PERMASALAN SEPUTAR I'TIKAF


بسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
SILSILAH MAJLIS ROMADHON


PERMASALAN SEPUTAR I'TIKAF
1    Pengertian I’tikaf.
Imam Al-Qurthubi rohimahulloh mengatakan:
وَالاِعْتِكَافُ فِي اللُّغَةِ : المُلَازَمَةُ يُقَالُ عَكَفَ عَلَى الشَّئْ ِإِذَا لاَزَمَهُ مُقْبِلًا عَلَيْهِ.
“ i’tikaf secara bahasa adalah: mulazamah, dikatakan (‘akafa) atas sesuatu apabila ia menetapi hal tersebut dengan fokus.”  [tafsir “Al-Qurthubi” (1/707)]
Secara syari’at, Asy-Syaikh Zayid Al-Wushobi mengatakan:
المَقَامُ في المَسْجِدِ مِنْ شَخْصٍ مَخْصُوصٍ عَلَى صِفَةٍ مَخْصُوصَةٍ.
“ Tinggal di masjid  yang di lakukan orang yang khusus dengan sifat yang khusus.”  [lihat “Miskul Khitam” (2/569)]

2    Nama lain dari I’tikaf
Jiwar adalah nama lain dari ‘itikaf, sebagaimana hadits
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصْغِي إِلَيَّ رَأْسَهُ وَهُوَ مُجَاوِرٌ فِي الْمَسْجِدِ فَأُرَجِّلُهُ وَأَنَا حَائِضٌ
Dari ‘Aisyah rodhiyaAllohu anha berkata: Nabi shollallohu alaihi wa  sallam meletakkan kepalanya kepadaku dalam keadaan beliau I’tikaf dalam masjid, maka akupun menyisirnya dalam keadaan aku haidh.” [HR. Al-Bukhori (no.2028)]

3    I’tikaf termasuk dari syari’at terdahulu
Alloh ta’ala berfirman:
وَعَهِدْنَا إِلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ أَنْ طَهِّرَا بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْعَاكِفِينَ
“ Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang i'tikaf, yang ruku' dan yang sujud.”  [QS.Al-Baqoroh:125]
فَاتَّخَذَتْ مِنْ دُونِهِمْ حِجَاباً
“Maka dia (Maryam) membuat tabir (penutup) dari mereka" [QS. Maryam]
كُلَّمَا دَخَلَ عَلَيْهَا زَكَرِيَّا الْمِحْرَابَ وَجَدَ عِنْدَهَا رِزْقاً
“Maka setiap kali Zakariya masuk menemuinya di Mihrob, dia mendapati makanan di sisinya.”
Syaikhul Islam rohimahulloh mengatakan:
وَلِأَنَّ مَرْيَمَ عَلَيْهَا السَّلاَمُ قَدْ أَخْبَرَ اللهُ سُبْحَانَهُ أَنَّهَا جَعَلَتْ مُحَرَّرَةً لَهُ، وَكَانَتْ مُقِيْمَةٌ فِي المَسْجِدِ الأَقْصَى فِي المِحْرَابِ، وَأَنَّهَا انْتَبَذَتْ مِنْ أَهْلِهَا مَكَانًا شَرْقِيًا فَاتَّخَذَتْ مِنْ دُونِهِمْ حِجَابًا، وَهَذَا اعْتِكَافُ فِي المَسْجِدِ وَاحْتِجَابِ فِيْهِ.
“ Karena Maryam alaihis salam telah Alloh kabarkan bahwa ia telah dijadikan seorang hamba yang mengabdi kepadaNya, dan ia dulunya tinggal menetap di masjid Aqsa di dalam Mihrob, dan ia mengasingkan diri dari  ke suatu tempat di sebelah timur, lalu ia memasang tabir yang melindunginya  dari mereka. Maka ini adalah I’tikaf di masjid serta membuat tabir padanya.”  [lihat “Syarhul Umdah” Syaikhul Islam (2/748)]

4    Rukun I’tikaf
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rohimahulloh berkata:
الاعْتِكَافُ رُكْنُهُ كَمَا أَسْلَفْتُ لُزُومَ المَسْجِدِ لِطَاعَةِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ تَعَبُّداً لَهُ، وَتَقَرُّبًا إِلَيهِ، وَتَفَرُّغًا لِعِبَادَتِهِ.
“ I’tikaf rukunnya adalah sebagaimana telah aku sebuntukan (yaitu) menetapi masjid untuk ketaatan kepada Alloh azza wa jalla dengan (tujuan) beribadah kepadanya, serta mendekatkan diri kepadanya dan memfokuskan untuk beribadah kepadaNya" [lihat“Majmu’ Fatawa wa Rosa’il Al-Utsaimin” (20/162)]

5    Syarat I’tikaf
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rohimahulloh berkata:
وَأَمَّا شُرُوطُهُ فَهِيَ شُرُوطُ بَقِيَّةِ العِبَادَاتِ فَمِنْهَا: الإِسْلَامُ، وَالعَقلُ، وَيَصِحُّ مِنْ غَيرِ البَالِغِ، وَيَصِحُّ مِنَ الذَّكَرِ، وَمِنَ الأُنثَى، وَيَصِحُّ بِلَا صَومٍ، وَيَصِحُّ فِي كُلِّ مَسْجِدٍ.

