SHOLAT ‘IEDUL FITHR
1 Awal pertama kali
disyari’atkannya sholat ‘Ied Fithr
Al-Mawardi rohimahulloh mengatakan:
وَرُوِيَ أَنَّ أَوَّلَ عِيدٍ صَلَّاهُ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاةُ الْعِيدِ يَوْمَ الْفِطْرِ
فِي السَّنَةِ الثَّانِيَةِ مِنَ الْهِجْرَةِ وَفِيهَا فُرِضَتْ زَكَاةُ الْفِطْرِ
“Dan diriwayatkan bahwa Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam sholat
‘Ied Fithr pada tahun ke-2 dari hijroh dan pada waktu itu diwajibkan zakat
fithr. [lihat Al-Hawi (2/482)]
2 Disyari’atkannya sholat ‘Iedul Fithr
Alloh ta’ala berfirman:
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّى (14) وَذَكَرَ
اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّى.
“Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri, Dan dia ingat
nama Robbnya, lalu dia sholat.” [QS. Al-A’la:14-15]
As-Sa’di rohimahulloh menyatakan: “-tentang perkataan Alloh ta’ala -:
وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّى.
“Dan dia ingat nama Robbnya, lalu dia sholat.” Yakni sholat ‘Ied.
[Tafsir As-Sa’di rohimahulloh, Al-A’la:15]
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ :كَانَ رَسُولُ
اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبُو
بَكْرٍ وَعُمَرُ يُصَلُّوْنَ العِيْدَيْنِ
قَبْلَ الخُطْبَةِ.
Dari Ibnu ‘Umar rodhiyaAllohu anhuma berkata: “Dahulu Rosululloh
shollallohu alaihi wa sallam, Abu Bakr dan ‘Umar, , mereka sholat ‘Iedain
(‘Iedul Fithr dan ‘Iedul Adha) sebelum khutbah.” [HR. Al-Bukhori (no.963)
Muslim (no.888)]
Ibnu Qudamah rohimahulloh mengatakan: “Kaum muslimin telah sepakat
tentang sholat ‘Iedain (‘Iedul Fithr dan ‘Iedul Adha).” [lihat Al-Mughni
(2/367)]
3 Hukum Sholat ‘Ied
Hukum sholat ‘Ied adalah wajib bagi setiap individu, ini adalah
pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Ibnul Qoyyim, Asy-Syaukani dan Shiddiq
Hasan Khon dan Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rohimahumulloh. Mereka berdalil
dengan;
Alloh ta’ala berfirman:
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
“Maka dirikanlah sholat karena Robbmu; dan berkorbanlah.” [QS.
Al-Kautsar:2] dan yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah sholat ‘Ied.
عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ قَالَتْ: أَمَرَنَا
أَنْ نَخْرُجَ الحُيَّضَ يَومَ العِيْدَيْنِ وَذَوَاتِ الخُدُورِ فَيَشْهَدْنَ جَمَاعَةَ
المُسْلِمِيْنَ وَدَعْوَتَهُمْ وَيَعْتَزِلُ الحُيَّضُ عَنْ مُصَلاَّهُنَّ قَالَتِ
امْرَأَةٌ: يَا رَسُولَ اللهِ إِحْدَانَا لَيْسَ لَهَا جِلْبَابٌ؟ قَالَ:«لِتُلْبِسْهَا
صَاحِبَتُهَا مِنْ جِلْبَابِهَا«
Dari ‘Ummi ‘Athiyyah rodhiyaAllohu anha: dia berkata: Kami di
perintahkan untuk mengeluarkan para wanita haidh pada dua hari raya ‘Ied dan
wanita pingitan, serta menghadiri jama’ah kaum muslimin dan dakwah mereka.
