ِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ
الرَّحِيمِ
SILSILAH MAJLIS ROMADHON
Sholat Tarowih
1 Asal
penamaan sholat Tarowih
Ibnul Qoyyim rohimahulloh mengatakan:
إِنَّمَا سُمِّيَ تَرَاوِيْحُ لِمَا يَتَخَلِّلُهُ مِنَ الإِسْتِرَاحَةِ بَعْدَ
كُلِّ تَرْوِيْحَةٍ.
“Dinamakan
tarowih karena diselinginya hal tersebut dengan istirahat pada setiap tarwiihah
(duduk istirahat setelah 4 raka’at pada malam-malam Romadhon).” [lihat “Bada’I Fawaid” (4/918)]
2 Pengertian sholat Tarowih
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rohimahulloh mengatakan:
التَّرَاوِيْحُ: قِيَامُ اللَّيْلِ جَمَاعَةً فِي رَمَضَانَ، وَوَقْتُهَا
مِنْ بَعْدِ صَلاَةِ العِشَاءِ إِلَى طُلُوعِ الفَجْرِ.
“ Tarowih adalah Qiyamul lail secara jama’ah pada
(bulan) Romadhon, dan waktunya adalah setelah ‘Isya sampai munculnya Fajr.” [lihat📘“Majmu Fatawa Ibnu Utsaimin”
(14/139)]
3 Sejarah sholat Tarowih
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- صَلَّى فِى الْمَسْجِدِ
ذَاتَ لَيْلَةٍ فَصَلَّى بِصَلاَتِهِ نَاسٌ ثُمَّ صَلَّى مِنَ الْقَابِلَةِ فَكَثُرَ
النَّاسُ ثُمَّ اجْتَمَعُوا مِنَ اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِ أَوِ الرَّابِعَةِ فَلَمْ
يَخْرُجْ إِلَيْهِمْ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَلَمَّا أَصْبَحَ قَالَ
« قَدْ رَأَيْتُ الَّذِى صَنَعْتُمْ فَلَمْ يَمْنَعْنِى مِنَ الْخُرُوجِ إِلَيْكُمْ
إِلاَّ أَنِّى خَشِيتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ ». قَالَ وَذَلِكَ فِى رَمَضَانَ.
Dari ‘Aisyah bahwasanya Rosululloh shollallohu
alaihi wa sallam sholat di masjid pada suatu malam, maka orang-orang sholat
dengan sholatnya, kemudian sholat pada malam berikutnya maka orang-orang
semakin banyak. Kemudian mereka berkumpul pada malam ketiga atau keempat, dan
Rosululloh tidak keluar kepada mereka, maka ketika waktu shubuh Rosululloh
mengatakan: “Sungguh aku telah melihat apa yang kalian lakukan, maka tidaklah
menghalangi diriku untuk keluar kepada kalian kecuali aku takut untuk
diwajibkan kepada kalian.” Dan hal itu pada bulan Romadhon. [HR. Al-Bukhori dan
Muslim (no.761)]
Al-Qolyuubi mengatakan:
هَذَا يُشْعِرُ أَنَّ صَلاَةَ التَّرَاوِيحِ لَمْ تُشْرَعْ إِلاَّ فِي آخِرِ
سِنِي الْهِجْرَةِ لأَِنَّهُ لَمْ يَرِدْ أَنَّهُ صَلاَّهَا مَرَّةً ثَانِيَةً وَلاَ
وَقَعَ عَنْهَا سُؤَالٌ
“ Ini menunjukkan bahwa sholat tarowih tidaklah disyari’atkan
kecuali pada akhir-akhir tahun Hijroh, karenanya tidak pernah disebuntukan
riwayat bahwasanya beliau sholat kedua kalinya dan tidak pula ada darinya
pertanyaan.” [lihat📗“Syarhul
Muhalla wa Hasyiyah Al-Qolyuubi” (1/217)]
Al-Aqfahsiy mengatakan:
أَنَّهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى بِهِمْ ثَلَاثَ لَيَالٍ
وَلَمْ يَخْرُجْ إلَيْهِمْ الرَّابِعَةَ ، فَلَمَّا كَانَ صَدْرٌ مِنْ خِلَافَةِ عُمَرَ
بِنَحْوِ سَنَتَيْنِ أَتَى الْمَسْجِدَ فَوَجَدَهُمْ يُصَلُّونَ أَفْذَاذًا فَجَمَعَ
الرِّجَالَ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ وَالنِّسَاءَ عَلَى تَمِيمٍ الدَّارِيِّ لِأَنَّهُ
أَمِنَ أَنْ تُفْرَضَ
“ Bahwasanya beliau shollallohu alaihi wa sallam
menyolati mereka selama 3 malam dan tidak keluar kepada mereka pada hari ke-4,
maka ketika diawal khilafah ‘Umar sekitar 2 tahun; ia mendatangi masjid seraya
mendapati mereka sholat sendiri-sendiri, maka lelaki dikumpulkan atas Ubay bin
Ka’ab dan para perempuan atas Tamim Ad-Dari, karena sudah aman untuk
diwajibkan.”
4 Perbedaan antara Qiyamul Lail, Tahajjud dan
Tarowih
Asy-Syaikh Ibnu Baz rohimahulloh mengatakan:
الصَّلاَةُ فِي اللَّيلِ تُسَمَّى تَهَجُّدًا وَتُسَمَّى قِيَامُ اللَّيْلِ
، كَمَا قَالَ اللهُ تَعَالَى : وَمِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَكَ
وقال سبحانه : يَا أَيُّهَا الْمُزَّمِّلُ قُمِ اللَّيْلَ إِلا قَلِيلًا وقال سبحانه
في سورة الذاريات عن عباده المتقين : آخِذِينَ مَا آتَاهُمْ رَبُّهُمْ إِنَّهُمْ كَانُوا
قَبْلَ ذَلِكَ مُحْسِنِينَ كَانُوا قَلِيلًا مِنَ اللَّيْلِ مَا يَهْجَعُونَ
أَمَّا التَّرَاوِيْحُ فَهِيَ تُطْلَقُ عِنْدَ العُلَمَاءِ عَلَى قِيَامِ
اللَّيْلِ فِي رَمَضَانَ أَوَّلُ اللَّيْلِ مَعَ مُرَاعَاةِ التَّخْفِيْفِ وَعَدَمِ
الإِطَالَةِ وَيَجُوزُ أَنْ تُسَمَّى تَهَجُّدًا وَأَن تُسَمَّى قِيَامًا لِلَّيْلِ
وَلاَ مُشَاحَةَ فِي ذَلِكَ.
“ Sholat pada waktu malam dinamakan dengan
tahajjud dan dinamakan juga Qiyamul Lail, sebagaimana firman Alloh ta’ala:
وَمِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَكَ
“ Dan dari sebagian malam, lakukanlah oleh kalian
tahajjud sebagain bentuk ibadah tambahan bagimu.”