“ Adapun syaratnya adalah syarat-syarat ibadah, yang diantaranya: Islam, berakal, sah dari seorang yang belum baligh, sah dari laki-laki, sah dari perempuan, sah tanpa disertai puasa dan sah pada setiap masjid.”  [lihat “Majmu’ Fatawa wa Rosa’il Al-Utsaimin” (20/162)]
Sebagian menambahkan syarat niat, Ibnu Hubairoh rohimahulloh mengatakan:
وَاتَّفَقُوا عَلَى أَنَّهُ لاَ يَصِحُّ إِلاَّ بِالنِّيَّةِ.
“ Mereka bersepakat bahwa hal tersebut tidaklah sah kecuali dengan niat.”  [lihat“Al-Ifshoh” (1/255)]

6    Hukum I’tikaf
Disyari’atkan dan mustahab dengan dalil dari Al-Qur’an, As-Sunnah dan Ijma’. Dan tidak diwajibkan kecuali dengan nadzar dengan Ijma’.
Alloh ta’ala berkata:
وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ.
“Janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam mesjid.”  [QS.Al-Baqoroh:187]
عَنِ ابْنِ عُمَرَ: أَنَّ النَّبِيَّ كَانَ يَعْتَكِفُ فِي العَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رمَضَانَ
Dari Ibnu ‘Umar rodhiyaAllohu anhuma: “Bahwasanya Nabi shollallohu alaihi wa sallam beri’tikaf pada 10 hari terakhir dari Romadhon.”  [HR. Al-Bukhori (no.2025) Muslim (no.1171)]
Dan hadits juga datang dari ‘Aisyah rodhiyaAllohu anha riwayat Al-Bukhori (no.2026) Muslim (no.1172).
Dan hadits datang juga dari Ubay bin Ka’ab rodhiyaAllohu anhu riwayat Abu Dawud (7/135) Ibnu Majah (1/526) dan hadits dishohihkan oleh Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wad’I rohimahulloh dalam “Al-Jami’us Shohih” (no.1513)]
Ibnul Mundzir rohimahulloh mengatakan:
وَأَجْمَعُوا عَلَى أَنَّ الاِعْتِكَافَ سُنَّةٌ لاَ يَجِبُ عَلَى النَّاسِ فَرْضًا إِلاَّ أَنْ يُوجِبَهُ المَرْءُ عَلَى نَفْسِهِ نَذَراً فَيَجِبُ عَلَيْهِ.
“ Mereka bersepakat bahwa I’tikaf adalah Sunnah, (dan) tidaklah wajib bagi seseorang menjadi kewajiban kecuali kalau ia mewajibkan atas dirinya dengan nadzar, maka hal itu wajib baginya.” [lihat “Al-Ijma’” (hal.53)]


7    I’tikaf selain bulan Romadhon
Ibnu ‘Abdil Barr rohimahulloh mengatakan:
وَالاِعْتِكَافُ هُوَ فِي العَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ سُنَّةٌ، وَفِي غَيْرِ رَمَضَانَ جَائِزٌ.
“ I’tikaf pada 10 hari terakhir Romadhon adalah Sunnah, dan pada selain Romadhon adalah boleh.” [lihat “Al-Kafiy” oleh Ibnu ‘Abdil Barr (1/352)]

8    Keutamaan I’tikaf
Abu Dawud rohimahulloh mengatakan:
قُلْتُ لِأَحْمَدَ تَعْرِفُ فِي فَضْلِ الاِعْتِكَافِ شَيْئًا؟ قَالَ: لاَ، إِلَّا شَيْئًا ضَعِيْفًا.
“ Aku katakan kepada Ahmad: Apakah engkau mengetahui sesuatu tentang keutamaan I’tikaf? Beliau menjawab: Tidak, kecuali sesuatu yang dho’if.”  [lihat “Masa’il Abi Dawud” (hal.96)]
Diantara hadits tentang keutamaan I’tikaf adalah apa yang diriwayatkan secara marfu’ dari Abud Darda’ rodhiyaAllohu anhu:
مَن اعْتَكَفَ لَيْلَةً كَانَ لَهُ كَأَجْرِ عُمْرَة، وَمَنْ اعْتَكَفَ لَيْلَتَيْنِ كَانَ لَهُ كَأَجْرِ عُمْرَتَيْن..
“ Barang siapa yang beri’tikaf semalam maka baginya pahala ‘umroh, dan barang siapa beri’tikafdua malam maka baginya pahala dua ‘umroh..”  [Syaikhul Islam dalam “Syarhul ‘Umdah” (2/712)]