Serta menyendirikan para wanita haidh dari musholla mereka, berkata seorang
perempuan: “Ya Rosululloh, salah satu dari kami tidak mempunyai jilbab”, beliau
shollallohu alaihi wa sallam menjawab: “Hendaknya temannya meminjamkan
jilbabnya.” [HR. Al-Bukhori (no.351) Muslim (no.890)]
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rohimahulloh rohimahulloh berkata: “Dan yang
aku lihat bahwasanya sholat ‘Ied adalah kewajiban bagi setiap orang. Dan tidak
boleh bagi laki-laki untuk meninggalkannya, bahkan wajib bagi mereka untuk menghadirinya,
karena Nabi shollallohu alaihi wa sallam memerintahkannya, bahkan memerintahkan
wanita pingitan keluar untuk sholat, dan bahkan memerintahkan para wanita haidh
keluar untuk sholat ‘Ied, akan tetapi mereka di pisahkan dari musholla tanah lapang.
Dan ini menunjukkan tentang penekanannya, dan pendapat yang aku katakan inilah
yang kuat, ini adalah yang di pilih oleh
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rohimahulloh. [lihat “Majmu’ Fatawa Ibnu
‘Utsaimin” (16/214)]
4 Mana lebih afdhol, antara ‘Iedul
Fithr dan ‘Iedul Adha?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rohimahulloh berkata:
وَعِيْدُ النَّحْرِ أَفْضَلُ مِنْ عِيْدِ
الفِطْرِ وَلِهَذَا كَانَتِ العِبَادَةُ فِيْهِ النَّحْرَ مَعَ الصَّلاَةِ وَالعِبَادَةُ
فِي ذَاكَ الصَّدَقَةِ مَعَ الصَّلاَةِ، وَالنَّحْرِ أَفْضَلُ مِنَ الصَّدَقَةِ لِأَنَّهُ
يَجْتَمِعُ فِيْهِ العِبَادَتَانِ البَدَنِيَّةُ وَالمَالِيَّةُ».
“’Iedun Nahr (atau Adha) lebih utama dari ‘Iedul Fithr. Dikarenakan
pada ibadah tersebut ada penyembelihan bersamaan dengan sholat, adapun ibadah
tersebut (‘iedul fithri) terdapat padanya shodaqoh dan sholat. Dan Nahr
(menyembelih) lebih utama dari pada shodaqoh karena tergabung padanya dua
‘ibadah; (‘ibadah) badaniyyah dan maaliyah (harta).” [lihat “Majmu’ Al-Fatawa”
(24/222)]
5 Hukum sholat ‘Ied bagi Musafir!
Asy-Syaikh ‘Ibnu
‘Utsaimin rohimahulloh ditanya:
“Apakah disyari’atkan sholat ‘Ied bagi musafir?
Beliau rohimahulloh menjawab:
“Tidak di syari’atkan sholat ‘Ied bagi musafir sebagaimana tidak
disyari’atkan Jum’ah bagi seorang musafir. Akan tetapi apabila ada musafir di
suatu negri yang di tegakkan di situ sholat ‘Ied, maka dia di perintahkan untuk
sholat bersama kaum muslimin.” [lihat “Majmu’ Fatawa Ibnu ‘Utsaimin”]
6 Hukum keluar untuk sholat ‘Ied ke
tanah lapang
عَنْ أَبِي سَعِيْدٍ الخُدْرِي قَالَ :كَانَ
رَسُولُ اللهِ يَخْرُجُ يَوْمَ الفِطْرِ وَالأَضْحَى
إِلَى المُصَلَّى فَأَوَّلُ شَيءٍ يَبْدَأُ بِهِ الصَّلاَةُ.
Dari Abi Sa’id Al-Khudarii rodhiyaAllohu anhu berkata: Dahulu
Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam pergi pada hari Fithr dan Adha ke tanah
lapang, maka awal pertama kali yang dilakukan adalah sholat. [HR. Al-Bukhori
(no.956) Muslim (no.889)]
Jumhur Ahlul ‘Ilmi berpendapat dengan mustahabnya keluar ke tanah
lapang untuk sholat ‘Ied, sama saja apakah itu di Madinah atau Baitil Maqdis
atau selainnya, dan dikecualikan adalah Masjidil Harom.