يَا أَيُّهَا الْمُزَّمِّلُ قُمِ اللَّيْلَ إِلا قَلِيلًا
“ Wahai orang yang berselimut, bangunlah pada
waktu malam kecuali sebagian kecil”
Alloh
subhanahu wa ta’ala berfirman dalam surat Adz-Dzariyat tentang
orang-orang yang bertaqwa:
آخِذِينَ مَا آتَاهُمْ
رَبُّهُمْ إِنَّهُمْ كَانُوا قَبْلَ ذَلِكَ مُحْسِنِينَ كَانُوا قَلِيلًا مِنَ اللَّيْلِ
مَا يَهْجَعُونَ
“ Mereka mengambil apa yang diberikan Robb kepada
mereka. Sesungguhnya mereka sebelum itu di dunia adalah orang-orang yang
berbuat baik. Mereka pada waktu malam sedikit di tempat tidur mereka.”
Adapun Tarowih, dia dimutlakkan oleh ‘Ulama atas
penamaan Qiyamul Lail pada Romadhon pada awal malam dengan memerhatikan
keringanan tanpa memperpanjang raka’at. Dan boleh juga dinamakan dengan
tahajjud dan boleh juga dinamakan
Qiyamul Lail, dan tidak ada yang perlu diperdebatkan.” [Majmu’ Fatawa Ibnu Baz
(11/172)]
5 Rofidhoh mengingkari sholat tarowih.
Lajnah Daimah berfataua:
وَلاَ يُنْكِرُ التَّرَاوِيْحَ
إِلاَّ أَهْلُ البِدَعِ مِنَ الرَّافِضَةِ
“ Tidaklah ada yang mengingkari tarowih kecuali
Ahlul Bid’ah dari Rofidhoh.” [lihat
“Lajnah Daimah” (7/194)]
6 Sholat tarowih selain bulan Romadhon adalah
bid’ah!
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rohimahulloh mengatakan:
«التَّراويحَ في غير
رمضان بِدْعةٌ ، فلو أراد النَّاس أنْ يجتمعوا على قيام الليل في المساجد جماعة في
غير رمضان لكان هذا من البِدع .ولا بأس أن يُصلِّي الإنسانُ جماعة في غير رمضان في
بيته أحياناً ؛ لفعل الرسول صلى الله عليه وسلم : " فقد صَلَّى مرَّةً بابن عبَّاس
، ومرَّةً بابن مسعود ومرَّةً بحذيفة بن اليمان ، جماعة في بيته " لكن لم يتَّخذْ
ذلك سُنَّة راتبةً ، ولم يكن أيضاً يفعله في المسجد» .
“ Sholat Teraweh selain bulan Romadhon adalah
bid’ah, kalau seandainya orang-orang hendak berkumpul untuk melaksanakan
Qiyamul Lail di masjid secara jama’ah selain bulan Romadhon, maka hal tersebut
termasuk dari bid’ah. Dan tidaklah mengapa bagi seorang untuk sholat secara
jama’ah selain bulan Romadhon di rumahnya dengan kadang-kadang, sebagaimana
perbuatan Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam; yang beliau pernah sholat
pada suatu hari dengan Ibnu ‘Abbas, dan pernah suatu kali dengan Ibnu Mas’ud,
pernah suatu kali juga dengan Hudzaifah Ibnul Yaman secara jama’ah di rumahnya.
Akan tetapi tidaklah dijadikan hal tersebut sunnah rotibah, dan beliau tidaklah
pernah juga melakukannya di masjid.” [lihat
“Asy-Syarhul Mumti’” (4/60-61)]
7 Sholat tarowih adalah sunnah yang dihidupkan
oleh ‘Umar
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدِ الْقَارِيَّ ، قَال : خَرَجْتُ مَعَ
عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ - رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ - لَيْلَةً فِي رَمَضَانَ
إِلَى الْمَسْجِدِ ، فَإِذَا النَّاسُ أَوْزَاعٌ مُتَفَرِّقُونَ ، يُصَلِّي الرَّجُل
لِنَفْسِهِ ، وَيُصَلِّي الرَّجُل فَيُصَلِّي بِصَلاَتِهِ الرَّهْطُ ، فَقَال عُمَرُ
: إِنِّي أَرَى لَوْ جَمَعْتُ هَؤُلاَءِ عَلَى قَارِئٍ وَاحِدٍ لَكَانَ أَمْثَل ، ثُمَّ
عَزَمَ فَجَمَعَهُمْ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ ، ثُمَّ خَرَجْتُ مَعَهُ لَيْلَةً أُخْرَى
وَالنَّاسُ يُصَلُّونَ بِصَلاَةِ قَارِئِهِمْ ، فَقَال : نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ هَذِهِ
، وَاَلَّتِي يَنَامُونَ عَنْهَا أَفْضَل مِنَ الَّتِي يَقُومُونَ . يُرِيدُ آخِرَ
اللَّيْل ، وَكَانَ النَّاسُ يَقُومُونَ أَوَّلَهُ
“ Dari ‘Abdurrohman bin ‘Abdil Qori’ mengatakan:
Aku keluar bersama ‘Umar bin Al-Khotthob rodhiyaAllohu pada malam Romadhon ke
masjid, maka orang-orang dalam keadaan berpencar dan terpisah-pisah; yang
seorang sholat sendiri dan ada yang sholat dengan ma’mum berjumlah puluhan.
Maka ‘Umar mengatakan: aku melihat untuk menggabung mereka pada satu Qori’,
maka hal itu lebih bagus. Kemudian bertekad untuk mengumpulkan mereka atas Ubay
bin Ka’ab, kemudian aku keluar bersamanya pada malam yang lain, dan orang-orang
sholat dengan sholatnya Imam mereka, maka ‘Umar mengatakan: “Sebagus-bagus
bid’ah adalah ini. Dan orang-orang yang tidur darinya lebih afdhol dari orang
mengerjakan pada (waktu itu).” Yang dimaksudkan ‘Umar adalah waktu akhir malam.
Dan orang-orang pada waktu itu mengerjakan sholat (tarowih) pada awal waktu.” [HR. Al-Bukhori]
وَرَوَى أَسَدُ بْنُ عَمْرٍو عَنْ أَبِي يُوسُفَ قَال : سَأَلْتُ أَبَا حَنِيفَةَ
عَنِ التَّرَاوِيحِ وَمَا فَعَلَهُ عُمَرُ ، فَقَال : التَّرَاوِيحُ سُنَّةٌ مُؤَكَّدَةٌ
، وَلَمْ يَتَخَرَّصْ عُمَرُ مِنْ تِلْقَاءِ نَفْسِهِ ، وَلَمْ يَكُنْ فِيهِ مُبْتَدِعًا
، وَلَمْ يَأْمُرْ بِهِ إِلاَّ عَنْ أَصْلٍ لَدَيْهِ وَعَهْدٍ مِنْ رَسُول اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَقَدْ سَنَّ عُمَرُ هَذَا وَجَمَعَ النَّاسَ
عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ فَصَلاَّهَا جَمَاعَةً وَالصَّحَابَةُ مُتَوَافِرُونَ مِنَ
الْمُهَاجِرِينَ وَالأَْنْصَارِ وَمَا رَدَّ عَلَيْهِ وَاحِدٌ مِنْهُمْ ، بَل سَاعَدُوهُ
وَوَافَقُوهُ وَأَمَرُوا بِذَلِكَ
Diriwayatkan Asad bin ‘Amr dari Abu Yusuf
mengatakan: aku bertanya kepada Abu Hanifah tentang tarowih dana pa yang
dilakukan ‘Umar, maka ia menjawab: Tarowih adalah Sunnah muakkadah, dan ‘Umar
tidaklah mengada-ada dari dirinya sendiri, dan ia tidaklah seorang yang
mubtadi’, dan ia tidaklah memerintahkan dengan hal tersebut kecuali ada asalnya
dari zaman Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam. Maka sungguh ia telah
mencocoki Sunnah, dan mengumpulkan orang-orang atas Ubay bin Ka’ab, yang
kemudian sholat tarowih dengan berjama’ah dalam keadaan shohabat dari Muhajirun
dan Anshor banyak pada waktu itu. Dan tidak ada satupun dari mereka menolak hal
tersebut, bahkan membantu serta menyepakati dan memerintahkan untuk hal
tersebut.” [lihat“Al-Ikhtiyaar”
(1/68-69)]