9    Perkara yang mustahab bagi seorang beri’tikaf
. Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rohimahulloh berkata:
مُسْتَحَبَّاتُهُ أَنْ يَشْتَغِلَ الإِنْسَانُ بِطَاعَةِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ مِنْ قِرَاءَةِ القُرْآنِ وَالذِّكْرِ وَالصَّلاَةِ وَغَيْرِ ذَلِكَ، وَأَنْ لاَ يُضَيِّعَ وَقْتَهُ فِيْمَا لاَ فَائِدَةَ فِيْهِ، كمَا يَفْعَلُ بَعْضُ المُعْتَكِفِينَ تَجِدْهُ يَبْقَى فِي المَسْجِدِ يَأْتِيهِ النَّاسُ فِي كُلِّ وَقْتٍ يَتَحَدَّثُونَ إِلَيهِ وَيَقْطَعُ اعْتِكَافَهُ بِلاَ فَائِدَةٍ، وَأَمَّا التَّحَدُّثُ أَحْيَاناً مَعَ بَعْضِ النَّاسِ أَوْ بَعْضِ الأَهْلِ فَلاَ بَأْسَ بِهِ، لِمَا ثَبَتَ فِي الصَّحِيْحَينِ مِنْ فِعْلِ رَسُولِ الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِيْنَ كَانَتْ صَفِيَّةُ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا تَأْتِي إِلَيْهِ فَتَتَحَدَّثُ إِليهِ سَاعَةً ثُمَّ تَنْقَلِبُ إِلَى بَيْتِهَا.
“ Mustahabnya adalah seorang menyibukkan diri dengan ketaatan kepada Alloh azza wa jalla dari membaca Al-Qur’an, dzikir, sholat dan selainnya. Dan tidak menyia-nyiakan waktunya pada perkara yang tidak ada faedah padanya sebagaimana apa yang dilakukan sebagian orang-orang yang ber’itikaf engkau dapati mereka tinggal dimasjid, didatangi orang-orang pada setiap waktu ngobrol kepadanya dan menghabiskan I’tikafnya tanpa ada fedah. Adapun berbincang terkadang-kadang dengan sebagian orang atau dengan keluarga tidaklah mengapa, sebagaimana apa yang datang pada shohihain dari perbuatan Rosululloh ketika Shofiyah mendatanginya kemudian berbincang dengannya beberapa waktu kemudian kembali ke rumahnya.” [lihat“Majmu’ Fatawa wa Rosa’il Al-Utsaimin” (20/162)]

10  Tujuan dari I’tikaf
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rohimahulloh berkata:
وَالمَقْصُودُ بِالاِعْتِكَافِ : انْقِطَاعُ الإِنْسَانِ عَنِ النَّاسِ لِيَتَفَرَّغْ لِطَاعَةِ اللهِ فِي مَسْجِدٍ مِنْ مَسَاجِدِهِ طَلَبًا لِفَضْلِهِ وَثَوَابِهِ وَإِدْرَاكِ لَيْلَةَ القَدْرِ ، وَلِذَلِكَ يَنْبَغِي لِلْمُعْتَكِفِ أَنْ يَشْتَغِلَ بِالذِّكْرِ وَالقِرَاءَةِ وَالصَّلاَةِ وَالعِبَادَةِ ، وَأَنْ يَتَجَنَّبَ مَا لَا يَعْنِيهِ مِنْ حَدِيْثِ الدُّنْيَا.
“ Dan maksud dari I’tikaf adalah seorang insan memutuskan diri dari manusia untuk menfokuskan untuk ketaatan kepada Alloh di masjid dari masjid-masjidNya dengan tujuan mencari keutamaan, pahala dan mendapatkan lailatul qodari, oleh karena itu seorang yang beriitikaf ia menyibukkan dengan dzikir, membaca Al-Qur’an, sholat dan Ibadah. Dan menjauhi apa yang tidak berguna dari perkara Dunia.”  [lihat “Majmu’ Fatawa wa Rosa’il Al-Utsaimin” (20/341)]

11  Apakah disyaratkan puasa ketika I’tikaf?
Tidak diharuskan puasa baginya kecuali apa yang diwajibkan oleh dirinya sendiri ketika nadzarnya. Dan ini adalah pendapat Asy-Syafi’i, Ishaq dan Ahmad.
عَنِ ابْنِ عُمَرَ: أَنَّ عُمَرَ قَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنِّي نَذَرْتُ فِي الجَاهِلِيَّةِ أَنْ أَعْتَكِفَ لَيْلَةً فِي المَسْجِدِ الحَرَامِ، قَالَ: «فَأَوْفِي بِنَذْرِكَ»
Dari Ibnu ‘Umar: Bahwasanya ‘Umar rodhiyaAllohu anhu berkata: Ya Rosululloh, aku bernadzar diwaktu Jahiliyyah untuk beri’tikaf semalam dimasjid Al-Harom, bersabda Nabi shollallohu alaihi wa sallam: “Tunaikanlah nadzarmu.”  [HR. Al-Bukhori (no.6625) Muslim (no.1656)]
Dan waktu malam bukanlah waktu puasa, kalau pun puasa adalah syarat, maka tidak sah I’tikafnya.




