جَائِزًا قَبْلَ الاِعْتِكَافِ وَسَوَاءٌ رَفِيْع الثِّيَابِ وَغَيْرِهِ وَلاَ كَرَاهَةَ فِي شَئٍ مِنْ ذَلِكَ وَلاَ يُقَالُ اِنَّهُ خِلَافُ الاَوْلَى هَذَا مَذْهَبُنَا.

“Boleh bagi keduanya (seorang mu’takif dan mu’takifah) untuk memakai pakaian, wewangian dan makanan yang diperbolehkan sebelum ia beri’tikaf, sama saja hal tersebut adalah pakaian yang bagus atau selainnya, dan tidaklah makruh pada perkara-perkara tersebut (yang telah disebuntukan). Dan tidak juga dikatakan hal tersebut menyelisihi yang lebih afdhol, dan ini adalah madzhab kami.”
[lihat📙“Al-Majmu’” (6/559)]

✅ KEENAM👇:
Menikah dan menikahkan yang lain.

An-Nawawi rohimahulloh mengatakan:

يَجُوزُ أَنْ يَتَزَوَّجَ وَأَنْ يُزَوَّجَ وَقَدْ نَصَّ عَلَيهِ الشَّافِعِي فِي المُخْتَصَرِ وَاتَّفَقَ الاَصْحَابُ عَلَيهِ وَلاَ أَعْلَمُ فِيهِ خِلاَفًا.

“Boleh baginya (seorang yang ber’itikaf) untuk menikah dan menikahkan yang lainnya sebagaimana telah dinash oleh Asy-Syafi’I dalam “Al-Mukhtashor” dan telah disepakati juga oleh pengikut madzhab, dan aku tidaklah mengetahui pada hal ini khilaf.”
[lihat📙Al-Majmu” (6/528)]

✅ KETUJUH👇:
Keluar dari masjid tanpa sengaja.

Asy-Syafi’I rohimahulloh mengatakan:

وَلَو نَسِيَ المُعْتَكِفُ فَخَرَجَ ثُمَّ رَجَعَ لَمْ يُفْسِدْ اعْتِكَافُهُ.
“Kalau seandainya seorang mu’takif lupa keluar (dari masjid) kemudian kembali, maka tidaklah rusak I’tikafnya.”
[lihat📓“Al-Umm” (2/267)]

17  Bolehnya i’tikaf kapan saja

Ibnu Mulaqqin rohimahulloh mengatakan:

أَنَّ الاِعْتِكَافَ لَا يُكْرَهُ فِي وَقْتٍ مِنَ الأَوْقَاتِ، وَأَجْمَعَ العُلَمَاءُ عَلَى أَنْ لاَ حَدَّ لِأَكْثَرِهِ.

“Bahwasanya I’tikaf tidaklah makruh (untuk dilaksanakan) pada kapan pun saja, dan para ‘Ulama telah sepakat bahwa tidak ada batasan waktu terbanyaknya.”
[lihat📘“Al-‘Ilam bi Fawaid ‘Umdatul Ahkam” (5/430)]

18  Orang yang beri’tikaf membuat tempat tidur di masjid.
Muhallab mengatakan:
فِيْه مِنَ الفِقْهِ أَنَّ المُعْتَكِفَ يَجِبُ أَنْ يَجْعَلَ لِنَفْسِهِ فِى المَسْجِدِ مَكَانًا لِمَبِيتِهِ، بِحَيْثُ لاَ يُضَيِّقُ عَلَى المُسْلِمِينَ، كَمَا فَعَلَ الرَّسُولُ  - صلى الله عليه وسلم -  فِى الصَّحْنِ إِذَا ضَرَبَ فِيْهِ خِبَاءَهُ.

“Pada (hadits) tersebut terdapat padanya; termasuk dari fiqih adalah seorang yang beri’tikaf wajib untuk membuat tempat tidur untuk dirinya di masjid agar tidak mengganggu kaum muslimin, sebagaimana Rosul –alaihis sholatu wa salam- menjadikan bagian tengah masjid untuk membuat padanya kemah.”  [dari📕“Syarh Al-Bukhori Ibnu Bathol” (7/199)]

19  Bolehnya membuat kemah di masjid bagi orang yang beri’tikaf

عَنْ عَائِشَةَ، قَالَتْ: كَانَ النَّبِىُّ، عليه السَّلام، يَعْتَكِفُ فِى الْعَشْرِ الأوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ، فَكُنْتُ أَضْرِبُ لَهُ خِبَاءً فَيُصَلِّى الصُّبْحَ، ثُمَّ يَدْخُلُهُ، فَاسْتَأْذَنَتْ حَفْصَةُ عَائِشَةَ أَنْ تَضْرِبَ خِبَاءً، فَأَذِنَتْ لَهَا، فَضَرَبَتْ خِبَاءً فَلَمَّا رَأَتْهُ زَيْنَبُ ابْنَةُ جَحْشٍ، ضَرَبَتْ خِبَاءً آخَرَ

Dari Aisyah berkata: Nabi shollallohu alaihi wa sallam dahulu beri’tikaf pada 10 hari terakhir dari Romadhon, maka aku membuat untuk beliau kemah, beliau pun melaksanakan  sholat shubuh,  setelah itu beliau masuk ke kemah tersebut. Maka Hafshoh idzin kepada Aisyah untuk membuat kemah juga, maka Aisyah mengijinkan untuk membuat kemah, setelah itu ia pun membuat kemah. Maka Zainab binti Jahsy melihat beliau juga, ia pun membuat kemah yang lain…”
[📌HR. Al-Bukhori]

Ibnul Mundzir mengatakan:

وَفِيْهِ دَلِيْلٌ عَلَى إِبَاحَةِ ضَرْبِ الأَخْبِيَةِ فِى المَسْجِدِ لِلْمُعْتَكِفِيْنَ.

“(Pada hadits tersebut) dalil tentang bolehnya membuat kemah di masjid untuk orang yang beri’tikaf.”
[dari📙“Syarh Shohih Al-Bukhori” oleh Ibnu Bathol (7/200)]

20  Hukum i’tikaf bagi orang yang punya tanggungan nafkah keluarg

Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rohimahulloh berkata:

الاِعْتِكَافُ سُنَّةٌ وَلَيسَ بِوَاجِبٍ، وَمَعَ ذَلِكَ إِذَا كَانَ عَلَى الإِنْسَانِ الْتِزَامَاتٌ لِأَهْلِهِ فَإِنْ كَانَتْ الاِلْتِزَامَاتُ وَاجِبَةٌ عَلَيهِ وَجَب عَلَيهِ القِيَامُ بِهَا، وَكَانَ آثماً بِالاِعْتِكَافِ الَّذِي يَحُولُ دُوْنَهَا، وَإِنْ كَانَتْ غَيْرُ وَاجبَةٍ فَإِنَّ قِيَامَهُ بِتِلْكَ الاِلْتِزَامَاتُ قَدْ يَكُونُ أَفْضَلُ مِنَ الاِعْتِكَافِ.

“I’tikaf adalah Sunnah, dan bukanlah wajib. Akan tetapi bersamaan dengan itu, apabila seseorang mempunyai tanggungan terhadap keluarganya, dan tanggungan tersebut adalah suatu yang wajib baginya, maka wajib baginya untuk melaksanakan hal tersebut, dan ia berdosa apabila melakukan I’tikaf yang ia laksanakan. Dan apabila tanggungan tersebut tidaklah wajib, maka dengan melaksanakan tanggungan tersebut, bisa jadi hal tersebut lebih afdhol dari I’tikaf" [lihat📘“Majmu’ Fatawa wa Rosa’il Al-Utsaimin” (20/178)]

21  Hukum i’tikaf bagi orang yang mengurusi urusan kaum muslimin.

Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rohimahulloh berkata:

وَقَضَاءُ حَوَائِج المُسْلِمِيْنَ إِذَا كَانَ هَذَا الرَّجُلُ مُعَنِيًّا بِهَا فَلاَ يَعْتَكِفْ، لِأَنَّ قَضَاءَ حَوَائِجِ المُسْلِمِينَ أَهَمُّ مِنَ الاِعْتِكَافِ، لِأَنَّ نَفْعَهَا مُتَعَدٍّ، وَالنَّفْعُ المُتَعَدِّي أَفْضَلُ مِنَ النَّفْعِ القَاصِرِ، إِلاَّ إِذَا كَانَ النَّفْعُ القَاصِرُ مِنْ مُهِمَّاتِ الإِسْلاَمِ وَوَاجِبَاتِ الإِسْلاَمِ.