8 Keutamaan sholat tarowih!
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللُه عَلَيهِ
وَسَلَّمَ قَالَ: »مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ
مِنْ ذَنْبِهِ»
Dari Abu Huroiroh rodhiyaAllohu anhu ia berkata;
dari Nabi shollallohu alaihi wa sallam: “Barang siapa yang mendirikan sholat
(sunnah) pada malam-malam bulan Romadhon dengan penuh keimanan dan mengharap
ampunan Alloh, diampuni dosa-dosanya yang lampau” [📌HR. Al-Bukhori
(no.37) Muslim (no.759)]
9 Bolehnya wanita menghadiri sholat tarowih
عَنْ عَمْرو بْنِ حُرَيْثٍ، قَالَ: أَمَرَنِي عُمَرُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ
أَنْ أَؤُمَّ النِّسَاءَ فِي رَمَضَانَ.
Dari ‘Amr bin Huroits mengatakan: “‘Umar
rodhiyaAllohu anhu memerintahkan kepadaku untuk mengimami wanita pada (bulan)
Romadhon.” [lihat“Siyar A’lamin Nubala”
(3/419)]
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rohimahulloh mengatakan:
وَلاَ بَأْسَ بِحُضُورِ النِّسَاءِ صَلاَةُ الترَاوِيْح إِذَا أُمِنَتِ الفِتْنَةُ
بِشَرْطٍ أَنْ يَخْرُجْنَ مُحَتَشِّمَاتٍ غَيْرُ مُتَبَرِّجَاتٍ بِزِينَةٍ وَلاَ مُتَطَيِّبَاتٍ.
“ Tidak mengapa untuk wanita menghadiri sholat
tarowih apabila aman dari fitnah dengan syarat mereka keluar dengan tertutup
tanpa bertabarruj (berhias) dengan perhiasan dan tidak pula dengan wewangian.” [lihat “Majmu Fatawa Ibnu Utsaimin” (14/140)]
10 Tolak ukur dalam memanjangkan bacaan
Al-Kasaani rohimahulloh mengatakan:
وَأَمَّا فِي زَمَانِنَا فَالْأَفْضَلُ أَنْ يَقْرَأَ الْإِمَامُ عَلَى حَسَبِ
حَالِ الْقَوْمِ مِنْ الرَّغْبَةِ وَالْكَسَلِ فَيَقْرَأُ قَدْرَ مَا لَا يُوجِبُ تَنْفِيرَ
الْقَوْمِ عَنْ الْجَمَاعَةِ ؛ لِأَنَّ تَكْثِيرَ الْجَمَاعَةِ أَفْضَلُ مِنْ تَطْوِيلِ
الْقِرَاءَةِ وَالْأَفْضَلُ تَعْدِيلُ الْقِرَاءَةِ
فِي التَّرْوِيحَاتِ كُلِّهَا ، وَإِنْ لَمْ يُعَدِّلْ فَلَا بَأْسَ بِهِ.
“ Adapun di zaman kita, maka yang lebih afdhol
adalah seorang Imam membaca sesuai dengan keadaan orang-orang disitu dari
semangat dan malas. Maka ia membaca sesuai dengan kadar yang tidak melarikan
orang-orang dari jama’ah, karena memperbanyak jama’ah lebih afdhol dari
memanjangkan bacaan. Dan yang afdhol adalah menyama ratakan bacaan pada tarowih
semuanya, dan kalaupun tidak menyama ratakan maka tidaklah mengapa.” [Bada’I Ash-Shona’I fie tartiib Asy-Syaro’I”
(3/150)]
Asy-Syaikh Ibnu Baz rohimahulloh mengatakan:
العِبْرَةُ بِالأَكْثَرِيَّةِ وَالضُّعَفَاءِ ، فَإِذَا كَانَ الأَكْثَرِيَةُ
يَرْغَبُونَ فِي الإِطَالَةِ بَعْضُ الشَّيءِ وَلَيْسَ فِيْهِمْ مَنْ يُرَاعَى مِنَ
الضَّعَفَةِ وَالمَرْضَى أَو كِبَارِ السِّنِّ فَإِنَّهُ لاَ حَرَجَ فِي ذَلِكَ ، وَإِذَا
كَانَ فِيْهِمْ الضَّعِيْفُ مِنَ المَرْضَى أَوْ مِنْ كِبَارِ السِّنِّ فَيَنْبَغِي
لِلإِمَامِ أَنْ يَنْظُرَ إِلَى مَصْلَحِتِهِمْ .
“ Yang menjadi tolak ukur adalah mayoritas dan
para dhu’afa. Maka apabila mayoritas menginginkan untuk memperpanjang pada
sesuatu serta tidak ada diantara mereka dari pada dhu’afa, sakit dan orang tua,
maka tidaklah mengapa hal tersebut. Dan apabila terdapat pada mereka orang
fisik lemah, sakit atau orang tua, maka sepantasnya bagi Imam untuk melihat
kepada maslahat mereka.” [lihat “Majmu’
Fatawa wa Maqolat Ibnu Baz” (11/184)]
11 Ketentuan meringankan bacaan
عَنْ أَبِي عُثْمَانَ ، أَنَّ عُمَرَ بْنِ الخُطَّابِ ، « دَعَا ثَلاَثَةٌ
قُرَّاءٍ فِي شَهْرِ رَمَضَانِ ، فَأَمَرَ بَأَسْرِعِهِمْ قِرَاءَةً يَقْرَأُ ثَلاَثِينَ
آيَةً وَبِأَوْسَطِهِمْ أَنْ يَقْرَأَ خَمْسًا وَعِشْرِينَ آيَةً ، وَأَمَرَ بَأَطْوَلِهِمْ
أَنْ يَقْرَأَ عِشْرِينَ آيَةً »
Dari Abi Utsman: bahwa ‘Umar bin Al-Khotthob
memanggil 3 Qurro’ pada bulan Romadhon, maka ‘Umar memerintahkan untuk paling
cepat bacaannya untuk membaca 30 ayat. Dan yang paling sedang bacaannya untuk
membaca 25 ayat. Dan memerintahkan yang paling lama bacaannya untuk membaca 20
ayat.” [AR. Al-Firyabi dalam
“Ash-Shiyam” (no.165)]
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rohimahulloh mengatakan:
فَالإِنْسَانُ الَّذِي لَهُ وِلَايَةٌ عَلَى طَائِفَةٍ مِنَ النَّاسِ يَجِبُ
أَنْ يُرَاعِي النَّاسَ إِذَا كَانَ إِمَامًا فَليُخَفِّفْ، وَلَكِنْ مَا مِيْزَانُ
التَّخْفِيْفِ المَطْلُوبِ؟ مِيْزَانُهُ هِيَ صَلاَةُ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ
وَسَلَّمَ، وَلِهَذَا قَالَ أنَسٌ: "مَا صَلَّيْتُ وَرَاءَ إِمَامٍ قَطٍّ أَخَفُّ
وَلاَ أَتَمُّ صَلاَةً مِنْ صَلاَةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ"،
فَالتَّخْفِيفُ لَيسَ يَنْقُرُهَا الإِنْسَانُ نَقْرَ الغُرَابِ، وَلَكِنْ أَنْ يُصَلِّيَ
كَمَا كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي.