12  Disyaratkan I’tikaf di Masjid.
Al-Qurthubi rohimahulloh mengatakan:
أَجْمَعَ العُلَمَاءُ عَلَى أَنَّ الاِعْتِكَافَ لاَ يَكُونُ إِلاَّ فِي مَسْجِدٍ.
“ Para ‘Ulama sepakat bahwa I’tikaf tidaklah dilakukan kecuali di masjid.”  [lihat“Tafsir Al-Qurthubi” (1/707)]
Ibnu Rusyd rohimahulloh mengatakan:
وَقَدْ اتَّفَقَ العُلَمَاءُ عَلَى مَشْرُوطِيَّةِ المَسْجِدِ لِلاعْتِكَافِ، إِلاَّ مُحَمَّدُ بْنِ عُمَرَ بْنِ لُبَابَةَ فَأَجاَزَهُ فِي كُلِّ مَكَانٍ.
“ Para ‘Ulama telah sepakat tentang disyaratkannya masjid untuk I’tikaf kecuali Muhammad bin ‘Umar bin Lubabah, yang ia membolehkan pada setiap tempat.”  [lihat “Bidayatul Mujtahid” (1/312)]
Ibnu Qudamah rohimahulloh berkata:
وَلاَ يَصِحُّ الاِعْتِكَافُ فِي غَيْرِ مَسْجِدٍ إِذَا كَانَ المُعْتَكِفُ رَجُلًا لاَ نَعْلَمُ فِي هَذَا بَيْنَ أَهْلِ العِلْمِ خِلَافًا.
“ Tidaklah sah I’tikaf diselain masjid, apabila yang ber’itikaf adalah laki-laki. Dan kami tidak mengetahui perselisihan diantara Ahlul ‘Ilmi pada permasalahan ini.”  [lihat Al-Mughni (3/67)]

13  I’tikaf di Masjid yang ditegakkan padanya sholat Jama’ah
Syaikhuna Zayid Al-Wushobi wafaqohulloh mengatakan:
الصَّوَابُ: أَنَّهُ لاَ يَعْتِكِفُ إِلاَّ فِي مَسْجِدٍ تُقَامُ فِيْهِ صَلَواتٌ، لِأَنَّ الخُروجَ لِكُلِّ صَلاَةٍ إِلَى مَسْجِدٍ تُقَامُ فِيْهِ الجَمَاعَةُ مُنَافٍ لِلإِعْتِكَافِ.
Dan yang benar adalah hendaknya seorang tidaklah beri’tikaf kecuali di masjid yang di ditegakkan padanya sholat berjama’ah. Karena keluar pada setiap sholat ke masjid yang ditegakkan padanya sholat jama’ah mengurangi ibadah Itikaf tersebut.”  [lihat “Miskul Khitam” (2/575)]

14  Bolehnya keluar untuk buang hajat ketika I’tikaf
Ibnul Mundzir rohimahulloh mengatakan:
وَأَجْمَعُوا عَلَى أَنَّ لِلْمُعْتَكِفِ أَنْ يَخْرُجَ عَنْ مُعْتَكِفِهِ لِلغَائِطِ وَالبَولِ.
“ Para Ahlul Ilmi bersepakat bahwa boleh bagi seorang yang beri’tikaf untuk keluar dari tempat I’tikafnya untuk buang air besar dan kencing.” [lihat “Al-Ijma” (hal.54)]
Ibnu Hubairoh mengatakan:
وَأَجْمَعُوا عَلى أَنْ يجُوزَ لِلإِنْسَانِ الخُرُوجُ إِلَى مَا لاَبُدَّ مِنْهُ كَحَاجَةِ الإِنْسَانِ ...
“ Dan mereka juga bersepakat bahwa boleh bagi seorang insan keluar untuk perkara yang harus dia lakukan seperti (menunaikan) hajat seorang insan.”  [lihat “Al-Ifshoh” (1/259)]
Adapun keluarnya orang yang beri’tikaf selain dari dua hal yang telah tersebut diatas, telah berkata Ibnu Qudamah rohimahulloh: “Apabila kebutuhan makan dan minum yang tidak ada yang mengantarkannya, maka boleh baginya untuk keluar dari masjid apabila dibutuhkan hal tersebut..” [LihatAl-Mughni (3/68)]
Adapun kalau dia keluar dari masjid tanpa ada keperluan, maka yang demikian membatalkan i’tikafnya walaupun sebentar. Dan ini adalah pendapat Malik, Asy-Syafi’i, Ahmad dan Abu Hanifah. Dan pendapat yang dikuatkan oleh Asy-Syaikh Muhammad Hizam.  [Lihat Al-Mughni (3/69-70) Ithaful Anam (hal.236)]

Dan kalaupun seseorang jual beli di masjid dalam keadaan dia beri’tikaf, maka dia berdosa akan tidak ada dalil tentang batal i’tikafnya.  [Lihat Ithaful Anam (hal.234)]