“Menuntaskan urusan kebutuhan kaum muslimin apabila orang ini ditugasi untuk hal tersebut, maka hendaknya ia tidak beri’tikaf, karena menuntaskan kebutuhan kaum muslimin lebih penting daripada I’tikaf, karena (juga) manfaatnya itu merambat kepada yang lain. Dan manfaat yang bisa untuk yang lainnya itu lebih afdhol daripada manfaat yang terbatas kecuali apabila manfaat terbatas tersebut termasuk dari perkara penting Islam dan kewajiban-kewajiban Islam.”
[lihat📘“Majmu’ Fatawa wa Rosa’il Al-Utsaimin” (20/180)]

22  I’tikafnya wanita.

Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rohimahulloh berkata:
المَرْأَةُ إِذَا أَرَادَتْ الاِعْتِكَافُ فَإِنَّمَا تَعْتَكِفُ فِي المَسْجِدِ إِذَا لَمْ يَكُنْ فِي ذَلِكَ مَحْذُورٌ شَرِعِي، وَإِنْ كَانَ فِي ذَلِكَ مَحْذُورٌ شَرْعِي فَلاَ تَعْتَكِفْ.

“Seorang wanita apabila hendak ber’itikaf, maka ia beri’tikaf di masjid apabila disana tidak ada larangan syar’I, dan kalua disana ada hal terlarang secara syar’I maka tidak diperkenankan ber’itikaf.”
[lihat📘“Majmu’ Fatawa wa Rosa’il Al-Utsaimin” (20/163)]

⚠TANBIH:
Ibnu Bathol rohimahulloh mengatakan:

أَنَّ المَرْأَةَ إِذَا أَرَادَتْ اعْتِكَافًا لَمْ تَعْتَكِفْ حَتَّى تَسْتَأْذِنْ زَوْجُهَا، وَيَدُلُّ عَلَى أَنَّ الأَفْضَلَ وَالأَعْلَى لِلنِّسَاءِ لَزُوْمُ مَنَازِلِهِنَّ، وَتَرْكُ الاعْتِكَافِ مَعَ إِبَاحَتِهِ لَهُنَّ؛ لِأَنَّ رَدَّهُنَّ وَمَنْعُهُنَّ مِنْهُ يَدُلُّ عَلَى أَنَّ لُزُومَ مَنَازِلِهنَّ أَفضَلُ مِنَ الاِعْتِكَافِ.

“Bahwa seorang wanita apabila hendak beri’tikaf, (maka) ia tidak beri’tikaf sampai idzin kepada suaminya, dan (hadits ini) menunjukkan bahwa yang afdhol dan mulia bagi wanita untuk menetapi rumah-rumahnya, dan meninggalkan I’tikaf walaupun hal itu boleh bagi mereka, karena penolakan dan pelarangan mereka dari Nabi shollallohu alaihi wa sallam menunjukkan bahwa menetapi rumah mereka lebih afdhol daripada I’tikaf.”
[lihat📔“Syarh Ibnu Bathol” (13/113)]

23  Waktu memulai I’tikaf 10 hari Romadhon.

Dimulai pada waktu sebelum tenggelam matahari dari malam 21 Romadhon, Abu Tsaur mengatakan:

إِنْ أَرَادَ الاِعْتِكَافُ عَشْرَ لَيَالِي دَخَلَ قَبْلَ الغُرُوبِ.

“Apabila hendak I’tikaf 10 malam, maka masuk sebelum tenggelam matahari.”
[dari📓“Umdatul Qori’” (17/205)]

24  Waktu selesai I’tikaf 10 hari Romadhon.

Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rohimahulloh berkata:
يَخْرُجُ المُعْتَكِفُ مِنْ اعْتِكَافِهِ إِذَا انتَهَى رَمَضَانُ، وَيَنْتهِي رَمَضَانُ بِغُروبِ الشَّمْسِ لَيْلَةَ العِيْدِ.
“Seorang yang beri’tikaf, ia keluar dari I’tikafnya apabila selesai Romadhon, dan selesainya Romadhon adalah dengan tenggelamnya matahari malam ‘ied.”
[lihat📘“Majmu’ Fatawa wa Rosa’il Al-Utsaimin” (20/170)]


📎📝 oleh Ust. Fuad Hasan Abu Muhammad Ngawi hafidzhohulloh

Sholat Tarowih


ِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
SILSILAH MAJLIS ROMADHON


Sholat Tarowih
 1   Asal penamaan sholat Tarowih
Ibnul Qoyyim rohimahulloh mengatakan:
إِنَّمَا سُمِّيَ تَرَاوِيْحُ لِمَا يَتَخَلِّلُهُ مِنَ الإِسْتِرَاحَةِ بَعْدَ كُلِّ تَرْوِيْحَةٍ.
 “Dinamakan tarowih karena diselinginya hal tersebut dengan istirahat pada setiap tarwiihah (duduk istirahat setelah 4 raka’at pada malam-malam Romadhon).”  [lihat “Bada’I Fawaid” (4/918)]

2    Pengertian sholat Tarowih
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rohimahulloh mengatakan:
التَّرَاوِيْحُ: قِيَامُ اللَّيْلِ جَمَاعَةً فِي رَمَضَانَ، وَوَقْتُهَا مِنْ بَعْدِ صَلاَةِ العِشَاءِ إِلَى طُلُوعِ الفَجْرِ.
“ Tarowih adalah Qiyamul lail secara jama’ah pada (bulan) Romadhon, dan waktunya adalah setelah ‘Isya sampai munculnya Fajr.”  [lihat📘“Majmu Fatawa Ibnu Utsaimin” (14/139)]

3    Sejarah sholat Tarowih
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- صَلَّى فِى الْمَسْجِدِ ذَاتَ لَيْلَةٍ فَصَلَّى بِصَلاَتِهِ نَاسٌ ثُمَّ صَلَّى مِنَ الْقَابِلَةِ فَكَثُرَ النَّاسُ ثُمَّ اجْتَمَعُوا مِنَ اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِ أَوِ الرَّابِعَةِ فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْهِمْ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَلَمَّا أَصْبَحَ قَالَ « قَدْ رَأَيْتُ الَّذِى صَنَعْتُمْ فَلَمْ يَمْنَعْنِى مِنَ الْخُرُوجِ إِلَيْكُمْ إِلاَّ أَنِّى خَشِيتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ ». قَالَ وَذَلِكَ فِى رَمَضَانَ.
Dari ‘Aisyah bahwasanya Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam sholat di masjid pada suatu malam, maka orang-orang sholat dengan sholatnya, kemudian sholat pada malam berikutnya maka orang-orang semakin banyak. Kemudian mereka berkumpul pada malam ketiga atau keempat, dan Rosululloh tidak keluar kepada mereka, maka ketika waktu shubuh Rosululloh mengatakan: “Sungguh aku telah melihat apa yang kalian lakukan, maka tidaklah menghalangi diriku untuk keluar kepada kalian kecuali aku takut untuk diwajibkan kepada kalian.” Dan hal itu pada bulan Romadhon. [HR. Al-Bukhori dan Muslim (no.761)]
Al-Qolyuubi mengatakan:
هَذَا يُشْعِرُ أَنَّ صَلاَةَ التَّرَاوِيحِ لَمْ تُشْرَعْ إِلاَّ فِي آخِرِ سِنِي الْهِجْرَةِ لأَِنَّهُ لَمْ يَرِدْ أَنَّهُ صَلاَّهَا مَرَّةً ثَانِيَةً وَلاَ وَقَعَ عَنْهَا سُؤَالٌ
“ Ini menunjukkan bahwa sholat tarowih tidaklah disyari’atkan kecuali pada akhir-akhir tahun Hijroh, karenanya tidak pernah disebuntukan riwayat bahwasanya beliau sholat kedua kalinya dan tidak pula ada darinya pertanyaan.”  [lihat📗“Syarhul Muhalla wa Hasyiyah Al-Qolyuubi” (1/217)]
Al-Aqfahsiy mengatakan:
أَنَّهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى بِهِمْ ثَلَاثَ لَيَالٍ وَلَمْ يَخْرُجْ إلَيْهِمْ الرَّابِعَةَ ، فَلَمَّا كَانَ صَدْرٌ مِنْ خِلَافَةِ عُمَرَ بِنَحْوِ سَنَتَيْنِ أَتَى الْمَسْجِدَ فَوَجَدَهُمْ يُصَلُّونَ أَفْذَاذًا فَجَمَعَ الرِّجَالَ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ وَالنِّسَاءَ عَلَى تَمِيمٍ الدَّارِيِّ لِأَنَّهُ أَمِنَ أَنْ تُفْرَضَ
“ Bahwasanya beliau shollallohu alaihi wa sallam menyolati mereka selama 3 malam dan tidak keluar kepada mereka pada hari ke-4, maka ketika diawal khilafah ‘Umar sekitar 2 tahun; ia mendatangi masjid seraya mendapati mereka sholat sendiri-sendiri, maka lelaki dikumpulkan atas Ubay bin Ka’ab dan para perempuan atas Tamim Ad-Dari, karena sudah aman untuk diwajibkan.”