Apabila ada halangan (seperti; hujan) untuk pergi ke tanah lapang, maka
boleh bagi mereka untuk sholat di masjid. An-Nawawi rohimahulloh mengatakan:
“Apabila bagi mereka udzur untuk meninggalkan keluar ke tanah lapang untuk
‘Ied, maka tidak ada perselisihan bagi mereka untuk diperintahkan sholat di
masjid. Dan termasuk dari udzur-udzur adalah hujan, lumpur, keadaan tidak aman,
dingin atau lainnya.” [lihat “Al-Majmu’” (5/8)]
7 Hukum keluarnya wanita ke tanah
lapang untuk menghadiri ‘Ied
Disukai bagi wanita untuk keluar ke tanah lapang untuk menghadiri
sholat ‘Ied, dan tidak ada perbedaan bagi yang muda atau yang sudah tua. dan
ini adalah pendapat Alqomah, Ishaq, Al-Jurjani. Berdalil dengan hadits Ummu
‘Athiyyah rodhiyaAllohu anha yang telah lewat.
Al-Hafidz Ibnu Hajar rohimahulloh mengatakan: “Pada hadits ini
mustahabnya keluarnya wanita untuk menghadiri ‘Iedain. Sama saja apakah mereka
masih muda atau tidak memiliki sesuatu yang menarik.” [lihat Fathul Bari’
(2/470)]
Dan apabila wanita itu keluar, hendaknya tidak memakai wewangian.
عَنْ زَيْنَبَ امْرَأَةِ عَبْدِ اللهِ قَالَتْ
قَالَ لَنَا رَسُولُ اللهِ \ : «إِذَا شَهِدَتْ إِحْدَاكُنَّ الْمَسْجِدَ فَلاَ تَمَسَّ
طِيبًا»
Dari Zainab istri ‘Abdulloh rodhiyaAllohu anhuma berkata: Rosululloh
shollallohu alaihi wa sallam berkata kepada kami: “Apabila salah satu dari
kalian mendatangi masjid, maka janganlah memakai wewangian.” [HR. Muslim
(no.443)]
8 Hukum mandi untuk sholat ‘Ied
عَنْ نَافِعٍ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ
عُمَرَ كَانَ يَغْتَسِلُ يَوْمَ الْفِطْرِ قَبْلَ أَنْ يَغْدُوَ إِلَى الْمُصَلَّى
Dari Nafi: Bahwasanya ‘Abdulloh bin ‘Umar mandi pada hari fithr sebelum
pergi ke tanah lapang. [Atsar dikeluarkan Malik dalam “Al-Muwaththo’” (1/177)
dengan sanad shohih.]
An-Nawawi rohimahulloh mengatakan:
فَقَالَ الشَّافِعِيُّ وَالاَصْحَابُ يُسْتَحَبُّ
الغَسْلُ لِلعِيْدَيْنِ وَهَذَا لاَ خِلَافَ فِيْهِ والمُعْتَمَدُ فِيْه أَثَرٌ ابْنُ
عَمَرَ وَالقِيَاسُ عَلَى الجُمُعَةِ»
“Berkata Asy-Syafi’I dan pengikutnya: disukai mandi untuk ‘Iedain, dan
ini tidak ada perselisihan, dan sandarannya adalah atsar Ibnu ‘Umar
rodhiyaAllohu anhuma, dan Qiyas dengan Jum’ah.” [lihat “Al-Majmu’” (5/11)]
Ibnu Rusyd rohimahulloh mengatakan:
أَجْمَعَ الْعُلَمَاءُ عَلَى اسْتِحْسَانِ
الْغُسْلِ لِصَلَاةِ الْعِيدَيْنِ
“Para ‘Ulama telah bersepakat tentang dipandang baiknya mandi untuk
sholat ‘Iedain.” [lihat “Bidayatul Mujtahid” (1/505)]
9 Mandi untuk sholat ‘Ied tidaklah
wajib
Ibnu Rojab rohimahulloh mengatakan:
«وَالغُسْلُ لِلعِيْدِ غَيْرُ وَاجِبٍ .
وَقَدْ حَكَى ابْنُ عَبْدِ البَرِّ الإِجْمَاع عَلَيهِ ، وَلِأَصْحَابِنَا وَجْهٌ ضَعِيْفٌ
بِوُجُوبِهِ»
“Dan mandi untuk ‘Ied tidaklah wajib, dan Ibnu ‘Abdil Barr menukilkan
ijma’ tentang hal itu, dan madzhab kami ada pendapat lemah tentang wajibnya
(mandi untuk ‘Ied).” [lihat “Fathul
Bari” (8/418)]
10 Kapan mandi untuk
‘Ied?