15  Perkara yang pembatal ibadah i’tikaf

PERTAMA:  Jima’
Ibnul Mundzir rohimahulloh mengatakan:
وَأَجْمَعُوا عَلَى أَنَّ مَنْ جَامَعَ امْرَأَتَهُ وَهُوَ مُعْتَكِفٌ عَامِدًا لِذَلِكَ فِي فَرْجِهَا أَنَّهُ يُفْسِدُ اعْتِكَافَهُ.
“ Ahlul ilmi juga bersepakat bahwa barang siapa menjima’I istrinya dalam keadaan ia I’tikaf dengan sengaja untuk itu di kemaluannya, (maka) hal itu merusak I’tikafnya.”  [lihat“Al-Ijma’” (hal.54)]
Ibnu Hazm rohimahulloh mengatakan:
وَاتَّفَقُوا أَنَّ الوَطْءَ يُفْسِدُ الاِعْتِكَافِ.
“Ahlul Ilmi bersepakat bahwa bersetubuh merusak I’tikaf.”  [lihat “Marotibul Ijma’” (hal 41)]

KEDUA: Mabuk.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى.
“ Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mendekati sholat dalam keadaan kalian mabuk.” [QS.An-Nisa’:43]
Ini adalah pendapat Jumhur Ahlul ‘Ilmi.
 Asy-Syafi’I rohimahulloh mengatakan:
وَإِذَا أَسْكَرَ المُعْتَكِفُ لَيلًا أَوْ نَهَارًا، أَفْسَدَ اعْتِكَافُهُ.
“Apabila (seorang) mabuk pada waktu malam maupun siang, maka telah rusak (ibadah) I’tikafnya.”  [lihat “Al-Umm” (2/266)]

KETIGA:  Bersentuhan yang disertai dengan syahwat.
Ibnul Abdil Barr rohimahulloh mengatakan:
أَجْمَعَ العُلَمَاءُ أَنَّ المُعْتَكِفَ لاَ يُبَاشِرُ وَلاَ يُقَبِّلُ.
“Para ‘Ulama telah bersepakat bahwa seorang yang beri’tikaf tidaklah bersentuhan dan tidak pula mencium.”  [lihat “At-Tamhid” (8/331)]

KEEMPAT:  Pulang ke rumah tanpa ada kebutuhan.
Ibnul Abdil Barr rohimahulloh mengatakan:
وَأَجْمَعُوا أَنَّ المُعْتَكِفَ لاَ يَدْخُلُ بَيْتًا وَلاَ يَسْتَظِلُّ بِسَقْفٍ إِلاَّ ( فِي ) المَسْجِدِ الَّذِي يَعْتَكِفُ فِيْهِ أَو يَدْخُلُ لِحَاجَةِ الإِنْسَانِ.
“ Dan mereka juga bersepakat bahwa seorang yang beri’tikaf tidaklah masuk rumah dan tidak pula berteduh di atap kecuali di masjid yang ia beri’tikaf padanya atau untuk ia masuk (kerumah) untuk menunaikan hajat manusia.”  [lihat “At-Tamhid” (8/331)]

16  Hal-hal yang diperbolehkan bagi orang beri’tikaf

✅ PERTAMA👇: Bersentuhan dengan istri tanpa disertai syahwat.

Ibnu Qudamah rohimahulloh mengatakan:

فَأَمَّا المُبَاشَرَةُ دُوْنَ الفَرْجِ فَإِنْ كَانَتْ لِغَيْرِ شَهْوَةٍ فَلَا بَأْسَ بِهَا مِثْلُ أَنْ تَغْسِلَ رَأسَهُ أَوْ تُفَلِّيْهِ أَوْ تَنَاوُلُهُ شَيْئًا [ لِأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَ سَلَّمَ كَانَ يُدْنِي رَأْسَهُ إِلَى عَائِشَةَ وَهُوَ مُعْتَكِفٌ فَتُرَجِّلُهُ].

“Adapun mubasyaroh (bersentuhan) selain di kemaluan, apaila tanpa disertai syahwat maka tidaklah mengapa, semisal ia membasuh kepalanya, menggulung atau memberikan sesuatu. Karena Nabi shollallohu alaihi wa sallam dahulu mendekatkan kepalanya kepada Aisyah dalam keadaan beliau beri’tikaf kemudian disisir rambutnya.”
[lihat📕“Al-Mughni” (3/199)]

✅ KEDUA👇:
Naik ke atap masjid.

Ibnu Qudamah rohimahulloh mengatakan:

وَيُجُوزُ لِلْمُعْتَكِفِ صُعُودُ سَطْحَ المَسْجِدِ لِأَنَّهُ مِنْ جُمْلَتِهِ وَلِهَذَا يُمْنَعُ الجنُب مِنَ البَثِّ فِيْهِ وَهَذَا قَوْلُ أَبِي حَنِيْفَةَ وَماَلِكٍ وَالشَّافِعِي وَلاَ نَعْلَمُ فِيْهِ مُخَالِفًا وَيَجُوزُ أَنْ يَبِيْتَ فِيْهِ.

“Diperbolehkan bagi orang yang beri’tikaf untuk naik ke atap masjid karena hal itu termasuk dari bagian masjid, oleh karena itulah dilarang bagi orang yang junub untuk tinggal disitu. Dan ini adalah pendapat Abu Hanifah, Malik dan Asy-Syafi’i. dan kami tidaklah mengetahui ada yang menyelisihi, dan boleh baginya untuk bermalam disitu.”
[lihat📕“Al-Mughni” (3/197)]

✅ KETIGA👇:
Menunaikan suatu perkara yang tidak mungkin dilaksanakan di masjid.