4    Perbedaan antara Qiyamul Lail, Tahajjud dan Tarowih
Asy-Syaikh Ibnu Baz rohimahulloh mengatakan:
الصَّلاَةُ فِي اللَّيلِ تُسَمَّى تَهَجُّدًا وَتُسَمَّى قِيَامُ اللَّيْلِ ، كَمَا قَالَ اللهُ تَعَالَى : وَمِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَكَ وقال سبحانه : يَا أَيُّهَا الْمُزَّمِّلُ قُمِ اللَّيْلَ إِلا قَلِيلًا وقال سبحانه في سورة الذاريات عن عباده المتقين : آخِذِينَ مَا آتَاهُمْ رَبُّهُمْ إِنَّهُمْ كَانُوا قَبْلَ ذَلِكَ مُحْسِنِينَ كَانُوا قَلِيلًا مِنَ اللَّيْلِ مَا يَهْجَعُونَ
أَمَّا التَّرَاوِيْحُ فَهِيَ تُطْلَقُ عِنْدَ العُلَمَاءِ عَلَى قِيَامِ اللَّيْلِ فِي رَمَضَانَ أَوَّلُ اللَّيْلِ مَعَ مُرَاعَاةِ التَّخْفِيْفِ وَعَدَمِ الإِطَالَةِ وَيَجُوزُ أَنْ تُسَمَّى تَهَجُّدًا وَأَن تُسَمَّى قِيَامًا لِلَّيْلِ وَلاَ مُشَاحَةَ فِي ذَلِكَ.
“ Sholat pada waktu malam dinamakan dengan tahajjud dan dinamakan juga Qiyamul Lail, sebagaimana firman Alloh ta’ala:
وَمِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَكَ
“ Dan dari sebagian malam, lakukanlah oleh kalian tahajjud sebagain bentuk ibadah tambahan bagimu.”
يَا أَيُّهَا الْمُزَّمِّلُ قُمِ اللَّيْلَ إِلا قَلِيلًا
“ Wahai orang yang berselimut, bangunlah pada waktu malam kecuali sebagian kecil”
Alloh  subhanahu wa ta’ala berfirman dalam surat Adz-Dzariyat tentang orang-orang yang bertaqwa:
آخِذِينَ مَا آتَاهُمْ رَبُّهُمْ إِنَّهُمْ كَانُوا قَبْلَ ذَلِكَ مُحْسِنِينَ كَانُوا قَلِيلًا مِنَ اللَّيْلِ مَا يَهْجَعُونَ
“ Mereka mengambil apa yang diberikan Robb kepada mereka. Sesungguhnya mereka sebelum itu di dunia adalah orang-orang yang berbuat baik. Mereka pada waktu malam sedikit di tempat tidur mereka.”
Adapun Tarowih, dia dimutlakkan oleh ‘Ulama atas penamaan Qiyamul Lail pada Romadhon pada awal malam dengan memerhatikan keringanan tanpa memperpanjang raka’at. Dan boleh juga dinamakan dengan tahajjud dan boleh juga  dinamakan Qiyamul Lail, dan tidak ada yang perlu diperdebatkan.” [Majmu’ Fatawa Ibnu Baz (11/172)]


5    Rofidhoh mengingkari sholat tarowih.
Lajnah Daimah berfataua:
وَلاَ يُنْكِرُ التَّرَاوِيْحَ إِلاَّ أَهْلُ البِدَعِ مِنَ الرَّافِضَةِ
“ Tidaklah ada yang mengingkari tarowih kecuali Ahlul Bid’ah dari Rofidhoh.”  [lihat “Lajnah Daimah” (7/194)]

6    Sholat tarowih selain bulan Romadhon adalah bid’ah!
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rohimahulloh mengatakan:
«التَّراويحَ في غير رمضان بِدْعةٌ ، فلو أراد النَّاس أنْ يجتمعوا على قيام الليل في المساجد جماعة في غير رمضان لكان هذا من البِدع .ولا بأس أن يُصلِّي الإنسانُ جماعة في غير رمضان في بيته أحياناً ؛ لفعل الرسول صلى الله عليه وسلم : " فقد صَلَّى مرَّةً بابن عبَّاس ، ومرَّةً بابن مسعود ومرَّةً بحذيفة بن اليمان ، جماعة في بيته " لكن لم يتَّخذْ ذلك سُنَّة راتبةً ، ولم يكن أيضاً يفعله في المسجد» .
“ Sholat Teraweh selain bulan Romadhon adalah bid’ah, kalau seandainya orang-orang hendak berkumpul untuk melaksanakan Qiyamul Lail di masjid secara jama’ah selain bulan Romadhon, maka hal tersebut termasuk dari bid’ah. Dan tidaklah mengapa bagi seorang untuk sholat secara jama’ah selain bulan Romadhon di rumahnya dengan kadang-kadang, sebagaimana perbuatan Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam; yang beliau pernah sholat pada suatu hari dengan Ibnu ‘Abbas, dan pernah suatu kali dengan Ibnu Mas’ud, pernah suatu kali juga dengan Hudzaifah Ibnul Yaman secara jama’ah di rumahnya. Akan tetapi tidaklah dijadikan hal tersebut sunnah rotibah, dan beliau tidaklah pernah juga melakukannya di masjid.”  [lihat “Asy-Syarhul Mumti’” (4/60-61)]

7    Sholat tarowih adalah sunnah yang dihidupkan oleh ‘Umar
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدِ الْقَارِيَّ ، قَال : خَرَجْتُ مَعَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ - رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ - لَيْلَةً فِي رَمَضَانَ إِلَى الْمَسْجِدِ ، فَإِذَا النَّاسُ أَوْزَاعٌ مُتَفَرِّقُونَ ، يُصَلِّي الرَّجُل لِنَفْسِهِ ، وَيُصَلِّي الرَّجُل فَيُصَلِّي بِصَلاَتِهِ الرَّهْطُ ، فَقَال عُمَرُ : إِنِّي أَرَى لَوْ جَمَعْتُ هَؤُلاَءِ عَلَى قَارِئٍ وَاحِدٍ لَكَانَ أَمْثَل ، ثُمَّ عَزَمَ فَجَمَعَهُمْ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ ، ثُمَّ خَرَجْتُ مَعَهُ لَيْلَةً أُخْرَى وَالنَّاسُ يُصَلُّونَ بِصَلاَةِ قَارِئِهِمْ ، فَقَال : نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ هَذِهِ ، وَاَلَّتِي يَنَامُونَ عَنْهَا أَفْضَل مِنَ الَّتِي يَقُومُونَ . يُرِيدُ آخِرَ اللَّيْل ، وَكَانَ النَّاسُ يَقُومُونَ أَوَّلَهُ
“ Dari ‘Abdurrohman bin ‘Abdil Qori’ mengatakan: Aku keluar bersama ‘Umar bin Al-Khotthob rodhiyaAllohu pada malam Romadhon ke masjid, maka orang-orang dalam keadaan berpencar dan terpisah-pisah; yang seorang sholat sendiri dan ada yang sholat dengan ma’mum berjumlah puluhan. Maka ‘Umar mengatakan: aku melihat untuk menggabung mereka pada satu Qori’, maka hal itu lebih bagus. Kemudian bertekad untuk mengumpulkan mereka atas Ubay bin Ka’ab, kemudian aku keluar bersamanya pada malam yang lain, dan orang-orang sholat dengan sholatnya Imam mereka, maka ‘Umar mengatakan: “Sebagus-bagus bid’ah adalah ini. Dan orang-orang yang tidur darinya lebih afdhol dari orang mengerjakan pada (waktu itu).” Yang dimaksudkan ‘Umar adalah waktu akhir malam. Dan orang-orang pada waktu itu mengerjakan sholat (tarowih) pada awal waktu.”  [HR. Al-Bukhori]
وَرَوَى أَسَدُ بْنُ عَمْرٍو عَنْ أَبِي يُوسُفَ قَال : سَأَلْتُ أَبَا حَنِيفَةَ عَنِ التَّرَاوِيحِ وَمَا فَعَلَهُ عُمَرُ ، فَقَال : التَّرَاوِيحُ سُنَّةٌ مُؤَكَّدَةٌ ، وَلَمْ يَتَخَرَّصْ عُمَرُ مِنْ تِلْقَاءِ نَفْسِهِ ، وَلَمْ يَكُنْ فِيهِ مُبْتَدِعًا ، وَلَمْ يَأْمُرْ بِهِ إِلاَّ عَنْ أَصْلٍ لَدَيْهِ وَعَهْدٍ مِنْ رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَقَدْ سَنَّ عُمَرُ هَذَا وَجَمَعَ النَّاسَ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ فَصَلاَّهَا جَمَاعَةً وَالصَّحَابَةُ مُتَوَافِرُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالأَْنْصَارِ وَمَا رَدَّ عَلَيْهِ وَاحِدٌ مِنْهُمْ ، بَل سَاعَدُوهُ وَوَافَقُوهُ وَأَمَرُوا بِذَلِكَ
Diriwayatkan Asad bin ‘Amr dari Abu Yusuf mengatakan: aku bertanya kepada Abu Hanifah tentang tarowih dana pa yang dilakukan ‘Umar, maka ia menjawab: Tarowih adalah Sunnah muakkadah, dan ‘Umar tidaklah mengada-ada dari dirinya sendiri, dan ia tidaklah seorang yang mubtadi’, dan ia tidaklah memerintahkan dengan hal tersebut kecuali ada asalnya dari zaman Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam. Maka sungguh ia telah mencocoki Sunnah, dan mengumpulkan orang-orang atas Ubay bin Ka’ab, yang kemudian sholat tarowih dengan berjama’ah dalam keadaan shohabat dari Muhajirun dan Anshor banyak pada waktu itu. Dan tidak ada satupun dari mereka menolak hal tersebut, bahkan membantu serta menyepakati dan memerintahkan untuk hal tersebut.”  [lihat“Al-Ikhtiyaar” (1/68-69)]


