💵HUKUM UANG ELEKTRONIK💸

 💵HUKUM UANG ELEKTRONIK💸


Pertanyaan:

Saat ini sangat banyak bentuk" *uang elektronik* semisal : Sakuku oleh BCA, Mandiri eCash, Rekening Ponsel CIMB Niaaa, eMoney milik Mandiri, TapCash BNI, Brizzi milik BRI, Flazz milik BCA, MegaCash milik Bank Mega, JakCard milik Bank DKI, TCash milik Telkomsel,

Dan juga ....

Go Pay atau yang sebelumnya disebut sebagai Go Wallet adalah dompet virtual untuk menyimpan GoJek Credit Anda (dana tersimpan yang telah dibayar) yang bisa digunakan untuk membayar transaksi-transaksi yang berkaitan dengan layanan di dalam aplikasi Gojek.

Gambaran transaksinya :

Fulan membayar 100.000 ke pihak Gojek untuk mendapatkan uang elektronik 100.000 yg tersimpan di HP fulan tsb,
fulan menggunakan jasa Gojek motor dari alun-alun kota menuju rumahnya dengan tarif 10.000
Fulan akan mendapatkan pilihan pembayaran,
Jika pembayaran cash tarif 10.000
Jika menggunakan uang elektronik (go pay) tarif 8.500.
Ketika fulan membayar 100.000 ke pihak gojek untuk mendapatkan uang elektronik tsb, pada hakikatnya adalah fulan meminjamkan uang 100.000 kepada gojek, kemudian manfaat yg fulan dapatkan adalah selisih uang 1500 dari tarif jasa normal,

Maka pada kondisi ini fulan diperbolehkan menggunakan gopay jika tidak ada diskon dr tarif normalnya.

--------- *selesai*

Sebagai tambahan gambaran pertanyaan, uang elektronik adalah produk yang sedang dikejar" oleh perusahaan, sebagai bentuk penggalangan dana yg cukup efektif utk modal usaha, dibuktikan dengan semakin banyaknya perusahaan yg membuka fasilitas *uang elektronik* bagi konsumennya. Fulan di atas yg telah membayar uang elektronik 100.000 kemungkinan besar si fulan tidak mampu menghabiskan uang elektroniknya dalam sehari, sisa" uang elektronik inilah yg digunakan sbg modal oleh perusahaan ,

*PERTANYAAN*

Apakah muamalah macam tadi tergolong riba? Karena si pelanggan mendapatkan faidah dengan penurunan harga dengan sebagai dia memberikan hutang pada perusahaan tadi.
06:12
Jawaban dengan memohon pertolongan pada Allah ta’ala:

🍂Bahwasanya uang yang dikumpulkan oleh perusahaan tadi terpandang sebagai hutang perusahaan kepada para pelanggan, lalu si pelanggan mengambil keuntungan dari itu berupa dimurahkannya biaya transaksi, maka ini masuk ke dalam riba, sebagaimana dalam kaidah yang terkenal: “Setiap hutang yang mendatangkan manfaat (untuk si pemberi hutang) adalah riba”.

Al Allamah Muhammad Ad Dimyathiy Asy Syafi’iy رحمه الله berkata: 

“Termasuk dari riba fadhl adalah: riba qardh, yaitu: setiap hutang yang mendatangkan manfaat kepada orang yang menghutangi... dst. 

(“I’anatuth Thalibin”/Ad Dimyathiy/7/hal. 45).

Maka muamalah yang ditanyakan dalam soal tadi adalah riba, maka tidak halal.

Jika uang yang dikumpulkan oleh perusahaan tadi dari para pelanggan itu disepakati sebagai mudharabah (persekutuan dagang) antara perusahaan dan pelanggan, kedua belah pihak harus bersekutu di dalam kerugian, sebagaimana kedua belah pihak bersama-sama menikmati keuntungan. Jika ada kerugian, si pekerja rugi atas kesia-siaan usahanya, sedangkan si pemodal rugi dengan hilangnya modal dia.

Ishaq bin Manshur Al Marwaziy bertanya pada Al Imam Ahmad: 

“Dua orang yang bersekutu dalam keuntungan dan kerugian itu sesuai dengan apa yang mereka sepakati dari harta yang ada?” Beliau menjawab: “Begitulah.” Ishaq –bin Ibrahim Al Hanzhaliy- juga menjawab yang seperti itu.
 
(“Masail Ahmad Wa Ishaq”/Al Marwaziy/6/hal. 2568).

Tapi tidak nampak bahwasanya perusahaan-perusahaan yang ditanyakan tadi memandang para pelanggan sebagai sekutu mereka dalam berniaga. Maka yang benar adalah bahwasanya gambar muamalah yang ditanyakan tadi adalah gambar yang pertama, yaitu: riba.
Jika uang yang dikumpulkan oleh perusahaan dari para pelanggan tadi adalah uang titipan, tidak boleh bagi perusahaan untuk memanfaatkannya tanpa seidzin pelanggan.

Al Imam Ibnul Mundzir رحمه الله berkata: 

“Dan para ulama bersepakat bahwasanya orang yang dititipi itu terlarang untuk menggunakan barang titipan karena dikhawatirkan akan rusak. Dan para ulama bersepakat akan bolehnya barang tadi dipakai dengan seidzin pemiliknya.” 

(“Al Ijma’”/Ibnul Mundzir/hal. 35).