Ibnu Qudamah rohimahulloh mengatakan:

وُكُلُّ مَا لاَ بُدَّ لَهُ مِنْهُ وَلاَ يُمْكِنُ فِعْلُهُ فِي المَسْجِدِ فَلَهُ الخُرُوجُ إِلَيهِ وَلاَ يُفْسِدُ اعْتِكَافُهُ وَهُوَ عَلَيْهِ مَا لَمْ يَطُلْ.

“Setiap sesuatu yang harus ia lakukan, dan tidak mungkin dilakukan di masjid maka boleh baginya untuk keluar untuk melaksanakan hal tersebut, dan tidaklah merusak I’tikafnya dalam keadaan ia tidak berlama-lama dalam hal tersebut.”
[lihat📘“Al-Mughni” (3/192)]

✅ KEEMPAT👇:
Meletakkan hidangan makan dan mencuci tangan di masjid.

Asy-Syafi’I rohimahulloh mengatakan:

وَلاَ بَأْسَ بِوَضْعِ المَائِدَةِ فِي المَسْجِدِ وَغَسْلِ اليَدَينِ فِي المَسْجِدِ فِي الطَّسْتِ.

“Tidak mengapa bagi seorang untuk meletakkan hidangan makanan di masjid, mencuci kedua tangan di masjid dilakukan di dalam wadah.”
[lihat📓“Al-Umm” (2/267)]

✅ KELIMA👇:
Boleh memakai wewangian bagi seorang yang beri’tikaf.

An-Nawawi rohimahulloh mengatakan:

يَجُوزُ لَهُمَا مِنَ اللِّبَاسِ وَالطِّيْبِ وَالمَأكُولِ مَا كَانَ جَائِزًا قَبْلَ الاِعْتِكَافِ وَسَوَاءٌ رَفِيْع الثِّيَابِ وَغَيْرِهِ وَلاَ كَرَاهَةَ فِي شَئٍ مِنْ ذَلِكَ وَلاَ يُقَالُ اِنَّهُ خِلَافُ الاَوْلَى هَذَا مَذْهَبُنَا.

“Boleh bagi keduanya (seorang mu’takif dan mu’takifah) untuk memakai pakaian, wewangian dan makanan yang diperbolehkan sebelum ia beri’tikaf, sama saja hal tersebut adalah pakaian yang bagus atau selainnya, dan tidaklah makruh pada perkara-perkara tersebut (yang telah disebuntukan). Dan tidak juga dikatakan hal tersebut menyelisihi yang lebih afdhol, dan ini adalah madzhab kami.”
[lihat📙“Al-Majmu’” (6/559)]

✅ KEENAM👇:
Menikah dan menikahkan yang lain.

An-Nawawi rohimahulloh mengatakan:

يَجُوزُ أَنْ يَتَزَوَّجَ وَأَنْ يُزَوَّجَ وَقَدْ نَصَّ عَلَيهِ الشَّافِعِي فِي المُخْتَصَرِ وَاتَّفَقَ الاَصْحَابُ عَلَيهِ وَلاَ أَعْلَمُ فِيهِ خِلاَفًا.

“Boleh baginya (seorang yang ber’itikaf) untuk menikah dan menikahkan yang lainnya sebagaimana telah dinash oleh Asy-Syafi’I dalam “Al-Mukhtashor” dan telah disepakati juga oleh pengikut madzhab, dan aku tidaklah mengetahui pada hal ini khilaf.”
[lihat📙Al-Majmu” (6/528)]

✅ KETUJUH👇:
Keluar dari masjid tanpa sengaja.

Asy-Syafi’I rohimahulloh mengatakan:

وَلَو نَسِيَ المُعْتَكِفُ فَخَرَجَ ثُمَّ رَجَعَ لَمْ يُفْسِدْ اعْتِكَافُهُ.
“Kalau seandainya seorang mu’takif lupa keluar (dari masjid) kemudian kembali, maka tidaklah rusak I’tikafnya.”
[lihat📓“Al-Umm” (2/267)]

17  Bolehnya i’tikaf kapan saja

Ibnu Mulaqqin rohimahulloh mengatakan:

أَنَّ الاِعْتِكَافَ لَا يُكْرَهُ فِي وَقْتٍ مِنَ الأَوْقَاتِ، وَأَجْمَعَ العُلَمَاءُ عَلَى أَنْ لاَ حَدَّ لِأَكْثَرِهِ.