“ Seorang manusia yang ia mempunyai kewenangan
atas sebagian sekelompok dari manusia; wajib untuk memerhatikan manusia apabila
menjadi imam maka hendaknya meringankan, akan tetapi apa timbangan dalam
meringangkan yang dimaukan? Ukurannya adalah sholatnya Nabi shollallohu alaihi
wa sallam, oleh karena itu Anas mengatakan: “Tidaklah aku sholat di belakang
Imam yang lebih ringan dan sempurna daripada sholat Nabi shollallohu alaihi wa
sallam”, maka meringankan itu tidaklah sebagaimana seseorang mencocoknya burung
gagak dengan paruhnya, dan akan tetapi hendaknya ia sholat sebagaimana Nabi
shollallohu alaihi wa sallam sholat.” [Lihat
“Majmu Fatawa Ibnu Utsaimin” (14/106)]
12 Wajibnya thuma’ninah dalam sholat tarowih.
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rohimahulloh mengatakan:
وَلَكِنَّ الأَمْرَ الَّذِي يَنْبَغِي أَنْ يَهْتَمَّ بِهِ التَّأَنِّي فِي
صَلاَةِ التَّرَاوِيْحِ، وَأَن لاَ يَفْعَلَ مَا يَقُومُ بِهِ بَعْضُ النَّاسِ مِنَ
الإِسْرَاعِ الَّذي قَدْ يَخِلُّ بِوَاجِبِ الطُّمَانِيْنَةِ، أَوْ يَمْنَعُ بَعْضُ
المَأْمُومِيْنَ مِنْهَا.
Akan tetapi perkara yang perlu diperhatikan
adalah tenang ketika sholat tarowih. Dan ia tidaklah melakukan apa yang
diperbuat sebagain manusia dari cepat yang terkadang melupuntukan dari
kewajiban tuma’ninah atau menghalangi sebgaian ma’mum dari thuma’ninah.” [lihat“Majmu Fatawa Ibnu Utsaimin” (14/126)]
13 Disunnahkan memanjangkan bacaan ketika 10
terakhir Romadhon
عَنْ نُعَيْمِ بْنِ زِيَادٍ أَبي طَلْحَةَ قَالَ: سَمِعْتُ النُّعْمَانَ بْنَ
بَشِيرٍ عَلَى مِنْبَرِ حِمْصَ يَقُولُ قُمْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ لَيْلَةَ ثَلَاثٍ وَعِشْرِينَ إِلَى ثُلُثِ
اللَّيْلِ الْأَوَّلِ ثُمَّ قُمْنَا مَعَهُ لَيْلَةَ خَمْسٍ وَعِشْرِينَ إِلَى نِصْفِ
اللَّيْلِ ثُمَّ قُمْنَا مَعَهُ لَيْلَةَ سَبْعٍ وَعِشْرِينَ حَتَّى ظَنَنَّا أَنْ
لَا نُدْرِكَ الْفَلَاحَ وَكَانُوا يُسَمُّونَهُ السُّحُورَ
Dari Nu’aim bin Ziyad Abu Tholhah berkata: aku
mendengar Nu’man bin Basyir diatas minbar Himsh mengatakan: Kami berdiri
(sholat) bersama Rosululloh pada bulan Romadhon malam 23 sampai sepertiga malam
yang awal. Kemudian kami mendirikan sholat bersamanya pada malam 25 sampai
pertengahan malam, kemudian kami mendirikan sholat bersamanya pada malam 27
sampai kami mengira tidak bisa mendapatkan Falaah, yang mereka menamakan dengan
sahur.” [HR. An-Nasa’I (no.1606) dan
dihasankan oleh Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’I dalam Al-Jami’us Shohih
(no.1084)]
Asy-Syaikh Ibnu Baz rohimahulloh mengatakan:
وَلَكِنْ فِي العَشْرِ الأَخِيْرَةِ يُسْتَحَبُّ الإِطَالَةُ لِأَنَّهُ يُشْرَعُ
إِحيَاؤُهَا بِالصَّلاَةِ وَالقِرَاءَةِ وَالدُّعَاءِ لِأَنَّ الرَّسُولَ عَلَيهِ الصَّلاَةُ
وَالسَّلاَمُ كَانَ يُحْيِي اللَّيلَ كُلَّهُ فِي العَشْرِ الأَخِيْرَةِ وَلِهَذَا
شُرِعَتْ الإِطَالَةُ فِيْهَا كَمَا أَطَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ
، فَإِنَّهُ قَرَأَ فِي بَعضِ اللَّيَالِي بِالبَقَرَةِ وَالنِّسَاءِ وَآلِ عِمْرَانَ
فِي رَكْعَةٍ وَاحِدَةٍ ، فَالمَقْصُودُ أَنَّهُ عَلَيهِ الصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ كَانَ
يُطِيْلُ فِي العَشْرِ الأَخِيْرَةِ وَيُحْيِيْهَا فَلِهَذَا شُرِعَ لِلنَّاسِ إِحْيَاؤُهَا
وَالإِطَالَةِ فِيْهَا حَتَّى يَتَأَسَّوا بِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ.
“ Akan tetapi pada 10 hari terkahir disukai untuk
memanjangkan, karena disyari’atkan menghidupkannya dengan sholat, membaca
Al-Qur’an dan doa. Karena Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam dahulu
menghidupkan malam seluruhnya pada 10 hari terakhir, dan oleh karena itu
disyari’atkan memanjangkan padanya sebagaimana Nabi shollallohu alahih wa
sallam memanjangkannya. Dan sesungguhnya beliau membaca pada sebagian malam.
Maka maksud dari itu adalah beliau memanjangkan pada 10 hari terakhir serta
menghidupkannya, maka oleh karena itu disyari’atkan bagi orang-orang
menghidupkannya dan memanjangkannya agar mencontoh dengannya sholallohu alaihi
wa sallam.” [lihat “Majmu’ Fatawa Ibnu
Baz” (11/186)]
14
Hukum membawa mushaf bagi Ma’mum ketika sholat tarowih
Ditanya Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rohimahulloh:
Apa hukum membawa mushaf oleh para ma’mum ketika
sholat tarowih di bulan Romadhon dengan alasan untuk menyimak (bacaan) Imam?