8    Keutamaan sholat tarowih!
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللُه عَلَيهِ وَسَلَّمَ قَالَ: »مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ»
Dari Abu Huroiroh rodhiyaAllohu anhu ia berkata; dari Nabi shollallohu alaihi wa sallam: “Barang siapa yang mendirikan sholat (sunnah) pada malam-malam bulan Romadhon dengan penuh keimanan dan mengharap ampunan Alloh, diampuni dosa-dosanya yang lampau” [📌HR. Al-Bukhori (no.37) Muslim (no.759)]

9    Bolehnya wanita menghadiri sholat tarowih
عَنْ عَمْرو بْنِ حُرَيْثٍ، قَالَ: أَمَرَنِي عُمَرُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنْ أَؤُمَّ النِّسَاءَ فِي رَمَضَانَ.
Dari ‘Amr bin Huroits mengatakan: “‘Umar rodhiyaAllohu anhu memerintahkan kepadaku untuk mengimami wanita pada (bulan) Romadhon.”  [lihat“Siyar A’lamin Nubala” (3/419)]
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rohimahulloh mengatakan:
وَلاَ بَأْسَ بِحُضُورِ النِّسَاءِ صَلاَةُ الترَاوِيْح إِذَا أُمِنَتِ الفِتْنَةُ بِشَرْطٍ أَنْ يَخْرُجْنَ مُحَتَشِّمَاتٍ غَيْرُ مُتَبَرِّجَاتٍ بِزِينَةٍ وَلاَ مُتَطَيِّبَاتٍ.
“ Tidak mengapa untuk wanita menghadiri sholat tarowih apabila aman dari fitnah dengan syarat mereka keluar dengan tertutup tanpa bertabarruj (berhias) dengan perhiasan dan tidak pula dengan wewangian.”  [lihat “Majmu Fatawa Ibnu Utsaimin” (14/140)]

10  Tolak ukur dalam memanjangkan bacaan
Al-Kasaani rohimahulloh mengatakan:
وَأَمَّا فِي زَمَانِنَا فَالْأَفْضَلُ أَنْ يَقْرَأَ الْإِمَامُ عَلَى حَسَبِ حَالِ الْقَوْمِ مِنْ الرَّغْبَةِ وَالْكَسَلِ فَيَقْرَأُ قَدْرَ مَا لَا يُوجِبُ تَنْفِيرَ الْقَوْمِ عَنْ الْجَمَاعَةِ ؛ لِأَنَّ تَكْثِيرَ الْجَمَاعَةِ أَفْضَلُ مِنْ تَطْوِيلِ الْقِرَاءَةِ  وَالْأَفْضَلُ تَعْدِيلُ الْقِرَاءَةِ فِي التَّرْوِيحَاتِ كُلِّهَا ، وَإِنْ لَمْ يُعَدِّلْ فَلَا بَأْسَ بِهِ.
“ Adapun di zaman kita, maka yang lebih afdhol adalah seorang Imam membaca sesuai dengan keadaan orang-orang disitu dari semangat dan malas. Maka ia membaca sesuai dengan kadar yang tidak melarikan orang-orang dari jama’ah, karena memperbanyak jama’ah lebih afdhol dari memanjangkan bacaan. Dan yang afdhol adalah menyama ratakan bacaan pada tarowih semuanya, dan kalaupun tidak menyama ratakan maka tidaklah mengapa.”  [Bada’I Ash-Shona’I fie tartiib Asy-Syaro’I” (3/150)]
Asy-Syaikh Ibnu Baz rohimahulloh mengatakan:
العِبْرَةُ بِالأَكْثَرِيَّةِ وَالضُّعَفَاءِ ، فَإِذَا كَانَ الأَكْثَرِيَةُ يَرْغَبُونَ فِي الإِطَالَةِ بَعْضُ الشَّيءِ وَلَيْسَ فِيْهِمْ مَنْ يُرَاعَى مِنَ الضَّعَفَةِ وَالمَرْضَى أَو كِبَارِ السِّنِّ فَإِنَّهُ لاَ حَرَجَ فِي ذَلِكَ ، وَإِذَا كَانَ فِيْهِمْ الضَّعِيْفُ مِنَ المَرْضَى أَوْ مِنْ كِبَارِ السِّنِّ فَيَنْبَغِي لِلإِمَامِ أَنْ يَنْظُرَ إِلَى مَصْلَحِتِهِمْ .
“ Yang menjadi tolak ukur adalah mayoritas dan para dhu’afa. Maka apabila mayoritas menginginkan untuk memperpanjang pada sesuatu serta tidak ada diantara mereka dari pada dhu’afa, sakit dan orang tua, maka tidaklah mengapa hal tersebut. Dan apabila terdapat pada mereka orang fisik lemah, sakit atau orang tua, maka sepantasnya bagi Imam untuk melihat kepada maslahat mereka.”  [lihat “Majmu’ Fatawa wa Maqolat Ibnu Baz” (11/184)]

11  Ketentuan meringankan bacaan
عَنْ أَبِي عُثْمَانَ ، أَنَّ عُمَرَ بْنِ الخُطَّابِ ، « دَعَا ثَلاَثَةٌ قُرَّاءٍ فِي شَهْرِ رَمَضَانِ ، فَأَمَرَ بَأَسْرِعِهِمْ قِرَاءَةً يَقْرَأُ ثَلاَثِينَ آيَةً وَبِأَوْسَطِهِمْ أَنْ يَقْرَأَ خَمْسًا وَعِشْرِينَ آيَةً ، وَأَمَرَ بَأَطْوَلِهِمْ أَنْ يَقْرَأَ عِشْرِينَ آيَةً »
Dari Abi Utsman: bahwa ‘Umar bin Al-Khotthob memanggil 3 Qurro’ pada bulan Romadhon, maka ‘Umar memerintahkan untuk paling cepat bacaannya untuk membaca 30 ayat. Dan yang paling sedang bacaannya untuk membaca 25 ayat. Dan memerintahkan yang paling lama bacaannya untuk membaca 20 ayat.”  [AR. Al-Firyabi dalam “Ash-Shiyam”  (no.165)]
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rohimahulloh mengatakan:
فَالإِنْسَانُ الَّذِي لَهُ وِلَايَةٌ عَلَى طَائِفَةٍ مِنَ النَّاسِ يَجِبُ أَنْ يُرَاعِي النَّاسَ إِذَا كَانَ إِمَامًا فَليُخَفِّفْ، وَلَكِنْ مَا مِيْزَانُ التَّخْفِيْفِ المَطْلُوبِ؟ مِيْزَانُهُ هِيَ صَلاَةُ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ، وَلِهَذَا قَالَ أنَسٌ: "مَا صَلَّيْتُ وَرَاءَ إِمَامٍ قَطٍّ أَخَفُّ وَلاَ أَتَمُّ صَلاَةً مِنْ صَلاَةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ"، فَالتَّخْفِيفُ لَيسَ يَنْقُرُهَا الإِنْسَانُ نَقْرَ الغُرَابِ، وَلَكِنْ أَنْ يُصَلِّيَ كَمَا كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي.
“ Seorang manusia yang ia mempunyai kewenangan atas sebagian sekelompok dari manusia; wajib untuk memerhatikan manusia apabila menjadi imam maka hendaknya meringankan, akan tetapi apa timbangan dalam meringangkan yang dimaukan? Ukurannya adalah sholatnya Nabi shollallohu alaihi wa sallam, oleh karena itu Anas mengatakan: “Tidaklah aku sholat di belakang Imam yang lebih ringan dan sempurna daripada sholat Nabi shollallohu alaihi wa sallam”, maka meringankan itu tidaklah sebagaimana seseorang mencocoknya burung gagak dengan paruhnya, dan akan tetapi hendaknya ia sholat sebagaimana Nabi shollallohu alaihi wa sallam sholat.”  [Lihat “Majmu Fatawa Ibnu Utsaimin” (14/106)]