Kesimpulannya adalah: dalam bentuk kemungkinan apapun, muamalah yang ditanyakan tadi adalah tidak boleh.

Saya telah menanyakan masalah tadi kepada Fadhilatusy Syaikh Abdurraqib bin Ali Al Kaukabaniy حفظه الله , lalu beliau menjawab: 

“Yang nampak bagi saya adalah bahwasanya uang tadi; jika sebagai titipan di perusahaan tadi, tidak halal bagi perusahaan tadi untuk memanfaatkannya.
Jika bagi perusahaan tadi uang tadi adalah bagaikan hutang, lalu mereka membantu si pelanggan dengan memberikan pemudahan dalam menyewa mobil dikarenakan si pelanggan telah menghutangi perusahaan, maka ini termasuk dalam “Hutang yang mendatangkan manfaat, maka dia adalah riba.
Jika uang si pelanggan itu disimpan oleh mereka (perusahaan) untuk mudharabah (persekutuan niaga) dalam bentuk yang disyariatkan, dalam propertis ataupun saham perdagangan, dan mereka (perusahaan) ingin memuliakan para pekerja mereka dengan promosi-promosi dan kemudahan macam tadi sebagai imbalan dari persekutuan niaga tadi, maka aku tidak memandang terlarangnya perbuatan tadi. 

Wallahu a’lam.”

Saya –Abu Fairuz وفقه الله- bertanya: 

“Apakah disyaratkan dalam mudharabah itu kedua belah pihak sama-sama bersekutu di dalam kerugian sebagaimana mereka bersekutu di dalam keuntungan?”

Beliau حفظه الله menjawab: 

“Tentu. Disyaratkan dalam mudharabah: kerugian harta dipikul oleh pemilik modal, adapun si pelaksana maka dia telah rugi dari sia-sianya kerja keras dan jerih payah usaha dia.

Ibnu Qudamah رحمه الله berkata: 

“Kerugian dalam mudharabah itu ditanggung secara khusus oleh pemilik modal, sementara si pekerja tidak wajib memikul kerugian harta sedikitpun, karena makna kerugian adalah berkurangnya modal, dan ini khusus ditanggung oleh si pemilik modal, sementara si pekerja tidak punya harta di dalamnya sedikitpun. Maka kerugian tadi adalah pada modalnya tadi, bukan yang lain. Mereka berdua hanya bersekutu dalam keuntungan yang diperoleh.” 
(“Al Mughni”/5/hal.147).
(Selesai penukilan dari jawaban Asy Syaikh Abdurraqib Al Kaukabaniy).

Saya juga telah menanyakan masalah tadi kepada Fadhilatusy Syaikh Hasan bin Qasim Ar Raimiy حفظه الله , lalu beliau menjawab: 

“Yang nampak bagi saya adalah muamalah macam tadi tidak boleh, sama saja dari segi uang yang diserahkan tadi dinilai sebagai dana untuk membiayai penyewaan-penyewaan mobil, ataukah dari segi uang tadi sebagai hutang untuk perusahaan tadi.

Dilihat dari segi yang pertama: maka hal itu termasuk perjudian, karena ada bentuk memakan harta orang lain secara batil. Dan juga dari segi terbentuknya kerugiaan pada perusahaan-perusahaan lain yang tidak menurunkan harta sewa, sehingga mereka rugi (karena kalah bersaing dengan yang pertama –pent.).

Dilihat dari segi yang kedua: maka setiap hutang yang mendatangkan manfaat adalah riba. Ini tidak shahih sebagai hadits marfu’, tapi para ulama telah mengamalkan kandungan hadits tadi. Penjelasannya adalah: orang yang menghutangi itu tidaklah memberikan hutang pada perusahaan tadi kecuali agar mendapatkan menfaat discount sewa, sehingga masuk dalam bab riba tadi.

Kesimpulannya adalah: kami menasihati para ikhwah untuk menjauh dari muamalah-muamalah macam tadi, terutama jika yang membuatnya adalah sebagian dari orang-orang perbankan. Inilah yang nampak bagiku dari muamalah tadi. Dan ilmunya di sisi Allah”.

Selesai penukilan.

Saya telah menanyakan masalah tadi kepada Fadhilatusy Syaikh Husain bin Mahmud Al Hathibiy حفظه الله , lalu beliau menjawab: 

“Ini masuk dalam kaidah: setiap hutang yang mendatangkan manfaat adalah riba, bahwasanya perusahaan tadi berhutang uang pada para pelanggan atau keumuman manusia demi si pelanggan mendapatkan imbalan berupa manfaat, perusahaan memberikan manfaat pada mereka berupa pengurangan harga sewa. Maka ini –wallahu a’lam- masuk dalam kaidah: setiap hutang yang mendatangkan manfaat adalah riba.”

Selesai penukilan.

والله تعالى أعلم، والحمد لله رب العالمين.

Dijawab oleh : Syaikh Abu Fairuz Abdurrohman bin Soekojo Al Jawiy Al Qudsiy حفظه الله

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

_*NASEHAT UNTUK SEKIRANYA TIDAK MEMONDOKKAN ANAK SEBELUM MENCAPAI BALIGH*_

_*Telah Di Periksa Oleh Asy-Syaikh Abu Fairuz Abdurrohman Bin Soekojo Al Indonesiy حفظه الله تعالى*_                بِسْمِ اللّهِ الرَّحْمَن...