Asy-Syafi’I rohimahulloh mengatakan:
«وَأُحِبُّ الْغُسْلَ بَعْدَ الْفَجْرِ لِلْغُدُوِّ
إِلَى الْمُصَلَّى»
“Aku menyukai mandi untuk ‘Ied setelah Fajr untuk pergi ke tanah
lapang.” [lihat “Mukhtashor Al-Hawi Al-Muzanni ma’a Al-Hawi” (2/483)]
Ibnu Qudamah rohimahulloh mengatakan:
«وَوَقْتُ الغُسْلِ بَعْدَ طُلُوعِ الفَجْرِ
فِي ظَاهِرِ كَلاَمِ الخِرَقِي»
“Dan waktu mandi setelah munculnya fajar sebagaimana dalam perkataan
Al-Khiroqi.” [lihat “Al-Mughni” (2/371)]
An-Nawawi rohimahulloh mengatakan:
«يُسَنُّ الغُسْلُ لِلعِيْدَيْنِ وَيَجُوزُ
بَعْدَ الفَجْرِ قَطْعًا»
“Disukai mandi untuk ‘Iedain, dan boleh setelah fajar…” [lihat
“Roudhotuth Tholibin” (1/583)]
11 Hukum memakai wewangian pada hari ‘Ied!
Ibnu Qudamah rohimahulloh mengatakan:
«وَيُسْتَحَبُّ أَنْ يُتَنَظَّفَ وَيَلْبَسَ
أَحْسَنَ مَا يَجِدُ وَيَتَطَيَّب وَيَتَسَوَّك كَماَ ذَكَرْنَا فِي الجُمُعَةِ».
“Dan di sukai untuk bersih dan memakai pakaian paling bagus yang dia
punyai, memakai wewangian dan bersiwak sebagaimana yang kami sebuntukan di
(bab) Jum’ah.” [lihat “Al-Mughni” (2/370)]
An-Nawawi rohimahulloh mengatakan:
«وَاتَّفَقَتْ نُصُوص الشَّافِعِي وَالاَصْحَاب
عَلَى استِحبابِ غَسْل ِالعِيدِ لِمَنْ يَحْضُر الصَّلاَة وَلِمَنْ لَا يَحْضُرُهَا
لِمَا ذَكَرَهُ المُصَنِّفُ وَكَذَا اتَّفَقُوا عَلَى استحبَابِ التَّطَيُّبِ وَالتَّنَظُّفِ
بِاِزَالَةِ الشُّعُورِ وَتَقْلِيمِ الاَظْفَار وَازَالَةِ الرَّائِحَةِ الكَرِيهَة
مِنْ بَدَنِه وثوبِه قِياسًا عَلى الجُمُعَةِ».
“Telah sepakat nash Asy-Syafi’I dan pengikutnya tentang di sukainya
mandi ‘Ied bagi yang menghadiri sholat dan bagi yang tidak menghadiri sholat
sebagaimana yang di sebuntukan pengarang. Dan begitu juga sepakat tentang di
sukainya memakai wewangian dan membersihkan (diri) dengan memtong rambut,
memotong kuku, dan menghilangkan bau tak sedap dari badannya dan pakaiannya,
(sebagaimana) di qiyaskan seperti (sholat) Jum’ah.” [lihat “Al-Majmu” (5/12)]
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rohimahulloh mengatakan:
«يُسَنُّ أَنْ يَخْرُجَ عَلَى أَحْسَنِ هَيْئَةٍ،
وَهَذَا يَشْمَلُ الإِمَامِ وَالمَأْمُومِ، فِي لِبَاسِهِ وَفِي هَيْئَتِهِ كَأَنْ
يَحِفَّ الشَّارِبِ، وَيُقَلِّمُ الأَظْفَارِ، وَيَتَنَظَّفُ، وَيَلْبَسُ أَحْسَنَ
ثِيَابِهِ»
“Di sunnahkan untuk keluar dengan sebagus-bagus keadaan, dan ini
mencakup Imam atau Makmum dalam pakaian dan keadaannya, seperti menipiskan
kumis, memotong kuku, bersih-bersih dan memakai pakaian sebagus-bagus pakaian.”