12  Wajibnya thuma’ninah dalam sholat tarowih.
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rohimahulloh mengatakan:
وَلَكِنَّ الأَمْرَ الَّذِي يَنْبَغِي أَنْ يَهْتَمَّ بِهِ التَّأَنِّي فِي صَلاَةِ التَّرَاوِيْحِ، وَأَن لاَ يَفْعَلَ مَا يَقُومُ بِهِ بَعْضُ النَّاسِ مِنَ الإِسْرَاعِ الَّذي قَدْ يَخِلُّ بِوَاجِبِ الطُّمَانِيْنَةِ، أَوْ يَمْنَعُ بَعْضُ المَأْمُومِيْنَ مِنْهَا.
Akan tetapi perkara yang perlu diperhatikan adalah tenang ketika sholat tarowih. Dan ia tidaklah melakukan apa yang diperbuat sebagain manusia dari cepat yang terkadang melupuntukan dari kewajiban tuma’ninah atau menghalangi sebgaian ma’mum dari thuma’ninah.”  [lihat“Majmu Fatawa Ibnu Utsaimin” (14/126)]

13  Disunnahkan memanjangkan bacaan ketika 10 terakhir Romadhon
عَنْ نُعَيْمِ بْنِ زِيَادٍ أَبي طَلْحَةَ قَالَ: سَمِعْتُ النُّعْمَانَ بْنَ بَشِيرٍ عَلَى مِنْبَرِ حِمْصَ يَقُولُ قُمْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ لَيْلَةَ ثَلَاثٍ وَعِشْرِينَ إِلَى ثُلُثِ اللَّيْلِ الْأَوَّلِ ثُمَّ قُمْنَا مَعَهُ لَيْلَةَ خَمْسٍ وَعِشْرِينَ إِلَى نِصْفِ اللَّيْلِ ثُمَّ قُمْنَا مَعَهُ لَيْلَةَ سَبْعٍ وَعِشْرِينَ حَتَّى ظَنَنَّا أَنْ لَا نُدْرِكَ الْفَلَاحَ وَكَانُوا يُسَمُّونَهُ السُّحُورَ
Dari Nu’aim bin Ziyad Abu Tholhah berkata: aku mendengar Nu’man bin Basyir diatas minbar Himsh mengatakan: Kami berdiri (sholat) bersama Rosululloh pada bulan Romadhon malam 23 sampai sepertiga malam yang awal. Kemudian kami mendirikan sholat bersamanya pada malam 25 sampai pertengahan malam, kemudian kami mendirikan sholat bersamanya pada malam 27 sampai kami mengira tidak bisa mendapatkan Falaah, yang mereka menamakan dengan sahur.”  [HR. An-Nasa’I (no.1606) dan dihasankan oleh Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’I dalam Al-Jami’us Shohih (no.1084)]
Asy-Syaikh Ibnu Baz rohimahulloh mengatakan:
وَلَكِنْ فِي العَشْرِ الأَخِيْرَةِ يُسْتَحَبُّ الإِطَالَةُ لِأَنَّهُ يُشْرَعُ إِحيَاؤُهَا بِالصَّلاَةِ وَالقِرَاءَةِ وَالدُّعَاءِ لِأَنَّ الرَّسُولَ عَلَيهِ الصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ كَانَ يُحْيِي اللَّيلَ كُلَّهُ فِي العَشْرِ الأَخِيْرَةِ وَلِهَذَا شُرِعَتْ الإِطَالَةُ فِيْهَا كَمَا أَطَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ ، فَإِنَّهُ قَرَأَ فِي بَعضِ اللَّيَالِي بِالبَقَرَةِ وَالنِّسَاءِ وَآلِ عِمْرَانَ فِي رَكْعَةٍ وَاحِدَةٍ ، فَالمَقْصُودُ أَنَّهُ عَلَيهِ الصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ كَانَ يُطِيْلُ فِي العَشْرِ الأَخِيْرَةِ وَيُحْيِيْهَا فَلِهَذَا شُرِعَ لِلنَّاسِ إِحْيَاؤُهَا وَالإِطَالَةِ فِيْهَا حَتَّى يَتَأَسَّوا بِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ.
“ Akan tetapi pada 10 hari terkahir disukai untuk memanjangkan, karena disyari’atkan menghidupkannya dengan sholat, membaca Al-Qur’an dan doa. Karena Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam dahulu menghidupkan malam seluruhnya pada 10 hari terakhir, dan oleh karena itu disyari’atkan memanjangkan padanya sebagaimana Nabi shollallohu alahih wa sallam memanjangkannya. Dan sesungguhnya beliau membaca pada sebagian malam. Maka maksud dari itu adalah beliau memanjangkan pada 10 hari terakhir serta menghidupkannya, maka oleh karena itu disyari’atkan bagi orang-orang menghidupkannya dan memanjangkannya agar mencontoh dengannya sholallohu alaihi wa sallam.”  [lihat “Majmu’ Fatawa Ibnu Baz” (11/186)]

14  Hukum membawa mushaf bagi Ma’mum ketika sholat tarowih
Ditanya Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rohimahulloh:
Apa hukum membawa mushaf oleh para ma’mum ketika sholat tarowih di bulan Romadhon dengan alasan untuk menyimak (bacaan) Imam?
Beliau menjawab:
حَمْلُ المُصْحَفِ لِهَذَا الغَرَضِ فِيهِ مُخَالِفَةٌ لِلسُّنَّةِ وَذَلِكَ مِنْ وُجُوهٍ:
... الوَجْهُ الأَوَّلُ: أَنَّهُ يَفُوتُ الإِنْسَانُ وَضْعَ اليَدِ اليُمْنَى عَلَى اليُسْرَى فِي حَالِ القِيَامِ.
... الوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ يُؤَدِّي إِلَى حَرَكَةٍ كَثِيرَةٍ لاَ حَاجَةَ إِلَيْهَا، وَهِيَ فَتْحُ المُصْحَفِ، وَإِغْلَاقِهِ، وَوَضْعِهِ فِي الإِبْطِ وَفِي الجَيْبِ وَنَحْوِهِمَا.
... الوَجْهُ الثَّالِثُ: أَنَّهُ يَشْغَلُ المُصَلِّي فِي الحَقِيْقَةِ بِحَرَكَاتِهِ هَذِهِ.
... الوَجْهُ الرَّابِعُ: أَنَّهُ يَفُوتُ المُصَلِّي النَّظَرَ إِلَى مَوضِعِ السُّجُودِ وَأَكْثَرُ العُلَمَاءِ يَرونَ أَنَّ النَّظَرَ إِلَى مَوْضِعِ السُّجُودِ هُوَ السُّنَّةُ وَالأَفْضَلُ.
... الوَجْهُ الخَامِسُ: أَنَّ فَاعِلَ ذَلِكَ رُبَّمَا يَنسَى أَنَّهُ فِي صَلاَةٍ إِذَا كَانَ لَمْ يَسْتَحْضِرْ قَلْبُهُ أَنَّهُ فِي صَلاَةٍ، بِخَلاَفِ مَا إِذَا كَانَ خَاشِعًا وَاضِعًا يَدَهُ اليُمْنَى عَلَى اليُسْرَى، مُطَأْطَأَ رَأْسِهِ نَحْو سُجُودِهِ، فَإِنَّهُ يَكُونُ أَقْرَبُ إِلَى اسْتِحْضَارِ أَنَّهُ يُصَلِّي وَأَنَّهُ خَلْفَ إِمَامٍ.