Beliau menjawab:
حَمْلُ المُصْحَفِ لِهَذَا الغَرَضِ فِيهِ مُخَالِفَةٌ لِلسُّنَّةِ وَذَلِكَ
مِنْ وُجُوهٍ:
... الوَجْهُ الأَوَّلُ:
أَنَّهُ يَفُوتُ الإِنْسَانُ وَضْعَ اليَدِ اليُمْنَى عَلَى اليُسْرَى فِي حَالِ القِيَامِ.
... الوَجْهُ الثَّانِي:
أَنَّهُ يُؤَدِّي إِلَى حَرَكَةٍ كَثِيرَةٍ لاَ حَاجَةَ إِلَيْهَا، وَهِيَ فَتْحُ المُصْحَفِ،
وَإِغْلَاقِهِ، وَوَضْعِهِ فِي الإِبْطِ وَفِي الجَيْبِ وَنَحْوِهِمَا.
... الوَجْهُ الثَّالِثُ:
أَنَّهُ يَشْغَلُ المُصَلِّي فِي الحَقِيْقَةِ بِحَرَكَاتِهِ هَذِهِ.
... الوَجْهُ الرَّابِعُ:
أَنَّهُ يَفُوتُ المُصَلِّي النَّظَرَ إِلَى مَوضِعِ السُّجُودِ وَأَكْثَرُ العُلَمَاءِ
يَرونَ أَنَّ النَّظَرَ إِلَى مَوْضِعِ السُّجُودِ هُوَ السُّنَّةُ وَالأَفْضَلُ.
... الوَجْهُ الخَامِسُ:
أَنَّ فَاعِلَ ذَلِكَ رُبَّمَا يَنسَى أَنَّهُ فِي صَلاَةٍ إِذَا كَانَ لَمْ يَسْتَحْضِرْ
قَلْبُهُ أَنَّهُ فِي صَلاَةٍ، بِخَلاَفِ مَا إِذَا كَانَ خَاشِعًا وَاضِعًا يَدَهُ
اليُمْنَى عَلَى اليُسْرَى، مُطَأْطَأَ رَأْسِهِ نَحْو سُجُودِهِ، فَإِنَّهُ يَكُونُ
أَقْرَبُ إِلَى اسْتِحْضَارِ أَنَّهُ يُصَلِّي وَأَنَّهُ خَلْفَ إِمَامٍ.
“ Membawa mushaf untuk tujuan seperti itu
terdapat padanya penyelisihan terhadap Sunnah, yang hal itu dari beberapa sisi:
Sisi pertama:
hal tersebut melewatkan seseorang dari meletakkan
tangan kanan diatas tangan kiri ketika keadaan berdiri.
Sisi kedua:
hal tersebut mengakibatkan banyaknya gerakan yang
tidak diperlukan padanya, yaitu buka tutup mushaf, dan meletakkannya pada
ketiak maupun kantong dan yang semisal keduanya.
Sisi ketiga:
secara hakikat hal tersebut menyibukkan bagi
orang sholat dengan gerakan-gerakan tadi.
Sisi keempat:
hal tersebut melupuntukan seorang yang sholat
untuk melihat tempat sujud, dan kebanyaka ‘Ulama berpendapat bahwa melihat
ketempat sujud itu adalah yang Sunnah dan afdhol.
Sisi kelima:
yang melakukan hal tersebut terkadang dia lupa
kalau ia dalam sholat apabila ia tidak menhadirkan dirinya dalam sholat, lain
halnya dengan orang yang ia khusyu’ serta meletakkan tangan kanan diatas tangan
kiri, menundukkan kebawah kepalanya ke arah tempat sujud, maka hal seperti ini
lebih mendakatkan kepada keadaan yang ia merasa dalam perkara sholat dan ia
(sholat) dibelakang Imam.” [lihat “Majmu Fatawa wa Rosa’il Ibnu Utsaimin
(14/157)]
15 Tidak memperdengarkan suara tangis ketika
Tarowih
Asy-Syaikh Ibnu Baz rohimahulloh mengatakan:
فَالَّذِي يَنْبَغِي لِلمُؤْمِنِ أَنْ يَحْرِصَ عَلَى أَن لاَ يَسْمَعْ صَوْتَهُ
بِالبُكَاءِ وَلْيَحْذَرْ مِنَ الرِّيَاءِ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ قَدْ يَجُرُّهُ إِلَى
الرِّيَاءِ ، فَيَنْبَغِي لَهُ أَنْ لَا يُؤْذِي أَحَدًا بِصَوتِهِ وَلاَ يُشَوِّشُ
عَلَيهِمْ ، وَمَعْلُومٌ أَنَّ بَعضَ النَّاسِ لَيسَ ذَلِكَ بِاخْتِيَارِهِ بَلْ يَغْلِبُ
عَلَيهِ مِنْ غَيْرِ قَصْدٍ وَهَذَا مَعْفُوٌّ عَنْهُ إِذَا كَانَ بِغَيْرِ اخْتِيَارِهِ.
“ Maka sepantasnya bagi seorang mu’min berusaha
untuk tidak memperdengarkan suaranya dengan tangisan, serta berhati-hati dari
riya’, karena Syaithon telah mnyeretnya kepada riya’. Dan sepantasnya juga agar
tidak mengganggu seorang pun dengan suaranya dan membuat gaduh ricuh kepada
mereka. Dan sebagaimana diketahui juga adalah sebagian manusia melakukan hal
tersebut tanpa bisa dia kontrol, bahkan hal itu terjadi tanpa ada maksud tujuan,
maka yang seperti ini termaafkan apabila terjadi diluar kontrol dia.” [lihat “Majmu’ Fatawa Ibnu Baz” (11/186)]
16 Keutamaan sholat tarowih bersama Imam.
عَنْ أَبِي ذَرٍّ رضي الله عنه قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللُه عَلَيهِ
وَسَلَّمَ: «مَنْ قَامَ مَعَ الإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِف، كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ»
Dari Abi Dzar rodhiyaAllohu anhu berkata:
Bersabda Rosululloh `: “Barang siapa yang mendirikan (sholat) bersama Imam
sampai selesai, dituliskan baginya (sholat) satu malam.” [HR.Abu Dawud (no.1375) dan dishohihkan oleh
Asy-Syaikh Al-Albani t dalam “Irwaul Gholil” (no.447)]
17 Bolehnya memulai sholat tarowih dengan duduk
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rohimahulloh berkata:
وَأَمَّا التَّكْبِيْرُ مَعَ الإِمَامِ جَالِسًا فَإِذَا قَارَبَ الرُّكُوعَ
قَامَ فَرَكَعَ، فَلاَ بَأْسَ بِهِ؛ لِأَنَّ التَّرَاوِيْحَ نَافِلَةٌ، وَقَدْ كَانَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ حِينَ كَبُرَ وَثَقُلَ يَفْعَلُهُ، فَيَبْدَؤُهَا
جَالِساً، وَيَقْرَأُ، فَإِذَا قَارَبَ الرُّكُوعَ، قَامَ وَقَرَأَ ماَ تَيَسَّرَ مِنَ
القُرْآنِ ثُمَّ رَكَعَ.