“Bahwasanya I’tikaf tidaklah makruh (untuk dilaksanakan) pada kapan pun saja, dan para ‘Ulama telah sepakat bahwa tidak ada batasan waktu terbanyaknya.”
[lihat📘“Al-‘Ilam bi Fawaid ‘Umdatul Ahkam” (5/430)]

18  Orang yang beri’tikaf membuat tempat tidur di masjid.
Muhallab mengatakan:
فِيْه مِنَ الفِقْهِ أَنَّ المُعْتَكِفَ يَجِبُ أَنْ يَجْعَلَ لِنَفْسِهِ فِى المَسْجِدِ مَكَانًا لِمَبِيتِهِ، بِحَيْثُ لاَ يُضَيِّقُ عَلَى المُسْلِمِينَ، كَمَا فَعَلَ الرَّسُولُ  - صلى الله عليه وسلم -  فِى الصَّحْنِ إِذَا ضَرَبَ فِيْهِ خِبَاءَهُ.

“Pada (hadits) tersebut terdapat padanya; termasuk dari fiqih adalah seorang yang beri’tikaf wajib untuk membuat tempat tidur untuk dirinya di masjid agar tidak mengganggu kaum muslimin, sebagaimana Rosul –alaihis sholatu wa salam- menjadikan bagian tengah masjid untuk membuat padanya kemah.”  [dari📕“Syarh Al-Bukhori Ibnu Bathol” (7/199)]

19  Bolehnya membuat kemah di masjid bagi orang yang beri’tikaf

عَنْ عَائِشَةَ، قَالَتْ: كَانَ النَّبِىُّ، عليه السَّلام، يَعْتَكِفُ فِى الْعَشْرِ الأوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ، فَكُنْتُ أَضْرِبُ لَهُ خِبَاءً فَيُصَلِّى الصُّبْحَ، ثُمَّ يَدْخُلُهُ، فَاسْتَأْذَنَتْ حَفْصَةُ عَائِشَةَ أَنْ تَضْرِبَ خِبَاءً، فَأَذِنَتْ لَهَا، فَضَرَبَتْ خِبَاءً فَلَمَّا رَأَتْهُ زَيْنَبُ ابْنَةُ جَحْشٍ، ضَرَبَتْ خِبَاءً آخَرَ

Dari Aisyah berkata: Nabi shollallohu alaihi wa sallam dahulu beri’tikaf pada 10 hari terakhir dari Romadhon, maka aku membuat untuk beliau kemah, beliau pun melaksanakan  sholat shubuh,  setelah itu beliau masuk ke kemah tersebut. Maka Hafshoh idzin kepada Aisyah untuk membuat kemah juga, maka Aisyah mengijinkan untuk membuat kemah, setelah itu ia pun membuat kemah. Maka Zainab binti Jahsy melihat beliau juga, ia pun membuat kemah yang lain…”
[📌HR. Al-Bukhori]

Ibnul Mundzir mengatakan:

وَفِيْهِ دَلِيْلٌ عَلَى إِبَاحَةِ ضَرْبِ الأَخْبِيَةِ فِى المَسْجِدِ لِلْمُعْتَكِفِيْنَ.

“(Pada hadits tersebut) dalil tentang bolehnya membuat kemah di masjid untuk orang yang beri’tikaf.”
[dari📙“Syarh Shohih Al-Bukhori” oleh Ibnu Bathol (7/200)]

20  Hukum i’tikaf bagi orang yang punya tanggungan nafkah keluarg

Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rohimahulloh berkata:

الاِعْتِكَافُ سُنَّةٌ وَلَيسَ بِوَاجِبٍ، وَمَعَ ذَلِكَ إِذَا كَانَ عَلَى الإِنْسَانِ الْتِزَامَاتٌ لِأَهْلِهِ فَإِنْ كَانَتْ الاِلْتِزَامَاتُ وَاجِبَةٌ عَلَيهِ وَجَب عَلَيهِ القِيَامُ بِهَا، وَكَانَ آثماً بِالاِعْتِكَافِ الَّذِي يَحُولُ دُوْنَهَا، وَإِنْ كَانَتْ غَيْرُ وَاجبَةٍ فَإِنَّ قِيَامَهُ بِتِلْكَ الاِلْتِزَامَاتُ قَدْ يَكُونُ أَفْضَلُ مِنَ الاِعْتِكَافِ.

“I’tikaf adalah Sunnah, dan bukanlah wajib. Akan tetapi bersamaan dengan itu, apabila seseorang mempunyai tanggungan terhadap keluarganya, dan tanggungan tersebut adalah suatu yang wajib baginya, maka wajib baginya untuk melaksanakan hal tersebut, dan ia berdosa apabila melakukan I’tikaf yang ia laksanakan. Dan apabila tanggungan tersebut tidaklah wajib, maka dengan melaksanakan tanggungan tersebut, bisa jadi hal tersebut lebih afdhol dari I’tikaf" [lihat📘“Majmu’ Fatawa wa Rosa’il Al-Utsaimin” (20/178)]

21  Hukum i’tikaf bagi orang yang mengurusi urusan kaum muslimin.

Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rohimahulloh berkata:

وَقَضَاءُ حَوَائِج المُسْلِمِيْنَ إِذَا كَانَ هَذَا الرَّجُلُ مُعَنِيًّا بِهَا فَلاَ يَعْتَكِفْ، لِأَنَّ قَضَاءَ حَوَائِجِ المُسْلِمِينَ أَهَمُّ مِنَ الاِعْتِكَافِ، لِأَنَّ نَفْعَهَا مُتَعَدٍّ، وَالنَّفْعُ المُتَعَدِّي أَفْضَلُ مِنَ النَّفْعِ القَاصِرِ، إِلاَّ إِذَا كَانَ النَّفْعُ القَاصِرُ مِنْ مُهِمَّاتِ الإِسْلاَمِ وَوَاجِبَاتِ الإِسْلاَمِ.