“ Membawa mushaf untuk tujuan seperti itu terdapat padanya penyelisihan terhadap Sunnah, yang hal itu dari beberapa sisi:
Sisi pertama:
hal tersebut melewatkan seseorang dari meletakkan tangan kanan diatas tangan kiri ketika keadaan berdiri.
Sisi kedua:
hal tersebut mengakibatkan banyaknya gerakan yang tidak diperlukan padanya, yaitu buka tutup mushaf, dan meletakkannya pada ketiak maupun kantong dan yang semisal keduanya.
Sisi ketiga:
secara hakikat hal tersebut menyibukkan bagi orang sholat dengan gerakan-gerakan tadi.

Sisi keempat:
hal tersebut melupuntukan seorang yang sholat untuk melihat tempat sujud, dan kebanyaka ‘Ulama berpendapat bahwa melihat ketempat sujud itu adalah yang Sunnah dan afdhol.
Sisi kelima:
yang melakukan hal tersebut terkadang dia lupa kalau ia dalam sholat apabila ia tidak menhadirkan dirinya dalam sholat, lain halnya dengan orang yang ia khusyu’ serta meletakkan tangan kanan diatas tangan kiri, menundukkan kebawah kepalanya ke arah tempat sujud, maka hal seperti ini lebih mendakatkan kepada keadaan yang ia merasa dalam perkara sholat dan ia (sholat) dibelakang Imam.” [lihat “Majmu Fatawa wa Rosa’il Ibnu Utsaimin (14/157)]


15  Tidak memperdengarkan suara tangis ketika Tarowih
Asy-Syaikh Ibnu Baz rohimahulloh mengatakan:
فَالَّذِي يَنْبَغِي لِلمُؤْمِنِ أَنْ يَحْرِصَ عَلَى أَن لاَ يَسْمَعْ صَوْتَهُ بِالبُكَاءِ وَلْيَحْذَرْ مِنَ الرِّيَاءِ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ قَدْ يَجُرُّهُ إِلَى الرِّيَاءِ ، فَيَنْبَغِي لَهُ أَنْ لَا يُؤْذِي أَحَدًا بِصَوتِهِ وَلاَ يُشَوِّشُ عَلَيهِمْ ، وَمَعْلُومٌ أَنَّ بَعضَ النَّاسِ لَيسَ ذَلِكَ بِاخْتِيَارِهِ بَلْ يَغْلِبُ عَلَيهِ مِنْ غَيْرِ قَصْدٍ وَهَذَا مَعْفُوٌّ عَنْهُ إِذَا كَانَ بِغَيْرِ اخْتِيَارِهِ.
“ Maka sepantasnya bagi seorang mu’min berusaha untuk tidak memperdengarkan suaranya dengan tangisan, serta berhati-hati dari riya’, karena Syaithon telah mnyeretnya kepada riya’. Dan sepantasnya juga agar tidak mengganggu seorang pun dengan suaranya dan membuat gaduh ricuh kepada mereka. Dan sebagaimana diketahui juga adalah sebagian manusia melakukan hal tersebut tanpa bisa dia kontrol, bahkan hal itu terjadi tanpa ada maksud tujuan, maka yang seperti ini termaafkan apabila terjadi diluar kontrol dia.”  [lihat “Majmu’ Fatawa Ibnu Baz” (11/186)]

16  Keutamaan sholat tarowih bersama Imam.
عَنْ أَبِي ذَرٍّ رضي الله عنه قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللُه عَلَيهِ وَسَلَّمَ: «مَنْ قَامَ مَعَ الإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِف، كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ»
Dari Abi Dzar rodhiyaAllohu anhu berkata: Bersabda Rosululloh `: “Barang siapa yang mendirikan (sholat) bersama Imam sampai selesai, dituliskan baginya (sholat) satu malam.”  [HR.Abu Dawud (no.1375) dan dishohihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t dalam “Irwaul Gholil” (no.447)]


17  Bolehnya memulai sholat tarowih dengan duduk
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rohimahulloh berkata:
وَأَمَّا التَّكْبِيْرُ مَعَ الإِمَامِ جَالِسًا فَإِذَا قَارَبَ الرُّكُوعَ قَامَ فَرَكَعَ، فَلاَ بَأْسَ بِهِ؛ لِأَنَّ التَّرَاوِيْحَ نَافِلَةٌ، وَقَدْ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ حِينَ كَبُرَ وَثَقُلَ يَفْعَلُهُ، فَيَبْدَؤُهَا جَالِساً، وَيَقْرَأُ، فَإِذَا قَارَبَ الرُّكُوعَ، قَامَ وَقَرَأَ ماَ تَيَسَّرَ مِنَ القُرْآنِ ثُمَّ رَكَعَ.
“Adapun takbir bersama Imam dalam keadaan duduk, yang apabila telah mendekati ruku’ ia berdiri untuk melakukan ruku’, maka (yang seperti ini) tidaklah mengapa. Karena tarowih adalah nafilah. Dan Nabi shollallohu alaihi wa sallam ketika sudah tua serta berat untuk melakukannya, maka beliau memulai dengan duduk serta membaca. Maka apabila telah mendekati ruku’, berdiri membaca apa yang dimudahkan dari Al-Qur’an dan kemudian ruku’.”  [Lihat “Majmu Fatawa wa Rosa’il Ibnu Utsaimin (3/13)]

18  Tidak pantas untuk mengakhirkan masuk jama’ah (sholat) dengan sengaja
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rohimahulloh berkata:
أَمَّا تَأْخِيْرُ الإِنْسَانِ الدُّخَولَ مَعَ الإِمَامِ حَتَّى يُكَبِّرُ لِلرُّكُوعِ، فَهَذَا تَصَرُّفٌ لَيْسَ بِسَلِيْمٍ، بَلْ إِنَّنِي أَتَوَقَّفُ، هَلْ تَصِحُّ رَكْعَتَهُ هَذِهِ أَوْ لاَ تَصِحُّ؟ لِأَنَّهُ تَعَمَّدَ التَّأْخِيْرُ الَّذِي لاَ يَتَمَكَّنُ مَعَهُ مِنْ قِرَاءَةِ الفَاتِحَةِ - وَقِرَاءَةُ الفَاتِحَةِ رُكْنٌ، فَلاَ تَسْقُطُ عَنِ الإِمَامِ وَلاَ المَأْمُومِ وَلاَ المُنْفَرِدِ - فَكَونُهُ يَبْقَى حَتَّى يَرْكَعَ الإِمَامِ ثُمَّ يَقُومُ فَيَرْكَعُ مَعَهُ، هَذَا خَطَأٌ بِلاَ شَكٍّ، وَخَطْرٌ عَلَى صَلاَتِهِ، أَوْ عَلَى الأَقَلِّ عَلَى رَكْعَتِهِ أَلاَّ يَكُونَ أَدْرَكَهَا.
“ Adapun pengakhiran seseorang untuk masuk bersama Imam sampai ia bertakbir untuk ruku’, maka ini bukanlah kelakuan yang baik. Bahkan aku dalam permasalahan ini tawaqquf, apakah sah raka’atnya tersebut atau tidak sah? Karena dalam hal ini ia sengaja untuk mengakhirkan yang sampai tidak menyempatkan dirinya untuk membaca Al-Fatihah –dan membaca Al-Fatihah adalah rukun-, yang tidaklah digugurkan kewajibannya dari Imam, Ma’mum dan munfarid- maka keadaannya menunggu sampai Imam ruku’ kemudian berdiri untuk ruku’ bersamanya (Imam). Maka ini adalah salah tanpa ada keraguan dan dikhawatirkan terhadap sholatnya, atau paling ringannya adalah terkait raka’atnya yang ia dapati.”