“Adapun takbir bersama Imam dalam keadaan duduk,
yang apabila telah mendekati ruku’ ia berdiri untuk melakukan ruku’, maka (yang
seperti ini) tidaklah mengapa. Karena tarowih adalah nafilah. Dan Nabi
shollallohu alaihi wa sallam ketika sudah tua serta berat untuk melakukannya,
maka beliau memulai dengan duduk serta membaca. Maka apabila telah mendekati
ruku’, berdiri membaca apa yang dimudahkan dari Al-Qur’an dan kemudian ruku’.” [Lihat “Majmu Fatawa wa Rosa’il Ibnu Utsaimin
(3/13)]
18 Tidak pantas untuk mengakhirkan masuk jama’ah
(sholat) dengan sengaja
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rohimahulloh berkata:
أَمَّا تَأْخِيْرُ الإِنْسَانِ الدُّخَولَ مَعَ الإِمَامِ حَتَّى يُكَبِّرُ
لِلرُّكُوعِ، فَهَذَا تَصَرُّفٌ لَيْسَ بِسَلِيْمٍ، بَلْ إِنَّنِي أَتَوَقَّفُ، هَلْ
تَصِحُّ رَكْعَتَهُ هَذِهِ أَوْ لاَ تَصِحُّ؟ لِأَنَّهُ تَعَمَّدَ التَّأْخِيْرُ الَّذِي
لاَ يَتَمَكَّنُ مَعَهُ مِنْ قِرَاءَةِ الفَاتِحَةِ - وَقِرَاءَةُ الفَاتِحَةِ رُكْنٌ،
فَلاَ تَسْقُطُ عَنِ الإِمَامِ وَلاَ المَأْمُومِ وَلاَ المُنْفَرِدِ - فَكَونُهُ يَبْقَى
حَتَّى يَرْكَعَ الإِمَامِ ثُمَّ يَقُومُ فَيَرْكَعُ مَعَهُ، هَذَا خَطَأٌ بِلاَ شَكٍّ،
وَخَطْرٌ عَلَى صَلاَتِهِ، أَوْ عَلَى الأَقَلِّ عَلَى رَكْعَتِهِ أَلاَّ يَكُونَ أَدْرَكَهَا.
“ Adapun pengakhiran seseorang untuk masuk bersama
Imam sampai ia bertakbir untuk ruku’, maka ini bukanlah kelakuan yang baik.
Bahkan aku dalam permasalahan ini tawaqquf, apakah sah raka’atnya tersebut atau
tidak sah? Karena dalam hal ini ia sengaja untuk mengakhirkan yang sampai tidak
menyempatkan dirinya untuk membaca Al-Fatihah –dan membaca Al-Fatihah adalah
rukun-, yang tidaklah digugurkan kewajibannya dari Imam, Ma’mum dan munfarid-
maka keadaannya menunggu sampai Imam ruku’ kemudian berdiri untuk ruku’
bersamanya (Imam). Maka ini adalah salah tanpa ada keraguan dan dikhawatirkan
terhadap sholatnya, atau paling ringannya adalah terkait raka’atnya yang ia
dapati.”
19 Jumlah raka’at sholat tarowih
عَنْ عَائِشَةَ رضي الله عنها: مَا كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللُه عَلَيهِ
وَسَلَّمَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلاَ فِي غَيْرِهِ، عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً،
يُصَلِّي أَرْبَعًا، فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُوْلِهِنَّ، ثُمَّ يُصَلِّي
أَرْبَعًا، فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُوْلِهِنَّ، ثُمَّ يُصَلِّي ثَلاَثًا.
Dari ‘Aisyah rodhiyaAllohu anha: “Tidaklah
Rosululloh sholallohu alaihi wa sallam menambah di Romadhon dan tidak pula
dilainnya dari 11 raka’at, (Nabi) sholat 4 raka’at, maka jangan kamu tanya
tentang bagus dan lamanya, kemudian sholat 4 raka’at, maka jangan kamu tanya
tentang bagus dan lamanya, kemudian Nabi sholat 3 (raka’at).” [HR.Al-Bukhori (no.1147), Muslim (no.738)]
Asy-Syaikh Ibnu Baz rohimahulloh berkata:
وَهَذَا العَدَدُ أَرْفَقُ بِالنَّاسِ وَأَعْوَنُ لِلإِمَامِ عَلَى الخُشُوعِ
فِي رُكُوعِهِ وَسُجُودِهِ وَفِي قِرَاءَتِهِ ، وَفِي تَرْتِيْلِ القِرَاءَةِ وَتَدَبُّرِهَا
، وَعَدَمِ العُجْلَةِ فِي كُلِّ شَيْءٍ.
“ Jumlah ini (11 raka’at) adalah paling sesuai
bagi orang-orang dan membantu Imam untuk khusyu’ dalam ruku’, sujud dan
bacaannya, pada tartil bacaan serta mentadabburinya serta tidak tergesa-gesa
pada setiap sesuatu.” [lihat“Majmu’
Fatawa Ibnu Baz” (11/175)]
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rohimahulloh berkata:
المُحَافَظَةُ عَلَى العَدَدِ الَّذِي جَاءَتْ بِهِ السُّنَّةُ مَعَ التَّأَنِّي
وَالتَّطْوِيْلِ الَّذِي لاَ يَشُقُّ عَلَى النَّاسِ أَفْضَلُ وَأَكْمَلُ.
“ Menjaga untuk melaksanakan jumlah (raka’at)
yang datang padanya dari as-sunnah disertai dengan tenang dan memanjangkan
(bacaan) yang tidaklah memberatkan orang-orang maka (hal tersebut) lebih afdhol
dan sempurna.” [lihat “Majmu’ Fatawa wa
Rosa’il Ibnu Utsaimin” (14/139)]
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رضي الله عنهما: «كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللُه عَلَيهِ
وَسَلَّمَ يُصَلِّي مِنَ اللَّيْلِ، ثَلاَثَ عَشْرَةَ رَكْعَةً»
Dari Ibnu ‘Abbas rodhiyaAllohu anhuma: “Dahulu
Rosululloh sholallohu alaihi wa sallam sholat malam 13 raka’at.” [HR.Al-Bukhori (no.1138), Muslim (no.764)]
Dan Rosululloh sholallohu alaihi wa sallam
membuka sholat malamnya dengan 2 raka’at ringan;
عَنْ عَائِشَةَ رضي الله عنها: كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللُه عَلَيهِ
وَسَلَّمَ ، إِذَا قَامَ مِنَ اللَّيْلِ لِيُصَلِّيَ، افْتَتَحَ صَلاَتَهُ بِرَكْعَتَيْنِ
خَفِيْفَتَيْنِ
Dari ‘Aisyah rodhiyaAllohu anha: “Dahulu
Rosululloh sholallohu alaihi wa sallam, apabila berdiri untuk melaksanakan
sholat malam, membuka sholatnya dengan 2 raka’at yang ringan.” [HR.Muslim (no.767)]
Asy-Syaikh Ibnu Baz rohimahulloh berkata:
وَإِذَا نَوَّعَ فَصَلَّى فِي بَعْضِ اللَّيَالِي إِحْدَى عَشَرَةَ وَفِي
بَعْضِهَا ثَلاَثَ عَشْرَةَ فَلاَ حَرَجَ فِيْهِ فَكُلُّهُ سُنَّةٌ ، وَلَكِنْ لاَ
يَجوزُ أَنْ يُصَلِّي أَرْبَعًا جَمِيْعًا بَلِ السُّنَّةِ وَالوَاجِبُ أَنْ يُصَلِّي
اثْنَتَيْنِ اثْنَتَينِ لِقَولِهِ عَلَيْه الصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ : صَلاَةُ اللَّيْلِ
مَثْنَى مَثْنَى وَهَذَا خَبَرٌ مَعْنَاهُ الأَمْر.