“Menuntaskan urusan kebutuhan kaum muslimin apabila orang ini ditugasi untuk hal tersebut, maka hendaknya ia tidak beri’tikaf, karena menuntaskan kebutuhan kaum muslimin lebih penting daripada I’tikaf, karena (juga) manfaatnya itu merambat kepada yang lain. Dan manfaat yang bisa untuk yang lainnya itu lebih afdhol daripada manfaat yang terbatas kecuali apabila manfaat terbatas tersebut termasuk dari perkara penting Islam dan kewajiban-kewajiban Islam.”
[lihat📘“Majmu’ Fatawa wa Rosa’il Al-Utsaimin” (20/180)]

22  I’tikafnya wanita.

Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rohimahulloh berkata:
المَرْأَةُ إِذَا أَرَادَتْ الاِعْتِكَافُ فَإِنَّمَا تَعْتَكِفُ فِي المَسْجِدِ إِذَا لَمْ يَكُنْ فِي ذَلِكَ مَحْذُورٌ شَرِعِي، وَإِنْ كَانَ فِي ذَلِكَ مَحْذُورٌ شَرْعِي فَلاَ تَعْتَكِفْ.

“Seorang wanita apabila hendak ber’itikaf, maka ia beri’tikaf di masjid apabila disana tidak ada larangan syar’I, dan kalua disana ada hal terlarang secara syar’I maka tidak diperkenankan ber’itikaf.”
[lihat📘“Majmu’ Fatawa wa Rosa’il Al-Utsaimin” (20/163)]

⚠TANBIH:
Ibnu Bathol rohimahulloh mengatakan:

أَنَّ المَرْأَةَ إِذَا أَرَادَتْ اعْتِكَافًا لَمْ تَعْتَكِفْ حَتَّى تَسْتَأْذِنْ زَوْجُهَا، وَيَدُلُّ عَلَى أَنَّ الأَفْضَلَ وَالأَعْلَى لِلنِّسَاءِ لَزُوْمُ مَنَازِلِهِنَّ، وَتَرْكُ الاعْتِكَافِ مَعَ إِبَاحَتِهِ لَهُنَّ؛ لِأَنَّ رَدَّهُنَّ وَمَنْعُهُنَّ مِنْهُ يَدُلُّ عَلَى أَنَّ لُزُومَ مَنَازِلِهنَّ أَفضَلُ مِنَ الاِعْتِكَافِ.

“Bahwa seorang wanita apabila hendak beri’tikaf, (maka) ia tidak beri’tikaf sampai idzin kepada suaminya, dan (hadits ini) menunjukkan bahwa yang afdhol dan mulia bagi wanita untuk menetapi rumah-rumahnya, dan meninggalkan I’tikaf walaupun hal itu boleh bagi mereka, karena penolakan dan pelarangan mereka dari Nabi shollallohu alaihi wa sallam menunjukkan bahwa menetapi rumah mereka lebih afdhol daripada I’tikaf.”
[lihat📔“Syarh Ibnu Bathol” (13/113)]

23  Waktu memulai I’tikaf 10 hari Romadhon.

Dimulai pada waktu sebelum tenggelam matahari dari malam 21 Romadhon, Abu Tsaur mengatakan:

إِنْ أَرَادَ الاِعْتِكَافُ عَشْرَ لَيَالِي دَخَلَ قَبْلَ الغُرُوبِ.

“Apabila hendak I’tikaf 10 malam, maka masuk sebelum tenggelam matahari.”
[dari📓“Umdatul Qori’” (17/205)]

24  Waktu selesai I’tikaf 10 hari Romadhon.

Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rohimahulloh berkata:
يَخْرُجُ المُعْتَكِفُ مِنْ اعْتِكَافِهِ إِذَا انتَهَى رَمَضَانُ، وَيَنْتهِي رَمَضَانُ بِغُروبِ الشَّمْسِ لَيْلَةَ العِيْدِ.
“Seorang yang beri’tikaf, ia keluar dari I’tikafnya apabila selesai Romadhon, dan selesainya Romadhon adalah dengan tenggelamnya matahari malam ‘ied.”
[lihat📘“Majmu’ Fatawa wa Rosa’il Al-Utsaimin” (20/170)]


📎📝 oleh Ust. Fuad Hasan Abu Muhammad Ngawi hafidzhohulloh

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berhutang Atau Berniaga Lebih Baik Daripada Meminta-minta

Berhutang Atau Berniaga Lebih Baik Daripada Meminta-minta Ditulis oleh: Abu Fairuz Abdurrohman Al Qudsy Al Jawy Al Indonesy -semoga Alloh me...