[lihat “Asy-Syarhul Mumti’” (5/128)]
12 Hukum keluar untuk sholat ‘Ied dengan berjalan!
Tidak ada hadits shohih yang jelas tentang permasalahan berjalan kaki
untuk menghadiri sholat ‘Ied. Dan yang berpendapat tentang disukainya berjalan
ketika menghadiri sholat ‘Ied adalah ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz, An-Nakho’I,
Ats-Tsauri, Asy-Syafi’I dan lain-lainnya. [lihat Al-Mughni (2/374) Al-Jami’ li
Ahkamil ‘Iedain (hal.107)]
Ibnul Mundzir rohimahulloh mengatakan:
«المَشْيُ إِلَى العِيْدِ أَحْسَنُ ، وَأَقْرَبُ
إِلَى التَّوَاضُعِ ، وَلاَ شَيءَ عَلَى مَنْ رَكِبَ».
“Berjalan kaki untuk menghadiri ‘Ied lebih baik dan lebih dekat kepada
sifat tawadhu’. Dan tidak ada apa-apa bagi yang mengendarai kendaraan.” [lihat
Al-Ausath (4/264)]
13 Sholat ‘Ied apabila bertepatan
dengan hari jum’at
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rohimahulloh mengatakan:
«إِذَا صَادَفَ يَومَ الجُمُعَةِ يَوْمَ
العِيْدِ فَإِنَّهُ لاَبُدَّ أَنْ تُقامَ صَلاَةُ العِيْدِ، وَتُقَامُ صَلاَةَ الجُمُعَةِ،
كَمَا كَانَ النَّبِيُّ عَلَيهِ الصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ يَفْعَلُ، ثُمَّ إِنَّ مَنْ
حَضَرَ صَلاَةَ العِيْدِ فَإِنَّهُ يُعْفَى عَنْهُ حُضُورَ صَلاَةِ الجُمُعَةِ، وَلَكِنْ
لَابُدَّ أَن يُصَلِّي الظُّهْرَ، لِأَنَّ الظُّهْرَ فَرْضُ الوَقْتِ، وَلاَ يُمْكِنُ
تَرْكُهَا».
“Apabila bertabrakan hari jum’at dengan hari ‘ied, maka harus untuk
ditegakkan sholat ‘Ied dan sholat jum’at, sebagaimana Nabi alaihis sholatu wa
salam melakukannya. Kemudian barang siapa yang menghadiri sholat ‘Ied, maka seorang diperkenankan baginya untuk
tidak menghadiri sholat jum’at, akan tetapi ia harus sholat dzuhur, karena
dzuhur adalah kewajiban, yang tidak mungkin untuk ditinggalkan.”
14 Apakah disyaratkan untuk sholat
‘Ied jumlah tertentu dari orang yang menghadiri?
Asy-Syaikh Zayid Al-Wushobi hafizhohulloh mengatakan: -setelah menyebuntukan
perselisihan para ‘Ulama pada hal ini- “Dan yang kuat dari pendapat-pendapat
tersebut adalah pendapat pertama( ), bahwasanya sholat Jum’ah begitu juga
sholat ‘Ied sah dengan Jama’ah dua orang, yaitu Imam, Ma’mum, Khothib dan
Mustami’. Dan pendapat ini berdalil dengan hadits Malik bin Al-Huwairits
rodhiyaAllohu anhu dalam “Shohihain” dan menyebuntukan hadits dan dalamnya:
» إِذَا أَنْتُمَا خَرَجْتُمَا فَأَذِّنَا ثُمَّ أُقِيْمَا ثُمَّ لِيَؤُمَّكُمَا
أَكْبَرُكُمَا «
“Apabila kalian berdua keluar, maka beradzanlah kemudian dirikan
(sholat), dan Imami yang besar dari kalian berdua.” HR. Al-Bukhori (630) Muslim
(674) dan hadits Ibnu ‘Abbas rodhiyaAllohu anhuma dalam “Shohihain”: bahwasanya
dia pada suatu malam sholat bersama Nabi ` maka dia berdiri di sisinya.