“ Apabila bentuknya (lain), ia sholat pada
sebagian malam 11 raka’at dan pada sebagian waktu lainnya 13 maka tidaklah
mengapa padanya, maka semuanya adalah Sunnah, akan tetapi tidak boleh untuk
sholat 4 raka’at langsung, bahkan yang wajib adalah seseorang sholat dua
raka’at dua raka’at, sebagaimana sabda alaihis sholatu was salam: “Sholat malam
dua dua.” Ini khobar bermakna perintah.” [Majmu’ Fatawa Ibnu Baz (11/175)]
20 Hukum dzikir bersama diantara 2 raka’at
Tarowih dan Khutbah setelah Tarowih?
Telah ditanya Syaikhuna Yahya Al-Hajuri
hafidzohulloh:
“Apakah hukum membaca dzikir berjama’ah diantara
sholat Tarowih dan khutbah diantara kedunya?”
Jawab:
“ Perbuatan ini adalah muhdats, tidak diketahui
bahwasanya Nabi sholallohu alaihi wa sallam berdzikir pada setiap selesai dari
2 raka’at atau 4 raka’at. Dan tidak diketahui pula bahwasanya mereka (salaf
sholih) melakukan demikian. Dan tidak pula diketahui juga mereka melakukan
dzikir atau tasbih bersama-sama sebagaimana dilakukan orang-orang juhhal (tidak
tahu). Dan ini adalah termasuk dari muhdats (perkara baru), barang siapa
membuat perkara baru di agama kami yang tidak ada asalnya, maka dia tertolak.” [Lihat Ithaful Kirom (hal.384)]
21 Hukum sholawat Nabi setelah sholat Tarowih!
Telah ditanya Syaikhuna Yahya hafidzohulloh:
“Manusia berdiri ketika selesai dari sholat
Tarowih dengan mengangkat suaranya dengan sholawat kepada Nabi sholallohu
alaihi wa sallam, dan mereka menamakan dengan adzan sholawat?”
Jawab:
“ Ini tidak disyari’atkan, dan yang benar datang
dari hadits Ubay bin Ka’ab rodhiyaAllohu anhu, bahwasanya Nabi sholallohu
alaihi wa sallam apabila selesai dari witr, membaca:
« سُبْحَانَ المَلِكِ
القُدُّوْسِ، سُبْحَانَ المَلِكِ القُدُّوْسِ، سُبْحَانَ المَلِكِ القُدُّوْسِ»
Dan mengeraskan suaranya, dan inilah yang tsabit
(pasti) dan hadits tersebut terdapat di Shohih Musnad oleh Syaikhuna
rohimahulloh. [Lihat Al-Jami’us Shohih
(no.1059). Lihat Ithaful Kirom (hal.385)]
22 (macam²) Tata cara sholat Tarowih!
Asy-Syaikh Al-‘Allamah Muhammad Nashirirddin
Al-Albani rohimahulloh berkata:
Cara pertama:
13 raka’at, dibuka dengan 2 sholat ringan, yang 2
raka’at tersebut adalah paling kuat sunnah setelah sholat ‘Isya, atau 2 raka’at
khusus untuk membuka sholat malam sebagaimana telah lewat. kemudian sholat 2
raka’at yang panjang sekali, kemudian sholat 2 raka’at yang lebih pendek dari
sebelumnya, kemudian sholat 2 raka’at yang lebih pendek dari 2 sebelumnya,
kemudian sholat 2 raka’at yang lebih pendek dari sebelumnya, kemudian sholat 2
raka’at yang lebih pendek dari sebelumnya, setelah itu witir satu raka’at.
Cara kedua:
Sholat 13 raka’at, 8 raka’at dengan salam setiap
2 raka’at, kemudian witir dengan 5 raka’at, tidak duduk dan tidak salam kecuali
pada raka’at ke-5.
Cara ketiga:
11 raka’at, salam setiap dua raka’at dan witir 1
raka’at.
Cara keempat:
11 raka’at, sholat 4 raka’at dengan satu kali
salam, kemudian melakukan 4 raka’at seperti itu juga, kemudian 3 raka’at. Dan
apakah Nabi sholallohu alaihi wa sallam duduk pada setiap 2 raka’at pada sholat
4 atau 3? Kami belum menemukan jawaban yang memuaskan pada hal tersebut, akan
tetapi pada saat rakaat ketiga tidak disyari’atkan.
Cara kelima:
Sholat 11 raka’at, dengan 8 raka’at dengan tidak
duduk kecuali pada raka’at ke-8, bertasyahhud dan sholawat kepada Nabi
sholallohu alaihi wa sallam, tidak salam kemudian berdiri, setelah itu witir
dengan satu raka’at, kemudian salam, maka 9 raka’at. Kemudian sholat 2 raka’at
dalam keadaan dia duduk.
Cara keenam:
Sholat 9 raka’at, yang diantaranya dia sholat 6
raka’at, yang dia tidak duduk kecuali pada raka’at ke-6, kemudian bertasyahud
dan bersholawat kepada Nabi sholallohu alaihi wa sallam kemudian….sampai
terakhir sebagaimana dalam tata cara sebelumnya. (-selesai penukilan-) [Lihat Qiyam Romadhon (hal.19-20)]
23 Tidak ada sholat tarowih pada malam ‘Ied.
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rohimahulloh berkata:
إِذَا ثَبَتَ الهِلَالُ لَيْلَةُ الثَّلاَثِيْنَ مِنْ رَمَضَانَ، فَإِنَّهَا
لاَ تُقَامُ صَلاَةُ التَّرَاوِيْحَ، وَلاَ صَلاَةُ القِيَامِ، ذَلِكَ لِأَنَّ صَلاَةَ
التَّرَاوِيْحَ وَالقِيَامَ إِنَّمَا هِيَ فِي رَمَضَانَ، فَإِذَا ثَبَتَ خُرُوجُ الشَّهْرِ
فَإِنَّهَا لاَ تُقَامُ.