19  Jumlah raka’at sholat tarowih
عَنْ عَائِشَةَ رضي الله عنها: مَا كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللُه عَلَيهِ وَسَلَّمَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلاَ فِي غَيْرِهِ، عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً، يُصَلِّي أَرْبَعًا، فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُوْلِهِنَّ، ثُمَّ يُصَلِّي أَرْبَعًا، فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُوْلِهِنَّ، ثُمَّ يُصَلِّي ثَلاَثًا.
Dari ‘Aisyah rodhiyaAllohu anha: “Tidaklah Rosululloh sholallohu alaihi wa sallam menambah di Romadhon dan tidak pula dilainnya dari 11 raka’at, (Nabi) sholat 4 raka’at, maka jangan kamu tanya tentang bagus dan lamanya, kemudian sholat 4 raka’at, maka jangan kamu tanya tentang bagus dan lamanya, kemudian Nabi sholat 3 (raka’at).”  [HR.Al-Bukhori (no.1147), Muslim (no.738)]
Asy-Syaikh Ibnu Baz rohimahulloh berkata:
وَهَذَا العَدَدُ أَرْفَقُ بِالنَّاسِ وَأَعْوَنُ لِلإِمَامِ عَلَى الخُشُوعِ فِي رُكُوعِهِ وَسُجُودِهِ وَفِي قِرَاءَتِهِ ، وَفِي تَرْتِيْلِ القِرَاءَةِ وَتَدَبُّرِهَا ، وَعَدَمِ العُجْلَةِ فِي كُلِّ شَيْءٍ.
“ Jumlah ini (11 raka’at) adalah paling sesuai bagi orang-orang dan membantu Imam untuk khusyu’ dalam ruku’, sujud dan bacaannya, pada tartil bacaan serta mentadabburinya serta tidak tergesa-gesa pada setiap sesuatu.”  [lihat“Majmu’ Fatawa Ibnu Baz” (11/175)]
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rohimahulloh berkata:
المُحَافَظَةُ عَلَى العَدَدِ الَّذِي جَاءَتْ بِهِ السُّنَّةُ مَعَ التَّأَنِّي وَالتَّطْوِيْلِ الَّذِي لاَ يَشُقُّ عَلَى النَّاسِ أَفْضَلُ وَأَكْمَلُ.
“ Menjaga untuk melaksanakan jumlah (raka’at) yang datang padanya dari as-sunnah disertai dengan tenang dan memanjangkan (bacaan) yang tidaklah memberatkan orang-orang maka (hal tersebut) lebih afdhol dan sempurna.”  [lihat “Majmu’ Fatawa wa Rosa’il Ibnu Utsaimin” (14/139)]
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رضي الله عنهما: «كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللُه عَلَيهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي مِنَ اللَّيْلِ، ثَلاَثَ عَشْرَةَ رَكْعَةً»
Dari Ibnu ‘Abbas rodhiyaAllohu anhuma: “Dahulu Rosululloh sholallohu alaihi wa sallam sholat malam 13 raka’at.”  [HR.Al-Bukhori (no.1138), Muslim (no.764)]
Dan Rosululloh sholallohu alaihi wa sallam membuka sholat malamnya dengan 2 raka’at ringan;
عَنْ عَائِشَةَ رضي الله عنها: كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللُه عَلَيهِ وَسَلَّمَ ، إِذَا قَامَ مِنَ اللَّيْلِ لِيُصَلِّيَ، افْتَتَحَ صَلاَتَهُ بِرَكْعَتَيْنِ خَفِيْفَتَيْنِ
Dari ‘Aisyah rodhiyaAllohu anha: “Dahulu Rosululloh sholallohu alaihi wa sallam, apabila berdiri untuk melaksanakan sholat malam, membuka sholatnya dengan 2 raka’at yang ringan.”  [HR.Muslim (no.767)]
Asy-Syaikh Ibnu Baz rohimahulloh berkata:
وَإِذَا نَوَّعَ فَصَلَّى فِي بَعْضِ اللَّيَالِي إِحْدَى عَشَرَةَ وَفِي بَعْضِهَا ثَلاَثَ عَشْرَةَ فَلاَ حَرَجَ فِيْهِ فَكُلُّهُ سُنَّةٌ ، وَلَكِنْ لاَ يَجوزُ أَنْ يُصَلِّي أَرْبَعًا جَمِيْعًا بَلِ السُّنَّةِ وَالوَاجِبُ أَنْ يُصَلِّي اثْنَتَيْنِ اثْنَتَينِ لِقَولِهِ عَلَيْه الصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ : صَلاَةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى وَهَذَا خَبَرٌ مَعْنَاهُ الأَمْر.

“ Apabila bentuknya (lain), ia sholat pada sebagian malam 11 raka’at dan pada sebagian waktu lainnya 13 maka tidaklah mengapa padanya, maka semuanya adalah Sunnah, akan tetapi tidak boleh untuk sholat 4 raka’at langsung, bahkan yang wajib adalah seseorang sholat dua raka’at dua raka’at, sebagaimana sabda alaihis sholatu was salam: “Sholat malam dua dua.” Ini khobar bermakna perintah.” [Majmu’ Fatawa Ibnu Baz (11/175)]

20  Hukum dzikir bersama diantara 2 raka’at Tarowih dan Khutbah setelah Tarowih?
Telah ditanya Syaikhuna Yahya Al-Hajuri hafidzohulloh:
“Apakah hukum membaca dzikir berjama’ah diantara sholat Tarowih dan khutbah diantara kedunya?”
Jawab:
“ Perbuatan ini adalah muhdats, tidak diketahui bahwasanya Nabi sholallohu alaihi wa sallam berdzikir pada setiap selesai dari 2 raka’at atau 4 raka’at. Dan tidak diketahui pula bahwasanya mereka (salaf sholih) melakukan demikian. Dan tidak pula diketahui juga mereka melakukan dzikir atau tasbih bersama-sama sebagaimana dilakukan orang-orang juhhal (tidak tahu). Dan ini adalah termasuk dari muhdats (perkara baru), barang siapa membuat perkara baru di agama kami yang tidak ada asalnya, maka dia tertolak.”  [Lihat Ithaful Kirom (hal.384)]

21  Hukum sholawat Nabi  setelah sholat Tarowih!
Telah ditanya Syaikhuna Yahya hafidzohulloh:
“Manusia berdiri ketika selesai dari sholat Tarowih dengan mengangkat suaranya dengan sholawat kepada Nabi sholallohu alaihi wa sallam, dan mereka menamakan dengan adzan sholawat?”
Jawab:
“ Ini tidak disyari’atkan, dan yang benar datang dari hadits Ubay bin Ka’ab rodhiyaAllohu anhu, bahwasanya Nabi sholallohu alaihi wa sallam apabila selesai dari witr, membaca:
« سُبْحَانَ المَلِكِ القُدُّوْسِ، سُبْحَانَ المَلِكِ القُدُّوْسِ، سُبْحَانَ المَلِكِ القُدُّوْسِ»
Dan mengeraskan suaranya, dan inilah yang tsabit (pasti) dan hadits tersebut terdapat di Shohih Musnad oleh Syaikhuna rohimahulloh.  [Lihat Al-Jami’us Shohih (no.1059). Lihat Ithaful Kirom (hal.385)]



22  (macam²) Tata cara sholat Tarowih!
Asy-Syaikh Al-‘Allamah Muhammad Nashirirddin Al-Albani rohimahulloh berkata:
Cara pertama:
13 raka’at, dibuka dengan 2 sholat ringan, yang 2 raka’at tersebut adalah paling kuat sunnah setelah sholat ‘Isya, atau 2 raka’at khusus untuk membuka sholat malam sebagaimana telah lewat. kemudian sholat 2 raka’at yang panjang sekali, kemudian sholat 2 raka’at yang lebih pendek dari sebelumnya, kemudian sholat 2 raka’at yang lebih pendek dari 2 sebelumnya, kemudian sholat 2 raka’at yang lebih pendek dari sebelumnya, kemudian sholat 2 raka’at yang lebih pendek dari sebelumnya, setelah itu witir satu raka’at.
Cara kedua:
Sholat 13 raka’at, 8 raka’at dengan salam setiap 2 raka’at, kemudian witir dengan 5 raka’at, tidak duduk dan tidak salam kecuali pada raka’at ke-5.
Cara ketiga:
11 raka’at, salam setiap dua raka’at dan witir 1 raka’at.
Cara keempat:
11 raka’at, sholat 4 raka’at dengan satu kali salam, kemudian melakukan 4 raka’at seperti itu juga, kemudian 3 raka’at. Dan apakah Nabi sholallohu alaihi wa sallam duduk pada setiap 2 raka’at pada sholat 4 atau 3? Kami belum menemukan jawaban yang memuaskan pada hal tersebut, akan tetapi pada saat rakaat ketiga tidak disyari’atkan.
Cara kelima:
Sholat 11 raka’at, dengan 8 raka’at dengan tidak duduk kecuali pada raka’at ke-8, bertasyahhud dan sholawat kepada Nabi sholallohu alaihi wa sallam, tidak salam kemudian berdiri, setelah itu witir dengan satu raka’at, kemudian salam, maka 9 raka’at. Kemudian sholat 2 raka’at dalam keadaan dia duduk.
Cara keenam:
Sholat 9 raka’at, yang diantaranya dia sholat 6 raka’at, yang dia tidak duduk kecuali pada raka’at ke-6, kemudian bertasyahud dan bersholawat kepada Nabi sholallohu alaihi wa sallam kemudian….sampai terakhir sebagaimana dalam tata cara sebelumnya. (-selesai penukilan-)  [Lihat Qiyam Romadhon (hal.19-20)]