Dan inilah yang kami kuatkan dan dipilih juga oleh Asy-Syaukani,
Al-Albani dan Al-Wadi’I –semoga Alloh merohmati mereka semua- sebagaimana telah
lalu. (Selesai) [lihat “Al-Jami’ li Ahkamil ‘Iedain” (hal.44)]
15 Bersegera untuk menghadiri Sholat
‘Ied!
Ibnu Qudamah rohimahulloh mengatakan:
يستحب التبكير إلى العيد بعد صلاة الصبح
“Disukai untuk bersegera pergi untuk ‘Ied setelah sholat shubuh.”
[lihat “Al-Mughni” (2/373)]
An-Nawawi rohimahulloh mengatakan:
قال الشافعي والاصحاب يستحب أن يبكر الي
صلاة العيد ويكون التبكير بعد الفجر
“Berkata Asy-Syafi’i dan pengikutnya: disukai untuk bersegera pergi
menuju sholat ‘Ied dan itu terjadi setelah fajar.” [lihat “Al-Majmu’” (5/15)]
16 Disukai untuk menyelisihi jalan
ketika keluar untuk sholat ‘Ied
عَنْ جَابِرٍ قَالَ: كَانَ النَّبِيُّ إِذَا كَانَ يَوْمُ عِيْدٍ خَالَفَ الطَّرِيْقَ
Dari Jabir bin ‘Abdillah rodhiyaAllohu anhuma berkata: “Nabi
shollallohu alaihi wa sallam apabila pada hari ‘Ied menyelisihi jalan.” [HR.
Al-Bukhori (no.986)]
Ibnu Rojab rohimahulloh mengatakan:
«وقدِ استَحَبَّ كثيٌر منْ أهلِ العِلْمِ
للإمام وغيره إذا ذهبوا في طريق إلى العيد أن يرجعوا في غيره ، وهو قول مالك والثوري
والشافعي وأحمد .وألحق الجمعة بالعيد في ذَلكَ .ولَو رَجعَ منَ الطريقِ الَّذي خَرجَ
منهُ لَم يُكرَه»
“Kebanyakan Ahlul ‘Ilmi menyukai untuk Imam dan lainnya apabila pergi
di jalan ke ‘Ied untuk mereka kembali dari jalan lainnya. Dan ini adalah
pendapat Malik, Ats-Tsauri, Asy-Syafi’I, Ahmad dan diikuntukan Jum’ah dengan
‘Ied pada hal ini. Dan walau pun kembali dari jalan yang dia keluar, tidak
dibenci (makruh).” [Fathul Bari’ (9/72)]
17 Hikmah menyelisihi jalan pada
sholat ‘Ied
Diantaranya adalah
1. Mengikuti petunjuk
Nabi shollallohu alaihi wa sallam.
2. Untuk menampakkan
syi’ar-syi’ar Islam di jalan-jalan.
3. Jalan-jalan itu akan
menjadi saksi di hari kiamat.
4. Untuk membuat benci
kaum munafiqin dengan diperlihatkan kemuliaan Islam.
5. Untuk bershodaqoh
kepada faqir miskin di jalan-jalan lainnya.( )
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rohimahulloh berkata:
والحكمة من هذا متابعة النبي صلى الله عليه
وسلم، وهذه الحكمة أعلى حكمة يقتنع بها المؤمن، أن يقال: هذا أمر الله ورسوله،
“Dan hikmah dari hal tersebut adalah mengikuti Nabi shollallohu alaihi
wa sallam, dan hikmah ini adalah setinggi-tingginya hikmah yang membuat seorang
mu’min cukup dengannya.” [lihat “Asy-Syarhul Mumti’” (5/131)]
18 Haromnya puasa dihari ‘Iedul Fithr
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ: أَنَّ رَسُولَ اللهِ
نَهَى عَنْ صِيَامَيْنِ: «يَوْمِ الأَضْحَى وَيَوْمِ الفِطْرِ»
Dari Abi Huroiroh rodhiyaAllohu anhu; bahwasanya Rosululloh shollallohu
alaihi wa sallam melarang dari puasa pada 2 hari: hari Adha dan hari fithr.”