“ Apabila telah tetap hilal malam ke-30 dari
Romadhon, maka tidak ditegakkan sholat tarowih, dan tidak pula sholat Qiyam,
karena sholat tarowih dan Qiyam hanyalah pada bulan Romadhon. Maka apabila
telah tetap keluarnya bulan, maka tidak ditegakkan sholat tarowih.” [Lihat “Majmu’ Fatawa wa Rosa’il Ibnu
Utsaimin” (14/165)]
24 Bacaan pada raka’at witr
عَنْ أُبَيٍّ بْنِ كَعْبٍ ا قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللُه عَلَيهِ
وَسَلَّمَ يَقْرَأُ فِي الوِتْرِ بِـ {سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى } [الأعلى:
1] و {قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ} [الكافرون:
1] و {قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ} [الإخلاص: 1]
Dari Ubay bin Ka’ab rodhiyaAllohu anhu berkata:
dahulu Rosululloh sholallohu alaihi wa sallam membaca pada witirnya dengan :
{سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ
الْأَعْلَى } [الأعلى: 1] و {قُلْ يَا أَيُّهَا
الْكَافِرُونَ} [الكافرون: 1] و {قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ} [الإخلاص: 1]
Sabhis robbikal a’la (al a’la), qul ya ayyuhal
kafirun (al kafirun), qul huwawllahu ahad (Al Ikhlas) [HR. ‘Abdulloh bin Ahmad
dalam “Zawa’id Musnad” (5/123) dan hadits dishohihkan oleh Asy-Syaikh Muqbil
Al-Wadi’I rohimahulloh dalam Al-Jami’us Shohih (no.1059)]
Dan Nabi sholallohu alaihi wa sallam melakukan
witr dengan dua raka’at dan satu raka’at;
عَنْ عَائِشَةَ ب قَالَتْ: كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللُه عَلَيهِ وَسَلَّمَ
يُسَلِّمُ فِي كُلِّ ثِنْتَيْنِ، وَيُوْتِرُ بِوَاحِدَةٍ.
Dari ‘Aisyah rodhiyaAllohu anha berkata:
Rosululloh sholallohu alaihi wa sallam salam pada setiap 2 raka’at, dan witr
dengan 1 raka’at.” [HR. Ibnu Majah
(1/372) dan hadits dishohihkan oleh Asy-Syaikh Muqbil rohimahulloh dalam
Al-Jami’us Shohih (no.1062)]
TANBIH
PERTAMA:
Asy-Syaikh Ibnu Baz rohimahulloh berkata:
وَأَمَّا مَا وَرَدَ مِن قِرَاءَةِ السُّوَرِ الثَّلاَثِ الأَخِيْرَةِ مِنَ
القُرْآنِ فَضَعِيْفٌ وَالمَحْفُوظُ أَنْ يَقْرَأَ بَعْدَ الفَاتِحَةِ سُوْرَةَ ( قُلْ
هُوَ اللهُ أَحَدٌ ) فَقَطْ فيِ الرَّكْعَةِ الَّتِي يُوْتِرُ بِهَا.
“ Adapun apa yang datang riwayat dari membaca 3
surat terkahir dari Al-Qur’an adalah dhoif (lemah). Dan yang terjaga
(riwayatnya) adalah setelah membaca Al-Fatihah membaca surat Al-Ikhlas saja
pada raka’at yang ia witir dengannya.” [Lihat
Majmu’ Fatawa Ibnu Baz (11/193)]
TANBIH
KEDUA:
Asy-Syaikh Ibnu Baz rohimahulloh berkata:
وَلاَ يَجُوزُ أَنْ يُوْتِرَ بِثَلاَثٍ كَالمَغْرِبِ حَيْثُ يَجْلِس فِي الثَّانِيَةِ
وَإِنْ تَشَهَّدَ التَّشَّهُد الأَوَّل ثُمَّ يَقُومُ إِلَى الثَّالِثَةِ ؛ لِأَنَّ
الرَّسُولَ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ نَهَى أَنْ يُشَبِّهَ الوِتْرَ بِالمَغْرِبِ
“ Tidak boleh witir dengan 3 raka’at seperti
maghrib, yaitu ketika ia duduk pada raka’at kedua yang apabila tasyahhud ia
tasyahhud pertama kemudian berdiri untuk (raka’at) ketiga, karena Rosul
shollallohu alaihi wa sallam melarang untuk kita menyerupakan witir dengan
maghrib.” [Lihat Majmu’ Fatawa Ibnu Baz
(11/200)]
25 Do’a Qunut disaat witr
عَنِ الحَسَنِ بْنِ عَلِيٍّ ا: عَلَّمَنِي رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللُه عَلَيهِ
وَسَلَّمَ كَلِمَاتٍ أَقُولُهُنَّ فِي الوِتْرِ أَوْ قَالَ فِي قُنُوْتِ الوِتْرِ:
«اللَّهُمَّ اهْدِنِي فِيْمَنْ هَدَيْتَ، وَعَافَنِي فِيْمَنْ
عَافَيْتَ، وَتَوَلَّنِي فِيْمَنْ تَوَلَّيْتَ، وَبَارِكْ لِي فِيْمَا أَعْطَيْتَ،
وَقِنِي شَرَّ مَا قَضَيْتَ، إِنَّكَ تَقْضِي وَلاَ يُقْضَى عَلَيْكَ، وَإِنَّهُ لاَ
يَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ، وَلاَ يَعِزُّ مَنْ عَادَيْتَ، تَبَارَكْتَ وَتَعَالَيْتَ»
Dari Al-Hasan bin ‘Ali: Rosululloh sholallohu
alaihi wa sallam mengajarkan kepadaku kalimat yang aku ucapkan pada witr atau
pada Qunut witr: (menyebuntukan do’a diatas). [HR.Abu Dawud (4/300) dan hadits dishohiHkan
oleh Asy-Syaikh Muqbil rohimahulloh dalam Al-Jami’us Shohih (no.1066)]
Syaikhhul Islam Ibnu Taimiyyah rohimahulloh
berkata:
وَأَمَّا القُنُوتُ فِى الوِتْرِ فَهُوَ جَائِزٌ وَلَيْسَ بِلاَزِمٍ فَمِنْ
أَصْحَابِهِ مَنْ لَمْ يَقْنُتْ وَمِنْهُمْ مَنْ قَنَتَ فِى النِّصْفِ الأَخِيْرِ مِنْ
رَمَضَانَ وَمِنْهُمْ مَنْ قَنَتَ السَّنَةَ كُلَّهَا... إِلَى قَولِهِ: وَالجَمِيْعُ
جَائِزٌ فَمَنْ فَعَلَ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ فَلاَ لَومَ عَلَيهِ، وَاللهُ أَعْلَمُ.
“ Adapun Qunut pada witir maka ia itu boleh dan
bukanlah perkara yang harus, maka dari shohabatnya ada yang tidak qunut, dan
sebgaian lagi ada yang qunut pada pertengahan terkahir dari Romadhon dan sebagian
lagi ada qunut pada satu tahun semuanya sampai perkataannya dan semuanya itu
boleh, maka barang siapa melakukan hal tersebut maka tidak celaan baginya,
waAllohu a’lam.” [Lihat“Majmu’ Fatawa”]
26 Keadaan salaf pada sholat tarowih
كَانَ سُوَيْدُ بْنِ غَفْلَةٍ يَؤُمُّنَا فِي شَهْرِ رَمَضَانَ فِي القِيَامِ
وَقَدْ أَتَى عَلَيهِ عِشْرُونَ وَمَائَةَ سَنَةٍ.
“ Adalah Suwaid bin Ghoflah mengimami kami pada
bulan Romadhon dalam keadaan umurnya sudah 120 tahun.” [Lihat “Hilyatul Auliya’” (4/175)]
oleh Ust. Abu Muhammad Fuad Hasan Ngawi
hafidzhohulloh yang dipost di majmuah salafiyun
Tidak ada komentar:
Posting Komentar