23  Tidak ada sholat tarowih pada malam ‘Ied.
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rohimahulloh berkata:
إِذَا ثَبَتَ الهِلَالُ لَيْلَةُ الثَّلاَثِيْنَ مِنْ رَمَضَانَ، فَإِنَّهَا لاَ تُقَامُ صَلاَةُ التَّرَاوِيْحَ، وَلاَ صَلاَةُ القِيَامِ، ذَلِكَ لِأَنَّ صَلاَةَ التَّرَاوِيْحَ وَالقِيَامَ إِنَّمَا هِيَ فِي رَمَضَانَ، فَإِذَا ثَبَتَ خُرُوجُ الشَّهْرِ فَإِنَّهَا لاَ تُقَامُ.
“ Apabila telah tetap hilal malam ke-30 dari Romadhon, maka tidak ditegakkan sholat tarowih, dan tidak pula sholat Qiyam, karena sholat tarowih dan Qiyam hanyalah pada bulan Romadhon. Maka apabila telah tetap keluarnya bulan, maka tidak ditegakkan sholat tarowih.”  [Lihat “Majmu’ Fatawa wa Rosa’il Ibnu Utsaimin” (14/165)]

24  Bacaan pada raka’at witr
عَنْ أُبَيٍّ بْنِ كَعْبٍ ا قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللُه عَلَيهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ فِي الوِتْرِ بِـ {سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى } [الأعلى: 1]  و {قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ} [الكافرون: 1] و {قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ} [الإخلاص: 1]       
Dari Ubay bin Ka’ab rodhiyaAllohu anhu berkata: dahulu Rosululloh sholallohu alaihi wa sallam membaca pada witirnya dengan :
{سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى } [الأعلى: 1]  و {قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ} [الكافرون: 1] و {قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ} [الإخلاص: 1]
Sabhis robbikal a’la (al a’la), qul ya ayyuhal kafirun (al kafirun), qul huwawllahu ahad (Al Ikhlas) [HR. ‘Abdulloh bin Ahmad dalam “Zawa’id Musnad” (5/123) dan hadits dishohihkan oleh Asy-Syaikh Muqbil Al-Wadi’I rohimahulloh dalam Al-Jami’us Shohih (no.1059)]
Dan Nabi sholallohu alaihi wa sallam melakukan witr dengan dua raka’at dan satu raka’at;
عَنْ عَائِشَةَ ب قَالَتْ: كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللُه عَلَيهِ وَسَلَّمَ يُسَلِّمُ فِي كُلِّ ثِنْتَيْنِ، وَيُوْتِرُ بِوَاحِدَةٍ.
Dari ‘Aisyah rodhiyaAllohu anha berkata: Rosululloh sholallohu alaihi wa sallam salam pada setiap 2 raka’at, dan witr dengan 1 raka’at.”  [HR. Ibnu Majah (1/372) dan hadits dishohihkan oleh Asy-Syaikh Muqbil rohimahulloh dalam Al-Jami’us Shohih (no.1062)]
TANBIH  PERTAMA:
Asy-Syaikh Ibnu Baz rohimahulloh berkata:
وَأَمَّا مَا وَرَدَ مِن قِرَاءَةِ السُّوَرِ الثَّلاَثِ الأَخِيْرَةِ مِنَ القُرْآنِ فَضَعِيْفٌ وَالمَحْفُوظُ أَنْ يَقْرَأَ بَعْدَ الفَاتِحَةِ سُوْرَةَ ( قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ ) فَقَطْ فيِ الرَّكْعَةِ الَّتِي يُوْتِرُ بِهَا.

“ Adapun apa yang datang riwayat dari membaca 3 surat terkahir dari Al-Qur’an adalah dhoif (lemah). Dan yang terjaga (riwayatnya) adalah setelah membaca Al-Fatihah membaca surat Al-Ikhlas saja pada raka’at yang ia witir dengannya.”  [Lihat Majmu’ Fatawa Ibnu Baz (11/193)]
TANBIH  KEDUA:
Asy-Syaikh Ibnu Baz rohimahulloh berkata:
وَلاَ يَجُوزُ أَنْ يُوْتِرَ بِثَلاَثٍ كَالمَغْرِبِ حَيْثُ يَجْلِس فِي الثَّانِيَةِ وَإِنْ تَشَهَّدَ التَّشَّهُد الأَوَّل ثُمَّ يَقُومُ إِلَى الثَّالِثَةِ ؛ لِأَنَّ الرَّسُولَ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ نَهَى أَنْ يُشَبِّهَ الوِتْرَ بِالمَغْرِبِ
“ Tidak boleh witir dengan 3 raka’at seperti maghrib, yaitu ketika ia duduk pada raka’at kedua yang apabila tasyahhud ia tasyahhud pertama kemudian berdiri untuk (raka’at) ketiga, karena Rosul shollallohu alaihi wa sallam melarang untuk kita menyerupakan witir dengan maghrib.”  [Lihat Majmu’ Fatawa Ibnu Baz (11/200)]


25  Do’a Qunut disaat witr
عَنِ الحَسَنِ بْنِ عَلِيٍّ ا: عَلَّمَنِي رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللُه عَلَيهِ وَسَلَّمَ كَلِمَاتٍ أَقُولُهُنَّ فِي الوِتْرِ أَوْ قَالَ فِي قُنُوْتِ الوِتْرِ: «اللَّهُمَّ اهْدِنِي فِيْمَنْ هَدَيْتَ، وَعَافَنِي فِيْمَنْ عَافَيْتَ، وَتَوَلَّنِي فِيْمَنْ تَوَلَّيْتَ، وَبَارِكْ لِي فِيْمَا أَعْطَيْتَ، وَقِنِي شَرَّ مَا قَضَيْتَ، إِنَّكَ تَقْضِي وَلاَ يُقْضَى عَلَيْكَ، وَإِنَّهُ لاَ يَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ، وَلاَ يَعِزُّ مَنْ عَادَيْتَ، تَبَارَكْتَ وَتَعَالَيْتَ»
Dari Al-Hasan bin ‘Ali: Rosululloh sholallohu alaihi wa sallam mengajarkan kepadaku kalimat yang aku ucapkan pada witr atau pada Qunut witr: (menyebuntukan do’a diatas).  [HR.Abu Dawud (4/300) dan hadits dishohiHkan oleh Asy-Syaikh Muqbil rohimahulloh dalam Al-Jami’us Shohih (no.1066)]
Syaikhhul Islam Ibnu Taimiyyah rohimahulloh berkata:
وَأَمَّا القُنُوتُ فِى الوِتْرِ فَهُوَ جَائِزٌ وَلَيْسَ بِلاَزِمٍ فَمِنْ أَصْحَابِهِ مَنْ لَمْ يَقْنُتْ وَمِنْهُمْ مَنْ قَنَتَ فِى النِّصْفِ الأَخِيْرِ مِنْ رَمَضَانَ وَمِنْهُمْ مَنْ قَنَتَ السَّنَةَ كُلَّهَا... إِلَى قَولِهِ: وَالجَمِيْعُ جَائِزٌ فَمَنْ فَعَلَ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ فَلاَ لَومَ عَلَيهِ، وَاللهُ أَعْلَمُ.
“ Adapun Qunut pada witir maka ia itu boleh dan bukanlah perkara yang harus, maka dari shohabatnya ada yang tidak qunut, dan sebgaian lagi ada yang qunut pada pertengahan terkahir dari Romadhon dan sebagian lagi ada qunut pada satu tahun semuanya sampai perkataannya dan semuanya itu boleh, maka barang siapa melakukan hal tersebut maka tidak celaan baginya, waAllohu a’lam.”  [Lihat“Majmu’ Fatawa”]
26  Keadaan salaf pada sholat tarowih
كَانَ سُوَيْدُ بْنِ غَفْلَةٍ يَؤُمُّنَا فِي شَهْرِ رَمَضَانَ فِي القِيَامِ وَقَدْ أَتَى عَلَيهِ عِشْرُونَ وَمَائَةَ سَنَةٍ.
“ Adalah Suwaid bin Ghoflah mengimami kami pada bulan Romadhon dalam keadaan umurnya sudah 120 tahun.”  [Lihat “Hilyatul Auliya’” (4/175)]


oleh Ust. Abu Muhammad Fuad Hasan Ngawi hafidzhohulloh yang dipost di majmuah salafiyun

Berhutang Atau Berniaga Lebih Baik Daripada Meminta-minta

Berhutang Atau Berniaga Lebih Baik Daripada Meminta-minta Ditulis oleh: Abu Fairuz Abdurrohman Al Qudsy Al Jawy Al Indonesy -semoga Alloh me...