[HR. Al-Bukhori (no.1993) Muslim (no.1138) Malik (no.668) Ahmad (no.10639) Ibnu
Hibban (no.3598) Al-Baghowi (no.1794)]
Hadits juga datang dari Abi Sa’id Al-Khudarii rodhiyaAllohu anhu
riwayat Al-Bukhori (no.1991) Muslim (1138).
Hadits ‘Abdillah bin ‘Umar rodhiyaAllohu anhuma riwayat Al-Bukhori
(no.1994) Muslim (no.1139) dan Hadits ‘Aisyah rodhiyaAllohu anha riwayat Muslim
(no.1140)
Al-Hafidz Ibnu Hajar rohimahulloh mengatakan: “Dalam hadits ini
menunjukkan tentang haromnya puasa pada dua hari ‘Ied (‘Iedul Fithr dan ‘Iedul
Adha).” [lihat Fathul Bari’ (4/239)]
Ibnu Qudamah rohimahulloh mengatak: “Telah bersepakat Ahlul ‘Ilmi
tentang puasa pada dua hari raya terlarang, diharomkan pada Tathowwu’, Nadzar,
Qodho’ (mengganti) dan Kafaroh.” [lihat Al-Mughni (3/136)]
19 Hukum makan ringan pada hari Fithr
sebelum pergi ke tanang lapang
عَنْ أَنَسٍ قَالَ :كَانَ رَسُولُ اللهِ لاَ يَغْدُو يَوْمَ الفِطْرِ حَتَّى يَأْكُلَ تَمَرَاتٍ.
Dari Anas bin Malik rodhiyaAllohu anhu berkata: Rosululloh shollallohu
alaihi wa sallam tidak pergi pada hari Fithr sampai memakan beberapa kurma.
[HR. Al-Bukhori (no.953)]
Ibnu Qudamah rohimahulloh mengatakan:
«السُّنَّةُ أَنْ يَأْكُلَ فِي الفِطْرِ
قَبْلَ الصَّلاَةِ وَلاَ يَأْكُلَ فِي الأَضْحَى حَتَّى يُصَلِّي وَهَذَا قَولُ أَكثرِ
أَهْلِ العِلْمِ مِنْهُم عَلِيٌّ وَابْنُ عَبَّاسٍ وَمَالِكٌ وَالشَّافِعِيُّ وَغَيرُهم
لاَ نَعْلَمُ فِيه خِلَافًا».
“Yang sunnah adalah makan pada (hari) Fithr sebelum sholat, dan tidak
makan pada (hari) Adha sampai sholat. Dan ini pendapat kebanyakan Ahlul ‘Ilmi,
yang di antaranya ‘Ali, Ibnu ‘Abbas, Malik, Asy-Syafi’I dan lain-lainnya. Dan
kami tidak mengetahui perselisihan dalam hal ini.” [lihat “Al-Mughni” (2/371)]
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rohimahulloh mengatakan: “Yang sunnah pada
hari ‘Iedul Fithr adalah memakan beberapa kurma dengan bilangan witir sebelum pergi
ke tanang lapang.” [lihat “Majmu Fatawa Ibnu ‘Utsaimin” (16/234)]
20 Hikmah makan ringan sebelum
pergi ke tanah lapang
Para ‘Ulama menyebuntukan beberapa sebab:
1. Datang sebuah
riwayat dari Ummu Darda’ rodhiyaAllohu anha: “Selisihilah Ahlul Kitab, karena
mereka tidak berbuka pada hari raya mereka sampai mereka kembali.”
2. Menampakkan
perbedaan bahwasanya hari itu bukan Romadhon, karena pada bulan Romadhon di larang makan setelah terbitnya fajar.
3. Agar orang tidak
mengira bahwasanya hari ‘Ied masih di haruskan puasa sampai selesainya sholat ‘Ied.
[Lihat “Al-Jami li Ahkamil ‘Iedain” (hal.63) oleh Asy-Syaikh Zayid
Al-Wushobi]
📝ust. Fuad Hasan ngawi